BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pasca serangan teroris pada 11 September 2001 ke Gedung WTC (World Trade Centre) di Amerika Serikat, berbagai macam analisis muncul dan melahirkan banyak karya yang membicarakan kaitan Islam dan terorisme atau tentang fundamentalisme Islam. Salah satunya ialah analisis menarik hasil dialog dua filsuf besar yaitu Jürgen Habermas dan Jacques Derrida yang dibukukan dengan judul Filsafat dalam Masa Teror (2005). Giovanna Borradori (2005: 218219), penulis buku tersebut, menyoal penamaan suatu peristiwa oleh Derrida dengan sebuah tanggal “11/9” yang diucapkan berulang-ulang terus seolah-olah keunikannya begitu mutlak. Bagi Derrida, “11/9” terdengar seperti sebuah konsep, ia terjadi di luar bahasa: teror dan trauma. Jadi benarkah penyebab teror dan trauma itu kaum teroris sehingga kemudian tiba-tiba muncul stigma yang kerapkali menyatakan bahwa terorisme inheren dengan Islam? Tepatkah jika dikatakan bahwa fundamentalisme agama menolak modernitas? Bagi Habermas, pada kenyataannya fundamentalisme keagamaan cenderung beroposisi terhadap modernitas, karena menolak kompleksitas perbedaan iman dan toleransi. Ia memahami jika setiap agama mempunyai kepercayaan dogmatis sehingga memerlukan otoritas yang berwenang membedakan tafsiran dogma sah yang ortodoks atau bukan. Sebab ortodoksi cenderung ke arah fundamentalisme dengan
1
doktrinnya yang mengikat. Padahal bagi Habermas, modernitas tidak membatasi agama dalam dimensi spiritualitasnya, tetapi merelativisasikan posisinya vis a vis agama-agama lain tanpa merelativisasikan inti dogmatisnya sendiri. Habermas menekankan pentingnya memahami “situasi epistemik” agama dalam modernitas (Borradori, 2005: 105-106). Kerancuan istilah fundamentalisme, terorisme, dan radikalisme yang seringkali dilekatkan begitu saja pada Islam tidak dapat dikatakan tepat begitu saja. Pembedaan istilah dengan baik dikemukakan oleh Greg Barton, ia (2004: 29) membedakan antara radikalisme dari konservatisme dalam konteks gerakan Islam. Baginya, Islam radikal itu pasti gerakan konservatif, tetapi tidak setiap gerakan konservatif itu radikal. Barton setuju bahwa Islamisme dalam bentuknya yang paling ekstrem merupakan gerakan radikal Islam. Tetapi Islamisme radikal sebenarnya bukan merupakan ancaman. Terorisme bisa jadi merupakan ancaman, tetapi hanya minoritas kecil dari kaum Islamis radikal yang dapat disebut teroris, sehingga tidak semua kaum Islamis radikal dapat disebut sebagai teroris. Kadangkala konservatisme agama secara keliru disebut dengan fundamentalisme agama. Padahal banyak gerakan konservatif, bahkan kadang-kadang sangat konservatif, seperti tradisi-tradisi keagamaan di belahan dunia yang lain, dituduh secara tidak fair melakukan kejahatan. Banyak komunitas muslim konservatif yang dianggap fundamentalis, sekalipun mereka sebenarnya dapat lebih akurat disebut sebagai kaum tradisionalis hyper-konservatif. Selaras dengan yang dikatakan Habermas, menurut Barton, bahwa tentang fundamentalime agama secara esensial memang merupakan sebuah reaksi terhadap modernitas.
2
Berkaitan dengan dogma dan modernitas, komunitas Salafi sebagai salah satu gerakan Islamis yang seringkali dicap radikal, fundamentalis, dan konservatif, justru mempunyai gaya subkulturnya sendiri dalam melakukan interpretasi terhadap dogma agama yang mengikat maupun tantangan-tantangan modernitas.1
Mengacu
pada
pendapat
Habermas
yang
membenarkan
fundamentalisme agama yang selalu resisten terhadap modernitas dalam batas tertentu dapat dipahami, dan pendapat Barton yang memisahkan radikalisme Islam dengan konservatisme agama dapat memperkaya dan membantu analisis terhadap
gerakan
Salafisme
yang
kenyataannya
memang
mempunyai
kecenderungan lari dari modernitas dan membangun kehidupan serba dogmatis dengan selalu berusaha menghadirkan masa Salafus Salih dalam kehidupan mereka sehari-hari. Komunitas Salafi menjadi salah satu gerakan Islamis yang paling konsisten dalam berpegang teguh pada manhaj Salaf dan menjalani seluruh kehidupan mereka berdasarkan syari’at Islam. Tetapi apakah komunitas Salafi menampik atau menerima politik? Untuk konteks Indonesia sampai penelitian ini selesai dilakukan, mereka tetap bersikap apolitis dengan sikap pesimisme terhadap politik di tanah air. Tetapi dalam sejarah, sebenarnya Salafi juga pernah berpolitik praktis. Menurut Novriantoni Kahar (2012), alumnus al-Azhar Mesir dan 1 Irwan Abdullah (2007: 159, 163) secara menarik menegaskan bahwa posisi mesin dan teknologi serta nilai-nilai di dalamnya, pada kenyataannya, dapat melemahkan otoritas orang tua dan fungsi tradisional keluarga serta mempengaruhi ritme dan norma-norma kehidupan. Selain itu juga melahirkan proses dehumanisasi dan akhirnya terjadinya apa yang disebut Foucault sebagai “the death of the subject”. Ia juga meyakini tentang apa yang dirasakan oleh orang tua di era modern ini, bahwa para orang tua, khususnya kelas menengah, telah menyembunyikan rasa bersalah mereka dengan memenuhi tuntutan-tuntutan material bagi anak yang dengan cara demikian sebenarnya mereka menyembunyi masa lalu mereka sebagai anak desa, perasaan inferior, dan tanpa status. Dalam konteks komunitas Salafi nanti akan terlihat juga pergeseranpergeseran paradigma mereka atas realitas modernitas dalam telisik fenomenologi-hermeneutik.
3
pengamat politik Islam Timur Tengah, mengatakan bahwa asumsi lama, Salafi itu kaum ultra-konservatif Islam, apolitis dan hanya memusatkan perhatian kepada urusan-urusan ritualistik Islam, sedangkan analisisnya mengatakan bahwa doktrin politik Salafisme menunjukkan, tak hanya idealisasi politik yang dominan dalam ide mereka, tetapi juga kemungkinan pragmatisme politik. Jika diamati sepintas sikap fatalis Salafi dalam urusan politik ini dapat dianggap sebagai sikap apolitis. Tetapi tidak bagi Salafi, karena tidak terlibat aktif dalam kancah politik bukanlah sikap apolitis, tetapi bagi Salafi, politik yang relevan di masa kini adalah meninggalkan politik. Mereka juga mengklaim hal itu sebagai sikap yang akurat dalam menimbang keadaan. Dengan posisi Salafi yang demikian, Amerika Serikat dan sekutunya tidak akan terlalu terganggu oleh Salafi politik karena mereka sebenarnya tidak serta merta anti-Amerika, tetapi musuh Amerika dan Barat yang sesungguhnya adalah Salafi-jihadi. Dalam tulisannya yang berjudul “Salafisasi Dunia Muslim”, Kahar (2013) juga mendefinisikan Salafi sebagai paham yang berusaha mempurifikasi pandangan dan gaya hidup masyarakat Muslim dengan ajaran-ajaran yang lebih dogmatis dan puritan berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya kurun adalah era Islam awal (generasi masa lampau/Salaf). Dengan dogma seperti itu dan dengan pemahaman yang kurang mendalam tentang spirit Muslim awal, sebagian kalangan Muslim modern mencoba berpikir dan bertindak berdasarkan pemahaman mereka tentang Muslim era awal. Sebagian mencoba mempraktikkan cara makan, berpenampilan, berpikir, dan bertindak seperti Muslim generasi awal sehingga tidak jarang perilaku mereka tampak aneh
4
di mata dunia modern. Menurutnya, merujuk pada ulasan seorang pemikir Saudi, Salman al-Audah dalam karyanya al-Ighraq fi al-Juz’iyyat (Terperosok ke Persoalan-persoalan Sepele), keanehan itu karena mereka telalu tenggelam dalam aspek-aspek yang parsial dan artifisial dari etos kaum Muslim awal. Gejala negatif ini kini tak jarang dijumpai pada sebagian Muslim dari Eropa sampai Amerika, dari Nigeria sampai Indonesia. Bagaimanapun, komunitas Salafi harus menghadapi kenyataan dan berbagai tantangan modernitas. Kepatuhan terhadap dogma agama yang ketat akan berhadapan dengan hasil-hasil dari modernitas dan menantang komunitas Salafi untuk menafsirkan ulang dogma agama dan pemahaman mereka tentang realitas teknologi. Televisi jarang ditemui di rumah-rumah Salafi, karena keberadaannya yang membawa maksiat daripada manfaat. Tetapi tentang isi berita televisi bahkan tayangan-tayangan gosip infotainment, sebagian dari mereka ternyata tidak ketinggalan berita. Sebagai bagian dari hasil modernitas, keberadaan televisi menjadi mesin penghibur yang tidak pernah mati. Khalayak dari latar belakang apa pun dapat mengambil manfaat darinya. Irwan Abdullah (2007: 54) menyatakan bahwa televisi telah mendeteritorialisasi ruang dan menjadi remote control budaya bagi pemirsanya. Sehingga apa yang dikatakan Barwise dan Ehrenberg (1988: 18) bahwa televisi bahkan merupakan salah satu raksasa media dibanding media lainnya dapat dibenarnkan, setidaknya untuk menunjukkan bahwa menonton televisi, selain mendapatkan selingan, hiburan, menghabiskan waktu senggang dan relaksasi yang amat luas, juga hampir dirasa senyaman pergi ke bioskop atau
5
mendengarkan radio. Apa yang mereka akui sesungguhnya sejalan dengan ungkapan Postman (1986) yang menegaskan bahwa televisi selalu setia setiap saat menghibur khalayak sampai mati. Karena itu, inilah realitas bahwa media televisi berhasil menyodorkan impresi yang teramat menyentuh dalam kehidupan khalayak. Apa yang mereka katakan menandakan bahwa secara keseluruhan, televisi adalah “hiburan”, atau setidaknya ruang pengalihan dan pencarian yang efektif bagi khalayak untuk menangkap, menyimpan, dan merespon berbagai realitas eksternal, yang akhirnya menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Televisi dengan segala program-programnya yang menghibur hadir untuk menyapa khalayak dari berbagai usia maupun berbagai latar belakang sosial nyaris di segala waktu. Setiap orang dapat menikmati media audiovisual yang kaya informasi itu kapan saja. Jika ada ruang-ruang kosong dalam keseharian kita yang rutin, maka kita dapat dengan mudah mengisinya dengan konten media (Baran dan Davis, 2009: 241). Kenyataan tersebut secara spesifik menyiratkan bahwa aspek hiburan itu perlu bagi siapa pun, membuat mata setiap khalayak terhipnotis, sehingga demi tayangan tertentu mereka enggan beranjak dari depan layar kaca. Dari berbagai acara yang ditayangkan televisi, terlihat unsur hiburan acap melebur dalam, atau setidaknya turut menghiasi, tayangan yang bahkan tidak masuk dalam kategori program hiburan sekalipun. Media televisi kerapkali menempatkan penonton sebagai konsumen karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan diri misalnya dengan menonton berbagai tayangan infotainment, mengamati iklan dan akhirnya tergoda untuk membeli produk-produknya. Sedangkan televisi sendiri
6
tetap berdiri kukuh mewakili ideologi kapitalisme media dalam rangka menarik selera dan menggoda setiap penontonnya untuk setia menikmati dan menyukai sajian-sajian acara yang disuguhkan. Stasiun-stasiun televisi bahkan yang sudah beberapa kali diperingatkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) seolah merasa tidak peduli apakah setiap jenis tayangannya itu melecehkan logika penonton, mengacak-acak suatu budaya, bahkan menumpulkan hati nurani seseorang sekalipun, yang penting rating sebuah program tetap tinggi dan animo masyarakat untuk menonton tetap terjaga. Di antara program-program hiburan yang populer dan berkembang pesat di berbagai stasiun televisi, khususnya televisi swasta ialah infotainment, reality show, dan soap opera. Program-program seperti itu berhasil menyedot perhatian masyarakat dalam skala yang cukup luas. Pada batas tertentu, kegiatan menonton tayangan hiburan tersebut, bukan lagi sebatas kegiatan mengisi waktu luang atau kegiatan sampingan, melainkan telah menjadi kebutuhan. Dari berbagai program hiburan yang marak di berbagai stasiun televisi, program infotainment terlihat paling sukses meraih animo khalayak dan memiliki daya tahan yang sangat kuat, terbukti program ini marak di berbagai stasiun televisi, dari tahun ke tahun. Selama Januari 2013 sampai dengan Januari 2014, penelitian ini mencatat bahwa dengan menyuguhkan 27 jenis acara dari 9 televisi swasta nasional dengan jam tayang mencapai 6570 menit (109,5 jam) selama seminggu, tayangan infotainment sebenarnya menjadi “penghibur dominan” yang mampu memanfaatkan setiap waktu luang dan sibuk dari khalayaknya. Belum lagi jika harus berbicara tentang tema-tema yang beragam yang diangkat pada setiap
7
tayangan infotainment. Infotainment, dengan demikian, bebas memasuki kehidupan khalayaknya secara masif dengan keberhasilan kapitalisme media dalam mengkomodifikasi gosip-gosip para selebriti. Program infotainment marak disodorkan berbagai stasiun televisi nasional dengan jumlah jam tayang yang sangat signifikan. Sembilan stasiun televisi swasta setidaknya menayangkan infotainment dalam durasi sekitar 30 menit (yaitu MNCTV sebagai stasiun televisi yang paling rendah durasi tayangnya) sampai dengan 150 menit/2,5 jam (yaitu Global TV dengan durasi tayang paling tinggi) per hari dengan variasi waktu tayang pagi, siang, sore dan malam hari. Dalam infotainment disuguhkan beberapa jenis tayangan gosip, seperti: Seleb @ Seleb dan Seputar Obrolan Selebritis di ANTV, Hot Spot, Obsesi, Seleb on Cam dan Fokus Selebriti di GlobalTV, Kiss Pagi dan Hot Kiss Sore di Indosiar, New Star dan Sensi di KompasTV, Go Spot, Intens, Silet dan Kabar-kabari di RCTI, dan lain sebagainya. Dunia selebriti, tidak lain dunia yang penuh dengan sanjung dan puji sekaligus cercaan di sana-sini, tetapi juga tidak sepenuhnya disanjung atau sepenuhnya dicerca. Keduanya, positif maupun negatif di tangan industri media, sama-sama memiliki peluang untuk digarap menjadi sajian yang menarik. Tayangan infotainment semakin marak dan menyedot perhatian khalayak terutama jika terkait hal-hal spesifik yang sensitif. Misalnya, kasus Ariel-Luna Maya dengan video pornonya, kasus pengaduan dan pembeberan Aida Zaskia tentang isu pelecehan seksual yang dilakukan (alm.) K.H. Zainuddin M.Z., gosip perceraian K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) dengan Ninih Muthmainah (Teh
8
Ninih) dan rencana poligami Aa’ Gym, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Dorce Gamalama saat masih hidup bersama Asep Maskar, serta gosipgosip di seputar para ustadz seleb yang ikut meramaikan berita infotainment dan periklanan. Tayangan infotainment menyerbu khalayak bukan tanpa perlawanan, banyaknya aduan masyarakat tentang dampak tayangan tersebut sampai pada keputusan berbagai struktur penting pengambil kebijakan di antaranya seperti yang pernah dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mencatat berbagai pengaduan masyarakat soal penayangan video cabul yang meresahkan misalnya. Selain itu, dewan Pers menganggap program infotainment sebagai latah, tetapi
masyarakat
tidak
punya
pilihan
sehingga
tidak
bisa
dilarang
(http://www.detiknews.com, 26/12/2009). Lain halnya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas VIII bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainment baik bagi televisi yang menayangkan maupun pemirsa yang menontonnya. Dalam ketentuan umum fatwa mengenai infotainment itu disebutkan bahwa menceritakan aib, kejelekan, gosip, dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak, hukumnya adalah haram. Selain itu, K.H. Hasyim Muzadi (26/12/2009) sebagai Ketua Umum PBNU saat itu mengatakan bahwa telah ada kesepakatan musyawarah syuriah dan tanfidziyah bahwa hukum infotainment, dalam wujudnya sekarang atau dulu, yakni berisi gosip (ghîbah) dan adu domba (namîmah) terhadap keluarga tertentu hukumnya haram, baik berdasarkan tekstual agama maupun filosofi agama (maqâsid al-syarî’ah) (http://www.mui.or.id, 26/12/2009).
9
Terlepas dari itu, sejatinya MUI tidak serta-merta menganggap semua aspek dalam infotainment, haram hukumnya. MUI memperbolehkan dengan pertimbangan yang dibenarkan secara syar`i untuk kepentingan penegakan hukum. Dengan dasar itulah, maka menurut MUI, perlu dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan nilai luhur kemanusiaan (http://berita.liputan6.com, 28/07/2010). Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan bahwa fatwa haram infotainment lebih menekankan kepada konten berita, bukan kepada lembaga infotainment (program). Infotainment pada dasarnya sama dengan jenis berita yang lain dan tidak selalu memiliki efek negatif. Lembaga infotainment sepatutnya menyajikan berita yang positif dan bisa memotivasi masyarakat. Sisi infotainment yang positif harus didukung untuk kepentingan penegakkan hukum dan pemberantasan kemungkaran (http://koran.republika.co.id, 06/08/2010). Dalam konteks yang jauh lebih luas, agaknya kehidupan masyarakat di zaman ini memang tidak bisa lepas dari tiga kekuatan, yaitu birokrasi, kapitalisme, dan media. Dalam konteks ini media khususnya televisi juga tidak lepas dari birokrasi dan kapitalisme. Program infotainment dan program-program hiburan lainnya tidak lepas dari sistem regulasi di bidang penyiaran dan kapitalisme (dalam pengertian yang luas). Sikap-sikap kritis dan resisten dari khalayak Muslim tidak selalu berhasil tampil sebagai kekuatan yang masif untuk menekan tayangan yang dipandang kurang menyumbang nilai positif tersebut. Komunitas Salafi sebagai gerakan Islam radikal yang dikenal lurus dan taat dalam menjalankan syariat Islam, pada praktiknya, juga bersentuhan dengan
10
infotainment. Pergumulan yang terdengar asing. Padahal komunitas Salafi sejatinya merepresentasikan diri mereka sebagai para penerus perjuangan Nabi Muhammad saw sehingga seringkali disebut sebagai kaum salafus shalih (Demant, 2006: 25), afirmasi identitas ini untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Islam yang ingin menghidupkan ajaran-ajaran al-Quran dan sunnah Nabi saw dalam kehidupan modern ini. Sedangkan di sisi lain, perwujudan dari afirmasi identitas yang berhadapan dengan modernitas dan tantangan globalisasi, pada faktanya, terefleksikan dalam bentuk Islamisme. Demant (2006: 180-187) mengungkapkan bahwa Islamisme dapat diartikan sebagai ideologi, gerakan, dan tribalisme. Dalam praktiknya, Islamisme sebagai jawaban atas pelbagai krisis kelas, generasi, dan urban, berada dalam sikap antara menarik diri atau aktivisme, bahkan merupakan bentuk sikap separo-modernitas yang tampak dari gaya kaum Salafi menggunakan teknologi tetapi mereka terkadang menolak memberikan alasannya. Menurut Masdar Hilmy (2009: 155) bahwa Islamisme bukanlah kategori yang terpisah dari sistem sosio-kultural Islam Indonesia secara general, dan bahwa Islamisme merupakan kategori yang cair (melting) dan sporadis oleh waktu. Mengutip Erich Kolig, Hilmy memaparkan bahwa terma Islamisme merepresentasikan sikap gerakan Islamis di sebagian besar dunia Islam dan Indonesia dengan karakter khusus: (1) para penganutnya percaya bahwa Islam harus diimplementasikan secara tekstual sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan Hadits, tanpa kompromi; (2) mereka percaya bahwa Islam adalah satu-satunya solusi bagi krisis yang melanda umat Islam; dan (3) mereka cenderung bersikap reaktif terhadap apapun yang mereka anggap sebagai bentuk penyelewengan
11
Islam dan berusaha mengembalikannya kepada Islam versi mereka sendiri (Kolig dalam Hilmy, 2009: 156). Selain itu, komunitas Salafi juga melakukan kontestasi (makna) antara memegang teguh dogma agama berdasarkan manhaj Salaf ataukah menafsirkan ulang sikap mereka terhadap modernitas. Dalam pandangan Vancil (1993: 70-82) kontestasi dapat dimaknai sebagai benturan argumen di antara berbagai pihak sehingga aspek nilai, fakta, dan kebijakan atas sesuatu mendorong munculnya berbagai tindakan tertentu disebabkan terjadinya tegangan. Dengan kontestasi maka berbagai masalah dari multi sudut pandang yang berbeda dan saling bersaing dapat mengemuka. Dalam kontestasi di mana terdapat pihak yang pro dan yang kontra mengenai sesuatu, maka kata-kata yang mereka ungkapkan dalam pemikiran mereka sebenarnya dapat dikritisi secara lebih mendalam. Selain itu, berbagai sebab kontroversi yang bermanfaat bagi upaya menggali berbagai motif dapat pula diidentifikasi. Dalam kontestasi, karakteristik serta sejarah tentang nilai, keyakinan dan kebijakan dapat diamati secara cermat. Ungkapan atau katakata yang dinyatakan secara verbal, khususnya dalam konteks kontestasi makna, sesungguhnya menunjukkan kondisi yang saling bersaing dalam pergumulan antar budaya. Dalam kehidupan Salafi, kontestasi itu menjadi tak terhindarkan, di satu sisi posisi ulama sebagai pemegang kuasa doktriner menjadi poros produsen fatwa yang harus ditaati oleh para pengikut Salafi. Sedangkan di sisi lain, pertentangan kredo Salafi dengan fakta reproduksi makna subyektivitas/kedirian pada praktiknya menjadi tak terbantahkan, khususnya dalam konteks konsumsi media dan infotainment.
12
Dalam praktik pergumulan tersebut, khalayak Muslim Salafi tidak lepas dari gesekan dan negosiasi identitas dalam pergaulan antar budaya dan ideologi Islam lainnya, sehingga penampilan mereka yang khas—bagi perempuan Salafi mengenakan jilbab dan bercadar menyisakan sedikit celah bagi mata untuk melihat, dan bagi kaum laki-lakinya menggunakan celana congklang di atas mata kaki, memelihara jenggot, berpakaian longgar dan tidak ketat, yang membedakan diri mereka dengan komunitas Muslim lainnya akan terus mengalami benturan identitas, hibriditas keyakinan dalam cara bagaimana kaum Muslim Salafi melakukan negosiasi identitas dengan budaya sekitarnya. Apa yang ditekankan dalam teori negosiasi identitas ialah bahwa identitas atau konsepsi diri reflektif dipandang sebagai mekanisme penjelas bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu (Ting-Toomey, 1999: 39). Kukuh dalam afirmasi identitas komunitas Salafi menjadi sebentuk perjuangan dalam ikut merebut dan mereproduksi makna mekanisme kehadiran mereka di hadapan budaya Islam mainstream atau pun dalam budaya lokal Jawa tempat mereka hidup. Selaras dengan Bourdieu, hal itu sebagai distinction, sebentuk tindakan membedakan diri sebagai bagian dari strategi kuasa. Afirmasi identitas diri Salafi terejawantah dalam praktik kehidupan keagamaan mereka yang selaras dengan al-Quran dan sunnah Nabi saw, sehingga tembok tebal hukum agama atau syariat Islam menjadi sebentuk sabuk pengaman iman. Memiliki televisi saja dilarang apalagi menontonnya. Hampir seluruh
13
pengikut Salafi di Yogyakarta tidak mempunyai ‘kotak ajaib’ itu di rumah-rumah mereka. Bagaimana mereka tahu tentang tayangan dan konten infotainment dan berghibah tentangnya sementara hukum ghibah itu sendiri jelas haram. Di sinilah sisi menariknya, bahwa praktik-praktik keagamaan yang normatif itu tidak sepenuhnya selaras dan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh para pengikutnya, sehingga menonton televisi, bahkan menggunakan hasil-hasil dari modernitas seperti hand phone dan media elektronik lainnya sulit dihindari, sesuatu yang tak tabu lagi, sehingga tindakan ghibah infotainment yang semula dilarang atau wajib untuk dijauhi, pada kenyataannya, menjadi bagian yang tidak terpisah dalam aktivitas komunikasi mereka. Fenomena Salafi tersebut sebenarnya memiliki kemiripan dengan apa yang terdapat pada Kristen Protestan di mana aliran Mennonite merepresentasikan diri mereka sebagai aliran yang membatasi diri dan menegosiasikan diri mereka dengan modernitas, dan mereka dikenal sebagai gerakan anti perang. Di Virginia, Amerika Serikat, aliran ini dapat dijumpai di pantai utara. Salah satu tokohnya yaitu George Washington, sedangkan di Philadelphia bernama Quacker. Aliran Menonite ini mempunyai tradisi untuk mengeluarkan “zakat” sebesar 10 persen per bulan sesuai ajaran Bibel. Aliran menonite ini sebenarnya mirip dengan Mormon dengan gaya yang khas di mana kaum laki-lakinya mengenakan jas, ratarata mereka adalah orang kaya, anti perang, sedangkan perempuan selalu mengenakan rok. Aliran ini sejalan dengan Jehowah Witnesses yang mempunyai tradisi menceramahi semua orang yang dijumpai. Bahkan saksi Jehovah tidak segan-segan mendatangi masjid-masjid yang ada di Amerika. Gerakan ini kalau
14
dalam Islam mirip dengan Jama’ah Tabligh yang mempunyai tradisi khuruj (keluar dari rumah mereka untuk menginap di masjid selama beberapa hari dan berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain), dan juga mendatangi rumah dan menceramahi semua orang. Baik aliran Menonite maupun Mormon sama-sama mempunyai prinsip pasifis atau dalam Islam disebut sebagai Jabariyah. Bahwa setiap perbuatan dan takdir kita sesungguhnya sudah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima dan menjalankan apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Komunitas Kristen Mennonite menganut dan mempraktekkan ajaran Anabaptisme yang muncul di Eropa pada abad ke-16. Menurut Jeanne Zimmerly Jantzi, aktivis Mennonite Central Commitee (MCC)—MCC merupakan organisasi payung tujuh belas kelompok jemaat Mennonite di Amerika Serikat dan Kanada, MCC menjadi patner beberapa gereja Mennonite seperti Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ), Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), dan Jemaat Kristen Indonesia (JKI), bahwa anabaptisme ialah kelanjutan gerakan reformasi Kristen yang menolak pembaptisan bayi dan memisahkan agama dari kekuasaan. Baginya, pembaptisan mestinya menjadi wilayah kebebasan individu orang dewasa, sehingga tidak tepat jika diselenggarakan pada masa kanak-kanak. Kendatipun nilai-nilai kekristenan tetap dilakukan sejak masa kanak-kanak. Sedangkan istilah Mennonite dinisbatkan pada Menno Simons, seorang Imam Katolik Belanda yang berpindah ke ajaran Anabaptisme di abad ke-16. Kaum Mennonite di Eropa pada masa itu, sebagaimana kelompok penganut Anabaptisme lainnya, mengalami pemenjaraan, penyiksaan, dan pembunuhan, dibakar ataupun ditenggelamkan karena dicap sebagai kelompok sesat. Bagi Jeanne, Mennonite sebagai gerakan
15
transnasional telah melakukan komunikasi dengan kelompok Katolik dan Protestan. Bahkan rekonsiliasi ini diadakan melalui acara-acara formal. Sedangkan tentang kesan pasifis tidak sepenuhnya benar. Pengikut gerakan ini memang tidak melakukan perlawanan frontal ketika disakiti atau disudutkan, tetapi mereka aktif melakukan pencegahan terjadinya konflik. Kaum Mennonite konservatif dan apolitis, tetap patuh menjalankan ajaran Yesus. Mereka tidak mau hormat pada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.2 Dalam penelitian ini, komunitas Salafi di Yogyakarta dipilih karena mewakili kemunculan Salafi pertama kali di Indonesia pasca konflik di Ambon, Maluku di mana Ustadz Ja’far Umar Thalib menjadi panglima Laskar Jihad di sana. Posisi Ustadz Umar menjadi penting dalam sejarah perkembangan Salafi di Indonesia yang bermula dari Yogyakarta. Benturan pemikiran dan tindakan tahdzir yang terjadi di antara orang-orang Salafi membuat mereka terpisah dan mendirikan pesantren atau komunitas sendiri. Dengan begitu warna dan corak budaya Salafi dalam memahami manhaj Salaf juga berbeda antara satu kelompok dengna kelompok yang lain. Enam pesantren yang dipilih yaitu Pesantren Ihya’ al-Sunnah, Pesantren al-Anshar, Pesantren bin Baz, Pesantren Taruna al-Quran, Pesantren Hamatul Quran, dan Pesantren Khoiro Ummah serta jamaah dari masjid MPR (Masjid Pogung Raya) mewakili komunitas Salafi yang berbeda-beda itu yang dalam praktiknya seringkali bertegangan dan bernegosiasi dengan dogma dan modernitas, terutama perilaku mereka dalam bermedia dan resepsi mereka terhadap fenomena ghibah infotainment. 2
http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum-news/328/Gerakan-Kristen-Mennonite-diIndonesia.html diakses pada 15 Januari 2014.
16
1.2. Rumusan Masalah Komunitas Salafi di satu sisi dapat dideskripsikan sebagai umat Islam yang meyakini dan menerapkan dalam kehidupan mereka praktik-praktik keagamaan yang harus selaras dengan ajaran-ajaran al-Quran dan mengikuti Sunnah Nabi saw. Kebanyakan dari komunitas Salafi menjaga jarak dengan modernitas dan hasil-hasilnya, seperti menolak menonton televisi apalagi mengonsumsi berbagai tayangan infotainment serta dengan tegas mengharamkan ghibah. Tetapi di sisi lain, praktik-praktik keagamaan yang normatif tersebut tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan konsisten oleh para pengikutnya, sehingga menonton televisi, bahkan menggunakan hasil-hasil dari modernitas seperti hand phone, smartphone, dan media elektronik lainnya tidak lagi ditabukan, sehingga tindakan ghibah atau bergosip tentang konten infotainment—terutama tentang ustadz/ustadzah selebriti atau para selebriti yang mayoritas beragama Islam yang sering diberitakan tentang proses kawin-cerai, perselingkuhan, dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) mereka, misalnya—yang semula dilarang atau wajib untuk dijauhi pada kenyataannya menjadi bagian yang tidak terpisah dalam aktivitas komunikasi mereka sehari-hari. Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Melalui instrumen apa, kapan, di mana dan bersama siapa komunitas Salafi meresepsi tayangan infotainment?
2.
Bagaimana komunitas Salafi memahami ghibah infotainment dalam kehidupan sehari-hari?
17
3.
Bagaimana bentuk resistensi dan negosiasi Salafi dalam meresepsi fenomena ghibah infotainment baik terhadap komunitas mereka sendiri atau di luar komunitas mereka serta terhadap dogma manhaj Salaf yang ketat dan fatwa para mufti ataupun sikap mereka terhadap modernitas?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini meliputi: 1.
Menelusuri motif-motif yang mendasari komunitas Salafi meresepsi program-program infotainment.
2.
Menguak sejumlah karakteristik pandangan dan alasan komunitas Salafi terhadap infotainment dan cara mereka mengonstruksi makna ghibah infotainment.
3.
Mengungkap berbagai bentuk resistensi dan negosiasi komunitas Salafi dalam kaitannya dengan ghibah infotainment, baik menyangkut isi ataupun konteks tayangan berita dengan dogma manhaj Salaf dan fatwa para mufti ataupun sikap mereka terhadap modernitas.
1.4. Manfaat Penelitian Studi ini diharapkan dapat memperkaya perspektif mengenai “puritanisme agama” dan “media” dalam konteks modernitas, setidaknya menambah referensi yang minim dalam kajian budaya dan media yang mengkaji fenomena ghibah infotainment dengan mengambil fokus komunitas Salafi. Studi ini dapat juga dijadikan sebagai pemantik atau bahkan pijakan bagi studi lanjutan dengan
18
pendekatan yang sama atau berbeda maupun penelitian-penelitian sejenis dengan konteks yang berbeda. Secara praktis, studi ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para peneliti selanjutnya untuk dapat melihat salah satu bentuk puritanisme Islam yang unik yang terdapat dalam diri komunitas Salafi yang pada kenyataannya tidak dapat dimaknai secara tunggal, sebagai kelompok termarjinalkan, revivalis ataupun neo-revivalis Islam, ekstrem, ultrakonservatif, dan ekslusif. Karena komunitas Salafi dapat menegosiasikan eksistensi diri mereka di hadapan modernitas dan mereka juga berani melakukan reinterpretasi terhadap dogmadogma manhaj Salaf dan fatwa-fatwa dari para pemegang otoritas (mufti) yang selama ini mereka jalankan dan patuhi. Dengan menggunakan referensi penelitian ini, para pengkaji dan pemerhati sosial dan keagamaan dapat menerapkan temuantemuan yang telah didapatkan untuk memotret dan menganalisis eksistensi komunitas Salafi di berbagai daerah lainnya.
1.5. Tinjauan Pustaka Beberapa tulisan terdahulu yang membahas tentang Salafi sudah cukup banyak diterbitkan dalam berbagai sudut pandang, baik dari aspek teologi, sejarah ataupun politik. Bahkan kajian-kajian kontemporer tentang Salafi tidak sedikit yang mengidentikkan gerakan Salafi dengan terorisme ataupun sebagai gerakan Islam radikal. Beberapa buku yang telah membahas tentang Salafi dapat disebutkan sebagai berikut.
19
Buku pertama yang membahas masalah Salafiyah ditulis oleh Haedar Nashir berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2013). Buku yang berasal dari disertasi penulisnya tersebut berisi tentang kajian sosiologis terhadap akar, manifestasi dan dinamika gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi syariat. Dua gerakan yang diteliti yaitu gerakan Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin yang dikategorikan oleh penulisnya sebagai “salafiyah ideologis”. Nashir melihat HTI dan MMI selain menampilkan corak salafiyah, yakni menampilkan Islam sebagai ajaran yang “murni” yang mencontoh Nabi Muhammad saw dan generasi sesudahnya yang dipandang ideal (Salaf alShalih), juga menunjukkan karakter ideologisnya untuk penerapan syariat Islam dalam institusi negara/pemerintahan hingga ke pembentukan negara Islam (negara khilafah), sehingga dapat dikategorisasikan sebagai “salafiyah ideologis”. Sedangkan Salafi sendiri tidak mendapatkan porsi telaah yang cukup karena dikategorisasikan sebagai “salafiyah akidah”, yang tidak melibatkan diri dalam perjuangan ideologi-politik. Buku kedua berjudul Terorisme: Fundamentalisme Kristen, Yahudi, Islam (2009) juga berasal dari disertasi yang ditulis oleh A.M. Hendropriyono. Buku ini memperlihatkan akar fundamentalisme dalam tiga agama tersebut dan kaitannya dengan aksi kekerasan dan terorisme. Dalam membahas akar terorisme dalam Islam, Hendropiyono menyatakan bahwa gerakan Wahabi-Salafi kontemporer cenderung mengagung-agungkan kekerasan. Stigma terhadap wahabi-salafi sebagai gerakan Islam radikal dan Islam transnasional yang akan terus berkembang luas dan menggerogoti basis-basis Islam lokal, meskipun pada akhir
20
tulisannya ia mencoba membedakan antara Salafi Jihadi dengan Salafi Dakwah. Ia tetap menegaskan bahwa bahwa basis-basis Muhammadiyah sekarang sedang digerogoti oleh Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sedangkan pesantren-pesantren Nahdlatul ‘Ulama (NU) puritan didekati oleh gerakan Salafi. Buku ketiga ialah Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (2008). Buku ini ditulis oleh Noorhaidi Hasan berasal dari disertasi penulisnya. Buku ini menjelaskan dinamika kepentingan elit kaum Salafi dalam sejarah keberadaannya di Indonesia serta perkembangannya kemudian. Tulisan yang berfokus pada munculnya tokoh Ja’far Umar Thalib, kemudian mobilisasi politik, serta pembidangan antarkepentingan yakni kutub salafisme apolitis dan aktivisme jihadis, serta analisisnya terhadap drama jihad di Maluku. Noorhaidi menyoroti bahwa seruan jihad di Maluku adalah bagian dari politik kaum Salafi di Indonesia untuk memperoleh pengakuan dan meningkatkan identitas mereka agar dapat menegosiasikan tempat mereka dalam peta Islam di Indonesia. Selain itu, Hasan juga menerbitkan buku berjudul Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori (2012) yang menyinggung juga tentang gerakan dakwah Salafi dan kaitannya dengan radikalisme, jihadisme dan terorisme. Buku keempat berjudul Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009) yang disusun oleh tim peneliti baik dari organisasi Muhammadiyah maupun NU. Buku ini mengkritisi gerakan Islam radikal di Indonesia, yaitu Wahabi-Salafi, Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin
21
(Gerakan Tarbiyah/Partai Keadilan Sejahtera [PKS]) yang berideologi kelompok garis keras. Buku kelima ditulis oleh Andi Aderus dengan judul Karakteristik Pemikiran Salafi di Tengah Aliran-aliran Pemikiran Keislaman (2011). Buku hasil disertasi ini memaparkan kajian teks-teks Salafi terhadap masalah i’tiqadiyyah untuk memahami hakikat salaf, salafi dan salafiah terutama dalam masalah-masalah ketuhanan, kenabian dan sam’iyyat, kemudian tentang karakteristik salafi dalam prinsip-prinsip beragama, serta tentang masalahmasalah furu’iyyah. Buku keenam adalah tulisan yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan judul Islam dan Radikalisme di Indonesia (2005). Pembahasan mengenai Jamaah Salafi hanya di bab 5 yakni menguraikan tentang gerakan dakwah Salafi di Bandung, pola kepemimpinan, politik Salafi, dan sifat radikalismenya. Buku ini menyebut kelompok Salafi sebagai fundamentalis radikal Buku ketujuh karangan M. Said Ramadhan al-Buthi yang berjudul Salafi: Sebuah Fase Sejarah bukan Mazhab (2005). Buku ini menerangkan sejarah munculnya manhaj ilmiah, dalil-dalil yang menerangkan bahwa mengklaim bermazhab Salafi adalah bid’ah, serta menguraikan dampak negatif yang timbul jika umat Islam mengamalkan bid’ah. Buku kedelapan adalah studi yang dilakukan oleh Greg Fealy dan Anthony Bubalo yang berjudul Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (2007). Fokus utama buku ini pada dimensi ideologis melalui studi
22
kasus yang menguji dampak gagasan-gagasan Islamisme dari Timur Tengah di Indonesia dan menguraikan aliran Islamisme kontemporer seperti Salafi dan Ikhwanul Muslimin di Indonesia yang menurutnya menerima dukungan dana signifikan dari Arab Saudi. Baginya, transmisi Islamisme dari Timur Tengah ke Indonesia didorong oleh banyaknya muslim Indonesia yang belajar di Timur Tengah, dan banyaknya donor dari Timur Tengah (pemerintah, pribadi, organisasi amal) yang menyalurkan bantuannya ke Indonesia. Kelompok-kelompok salafi di Indonesia mempunyai semua persamaan karakter seperti yang dimiliki salafisme kontemporer di Timur Tengah. Mereka berupaya mencerabut praktik Islam dari kebudayaan lokal Indonesia. Buku kesembilan ditulis oleh Masdar Hilmy yang berjudul Teologi Perlawanan: Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru (2009). Buku yang juga berasal dari disertasi penulisnya ini membahas gerakan kaum Islamis yang secara umum menerapkan ideologi Salafisme yang mengajarkan kembali kepada al-Quran, Sunnah, dan Syari’ah serta menolak tafsirtafsir yang telah ditulis oleh para ulama sebagai bagian integral dari tradisi pemahaman keagamaan dalam Islam. Kaum Islamis tidak ragu-ragu menganggap para salaf al-salih sebagai cetak biru normatif bagi keimanan dan tindakan mereka di masa-masa mendatang. Islamisme terbentuk sebagai retakan dari garis Salafi modern yang dipelopori tiga orang ideolog: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Ridha. Musuh kaum Islamis ialah sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
23
Beberapa buku yang lain lebih banyak membahas sisi radikal dari gerakan Salafi. Salah satunya karya Fathurin Zen yang berjudul Radikalisme Retoris (2012) dimana ia mengkategorisasikan enam kelompok Islam radikal yaitu Darul Islam (DI)/Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujaidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal jama’ah (FKAWJ) dan Laskar Jihad, serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebagai kelompok Salafi dan mengidentikkan mereka dengan kekerasan dengan memperkecualikan HTI. Karya lainnya berjudul Terorisme: Tinjauan Psikopolitis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamaan Nasional (2010) yang ditulis oleh Sukawarsini Djelantik. Buku ini lebih banyak membahas gerakan-gerakan Islam yang terlibat terorisme baik di Indonesia maupun dunia. Komunitas Salafi yang tergabung dalam Laskar Jihad bekerjasama dengan Jama’ah As-Sunnah (JA) yang berbasis di Masjid as-Sunnah di Bandung, bersama-sama dengan MMI, Jama’ah Islamiyah (JI), Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN), dan Jamaah Tauhid wal Jihad melakukan aksi-aksi terorisme dan kekerasan. JA dan Laskar Jihad mempersiapkan anggota-anggota mereka untuk dikirim ke Ambon. Selain itu, seorang Bassam Tibi juga pernah menulis tentang Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (2000), kemudian beberapa tulisan Khaled Abou el-Fadl yang secara tajam menyoroti dan mengkritik habis Salafi-Wahabi di antaranya berjudul Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (2005), Islam dan Tantangan Demokrasi (2004), Melawan “Tentara Tuhan”: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam (2003), dan Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (2004). Tulisan-tulisan
24
Abou el-Fadl sering dijadikan dasar perlawanan teks terhadap dan sebagai referensi penting tentang kritik atas Salafi-Wahabi. Ada pula buku nonfiksi yang ditulis dengan ketat oleh Lawrence Wright dengan judul Sejarah Teror: Jalan Panjang Menuju 11/9 (2011). Buku ini memotret secara lengkap tentang gerakan Islamis al-Qaeda dan Osama bin Laden serta langkah intelijen Barat dalam menghadapi terorisme. Sedangkan beberapa buku lain tentang Salafi yang ditulis oleh para pengikut Salafi seperti di antaranya ditulis oleh Muhammad Abdul Hadi al-Mishri yang berjudul Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Pemahaman Ulama Salaf (1992). Kemudian buku berjudul Studi Dasar-dasar Manhaj Salaf (2002) disusun oleh Ala’ Bakar. Selain itu Abu Mujahid menulis buku pengantar penting tentang Salafi di tanah air yang berjudul Sejarah Salafi di Indonesia (2012). Ada pula buku tipis berjudul Ideologi dan Gerakan Dakwah Salafi-Wahabi (2011) yang ditulis oleh Abu Rokhmad yang mengungkapkan Salafi sebagai gerakan sosial-dakwah. Pada 2011 Syaikh Idahram (bukan nama sebenarnya) menulis trilogi data dan fakta penyimpangan sekte salafi-wahhabi yang sangat provokatif, yaitu: (1) Mereka Memalsukan Kitab-kitab karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Skete Salafi Wahabi; (2) Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya termasuk Para Ulama; dan (3) Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi. Pada 2013, Prof. Ali Jum’ah, mufti agung Mesir, menulis Menjawab Dakwah kaum ‘Salafi’: Jawaban Ilmiah terhadap Pemahaman dan Cara Dakwah kaum ‘Salafi-Wahabi’. Respons kritis terhadap trilogi tersebut, dua
25
penganut salafi telah memberikan jawaban ilmiah yakni ditulis oleh: AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram (2011), dan Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Salafi antara Tuduhan dan Kenyataan: Bantahan Ilmiah terhadap Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Karya ‘Syaikh’ Idahram” (2012). Sedangkan khusus kajian tentang gosip dan kaitannya dengannya infotainment dapat disebutkan beberapa di sini. Sedangkan beberapa kajian kritis tentang media televisi khususnya terhadap program infotainment telah banyak dilakukan, tetapi umumnya berkisar pada studi tentang teks program dengan topik-topik khusus, seperti etika jurnalisme infotainment, banalitas dalam infotainment, dan lain-lain. Di samping itu banyak pula yang menelaah tayangan infotainment sebagai bagian dari objek studi yang lebih luas, misalnya tentang program hiburan dan budaya massa. Beberapa kajian tentang gosip dan infotainment dengan studi khalayak yang pernah diterbitkan dua di antaranya dapat dikemukakan di sini: disertasi Hedi Pudjo Santosa yang telah diterbitkan dengan judul Menelisik Lika-liku Infotainment di Media Televisi membahas tentang konsumsi masyarakat di sebuah perumahan di Magelang atas pelbagai berita infotainment dan pola konsumsinya, mengorek proses simulasi dan tabloidisasi yang dilakukan oleh infotainment, dan menelisik potret kehidupan masyarakat di bawah serbuan komodifikasi informasi hiburan yang dilakukan televisi. Menurut Santosa (2011: 202) bahwa infotainment adalah anak dari mode informasi kapitalistik yang menonjolkan dominasi relasi komunikasi dan konsumsi. Infotainment berbeda dari informasi, jika yang pertama adalah berita
26
berbasis pada isu, sedangkan yang terakhir mendasarkan diri kepada fakta. Simulasi
dan
tabloidisasi
infotainment
berhasil
menjebak
penonton
menghilangkan batas antara realitas dan hiperrealitas. Dan terakhir , tulisan Vissia Ita Yulianto tentang “Consuming gossip: a re-domestication of Indonesian women” dalam buku Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Postauthoritarian Politics (2008) yang mengetengahkan tentang infotainment yang khas
Indonesia,
the
mediascape
of
infotainment,
tabloidisasi,
juga
membandingkan antara penonton pasif dan aktif, mengupas alasan para wanita Indonesia yang menyukai tontonan gosip infotainmen, serta membahas tayangantayangan gosip selebriti dan redomestikasi. Menurut Yulianto (2008: 130-131) bahwa karena berfokus pada topik-topik domestik, maka infotainment telah menjadi generasi kedua dari opera-opera sabun di Indonesia. Program-program infotainment berhubungan dengan opera-opera sabun sesuai dengan karakter, produksi, khalayak dan dampaknya. Infotainment Indonesia bagaimana pun mempunyai formatnya sendiri. Bukanlah model turunan Barat seperti opera-opera sabun atau berbagai pertunjukan permainan sebagaimana Who wants to be a Millionaire?, dimana program aktualnya dimodifikasi secara berbeda di berbagai Negara. Ia menegaskan bahwa dalam infotainment di Indonesia isi “gossip” telah menjadi mode mediasi utama dalam wilayah feminin, sehingga para khalayak tergerak untuk mencari berita selebriti temporer dari tayangan infotainment. Setidaknya dari beberapa buku dan hasil penelitian tentang Salafi sebagaimana disebutkan di atas, juga tentang sekadar contoh kajian tentang gosip infotainment yang pernah ada tersebut, belum terlihat pembahasan atau penelitian
27
yang mengarah kepada penelitian yang berfokus pada resepsi komunitas Salafi terhadap fenomena ghibah infotainment. Beberapa kajian yang dibahas seringkali masih memposisikan komunitas Salafi sebagai kelompok radikal, ekstremis, konservatif, dan intoleran, sehingga setiap pendekatan yang diterapkan pada kelompok Salafi selalu terbentur pada stigmatisasi yang terlanjur dibangun dan dikembangkan di kalangan para pengamat dan peneliti sendiri. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menimbang sikap kelompok Islamis ini dalam menghadapi dogma agama yang ketat dari manhaj Salaf dan realitas modernitas yang menantang mereka untuk menafsirkan ulang dan melakukan negosiasi dalam resepsi mereka terhadap fenomena ghibah infotainment. Memahami komunitas Salafi dengan perspektif cultural studies sama sekali berbeda dari perspektif politik, lebih khusus lagi perspektif “studi ketahanan nasional” seperti yang dilakukan oleh A.M. Hendropiyono. Penelitian ini juga akan berusaha memberikan jawaban dan tantangan epistemologis terhadap pandanganpandangan miring tentang komunitas Salafi selama ini.
1.6. Kerangka Teoretik Penelitian ini berfokus pada komunitas Salafi, yakni menelisik resepsi Salafi sebagai khalayak sekaligus konsumen terhadap berita-berita infotainment dan ghibah tentangnya, dan gaya subkultur Salafi dalam memaknai ulang eksistensi diri mereka di antara dogma agama yang ketat (manhaj Salaf) dengan realitas modernitas. Penelitian ini menelisik gaya subkultur khalayak dalam merespons ghibah infotainment di tengah sikap dan pandangan keagamaan yang
28
serba dogmatis. Dalam kaitan respons komunitas Salafi terhadap fenomena ghibah infotainment perlu dijelaskan bahwa khalayak bersifat aktif dan mempunyai posisi independen dalam memproduksi makna terhadap tayangan televisi yang mereka terima. Meskipun seperti diakui oleh Baran dan Davis (2009: 244) sendiri bahwa khalayak aktif masih dapat disesatkan oleh tayangan media yang dibuat dengan buruk atau tidak akurat. Dalam pemaparan tentang fenomena ghibah infotainment dalam komunitas Salafi dan relasi diskursus yang melingkupinya, setidaknya perlu dijelaskan lima konsep penting yang terkait dengannya, yaitu: (1) subkultur; (2) resepsi; (3) kontestasi; (6) negosiasi (identitas); dan (5) teori pergerakan Islamisme.
1.6.1. Subkultur Dalam pandangan Dick Hebdige (1999: 15-38), kata “subkultur” itu sarat misteri, karena mengesankan kerahasiaan dan dunia bawah. Makna subkultur sebenarnya ditentukan oleh berbagai definisi yang saling bertentangan tentang gaya, karena di balik gaya sebenarnya tersirat sinyal penolakan, melawan yang alami, memotong proses pewajaran, menyerang mayoritas diam, menyanggah prinsip kesatuan dan keterpaduan, serta menentang mitos konsensus. Dan lagi, makna subkultur dengan demikian sebenarnya lebih jelas daripada makna kultur yang selama berabad-abad pemakaiannya selalu tampak tidak ajeg. Pada gilirannya, keberadaan subkultur ini dapat menarik anggota baru dan menciptakan
29
kepanikan moral.3 Hebdige (1999: 263) juga menafsirkan subkultur sebagai bentuk resistensi di mana kontradiksi yang dialami maupun penolakan terhadap ideologi yang berkuasa secara tak langsung dipresentasikan lewat gaya. Teori Hebdige tersebut selaras dengan penegasan Hartley (2010: 293) yang
memaknai
subkultur
sebagai
sekelompok
individu
yang
berbagi
kepentingan, ideologi, dan praktik tertentu di mana kelompok tersebut dipahami dalam cara mereka membentuk identitas dan menjadi oposisi terhadap budaya dominan atau “orang tua” dengan cara yang paling nampak yaitu melalui gaya. Selain itu, konsumsi juga identik dengan komunitas subkultur, karena mereka dapat berkomunikasi melalui tindakan konsumsi yang sama dan dapat menyatukan mereka. Menurut Storey (2006: 152) bahwa konsumsi subkultural mengekspresikan konsumsi pada tahap yang paling diskriminatif. Kelompok subkultur dapat mengkonstruksi makna-makna oposisional dengan proses “perakitan”, yaitu bahwa mereka mengambil berbagai komoditas yang tujuan dan maknanya dibentuk oleh subkultur itu sendiri. Merujuk pada konsep Hebdige, Hartley dan Storey, maka komunitas Salafi dapat dikatakan sebagai kelompok subkultur dengan beberapa penekanan gaya dan identitas yang mereka tampilkan. Mengenakan pakaian serba gelap atau cenderung menghindari warna yang mencolok, kemudian memelihara jenggot dan celana congklang di atas mata kaki bagi kaum pria, serta cadar dan jilbab besar bagi kaum wanita, sebenarnya cukup menunjukkan bagaimana gaya subkultur itu dipelihara sedemikian ketat dan konsisten. Pemeliharaan gaya yang demikian itu 3 Istilah “kepanikan moral” didefinisikan oleh Hartley (2010: 145) sebagai suatu deskripsi atas kecemasan publik tentang penyimpangan kesadaran atau perlakuan dalam budaya itu sendiri yang diajarkan untuk menantang norma, nilai dan kepentingan umum masyarakat yang berlaku
30
sebenarnya menyiratkan sinyal perlawanan dan pewajaran terhadap komunitas Muslim kebanyakan. Komunitas Salafi tetap terjaga dalam keadaan yang sarat misteri disebabkan konsistensi mereka yang berhasil membungkus makna gaya dan identitas mereka di tengah konsensus tentang kehidupan yang serba alami dan pergaulan sosial yang semestinya. Dengan demikian, representasi gaya dan identitas subkultur Salafi sebagaimana yang selama ini mereka tampilkan telah menjadi derau dan sekaligus bentuk resistensi bagi mayoritas Muslim di luar kelompok mereka. Lagipula, subkultur Salafi tidak diragukan lagi menunjukkan keberhasilan mereka dalam merekrut dan memperbanyak anggota mereka, sehingga realitas tersebut melahirkan kepanikan moral bagi mayoritas Muslim di luar kelompok mereka. Sebagai Islam subkultur, komunitas Salafi jelas mempunyai kepentingan dalam gerakannya, yaitu memperluas dakwah manhaj Salafi di tengah-tengah mayoritas Muslim lainnya serta tentu saja memperjelas ideologi mereka dengan menunjukkan dan mengikuti praktik-praktik keagamaan yang diajarkan oleh para Salafus Salih. Yang menarik adalah bahwa komunitas Salafi yang sebenarnya berasal dan berlatar belakang dari mayoritas Islam kebanyakan, kemudian menunjukkan sikap oposisi terhadap budaya dominan yang terdapat di sekitar mereka dan pada kenyataannya tidak sedikit dari para pengikutnya yang benar-benar berbeda dan telah membedakan diri mereka dengan para pendahulu mereka dari basis organisasi yang lama ataupun dengan orang tua mereka sendiri. Gaya subkultur Salafi tidak berhenti di situ, mereka juga dapat memanfaatkan komoditas berupa barang atau pun kain untuk kepentingan mereka. Kain yang memiliki makna yang umum dan dijual bebas di pasaran telah didekap
31
dalam “perakitan”, dipola menjadi jilbab besar, cadar, dan celana congklang sedemikian rupa demi mewujudkan tujuan dan maknanya.
1.6.2. Resepsi Dalam beberapa konsep tentang kajian khalayak, secara kronologis, dapat ditelusuri mulai dari pendekatan pengkodean penafsiran model Stuart Hall, studi etnografis model David Morley dan Ien Ang, serta tawaran Pertti Alasuutari tentang “jalan ketiga” yakni pentingnya pemaduan teori kritis dengan analisis resepsi untuk membangun agenda penelitian yang menantang. Lebih jauh kajian resepsi telah bergeser pada pendekatan semiotika. Kajian resepsi dalam penelitian komunikasi massa dapat ditelusuri kemunculannya untuk kali pertama dalam tulisan Stuart Hall (1974) yang berjudul “Encoding/Decoding in Television Discourse”, meskipun terdapat akar sejarah lainnya. Tulisan ini merupakan versi pertama dalam bentuk Makalah Stensilan, No. 7 dalam Seri Media Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS). Pada 2005 diterbitkan kembali dalam bentuk intisari editan oleh Routledge dan CCCS dengan judul “Encoding/Decoding”. Hall (2005: 125-127) mengidentifikasi posisi-posisi hipotesis, atau dalam istilah Alasuutari (1999: 4) empat kode “tipeideal”, yang darinya dekoding atas diskursus televisi oleh khalayak dapat dikonstruksi: (1) kode hegemonik-dominan dimana khalayak mengambil makna yang terkonotasikan dari siaran program televisi dan mendekode pesannya dari sudut pandang kode rujukan yang telah dienkodekan; (2) kode profesional dimana para penyiar profesional mengambil posisi ini ketika mengenkode suatu pesan
32
yang telah ditandai dengan cara yang hegemonik; (3) kode yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur yang bersifat adaptif dan oposisional; dan (4) kode oposisional merupakan posisi dimana khalayak memahami secara sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara keseluruhan. Model encoding/decoding yang digagas oleh Hall melahirkan berbagai kajian resepsi terhadap berbagai program televisi dengan khalayak yang berbedabeda, salah satunya telah dilakukan oleh seorang siswa dan kolega Hall yaitu David Morley yang menerbitkan salah satu dari studi mendetail yang mengaplikasikan dan mengembangkan ide Hall tentang empat kode tersebut dalam The Nationwide Audience (1980) yang menampilkan model bagi analisis resepsi. Morley (1999: 159-161) mengumpulkan 29 kelompok—masing-masing kelompok terdiri dari 5 sampai 10 orang—berasal dari berbagai kalangan masyarakat Inggris baik manajer bisnis, serikat pedagang atau pun anak magang. Kelompok tersebut diminta melihat sampai akhir sebuah episode Nationwide, program berita televisi Inggris yang menilai konsekuensi ekonomi terhadap tiga keluarga atas anggaran tahunan pemerintah. Nationwide sebagai program yang rutin menawarkan penjelasan status quo terhadap isu-isu sosial yang menarik bagi khalayak kelas menengah-bawah. Kemudian mereka mendiskusikan dan memberikan penafsiran masing-masing. Morley (1999: 268) menempatkan mereka ke dalam tiga kategori penafsiran: (1) dominan, dimana kelompok atas dari manajer bisnis menganggap program tersebut hanya hiburan belaka, dan tidak memprotes pandangan program itu; (2) negosiasi, dimana sekelompok calon guru
33
dan mahasiswa seni liberal, sebagian besar menawarkan penafsiran ini; dan (3) oposisi, dimana sekelompok penjaga toko dari serikat buruh menyukai format acaranya, tetapi menolak pesannya yang gagal menunjukkan isu ekonomi yang mendasar. Morley (1992: 81-82) perlu membagi dan mengkategorikan berbagai variasi individu yang banyak sekali tentang respons khalayak terhadap pesan media untuk mencapai sebuah perspektif sosial mengenai proses komunikasi massa. Morley mengacu pada teori Frank Parkin tentang cara dimana berbagai anggota klas sosial yang berbeda dalam masyarakat dapat diharapkan mendiami apa yang disebut Parkin “sistem-makna” yang berbeda atau kerangka-kerangka ideologis: (1) the dominant value-system; sumber sosial dari tatanan institusional utama, inilah kerangka moral yang mempromosikan dorongan ketidaksamaan hidup, dalam term yang berbeda; (2) the subordinate value-system, sumber sosial dari komunitas klas pekerja-lokal, kerangka ini mempromosikan berbagai respons akomodatif terhadap fakta-fakta ketidaksamaan dan status rendah; (3) the radical value-system, sumber sosial dari partai politik massa berdasar klas pekerja, kerangka
ini
mempromosikan
sebuah
penafsiran
oposisional
tentang
ketidaksamaan klas. Mengikuti tetapi juga mengadaptasi Parkin, Morley mengangkat tiga posisi dimana anggota dari klas yang berbeda dapat mendekode pesan media: (1) the dominant code; (2) a ‘negotiated’ decoding; (3) an ‘oppositional’ way. Dalam memahami khalayak televisi, Ien Ang (1996: 113-114) menganalisis surat para penonton televisi tentang opera sabun Amerika Serikat
34
yang terkenal yakni “Dallas”. Upaya ini untuk menyelidiki bagaimana khalayak menafsirkan sebuah teks televisi popular dalam konteks “Amerikanisasi” penyiaran publik Eropa. Dalam menunjukkan bagaimana penggemar “Dallas” dibungkam dan dengan demikian dilemahkan oleh sebuah wacana resmi yang dominan yang tegas menolak program-program seperti “budaya massa yang buruk”, Ang ingin memisahkan konflasi antara logika komersial dan kesenangan populer. Ang ingin membuka kemungkinan dari pemikiran yang kurang deterministik tentang masalah ini, yaitu sikap politik terhadap meningkatnya komersialisasi penyiaran di tingkat kebijakan tidak harus menghalangi pengakuan, pada level kultural. Ang membayangkan bahwa karyanya itu menjadi suatu bentuk kritik budaya yang bertujuan mengguncang pandangan umum, pandangan yang kontraproduktif terhadap televisi popular dan khalayaknya. Kajian terkenal Ang tentang Dallas dan pemirsanya dilakukan pada penonton perempuan di Belanda. Ia melakukan analisis “simptomatik” (yakni mencari sikap-sikap yang berada di balik teks) atas surat-surat mengenai pengalaman menonton opera sabun AS itu yang ditulis padanya. Ang (Dallas, 1985: 10) memasang iklan kecil di Viva, majalah wanita Belanda, Saya suka menonton serial TV Dallas, tetapi seringkali mendapatkan berbagai reaksi yang janggal terhadapnya. Apakah ada yang mau menulis dan menceritakan kepada saya mengapa Anda suka menontonnya juga, ataukah tidak menyukainya? Saya akan mengasimilasikan berbagai reaksi tersebut dalam tesis universitas saya. Silakan menulis ke... (Ang, 1985: 10). Dari iklannya itu, Ang mendapatkan 24 surat balasan baik dari pengirim laki-laki maupun perempuan. Ang memulai dengan mengeksplorasi tarik-menarik antara gagasan tentang khalayak aktif dengan potensi penstrukturan makna oleh
35
teks. Argumen utama Ang adalah bahwa penonton Dallas secara aktif terlibat dalam produksi makna dan kesenangan, yang termanifestasikan dalam banyak hal yang tidak bisa direduksi ke dalam struktur teks, “efek ideologis”, ataupun proyek politik. Bagi Ang (1985: 6), fiksi adalah suatu cara menikmati pengalaman kekinian dan melibatkan permainan perasaan yang bergerak bolak-balik antara keterlibatan dan mengambil jarak, penerimaan dan protes. Ini juga merupakan pengalaman yang dimediasi oleh “ideologi budaya massa” yang menempatkan Dallas dalam posisi inferior terhadap aktivitas-aktivitas kultural lain. In imembuat para penonton mengambil beberapa posisi menonton yang berbeda: (1) ada yang merasa bersalah karena menonton Dallas; (2) ada yang mengadopsi pendirian yang ironis untuk meringankan kontradiksi antara menyukai Dallas dan melihatnya sebagai “sampah”; (3) ada kelompok yang mengatakan bahwa boleh saja menonton program itu asalkan Anda “sadar akan bahayanya”; dan (4) ada yang dipengaruhi oleh ideologi populisme, membela diri dengan mengatakan bahwa mereka berhak untuk memiliki selera kultural mana pun yang mereka inginkan (Barker, 2000: 330). Ahli sosiologi Pertti Alasuutari (1999) berpendapat bahwa penelitian resepsi telah memasuki tahapan ketiga. Tahapan pertama berkutat pada pendekatan pengodean penafsiran ala Stuart Hall. Tahap kedua didominasi oleh studi etnografi yang dipelopori David Morley dan Ien Ang. Alasuutari (1999: 6-7) menjelaskan: Generasi ketiga memunculkan sebuah kerangka luas yang mana orang membentuk dan menggunakan media. Seseorang tidak perlu mengabaikan studi kasus etnografis terhadap khalayak atau analisis program individu, tetapi fokus utamanya tidak terbatas hanya
36
mencari tahu mengenai resepsi atau “pemaknaan” dari sebuah program oleh khalayak tertentu. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk memahami “budaya media” kontemporer, terutama yang terlihat dalam peranan media sehari-hari, baik sebagai topik dan sebuah aktivitas yang dibentuk dan membentuk wacana ketika hal ini didiskusikan… Gambaran besarnya yang harus disoroti, atau pertanyaan besar yang harus dikejar, adalah tempat kebudayaan dan media di dunia kontemporer. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan mengenai makna dan penggunaan program tertentu oleh sekelompok orang tertentu, tetapi juga termasuk pertanyaan mengenai kerangka di mana kita memahami media dan isinya sebagai sebuah realitas dan perwakilan—atau penyimpangan—dari realitas… Program penelitian besar juga termasuk mempertanyakan peranan dari penelitian media itu sendiri. Tahapan
atau
generasi
ketiga
mewakili
sebuah
upaya
untuk
menggabungkan bahasan teori kritis dengan analisis resepsi untuk membangun sebuah agenda penelitian yang menantang. Perwujudan terakhir dari studi resepsi ada dalam semiotic disobedience, ketidakpatuhan semiotika (Baran dan Davis, 2009: 260). Berdasarkan pada model Hall, Morley, dan Ang, analisis resepsi dapat diterapkan pada komunitas Salafi dalam sikap dan perilaku mereka terhadap tayangan infotainment dan praktik ghibah tentangnya. Dalam penelitian ini dapat dipaparkan suatu kategorisasi berdasarkan resepsi komunitas Salafi terhadap fenomena ghibah infotainment, yaitu bahwa mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu mutasyaddid, mutawassith dan mutasahhil, berdasarkan parameter yang dibangun yang meliputi: (1) sikap intoleransi mereka terhadap tayangan dan ghibah infotainment; (2) sikap toleransi mereka yang bersyarat; dan (3) sikap toleransi mereka yang mengembalikan sepenuhnya tanggung jawab pada khalayak masing-masing.
37
1.6.3. Kontestasi Dalam pemahaman yang bersifat tunggal dapat melahirkan penafsiran serupa atau semakna, sebaliknya dalam keserbaragaman makna yang meliputi pemahaman yang berbeda-beda atas suatu dogma agama misalnya, niscaya dapat melahirkan perspektif yang berbeda-beda pula. Komitmen komunitas Salafi untuk berpegang teguh pada dogma agama berdasarkan manhaj Salaf dipahami sebagai pemahaman yang seragam, tetapi maknanya dapat menjadi serba ragam bilamana terjadi kontestasi antara persepsi individu dan penafsirannya di satu sisi dengan dogmatisme agama dan para mufti sebagai pemegang otoritas di lain sisi. Realitas keserbaragaman tersebut melahirkan kontestasi makna dan multitafsir dalam komunitas Salafi itu sendiri. Mengacu pada pandangan David L. Vancil dalam Rhetoric and Argumentation (1993: 70-82) bahwa kontestasi dapat diartikan sebagai pertentangan antara berbagai pihak sehingga menimbulkan clash of argument, di mana di dalamnya terdapat pertukaran yang saling bersaing tentang nilai, fakta dan kebijakan atas masalah tertentu yang memotivasi berbagai tindakan tertentu pula. Sehingga kontestasi menampakkan pelbagai masalah dari banyak perspektif yang berbeda dan saling bersaing. Dalam kontestasi, pertama, dapat ditelisik tentang cara bagaimana seseorang menggunakan kata-kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada dalam pemikiran mereka. Kedua, mencakup pihakpihak pro dan kontra. Ketiga, mengidentifikasi sebab-sebab kontroversi yang berguna untuk memperdalam dan mempertajam pelbagai motif. Keempat, mencermati dan mempertimbangkan karakteristik serta sejarah keyakinan, nilai,
38
dan kebijakan yang ada dan yang ditawarkan dalam kontestasi itu. Dalam kontestasi makna, maka setiap pernyataan verbal menunjukkan kondisi yang saling bersaing dalam pergumulan antarbudaya. Dalam hal ini nanti dapat dilihat posisi ulama Salafi sebagai kuasa doktriner menjadi poros produsen fatwa yang wajib dipatuhi oleh komunitas Salafi, meskipun dalam praktiknya, pertentangan kredo Salafi dengan fakta reproduksi makna subyektivitas menjadi tak terbantahkan, terutama ketika dihadapkan pada konteks konsumsi media dan ghibah infotainment.
1.6.4. Negosiasi (Identitas) Dalam praktik pergumulan sosial, komunitas Salafi juga mengalami gesekan atau benturan dalam pergaulan antar budaya, politik, dan ideologi Islam lainnya, sehingga mendorong mereka untuk melakukan negosiasi identitas dengan yang lain. Penampilan mereka yang khas dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain di luar kelompok mereka sebagai unsur pembeda. Penampilan komunitas Salafi memang berbeda dari umat Islam pada umumnya, meskipun ada juga beberapa kelompok muslim yang juga berpenampilan serupa. Akan selalu ada suatu benturan atau penyimpangan politik dalam pergumulan wacana ataupun budaya yang seringkali saling bergesekan dalam realitasnya, dalam konteks ini, baik yang dilakukan oleh kelompok Salafi atau pun masyarakat Islam pada umumnya. Penyimpangan yang seharusnya dapat diatasi dengan pendekatan negosiasi untuk sebuah perubahan, pada faktanya, terbentur oleh dinding kepentingan yang tebal, sehingga individu-individu terpaksa harus
39
memilih
antara
merapatkan
diri
dalam
satu
komunitas
tertentu
atau
meninggalkannya dan beralih kepada komunitas lainnya. Filsuf Prancis, Gilles Deleuze dalam Negotiations (1995: 127) mengingatkan bahwa dalam negosiasi, antara merangkul suatu gerakan atau pun menolaknya, secara politik adalah dua metode negosiasi yang sama sekali berbeda. Kenyataan ini dapat menyibak selubung identitas yang tak pernah lepas dari dua pilihan tersebut, setidaknya disebabkan oleh fenomena sosial dari dialektika yang terus berjalan. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann membahas masalah teori identitas dalam The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966). Mereka menegaskan bahwa teori-teori tentang identitas sebagai suatu fenomena sosial. Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam penafsiran yang lebih umum tentang realitas. Identitas akan tetap tak bisa dipahami kecuali jika ia berlokasi dalam suatu dunia. Karenanya, setiap kegiatan berteori tentang identitas—dan tentang tipe-tipe identitas tertentu—harus dilakukan di dalam kerangka berbagai tafsiran teoretis di mana identitas dan tipetipe identitas itu berada (Berger dan Luckmann, 1966: 194-195). Identitas, dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif dan, sebagaimana semua kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial (Berger dan Luckmann, 1966: 194). Marc Howard Ross dalam Cultural Contestation in Ethnic Conflict (2007) menjelaskan bahwa identitas budaya, seperti etnis, menghubungkan individu
40
melalui pengalaman masa lalu yang sama yang dirasakan dan harapan akan masa depan yang sama. Dalam menghubungkan orang di seluruh waktu dan ruang, identitas mendefinisikan dan memperkuat kategori sosial yang mengatur sebuah kesepakatan perilaku yang baik. Orang-orang berbagi identitas kelompok dan memiliki perasaan senasib termasuk soal harapan atas perlakuan umum, ketakutan bersama atas kelangsungan hidup atau kepunahan, serta keyakinan tentang nilai kelompok, martabat, dan pengakuan. Identitas melibatkan penilaian kelompok serta penilaian tentang berbagai kelompok dan motif mereka (Ross, 2007: 22). Menurut Stella Ting-Toomey dalam Communicating Across Cultures (1999), teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi-diri reflektif dilihat sebagai mekanisme penjelas bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dilihat sebagai citra-diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh individu-individu dalam suatu kebudayaan dan khususnya dalam situasi interaksi. Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional dengan jalan mana individu-individu dalam suatu situasi antarbudaya berusaha untuk menegaskan, menetapkan, memodifikasi, menantang, dan/atau mendukung citra-diri yang diinginkan oleh mereka dan yang lainnya. Dengan demikian, negosiasi identitas adalah, minimum, a mutual communication activity. Individu-individu berusaha untuk membangkitkan identitas yang mereka inginkan dalam interaksi, mereka juga berusaha untuk menantang atau mendukung identitas yang lain (Ting-Toomey, 1999: 39-40). Ting-Toomey (1999: 40-41) menjabarkan sepuluh asumsi teoretis inti dari teori negosiasi identitas yang menjelaskan proses dan komponen-komponen hasil
41
komunikasi antarbudaya, yaitu: (1) dinamika utama dari identitas keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok dan identitas pribadi terbentuk melalui komunikasi simbolik dengan orang lainnya; (2) orang-orang dalam semua budaya atau kelompok etnis memiliki kebutuhan dasar akan motivasi untuk memperoleh kenyamanan identitas, kepercayaan, keterlibatan, koneksi dan stabilitas baik level identitas berdasarkan individu maupun kelompok; (3) setiap orang akan cenderung mengalami kenyamanan identitas dalam suatu lingkungan budaya yang familiar baginya dan sebaliknya akan mengalami identitas yang rentan dalam suatu lingkungan yang baru; (4) setiap orang cenderung merasakan kepercayaan identitas ketika berkomunikasi dengan orang lain yang budayanya sama atau hampir sama dan sebaliknya kegoyahan identitas manakala berkomunikasi mengenai tema-tema yang terikat oleh regulasi budaya yang berbeda darinya; (5) seseorang akan cenderung merasa menjadi bagian dari kelompok bila identitas keanggotaan dari kelompok yang diharapkan memberi respon yang positif. Sebaliknya akan merasa berbeda atau asing saat identitas keanggotaan kelompok yang diinginkan memberi respons yang negatif; (6) seseorang akan mengharapkan koneksi antarpribadi melalui kedekatan relasi yang meaningful (misalnya dalam situasi yang mendukung persahabatan yang akrab) dan sebaliknya akan mengalami otonomi identitas saat mereka menghadapi relasi yang terpisah; (7) orang akan memperoleh kestabilan identitas dalam situasi budaya yang dapat diprediksi dan akan menemukan perubahan identitas atau goncang dalam situasisituasi budaya yang tidak diprediksi sebelumnya; (8) dimensi budaya, personal dan keragaman situasi mempengaruhi makna, interpretasi, dan penilaian terhadap
42
tema-tema atau isu-isu identitas tersebut; (9) kepuasan hasil dari negosiasi identitas meliputi rasa dimengerti, dihargai dan didukung; dan (10) komunikasi antarbudaya yang mindful menekankan pentingnya pengintegrasian pengetahuan antarbudaya, motivasi, dan ketrampilan untuk dapat berkomunikasi dengan memuaskan, tepat, dan efektif. Konsep yang dikemukakan oleh Stella Ting-Toomey tersebut dapat digunakan untuk mengeksplorasi dinamika sosial yang terjadi di kalangan Salafi yang meliputi komunikasi simbolik, kestabilan identitas Salafi dalam situasi budaya Jawa dan keindonesiaan yang kerap bertabrakan dengan eksistensi dan dogma Salafi, serta gaya subkultur Salafi dalam mengomunikasikan pandangan dogmatis mereka yang ketat dalam komunikasi antarbudaya Islam yang majemuk.
1.6.5. Teori Aktivisme Islamis Di muka telah disinggung stigma atas kelompok Islamis sebagai gerakan radikal, yang sebenarnya perlu dibedakan antara radikalisme agama yang niscaya konservatif dengan konservatisme agama yang tidak selalu identik dengan sikap radikal. Konsep Islamisme yang diterapkan pada komunitas Salafi dapat dipahami dalam batas tertentu dengan mempertimbangkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa analis berikut ini, selebihnya konsep tersebut perlu ditinjau ulang berdasarkan realitas Salafi yang pada kenyataannya tidak tunggal, bukan gerakan radikal yang dapat digeneralisir pada semua kelompok Salafi. Sebagai bagian dari representasi pergerakan kelompok Islamis, Islam radikal melakukan mobilisasi massa untuk merespon sikap Barat yang cenderung
43
merugikan Islam dan terhadap setiap proses westernisasi di segala bidang kehidupan, termasuk juga dalam kaitannya dengan budaya. Seperti dikemukakan Wiktorowicz (2004: 5-7), dalam buku Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, menunjukkan bahwa aktivisme Islamis merupakan respon terhadap imperalisme budaya Barat yang mekar di dunia Islam dengan sokongan kekuatan politik internasional, ekonomi, dan instrumen militer. Inilah yang menjadi salah satu penyebab dari munculnya gerakan Islamis yang melakukan counter culture terhadap dominasi Barat. Untuk lebih memperjelas makna Islamisme, Peter R. Demant dalam karyanya, Islam vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World (2006), ia mendefinisikan Islamisme sebagai suatu politisasi agama yang ambisius yang meliputi: (1) ideologi, menuntut keterlibatan total yang mengubah orang beriman menjadi militan, menjadi idealis sejati, dan harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi, seperti tekad jihadis Muslim yang mencintai kematian sebagai orang lain mencintai kehidupan; (2) gerakan sosial, perkaderan secara organisasi, ulama, dan intelektual berjalan terus dan bahkan berpengaruh dalam gelombang pergerakan Islamisme di dunia; dan (3) tribalisme, Islamisme merekrut di antara populasi suku dan marjinal untuk kepentingan mereka, menyangga kelompok atau etnis untuk sebuah cita-cita perjuangan di sebuah negara. Demant (2006: 181) juga menegaskan bahwa Islamism, like other fundamentalisms, is a reaction against modernity produced by modernity, during modern times, using modern means, and
irreversibly
partaking
of
modernity
(Islamisme,
sebagaimana
fundamentalisme lainnya, adalah reaksi terhadap modernitas yang dihasilkan oleh
44
modernitas, selama masa modern, menggunakan alat modern, ambil bagian dari modernitas secara tak terubah). Islamisme adalah reaksi antimodern yang dimiliki modernitas, sebuah paradoks yang terlihat pada organisasi, operasi, dan propaganda mereka. Gerakan Islamis adalah gerakan sosial modern yang benarbenar berbeda dari masyarakat Muslim tradisional. Kaum Islamis bercita-cita untuk suatu tujuan, karenanya mereka harus berorganisasi, sehingga tidak bisa menolak modernitas. Kaum Islamis menggunakan teknologi hasil modernitas, tetapi anehnya menolak berbagai alasannya (Demant, 2006: 187). Islamisme sebenarnya bercita-cita untuk mengubah masyarakat, dan akan meniru masyarakat asli yang berbudi mulia yang terdapat pada masa Nabi Muhammad saw di era Muslim awal, masa Salafus Salih. Demant (178-179) merinci sembilan prinsip yang melekat pada diri Islamis, meskipun sebagian diakuinya juga terdapat pada sebagian Muslim yang non-Islamisme. Pertama, manusia bukanlah tuan bagi diri mereka sendiri tetapi berhutang ketaatan dan ibadah kepada Pencipta mereka yang berkuasa dan yang mengkomunikasikan kehendak-Nya melalui para nabi, di antaranya Muhammad adalah yang terakhir. Kedua, bentuk pemerintahan yang ideal adalah negara Islam, meskipun ada banyak konsensus di antara kelompok Islamis tentang pemerintahnya daripada tentang ruang lingkupnya. Bagi sebagian kelompok Islamis, negara mana saja akan melakukan selama ia terislamkan; bagi yang lain, kaum muslim yang taat mungkin atau seharusnya membentuk suatu negara Islam baru di mana pun mereka mempunyai kesempatan untuk itu; bagi kelompok yang paling radikal, semua negara yang ada dan batas-batasnya adalah tidak sah, dan
45
karena itu negara Islam seharusnya termasuk keseluruhan Dar al-Islam, dan akhirnya seluruh dunia. Ketiga, Pemerintah harus dengan contoh Islam yang akan memiliki kebenaran mutlak Islam dan supremasi aksiomatik sebagai titik awal dan akan, atas nama umat, menyuruh menghormati aturan-aturan Islam. Perbedaan ada sebagai modalitas: banyak kelompok fundamentalis Sunni ingin memerintah dengan (atau dipandu oleh) ulama, yang lain sebuah emirat atau khalifah baru, kelompok Islamis Syiah Islam juga terbagi, tidak semua menerima aturan para mulla atau faqih. Meskipun negara Islam tidak memiliki konsep Barat tentang kewarganegaraan atau demokrasi, beberapa arus mengidentifikasi syura dengan demokrasi dan harus dalam praktek jika tidak dalam teori harus mulai menerima aturan-aturan demokrasi pluralistik. Keempat, pemisahan masyarakat (sosial) dari lingkungan pribadi (keluarga), yang pertama adalah medan laki-laki dan yang kedua bahwa perempuan, yang disubordinasikan laki-laki. Tujuannya adalah untuk menjaga setiap jenis kelamin di lingkungan alamiahnya di mana masingmasing dapat memberikan kontribusi yang terbaik bagi masyarakat Islam. Ada banyak pemisahan antara kedua jenis kelamin tersebut dibandingkan dengan yang ada dalam masyarakat Barat, sering dengan kode-kode perilaku dan pakaian tertentu, selain larangan terhadap alkohol dan berbagai bentuk “korupsi.” Kelima, Tujuan dari negara Islam adalah untuk merangsang dan memfasilitasi gaya hidup beragama bagi semua umat Islam dan dengan demikian mengoptimalkan peluang mereka untuk keselamatan. Oleh karena itu negara akan mempertahankan kerangka ritual Islam dan doa publik serta menjamin pendidikan agama. Keenam, Ekonomi Islam masih kontroversial tetapi, minimal, mencakup sistem perbankan
46
yang bebas bunga. Bagi sebagian besar Muslim, Islam mengakui hak milik pribadi tetapi memerintahkan solidaritas (misalnya, melalui zakat) terhadap kaum yang lemah: janda, anak yatim, orang sakit dan cacat, orang miskin. Kesenjangan antara teori dan praktek cukup besar di sini. Ketujuh, taghallub, keunggulan umat Islam atas subyek-subyek yang lain, harus dipertahankan. Meskipun posisi nonMuslim harus kalah dengan kaum beriman, ada perbedaan pendapat, baik dalam hal Kristen dan Yahudi (yang paling ekstrim menuntut kembalinya status dhimmi) dan dalam kaitannya dengan musyrik. Kedelapan, penerapan hukuman Al-Qur'an (hadd) karena pemberontakan tertentu. Dan kesembilan, karena Islam secara universal valid, tatanan internasional Islam di bawah pemerintahan Allah harus dipromosikan. Tatanan ini didasarkan pada antagonisme abadi antara wilayah Islam (Dar al-Islam) dan seluruh dunia (yaitu, wilayah perang, Dar al-Harb), sampai kemenangan akhir Islam. Akibatnya, kelompok Islamis setidaknya dalam teori menyangkal legitimasi negara-bangsa dan tatanan internasional saat ini berdasarkan
pada
mereka.
Kebanyakan
kelompok
Islamis
menganggap
perjuangan untuk mengislamkan seluruh dunia sebagai jihad yang, dalam kondisi tertentu, mungkin termasuk penggunaan kekerasan. Ketidaksepakatan signifikan yang ada sebagai penerapan konsep umum ini. Yang paling radikal membayangkan perjuangan hidup dan mati melawan tatanan yang ada. Selain Demant, pandangan menarik tentang perbandingan filosofis antara Islam, Islamisme, modernitas, dan modernisme dipaparkan oleh Farhang Rajaee (2007: 5) dalam bukunya yang berjudul Islamism and Modernism: The Changing Discourse in Iran sebagai berikut:
47
Dasar Politik Dasar Ekonomi Dasar Budaya Tujuan
Islam Keyakinan dan Kebebasan Kecerdikan
Islamisme Ideologi
Modernitas Tanggung jawab dan Kebebasan Pengambilalihan Kecerdikan
Ketaatan yang berasalan Keselamatan
Ketaatan Absolut
Nalar
Homogenisasi
Emansipasi
Modernisme Kekuasaan
Eksploitasi Rasionalitas yang Berguna Keuntungan
Dasar budaya kelompok Islamis yang terletak pada “ketaatan absolut” itu sebenarnya selaras dengan sikap dogmatis komunitas Salafi yang tunduk dan patuh pada fatwa para mufti serta menjalani kehidupan berdasarkan pada manhaj Salaf. Sedangkan tentang apakah komunitas Salafi dapat diidentikkan dengan gearkan militan, dapat diukur dengan “parameter” yang dibangun oleh Frazer Egerton dalam bukunya, Jihad in the West: The Rise of Militant Salafism (2011: 27) yang menunjukkan bahwa Islamisme identik dengan gerakan militan, sehingga dapat disebut juga “Islamisme militan”. Kaum Islamis militan mengalami dua macam alienasi: (1) alienasi individu: keputusasaan dan ketidakpuasan, dan (2) alienasi struktural: kekurangan ekonomi dan pengucilan etnis. Islamisme tidak lain merupakan gerakan transnasionalisme, menyebar luas lewat media media sehingga memudahkan afinitas transnasional dapat berdiri dan terpelihara dengan mengambil banyak bentuk, salah satunya adalah jenis tertentu dari etnonasionalisme—nasionalisme tanpa batas. Setiap kaum Islamis dapat membayangkan diri mereka secara signifikan terkait dengan orang lain di dunia, bagi Islamisme militan yang global adalah lokal. Etnonasionalisme ini sangat kompleks, berskala besar, tindakan mereka sangat terkoordinasi, termobilisasi,
48
bergantung pada media, arus logistik, dan propaganda lintas batas Negara (Egerton, 2011: 67). Selain beberapa konsep di atas, pandangan berikut ini dapat memposisikan komunitas Salafi secara lebih proposional berkenaan dengan eksistensi pergerakan Islamisme. Salwa Ismail (2006: 1-2) menjelaskan dalam Rethinking Islamist Politics: Culture, the State and Islamism bahwa selama 1980-an dan 1990-an, gerakan dan ideologi Islamis muncul sebagai subjek penting dari investigasi ilmiah dalam bidang politik, sosiologi, antropologi, sejarah dan studi agama. Penelitian terhadap subjek tersebut tumbuh bersamaan dengan peristiwa seperti revolusi Iran (1978-1979), pembunuhan Presiden Sadat (1981), dan pengeboman World Trade Centre/WTC di Amerika Serikat (1993). Beberapa peristiwa itu, setidaknya, telah membentuk bagian dari fenomena diskursif yang membawa label “fundamentalisme Islam”, “revivalisme Islam” dan “Islamisme”—labellabel memperoleh kualifikasi “radikal”, “militan”, “konservatif” dan sebagainya. Label-label ini, kualifikasi dan klasifikasi telah dirancang untuk menjelaskan peristiwa spektakuler yang melibatkan kelompok dan individu yang meminta tanda-tanda dan simbol yang terkait dengan tradisi-tradisi Islam untuk membenarkan aktivitas mereka. Mereka dikembangkan dalam kerangka pemahaman tertentu dan dalam hubungannya dengan model penyelidikan sosial, politik, dan sejarah tertentu atas subjek kajian ini. Istilah “Islamisme” digunakan untuk mencakup baik politik Islam sebagaimana kata re-Islamisasi, proses dimana berbagai domain kehidupan sosial diinvestasikan dengan tanda dan simbol yang terkait dengan tradisi budaya Islam. Misalnya, mengenakan jilbab (kerudung),
49
konsumsi literatur dan berbagai komoditas keagamaan lainnya, publikasi simbol identitas agama, membingkai ulang kegiatan ekonomi dalam Islam. Dalam banyak literatur terakhir, reislamisasi dianggap lebih luas dan, dalam beberapa hal, berbeda dari “Islamisme”. Islamisme bukan hanya merupakan ekspresi sebuah proyek politik, tetapi juga mencakup seruan dengan merujuk pada Islam baik dalam bidang sosial ataupun budaya.
1.7. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berpijak pada perspektif emic membuka sebuah jalan utuk mendedah fenomena dengan memahami cara pandang pelaku atau pendukung peristiwa budaya. Penelitian ini melihat bagaimana komunitas Salafi meresepsi fenomena ghibah infotainment¸ sehingga dengan demikian khalayak dapat mengisahkan kembali apa yang mereka tonton sebagaimana mereka bertutur tentang permasalahan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penelitian ini menggunakan reception analysis didukung dengan
pendekatan
phenomenology
dalam
menelisik
misteri
subyektivitas/kedirian Salafi dalam mengonsumsi infotainment dan berghibah tentangnya. Ien Ang menekankan bahwa analisis resepsi berusaha melihat aktivitas menonton dan memaknai tontonan televisi sebagai kegiatan sehari-hari dengan asumsi bahwa cara khalayak mengonsumsi tayangan—infotainment— sebenarnya berbeda-beda (Downing, 1990: 155). Analisis resepsi memiliki beberapa kekuatan sebagaimana dipaparkan oleh Baran dan Davis (2009: 258) berikut ini: (1) memfokuskan perhatian pada
50
individu dalam proses komunikasi massa, (2) menghormati kecerdasan dan kemampuan dari para konsumen media , (3) mengakui berbagai makna dalam teks media, (4) mencari pemahaman mendalam tentang bagaimana orang menafsirkan isi media , dan (5) dapat memberikan analisis mendalam tentang cara media yang digunakan dalam konteks sosial sehari-hari. Santosa (2011: 43-44) mengemukakan bahwa analisis resepsi mempunyai perspektif yang berbeda dalam penempatan posisi penonton. Penonton tidak sekadar seorang konsumen (consumer) melainkan sekaligus produsen (producer). Penonton tidak sekedar menikmati acara televisi melainkan menjadi subyek yang secara aktif memproduksi pesan-pesan baru yang mewujud alam bentuk iconicon. Penonton dianggap sebagai sosok yang cerdas meresepsi pesan dan memaknainya, bahkan mempunyai mekanisme pertahanan diri dari serbuan media. Sedangkan fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati (Moustakas, 1994: 58-59). Dengan fenomenologi, bagi Schutz, peneliti dapat mengonstruksi makna-makna yang berada di luar arus utama pengalaman melalui proses tipifikasi. Hubunganhubungan makna diorganisir secara bersama, melalui stock of knowledge. Suatu kumpulan pengetahuan yang bersifat praktis dari dunia tempat individu tinggal, lebih dari sekadar pengetahuan tentang dunia (Audifax, 2008: 211). Thwaites, Davis & Mules (2009: 322) memaparkan karya David Morley tentang khalayak, Family Television, yang menurut mereka mampu menunjukkan bahwa khalayak bukanlah subjek pasif, yang tertipu oleh diskursus televisi,
51
bahkan laki-laki dan perempuan memiliki perhitungan sangat berbeda dalam memandang pengalaman, ini mengisyaratkan bahwa khalayak bukanlah kelompok homogen, melainkan terbentuk dari pelbagai jenis subjektivitas berbeda yang didasarkan pada gender dan nilai lainnya yang didefinisikan secara budaya. Livingstone (1990: 6) mengatakan bahwa televisi sebagai teks, dengan demikian apapun yang ditayangkan termasuk ghibah infotainment juga merupakan teks yang terbuka bagi para analis atau peneliti untuk dapat membaca pelbagai model pembacaan dari khalayak atau para penonton televisi. Teori resepsi berpendapat bahwa sebagai tindakan komunikatif, teks tidak dapat masuk akal secara independen dari pembaca yang menafsirkan, dan peran analis saat ini adalah untuk menjelaskan ‘model pembaca’ (Eco, 1979a) atau ‘pembaca tersirat’ (Iser, 1980) atau ‘cakrawala harapan’ (Jauss, 1982) yang diasumsikan oleh teks, dan untuk menentukan di mana dan bagaimana model pembaca (dan, idealnya, pembaca yang sesungguhnya) diperlukan untuk berkontribusi agar teks untuk terus bersama. ‘Penulis dengan demikian harus memperkirakan model dari pembaca yang mungkin (selanjutnya Model pembaca) dituntut mampu menangani secara interpretatif dengan ekspresi yang sama dalam cara yang sama selama penulis berhubungan secara generatif dengan mereka’ (Eco, 1979a, p. 7). Dengan cara ini, teks dapat mewakili strategi komunikatif (Livingstone, 1990: 39-40). Livingstone (1990) mengikuti pendapat Holub, bahwa resepsi khalayak beserta pemaknaan dan perilakunya terhadap teks infotainment dekat sekali dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi memungkinkan untuk menangkap struktur batin pelaku peristiwa (budaya). Fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang mencakup persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan hingga tindakan, termasuk tindakan sosial. Jadi fenomenologi dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menjalankan penyelidikan atas fenomena ghibah infotainment dalam komunitas Salafi
52
bersamaan dengan analisis resepsi yang dapat saling melengkapi. Dua metode yang dikombinasikan dari disiplin ilmu filsafat (fenomenologi) dan ilmu komunikasi
(analisis
resepsi).
Menurut
Stokes
(2003:
27-28)
bahwa
mengombinasikan metode-metode penelitian dalam lingkup kajian budaya dan media adalah sangat mungkin. Dengan melaksanakan dua metode penelitian atau lebih, peneliti dapat mencapai suatu pemahaman yang lebih lengkap mengenai objek analisisnya. Gagasan “triangulasi” merupakan sebuah metode yang mengonfirmasi atau meneguhkan yang lain, tujuannya tidak lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih bernuansa dari sebuah fenomena. Sejalan dengannya, Tashakkori dan Teddlie (2010: 13) memberi dasar filosofis dan praktis dalam metode campuran (mixed methods) yang berguna untuk menyajikan pandangan lebih besar yang beragam, pengambilan kesimpulan yang lebih baik dan kuat serta dapat memecah kebuntuan dengan menyuguhkan hasil yang lebih komprehensif. Pada dasarnya, fenomenologi mendeskripsikan pengalaman. Deskripsi fenomenologi sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang dari sesuatu sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di baliknya. Deskripsi itu juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap (Kuswarno, 2009: 37). Menurut filsuf Prancis, Lyotard (1991: 32), fenomenologi menandakan suatu kajian atas fenomena, untuk mengatakan tentang fenomena yang muncul pada kesadaran, sebagai yang terberi (given). Fenomenologi berusaha untuk menjelajahi apa yang terberi, sesuatu-pada-dirinya-
53
sendiri (“the thing itself”) yang dipersepsikan, dipikirkan dan dikatakan oleh subjek. Dalam Phenomenology of the Cultural Disciplines, Daniel dan Embree (1994: 29-30) menjelaskan bahwa sebuah usaha keras disebut fenomenologis jika bersifat: (1) deskriptif, yaitu mendeskripsikan “apa itu apa” secara logis mendahului upaya untuk menjawab pertanyaan tentang “mengapa”, setidaknya menggunakan empat tipe penjelasan, yaitu: teleologis, aitiologis, justificatory, dan grounding; serta (2) reflektif, yaitu fokus tidak hanya pada objek tetapi lebih pada obyek-obyek-sebagaimana-mereka-mempresentasikan-diri-mereka
(objects-as-
they-present-themselves) atau obyek-obyek-sebagaimana-mereka-dimaksudkan (objects-as-they-are-intended-to).
Sedangkan
bagi
Foucault
(2011:
192),
fenomenologi lebih menitikberatkan pada makna dari suatu peristiwa, baik menempatkan peristiwa di samping, atau sebelum makna dari peristiwa yang baru saja terjadi—kerikil faktawi, kebisuan yang lemah atas suatu peristiwa— kemudian menenggelamkan peristiwa itu pada proses aktif pemaknaan, menggali dan mengajinya dengan teliti. Dalam kajian terhadap praktik keberagamaan, pendekatan fenomenologi dapat menyingkapkan pemahaman seutuhnya atas pluralitas umat beragama (Amin Abdullah, 1994: 45). Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, sebagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman tentang bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsepkonsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Disebut intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan
54
orang lain. Makna yang dikonstruksi tersebut memang dapat ditelusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas seseorang, tetapi tidak mungkin menafikkan bahwa ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2009: 2). Moustakas dalam Phenomenological Research Methods (1994) merinci sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang menggambarkan posisi metodologis fenomenologi. Sifat-sifat dasar inilah yang membedakannya dari penelitian kuantitatif, meliputi: pertama, menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia. Kedua, fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada per bagian yang membentuk keseluruhan tersebut. Ketiga, tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-ukuran dari realitas. Keempat, memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama, melalui wawancara formal maupun informal. Kelima, data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia. Keenam, pertanyaan yang dibangun merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti. Dan ketujuh, melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya. Lebih lanjut Moustakas (1994: 58-59) mengulas ciri-ciri penelitian fenomenologi, sebagai berikut: pertama, fokus pada sesuatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari
55
berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati. Ketiga, fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki. Keempat, fenomenologi mendiskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Deskripsi yang dihasilkan akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah dan makna dibaliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena ”hidup” dalam term yang akurat dan lengkap. Dengan kata lain sama ”hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indera. Kelima, fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian, peneliti fenomenologi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya peneliti itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi. Keenam, integrasi dari subjek dan objek. Persepsi peneliti akan sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya. Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek. Ketujuh, investigasi dilakukan dalam kerangka intersubjektif dan realitas merupakan salah satu bagian dari proses secara keseluruhan. Kedelapan, data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah. Dan kesembilan, pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan
56
dengan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih. Kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan makna yang utama pula. Hal yang harus ditekankan lagi, fenomenologi dipandang sebagai cara mengungkapkan realitas yang murni menggunakan paradigma kualitatif. Posisi verstehen
sebagai
metodologi
penelitian
fenomenologi
mengharuskan
fenomenologi menggunakan metode penelitian kualitatif. Fenomenologi bergerak dari individu dan kelompok kecil untuk memahami realitas sosial yang sesungguhnya. Hasil penelitian fenomenologi pada umumnya lebih dikenal natural atau alamiah. Suatu realitas tampak alami, sebab realitas tersebut tidak mendapat intervensi keinginan peneliti. Pada sisi lain, realitas muncul secara reflektif, makna mencerminkan keadaan yang sesungguhnya; dan realitas menjadi otentik, sebab data diperoleh peneliti dari sumber pertama dan pelaku yang mengalaminya.
1.7.1. Informan Dengan pendekatan kualitatif, peneliti mewawancarai informan untuk menggali sedalam mungkin informasi. Dalam konteks ini, pengalamanpengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti tetap menjadi perangkat tersendiri untuk memahami informasi dari informan. Dalam penelitian kualitatif, seorang informan ialah sumber informasi dan menjadi guru bagi etnografer (spradley, 1997: 35). Menurut Kasniyah (2011: 3-4), penelitian kualitatif tidak
57
mempermasalahkan besar kecilnya sampel yang diambil dari populasi atau unit analisis, tetapi yang terpenting itu pada keterwakilan dari unit analisis secara deskriptif analitik yang mampu menunjukkan adanya validitas dari data yang disajikan dalam laporan. Pemilihan informan pada masing-masing studi sangat bervariasi sesuai dengan analisisnya. Dalam penelitian kualitatif, jumlah sumber informasi yaitu informan tidak terlalu dipermasalahkan pada representasinya berdasarkan besarnya sampel, sehingga tidak ada ketentuan-ketentuan formula untuk menentukan jumlah; yang penting dalam penelitian kualitatif data yang diperoleh melalui informasi yang digali dari informan adalah mempertajam analisis secara mendalam dan rinci. Sebenarnya masalah representatif pada penelitian kualitatif, terutama para ahli antropologi yang membidangi metodologi kualitatif, masalah representatif bukan berdasarkan jumlah sampel dengan formula seperti yang ditentukan dalam penelitian kuantitatif. Ketajaman dan kedalaman penggalian data melalui wawancara bebas mendalam (free and indepth interview) dan partisipasi observasi (participation and observation) sangat membatnu peneliti menemukan fenomena-fenomena yang tidak diragukan lagi keabsahannya. Validitas dan realibilitas data dapat dipahami melalui laporan thick description yang dapat menjelaskan penemuan-penemuan masalash penelitian. Jadi dalam penelitian kualitatif jumlah informan tidak terlalu dipermasalahkan sehubungan dengan besarnya sample sehingga masing-masing peneliti dapat menetukan sendiri jumlah informan tanpa harus ada rumusan untuk menentukan jumlah informan (Kasniyah, 2011: 44). Beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam memilih informan dalam penelitian fenomenologi sebagaimana dipaparkan oleh Creswell (1998; 111-117), antara lain: pertama, informan harus mengalami langsung situasi atau kejadian yang berkaitan dengan topik penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan deskripsi dari sudut pandang orang pertama. Hal ini merupakan kriteria utama dan
58
harus dipegang dalam penelitian fenomenologi. Syarat inilah yang akan mendukung
sifat
otentitas
fenomenologi.
Kedua,
informan
mampu
menggambarkan kembali fenomena yang telah dialaminya, terutama dalam sifat alamiah dan maknanya. Hasilnya akan diperoleh data yang natural dan reflektif yang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Ketiga, bersedia untuk terlibat dalam kegiatan penelitian yang membutuhkan waktu relatif lama. Keempat, bersedia untuk diwawancara dan direkam aktivitasnya selama wawancara atau selama penelitian berlangsung. Dan kelima, memberikan persetujuan untuk mempublikasikan hasil penelitian. Sesuai dengan fenomena dan rumusan masalah yang ditetapkan, penelitian ini memerlukan sejumlah informan dalam beberapa kriteria di atas, sehingga representatif bagi kekompleksan fenomena yang diangkat. Informan spesifik dalam penelitian ini adalah komunitas Salafi yang mengakses program infotainment
dalam
intensitas
yang
signifikan
dan
merepresentasikan
keberagaman tipologi khalayak, khususnya berkaitan dengan variasi keterpikatan dan kritisisme terhadap program infotainment dan para selebritis atau ustadz seleb dalam dunia infotainment. Informan terdiri dari 16 orang dengan mempertimbangkan proporsi gender, usia, dan latar belakang sosiologis, baik itu menyangkut aspek mobilitas geografis, tingkat pendidikan, profesi atau aktivitas utama yang sedang digeluti, dan afiliasi kelompok Salafi, yang terpenting adalah fokus penelitian pada informan memegang teguh manhaj salaf atau salafus shalih. Secara lebih terperinci, kriteria informan yang diambil terdiri dari laki-laki dan perempuan
59
yang berada dalam rentang usia 20-60 tahun yang meliputi usia remaja dan dewasa, masih aktif bekerja, berpendidikan relatif rendah dan tinggi, pernah melakukan mobilitas geografis dalam jumlah yang relatif minim atau sebaliknya, memiliki latar belakang lingkungan religius, misalnya di pesantren dan sebaliknya, dan bergabung dalam ideologi atau paham (manhaj) Salafi.
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk
meyakinkan
objektivitas,
cara
triangulasi
yaitu
metode
pengumpulan data berbeda—survei/observasi, wawancara, dan diskusi—dapat digunakan untuk mengonfirmasi hasil (Thwaites, Davis & Mules, 2009: 324). Eksplorasi data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Eksplorasi data juga dilakukan melalui bahan-bahan literer khususnya referensi yang bertalian dengan sejarah, perkembangan dan pemikiran Salafi yang bersentuhan dengan modernitas dan terutama ghibah infotainment, serta didukung sumber dokumenter seperti gambar atau foto—tantangan tersendiri dimana gambar dan foto juga dilarang dalam Salafi, hambatan ini dijelaskan dalam keterbatasan penelitian, dan pada akhirnya dapat diatasi juga. Program-program hiburan khususnya infotainment yang ditayangkan di sejumlah televisi termasuk iklan sponsor peneliti amati dan pelajari secara intens dalam setidaknya 12 bulan, sejak Januari 2013 sampai dengan Januari 2014. Sesuai dengan topik penelitian yang menekankan studi pada komunitas Salafi, observasi partisipasi secara spesifik dilakukan terhadap perorangan maupun
60
sekumpulan individu yang memiliki kapasitas dan pengalaman menonton program-program infotainment. Observasi ini di antaranya ditempuh dengan mengikuti kegiatan informan dalam aktivitas meresepsi program-program infotainment maupun aktivitasaktivitas Salafi lain di luar kegiatan menonton yang merepresentasikan adanya keterhubungan atau bahkan implikasi dari aktivitas menonton acara infotainment, seperti pembicaraan seputar ghibah infotainment di luar aktivitas menonton, akses terhadap berbagai media yang berkaitan dengan infotainment dan berita para selebriti atau ustadz seleb seperti lewat situs internet atau majalah, gaya hidup yang cenderung mengadopsi gaya para selebriti, dan lain sebagainya. Data lapangan dicatat secara sistematis dalam setiap event penelitian, baik berupa pengalaman-pengalaman, kesan subjektif, maupun kendala-kendala atau pun keterbatan-keterbatasan yang terjadi dalam penelitian. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap para informan yang telah ditetapkan menurut kriteria penelitian dengan menggunakan interview guide. Wawancara sangat penting dalam penelitian fenomenologi, bahkan merupakan metode pengumpulan data yang paling utama. Dengan metode inilah esensi dari fenomena yang diamati dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama (orang yang mengalami secara langsung). Hal yang harus ditekankan adalah sifat pengumpulan data pada penelitian fenomenologi adalah individual, bukan kelompok atau masyarakat seperti pada penelitian etnografi komunikasi (Kuswarno, 2009: 66).
61
Dalam wawancara digunakan teknik mencatat langsung dan recorder. Sebelum wawancara dilangsungkan, terlebih dahulu diawali dengan beberapa langkah yang mengarah pada pendekatan personal termasuk dengan mengenali lingkungan sosial informan. Teknik dalam wawancara mendalam disesuaikan dengan karakter dan kondisi informan.
1.7.3. Metode Analisis Untuk mencapai pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap tayangan infotainment dan fenomena yang mengitarinya, khususnya dalam kaitannya dengan posisi khalayak, setidaknya diperlukan pembacaan secara komprehensif terhadap program infotainment dan aspek-aspek yang melingkupinya, di antaranya: para selebriti sebagai pusat berita, termasuk juga ustadz seleb yang sering dipergunjingkan di lingkungan komunitas Salafi, serta pandangan dan sikap komunitas Salafi sebagai konsumen tayangan tersebut. Data penelitian ini berupa data kualitatif sehingga digunakan tiga langkah analisis yang dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dalam lingkup yang lebih luas, sebenarnya fenomenologi juga membuka kemungkinan-kemungkinan terhadap interpretasi. Metode interpretasi digunakan sesuai dengan sifat data yaitu data kualitatif. Interpretasi dilakukan ketika dalam proses pengumpulan data dan dioptimalkan setelah data terkumpul baik data dari observasi partisipasi, wawancara mendalam, maupun data dokumentatif. Reduksi data adalah suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan
62
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data kualitatif disederhanakan dan ditransformasikan dengan aneka macam cara, antara lain seleksi yang ketat, ringkasan atau uraian singkat, penggolongan dalam suatu pola yang lebih luas (Miles & Hubermas, 1992: 16-19). Penyajian data berarti menyajikan susunan sekumpulan informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif dilakukan dengan mencari makna bendabenda atau peristiwa, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasikonfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Peneliti akan menarik kesimpulan-kesimpulan secara longgar, tetap terbuka dan skeptis namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan diverifikasi selama proses penelitian. Verifikasi tersebut berupa tinjauan ulang terhadap catatan lapangan. Makna-makna yang muncul kemudian diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya sehingga membentuk validitas (Miles & Hubermas, 1992: 19). Secara sistematis, alur analisis data dalam studi fenomenologi merujuk catatan Creswell (1998: 109-150), adalah sebagai berikut: pertama, peneliti memulai dengan mendeskripsikan pengalaman secara menyeluruh. Kedua, peneliti menemukan pernyataan dalam wawancara tentang bagaimana komunitas Salafi memahami topik, merinci pernyataan-peryataan tersebut (horisonalisasi data) dan perlakuan setiap pernyataan memiliki nilai yang setara, serta mengembangkan rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih. Ketiga, pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan dalam unit-unit bermakna (meaning unit), peneliti merinci unit-unit tersebut dan
63
menuliskan sebuah penjelasan teks (textural description) tentang pengalamannya, termasuk contoh-contohnya secara seksama. Keempat, peneliti merefleksikan pemikiran dan menggunakan variasi imajinatif (imaginative variation) atau deskripsi struktural (structural description) tentang pengalaman, termasuk contohcontohnya secara seksama. Kelima, peneliti mengkonstruk semua penjelasan informan tentang makna dan esensi pengalamannya terhadap ghibah infotainment. Keenam, proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan pengalaman informan diikuti pengalaman seluruh informan lainnya. Setelah semua itu dilakukan, kemudian peneliti menulis deskripsi gabungannya (composite description) secara kritis dan menyeluruh. Berdasarkan beberapa rumusan di atas, secara keseluruhan, langkahlangkah penelitian fenomenologis ini disusun sebagai berikut: pertama, memberikan pemaparan historis dan sosiologis tentang kemunculan dan perkembangan komunitas Salafi dan bagaimana mereka meresepsi acara-acara infotainment di Indonesia. Mengelompokkan keberadaan komunitas Salafi yang telah berkembang dan tersebar di wilayah Provinsi Daerah Istimeewa Yogyakarta (DIY). Menggali informasi sedalam mungkin dari para informan mengenai latar belakang sosial, historis, dan politik dari komunitas Salafi. Kedua, mempelajari dan mengidentifikasi acara-acara infotainment di sembilan televisi swasta di Indonesia, terutama mempelajari apasaja nama acara infotainment, berapa jenisnya, berapa menit jam tayangnya dalam sehari dan seminggu, serta melakukan perbandingan prosentase untuk mengetahui perbedaan signifikan antar tayangan infotainment. Ketiga, menetapkan masalah-masalah pokok yang sering
64
diangkat dalam tayangan infotainment sekaligus selebriti terkait, misalnya: kawincerai (pernikahan/perceraian), perselingkuhan, kasus narkoba, nikah muda, libidinal (pornografi), prestasi, ketenaran/kemasyhuran, persaingan, dan lain-lain. Menetapkan topik-topik spesifik yang berkaitan dengan isu keislaman. Keempat, mengidentifikasi bentuk-bentuk ghibah infotainment termasuk para ustadz seleb yang sering dipergunjingkan di kalangan Salafi. Kelima, menganalisis aktivitas komunitas Salafi dalam meresepsi tayangan berita infotainment beserta relasirelasi sosial dan budaya yang melingkupinya. Keenam, mengkaji hasil wawancara dengan para informan dari komunitas Salafi tentang ghibah infotainment dan posisi para selebriti dan para ustadz seleb menurut pandangan mereka. Ketujuh, menarik kesimpulan yang menunjukkan resepsi dan kritisisme komunitas Salafi baik dalam cara mereka menggunakan interpretasi normatif ataupun berdasarkan pengalaman sehari-hari. Kesimpulan akhir yang diperoleh dari analisis data (komunitas Salafi dan berbagai relasinya) berdasarkan landasan teori akan menjawab ketiga persoalan yang diangkat dalam rumusan masalah sehingga memperoleh pemahaman dan pembacaan dialogis dan kritis mengenai resepsi komunitas Salafi terhadap teks media atau fenomena ghibah infotainment. Terakhir, merumuskan dan melaporkan hasil penelitian fenomenologis ini seakurat mungkin.
1.8. Pembatasan Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan secara terfokus di pusat-pusat kegiatan komunitas Salafi yang ada di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Peneliti
65
memilih 6 (enam) pesantren Salafi serta beberapa komunitas Salafi yang tidak terikat dalam pesantren—warga Salafi yang mengaji di masjid-masjid di luar pesantren atau di dekat kampus dan diasuh oleh para ustadz Salafi. Hal yang harus dicatat, pembatasan wilayah penelitian ini tidak bersifat mutlak atau kaku. Mengikuti perkembangan masyarakat masa kini, maka penelitian antropologi bergeser dari “culture area” menuju “subculture area”, tidak terikat batas-batas geografis, tetapi bersifat lintas batas, baik itu batas desa, kota atau wilayah (Irwan Abdullah, 1999: 14). Peneliti perlu terbuka untuk melihat komunitas Salafi baik yang berada dan hidup dalam pesantren Salafi ataupun yang tinggal di luar pesantren Salafi, baik dari kalangan ustadz Salafi ataupun dari jama’ahnya. Provinsi
DIY
dikenal
sebagai
“kota
kecil”
tempat
modernitas
berdampingan dengan tradisi, demografi yang cukup kompleks, dan kondisi serta dinamika sosio-kultural yang khas. Dengan kata lain, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan berbagai perjumpaan kultural yang cukup kompleks. Hal ini setidaknya ditandai dengan posisi Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya yang berpengaruh terhadap demografi dan dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Apapun yang ditanam di Yogyakarta ini akan tumbuh. Setidaknya hal itu menjadi dasar bagi tumbuhnya ideologi-ideologi yang majemuk. Satu hal yang perlu dicatat, di sisi lain, Islamisasi di provinsi ini terlihat cukup masif. Ditinjau dari perjalanan historis, proses Islamisasi, khususnya gerakan puritanisme Islam (revivalisme dan neo-revivalisme), sebenarnya sudah berlangsung pada awal abad ke-20. Pada abad ini Islamisasi terlihat lebih intensif dan dilakukan dengan cara-cara yang terorganisir seperti dilakukan oleh
66
Muhammadiyah. Tetapi dalam pergulirannya, gerakan-gerakan puritanisme Islam yang lebih ekstrem muncul seperti Salafi, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Tabligh, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majelis Tafsir Al-Quran (MTA), dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Perlu dijelaskan di sini bahwa istilah Salafi tidak mengacu pada bendera organisasi tetapi sudah melekat pada ideologi dalam berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) atau pun organisasi sosial politik (orsospol) sebagaimana penulis sebutkan di atas—HTI, MMI, Jama’ah Tabligh, dan PKS. Sebagai ideologi, maka orang-orang Salafi dapat berada di organisasi mana pun tetapi selalu berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah, dan mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok ahlus sunnah wal jama’ah. Tetapi penelitian ini lebih fokus pada para informan berbasis Salafi murni atau yang benar-benar bermanhaj Salaf dan terlibat aktif dalam kegiatan dakwah Salafi, bebas dari unsur-unsur organisasi sosial politik (orsospol) ataupun organisasi kemasyarakatan lainnya (ormas). Beberapa pondok pesantren di Yogyakarta seperti Ponpes Ihya’ alSunnah, Ponpes al-Anshar, Ponpes bin Baaz, Ponpes Tahfidz Taruna al-Quran, Ponpes Hamalatul Quran, dan Ponpes Khoiru Ummat adalah representasi kelompok Salafi yang paling jelas eksistensinya, murni dari segala latar belakang ormas dan apolitis. Pada masa reformasi, gerakan-gerakan kaum Salafi semakin menguat. Pembangunan tempat ibadah untuk umat Islam, baik masjid maupun musala terlihat marak di berbagai daerah—misalnya, Pesantren Degolan, Pesantren alAnshar, Pesantren Taruna al-Quran, dan komunitas jamaa’ah MPR ada di wilayah
67
Kabupaten Sleman, sedangkan Pesantren bin Baz, Pesantren Hamalatul Quran dan Pesantren Khoiro Ummat ada di Kabupaten Bantul—dengan jama’ah yang berpenampilan dan berpakaian khas: laki-laki memelihara jenggot, celana harus di atas mata kaki dan tidak ketat, dan kain sederhana yang tidak mencolok melekat di tubuh mereka, sedangkan kaum perempuan bercadar, hanya menyisakan ruang pada kedua mata. Di samping itu juga berdiri lembaga-lembaga berbasis Islam Salafi, dari lembaga sosial hingga lembaga pendidikan, seperti Rumah Sakit atTurats dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang melekatkan tambahan nama “Islam Terpadu” (IT) pada sekolah-sekolah mereka—TKIT, SDIT, dan lainlain. Meningkatnya aktivitas dakwah puritanisme Islam juga tampak pada pengajian yang dilakukan secara rutin di masjid-masjid pesantren dan sekitar kampus UGM, mulai dari kalangan remaja hingga orang tua. Komunitas Salafi yang tinggal di Yogyakarta merupakan warga yang berasal dari berbagai wilayah, kebanyakan mereka merupakan pendatang dari berbagai kota di Jawa atau pun di luar Jawa yang kemudian menetap di Yogyakarta. Pendidikan rata-rata warganya cukup tinggi, yakni lulusan perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri, khususnya Timur Tengah. Tingkat mobilitas warga juga cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan sektor pekerjaan, antara lain ustadz, dosen, pedagang dan mahasiswa. Hal yang menarik untuk dicermati, meskipun mobilitas warga cukup padat, akan tetapi tingkat afinitas warga terlihat cukup tinggi. Berbagai kegiatan sosial berjalan dengan baik. Berbagai kebiasaan seperti saling menyapa, bercengkerama di antara sesama tetangga juga masih kuat. Kebiasaan menggosip juga bertukar cerita tentang hal-hal yang terkesan
68
remeh, seperti acara televisi yang sangat lazim dilakukan warga umumnya, justru di kalangan Salafi tampak tertutup, tetapi tidak menutup kesan mereka tentang ghibah infotainment. Budaya lisan juga melekat dalam diri siapa pun sebagai tradisi turun-temurun. Ghibah infotainment dapat dipahami sebagai bagian dari cara berkomunikasi yang paling mudah dijumpai dan tidak jarang menjadi cara mereka untuk menyampaikan pesan tertentu, misalnya tentang berita para selebriti atau para ustadz seleb yang lagi tenar atau naik daun, atau tentang tokoh-tokoh Muslim yang digosipkan dalam infotainment, di samping itu kebiasan tersebut setidaknya juga dapat dimaknai untuk sekadar mengisi waktu senggang (leisure time).
1.9. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini berfokus pada kajian atas komunitas Salafi di Yogyakarta. Peneliti menganggap bahwa masuk ke dalam komunitas Salafi bukan pekerjaan mudah, meskipun pada akhirnya juga tidak sulit. Beberapa keterbatasan penelitian ini di antaranya disebabkan oleh: pertama, kondisi sosial dan keagamaan komunitas Salafi yang cenderung tertutup atau bahkan menutup diri dari masyarakat di sekitarnya. Kondisi ini salah satu yang menjadi penghalang dan yang menyebabkan setiap keputusan yang diambil oleh peneliti untuk dapat masuk ke dalam kelompok salafi menjadi terhambat. Kedua, peneliti harus memposisikan diri “satu frekuensi” dengan kelompok salafi, setidaknya dalam “kontak persetujuan” yang harus disepakati terlebih dulu sebelum melakukan wawancara dengan mereka. Orang-orang Salafi selalu melihat peneliti sebagai the
69
other, yang lain, di luar kelompok mereka. Bahkan di antara kelompok Salafi sendiri akan saling menyoal dari kelompok mana orang itu berasal. Tentusaja kecurigaan kelompok Salafi ini muncul setiap kali peneliti mencoba masuk ke komunitas mereka. Ketiga, pada komunitas Salafi yang saya kategorikan mutasyaddid, ada syarat yang diminta oleh salah satu ustadz Salafi, misalnya beliau meminta peneliti untuk melipat celana lebih tinggi di atas mata kaki, sebagai etika manhaj Salaf. Selain itu pesantren Salafi di Degolan pernah menjadi markas Laskar Jihad dan masyarakat sekitar juga mendengar kalau komunitas di situ dikenal pemberani dan berwatak keras. Pada komunitas Salafi mutawassith, juga tidak mudah. Karena bertanya kepada warga sekitar pesantren juga tidak ada yang mengenal ustadz pesantren Salafi, sehingga hal ini kembali membatasi langkah penelitian untuk mewawancarai mereka. Pada kelompok mutasahhil, meskipun kelihatannya mudah bertemu dengan mereka, tetapi begitu mereka mendengar kata televisi atau ghibah infotainment dalam materi wawancara, mereka akan langsung menghindar atau menolak untuk membicarakannya lagi. Mereka menganggapnya sebagai pertanyaan yang tidak penting, mubadzir, dan tidak berkaitan dengan akhirat. Untuk mengatasi beberapa masalah dan keterbatasan tersebut, peneliti membangun langkah-langkah fenomenologis untuk mendukung analisis resepsi. Dan keempat, sebagian besar komunitas Salafi melarang menggunakan kamera. Ada beberapa langkah yang peneliti tempuh untuk mengatasi masalah ini. Pertama, peneliti mencoba menanyakan kepada teman-teman dosen, mahasiswa, dan keluarga siapa di antara mereka yang mempunyai hubungan dengan
70
kelompok Salafi atau yang sudah masuk dalam komunitas Salafi. Langkah pertama ini cukup berhasil karena dengan mengenal satu atau dua orang dari teman dosen, mahasiswa atau keluarga yang berhubungan langsung atau menjadi komunitas Salafi menjadi pintu masuk penting kepada mereka. Melalui mereka, peneliti diberitahu tentang salah satu nama ustadz di kelompok Salafi yang saya kategorikan sebagai mutasahhil. Misalnya di pesantren Taruna al-Quran, peneliti dikenalkan dengan salah satu keluarga yang pernah aktif mengaji dan menjadi ustadz di sana untuk mendapatkan informasi seputar pesantren tersebut. Begitu masuk, ternyata masih mendapatkan kendala lagi. Karena mereka sibuk menghapalkan al-Quran ataupun pengajian di majelis-majelis taklim, dan tidak ada waktu sia-sia untuk bermain-main. Akhirnya peneliti memutuskan untuk mencoba menyekolahkan anak kedua ke salah satu Kelompok Bermain (play group) di sana selama tiga bulan dan kemudian dilanjutkan di sekolah Taman Kanak-kanak (TK) di pesantren yang sama. TK yang sudah tersalafikan meskipun tidak semua ibu gurunya mengenakan cadar. Para orang tua wali juga banyak yang berjenggot lebat dan bercelana congklang di atas mata kaki. Pada saat menunggu anak pulang sekolah, peneliti menyempatkan diri untuk mewawancarai beberapa wali murid, ternyata tidak mudah juga mengajak mereka berdiskusi tentang fenomena ghibah infotainment. Tetapi setidaknya salah seorang dari mereka akhirnya mau diwawancarai, dan melaluinya peneliti mendapatkan beberapa informasi tentang ustadz di pesantren Salafi yang nanti peneliti kategorikan sebagai mutawassith. Begitu pula ketika memasuki Pesantren bin Baz, oleh ustadz di sana peneliti dikenalkan dengan sebuah nama yang merujuk ke
71
pesantren Degolan yang nanti akan peneliti kategorikan sebagai kelompok mutasyaddid. Sedangkan dengan komunitas salafi mutasahhil yang berbasis di masjid-masjid kampus, peneliti dapat langsung mewawancarai mereka tanpa halangan apapun, asalkan tidak saat waktu sholat atau saat pengajian. Waktu mereka juga terbatas, karena mereka masih kuliah. Dengan kelompok salafi mutasahhil ini peneliti merasa lebih dekat karena mereka kebanyakan masih berstatus mahasiswa dan belum menikah. Dengan seorang salafi yang sudah menikah juga menjadi penghambat, karena tidak mudah untuk meminta waktunya apalagi masuk ke rumahnya. Ketatnya pergaulan di dalam komunitas Salafi juga membatasi peneliti untuk bebas melakukan penelitian. Belum lagi istrinya yang bercadar dan tidak boleh bertemu langsung dengan orang yang bukan mahramnya, juga ketatnya doktrin salafi menghalangi mereka untuk bercanda dengan orang lain, apalagi tentang masalah yang menurut mereka tidak bernuansa ukhrawi (akherat), tidak bermanfaat sama sekali untuk menambah keimanan mereka. Beberapa informan yang telah bersedia diwawancarai ternyata ada yang selalu menghindar untuk bertemu kembali ketika diminta untuk wawancara selanjutnya. Sehingga wawancara harus dilanjutkan melalui SMS, Whatsapp, ataupun Facebook. Beberapa keterbatasan di atas menjadi kenyataan yang dapat memperlambat upaya penelitian. Meskipun demikian, usaha mencari jalan keluar terus dilakukan dengan cara mlipir atau mencari kesempatan yang paling tepat dengan informan, bisa dengan cara media sosial di dunia siber, smartphone, ataupun melalui sahabat terdekatnya. Jika sudah terjalin kedekatan dan silaturahmi yang intens dengna mereka maka kekeluargaan terbangun dan
72
memudahkan peneliti untuk masuk dan mewawancarai lebih dalam kepada setiap informan, meskipun hambatan-hambatan tersebut pada hal tertentu muncul kembali. Peneliti memahami bahwa sikap eksklusif itu sebenarnya merupakan komitmen dan konsistensi mereka dalam menjaga doktrin salafisme dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.0. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terbagi dalam beberapa bab. Bab I berupa pendahuluan, mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, pembatasan wilayah penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang makna ghibah infotainment, durasi tayangan infotainment dan fenomena selebriti yang meliputi ghibah sebagai fenomen budaya, ghibah sebagai tindakan aku fungsional, fenomena selebriti di pusaran pasar hiburan, dan durasi tayang infotainment, serta ekonomi-politik ghibah. Bab III memaparkan bahasan tentang salafi sebagai ritus praksis Islamisme yang berisi tentang sejarah pemikiran dan gerakan Ustadz ja’far Umar Thalib sebagai tokoh utama Salafi di Yogyakarta, kemudian memaparkan gerakangerakan salafi yang memisahkan diri dari kelompok Ustadz Umar, selanjutnya memaparkan asal-usul dan dinamika gerakan subkultur Islam dan karakteristik komunitas Salafi di Yogyakarta. Bab IV mengangkat perilaku bermedia komunitas Salafi dan resepsi salafi atas fenomena ghibah infotainment dalam tiga kelompok: mutasyaddid,
73
mutawassith dan mutasahhil, kontestasi makna, teknologi diri, dan transfigurasi spiritual, negosiasi identitas subkultur Salafi, afirmasi gaya hidup, tetap fashionable dalam keteguhan kredo, serta konsumsi teknologi, tidak antimodernitas, dan bukan manusia yang termesinkan. Bab V mengungkap fenomenologi subkultural Salafi postmodern dengan menganalisis dan mengkritisi ambivalensi pada aspek praksis-teologis berkaitan dengan doktrin eksklusif tetapi dengan gaya hidup inklusif, konsumsi infotainment dan ghibah tentangnya sebagai sikap estetika-religius dan bentuk perlawanan simbolik-eksistensial, tergores gambaran Salafi posmodern: dari utopia kebebasan di balik mesin kepatuhan ke intensionalitas hermeneutis, serta membongkar peran subyektivitas bagi terbukanya kotak pandora: bagaimana kelompok-kelompok Salafi mendayagunakan potensi kreatif mereka sebagai seni merayakan kebebasan dalam pendisiplinan, serta trend Salafi baru dalam modernitas. Bab VI merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian.
74