BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara adalah dua dari dua puluh empat Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang identik dengan wilayah yang didiami oleh etnis Toraja. Terletak di bagian Selatan pulau Sulawesi, kedua kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara merupakan hasil pemekaran Kabupaten Tana Toraja lama. Pemekaran ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Tana Toraja berpenduduk 221.081 jiwa dengan luas wilayah 2.054,30 km2 sedangkan Kabupaten Toraja Utara berpenduduk 216.762 jiwa dengan luas wilayah 1.151,47 km2. Wilayah Kabupaten Tana Toraja tetap masih lebih luas dibandingkan Kabupaten Toraja Utara. Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan. Sementara itu, jumlah kecamatan yang tersisa dan tetap menjadi Kabupaten Tana Toraja adalah 19 kecamatan. Sebelum pemekaran kepadatan penduduk Kabupaten Tana Toraja adalah 108
jiwa/km2, sedangkan Kabupaten Toraja Utara 189
jiwa/km2 (BPS, 2010). Komunitas etnis Toraja dikenal luas di dalam negeri maupun di manca negara karena keterikatan komunitas Toraja yang relatif kuat
1
terhadap nilai-nilai budayanya. Hal ini ditandai dengan praktik budaya Toraja yang khas dan fenomenal yaitu upacara adat dalam rangka pemakaman sesepuh keluarga serta situs-situs makam para sesepuh keluarga Toraja. Praktik budaya Toraja ini memang unik dan hanya terjadi di Toraja yang menjadi tujuan wisata mancanegara. Lebih-lebih karen asetiap upacara adat selalu dilaksanakan berhari-hari dan mengorbankan puluhan hingga ratusan ekor kerbau dan babi. Maka tidak heran jika Tana Toraja telah sejak lama menjadi salah satu ikon wisata yang diminati oleh wisatawan internasional. Masyarakat Toraja mempunyai ikatan yang kuat dengan perangkat kebudayaan lama yang disebut aluk to dolo (kepercayaan lama). Aluk to dolo inilah yang merupakan rujukan penyelenggaraan praktik-praktik budaya pesta rambu tuka’ (upacara adat untuk pesta adat) dan upacara rambu solo’ (untuk upacara pemakaman sesepuh keluarga). Aluk to dolo menentukan bahwa jenazah sesepuh keluarga hendaknya dimakamkan dengan rangkaian upacara yang berintikan penghormatan kepada sesepuh keluarga. Pemakaman jenazah dilaksanakan dalam suatu prosesi upacara adat yang dilangsungkan berhari-hari, melibatkan seluruh unsur keluarga besar baik keturunan seorang sesepuh lelaki atau perempuan yang meninggal. Sebelum pemakaman maka jenazah itu disemayamkan terlebih dahulu di rumah yang dibangun secara khusus. Rumah itu disebut tongkonan (rumah adat). Selama disemayamkan di tongkonan menanti saat yang tepat untuk dimakamkan maka jenazah itu dijaga dan diperlakukan
2
secara simbolik ibarat seseorang yang tengah sakit (to makula’). Tongkonan berperan sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas persiapan penyelenggaraan upacara pemakaman jenazah. Pertemuanpertemuan di tongkonan melibatkan semua unsur keluarga. Rapat-rapat keluarga terutama membahas dan memutuskan segala sesuatu yang terkait dengan proses dan pelaksanaan pemakaman jenazah yang saat itu masih disemayamkan di tongkonan. Penyelenggaraan upacara adat dalam prosesi pemakaman atau rambu solo’ dilaksanakan antara 1 sampai dengan 12 hari. Rangkaian penyiapan serta segala hal menyangkut upacara ini merujuk pada prinsipprinsip aluk to dolo1. Aluk to dolo dapat disebut sebagai suatu sistem tata nilai, dalam manifestasinya menurut Palebangan (2007) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Toraja hingga saat ini. Bahkan Kalua et al, (1992) mengatakan bahwa ke depan praktik-praktik budaya khususnya penyelenggaraan pesta adat rambu tuka’ dan rambu solo’ tidak akan pernah hilang. Besarnya pengaruh adat dan besarnya peran para pemangku adat, khususnya pengaruh kalangan puang (bangsawan) di dalam masyarakat Toraja diungkap oleh Kobong (2008). Penyelenggaraan upacara adat rambu tuka’ dan rambu solo’ selalu menjadi fenomenal karena dihadiri
1
Kobong, et al, (1992: 5) mengatakan bahwa aluk to dolo mencakup kepercayaan-kepercayaan, upacara-upacara peribadatan menurut cara-cara yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan, adat-istiadat, dan tingkah laku sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari. Opini masyarakat Toraja mengenai aluk to dolo.
3
oleh ribuan orang dan berlangsung berhari-hari. Ajaran aluk to dolo mewajibkan setiap orang Toraja berpartisipasi dalam suatu upacara rambu tuka’ dan upacara rambu solo’. Adanya ritual yang diikuti oleh ribuan orang itu, dikombinasikan dengan pemandangan alam Tana Toraja yang relatif indah, dan membutuhkan persiapan dalam waktu yang lama telah merupakan daya tarik bagi kunjungan wisatawan mancanegara. Sepanjang upacara adat rambu solo’ yang berlangsung berhari-hari, prosesi upacara ini memerlukan beberapa hewan kerbau sebagai kurban atau persembahan. Dagingnya menjadi santapan mewah untuk partisipan upacara. Jumlah hewan kerbau yang wajib dijadikan kurban sesuai ajaran lama (aluk to dolo) sedikitnya1 hingga 24 ekor dan jumlah hewan babi tiga atau empat kali lebih banyak. Namun demikian perkembangan dalam dua dekade terakhir ini jumlah hewan yang dikorbankan dapat mencapai puluhan hingga ratusan ekor kerbau dan babi. Sementara itu, populasi hewan kerbau di Kabupaten Tana Toraja menurut angka statistik 2010 berjumlah 22.927 ekor, sedangkan hewan babi sebanyak 239.443 ekor. Diperkirakan sekitar 8.000 ekor kerbau disembelih setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pesta adat. Jumlah ini merupakan atau sekitar sepertiga dari populasi ternak kerbau dan babi di kedua kabupaten. Bagi masyarakat Toraja, upacara pemakaman sesepuh merupakan acara yang penting dan harus dilaksanakan. Terlepas dari sorotan masyarakat yang bukan Toraja bahwa ritual seperti itu hanyalah
4
pemborosan. Sejalan dengan itu, bagi masyarakat lain yang bukan orang Toraja mungkin
menimbulkan banyak pertanyaan dibalik acara yang
mewah ini, karena ekonomi masyarakat Toraja secara umum tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di Kabupaten sekitarnya seperti Kabupaten Enrekang, Kabupaten Luwu, dan Kabupaten Mamasa. Hal itu menarik untuk diteliti karena pada satu sisi, dibalik budaya/ritual adat yang mewah tersebut diindikasi sudah tidak lagi memiliki makna yang murni sebagaimana masa lalu, bahkan tampak adanya kecenderungan pergeseran dalam maknanya. Pada sisi lain, juga tampak adanya pergeseran makna budaya yang mana berbagai elemen masyarakat memanfaatkan hal tersebut untuk mewujudkan keinginan politiknya. Palebangan (2007), mengatakan bahwa peran pemangku adat dipandang penting oleh masyarakat Toraja. Para pemangku adat selalu berusaha mensosialisasikan dan mewariskan nilai-nilai dalam adat yang merupakan bagian dari budaya. Budaya Toraja yang dilandaskan pada pola kepercayaan lama (aluk to dolo) dimana norma-norma dan seluruh aturan beserta sanksinya, diyakini oleh masyarakat Toraja berasal dari langit yang diturunkan ke bumi melalui tangga (eran dilangi’). Karena diturunkan langit maka manusia harus mematuhinya (Palebangan, 2007: 66). Ikatan yang kuat pada masyarakat Toraja terhadap nilai-nilai budaya memang fenomenal. Istilah Toraja di dalam bahasa Toraja memang mempunyai beberapa arti atau makna. Toraja dalam kamus bahasa Toraja disebut Toraa atau Toraya. Toraa terdiri atas dua kata yaitu
5
to berarti orang dan raa berarti murah. Jadi Toraa berarti orang pemurah hati. Arti lainnya dapat dilihat jika menggunakan susunan lain, yakni berasal dari kata toraya yang terdiri atas to berarti orang dan raya berarti raja atau terhormat, sehingga Toraya berarti ”orang terhormat” atau ”raja”. Itulah sebabnya menurut Kalua et al (2010: 5) orang Toraja berpendapat bahwa mereka harus menjadi ”manusia yang rendah hati, sederhana, penyayang, murah hati, demokratis, dan orang besar atau tempat asal rajaraja”. Berbeda dengan ungkapan di atas, komunitas luar Toraja yaitu suku Bugis Sidenreng menyebut masyarakat Toraja sebagai Toriaja artinya masyarakat yang mendiami negeri atas atau pegunungan. Sedangkan dalam dialek Luwu, Toraja berarti To Riajang yang artinya orang-orang yang berdiam di sebelah Barat. Koentjaraningrat (1974) mengatakan bahwa kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan budi dan akal. Culture istilah dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata colere yang berarti mengelola tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture yaitu segala
daya
dan
usaha
manusia
mengubah
alam.
Lebih
jauh
Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa ada pendirian lain mengenai asal kata kebudayaan. Ia mengatakan bahwa, kata ‘kebudayaan’ adalah perkembangan majemuk budi daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Dapat diartikan bahwa suatu budaya atau suatu praktik budaya bersumber dari akal manusia.
6
Merujuk
pada
Koentjaraningrat
(1974),
kebudayaan
dapat
mengalami perubahan-perubahan, perubahan perubahan, termasuk dalam hal ini budaya atau kepercayaan lama komunitas etnis Toraja yaitu aluk to dolo. Hal ini dapat menjelaskan perkembangan di Toraja, dimana dimana jika di masa lalu kedua upacara ini hanya boleh diselenggarakan oleh kalangan puang (bangsawan), maka dewasa ini kalangan kaunan (yang diperhamba) sudah ikut menyelenggarakan upacara adat rambu tuka’ dan rambu solo solo’ (Palebangan, 2007). Kaunan di dalam bahasa Toraja berarti kalangan yang diperhamba. Di antara puang dan kaunan ada strata menengah yakni parenge (pemimpin masyarakat). Kaunan dianggap sebagai kalangan warga yang harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada seluruh aggota masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari struktur peran masyarakat Toraja. Gambar 1 Struktur Sosial Masyarakat
Bangsawan tertinggi
Bangsawan menengah
Masyarakat umum
Yang diperhamba
7
Setelah Indonesia merdeka, khususnya sepanjang tahun 1960an sejumlah besar generasi muda Toraja melakukan migrasi ke luar Toraja. Diduga dorongan untuk pergi ke luar Toraja adalah dampak dari pekerjaan zending, yakni penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh para misionaris asal Belanda sejak tahun-tahun terakhir abad ke delapan belas sampai dengan masa kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1980-an, suatu lapisan baru komunitas Toraja mulai terbentuk, yakni kalangan yang tidak berdiam di Toraja tetapi bekerja di birokasi pemerintahan di luar Toraja. Mereka ini menjadi kelas sendiri yang secara finansial lebih mampu dibandingkan dengan orang Toraja yang berdiam di Toraja. Kalangan ini, yang tidak terbatas sebagai kalangan puang, mulai mengubah kebiasaan lama dalam hal membangun rumah adat. Jika tadinya rumah adat hanya boleh dibangun oleh kalangan puang, maka rumah adat yang memerlukan simbol-simbol spesifik berupa kepala kerbau itu telah dibangun pula oleh kalangan kaunan. Sebenarnya menurut aluk to dolo kalangan kaunan tidak boleh mendirikan tongkonan. Hal ini tentu menandai bahwa berikutnya sebuah keluarga kaunan akan menyemayamkan sesepuh mereka di tongkonan tersebut. Perkembangan saat ini para tokoh yang berniat memperoleh kedudukan politik memanfaatkan peluang penyelenggaraan praktik-praktik budaya sebagai sarana memenangkan kompetisi pemilihan pimpinan daerah atau masyarakat. Sehingga tidak jarang mereka menghibahkan uang dalam jumlah besar atau hewan kurban dalam rangka pencitraan.
8
Bantuan atau hibah ini secara eksplisit merupakan ikatan moral bagi penerima bantuan dan secara politis harus mendukung pemberi bantuan untuk memenangkan kompetisi pemilihan kepemimpinan di daerah. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (2004) disebutkan bahwa manipulasi merupakan suatu bentuk kecurangan atau penyelewengan dengan mempengaruhi orang lain tanpa orang yang dipengaruhi menyadari hal tersebut. Suatu manipulasi dilakukan biasanya untuk memperoleh keuntungan secara tidak wajar. Manipulasi budaya yang dimaksud dalam disertasi ini adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mempunyai tujuan politik atau kekuatan ekonomi untuk menghilangkan sebagian atau menambahkan sebagian nilai-nilai budaya melalui ritus-ritus (pesta adat, upacara penguburan) sehingga berbeda dari yang
aslinya
tanpa
masyarakat
menyadari
bahwa
telah
terjadi
penyimpangan budaya. Reformasi politik yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998 telah mengubah sistem perpolitikan khususnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan mendasar ialah mengenai otonomi daerah yang pertama sekali dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai dengan berbagai perubahan hingga pada Undang Undang nomor 32 tahun 2004. Secara luas dan fleksibel, rangkaian undang-undang itu memberi peluang untuk pemekaran daerah. Kebijakan otonomi daerah memberi ruang bagi aktor-aktor politik lokal daerah tampil menyuarakan langsung aspirasi politiknya. Sehingga
9
dalam konteks pemekaran daerah di Indonesia telah banyak daerah yang melakukan pemekaran atau pembentukan daerah baru terpisah dari kabupaten induknya. Menurut Huntington (2004: 11), bahwa tingkat kesatuan politik yang dicapai oleh suatu masyarakat pada hakekatnya mencerminkan lembaga politik dan kekuatan-kekuatan sosial yang membentuknya. Kekuatan sosial yang dimaksudkan adalah keragaman dalam masyarakat yaitu kelompok etnis, keagamaan, teritorial, ekonomi, dan status. Para aktor politik yang dimaksudkan di dalam tulisan ini ialah warga Toraja, baik yang berdiam di Tana Toraja maupun mereka yang berkarir di luar Tana Toraja tetapi berniat menjadi kepala daerah ataupun anggota legislatif di Tana Toraja. Para aktor politik ini dapat dikategorikan sebagai putra daerah. Menurut pengertian umum, terdapat dikotomi antara putra asli daerah dan pendatang atau non putra asli daerah (putra daerah)2. Putra daerah genealogis ini terbelah dalam dua kategori yaitu mereka yang kebetulan di daerah yang bersangkutan dari (salah satu atau ke dua) orang tua yang juga berasal dari daerah tersebut, dan mereka yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Kedua, putra daerah politik, yakni putra daerah genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu, misalnya anggota DPD dari daerah tertentu atau anggota DPR Pusat yang oleh partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan
2
Fatah (2005) mengklasifikasikan putra daerah dalam 3 (tiga) kategori yaitu Pertama, putra daerah secara genelogis yaitu mereka yang sekadar memiliki kaitan darah dengan daerah itu tetapi tidak menetap dan berkiprah (secara politik dan/atau ekonomi) di situ.
10
genealogis dengannya. Ketiga, putra daerah ekonomi yaitu putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya (Fatah dalam Tempo interaktif, 18 April 2005). Putra asli daerah yang dimaksud dalam penulisan ini adalah: Pertama, orang yang lahir dan besar serta menetap di Toraja. Kedua, orang yang lahir di Toraja, namun menetap di luar Toraja yang terikat dalam suatu ikatan keluarga (nenek moyang) Toraja. Ketiga, orang yang lahir di luar Toraja walaupun tidak memiliki ikatan keluarga (nenek moyang), namun menetap dan mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Toraja. Dinamika politik yang sedang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Tana Toraja, tergambar oleh adanya persaingan politik di antara para elit politik baik yang bermukim di Toraja maupun elit-elit politik daerah yang bermukim di luar Toraja. Seperti yang dikatakan Abdullah (2007: 77) bahwa kelompok yang hidup di luar wilayah kebudayaan masing-masing merupakan orang-orang yang kemudian mengembangkan suatu sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai lama yang tampak dari orientasi nilai yang lebih terbuka (open minded), mudah beradaptasi dan mengadopsi sistem nilai baru dan kemudian memiliki gaya hidup yang berbeda dengan sebelumnya. Kelompok elit politik yang tinggal dalam wilayah kebudayaannya berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang selama ini dijadikan pijakan dalam bertindak, bersikap, dan berperilaku. Sementara
11
itu, para elit atau aktor politik di Kabupaten Tana Toraja, yang kebanyakan adalah kalangan putra daerah, selalu berusaha meraih tujuan politik dengan memanfaatkan situasi dan kondisi budaya masyarakat. Pemekaran Kabupaten Toraja Utara terpisah dari Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2008 adalah hasil perjuangan elit-elit politik lokal bersama dengan elit-elit politik Toraja di perantauan. Baik Kabupaten Tana Toraja maupun Kabupaten Toraja Utara mempunyai komunitas yang masih berpegang pada nilai-nilai budaya lokal. Sehingga menjadi menarik untuk melihat bagaimana praktik aktor-aktor politik yang sengaja melibatkan diri dalam praktik-praktik budaya. Para aktor politik tidak akan terlibat dalam berbagai persiapan dan penyelenggaraan upacara-upacara jika tidak bermanfaat untuk meraih tujuan politik yakni para aktor politik tidak akan menggalang dukungan melalui partisipasi mereka pada upacara rambu tuka’ dan rambu solo’. Wacana pemekaran atau pemberian otonomi daerah menurut berbagai pendapat telah mengerucut pada pro dan kontra. Pendapat yang mendukung pemekaran daerah memberi argumentasi bahwa dampak dari pemekaran daerah bersifat positif karena adanya pemberdayaan dan penguatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD akan lebih efektif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah. Pendapat yang bersifat
negatif
adalah
kemungkinan
12
terjadinya
konflik
yang
berkepanjangan antara Kepala Daerah dengan DPRD. Hal ini dapat terjadi apabila gaya kepemimpinan Kepala Daerah sangat berbeda dengan Pimpinan DPRD, latar belakang kepentingan yang secara diametris antara pimpinan DPRD dengan Kepala Daerah, dan latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat berbeda antara Kepala Daerah dengan DPRD (Syaukani et al, 2009: 198-201). Dewasa ini telah semakin disadari bahwa dalam rangka pemekaran daerah, situasi pasca pemekaran daerah sangat memerlukan kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan kelembagaan memadai. Hal-hal di atas merupakan aspek-aspek substansial yang semakin menarik untuk ditelusuri lebih mendalam, terutama bagaimana para aktor-aktor politik terlibat dalam praktik-praktik budaya. Di sisi lain jika mayoritas warga masih belum memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman berpolitik yang memadai maka penting dipertanyakan apakah mengampanyekan issu kebijakan publik khususnya mengenai pemekaran daerah masih akan memberi manfaat kepada masyarakat luas. 1.2.
Rumusan Masalah Praktik-praktik budaya masyarakat Toraja tergolong unik dan fenomenal. Upacara adat dalam rangka pemakaman jenazah sesepuh keluarga yaitu rambu solo’ merupakan praktik budaya yang fenomenal dan karenanya
menjadi
tujuan
wisata.
Namun
dewasa
ini
praktik
penyelenggaraan rambu solo’ tidak sama lagi dengan di masa lalu. Di
13
masa lalu kaum kaunan, atau strata terendah menurut aluk to dolo tidak boleh menyelenggarakan upacara pemakaman jenazah sesepuh dengan upacara yang meriah. Penyelenggaraan upacara rambu tuka’ dan rambu solo’ di masa kini semakin semarak dan semakin besar biayanya, seiring dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang terlibat. Adapun bukti dari besarnya biaya ialah persentase hewan kerbau di Kabupaten Tana Toraja yang dikorbankan hampir 1/3 dari populasi. Namun demikian, menurut para tokoh adat, penyelenggaraan upacara rambu tuka’ dan rambu solo’ akan tetap berlangsung dan akan semakin semarak. Merujuk pada berbagai fakta, kondisi, dan beberapa hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dikemukakan pertanyaan utama bagaimana cara para aktor politik memanfaatkan budaya lokal (rambu tuka’ dan rambu solo’) untuk mewujudkan tujuan politiknya? Sehubungan dengan itu, untuk menjawab hal tersebut tersebut ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut: a.
Bagaimana rambu tuka’ dan rambu solo’ yang semula memiliki makna teologis baik dalam bentuk adat maupun dalam bentuk struktur dan simbol masyarakat, kemudian bergeser menjadi makna politis?
b.
Bagaimana pemekaran wilayah dilakukan oleh elit politik lokal dengan menggalang massa politik melalui media budaya lokal?
14
c.
Bagaimana cara para elit politik lokal memanipulasi budaya lokal dengan memanfaatkan instrumen budaya untuk meraih berbagai posisi dalam masyarakat?
1.3.
Tujuan Untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya lokal khususnya pesta adat dan upacara penguburan serta bagaimana praktik budaya itu digunakan oleh elit politik lokal untuk mencapai tujuan politiknya.
1.4.
Ruang Lingkup Mengingat pemahaman budaya dan politik begitu luas serta meliputi berbagai aspek sosial dalam masyarakat, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup yang spesifik yaitu pesta adat (rambu tuka’), upacara penguburan (rambu solo’) serta pemanfaatan simbol budaya (rumah adat) yang sangat potensial dimanfaatkan oleh elit-elit politik lokal untuk memobilisasi masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan politiknya, perekonomian masyarakat, serta
politik lokal
(pemekaran daerah dan pemilukada). Tongkonan dalam masyarakat Toraja adalah rumah adat atau tempat bertemunya keluarga besar untuk melaksanakan ritus-ritus adat secara bersama-sama baik ritus rambu tuka’ (pesta adat) maupun ritus rambu solo’ (upacara penguburan). Tongkonan pada awalnya adalah rumah yang didirikan oleh sepasang suami istri untuk ditempati, walaupun tidak dengan sendirinya setiap rumah yang dibangun
15
harus menjadi tongkonan (Kobong, 2008: 88). Adapun fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah budaya lokal, ekonomi, dan politik. 1.5.
Tinjauan Pustaka Banyak tulisan yang mengupas tentang budaya Toraja dan juga pergeseran budaya yang terjadi di dalamnya. Berbagai tulisan tersebut memiliki cara pandang dan pendapat yang berbeda, namun secara prinsip memiliki kandungan budaya Toraja yang selaras dengan fakta yang ada dilapangan. Dalam tulisan ini, penulis mengupas pada aspek pergeseran makna tradisional pesta adat dan upacara penguburan yang semula bermakna telogis telah bergeser menjadi makna politis oleh elit-elit yang ingin mendapatkan kedudukan dalam masyarakat. Beberapa tulisan yang mengupas tentang budaya Toraja dan pergeseran politik yang ada di dalamnya antara lain adalah Theodorus Kobong (2009), Tino Saroengallo (2008), Edwin De Jong (2013), dan L.T. Tangdilintin (1985). Theodorus Kobong (2009), dalam disertasinya yang berjudul Injil dan Tongkonan, Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi. Tulisan ini menyoroti tentang asal muasal nenek moyang masyarakat Toraja beserta kepercayaannya dan perubahan budaya dari kepercayaan lama (aluk to dolo) menjadi Kristen oleh para Zending. Dalam arti bahwa bagaimana iman
Kristen
dalam
perjumpaannya
dengan
kebudayaan
Toraja
Tradisional. Dalam tulisan Kobong lebih difokuskan pada aspek
16
teologisnya yaitu perubahan dari keyakinan lama (aluk to dolo) menjadi Kristen beserta tantangan yang dihadapi oleh para zending. Perbedaan dari tulisan ini terletak pada pemanfaatan tradisi pesta adat dan upacara penguburan oleh elit-elit lokal atau orang kaya baru untuk tujuan politiknya. Demikian halnya dalam tulisan Kobong belum terungkap unsur politis dari makna tradisi pesta adat dan upacara penguburan yang dilakukan oleh elit-elit atau oknum masyarakat secara besar-besaran. Pada sisi lain, tulisan yang menyoroti tentang pergeseran budaya terkait dengan unsur politik dan ekonomi antara lain dikemukakan oleh Edwin De Jong (2013) dengan judul tulisannya “Making a living between crises and ceremonies in Toraja” menyoroti bahwa masyarakat Toraja secara harfiah hidup dengan orang mati. Kehidupan masyarakat Toraja telah terstruktur dengan rangkaian acara ritual terutama upacara pemakaman menjadi hal yang penting. Saat Indonesia mengalami krisis pada akhir tahun 1990-an, upacara pemakaman mewah dengan biaya yang tinggi tetap berlangsung di Toraja pada setiap tahunnya. Tulisan ini difokuskan pada tiga hal pokok yaitu budaya, ekonomi, dan juga politik. Perbedaan
dengan
tulisan
ini,
Edwin
De
Jong
tidak
mengungkapkan peran elit-elit masyarakat dari struktur sosial rendah (yang diperhamba) yang menuntut hak untuk menjadi pemimpin masyarakat (Parenge’) melalui pelaksanaan tradisi pesta adat dan upacara penguburan. Dalam tulisan ini juga diuangkapkan politik yang
17
menyangkut pemekaran daerah dan pemilihan pemimpin masyarakat termasuk pemilihan Kepala Daerah dan anggota Legislatif yang juga memnafaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan sebagai instrumen politik. Perdebatan teorisasi yang mendalam terjadi antara apa yang ditemukan dalam penelitian Kobong dengan Edwin De Jong. Kobong pada prinsipnya tetap teguh mengemukakan bahwa perubahahan kepercayaan lama
(aluk
to
dolo)
menjadi
keyakinan/kepercayaan baru
kristen
dikarenakan
adanya
yang berdampak pada adanya larangan
terhadap adat-adat yang tidak sesuai dengan iman kristen. Kedatangan para Zending memperkenalkan agama Kristen ke masyarakat Toraja menurut Kobong menyebabkan adat dan budaya dalam kepercayaan lama menjadi berubah. Artinya kepercayaan lama berubah menjadi adat yang dijalankan hingga saat ini. Sedangkan Edwin De Jong beranggapan bahwa perubahan kepercayaan atau adat
yang terjadi itu banyak dipengaruhi oleh
kepentingan ekonomi dan politik. Sehingga ada dua hal yang berbeda dalam pengaruh terhadap perubahan budaya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Edwin De Jong tersebut sesungguhnya ada keselarasan dengan temuan dari Tino Saroengallo (2008), yang secara prinsip mengemukakan bahwa faktor politik dalam hal ini kekuasaan ternyata berpengaruh terhadap perubahan budaya Toraja. Ketidak-berdayaan masyarakat terutama masyarakat yang sadar akan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh ritual pemakaman, lebih disebabkan oleh tekanan politik
18
lokal yang lebih dominan dilandasi oleh rasa gengsi atau kekhawatiran kaum bangsawan akan kehilangan muka dari masyarakat umum. Pada studinya yang berjudul Ayah dan anak beda warna “Anak Toraja Kota menggugat, Tino Saroengallo (2008) mengemukakan bahwa upacara pemakaman seorang bangsawan (Mr. Renda Saroengallo) yang dianggapnya sebagai suatu pemborosan, hanya untuk mempertahankan kelanggengan kekuasan dan
martabat keluarga sebagai keluarga
bangsawan (tana’ bulaan). Artinya bahwa ada kepentingan politik dalam pelaksanaan pemakaman. Oleh sebab itu, Tino Saroengallo menghimbau kepada pemerintah dan tokoh adat untuk mengkaji kembali tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun, tetapi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada motif dari makna pelaksanaan tradisi pesta adat dan upacara penguburan. Tino Saroengallo hanya menyoroti pada aspek penguburan yang dianggapnya sebagai suatu pemborosan hanya untuk mempertahankan kekuasaan bangsawan. Sementara dalam tulisan ini peran aktor yang dilakukan oleh orang kaya baru terutama oknum dari struktur sosial rendah pada dua acara penting yaitu pesta adat dan upacara penguburan adalah untuk menaikkan status sosialnya dan mewujudkan tujuan politiknya. Jika Tino Saroengallo mengeluhkan kondisi upacara pemakaman sebagi suatu pemborosan yang tidak bermakna dan sarat dengan kepentingan kekuasaan, maka Bert Tallulembang melihatnya dari sisi
19
gengsi masyarakat. Bert Tallulembang mengatakan bahwa faktor pendorong dalam menggerakkan orang untuk mengorbankan hewan dalam jumlah besar dengan biaya tidak sedikit lebih kepada harga diri semu atau gengsi. Bert Tallulembang dalam studinya dengan judul Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja dalam refleksi seabad Kekristenan masuk Toraja menyoroti tentang masyarakat Toraja perantau yang hidup di daerah lain merasa perlu membuktikan keberhasilan mereka di rantau. Bert Tallulembang mengatakan bahwa orang Kristen yang seharusnya memahami konsep keimanan tidak boleh melakukan upacara-upacara adat yang tidak sejalan dengan iman Kristen. Kenyataannya upacara pemakaman yang menganut ajaran kepercayaan lama (aluk to dolo) yang bertentangan dengan iman Kristen justru orang Kristen yang banyak melakukan hal tersebut. Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada peran elit yang memanfaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan, bukan hanya dilakukan oleh orang Kristen tetapi orang non Kristen juga telah melakukan dengan tujuan mewujudkan keinginannya. Dalam tulisan ini juga diungkap bahwa tujuan yang lebih luas dari elit-elit lokal dalam memanfaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan adalah untuk mensosialisasikan pemekaran daerah. Pelaksanaan upacara penguburan yang dilaksanakan di rumah adat (tongkonan) dengan berbagai ornamen asesorisnya menurut Tino Saroengallo hanyalah cara bangsawan dalam memamerkan kebesarannya
20
dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Pendapat ini sejalan studi dari Tangdilintin (1995) dalam tulisannya berjudul Tongkonan (Rumah Adat) Arsitektur & Ragam Hias Toraja (1995) yang menyoroti tentang fungsi rumah adat sebagai tempat pelaksanaan adat istiadat (pesta adat dan upacara penguburan). Rumah adat tersebut selain berfungsi sebagai rumah tinggal dan tempat pelaksanaan ritual kemasyarakatan, juga dijadikan sebagai tempat untuk memberikan perintah dari penguasa kepada masyarakat. Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada fungsi dari rumah adat (tongkonan). Jika Tangdilintin menyoroti dari fungsi rumah adat sebagai tempat menjalankan perintah selain sebagai tempat tinggal, maka dalam tulisan ini fungsi dari rumah adat tidak hanya sebagai tempat menjalankan perintah dan tempat tinggal tetapi telah dijadikan sebagai arena kampanye politik terutama untuk mensosilaisikan diri untuk menjadi pemimpin dan pemekaran daerah. Dalam tulisan ini juga mengurai tentang bagaimana rumah adat yang telah dimanfaatkan sebagai tempat mengekspresikan tujuan politik oleh elit-elit politik lokal baik dari masyarakat dengan status sosialnya rendah maupun orang kaya baru. Adapun dalam lingkup pemekaran daerah, juga terdapat beberapa penulis yang telah melakukan penelitian, diantaranya adalah Mohamad Hatta (2007), Syaukani, et al, (2009: 27), Zuhro, (2009: 163), dan lain-lain. Meskipun kesukuan merupakan topik diskusi para pengamat pada tahun 1950-an, namun menurut Nordholt dan Klinken (2009: 30)
21
wacananya yang paling dominan adalah difokuskan pada nation building. Peran partai-partai politik dan pilar-pilar politik dalam masyarakat Jawa yang disebut aliran. Menganalisis kecenderungan tersebut, Ichlasul Amal (1992) menurut kedua penulis di atas mengingatkan bahwa pendekatan tersebut justru mengaburkan pentingnya faktor-faktor etnik yang justru membentuk kancah perpolitikan Indonesia. Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai empat etnis besar dengan karakteristik masyarakat yang berbeda yaitu etnis Makassar, etnis Bugis, etnis Mandar, dan etnis Toraja. Secara umum karakteristik masyarakat keempat etnis tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh agama dan strata sosialnya. (Nordholt dan Klinken, 2009) Elit politik lokal baik pemerintah, intelektual, maupun ulama, masih memiliki pengaruh penting dalam membangun budaya politik masyarakat di Sulawesi Selatan. Hal ini menggambarkan bahwa hubungan patron-klien masih sangat kuat dalam masyarakat terutama dalam hubungan kekerabatan dan kedaerahan dan masih mendominasi proses pemilihan pimpinan daerah dan pimpinan dalam masyarakat (Zuhro, 2009: 163). Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, telah didapatkan berbagai tulisan mengenai kebudayaan Toraja yang ditulis oleh para ahli dengan memberikan argumen yang saling melengkapi. Berikut beberapa tulisan para ahli yang ditelusuri antara lain:
22
Aspek pemekaran daerah di Indonesia telah ditulis oleh berbagai pakar dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemekaran daerah atau pemberian otonomi kepada daerah tidak lepas dari sistem politik dan karakteristik masyarakat di daerah yang bersangkutan. Menurut para pakar pilihan pemekaran atau otonomi luas merupakan pilihan yang strategis dalam rangka memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah lama kita bangun, dan kita pelihara (Syaukani, et al, 2009: 27). Makna dari nation state (negara bangsa) tersebut adalah memberikan keleluasan kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola sendiri rumah tangganya dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat yang sama dikemukakan beberapa pakar lainnya seperti Mohamad Hatta (2007) yang menyoroti tentang hubungan hukum antara sistem otonomi daerah dengan hukum pertahanan Indonesia. Euforia pemekaran atau pembentukan daerah baru banyak dipengaruhi oleh adanya ekspektasi-eskpektasi dan keluhan-keluhan di tingkat lokal, baik dalam masyarakat maupun pemerintah daerahnya (Makagansa, 2008: 161). Ekspektasi bagi masyarakat lokal diantaranya adalah terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat setempat dalam rangka mengatasi masalah pengangguran. Ekspektasi pemekaran daerah lainnya bagi masyarakat lokal di antaranya adalah dapat mengoptimalkan potensi
23
daerah yaitu sumber daya alam yang dimiliki untuk mensejahterakan masyarakat dan menata sistem pemerintahan yang lebih mandiri. Pemekaran di Sumba Barat ditampilkan secara menarik oleh Vel (dalam Nordholt dan Klinken, 2009: 116) dengan judul ”Massa bersukaria menyambut kabupaten baru di Sumba” sebagai berikut: Ribuan orang berkumpul di dataran Laikaruda di bagian tengah Sumba pada 31 januari 2003 untuk merayakan kabupaten baru Sumba Tengah. Truk-truk dan bus-bus kecil sejak dini hari sudah berangkat ke desa-desa untuk menjemput para penggembira dan menyebarkan berita bahwa sebuah delegasi dari Jakarta akan datang untuk merayakan kabupaten baru itu. Akan ada pesta, dengan musik gong dan hidangan berdaging. Tamu-tamu terhormat dari Jakarta menerima hadiah-hadiah tradisional, misalnya kain Sumba asli. Pertunjukan tari-tarian tradisional menekankan komitmen, kebudayaan, dan tradisi yang kuat dari populasi lokal daerah itu, yang sebentar lagi akan menjadi kabupaten. Spanduk-spanduk di atas jalan memproklamasikan penciptaan Sumba Tengah sebagai tindakan demokrasi murni – Vox Populi Vox Dei: Suara rakyat adalah suara Tuhan – dan slogan itu secara lokal akan diinterpretasikan sebagai pertanda rahmat Tuhan (Kristen) bagi upaya kampanye tersebut. Sesudah itu barulah massa tahu bahwa itu semua hanyalah satu langkah dalam sebuah proses panjang untuk menciptakan kabupaten baru. Mereka telah dikerahkan untuk meyakinkan DPR Pusat Jakarta, yang tengah berkunjung, bahwa Sumba Tengah terutama didasarkan pada aspirasi murni masyarakat. Digambarkan bahwa ’pemekaran’ merupakan penciptaan sebuah kabupaten baru keluar dari kabupaten lama (kadang-kadang disebut redistricting) di Sumba Barat. Usulan-usulan yang diajukan bertujuan memecah kabupaten Sumba Barat yang sekarang ini menjadi tiga: Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.
24
Vel (dalam Nordholt dan Klinken, 2009: 117) mencatat bahwa di seluruh Indonesia, retorika kampanye selalu menyebut-nyebut tiga alasan utama untuk menciptakan kabupaten baru: bahwa hal itu akan menguntungkan kemakmuran ekonomis, dan bahwa adalah kehendak rakyat untuk memiliki kabupaten sendiri. Kabupaten baru akan memiliki birokrasi sendiri, dengan anggaran yang akan dibelanjakan menurut prioritas-prioritasnya sendiri, yang merupakan satu alasan bagus bagi para kandidat birokrat baru untuk menciptakan kabupaten mereka sendiri. Mendirikan birokrasi kabupaten baru menjanjikan sejumlah besar pekerjaan bagi orang-orang lokal yang berpendidikan baik tetapi sekarang menganggur. Pemekaran adalah proses yang panjang, yang melibatkan usaha mengkampanyekan daerah, melobi institusi-institusi dan orangorang yang akan mengambil keputusan akhir di tingkat provinsi dan Jakarta, dan prosedur-prosedur birokratis yang bertele-tele. Kasus Sumba yang disajikan di sini merupakan satu contoh tentang bagaimana hukum-hukum dan institusi-institusi baru yang diciptakan di tingkat nasional dianggap sebagai kesempatan oleh para anggota elit politik lokal, yang menyesuaikan hukum-hukum serta institusi-institusi baru tadi dengan kultur politik lokal dan menggunakannya untuk memperkuat
posisi
atau
kepentingan-kepentingan
mereka
sendiri
(Nordholt dan Klinken, 2007). Praktik budaya di Tana Toraja khususnya pesta adat dan upacara penguburan bagi masyarakat Toraja adalah hal yang sangat mendasar
25
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Ketentuan
adat
istiadat
telah
dimanipulasi untuk gengsi keluarga atau mencari popularitas dan pada akhirnya menginginkan posisi atau kedudukan di dalam masyarakat (Palebangan, 2007). Konflik timbul karena adanya perbedaan kepentingankepentingan
(interest).
Konflik
dilatarbelakangi
oleh
perbedaan
kepentingan yang memanfaatkan budaya sebagai instrumen politik (agama, suku, adat, etnik, ras). Penelitian ini merupakan eksplorasi atas adanya manipulasi dalam praktik budaya Toraja, yang kemudian berubah menjadi suatu transaksitransaksi politik. Rambu tuka’ (pesta adat) dan rambu solo’ (upacara penguburan) digunakan penulis sebagai kegiatan dari proses-proses yang dimanipulasi oleh elit sosial baru dengan tujuan yang baru. Pemekaran daerah merupakan tujuan politik yang menjadi sasaran para elit politik. Pemekaran
daerah
menjanjikan
kekuasaan,
jabatan-jabatan,
dan
kesempatan kerja. Namun demikian, untuk mendapatkan persetujuan pemerintah pusat, diperlukan dukungan politik dari akar rumput (grass root), disamping kemampuan lobby politik. Masalah lobby politik tidak dibahas pada penelitian ini. Manfaat penelitian ini adalah dalam rangka penulisan disertasi doktoral pada Universitas Gadjah Mada. Disertasi ini diharapkan dapat menggugah peneliti lain di kemudian hari untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang budaya dalam perspektif politik ditinjau dari aspek budaya lokal dan politik, meskipun berbeda tema dan pendekatannya.
26
1.6.
Kerangka Teori
1.6.1. Teori Budaya Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, budaya (culture) diartikan sebagai pikiran-pikiran, dan akal budi. Budaya berhubungan dengan cara manusia hidup. Dalam hal ini manusia dikarunia akal sehat untuk berfikir yang merupakan sumber gagasan, merasakan, mempercayainya sebagai sebuah tuntutan hidup. Dalam bahasa latin budaya disebut colere yang berarti mengerjakan atau mengelola tanah. Sementara itu, Kroeber dan Kluochohn dalam Sutrisno dan Putranto (2005: 8-9) lebih merinci definisi budaya dalam 6 pemahaman pokok yaitu: a.
Defenisi deskriptif yang cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya.
b.
Definis historis yang cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke genarasi berikutnya.
c.
Definisi normatifnya bisa mengambil 2 bentuk. Pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkrit. Kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.
27
d.
Definisi psikologis yang cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecah masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya.
e.
Definisi struktural yang menunjukkan pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkrit.
f.
Definisi genetis, melihat dari asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Koentjaraningrat dalam
Sudarsono dan Ruwiyanto3, (1999: 12) mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya dapat memberi arah kepada masyarakat untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang terpelihara secara turun-temurun. Budaya juga dapat menuntun dan memberi ruang untuk menunjukkan identitas diri manusia sebagai insan yang mempunyai ahlak dan moral dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang disepakati bersama dan mengandung nilai-nilai luhur sebagai gambaran 3
Sudarsono dan Ruwiyanto (1999: 265) juga menyatakan bahwa budaya adalah semua bentuk, proses, dan produk perilaku manusia yang dapat diterima oleh norma yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa, atau yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut atau sedang berkembang di suatu masyarakat atau bangsa.
28
hidup
bermasyarakat,
dan
bangsa.
Budaya
dapat
mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia yang mampu menyaring hal-hal yang tidak sesuai kondisi masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa budaya mencakup seluruh norma-norma yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat dalam suatu komunitas termasuk aturan-aturan yang tidak tertulis namun merupakan kesepahaman masyarakat yang dipegang secara terus menerus. Norma-norma tersebut antara lain keyakinan, aturan-aturan, hukum, kebiasaan-kebiasaan yang secara turun-temurun dijadikan pijakan dalam bertindak, bersikap, dan berperilaku. Setiap kebudayaan berintikan pada nilai-nilai budaya dan nilai-nilai budaya inilah yang mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan sehingga operasional sebagai acuan atau pedoman bagi tindakan-tindakan manusia dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Suparlan melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat atau dengan kata lain, kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat (Suparlan, 2005). Budaya masyarakat Toraja tidak terlepas dari pemahaman tentang kepercayaan lama (aluk to dolo) yang dimanifestasikan dalam bentuk aluk (agama) dan ada’ (adat). Menurut mitologi Toraja, aluk berasal dari alam atas yaitu dari langit atau alam dewa-dewa yang dibawa turun ke bumi yang disebut sebagai aluk sanda pitunna (aluk serba tujuh atau 7777777)
29
dan mencakup semua bidang kehidupan manusia (Kobong, et al, (1992: 19-21). Aluk adalah tata tertib kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan ketentuanketentuan
adat
(Kobong,
2008:
48).
Selanjutnya
Palebangan
mendefinisikan aluk sebagai ajaran, upacara, dan larangan atau pemali (Palebangan, 2007: 79). Ada berbagai macam aluk yang dikenal dalam kehidupan masyarakat Toraja di antaranya adalah aluk mellolo tau yaitu aluk yang menyangkut ketentuan-ketentuan adat dan hubungan antar manusia yaitu kelahiran manusia sampai dewasa, aluk tedong yaitu aluk yang meyangkut kerbau, aluk bua’ yaitu aluk yang berhubungan dengan pesta sukacita, aluk rambu tuka’ yaitu aluk yang berhubungan dengan pesta adat, dan aluk rambu solo’ yaitu aluk yang berhubungan kematian atau upacara penguburan. Namun dalam penulisan ini hanya difokuskan pada aluk rambu tuka’ dan aluk rambu solo’. Aluk4 dan adat adalah padanan dalam arti bahwa adat adalah bentuk pelaksanaan dari aluk (Kobong, 2008: 47). Menurut Frans B. Palebangan (2007: 86), ada’ atau adat dapat diartikan sebagai norma-norma tradisional yang diakui dan dipatuhi oleh para anggota masyarakat secara turun-temurun di dalam suatu suku
4
Aluk dalam tulisan ini adalah aturan-aturan yang telah disepakati bersama dan dijalankan secara terus menerus oleh masyarakat Toraja dan menjadi tuntunan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Aturan dalam hal ini adalah berupa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nenek moyang orang Toraja dan diwariskan ke generasi berikutnya, sehingga merupakan suatu tata tertib yang mengatur perilaku masyarakat dalam bertindak. Aluk sama dengan agama atau keyakinan yang mengatur segala tingkah laku masyarakat.
30
bangsa. Selanjutnya menurut Kobong, et al, (1992: 9) adat (ada’) adalah suatu kebiasaan yang diturun-alihkan sejak dari nenek moyang kepada anak cucunya turun-temurun, yang sudah berurat akar di kalangan masyarakat yang bersangkutan. Dalam tulisan ini adat istiadat dapat diartikan sebagai suatu tata cara atau tradisi yang lazim dan mengikuti pola hidup suatu kelompok masyarakat secara turun-temurun. Adat istiadat masyarakat Toraja khususnya yang menyangkut pesta adat (rambutuka’) dan ritual penguburan (rambusolo’) adalah tardisi yang diturunkan dari nenek moyang mereka dan secara turun temurun dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang berlaku dalam adat tersebut. Adat adalah gagasan kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai kebudayaan, norma-norma, kebiasaan, atau kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Sejumlah pengamat budaya mengatakan bahwa budaya orang Toraja hampir mirip dengan budaya orang Batak, sebuah etnis di Sumatera Utara yang sebagian besar di antaranya beragama Kristen. Kemiripan itu dihubungkan dengan pola arsitektur dan fisik rumah adat Batak dengan rumah adat orang Toraja memiliki kemiripan di sana sini. Sejumlah pengamat juga megatakan bahwa antara keduanya ada kemiripan antara lain menyangkut ikatan nilai-nilai kekerabatan, hubungan kekeluargaan, keterbukaan, dan lain-lain. Budaya orang Batak menurut Warneck sebagaimana dikutip oleh Simanjuntak (2009) bahwa ciri khas orang Batak yaitu selain pengasih,
31
tulus, murah hati, setia dan jujur; mereka juga sombong, pongah, pencuriga atau cemburu, malas, acuh tak acuh, dan kikir; bersemangat pejuang dan perang. Lebih lanjut Warneck mengatakan bahwa kultur masyarakat Batak memiliki kebiasaan pertengkaran, perkelahian dan peperangan. Sementara Simanjuntak (2009) mengatakan bahwa penyebab timbulnya konflik adalah adanya sakit hati di antara sesama penduduk, perbedaan pandangan dalam proses pelaksanaan adat dan arena perebutan harta warisan. 1.6.2. Teori Politik Menurut Harold D. Laswell dan A. Kaplan (1950) bahwa ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Selanjutnya dikatakan bahwa politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan di mana. Semnetara menurut Gabriel A. Almond dalam Budiarjo (1994) politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Selanjutnya Upe (2008) mengatakan bahwa politik adalah seni dan ilmu (science and art) untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional. Pengertian tentang politik lokal tidak berbeda dengan pengertian politik nasional. Politik lokal dalam hal ini adalah semua kegiatan politik yang berada dalam tataran lokal. Untuk memahami politik lokal, maka perlu memahami politik secara umum. Pemahaman tentang politik telah
32
diperkenalkan oleh Aristoteles yang digunakan dalam penyebutan nationcity (negara-kota) yaitu polis, yang mengatakan bahwa hakikat kehidupan sosial sesungguhnya merupakan politik dan interaksi satu sama lain dari dua atau lebih orang, sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Lebih lanjut dikatakan bahwa manakala manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, dan berusaha untuk meraih kesejahteraan pribadinya melalui sumber yang tersedia, serta berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka akan melihat dirinya sibuk dengan kegiatan politik (Rodee, et al, 2009: 23). Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa dalam kegiatan yang bersifat politik selalu melibatkan orang, lembaga, dan status dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan berpolitik adalah cara-cara atau upaya-upaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain dalam mewujudkan tujuannya. Singgih dalam Abdillah (2002) mengatakan bahwa etnis banyak memberikan sumbangan terhadap munculnya konsep negara bangsa (nation-state) yang dalam wacana intereaksi sosial moderen menjadi sebuah cara atau model pembacaan sosial yang dikotomis dan operasional. Munculnya ego sukuisme atau etnisitisme memunculkan wacana pembacaan dikotomis operasional ”aku-kamu”, ”kami-mereka”, akibatnya timbul berbagai pertikaian dalam masyarakat yang mengatasnamakan isme kesukuan, etnisitas, kebangsaan, nasionalisme, patriotisme suatu bangsa
33
dengan menghancurkan nilai-nilai hakiki dan derajat kemanusiaan. Selanjutnya Abdillah mengemukakan bahwa etnisitas adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi. Kemudian Barker (2000) mengatakan bahwa etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya ’suku bangsa’ bersandar pada kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Vel dalam Nordholt dan Klinken (2009) mengatakan bahwa di berbagai tempat di Indonesia, politik identitas lokal seringkali dimainkan dengan menggunakan agama dan etnisitas. Hal senada dikatakan oleh Purwanto (2011) bahwa etnis telah digunakan sebagai atribut politik yang penting
bagi
banyak
golongan
masyarakat
untuk
mendesakkan
kepentingan mereka. Hal ini dapat diamati pada pemekaran Provinsi Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara, yang dominan disebabkan karena perbedaan budaya (agama). Begitu juga rencana pembentukan Provinsi Tapanuli di Sumatera Utara yang disebabkan oleh perbedaan budaya (agama) antara penduduk yang berdomisili di Sumatera Utara bagian Utara dan penduduk di Sumatra Utara bagian Selatan. Kondisi ini menyebabkan munculnya konflik yang memakan korban jiwa yaitu meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara (Simandjuntak, 2009).
34
Politik terkait erat dengan kekuasaan. Mengutip Harold Lasswell, Miriam Budiardjo (1994: 84) merumuskan bahwa kekuasaan adalah: Kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.5 Dalam perumusan ini pelaku kekuasaan bisa berupa seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu kolektivitas. Robbins (2003: 367-368) mengatakan bahwa kekuasaan merujuk kepada kapasitas yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompoknya. Orang dapat berkuasa karena berbagai hal seperti kekuasaan paksaan (coercive power) yang berbasis pada ketakutan, kemudian kekuasaan karena adanya imbalan sesuatu (reward power), kekuasaan legitimasi (legimate power) karena kedudukannya dalam organisasi, dan kekuasaan kepakaran (expert power) karena keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Lebih jauh Miriam Budiarjo (1994: 89) memaparkan beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu authority (otoritas, wewenang) dan legitimacy (legitimasi, keabsahan). Merujuk Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Power and Society Miriam Budiardjo (1994: 90) mengatakan bahwa wewenang itu adalah kekuasaan formal (formal power). Meneruskan pembahasan mengenai wewenang, dengan mengutip Max Weber, Miriam Budiardjo (1994: 90) mengatakan ada tiga macam wewenang, yaitu tradisional, karismatik, dan rasional
5
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994:84.
35
legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi adalah wajar dan patut dihormati. Konsep legitimasi atau keabsahan menurut Miriam Budiardjo (1994) penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran itu, lanjut Budiardjo berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Dalam hubungan ini keabsahan menurut David Easton sebagaimana dirumuskan kembali oleh Budiardjo (1994: 91) adalah: Keyakinan dari pihak masyarakat bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima baik dan mentaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (the conviction on the part of the member that it si right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime).6 Sedangkan dari sudut pandang penguasa, menurut Budiadirdjo (1994: 91) yang merujuk pada A.M. Lipset: Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat (Legitimacy includes the capacity to produce and maintain a beliefs, that the existing political institutions or forms are the most appropriate for the society).7
6 7
Ibid hal 91. Ibid hal 91.
36
Sistem pemerintahan yang dilaksanakan selama kepemerintahan Orde Baru, tidak banyak memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola berbagai potensi wilayah yang dimiliki daerah. Memasuki era reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, otonomi daerah dipercepat, sehingga sebagian besar kewenangan pusat dilimpahkan ke daerah. Oleh sebab itu euforia pelaksanaan otonomi atau pemekaran daerah baru yang diperjuangkan oleh elit-elit lokal bersama masyarakat telah semakin kuat, khususnya bagaimana agar segera memiliki hak-hak otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah. Otonomi atau pemekaran daerah juga dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah oleh perbedaan etnis, suku, agama, serta wilayah yang terlalu luas untuk dikelola oleh satu pemerintah daerah. Pemekaran Kabupaten Mentawai dari Kabupaten Padang Pariaman misalnya, adalah hasil dari aktivitas-aktivitas elit lokal yang terlibat dalam kontes atau persaingan untuk meraih kedudukan-kedudukan politis. Di dalam prosesnya kontes ini diwarnai dengan gejolak politis yang intens di dalam hal mana segala macam eksklusionisme didasarkan pada berbagai sentimen etnis (Eindhoven, 2009). Konflik yang terjadi di berbagai negara terutama
pada
pasca perang dingin memunculkan
politik
yang
dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Begitu juga dengan politik etnis seperti yang terjadi di Yugoslavia, Cekoslowakia, Uni Soviet yang menyebabkan negaranegara tersebut terpecah-pecah. Konflik antar etnis bukan hanya terjadi
37
pada negara-negara maju, negara-negara berkembang pun tak luput dari konflik etnis ini seperti yang terjadi di Irak, India, Myanmar, termasuk Indonesia. Kekerasan dalam interaksi etnis sangat jelas dalam kancah konstelasi
politik
ketika
menyangkut
aspek-aspek
kepemimpinan,
penguasaan wilayah dan teritorial, eksploitasi atas sumber-sumber lahan produksi, dan egoisme akan kemandirian masing-masing identitas etnis (Abdillah, 2002). Konflik horizontal yang terjadi di Indonesia pada umumnya mengatasnamakan isme kesukuan, keagamaan, kewilayahan, dan etnisitas yang terbungkus secara politik. Seperti konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat melibatkan antara etnis Dayak dan etnis Madura. Sementara konflik yang didasarkan pada agama terjadi di Poso dan Ambon melibatkan penganut agama Islam dan penganut agama Kristen (Simandjuntak, 2009). Perebutan wilayah kekuasaan terutama pada daerah otonom seperti yang terjadi di Kabupaten Polewali Mamasa (Sulawesi Barat) yang dimekarkan menjadi Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polman (Polewali Mandar). Sebagian besar penduduk desa Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) menolak memasukkan wilayahnya ke Kabupaten Mamasa, akibatnya terjadi konflik perbatasan dalam masyarakat. Sistem multi partai dan pelaksanaan pemekaran daerah atau pemberian otonomi kepada daerah di Indonesia memungkinkan timbulnya perebutan kekuasaan dan kewilayaan yang memunculkan ego kedaerahan
38
dan kesukuan. Kondisi ini mempersubur pembedaan dikotomi tentang ”aku-kamu”, ”kami-kamu” yang didasarkan pada kesukuan atau etnisitas. Dikotomi ”aku-kamu”, ”kami-kamu” juga masih sangat kental di Sulawesi Selatan, dimana suku Makassar, suku Bugis, suku Mandar, dan suku Toraja disamping etnis Tionghoa masih sering terjebak dalam konflik dikotomi tersebut. Adanya perbedaan pandangan politik yang didasarkan pada perbedaan budaya dan etnis menyebabkan pengambilan keputusan politik tidak jarang menimbulkan konflik antar suku atau etnis. Etnis Toraja yang dominan beragama Kristen terjepit di antara etnis Makasar, etnis Bugis, dan etnis Mandar yang beragama Islam. Perbedaan etnis dan agama ini sering memunculkan benturan kepentingan terutama pada pemetaan personalia
di
pemerintahan
Provinsi.
Selama
proses
rekrutmen
kepemimpinan yang didasarkan pada kepentingan etnis dan agama, maka sulit bagi orang Toraja yang dominan beragama Kristen untuk menduduki puncak kepemimpinan di Provinsi (Gubernur). Salah satu alasan pelaksanaan timbulnya aspirasi pemekaran daerah adalah adanya konflik yang bernuansa agama. Kondisi ini dapat dilihat pada beberapa pemekaran di Indonesia yang menggunakan agama dan etnis sebagai dasar pemekaran daerah di antaranya adalah pemekaran Kabupaten Poso. Ada juga persoalan baru muncul dalam pemekaran daerah seperti pada daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Muslim, sangat sulit menerima kepala daerah yang beragama Kristen atau
39
sebaliknya bagi daerah yang penduduknya mayoritas Kristen sangat sulit menerima kepala daerah yang beragama Islam (Eindhoven, 2009). Kondisi di atas berbeda pada pemekaran Kabupaten Toraja Utara dari Kabupaten Tana Toraja. Kedua wilayah tidak memiliki perbedaan signifkan dalam hal etnisitas dan agama. Baik para elit politik di Tana Toraja dan para elit politik di Toraja Utara memiliki latar belakang etnis dan agama yang sama, sebagaimana mayoritas penduduk di kedua kabupaten. Oleh sebab itu penelitian ini merupakan upaya untuk mendeskripsikan keterkaitan antara praktik budaya, pergeseran nilai-nilai budaya, manipulasi politik dalam hubungannya dengan aspirasi pemekaran daerah. Terdapat banyak bukti yang memperlihatkan bahwa penduduk di kedua kabupaten relatif homogen dibandingkan dengan kabupatenkabupaten lainnya di Propinsi Selatan 1.6.3. Teori Perubahan Sosial Apabila merujuk pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Toraja, ada beberapa teori yang mendekati sama yaitu teori perubahan sosial sebagaimana di kemukakan oleh Selo Soemardjan (1974) perubahan sosial adalah segala perubahan pada berbagai lembaga masyarakat dalam suatu lingkungan masyarakat yang mempengaruhi sistim sosial, sikap, pola perilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.. Sedangkan Kings Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat.
40
Selanjutnya menurut Palebangan bahwa Perubahan sosial terjadi karena adanya ide tertentu, lingkungan alam, desakan kependudukan, atau struktur sosial dan proses budaya (Palebangan, 2007: 135). Lebih lanjut dikatakan Palebangan bahwa perubahan sosial di Toraja dan sering dipolitisasi adalah hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan tertentu. Penggunaan kata aluk yang dulunya adalah merupakan kepercayaan (agama) telah digeser maknanya secara pelan-pelan menjadi adat. Perubahan sosial dalam masyarakat terjadi sebagai akibat dari adanya kepentingan-kepentingan indibvidu atau kelompok dengan melakukan modifikasi berbagai modifikasi terhadap berbagai pola kehidupan. Hal ini dilakukan untuk meraih berbagai kepentingan yang diinginkan dalam kehidupannya. Menurut Susanto (1983) bahwa individu dapat mengubah masyarakat sekelilingnya melalui hasil pendidikannya sebagai manusia yang berfikir, dapat mengambil kesimpilan dan pelajaran dari pengalamanya, mencetuskanya menjadi ide yang baru. Dengan perubahan inilah, ia akan mengubah masyarakat sedikit demi sedikit dan akhirnya terjadilah apa yang dikenal sebagai proses sosial yaitu proses pembentukan masyarakat. Dengan demikian masyarakat selalu dalam perubahan, penyesuaian dan pembentukan diri (dalam dunia sekitarnya) sesuai dengan idenya. Hal senada dikemukakan oleh Geertz (1986 : 89) tentang perubahan kelas pekerja yang terjadi di Mojokuto, bahwa perubahan yang terjadi pada pekerja tanpa tanah mempunyai 3 segi yaitu timbulnya
steruktur
pekerjaan
41
baru
yang
semi
moderen,
yang
memungkinkan dan mendorong penduduk pindah dari tanah dan memasuki pekerjaan di luar pertanian, kemudian pengecilan bentuk kehidupan sosial desa tradisional dalam kampung-kampung dengan hilangnya basis pertanian dari integrasi masyarakat, selanjutnya hilangnya sebagian struktur politik desa dan juga sebagian berorientasi ke arah kepemimpinan politik urban. Politik tidak terlepas dari adanya perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial ini disebabkan adanya kemajuan yang dialami oleh masyarakat baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Perubahan itu biasanya menyangkut struktur dan fungsi-fungsi di dalam masyarakat, pola tingkah laku, norma-norma, nilai-nilai, dan perubahan unsur kebudayaan. Dengan demikian, nilai-nilai budaya khususnya dalam pesta adat dan upacara penguburan sudah mulai terkikis oleh kepentingan politik. Inilah yang disebut oleh Marx dalam Habermas sebagai abstraksi nyata, sebab dalam kehidupan sehari-hari yang tergantung pada realitas tuntutan akan pengakuan, maka manipulasi adat maupun manipulasi diri dapat menghasilkan kekuasaan objektif. 1.6.4. Budaya dan Kebudayaan Budaya dan kebudayaan merupakan satu kesatuan, walaupun terdapat perbedaan. Budaya (culture) dalam tulisan ini merupakan cara hidup atau cara masyarakat berperilaku yang berkembang serta milik bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh sebuah komunitas
42
masyarakat. Budaya juga dapat berarti nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Kebudayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai hasil kegiatan atau penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat).
Atau keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Bila budaya berupa norma-norma, kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam suatu
komunitas masyarakat, maka kebudayaan berupa hasil atau produk kegiatan manusia. Bila disimak dari segi tata bahasa, maka pengertian kebudayaan merupakan turunan dari pengertian budaya yang merujuk pada pola pikir manusia berupa gagasan, tindakan, dan karya manusia. Ihromi
(1984:
21-22)
merumuskan
kebudayaan
sebagai
seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan cara berlaku (kebiasaan) yang dipelajari dan pada umumnya dimiliki bersama oleh warga dari suatu masyarakat (sekelompok orang) yang tinggal di suatu wilayah dan memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. Huntington (dalam Zuhro, et al, 2009: 32) mengatakan bahwa kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Selanjutnya Geertz (1995: 3) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang
43
diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia
berkomunikasi,
melestarikan,
dan
memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Menurut Malinowski (dalam Susanto 1983: 122) kebudayaan terbentuk karena manusia dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian terutama yang menyangkut kebutuhan untuk mempertahankan
kehidupannya.
Oleh
sebab
itu,
manusia
saling
berintereaksi dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan mengelola lingkungannya. Dengan demikian kebudayaan dapat dikatakan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia meliputi aturan dan norma-norma serta simbol yang menjadi tuntunan bagi masyarakat setempat dalam bertindak dan berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan adalah cara pandang masyarakat tentang struktur kehidupan yang di dalamnya mengandung makna, norma, sikap, dan perilaku masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan merupakan acuan dari seluruh aspek kehidupan masyarakat yang diwariskan ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Kebudayaan merupakan sesuatu yang diyakini sebagai alat perekat dalam menata kehidupan bersama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan sebagai penuntun dalam bertindak, bersikap, serta berperilaku
dalam
kesehariannya.
Masyarakat
Toraja
memaknai
kebudayaan sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan aturan-aturan
44
serba tujuh (aluk sanda pitunna). Kobong (2008: 66) mengatakan bahwa kebudayaan di satu pihak adalah pencapaian manusia melalui kegiatannya berdasarkan ketaatannya pada aturan serba tujuh (aluk sanda pintunna), di pihak lain kebudayaan itu sendiri merupakan refleksi tentang pandangan hidup (adat), sedangkan adat itu merupakan sisi lain agama (keyakinan). Adat istiadat ini menjadi budaya yang secara turun-temurun dilaksanakan masyarakat dari dulu hingga saat ini. Dari berbagai penjelasan tentang budaya dan kebudayaan ini, maka dapat dikatakan bahwa gagasan dari akal manusia adalah sumber budaya dan apapun yang timbul dari pikiran manusia masuk dalam lingkup kebudayaan. Jadi budaya dan kebudayaan telah terbentuk sejak manusia hidup dan berkelompok kemudian berfikir, bertindak, berkarya, serta berintereaksi dengan lingkungannya. Dalam kebudayaan itu sendiri ada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan itulah yang menjadikan manusia berperilaku sesuai budayanya. Kaplan dan Manner terjemahan Landung Simatupang (1999) menjelaskan budaya dari sudut pandang antopologi yaitu suatu bidang ilmu yang mempelajari budaya suatu masyarakat pada etnik tertentu termasuk gejala-gejala yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. Dari kondisi tersebut oleh antropolog menyebutkan bahwa budaya dapat dipelajari dari mekanisme, struktur, dan sarana kolektif luar diri manusia. Dengan demikian, kita dapat memahami alasan perbedaan keyakinan,
45
nilai, perilaku, dan bentuk sosial antara kelompok satu dengan kelompok lain. 1.6.5. Dimensi-dimensi Kebudayaan Kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari pola atau tatanan kehidupan masyarakat yang terbentuk dari nilai-nilai atau kesepahaman yang memaknai arti kehidupan yang dirasakan bersama oleh masyarakat dalam suatu wilayah. Kebudayaan ini terbentuk dari suatu pola pikir masingmasing individu dan kebiasaan-kebiasaan serta norma-norma kesepakatan sehingga menjadi tradisi umum yang diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat (1984: 5) menyatakan bahwa wujud dari kebudayaan terdiri atas (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) benda-benda hasil karya manusia. Apabila mencermati dari pendapat Koentjaraningrat tersebut, tampak bahwa budaya dan perubahan dapat terjadi karena proses adaptasi, dalam hal ini David Kaplan dan Albert A Manner (1999) mengemukakan teorinya bahwa adaptasi merupakan suatu proses yang menghubungkan antara sistem budaya dengan lingkungan yang saling berinteraksi sehingga budaya dapat beradaptasi dengan lingkungan. Istilah adaptasi yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manner digunakan untuk mendeskripsikan suatu proses yang terjadi dari waktu ke waktu. Pertanyaan mendasar yang dikemukakan oleh Kaplan adalah bagaiamana bekerjanya sistim budaya
46
yang berbeda-beda dan bagaimana sistim budaya yang berbeda-beda itu menjadi seperti kondisi masa kini. Cara bekerja sistim budaya yang dikemukakan oleh Kaplan dan Manner itu, oleh Kuntjaraningrat diperjelas dalam dimensi-dimensi kebudayaan. 1.6.5.1. Kebudayaan Sebagai Suatu Gagasan Wujud ideal dari dimensi kebudayaan ini yaitu kumpulan dari ideide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma yang sifatnya abstrak. Karena masih bersifat abstrak, maka wujud dari dimensi kebudayaan ini tersimpan dalam pikiran manusia (masih dalam kepala). Bila masyarakat ingin menyatakan atau mewujudkan gagasan ini, maka mereka melakukannya dalam bentuk tulisan atau karangan dan buku-buku sebagai hasil karya masyarakat setempat. Wujud ideal dari kebudayaan inilah yang oleh Kuntjaraningrat disebut sebagai adat tata kelakuan atau adat dalam arti khusus atau adat istiadat dalam arti jamak yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat (Kuntjaraningrat, 1984: 5-6). Kebudayaan Toraja dapat dipahami dari 2 versi cerita yang ditulis oleh para pakar kebudayaan di Toraja. Versi pertama menjelaskan bahwa saat perpisahaan antara langit dan bumi lahirlah tiga dewa yaitu dewa Gaun Tikembong, dewa Pong Banggairante, dan dewa Pong Tulakpadang. Dewa
Gaun Tikembong menempati cakrawala dan dewa Pong
47
Banggairante menempati bumi serta dewa Pong Tulakpadang menjadi penyangga dunia yang dihuni oleh manusia yang turun dari langit, yang disebut Tomanurun.
(Kobong 2008: 7). Selanjutnya dikatakan bahwa
Puang Matua (Tuhan) menempati pusat atau puncak langit yang menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya tanaman-tanaman, bintang-bintang, dan benda-benda mati. Manusia yang turun dari langit itulah diyakini masyarakat Toraja sebagai nenek moyang mereka. Versi ke dua adalah yang ditulis oleh H. Van der Veen dalam Kobong (2008: 8-9) bahwa pada mulanya adalah langit dan bumi. Langit dan bumi menikah lahirlah 4 orang yaitu Puang di Lalundun, Labiu’-biu’, Indo’ Ongon-Ongon, dan Simbolong Padang. Pong di Lalundun menempati cakrawala dan terlahirlah Puang Matua (Tuhan) yang mengawasi aluk. Sementara Indo’ Ongon-Ongon turun ke dunia dan menempati dunia sebagai tempat berkembangnya manusia lalu dibuatlah peraturan-peraturan adat yang disebut 7777777 (tujuh juta, tujuh ratus tujuh puluh tuju ribu, tujuh ratus tujuh puluh tujuh). Ke dua versi cerita ini walaupun berbeda nama, namun ke duanya menyatakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari langit yang turun ke dunia menggunakan tangga (eran dilangi’) dengan membawa serta aturan-aturan adat yang disebut dengan aluk. Aluk inilah yang menjadi kebudayaan masyarakat Toraja yang dijalankan dalam bentuk ritus-ritus hingga saat ini.
48
1.6.5.2. Kebudayaan Sebagai Suatu Aktivitas Wujud dari dimensi kebudayaan ini adalah suatu tindakan dari pola pikir orang dalam suatu rumpun masyarakat. Kuntjaraningrat (1984: 6) mengatakan bahwa sistim sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusiamanusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan tahun ke tahun, selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata-kelakuan. Dimensi ini bersifat konkrit yaitu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dapat diamati, dan dapat didokumentasikan. Masyarakat Toraja memaknai adat sebagai padanan dari aluk. Aluk itu adalah tata tertib kebiasaan-kebiasaan, tradisi, ketentuan-ketentuan adat berdasarkan ketentuan-ketentuan dari langit atau adat serba tujuh (Kobong 2008: 48). Pelaksanaan ritus adat bagi masyarakat Toraja adalah salah satu bentuk interaksi sosial, bukan hanya antar keluarga tapi juga masyarakat luas. Ritus rambu tuka’ (pesta adat) dan ritus rambu solo’ (upacara penguburan) sebagai produk dari nenek moyang mereka masih sangat ditaati dan dijalankan dari generasi ke generasi. Hal ini dilandasi dari pemahaman lama bahwa kematian dikatakan sempurna bila telah dilaksanakan ritual-ritual terutama untuk upacara penguburan. Masyarakat Toraja meyakini bahwa seseorang yang telah meninggal harus diupacarakan dengan memotong sejumlah hewan sebagai bekal ke alam baka.
49
Ritus rambu tuka’ (pesta adat) dan ritus rambu solo’ (upacara penguburan) merupakan sarana untuk berkumpulnya masyarakat secara klosal, berinteraksi, dan bekerjasama dalam melaksanakan ritus tersebut. Perbedaannya adalah dalam pesta adat orang lain yang bukan anggota kerabat keluarga diundang secara lisan (dikamboroi) dan dilakukan secara berantai. Sementara dalam upacara penguburan masyarakat tidak diudang, akan tetapi secara naluri, mereka merasa harus datang sebagai wujud dari ungkapan persekutuan. 1.6.5.3. Kebudayaan Sebagai Suatu Hasil Karya Wujud dari dimensi kebudayaan ini berupa fisik yaitu hasil dari kegiatan-kegiatan, pebuatan, dan karya masyarakat berupa benda atau halhal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Ketiga dimensi kebudayaan tersebut saling terkait satu dengan yang lain karena apa yang dipikirkan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan serta diwujudkan dalam bentuk kegiatan sebagai sebuah karya masyarakat. Ada beberapa wujud dimensi kebudayaan Toraja yang dapat dilihat hingga saat ini seperti pembangunan rumah adat (tongkonan)8. Setiap selesai pembangunan rumah adat (tongkonan) selalu ada acara pesta adat (rambu tuka’) berupa pentahbisan rumah adat sebagai wujud dari ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas selesainya pembangunan rumah adat. Konstruksi rumah adat tidak bisa dipisahkan dari apa yang orang
8
Tongkonan dibuat selalu menghadap ke Utara yang menandai bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari langit bagian Utara.
50
Toraja sebut sebagai aluk bangunan banua (adat bangunan rumah). Fungsi rumah adat ini adalah selain sebagai tempat tinggal keluarga juga dapat digunakan untuk pertemuan-pertemuan keluarga besar termasuk dalam membahas pemerintahan setempat, dan sebagai tempat menyimpan mayat sesepuh yang telah meninggal sebelum dimakamkan. Ukiran-ukiran
didasarkan
pada
kehidupan
praktis
dalam
masyarakat dan susunan tanduk kerbau yang tertata rapi di depan tiang rumah menandakan bahwa rumah adat tersebut adalah milik keturunan bangsawan. Adat Toraja mensyarakatkan bahwa hanya keturunan bangsawan yang dapat memiliki rumah adat (tongkonan), sementara masyarakat yang diperhamba (kaunan) tidak layak untuk memiliki rumah adat (tongkonan). Ungkapan-ungkapan budaya Toraja juga dapat dilihat tari-tarian dan pujian-punjian yang dilakukan pada setiap kegiatan upacara pesta adat dan upacara penguburan. 1.6.6. Konstruksi dan Reproduksi Budaya Perilaku masyarakat terlihat dari norma-norma yang dianut oleh masyarakat dan merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang diilhami oleh kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Sudarsono dan Ruwiyanto (1999) mengatakan bahwa budaya masyarakat sebagai hierarki perilaku masyarakat dalam proses deduktif termasuk filosofi hidup, kepercayaan (beliefs), nilai-nilai, norma-norma, dan perilaku harian (tindak tanduk).
51
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh peradaban kehidupan itu sendiri. Adanya interaksi masyarakat lokal dengan masyarakat luar, memungkinkan pola pikir juga berkembang bahkan cenderung berubah. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi budaya lokal adalah adanya perubahan dalam cara berkomunikasi. Penggunaaan bahasa baru dalam proses komunikasi menyebabkan cara pengambilan keputusan pun berubah. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor eksternal yaitu masuknya pengaruh budaya dari luar yang dibawa oleh pendatang yang berinteraksi dengan masyarakat setempat melalui perdagangan, perkawinan, ataupun melalui cara bertindak. Kemudian faktor internal yaitu datangnya dari dalam masyarakat itu sendiri melalui peningkatan pengetahuan, pendidikan, dan pengalaman sehingga dapat merubah mental, sikap, dan pola pikir masyarakat. Perubahan yang datang dari dalam maupun dari luar, menyebabkan apa yang dikatakan masyarakat dan kebudayaan itu sudah berbeda: orang Jawa di Mojokuto tidak lagi dengan mudah dapat mengidentifikasi tetangganya sebagai ”abangan” atau ”santri” maupun ”priayi”, baik karena dulu disebut santri sekarang telah menjadi priyai (priayinisasi santri) atau yang dulu disebut priyai sekarang telah menjadi santri (santrinisasi priayi), maupun karena ciri-ciri yang dulu menjadi monopoli kelompok tertentu sekarang ini telah menjadi praktik umum (Abdullah, 2007: 15).
52
Budaya Toraja khususnya untuk pesta adat dan upacara penguburan telah banyak mengalami perubahan akibat dari pola pikir masyarakat. Sebagai contoh dalam upacara penguburan, secara adat jumlah hewan yang dikorbankan untuk kalangan bangsawan (puang) adalah dua puluh empat ekor atau maksimum tiga puluh ekor kerbau (sapu randanan) dan sejumlah babi. Dahulu istilah ”sapu randanan” (upacara paling sempurna) adalah upacara penguburan yang paling tinggi dalam adat istiadat Toraja. Perubahan-perubahan telah terjadi dari waktu ke waktu. Kondisi saat ini tidak lagi mengenal istilah maksimum (sapu randanan), juga dalam pelaksanaan upacara penguburan tidak lagi mengenal kelas atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara penguburan saat ini mengalami perubahan-perubahan pada praktik-praktiknya. Manfaat-manfaat yang baru mulai dipertimbangkan oleh partisipan suatu upacara. Pesta pun semakin mengarah untuk terlihat semarak. Bagi masyarakat yang mempunyai finansial yang kuat, walaupun berasal dari struktur masyarakat rendah (kaunan) dapat melaksanakan upacara penguburan dengan mengorbankan kerbau hingga ratusan ekor. Jumlah biaya yang dialokasikan pun dapat mencapai milyaran. Sejumlah warga di antaranya Tino Saroengallo (2008) mengatakan bahwa upacara penguburan Toraja saat ini lebih tepat disebut sebagai pesta orang mati (death party). Komunitas Toraja oleh sementara pakar dalam penyelenggaraan upacara adat telah mengarah ke pola (hidup) konsumtif atau lebih tepat
53
disebut telah mengutamakan prestise atau mengutamakan gengsi dari pada makna nilai budaya itu sendiri. Namun demikian, jika merujuk pada pendapat Palebangan (2010) dalam hal mana praktik rambu tuka’ dan rambu solo’ serta adanya kecenderungan keterlibatan masyarakat lokal dalam sebagaimana ditandai dengan kecenderungan yang justru makin menguat, maka besar kemungkinan bahwa di dalam praktik kebudayaan tersebut, menyangkut adanya perubahan dimana penyelenggara tidak lagi mutlak hanya kaum puang, maka eksplorasi yang lebih mendalam perlu dilakukan. Secara
umum,
bila
suatu
keluarga
bangsawan
tertentu
menyelenggarakan upacara penguburan (rambu solo’) maka biasanya masyarakat mengatakan ada ”pesta” (di nama tempat tinggal keluarga bangsawan bersangkutan) misalnya di Ke’te’, maka masyarakat umum mengatakan ada pesta di Ke’te’ (Saroengallo, 2008: 317). Hampir semua masyarakat di sekitar wilayah tersebut mengetahui akan ada pesta, maka ratusan bahkan ribuan orang secara berbondong-bondong hadir setiap hari. Pertemuan warga dalam jumlah besar ini karena upacara untuk kalangan puang (bangsawan) normalnya berlangsung minimal 7 hari 7 malam. Penyelenggara pesta umumnya tidak sendiri karena kaidah aluk to dolo menetapkan bahwa manakala ada keluarga puang yang menyelenggarakan upacara, maka wajib hukumnya si penyelenggara menerima uluran partisipasi yang disebut sebagai ma’pandan (bantuan sukarela tetapi bersifat utang). Ma’pandan itu tidak boleh ditolak, karena menolaknya
54
dapat menimbulkan perselisihan keluarga atau tindakan memalukan. Perlu dihubungkan, bahwa arti kata Toraja sendiri adalah orang yang bermurah hati, sehingga kemurahan itu menjadi wajib hukumnya. Namun yang tidak dapat dikesampingkan ialah bahwa bagaimana jika sebuah keluarga telah memberi ma’pandan, apakah bilamana di kemudian hari si pemberi akan menyelenggarakan upacara rambu tuka’ dan rambu solo’, yang ditandai misalnya dengan telah dibangunnya tongkonan atau rumah adat keluarga sementara sesepuh masih hidup? Perlu dicatat dalam setiap upacara adat orang-orang yang datang tiap hari tersebut dilayani (diberi makan, minum termasuk snack/makanan ringan) yang disiapkan oleh tuan rumah (orang sedang menyelenggarakan upacara). Tidak heran bila masyarakat luar memandang budaya Toraja saat ini sebagai budaya yang mahal (highcost) atau pemborosan uang (wasting money). Namun menarik untuk menyimak mengapa para pemuka adat memprediksi bahwa budaya Toraja tidak akan pernah hilang. Ada sejumlah pandangan yang mengatakan bahwa budaya Toraja saat ini tidak lagi mencerminkan budaya unik Toraja. Kata Toraja sekarang ini menurut kalangan Toraja tidak lagi mengandung makna kata Toraja, bahkan telah menyimpang dari makna yang sesungguhnya. Budaya, khususnya dalam upacara pemakaman dan pesta adat, telah berubah atau telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga terjadi pergeseran baik pola maupun implementasinya.
55
1.6.7. Budaya dan Politik Antara budaya dan politik adalah suatu yang berbeda dari segi tujuannya, namun memiliki hubungan yang saling terkait. Budaya meliputi norma-norma, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Sementara politik merupakan gagasan atau tindakan seseorang untuk meraih sesuatu baik posisi maupun kekuasan dalam masyarakat. Budaya
melibatkan
manusia
dalam
berinteraksi
dengan
lingkungannya baik dalam berfikir, bertindak, dan berkarya. Demikian halnya dengan politik melibatkan manusia dalam meraih sesuatu melalui pikiran, tindakan manusia. Jadi antara budaya dan politik lokal di Toraja saling terikat satu sama lainnya, karena dalam meraih suara atau dukungan masyarakat, lebih mudah menggunakan pendekatan budaya khususnya dalam ritus pesta adat dan upacara penguburan. Gagasan dan tindakan yang dirancang seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah bagian dari berpolitik. Politik lokal dalam tulisan ini lebih difokuskan pada pemekaran daerah dan pemilihan umum Kepala Daerah. Pemekaran daerah merupakan fragmentasi pemerintahan yang merupakan hasil dari aktivitasaktivitas elit-elit politik lokal yang terlibat dalam kontes untuk meraih kedudukan politis. Sebuah proses yang diwarnai dengan gejolak politis yang intens dan sah macam eksklusionisme yang didasarkan pada berbagai sentimen etnis (Klinken, 2007). Selanjutnya Makaganza (2008: 18) mengatakan bahwa pemekaran pada hakekatnya merupakan proses
56
terjadinya daerah baru tidak lain adalah proses pemisahan diri satu bagian wilayah tertentu dari sebuah daerah otonom yang sudah ada dengan niat hendak mewujudkan sebuah status adminstrasi baru daerah yang otonom. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemekaran daerah merupakan pembentukan daerah baru terpisah dari daerah induknya untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru. Dalam pemekaran daerah dan pemilihan umum kepala daerah tidak bisa dipisahkan dari budaya khususnya di Toraja. Pemekaran Toraja Utara membuka peluang bagi elit-elit politik untuk menduduki posisi baik posisi puncak (Bupati/Wakil Bupati) maupun berbagai posisi baru dalam pemerintahan daerah. Untuk mendapatkan posisi tersebut membutuhkan dukungan kuat dari masyarakat. Untuk mendapatkan dukungan kuat atau suara terbanyak dari masyarakat, maka elit-elit melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui budaya. Jadi budaya dijadikan alat politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat. 1.6.8. Elit Politik Munculnya istilah elit politik adalah hasil dari diskusi para ilmuwan seperti Schumpeter, Lasswell, C. Wright Mills yang mengamati berbagai tulisan yang pernah ditulis oleh para ahli terdahulu dari Eropa seperti Vilfredo Pareto, Gaetamo, Roberto Michels, Jose Ortega Y. Gasset. Bahkan Pareto percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang
57
diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik penuh (Varma, 2007: 200). Pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil terdiri dari orang-orang yang berkualitas yang menduduki berbagai jabatan dalam masyarakat yang disebut Pareto sebagai elit yang memerintah (governing elite). Sedangkan kelompok masyarakat besar (umum) ialah masyarakat menengah ke bawah yang berjumlah besar namun tidak ikut memerintah (non-governing elite). Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok bawah atau umum ini mengalami perubahan dengan membentuk kelompok elit baru untuk bersaing dengan kelompok elit lama dalam memperebutkan kekuasaan. Mosca dalam Varma (2007: 202-203) mengatakan bahwa dalam semua masyarakat, dari yang paling giat mengembangkan diri serta telah mencapai fajar peradaban, hingga masyarakat yang paling maju dan kuat, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu kelas yang memerintah yang jumlahnya lebih sedikit tetapi memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, kemudian kelas yang diperintah yang jumlahnya lebih besar namun selalu dikontrol oleh masyarakat yang jumlahnya kecil. Dari kondisi ini, dapat dipahami bahwa masyarakat yang diperintah lebih diarahkan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat yang memerintah. Ini berarti peran dari masing-masing kelompok masyarakat sangat ditentukan oleh strukturnya atau institusinya.
58
Sejak Mei 1998 Indonesia memasuki reformasi politik menyusul runtuhnya rezim pemerintahan otoritarian Soeharto. Hal ini ditandai salah satunya oleh adanya pelimpahan kewenangan pusat ke daerah (otonomi) yang memunculkan situasi baru bagi sistem perpolitikan di Indonesia. Sistem multi partai yang diberlakukan pemerintah membuka peluang bagi elit-elit politik baru untuk ikut bersaing dengan elit-elit politik senior yang ada. Begitu juga dengan partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi terutama dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung semakin nampak. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Zuhroet al (2011: 2) bahwa keterbukaan politik yang berlangsung sejak tahun 1999 diyakini telah memberikan kontribusi bagi kesadaran dan melek politik masyarakat. Hal lain menurut Siti R. Zuhro et al (2011: 117) ”tumbuhnya demokrasi lokal juga dipengaruhi oleh peran aktor politik, disamping berkembangnya nilai-nilai demokrasi dan lembaga-lembaga politik.” Dalam penelitian ini elit yang dimaksud adalah elit-elit yang berkecimpung dalam dunia politik dan orang-orang yang ditokohkan oleh masyarakat yang mempunyai kharisma dan kekuatan keuangan untuk mempengaruhi massa dalam berbagai kegiatan yang bersifat politik. Posisi elit di Toraja selama ini dipegang oleh kaum bangsawan yang biasa disebut Puang dan Toparenge’. Puang atau setara dengan Raja di daerah lain yang dijadikan simbol kepemimpinan karena kekayaannya. Sementara Toparenge’ lebih berfungsi sebagai pemimpin masyarakat yang dapat
59
memecahkan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Peranan kaum bangsawan selama ini selalu dominan dalam segala kegiatan kemasyarakatan. Munculnya orang kaya baru baik secara indvidu ataupun kelompok yang secara ekonomi lebih kuat dan masuk menjadi kelompok elit, merubah struktur politik yang selama ini didominasi oleh kaum bangsawan. Hal ini kemudian membawa perubahan bagi masyarakat yang banyak memunculkan elit-elit politik baru dan berasal dari kelompok umum (non-governing). Praktik-praktik budaya khususnya upacara adat yang terkait dengan rambu tuka’ dan rambu solo’ merupakan ’peristiwa’ penting bagi masyarakat Toraja. Rukun upacara adat dipatuhi oleh komunitas etnis Toraja baik di Kabupaten Toraja Utara maupun di Kabupaten Tana Toraja. Praktik budaya dapat dilihat sebagai dimensi atau bagian dari kajian etnisitas. Merujuk tanggapan Ichlasul Amal atas perlunya pendekatan yang berbeda atas telaahan etnisitas, yang dalam hal ini termasuk praktik budaya, maka penulis berharap dapat menjelaskan fenomena ”pemekaran” dari hal bagaimana aktor politik memanfaatkan praktik budaya. Erwan Agus Purwanto (2011: 25) menyatakan bahwa etnis telah digunakan sebagai atribut politik yang penting bagi banyak golongan masyarakat untuk mendesakkan kepentingan mereka.
60
Partisipasi para elit politik pada proses rambu tuka’ dan rambu solo’, khususnya pada masa proses pemilihan pejabat publik baik bupati dan anggota legislatif menjadi suatu yang menarik untuk diteliti sebagai studi perilaku para aktor dalam konteks proses-proses politik sebagai bagian dari kajian atau studi kebijakan publik. 1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten Toraja Utara. Kabupaten Toraja Utara adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara. Kedua Kabupaten di Toraja ini mempunyai adat istiadat dan bahasa yang sama. Kabupaten Tana Toraja terletak di bagian Utara Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 360 km dari Kota Makasar, sementara Kabupaten Toraja Utara berjarak sekitar 370 km dari Kota Makasar. Perjalanan dari Makasar ke Toraja dapat ditempuh melalui darat menggunakan bus umum dengan jarak tempuh sekitar 8 jam atau pesawat kecil yang berpenumpang 8 orang dengan jarak tempuh sekitar 40 menit dari Makassar. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini karena baik di Kabupaten Tana Toraja maupun di Kabupaten Toraja Utara mempunyai budaya yang unik terutama untuk pesta adat dan upacara penguburan. Keunikan adat ini terletak pada bentuk pelaksanaannya yang melibatkan masyarakat secara
61
klosal. Kumpulan orang-orang dari berbagai tempat ini menjadi potensi bagi elit-elit lokal untuk memobilisasi masyarakat sesuai dengan kepentingannya atau orang kaya baru untuk mengangkat status sosialnya. Menurut Bapak L. Pidipidi salah seorang tokoh adat bahwa pesta adat dan upacara penguburan ini banyak mengilhami kehidupan masyarakat Toraja baik yang hidup menetap di Toraja maupun yang hidup di perantauan. Selanjutnya dikatakan bahwa upacara penguburan adalah suatu kewajiban bagi masyarakat Toraja sebagai wujud pengabdiannya pada orang tuanya. Hanya saja dalam perkembangannya, budaya Toraja banyak mengalami pergeseran makna oleh elit-elit lokal dan orang kaya baru untuk kepentingan politiknya. 1.7.2. Sumber Informasi Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini harus bersumber dari responden yang benar-benar memahami dan mengusai kondisi wilayahnya. Sumber informasi dalam penelitian ini adalah tokoh agama, tokoh adat, tokoh politik, birokrat, akademisi (guru, mahasiswa), pemuda, dan masyarakat umum. 1.7.3. Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik bola salju (snow ball). Metode ini dilakukan oleh peneliti guna mengatasi terbatasnya pengetahuan peneliti mengenal orangorang yang memahami pokok persoalan yang akan diteliti. Pertama
62
peneliti menetapkan 2 orang target wawancara sebagai informan kunci (key informants) yaitu Bapak Deka Paranoan (pelaku politik) dan Bapak Andreas (tokoh masyarakat). Selanjutnya ke 2 orang informasi kunci tersebut, diminta arahan atau petunjuk siapa yang akan menjadi informan berikutnya yang menurut mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang relevan dengan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Kemudian penentuan informan berikutnya dilakukan secara berantai kepada orang-orang yang telah ditunjuk oleh para responden sampai data yang dibutuhkan dianggap cukup. 1.7.4. Data yang Dibutuhkan Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) merupakan data yang diperoleh dari tangan pertama (langsung). Data sekunder (secondary data) yaitu data yang telah dikumpulkan oleh para peneliti, data yang diterbitkan dalam jurnal statistik atau lainnya, dan informasi yang tersedia dari sumber publikasi atau non publikasi (Sekaran, 2006). Data primer yang dimaksudkan dalam tulisan ini yaitu data diperoleh langsung dari responden berupa wawancara, fokus diskusi terbatas, dan hasil pengamatan. Data tersebut berupa hasil wawancara langsung dan hasil fokus diskusi terbatas (focus group discussion). Data sekunder yang dimaksudkan dalam tulisan ini yaitu data yang dikumpulkan
tulisan-
tulisan para pakar tentang budaya Toraja baik dalam bentuk laporan ataupun jurnal. Melalui studi kepustakaan peneliti mencermati berbagai
63
tulisan atau buku referensi yang pernah ditulis oleh para pakar untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap atas data. Secara garis besar, pengumpulan data difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan politik lokal di Toraja terutama pada pesta adat dan upacara penguburan yang mengalami perubahan sebagai akibat dari manipulasi dalam politik lokal. Data-data yang dikumpulkan untuk tradisi pesta adat dan upacara penguburan adalah bentuk pelaksanaan, motivasi dalam pelaksanaannya, jumlah hewan yang dikorbankan sesuai aturan kepercayaan lama (aluk to dolo), jumlah hewan yang dikorbankan, bentuk struktur sosial masyarakat dan perubahannya, fungsi rumah adat, dan peran elit-elit dalam acara tradisi masyarakat. Kemudian data tentang kepercayaan yaitu bentuk keyakinan orang Toraja sebelum zending tiba, cara para zending merubah keyakinan masyarakat, kondisi kepercayaan lama (aluk to dolo) setelah zending. Selanjutnya data tentang motivasi pemekaran daerah, cara mensosialisasikan pemekaran, cara meraih kekuasaan dalam masyarakat baik untuk Legislatif maupun untuk pemimpin, serta data lain yang mendukung penulisan ini. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan selama dua belas bulan yaitu dari bulan Agustus tahun 2010 hingga bulan Juli tahun 2011. Pengumpulan data berupa fokus diskusi terbatas dilakukan pada bulan Desember 2012 guna melengkapi dan meningkatkan kualitas data. Pengumpulan data secara intensif untuk kebutuhan data primer dilakukan
64
selama tiga bulan yaitu sejak bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2011 di Toraja (Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara). Dalam perkembangannya, pengambilan data lapangan secara insedentil tetap dilakukan sesuai dengan kebutuhan data hingga selesainya penulisan disertasi ini. 1.7.5. Teknik Pengumpulan Data Penelitian menerapkan beberapa teknik dan prosedur pengumpulan data, yaitu: 1.7.5.1. Pengamatan (Observation) Pengamatan dilakukan pada saat pelaksanaan upacara penguburan di desa Malakiri Kecamatan Sesean. Hal yang diobservasi adalah proses persiapan,
pelaksanaan,
dan
penguburan.
Upacara
penguburan
dilaksanakan selama 12 hari yaitu dari tanggal 29 Maret sampai dengan 8 April 2011. Jumlah hewan kerbau yang dikorbankan adalah 100 ekor terdiri dari kerbau belang (tedong bonga) 4 ekor, kerbau balian (kerbau jantan yang dikebiri) 3 ekor, sisanya kerbau hitam dan hewan babi sebanyak 230 ekor serta kuda 1 ekor. Pemotongan hewan kuda di kalangan masyarakat Toraja, hanya dilakukan pada masyarakat bangsawan tertinggi (Puang). Dalam pelaksanaan upacara penguburan di desa Malakiri, jumlah hewan yang dikorbankan melampaui bangsawan tertinggi. Dulunya bangsawan tertinggi maksimal mengorbankan sebanyak 24 sampai 30 ekor kerbau dari berbagai jenis kerbau ditambah sejumlah babi (untuk jumlah
65
babi tidak diatur dalam adat) yang disebut dengan istilah “sapu randanan” (upacara penguburan sempurna). Upacara penguburan ini dihadiri oleh ribuan orang setiap harinya selama prosesi berlangsung dan berasal dari berbagai daerah. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada pasar tradisional Bolu di Rantepao, Toraja Utara. Pasar hewan di Bolu hanya berlangsung satu hari dalam setiap minggunya. Hal yang diamati adalah transaksi jual beli kerbau dari berbagai ukuran, jenis, dan warna. Kerbau belang yang dipasarkan pada umumnya kerbau belang biasa yang tidak mempunyai nilai tinggi. Harganya juga bervariasi antara Rp 15 juta hingga Rp 50 juta. Kerbau-kerbau yang mempunyai nilai tinggi biasanya tidak dipasarkan secara langsung di pasar tradisional tetapi dipasarkan melalui mulut ke mulut dalam arti bahwa orang yang akan membutuhkan kerbau tersebut mencari informasi ke orang lain atau mengunjungi desa-desa sambil mencari tahu kerbau yang diinginkan. Kemudian dilanjutkan ke lurah Tagari khususnya di wilayah Pararra’ tempat bermukimnya beberapa masyarakat yang dulunya berasal dari strata sosial rendah (kaum yang diperhamba). 1.7.5.2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan tokoh politik dalam hal ini Wakil Ketua DPRD dari Partai Demokrat (Leonardus Pongmasak), Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (H. Bumbun), pemrakarsa pemekaran (John Pabesak), anggota kontestan pemilihan umum kepala daerah (Deka Paranoan). Fokus wawancara adalah proses pemekaran daerah, budaya dan
66
politik lokal, peran partai politik dalam membangun demokrasi. Selanjutnya wawancara dilakukan dengan tokoh adat (Ketua Aliansi adat L. Pidipidi), Stepanus Sarese, J.A. Saidin yang difokuskan pada adat istiadat yang banyak mengalami perubahan, pemilihan umum kepala daerah, pemanfaatan adat istiadat sebagai instrumen politik, pemanfaatan simbol-simbol budaya dalam politik. Demikian juga dengan tokoh agama (Pdt. Musa Salusu, Uztad H. Bumbun, Pdt. Juni Pangalinan) yang difokuskan pada pemanfaatan rumah ibadah sebagai instrumen politik, adat istiadat, dan politik lokal. Hal yang sama juga dilakukan kepada pelaku birokrat (Agustinus Paundan, Andreas, J. Palembangan) yang difokuskan pada proses pemilihan umum kepala daerah, peran elit-elit lokal
dalam
mempengaruhi
massa,
perekonomian
masyarakat,
perkembangan pendidikan masyarakat. Wawancara tidak terstruktur lebih banyak digunakan pada masyarakat umum yaitu Pande, Randi, Rudi, Aris yang difokuskan pada pandangan mereka terhadap perkembangan budaya Toraja khususnya dalam adat istiadat (pesta adat dan upacara penguburan) yang banyak mengalami perubahan. Semua hasil wawancara ini direkam, dicatat, dan dideskripsikan sehingga terurai suatu informasi yang akurat. Alasan penentuan responden di atas adalah atas sesama responden yang mengetahui benar kondisi Toraja baik adat istiadat maupun politik. Bahkan beberapa responden adalah pelaku utama dalam adat, politik ataupun proses pemekaran daerah di Toraja.
67
1.7.5.3. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah langkah peneliti mempelajari berbagai referensi atau dokumen mengenai tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian baik dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja ataupun yang dikeluarkan oleh penulis-penulis terdahulu serta Laporan dari Badan Pusat Statistk (BPS). 1.7.5.4. Fokus Diskusi Terbatas (Focus Group Discussion) Fokus
diskusi
terbatas
(Focus
Group
Discussion),
yaitu
penyelenggaraan suatu diskusi kelompok di antara responden yang memiliki pengetahuan yang relatif sama atas obyek penelitian. Para peserta dipersilahkan untuk memberi tanggapan atas beberapa pertanyaan. Peneliti memantau pembicaraan, dan berusaha agar peserta diskusi selalu terfokus untuk menyampaikan informasi secara bebas. Fokus diskusi terbatas dilaksanakan sebanyak 3 kali yaitu di Rantepao Toraja Utara dihadiri oleh 10 orang terdiri dari 2 orang dosen, 2 orang tokoh adat, 1 orang tokoh agama, 2 orang pemrakarsa pemekaran, 2 orang mahasiswa, 1 orang masyarakat umum. Kemudian fokus diskusi terbatas dilakukan satu kali di Makassar dihadiri 6 orang terdiri dari 2 orang akademisi, 1 orang tokoh adat, 1 orang pejabat struktural, 1 orang mahasiswa, dan 1 orang dari partai politik. Fokus diskusi terbatas selanjutnya dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri oleh 8 orang asal Toraja terdiri dari 1 orang budayawan, 1 orang pengusaha, orang tokoh agama, 1 orang pejabat struktural, 2 orang
68
pegawai swasta, 1 orang mahasiswa, 1 orang dari partai politik. Fokus diskusi terbatas ini diselenggarakan untuk mencapai pemahaman atas data yang sebelumnya telah diperoleh baik melalui observasi maupun wawancara. 1.7.6. Teknik Analisa Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah deskriptif analisis dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2010). Dalam hal ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Sumber data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, dan fokus diskusi terbatas, penulis juga menggunakan observasi terlibat (participant obervation), menelusuri dokumen tertulis, dan foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal. Dalam mengeliminasi perbedaan data tersebut, dilakukan penyilangan (cross data)
69
antara wawancara, pengamatan, dan fokus diskusi terbatas sehingga data yang dianalisis adalah data yang memiliki keabsahan.
70