BAB I PENDAHULUAN
1.1 Titik Berangkat Masalah Kemiskinan bukan lagi isu baru, bahkan terkesan abadi. Bagaimana tidak? Perkembangan saat ini ditandai dengan kemajuan pengetahuan, teknologi dan budaya tetapi kemiskinan masih tetap saja melilit sebagian penduduk dunia. Bahkan pada belahan lain, sebagian orang mampu memperbaiki dan meningkatkan kehidupannya namun peningkatan tersebut menimbulkan lembah kemiskinan pada kelompok di belahan lainnya. Indonesia sendiri merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi kemiskinan masih saja menjadi topik-topik menarik untuk dibahas. Persoalan pemanfaatan sumberdaya entah dikemanakan, pemerintah dipertanyakan apakah kita miskin, atau karena kita dimiskinkan. Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode tentang kondisi kemiskinan. Tetapi biasanya kita mempunyai pemahaman sendiri tentang kemiskinan sebagai bentuk keadaan yang terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang akhirnya bermuara pada kesejahteraan.
1
Kemiskinan sangat terkait dengan aspek ekonomi semisal kepemilikan seseorang atau kelompok terhadap sesuatu, atau ketidakmampuan dalam mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Keinginan akan sesuatu atau ketidakmampuan untuk mendapatkan sesuatu sangatlah spesifik sifatnya, dan ini sangat terkait dengan kondisi dari individu atau kelompok yang mengalaminya. Pernyataan di atas senada dengan definisi kemiskinan yang disampaikan oleh Astika (2010) yang mengutip pandangan Suparlan menyatakan bahwa suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang di derita oleh seseorang atau kelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang-mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhankebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhankebutuhan yang mendasar (basic need) (makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya). Kondisi kemiskinan di Indonesia sendiri sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terhitung maret 2010 yaitu jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret
2
2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Meskipun demikian data ini tidak berbanding lurus dengan data penerima raskin tahun 2010 yang mencapai 70 juta dan juga data dari Jamkesmas yang mencapai 76,4 juta. Kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan bagi Penulis memiliki tiga permasalahan pokok yang dihadapi; Pertama, terjadinya penyamaan atau penyeragaman kebijakan di tiap daerah tanpa memperhatikan terlebih dahulu permasalahan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di daerah tersebut padahal karakteristik kemiskinan berbeda-beda di tiap daerah. Kedua, adanya ego sektoral dan kurang adanya sinkronisasi berbagai kebijakan yang diimplementasikan oleh departemen ataupun kementerian negara. Selain itu pemerintah selalu mengambil kebijakan yang reaktif,
dan
tidak
konsisten
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
pengentasan masyarakat miskin. Ketiga, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Mengingat dengan bantuan seperti ini masyarakat diajarkan untuk berpangku tangan dan menerima upah yang dibayarkan oleh pemerintah. Ketiga kelemahan inilah yang kemudian dirasakan oleh pemerintah kota Yogyakarta dalam melaksanakan kebijakan kemiskinan mengingat kebijakan kemiskinan yang begitu parsial dan kurang menyentuh aspek kebudayaan. Tingkat kemiskinan di kota Yogyakarta sendiri sesuai data pada akhir 2009 tercatat sebesar 68.998 jiwa atau sebesar 14,36% dari jumlah
3
penduduk. Bagi Pemerintah kota Yogyakarta penanggulangan kemiskinan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. (Pemkot Yogyakarta : 2010) Mengingat kendala akan penyeragaman kebijakan kemiskinan dari pemerintah pusat, sehingga pemerintah kota Yogyakarta mencoba melakukan sebuah gebrakan baru dengan mengeluarkan kebijakan penanggulangan kemiskinan atau dikenal dengan sebutan Segoro Amarto. Selain kondisi di atas, alasan lain yang melatar belakangi lahirnya kebijakan ini adalah lambatnya pencapaian target program penanggulangan kemiskinan yang disebabkan pola penanganan yang parsial, kegiatan intervensi belum berkelanjutan dan belum optimalnya koordinasi instansi serta keterlibatan ketokohan dalam masyarakat yang masih rendah. (Bappeda Kota Yogyakarta : 2010). Kemunculan gerakan Segoro Amarto bersumber dari kesadaran akan kekuatan sosial yang terefleksi dalam bentuk kearifan lokal yang luar biasa kemudian dimanfaatkan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X untuk mengatasi masalah kemiskinan di wilayah tugasnya. Ide tersebut kemudian disampaikan kepada Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang langsung memformulasikannya dalam wujud kebijakan Segoro Amarto. Secara konseptual Segoro Amarto sendiri merupakan singkatan dari kepanjangan Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarto. Segoro Amarto juga memiliki dua pengertian yaitu gerakan bersama seluruh masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan dan gerakan yang lebih 4
menekankan pada perubahan nilai yang tercermin pada sikap, perilaku, gaya hidup, dan wujud kebersamaan agar kehidupan menjadi lebih baik mencakup semua aspek fisik maupun non fisik. (Bappeda kota Yogyakarta: 2010). Selain dari pengertian di atas tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah sebagai berikut : 1. Memajukan keadilan sosial masyarakat menjadikan kehidupan yang lebih nyaman, sejahtera dan mandiri. 2. Mendorong pembangunan masyarakat dengan mengedepankan jiwa kepedulian sosial, gotong royong, kemandirian, serta nilai-nilai luhur yang berkembang di masyarakat. 3. Sebagai gerakan yang dapat menjadi ruh seluruh lapisan masyarakat untuk dapat bersama-sama maju dan sejahtera. Metode kerja Segoro Amarto dikerjakan dalam dua level yaitu di tingkat kelurahan dengan menggunakan TKPK kelurahan sebagai wadah atau forum koordinasi, sarana untuk menggerakkan dan mendorong pelaksanaan sampai di tingkat basis. TKPK kelurahan juga sebagai pusat kegiatan penanggulangan kemiskinan. TKPK kelurahan terdiri dari lembaga-lembaga dan tokoh perorangan yang ada di tingkat kelurahan. Selain di tingkat kelurahan juga pada tingkat masyarakat di mana pelaksanaannya dilakukan oleh kelompok-kelompok swadaya yang memiliki tekad, tantangan dan kebutuhan yang sama dalam lingkup RW Segoro Amarto.
5
Penggambaran Segoro Amarto terlihat dari label gerakan yang kemudian bertujuan mengendalikan tindakan sosial. Tindakan sosial inilah yang kemudian disejajarkan dengan pemaknaan gerakan sosial. Gerakan sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Penjelasan terkait Segoro Amarto pada esensinya adalah kebijakan penanggulangan
kemiskinan
yang
dilahirkan
oleh
pemerintah
kota
Yogyakarta. Tetapi kebijakan tersebut juga memiliki kelemahan dalam proses pelaksanaannya, di mana dari tujuan yang ingin dicapai gerakan ini masih terlihat begitu luas dan indikator pengukuran akan keadilan sosial masih kurang nampak. Selain itu, penanaman nilai-nilai luhur dalam kondisi perkembangan modernitas yang sudah sampai pada setiap sudut kehidupan, juga
perlu
dipertanyakan
akan
indikator
keberhasilan.
Karakteristik
masyarakat yang berbeda, sehingga motivasi kebersamaan dan gotong royong juga harus diperhatikan. Penekanan penting dalam penelitian ini adalah bahwa gerakan ini juga bertujuan ingin menjadikan ruh dalam setiap sendi kehidupan masih terlihat utopis. Penjelasan Segoro Amarto yang mengatas-namakan gerakan, perlu kita lihat lebih jauh. Karena sebagian dari kriteria yang dijabarkan belum memiliki kemiripan dan belum dikategorikan dalam sebuah gerakan. Jika disebutkan sebagai gerakan sosial, maka gerakan tersebut disebabkan adanya
6
ketimpangan dan kesenjangan sosial yang menimbulkan colective mind akan ketimpangan yang dirasakan. Sehingga perlu dilakukan perubahan dengan cara melakukan sebuah action. Saat action ini dilakukan mendapat dukungan dari kelompok masyarakat lain yang senasib sehingga disebutkan dengan colective action. (Mirsel : 2004) Dari colective action inilah yang memberikan pembelajaran kepada masyarakat akan pentingnya perubahan yang dilakukan. Sedangkan faktor kebudayaan yang menjadi latar belakang dari kemunculan sebuah gerakan maka gerakan tersebut dikatakan sebagai gerakan budaya. Oleh karena itu Segoro Amarto masih perlu di lihat lebih kedalam untuk dikatakan sebuah gerakan. Gerakan Segoro Amarto merupakan sebuah rekayasa teknokrat dari penguasa untuk mengubah kehidupan masyarakat yang masuk dalam kategori miskin. Struktur pelaksanaan di lapangan belum memiliki konsep nyata dari pemerintah kota Yogyakarta. Pernyataan ini diamini oleh sekretaris Bappeda Kota Yogyakarta sebagaimana hasil wawancara Penulis dengan beliau di bawah ini : Konsep mengimplementasikan Segoro Amarto di lapangan masih memiliki kendala terkait konsep yang dipakai, sehingga masih dilakukan improvisasi oleh aktor atau agen di lapangan. Selain itu, sering dilakukannya evaluasi rutin untuk melihat grafik perkembangan implementasi sehingga mampu menilai gerakan mana yang cocok dengan kebutuhan masyarakat. (Bpk Jajang, 27 Maret 2011)
7
Partisipasi masyarakat sangat diharapkan sebagai proses perumusan dan penyelesaian masalah yang disesuaikan dengan konteks basis masingmasing. Dengan kata lain, gerakan ini tidak dengan sendirinya muncul dari masyarakat yang sadar akan kondisi ketimpangan dan kesenjangan sosial yang menuntut agar dilakukannya perubahan. Bahkan gerakan ini terlihat masih ada ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Setelah
menjelaskan
Segoro
Amarto
baik
dari
kemunculan,
pemaknaan, dan kelemahan program bahkan metode pelaksanaannya di tingkat kelurahan dan masyarakat. Terlihat bahwa program ini mencoba memanfaatkan ikatan kekeluargaan dan atau modal sosial yang dimiliki masyarakat. Definisi lain program ini adalah hegemoni kebudayaan untuk kecapaian target dari kebutuhan birokrasi. Menyinggung sedikit soal kemunculan modal sosial selalu dipelopori oleh gerakan masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Field (2010) terkait modal sosial, di mana tesis sentralnya dapat diringkas dalam dua kata; soal hubungan. Dengan membangun hubungan dengan sesama, dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu, orang mampu bekerja bersama-sama untuk berbagai hal yang tidak dapat mereka lakukan sendirian atau yang dapat mereka capai tapi dengan susah payah. Modal sosial juga dapat menjadi stimulus keberhasilan sebuah kebijakan sebagaimana disampaikan Putnam dalam field (2010) terkait kebijakan yang diambil oleh pemerintah Clinton di tahun 1990, bahwa program-program pelatihan kerja dan pengangguran yang dijalankan pemerintah Clinton 8
seharusnya lebih berhasil jika dilengkapi dengan pembentukan hubungan baru antara kelompok komunitas, sekolah, majikan dan pekerja. Segoro Amarto bertujuan menanamkan nilai-nilai dalam masyarakat, hanya saja dalam proses pelaksanaan program ini terlihat tidak adanya prosedur atau pola pelaksanaan yang mampu menjelaskan akan ketercapaian program dalam masyarakat. Bisa dikatakan bahwa program ini terkesan besar pada lembaran-lembaran perencanaan tetapi pelaksanaan program terlihat memiliki ketimpangan. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana Segoro Amarto dimplementasikan. Dan bagaimana respon masyarakat terhadap kebijakan Segoro Amarto di tingkat masyarakat (kelompok basis), Sebagaimana yang penulis sampaikan di awal bahwa Segoro Amarto juga masih perlu ditelisik lebih jauh untuk memberikan sebuah label gerakan, karena bisa jadi ini merupakan sebuah bentuk kebijakan yang mencoba meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pembangunan sehingga bisa dilihat sebagai sebuah pemberdayaan masyarakat. Penjelasan ini menekankan bahwa Segoro Amarto seharusnya dilakukan dengan cara rekayasa demokratis bukan dengan cara rekayasa teknokrat. 1.2 Rumusan Masalah Latar belakang di atas kiranya dapat diturunkan kedalam beberapa rumusan masalah, yang penulis fokuskan menjadi dua pertanyaan penelitian antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimana Implementasi Segoro Amarto pada masyarakat di tiga kelurahan pilot project khususnya pada 10 RW dari masing-masing kelurahan (Kelompok basis)? 9
2. Bagaimana respon masyarakat di tiga kelurahan pilot project khususnya pada 10 RW dari masing-masing kelurahan (Kelompok basis) terhadap Gerakan Segoro Amarto ? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan terkait program Segoro Amarto yang merupakan sebuah kebijakan sehingga bagaimana pelaksanaan di lapangan atau implementasi dari
kebijakan
tersebut.
Mengingat
sebaik
apapun
kebijakan,
pengukurannya hanya dapat diketahui jika telah di implementasikan. Lebih dari itu, program ini memiliki nilai lebih karena mencoba memanfaatkan nilai-nilai lokal dan atau modal sosial yang dimiliki masyarakat. 2. Penelitian ini untuk memahami sejauh mana proses rekayasa struktural dalam mendistribusikan nilai dan mempertahankan modal sosial dalam masyarakat. Ataukah hanya sebatas sebuah hegemoni kebudayaan guna mempermulus kepentingan struktural. Selain kedua tujuan akademis di atas, penelitian ini secara umum juga bisa memberikan satu perspektif lain dalam memandang kemiskinan. Setidaknya,
dalam
menjelaskan
ataupun
melahirkan
kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang selama ini terlihat reaktif ataupun penyelesaian ditingkat permukaan saja tetapi pada level akar permasalahannya dibiarkan semakin tumbuh. Pada titik inilah, kemudian diharapkan kita semua dapat menengok persoalan sebenarnya yang terjadi terkait program 10
penanggulangan kemiskinan. Di mana selalu terjadi gonta-ganti program tetapi wajah kemiskinan dinegeri ini semakin memburuk. 1.3.2 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
masukan
kepada
pemerintah kota Yogyakarta dalam hal pemanfaat modal sosial untuk menanggulangi masalah kemiskinan. 2. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak dalam hal ini yang berkepentingan untuk mengetahui bagaimana masyarakat miskin kota memanfaatkan modal sosial dalam bentuk gerakan masyarakat. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dalam memahami bagaimana kebijakan publik memanfaatkan modal sosial dan juga untuk menggerakan masyarakat. Terlebih lagi bermanfaat dalam ranah pembangunan ilmu pengetahuan (Ilmu Administrasi Negara). 1.4
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pengkajian terkait kedudukan sebuah gerakan yang dikembangkan melalui action dari sebuah kebijakan. Selain itu, penulis juga memaparkan terkait pemanfaatan kebudayaan dalam melaksanakan sebuah kebijakan. Pemanfaatan ini Penulis definisikan sebagai bentuk hegemoni budaya, mengingat desain dari gerakan ini
11
merupakan desain teknokrat yang diturunkan dalam kehidupan masyarakat kelas bawah atau yang disebut sebagai kelompok basis. Penggunaan kata kelompok basis semakin memperjelas bahwa dalam desain gerakan Segoro Amarto, pemerintah kota Yogyakarta mengetahui akan adanya kelas dalam masyarakat yang diperkuat dengan struktur masyarakat yang masih mempertahankan tradisi budaya. Ini dipandang penting, mengingat ikatan solidaritas masyarakat masuk dalam kategori masyarakat organik, meskipun sering terlihat begitu mekanik tetapi jika isu budaya menjadi sentral maka masyarakat tidak berdaya dengan struktur aristokrasi yang masih begitu kuat di Yogyakarta. Dalam pelaksanaan teknis di lapangan penulis fokuskan pada 10 RW dari di tiga Kelurahan (Kricak, Tegal Panggung dan Sorosutan) yang ditetapkan pemerintah sebagai pilot project Segoro Amarto. Dari sebaran yang penulis temukan, yaitu pada kelurahan Kricak terdapat empat RW, Kelurahan Tegal Panggung tiga RW dan kelurahan Sorosutan sendiri tiga RW. Pada tahapan ini, penulis melihat bagaimana hubungan perangkat kelurahan di tingkat RW dengan masyarakat, baik dalam kategori miskin maupun para tokoh masyarakat yang terlibat. Hubungan ini dilihat dari aktor yang berpengaruh untuk melaksanakan program Segoro Amarto. Tidak berhenti di tingkat masyarakat, pendefinisian Segoro Amarto dalam bentuk suatu kebijakan dimaksudkan agar penulis mampu memposisikan maksud dari Policy Maker dengan apa yang terjadi di
12
lapangan. Pelaksanaan ini disebutkan dalam studi kebijakan sebagai tahapan implementasi. 1.5
Sistematika Penelitian Pejelasan singkat penulisan tesis ini tepat berada dalam pembahasan ini. Di mana pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah para pembaca agar mengerti dan memahami kerangka dasar dari penulisan ini. Tulisan ini dibagi kedalam enam bab, di mana dari setiap bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, keterkaitan antar bab merupakan kesatuan sehingga penting untuk dijelaskan. Sebagaimana yang ada dalam Penelitian ilmiah lainnya, latar belakang menjadi pembahasan yang paling utama. Penelitian ini menggunakan titik berangkat masalah sebagai tema pembahasan untuk mengawali pembahasan di Bab I. Titik berangkat masalah secara umum tetap sama dengan pembahasan latar belakang, penjabaran terkait masalah yang diangkat dalam penelitian dan juga urgensi masalahnya. Setelah memaparkan urgensi masalah, penting adanya untuk memberikan batasan masalah yang penulis rangkum dalam rumusan masalah. Selanjutnya tujuan dan manfaat penelitian ditambah dengan ruang lingkup penelitian, dan untuk mempermudah para pembaca, penulis masukan sistematika Penelitian sebagai sebuah tools untuk lebih di pahami. Masih pada bab yang sama, penulis mencoba mendekatkan masalah yang penulis angkat dengan beberapa pendekatan teoritik yang termuat dalam pembahasan kerangka teori, bahkan pembahasan ini menjadi pembahasan
13
wajib untuk dimasukan. Dan untuk menutupi bab ini Penulis masukan metodologi sebagai syarat ilmiah dalam sebuah karya penulisan akademik. Penting adanya penulis sedikit mendeskripsikan kondisi objek penelitian. Dan untuk mendeskripsikannya tema yang penulis pilih yaitu gambaran umum objek Penelitian. Dalam tema ini terdapat sub tema atau turunan dari tema di atas yaitu kondisi geografis dari ketiga kelurahan, ditambah dengan menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat. Tidak ketinggalan modal sosial dan bagaimana kekerabatan dalam masyarakat di tiga kelurahan dijelaskan. Dan untuk menutup pembahasan ini, Penulis mencoba menjelaskan secara singkat Segoro Amarto di dalam masyarakat, kesemuannya ini Penulis rangkum dalam pembahasan Bab II. Bab III sendiri Penulis mencoba mengoperasionalisasikan isi Kebijakan dari Grindel dalam pelaksanaan Segoro Amarto. Pemahaman ini terlihat dari pokok pembahasan yang ada dalam bab ini. Tema yang diangkat dalam bab ini adalah Isi Kebijakan Segoro Amarto. Dari tema besar tersebut kemudian penulis turunkan menjadi empat sub tema utama yaitu Segoro Amarto dalam sebuah kebijakan yang menjadi awal pembahasan. Penulis mencoba menjabarkan Segoro Amarto dari kemunculan, Kepentingan yang mempengaruhi serta tujuan pengembangan serta tidak ketinggalan bagaimana Segoro Amarto diatur dalam bentuk prosedural birokrasi. Segoro Amarto adalah kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah kota sehingga penulis sengaja memberi tekanan dengan tidak melihat Segoro Amarto dengan apa adanya melainkan adanya apa dibalik Segoro Amarto yang penulis rangkum kedalam Segoro Amarto dan kepentingan birokrasi.
14
Selanjutnya Kelurahan Segoro Amarto dan karakteristik modal sosial menjadi pembahasan penutup karena penjelasan ini penulis maksudkan untuk melihat dari masing-masing kelurahan Segoro Amarto apakah memliki kesamaan ataukah memiliki kekhasan yang menjadi pembeda untuk ditampilkan. Dan untuk menutupi pembahasan ini penulis mencoba menjelaskan terkait Pelaksanaan Segoro Amarto dan Sumber Daya yang Dikerahkan. Bab IV menjadi pembahasan yang memerlukan konsentrasi besar, mengingat pembahasan ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian karya ilmiah ini. Penulis menamakan Bab ini dengan Konteks Implementasi Segoro Amarto Pada Kelompok Basis, agar terkorelasi dengan batasan masalah yang dibuat pada pembahasan sebelumnya. Penulis memaparkan konteks implementasi Segoro Amarto pada sub tema pertama dengan menguraikan Kekuasaan, Kepentingan dan strategi Aktor, yang mana dalam pembahasan ini juga diuraikan terkait tahapan demi tahapan konsep Segoro Amarto yang dimulai dari sosialisasi konsep, penguatan kelembagaan, penanaman nilai-nilai, meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kaders, merencanakan program, kampanye gerakan bersama, pelaksanaan gerakan bersama dan yang menjadi penutup sub tema ini adalah monitoring dan evaluasi. Sedangkan pada Sub tema yang kedua penulis jelaskan tentang karakteristik Lembaga Penguasa dalam konteks Segoro Amarto dan sub tema ketiga yang juga sebagai penutup bab ini yaitu pemanfaatan paseduluran masyarakat yang mana pada sub tema ini mencoba menjelaskan bagaimana kepatuhan dan daya tanggap masyarakat dalam merespon kebijakan Segoro Amarto. 15
Pertanyaa pertama dari penelitian telah diuraikan pada pembahasan di bab sebelumnya. Sehingga untuk melanjutkannya ke bab V ini sudah bisa di tebak bahwa pembahasan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kedua yang ada pada rumusan masalah. Oleh karena itu penulis mencoba memberikan tema yang sama yaitu respon masyarakat terhadap Segoro Amarto. Mengingat objek penelitian yang penulis angkat merupakan pilot project Segoro Amarto yaitu tiga kelurahan sehingga sudah tentu penulis memisahkan respon masyarakat sesuai kelurahannya masing-masing. Penulis dengan sengaja tidak menyimpulkannya dalam pembahasan pertama tetapi penulis rangkumkan pada pembahasan kedua dengan mengangkat sub tema pandangan masyarakat untuk Segoro Amarto. Setelah menjelaskan Penelitian dari bab pertama sampai pada bab ke lima maka kiranya penting dalam sebuah karya ilmiah memiliki kesimpulan dari sebuah pengkajian dan juga memiliki masukan dan atau rekomendasi yang Penulis rangkumkan dalam pembahasan di Bab enam yang juga sebagai pembahasan penutup dalam penulisan ini.
1.6
Kerangka Teori
1.6.1 Implementasi Kebijakan Berbicara tentang implementasi maka tidak terlepas dari dua hal yaitu implementasi dalam proses yang merupakan bagian dari siklus kebijakan itu sendiri maupun implementasi dalam sebuah pengkajian teoritik.
16
Sebagaimana dalam kamus besar bahasa Indonesia, Implementasi mengandung arti sebagai sebuah penerapan ataupun pelaksanaan. Dari definisi
inilah,
kebanyakan
dari
kita
memberikan
pendefinisian
implementasi sebagai sebuah proses pelaksanaan ataupun penerapan dari apa yang telah direncakan ataupun diputuskan (kebijakan) sebelumnya. Sedangkan Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Sedangkan Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). (Winarno, 2008: 144) Bahkan Ripley dan Frangklin dalam Winarno berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). (ibid,145) Dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan terdapat dua hal yang akan kita temui yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Untuk lebih jelas sebagaimana yang tergambar pada gambar 1.6.1 dibawah ini.
17
Gambar 1.6.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas
Program Proyek Kegiatan Pemanfaat (benefitciaries)
Sumber : Rian Nugroho. 2009 : 495
Penjelasan yang didapat dari gambar di atas jelas bahwa sebuah implementasi yang tidak secara langsung diterapkan adalah kebijakan dalam bentuk sebuah undang-undang atau perda, di mana dalam kebijakan ini dibutuhkan kebijakan penjelas atau biasanya disebut sebagai derivat atau turunan dari kebijakan tersebut. sedangkan kebijakan yang dapat langsung diterapkan adalah dalam bentuk Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, keputusan kepala Dinas, dan lain-lain. Definisi implementasi juga disampaikan oleh Van Meter dan Van Horn yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintahan maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Definisi ini terlihat jelas adanya pembatasanpembatasan dalam menjalankan sebuah kebijakan tidak hanya semata dari
18
pemerintahan semata tetapi dari pihak swasta juga bisa menjalankan kebijakan publik yang telah ditentukan oleh pemerintah. (Rian Nugroho : 2009) Grindle dalam Nugroho (2009 : 510) juga turut memberikan pemetaan implementasi kebijakan yang ditentukan dari isi kebijakan dan konteks implementasinya. Barulah implementasi dilakukan. Isi kebijakan mencakup hal-hal berikut : 1. kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan. 2. jenis manfaat yang akan dihasilkan. 3. Derajat perubahan yang diinginkan. 4. kedudukan pembuat kebijakan. 5. (siapa) pelaksana program. 6. sumber daya yang dikerahkan. Terkait konteks implementasi kebijakan adalah sebagai berikut : 1. kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yangterlibat. 2. karakteristik lembaga penguasa. 3. kepatuhan dan daya tanggap. Terlihat jelas Grindle mencoba membagi antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan. Yang menarik dari apa yang disajikan oleh Grindle adalah fokusnya terhadap konteks Implementasi di mana terlihat adanya peranan kekuasaan dan kepentingan dari aktor yang terlibat, selain itu juga keberlangsungan implementasi juga tidak terlepas dari karakteristik kekuasaan, jika konteks ini dimainkan dalam kebijakan Gerakan Segoro
19
Amarto fokus pertanyaan akan menjadi bagaimana karakteristik birokrasi di Kota Yogyakarta. Selain itu tingkat kepatuhan dan juga daya tanggap dapat kita amati dari bagaimana struktur Segoro Amarto diterapkan di kelompok basis. Pembahasan lebih kedalam akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Studi implementasi dalam pandangan Malcom Goggin dan kawankawan telah memiliki pengerangkaan yang jelas, sehingga pada tahapan ini mereka namakan dengan studi Implementasi generasi ke tiga. Sebagaimana yang disampaikan oleh Goggin (1990) dalam bukunya dengan jelas mengurai kelemahan studi implementasi dari dua generasi sebelumnya. Di mana, pada generasi pertama yang dimotori oleh Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) dalam sebutan Gogging adalah generasi yang terlalu pesimistis dalam membangun teori implementasi karena dalam mengkritisi teori implementasi secara atheoritical (tidak membentuk teori) antara kasus perkasus atau secara nonakumulatif. Selain kelemahan dari generasi pertama, Goggin dkk. (1990) dalam bukunya Implementation Theory and Practice juga menyampaikan kelemahan dari generasi kedua di mana pada generasi ini secara unik memberikan kerangka analitis dalam penelitian implementasi kebijakan. Selain memberikan fondasi analisis, generasi kedua ini juga dalam penelitian-penelitiannya terfokus dengan variabel-variabel sebagai berikut : -
Policy form and content (Model dan isi kebijakan)
-
Organizations and their resources (Organisasi dan sumberdaya)
-
People, their talent, motives, predisposition, and their interpersonal relationships, including patterns of comunications.
(Masyarakat, 20
kemampuan masyarakat, penyebab (motif), predisposisi, dan komunikasi antar individu) Malcom Goggin dkk tidak sekedar mengkritisi dua generasi sebelumnya tetapi Goggin juga mengakui keunggulan dari masing-masing generasi, salah satu kemampuan pada generasi pertama yaitu berhasil menggeser fokus mereka dari bagaimana RUU menjadi hukum dan kemudian bagaimana hukum menjadi sebuah program. Pada generasi kedua juga Goggin mengakui bahwa generasi ini memperkenalkan implementasi sebagai kajian yang melewati batas waktu, lintas kebijakan, dan dari satu negara ke negara lain. Malcom
Goggin
dengan
optimis
mengembangkan
studi
Implementasi dengan memanfaatkan konsep komunikasi sebagai jalan alternatif. Teori ini diyakini mampu memuaskan kepentingan implementasi baik secara teori maupun empirik dalam berbagai tingkatan pemerintahan: Federal, negara dan tingkat level. Perlu dijelaskan pula bahwa dalam teori ini Malcom Goggin membagi teorinya dalam lima bagian yaitu : 1. State Implementation adalah sebuah proses, sebuah seri dari keputusan negara dan aksi langsung untuk mengambil keputusan yang telah diputuskan yang merupakan mandat negara federal menjadi dampak. State Implementation juga sering disamakan dengan kepatuhan negara-
21
negara (bagian) atau kepuasan berdasar waktu dari persyaratanpersyaratan prosedural dari sebuah hukum. 2. Federa-level Inducements and Constrain adalah bentuk rangsangan dan paksaan pada tingkat negara bagian, menurut Goggin ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu: isi dan bentuk kebijakan. isi dan bentuk dari kebijakan
pemerintah
nasional
yang
berupa
statuta
keputusan
pemerintah eksekutif, keputusan hukum, atau regulasi administratif berdampak pada pilihan-pilihan
dan perilaku dari level kondisi
implementor. 3. State and Local Level and Constraint rangsangan dan paksaan yang menentukan pada level negara bagian dan lokal adalah sebuah komponen dari model yang menentukan pada pentingnya pengetahuan politik
tingkat
negara
bagian
dan
lokal
(organisasi-organisasi
kepentingan pada level ini) dalam hal memahami bagaimana dan mengapa implementasi seharusnya dilakukan. 4. Decisional Out cames and State Capacity model komunikasi mendudukan pembuat kebijakan dalam pivatol role (peran yang sangat penting). Mereka menerima dan mengevaluasi dari arus informasi yang dikirim dari negara federal, negara bagian dan tingkat lokal. Mereka harus mencermati secara cermat meneliti informasi tersebut baik dari “atas” maupun “bawah”. 5. Feedback and Policy Redesign adalah rangsangan dan pelaksaaan dari berbagai tingkat pemerintahan yang akan memicu suatu adaptasi dari
22
suatu kebijakan ke kebijakan lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Individu dan organisasi publik harus mampu belajar untuk memiliki kapasitas untuk belajar dan kemampuan untuk beradaptasi untuk perubahan yang tidak pasti. Perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dapat memicu perubahan kebijakan yang cepat dan memicu konflik yang wajar. Koordinasi dan kooperasi dibutuhkan untuk mengetahui siapakah yang berhak untuk menjalankan kebijakan dan memiliki kekuatan lebih untuk mendesain ulang kebijakan tersebut. (Indiahono, 2009:48-49) 1.6.2 Kemiskinan Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang sekarang ini melilit masyarakat kita. Bahkan ada yang menamakan fenomena ini sebagai sebuah penyakit kronis yang sukar disembuhkan. Fenomena kemiskinan sendiri dalam pandangan akademik memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sebuah kajian keilmuan di mana para ahli berdebat menemukan penawar yang nantinya mampu menyembuhkan penyakit kemiskinan. Indonesia sendiri pernah mencoba berbagai macam cara agar dapat keluar dari yang namanya kemiskinan, salah satu cara yang dipakai adalah triclel down effect akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa setelah 10 tahun berlalu pada tahun 1969, ternyata efek yang dimaksud itu mungkin tidak tepat bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses itu mengalir ke bawahnya sangat lambat. Akhirnya, sebagai akibat dari stategi tersebut, pada dekade 1980-an hingga pertengahan dekade 1990-an, sebelum krisis
23
ekonomi, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto yang relatif tinggi, tetapi tingkat kesenjangan juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak. Dilihat dari kebutuhan masyarakat yang beragam maka kemiskinan juga memiliki banyak aspek seperti halnya aspek primer berupa (Miskin aset. Organisasi sosial, politik, Pengetahuan dan Keterampilan) dan aspek sekunder (Jaringan sosial, Sumber Keuangan dan Informasi). Lain halnya jika berbicara terkait penyebab kemiskinan di mana selain dari kondisi masyarakat dan lingkungan yang beragam juga disebabkan dari kebijakan negara yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal suatu negara seperti halnya keterlibatan jaringan internasional dalam kebijakan tersebut. Kemiskinan yang dimaksudkan bukan sekedar menyentuh aspek kemiskinan individual dalam artian seseorang itu malas bekerja atau karena keterbatasan
kemampuannya.
Tetapi
melingkupi
aspek
kemiskiann
struktural sebagaimana yang dijelaskan oleh Selo Soemardjan bahwa kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Soemardjan dkk, 1980 : 5) Kategori kemiskinan tergantung dari alat ukur yang digunakan. Sebagaimana penjelasan para sarjana ekonomi bahwa seseorang dikatakan miskin jika tidak memenuhi standar pendapatan. Beda halnya dengan sarjana ilmu sosial, yang memberikan definisi kemiskinan dari seberapa
24
besar kesempatan dan jaringan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, jarak perbedaan semakin kentara dengan melihat kemiskinan dari segi kesehatan yang melihat kemiskinan dari seberapa besar asupan gizi yang diperoleh masyarakat. Menurut Oscar Lewis (1983) dalam Syamsiah bahwa orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri, mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh dengan diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk kooperatif, produktif dan kreatif. Alat ukur kemiskinan begitu banyak. Jika dilihat secara seksama dapat dikategori kedalam beberapa kelompok yaitu akses pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja yang dimiliki oleh masyarakat. Bagi Peneliti, sebagaimana disampaikan Amartya Sen bahwa kemiskinan terjadi apabila tidak meratanya pendistribusian implementasi kebijakan di dalam masyarakat. Sehingga efek yang diharapkan berjalan lambat disebagian tempat namun ditempat lain tidak dapat dibendung. Drewnowski dalam Ichwan Muis mencoba menggunakan indikatorindiktor sosial untuk mengukur tingkat-tingkat kehidupan (the level of living
25
index). Menurutnya terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang: a) Kehidupan fisik dasar (basic fisical needs), yang meliputi gizi/ nutrisi, perlindungan/ perumahan (shelter/ housing) dan kesehatan. b) Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang dan rekreasi dan jaminan sosial (social security). c) High income, meliputi pendapatan surplus atau melebihi takarannya. Merujuk dari yang ditetapkan word bank bahwa, miskin jika tidak memiliki pendapatan dibawah satu dolar perharinya. Selain itu badan resmi pemerintah (BPS) mendefinisikan garis kemiskinan sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar asupan kalori sebesar 2.100 kkal/hari per kapita (garis kemiskinan makanan) ditambah kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang, yaitu papan, sandang, sekolah, dan transportasi serta kebutuhan individu dan rumah tangga dasar lainnya (garis kemiskinan non makanan). Selain BPS badan pemerintah lainnya seperti BAPPENAS. Secara resmi mengeluarkan definisi kemiskinan pada tahun 2004 sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu
memenuhi
hak
dasarnya
untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
26
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan
kebutuhan
dasar,
pendekatan
pendapatan,
pendekatan
kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif. 1.6.3 Gerakan Budaya Pengkajian
terhadap
Gerakan
Masyarakat
semakin
terlihat
peminatnya dibeberapa tahun terakhir. Trend pembahasan dan pengkajian Gerakan Masyarakat juga dipicu dengan semakin maraknya pergerakan dari masyarakat. Kemunculan Gerakan Masyarakat bermula dari pergerakan masyarakat dan atau bahkan dari advokasi yang dilaksanakan oleh mahasiswa, LSM atau lembaga lain di dalamnya. Aspek history Gerakan Masyarakat dalam kurun waktu 60 tahun sejak tahun 1940 telah bermunculan berbagai teori mengenai Gerakan Masyarakat atau kemasyarakatan. Fenomena tersebut merupakan sebuah penggambaran atas tidak adanya teori tunggal yang mampu menjelaskan tentang Gerakan Masyarakat tersebut. Bahkan setelah pasca perang dunia II kajian teori-teori gerakan semakin terlihat. Fenomena ini mampu bertahan sampai di dekade 1990-an. Pada tahun 1940-1950-an teori gerakan kemasyarakatan meneliti asal usul irasional dari setiap gerakan yang muncul, sambil menggunakan
27
paradigma teori psikoanalisis, psikologi sosial, dan teori perkumpulan massa (mass society). Pada tahun 1950-an, munculnya McCarthyisme di Amerika Serikat secara tidak sengaja merangsang lahirnya teori-teori kedudukan politis yang terus bertahan hingga tahun 1960-an. Teori ketegangan sosial (social train theory) yang memusatkan perhatian pada interpretasi individu dan kolektif terhadap masalah-masalah sosial mulai muncul sekitar tahun 1960-an sekaligus menjembatani teori-teori gerakan kemasyarakatan pada periode kedua. (R. Mirsel, 2004 : 16) Perkembangan selanjutnya pengkajian teori Gerakan Masyarakat kemudian muncul dengan istilah gerakan kemasyarakatan/sosial baru di Eropa pada era 1970-an. Perubahan penyebutan dan atau penambahan kata baru cukup beralasan. Mengingat pada fase ini, Gerakan Masyarakat telah terfragmentasi struktur gerakan. Lahirnya ideologi kelas sosial bersifat ambigu. Dan ideologi-ideologi liberatarian-kiri yang anti pemerintah, dan semakin meluasnya kajian Gerakan Masyarakat mulai menelusuk ke berbagai aspek yaitu pergerakan aktivis lingkungan hidup, kaum feminisme, kaum homoseksual, aktivis perdamaian, penggalakan komunitas akar rumput masyarakat perkotaan. Fenomena Gerakan Masyarakat di Indonesia telah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan bahkan kemunculannya dapat terlihat sejak bangsa ini masih berbentuk kerajaan-kerajaan di mana terjadi pergolakan terhadap
28
kolonialisme, di mana pergolakan ini dipicu oleh para masyarakat yang menentang kolonialisasi. Puncaknya pergerakan masyarakat di Indonesia terlihat dan dirasakan kembali aura kebersamaan yang dikarenakan ketidakadilan strukturasi baik itu politik maupun ekonomi yaitu pergerakan reformasi di tahun 1998. Esensi dasar kemunculan Gerakan Masyarakat secara history ini sengaja dimasukan dengan maksud bahwa kita dapat melihat pemicu kemunculan Gerakan Masyarakat secara kontekstual dari zaman ke zaman. Berbicara Gerakan Masyarakat setidaknya dapat memberikan sedikit definisi singkat terkait dua kata di atas yaitu pergerakan yang melibatkan masyarakat, keterlibatan ini tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga dalam bentuk keterpanggilan kelompok masyarakat ataupun kesadaran masyarakat dalam melaksanakan gerakan tersebut. Bahkan Robert Mirsel dalam bukunya mendefinisikan sebagai seperangkat
keyakinan
dan
tindakan
yang
tak
terlembaga
(nonisntitutionalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam sebuah masyarakat (Mirsel. 2004:6). Bahkan beliau mengakui bahwa definisi di atas tidak luput dari kontroversi akan keyakinan dan tindakan-tindakan (perilaku) yang tidak terlembaga mengandung arti bahwa mereka tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku dan diterima umum secara luas dan sah di dalam sebuah masyarakat. Akan tetapi, di antara para pengikut dan pendukung sebuah
29
gerakan kemasyarakatan, keyakinan dan praktek-praktek ini didefinisikan secara positif, konsensus ini merupakan salah satu dari sejumlah karakteristik yang membuat sebuah Gerakan Masyarakat berbeda dari perilaku kriminal dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. setiap Gerakan Masyarakat tantangan selalu bersifat eksplisit dan kolektif. Definisi di atas terlihat jelas bagaimana Gerakan Masyarakat ini bermula, yaitu bagaimana ketidak-adilan dan juga bagaimana upaya perlawanan terhadap dominasi kelas sehingga pergerakan ini muncul dan berkembang dari kalangan kelas bawah. Adapun kemunculan Gerakan Masyarakat dibangun dari fondasi kelas bawah peran aktor dan atau agensi memiliki peran yang sangat penting, pada tahapan ini aktor/agensi yang dalam kategori ini disebut elit lokal yang mencoba menjembatani kepentingan yang diperjuangkan. Pada kelompok ini, kompromi dan lobi dengan strukturasi di atasnya terjadi. Jika dominasi strukturasi terlihat lebih kuat maka kekuatan strukrasi-lah yang berkuasa, tetapi jika sebaliknya maka kekuatan kelompok elit lokal ini mampu mengakomodir kepentingan kelas bawah. Pengkajian Gerakan Masyarakat dengan prespektif lokalitas seperti Segoro Amarto merupakan sesuatu yang menarik. Mengingat batasan keduanya sangatlah tipis, jika penjelasan keduanya bisa berunjung kepada bagaimana hegemoni kebudayaan untuk menggerakan ataupun kuatnya politik birokrasi untuk menghegemoni budaya tersebut.
30
Konteks Segoro Amarto sendiri bagi Penulis merupakan rekayasa yang dipicu dari hasil analisis elit birokrasi, dan mengingat legalitas politik birokrasi di Kota Yogyakarta begitu kuat dengan mengusung isu kebudayaan dan kerakteristik masyarakat yang masih memegang nilai budaya sehingga rekayasa dengan memanfaatkan nilai lokal ini kedalam sebuah kebijakan yang diberi nama Segoro Amarto. Meskipun didominasi oleh kelompok non-pemerintahan tetapi pada level pengambilan keputusan kelompok elit birokrasi masih memiliki kendali besar. Oleh karena itu, Segoro Amarto semakin menarik untuk dilihat dalam konteks apakah merupakah sebuah gerakan budaya atau merupakan sebuah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan partisipasi dari masyarakat. Setelah melihat bagaimana gerakan masyarakat dari sisi historinya maka perlu di lihat pula bagaimana sebuah kebudayaan dijadikan landasan untuk melakukan sebuah gerakan, mengingat gerakan kebudayaan lebih bersar implikasinya dari pada gerakan sosial maupun gerakan politik. Oleh karena itu, gerakan budaya perlu juga di definisikan dan atau didudukan dalam porsi yang sempurna agar dapat dilihat sebagai sebuah pergerakan yang benar-benar memiliki landasan dari kebudayaan itu sendiri.
31
Membicarakan gerakan kebudayaan tidak terlepas dari yang namanya habitus1 (penekanan ini menggunakan habitus dalam kacamata Bourdieu) yang mana dalam pemahaman habitus lebih diperjelaskan pada sisi bagaimana sebuah tindakan diperbiasakan sehingga menjadi sebuah pengulangan dan bahkan berunjung pada sebuah tradisi. Dalam teorinya Bordieu menyatakan bahwa tindakan sosial merupakan struktur tindakan itu sendiri dan keduanya dapat saling dipertukarkan. Negosiasi di dalam budaya berasal dari kesadaran habitus, dan pada tingkatan individu habitus juga berarti sistem perilaku dan disposisi yang relatif permanen dan berpindah dari satu objek ke objek lainnya secara simultan mengintegrasikan antara seluruh pengalaman sebelumnya. Setiap manusia mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga,
1 . Habitus (kebiasaan) adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami menghargai serta mengevaluasi realitas sosial. Berbagai skema tercakup di dalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek, terhormat-terhina. Skema tersebut diwujudkan di dalam istilah sebagai hasil penamaan. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka. http://sosiologifisib.wordpress.com/2011/01/19/sponsor-join-gratis-mudah-menjalankan/
32
manusia senantiasa bergerak untuk mewujudkan apa yang dibutuhkan dan diinginkannya. Gerakan Kebudayaan merupakan suatu yang senantiasa dan harus dilakukan manusia, karena merupakan inti dari perjalanan kehidupan manusia. Gerakan Kebudayaan mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan gerakan sosial maupun gerakan politik. Manusia hidup adalah manusia yang bergerak, sehingga tanda kehidupan manusia adalah bergeraknya manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Bergerak merupakan naluri atau fitrah yang dimiliki oleh manusia. Terbentuknya kebudayaan dan peradaban besar dalam sejarah umat manusia karena manusia bergerak mendayagunakan berbagai potensi yang dimilikinya. Maka Gerakan Kebudayaan merupakan upaya manusia untuk hidup dan menjadi inti dari kehidupan manusia. Bagaiman manusia melakukan Gerakan Kebudayaan? Penekanan dari Gerakan Kebudayaan adalah ide dan gagasan yang sesuai dengan tujuan dan harkat hidup manusia dan kemanusian. Kemudian yang menjadikan Gerakan Kebudayaan dapat dirasakan oleh masyarakat yaitu bagaimana realisasi atau perwujudan dari ide dan gagasan itu bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya. Awal mula pergerakan kebudayaan adalah memformulasikan ide dan gagasan dalam mencapai harkat dan tujuan hidup baik secara individu
33
maupun bermasyarakat. Setelah meformulasikan maka tahap selanjutnya adalah mempraktekan hasil formulasi dari ide dan gagasan tersebut. Penulis kemudian melihat bagaimana kebijakan Segoro Amarto bermaksud untuk menjadikan karakter masyarakat melalui nilai-nilai (kebersamaan, kedisiplinan, gotong royong dan
kepedulian). Sehingga
penulis merasa penting untuk ditelusuri lebih mendalam terkait bagaimana proses mengimplementasikan Segoro Amarto dalam masyarakat khususnya di tiga kelurahan pilot project. 1.6.4 Modal Sosial Kapital sosial atau yang lebih dikenal dengan sebutan modal sosial saat ini menjadi topik menarik untuk dikaji, terlebih lagi kajian ini dikolaborasikan dengan konsep pembangunan (development) mengingat dalam beberapa kasus sebelumnya pembangunan dilaksanakan tanpa memainkan peranan modal sosial dan yang terjadi adalah kelambanan dalam perjalanannya. Berbicara soal modal sosial, para sarjana ekonom telah lama berbicara khususnya soal modal ekonomi atau modal finansial yang mana diartikan sebagai sejumlah uang yang dapat dipergunakan untuk membeli atau sejumlah uang dihimpun atau ditabung untu investasi dimasa depan. Teori modal sosial pada dasarnya merupakan teori yang tegas memberikan tekanan operasionalnya, sebagaimana titik sentral teori ini, yaitu soal hubungan. Dengan membangun hubungan, menjaganya dan mampu bekerja bersama-sama maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pemanfaatan modal sosial di dalamnya.
34
Modal sosial mestinya dikaitkan dengan komunitas di mana tempat modal sosial diekspresikan bahkan dari komunitas sendiri terlihat kuat atau lemahnya modal sosial dimainkan. Mengingat modal sosial dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai tujuantujuan bersama di dalam suatu kelompok masyarakat. Kemunculan modal sosial berbeda dengan modal manusia apalagi dengan modal ekonomi, hanya saja modal sosial sedikit banyak memiliki dua pandangan yang menjelaskan kemunculannya. Sebagaimana disampaikan oleh Bordieu dan Wacquant (Field: 2010) adalah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Bourdieu mengembangkan modal sosial dari upaya menciptakan antropologi budaya reproduksi sosial. Studinya tentang suku-suku di Aljazair selama tahun 1960-an, Bordieu menggambarkan perkembangan dinamis struktur nilai dan cara berpikir untuk membentuk apa yang disebutnya habitus yang menjadi jembatan antara agensi subjektif dengan posisi objektif. Ketika mengembangkan gagasannya tentang habitus, Boedieu menegaskan bahwa kelompok mampu menggunkan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur sosial. Beliau mempertegas pandangannya dengan membuat metafora modal budaya yang memperlihatkan cara kerja kelompok untuk memanfaatkan fakta bahwa
35
beberapa jenis selera budaya menikmati lebih banyak status dari pada jenis selera budaya lainnya. Bordieu juga melihat peran agen dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal relatif mereka, Strategi tertentu dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Definisi modal sosial yang disampaikan oleh Boedieu pertama kali dalam diskusi yang diterbitkan 1973 tentang cara anggota kelompok profesional mengamankan posisi mereka (anak-anak mereka), pada awalnya Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagaimana yang dikutip dalam Field (2010) sebagai berikut: Modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan ‘dukungan-dukungan’ bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. (Bourdieu, 1977:503) Field juga menambahkan bahwa Bourdieu kemudian memperbaiki pandangannya dengan menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan sebagai berikut : Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan . (Bourdieu dan Wacquant, 1992:119) Selain pandangan Boudieu di atas Word Bank (Bank Dunia) juga mengeluarkan definisi terkait modal sosial yakni modal sosial sebagai suatu yang merujuk kedimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam
36
masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya. Oleh karena itu dimensi modal sosial menggambarkan keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Ikatan-ikatan inilah kemudian dijadikan dasar oleh pemerintah kota Yogyakarta untuk mengembangkan program pemberdayaannya. Program pemberdayaan yang dikembangkan atau lebih dikenal sebagai Segoro Amarto hanya merupakan inovasi dari beberapa nilai-nilai luhur masyarakat Yogyakarta. Bahkan nilai-nilai tersebut berkembang menjadi modal sosial masyarakat Yogyakarta dalam berkehidupan. Mengingat dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa seluruh informasi, dan menetapkan normanorma, serta sangsi-sangsi sosial bagi anggota masyarakat.
37
Namun Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (Trust). Trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dalam sebuah komunitas masyarakat berdasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggotanya. Norma-norma bisa berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. Fukuyama (2007 : 5) juga mengemukakan bahwa kekuatan masyarakat sipil terletak pada kebiasaan, adat dan etika masyarakatnya beserta segenap atribut-atribut yang bisa dibentuk secara tidak langsung melalui tindakan politik yang sadar dan dipupuk melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap kebudayaan. Dari pandangan Fukuyama ini kemudian penulis mencoba memberikan tekanan kepada masyarakat Yogyakarta umumnya dan kelurahan Pilot project khususnya, bahwa karekteristik masyarakat memiliki kekhasan yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Fukuyama di atas dimana dari kebiasaan (adat) sangat terlihat. Meskipun demikian seharusnya etika masyarakat harus bermain sehingga penulis tidak terlalu jauh memberikan penilaian terkait etika masyarakat trersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Terkait dimensi modal sosial tidak
38
dianggap sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektifitas kebijakan. Padahal sebetulnya modal sosial yang terbangun dari nilai kultural menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan kualitas masyarakat. Kebijakan publik dapat mempengaruhi lingkaran modal sosial dan pada akhirnya menjadi pendorong keberhasilan pembangunan sosial dan pembangunan kesejahteraan. Robert D Putnam, ilmuaan politik Amerika, secara
meyakinkan
mempopulerkan
layak
mendapatkan
terminologi
yang
banyak
nilai
sebelumnya
lebih
karena
agak
kabur,
menyelamatkannya dari abstraksi teori sosial dan teori ekonomi. Singkat kata, Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai Bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efesiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. (Field: 2010) Ikatan antar manusia juga menjadi blok bangunan utama dari bangunan sosial yang lebih besar. Tentu saja ini sama sekali bukan gagasan baru. Sebaliknya hal ini telah ada ketika disiplin sosiologi dibangun, Emile Durkheim, yang banyak dikenal sebagai tokoh pendiri utama pemikiran sosiologi abad ke-19, secara khusus tertarik pada bagaimana ikatan sosial antar manusia menjadi simpul yang menyatukan jalinan masyarakat yang lebih luas. Ia membedakan sacara tajam antara solidaritas mekanis masyarakatmasyarakat pramodern, ketika kepatuhan kepada otoritas yang berasal dari perilaku dan ikatan sosial lahir dari kemiripan status dan rutinitas, dengan solidaritas organik dasar dari sistem sosial modernitas yang terus bergerak dan sangat
terdiferensiasi.
Kendati
jumlah,
cakupan,
kompleksitas
dan
39
kesementaraan menjadi ciri hubungan sosial modern, Durkheim mencatat bahwa masyarakat tidak menjadi ikatan atom yang saling berhadap-hadapan melainkan, anggotanya disatukan oleh ikatan yang semakin erat dan semakin melampaui momen singkat terjadinya pertukaran tersebut. (Field: 2010) 1.6.5 Teori Respon Respon berasal dari kata response, yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga dijelaskan definisi respon adalah berupa tanggapan, reaksi, dan jawaban. Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Jadi, proses pengamatan sudah berhenti, dan hanya tinggal kesan-kesannya saja. Manusia sebagai makhluk sosial adalah memenuhi kebutuhan seharihari, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan dengan lingkungan sosialnya. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya menimbulkan respon-respon sosial pada individu. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai respon atau tidak respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Melihat sikap seseorang
40
atau sekelompok orang tehadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Sedangkan sikap menurut Baron dan Byrne (2004) dalam Fattah (2010) mengemukakan definisi sikap sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Di tambahkan juga oleh Strickland (2001) yang menjelaskan bahwa sikap adalah predeposisi atau kecenderungan untuk memberikan respon secara kognitif, emosi, dan perilaku yang diarahkan pada suatu objek, pribadi dan situasi khusus dalam cara-cara tertentu. Sikap adalah sebuah pola yang menetap berupa respons evaluatif tentang orang, benda atau isu (Colman, 2006; Fattah 2010 : 64) Jika melihat definisi di atas menunjukan bahwa respon sendiri merupakan pembahasan yang paling melekat dalam ilmu psikologi, di mana dalam pembahasan ini menyangkut interaksi seseorang terhadap fenomena sekelilingnya. Penggunaan teori ini dalam ilmu administrasi baru kita rasakan saat kita diperkenalkan dengan pendekatan behavior (perilaku). Dalam pendekatan ini kita diperkenalkan dengan perilaku seseorang dalam organisasi. Dalam ilmu kebijakan sendiri pendekatan ini sangatlah penting di mana sikap dan atau respon seseorang (masyarakat) terhadap sebuah kebijakan dapat menentukan keberlangsungan dari sebuah kebijakan. Studi implementasi sendiri setidaknya mendekatkan kita pada bagaimana sikap aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tetapi bagaimana sikap masyarakat terhadap sebuah kebijakan yang dirasakan masih
41
sangat jarang sehingga pendekatan teori ini dalam implementasi masih jarang kita temui di lapangan. Jika pendekatan di atas kita dekatkan dengan kebijakan Segoro Amarto maka akan kita temui berbagai respon dan atau sikap masyarakat terhadap Segoro Amarto. Sebagaimana yang dijelaskan Fattah (2010) bahwa sikap merupakan tendensi untuk bereaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap merupakan emosi atau efek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain, benda atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Sikap sendiri melibatkan kecenderungan respons yang bersifat prefensial. Dalam konteks itu, seseorang memiliki kecenderungan untuk puas atau tidak puas, positif atau negatif. terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat akan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Berbagai ragam respon masyarakat terhadap perubahan itu ada yang bersifat menolak dan ada pula yang menerima perubahan, ada yang menanggapinya secara positif dan ada pula yang sebaliknya (negatif), ada yang proaktif dan adapula yang apatis, dan ada yang progresif serta ada pula yang moderat ataupun adaptif. Berikut ini secara garis besarnya akan dijelaskan sejumlah respon individu dan masyarakat terhadap munculnya perubahan-perubahan sosial. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, setiap masuknya unsur-unsur dari luar dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi oleh karena adanya saling pertentangan di antara unsur-unsur baru dengan unsur-unsur lama, sehingga dapat memengaruhi iklim keharmonisan
42
dalam masyarakat. Namun apabila ketidakstabilan tersebut dapat dipulihkan kembali, setelah terjadinya pertentangan atau perubahan, maka akan menimbulkan suatu keadaaan yang dinamakan adjustment (penyesuaian). Keseimbangan
atau
harmoni
dalam
masyarakat
(social
equilibrium)
merupakan keadaan yang diidam-idamkan dalam setiap masyarakat. (Zahiruddin KH : 2012) Sarlito juga mendefinisikan sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang maka disebut sikap positif, sedangkan kalau perasaan tidak senang berarti sikap negatif. Namun jika tidak timbul perasaan apa-apa berarti sikapnya netral. Pendekatan ini dimaksudkan agar penulis dapat melihat bagaimana respon dan atau sikap masyarakat terhadap kebijakan Segoro Amarto. Sebagaimana dari hasil pengamatan dan pendekatan persuasif yang penulis lakukan di lapangan penulis menemukan berbagai respon baik itu dari aktor implementasi maupun masyarakat yang merupakan sasaran dari kebijakan itu sendiri. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1
Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dalam bukunya
Moleong mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang 43
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong : 2002) selain itu Denzin dan Lincoln (2009 : 6) juga mengutarakan bahwa para penulis kualitatif menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara penulis dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (Moleong : 2002) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Sejalan dengan apa yang dijelaskan di atas, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan etnografis. Di mana etnografis merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandangan penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Manilowski (Spradley 2007), bahwa tujuan etnografis adalah memahami sudut pandangan penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenal dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografis tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, belajar dari masyarakat.
44
Mengingat penelitian administrasi masih sangat jarang dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografis oleh karena itu penulis mencoba menggunakan pendekatan ini dengan melaksanakan pelaksanaan etnografis pada saat melakukan observasi. Di mana observasi dalam pendekatan ini penulis lakukan dengan terjun langsung ke objek penelitian yaitu pada kelurahan Kricak, Tegal Panggung dan Sorosutan, hanya saja penulis lebih memfokuskan pada RW-RW yang menjadi target ataupun yang ditetapkan sebagai kelompok basis Segoro Amarto. Pada observasi di kelurahan kricak penulis menemukan pemukiman warga yang padat sehingga aktifitas masyarakat terbilang aktif antar sesama, kondisi ini serupa dengan yang penulis temukan di kelurahan Tegal Panggung dimana penulis menyusuri lorong-lorong (jalan setapak) untuk menyusuri komplek tegal kemuning di kelurahan Tegal Panggung. kondisi kedua kelurahan di atas praktis berbeda dengan kelurahan Sorosutan khususnya di khususnya di RW basis di mana pemukimannya masih terlihat wilayah kosong yang mana aktifitas warga kurang terlihat di siang harinya sehingga RW basis terlihat sunyi sehingga mempersulit penulis untuk berinterasi dengan masyarakat sekitar, penulis kemudian mencoba untuk mengulangi observasi ini di sore harinya, tetapi penulis kemudian mendapatkan bahwa ada sebagian warga yang aktifitasnya masih sama dengan kondisi di siang harinya karena hampir sebagian kompleks di sore harinya kebanyakan beraktifitas di dalam rumah. Kondisi inilah yang membedakan interaksi masyarakat Sorusutan dengan dua kelurahan sebelumnya di atas.
45
Selama melakukan observasi dan penelitian langsung di lapangan penulis sedikit banyak mendapatkan kesulitan dari segi komunikasi karena penulis menyadari betul bahwa bahasa komunikasi dalam keseharian khususnya di wilayah Yogyakarta masih menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa), keterbatasan ini penulis temukan saat mencoba berkomunikasi dengan beberapa masyarakat baik tingkat pemuda maupun para orang tua di lapangan, kelemahan ini penulis sadari betul mengingat penulis tidak menguasai bahasa Jawa secara lancar. Namun demikian, kelemahan ini tidak menyulutkan semangat penulis untuk menggali lebih dalam aktifitas dan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi keberlangsungan program Segoro Amarto di tiga kelurahan tersebut. Dari hasil observasi penulis temukan yaitu kemiripan kebudayaan karena sebagian besar masyarakat yang berdomisili di tiga kelurahan ini adalah masyarakat dari pinggiran kota Yogyakarta dan atau masih dalam satu rumpun kebudayaan Jawa. 1.7.2
Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah program pengentasan kemiskinan di
pemerintah kota Yogyakarta, program pengentasan kemiskinan tersebut dibalut dengan Gerakan kebudayaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Segoro Amarto. Oleh karena itu penelitian ini terdiri dari dua sasaran yaitu pemerintah Kota Yogyakarta dan 10 target group
tingkat RW di tiga
kelurahan yaitu Kelurahan Kricak, Tegal Panggung dan Sorosutan. Jika mengacu pada penelitian kuantitatif jelas pembagian antara populasi dan sampel sedangkan pada penelitian kualitatif populasi dan sampel
46
sebenarnya ada, namun dengan pertimbangan waktu dan finansial sehingga dibutuhkan beberapa pendekatan dalam kualitatif. Pertimbangan untuk memilih 10 target group dari tiga kelurahan di atas dikarenakan Penulis sendiri sadar akan besarnya populasi yang berada di kota Yogyakarta. Oleh karena itu Penulis mencoba memperkecilnya dengan mengambil tiga kelurahan tersebut, selain itu tiga kelurahan tersebut juga oleh pemerintah kota Yogyakarta dijadikan sebagai pilot project dari program Segoro Amarto. Ketiga keluarahan ini dijadikan sebagai pilot project dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan geografis yaitu untuk wilayah kricak mewakili wilayah barat kota Yogyakarta, Tegal Panggul mewakili wilayah tengah kota Yogyakarta atau sebagai pusat kota, dan kelurahan Sorosutan mewakili wilayah timur kota Yogyakarta (hasil wawancara dengan Bapak Jajang Sekretaris Bappeda Kota Yogyakarta, tanggal 27 Maret 2011). 1.7.3
Teknik Penentuan Informan Dalam sebuah penelitian ilmiah khususnya kualitatif informan
memiliki
peranan
yang
sangat
penting,
mengingat
dari
informan
pengungkapan fakta ataupun maksud penelitian bisa terkuak. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode etnografi, sebagai salah satu penelitian kualitatif, antara lain banyak mengandalkan teknik pengumpulan data secara mendalam (in-detph), wawancara terbuka atau tak terbatas, open-end interviews. Dengan bantuan metodologi ini memungkinkan para informan bisa berpatisipasi aktif dalam penggalian dan eksplorasi datasejauh ingatan atau memory mereka. Pengumpulan data lapangan dilakukan
47
penelitian selalui memulai wawancara dengan 1 (satu) pertanyaan untuk 1 (satu) permasalahan. Dalam batas-batas tertentu penelitian membiarkan informan mengembangkan informasinya, termasuk beralih ke bagian-bagian permasalahan tertentu selama tidak keluar dari topik penelitian. Meski demikian, penelitian tetap menjaga alur informasi dari informan kalau-kalau informasi yang disampaikan itu terlalu melebar dari topik. Selama proses wawancara berlangsung penulis berusaha menciptakan situasi saling percaya dan menarik. 1.7.4
Teknik Pengumpulan Data Sebelum jauh menjelaskan mengenai metode pengumpulan data
terlebih dahulu penulis ingin memaparkan bentuk data dalam penelitian ini sebagaimana dari bentuknya yaitu data primer dan sekunder yang lazim digunakan dalam penelitian lainnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Azwar (2009) bahwa menurut sumbernya data penelitian dapat digolongkan menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data yang telah dihasilkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari masyarakat dan pihak-pihak lain secara langsung dengan melakukan observasi dan wawancara. Sementara itu, data sekunder adalah data yang telah tersedia, baik di masyarakat maupun di instansi-instansi negara maupun swasta, seperti statistik, monografi, dokumen, hasil-hasil studi, laporan tahunan suatu instansi negara atau swasta, jurnal,
48
majalan, arsip, buletin, dan dokumen-dokumen tertulis lain yang dinilai penting untuk keperluan studi. Obeservasi dilakukan untuk mendapat data yang bersifat natural dengan cara mengamati gejala-gejala yang terjadi di lokasi penelitian. Penulis melihat secara langsung terhadap lokasi yang dijadikan sebagai sasaran penelitian yakni pada kehidupan keseharian masyarakat di tiga kelurahan (Kricak, Tegal Panggung dan Sorosutan) khususnya di RW yang dijadikan sebagai pilot project segoro Amarto. Dalam pengamatan langsung ini, penulis mencatat, merekam dan membuat deskripsi serta analisis tertulis. Dalam mengeskplorasi secara lebih dalam, penulis melakukan pengamatan peran serta (participant observation) kegiatan pengamatan ini tidak terbatas pada aktivitas sekedarnya seperti menonton persoalan, melainkan pelibatan diri dalam dinamika persoalan yang dikaji. Kesabaran dan ketekunan selama proses pengamatan sangat menentukan dalam ketepatan dan kualitas yang dihasilkan. Data yang telah dihasilkan di dapat dengan cara melakukan wawancara mendalam (depth interview). Proses wawancara dilakukan kepada informan secara tidak terstruktur disesuaikan dengan karakteristik keunikan dari masing-masing informan. Dalam metode penelitian etnografi, jenis-jenis pertanyaan akan bersifat pertanyaan deskriptif memperoleh gambaran tentang suatu hal pertanyaan struktural mengungkapkan cara orang mengorganisir gagasan dan pengetahuan yang mereka miliki, dan pertanyaan kontras-
49
mengungkapkan maksud – dari informan pada informasi yang diberikan dalam bahasa aslinya. Untuk mendapatkan sumber data primer, penulis mencari dan menemukan informan yang dipilih dengan teknik bola salju (snowball). Pertama penulis mendapatkan informasi dari para aktor birokrasi
yang
mendampingi masyarakat dan tokoh masyarakat setempat, (keypersons) yang paling berpengaruh dan menguasai informasi tentang Segoro Amarto. Tokoh masyarakat ini juga termasuk mereka yang berpengetahuan cukup dan mempunyai sumber-sumber akses memadai sehingga disegani dan dijadikan panutan masyarakat. Berdasarkan informasi yang di dapat, kemudian penulis mencari informan berikutnya yang bisa di lacak lebih jauh dari informasi tokoh kunci (key persons) sebelumnya. Pertama-tama, penulis menemui aktor birokrasi yang fokus pada Segoro Amarto, dengan harapan untuk mengetahui gambaran umum terkait dinamika Segoro Amarto dan mengetahui kelompok-kelompok lain yang melibatkan diri di dalam Segoro Amarto, di sini kemudian penulis mengetahui tokoh-tokoh lokal dalam gerakan yang akan menjadi narasumber penelitian untuk meminimalisir perbedaan-perbedaan persepsi dan pemaknaan dari informasi (hasil wawancara), penulis melakukan wawancara ulang (reinterview) untuk tujuan konfirmasi atau check and re-check terhadap para informan yang telah diwawancarai terutama kepada informan yang memberikan informasi berbeda. Alternatif lain yang dilakukan penulis adalah
50
mencari informasi lain dari tokoh masyarakat maupun para aktor lain yang tidak memiliki keterlibatan secara tidak langsung dalam Segoro Amarto. 1.7.5
Teknik Analisis Data Sebagaimana yang disampaikan oleh Patton dalam Moleong
(2000:103)
mengemukakan
bahwa
analisis
data
adalah
proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dari sautan untaian dasar sehingga ditemukan tema dan dapat dinamakan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data, selain itu Muhadjir (2004:142) berpendapat bahwa analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai teman bagi orang lain. Dari dua pendapat di atas maka tahapan analisis data dalam peneltian kualitatif merupakan tahapan yang sistematis dan terpola yang dimulai dari tahap awal hingga penarikan kesimpulan, sebagaimana pandangan Milles dan Huberman dalam Salim (2006) yang mencoba menyederhanakan analisis data kualitatif atau yang dikenal dengan model alir (flow model). Oleh karena itu dalam penelitian ini Penulis mencoba membagi analisis data kedalam tiga langkah sebagai berikut : 1. Reduksi Data (Data Reduction) yaitu proses pemilahan pemusatan perhatian pada penyederhanaan abstraksi, dan transformasi data mentah yang Penulis temukan di lapangan.
51
2. Penyejian Data (Display Date) yaitu deskripsi kesimpulan insformasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing and Verification). Dari permulaan pengumpulan data, penulis kualitatif mencari makna dari setiap gejala yang diperolehnya di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dan proposisi. Selama penelitian masih berlangsung setiap kesimpulan yang ditetapkan akan terus menerus diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh konklusi yang valid dan kokoh (salim : 2006).
52