BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pasca kolonilalisme, negara-negara Afrika mengalami begitu banyak kudeta militer yang silih berganti dari tahun 1960an hingga 2000an. Sedikitnya ada 88 kudeta militer di Afrika dalam kurun waktu tersebut yang mengakibatkan instabilitas politik, sosial dan ekonomi serta menciptakan kondisi the coup trap di sebagian besar negara di kawasan ini1. Selain itu, kudeta militer hampir selalu diikuti dengan kepemimpinan rezim yang otoriter dan koersif sehingga sangat memungkinkan terjadinya kekerasan dan konflik lajutan pasca kudeta. Salah satu negara yang terjebak dalam kudeta militer yang berulang-ulang adalah Republik Afrika Tengah. Sejak merdeka dari Perancis tahun 1960, negara ini telah mengalami 5 kali kudeta yaitu di tahun 1965, 1979, 1981, 2003 dan 2013 yang menyebabkan Republik Afrika Tengah tidak pernah lepas dari perang saudara, kekerasan dan pelanggaran HAM2. Dikaruniai dengan sumber daya mineral yang melimpah, namum rakyat Republik Afrika Tengah tetap hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi ini memicu munculnya kelompok yang tidak puas dengan pemerintahan sehingga berusaha untuk melakukan kudeta. Kudeta terhadap Presiden Francois Bozize tahun 2013 dapat dikatakan sebagai kudeta paling koersif dan menimbulkan konflik bersenjata paling berkepanjangan dibandingkan yang sebelum-sebelumnya. Selama perang tersebut terjadi, telah lebih dari 2.600 nyawa melayang dan hampir satu juta orang terusir dari tempat tinggalnya dan harus mencari perlindungan ke negara tetangga3. Pelanggaran HAM dan kekejaman massa terjadi setiap harinya namun tidak ada tindakan hukum bagi para pelakunya. Beberapa pasukan perdamaian diturunkan, seperti dari PBB, Perancis dan Uni Afrika, namun tak juga mampu meredam aksi kekerasan yang terjadi. Sayangnya, konflik ini tidak memperoleh banyak sorotan media dan hampir luput dari perhatian dunia. Wajar bila beberapa peniliti dan penulis menjuluki perang saudara di Republik Afrika Tengah sebagai ‘the forgotten conflict’ atau konflik yang terlupakan4.
1
Thomson, A, 2010, An Introduction to African Politics (Third Edition), New York: Routledge, p. 137. Eberhard, M.R, “Crisis in the Central African Republic” , International Coalition for the Responsibility to Protect: daring, diakses di < http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-the-centralafrican-republic# > pada 20 November 2015. 3 Baptiste, Nathalie & Foreign Policy in Focus, “The Central African Republic’s Forgotten Crisis,” The Nation: daring, 11 September 2014, diakses di < http://www.thenation.com/article/central-african-republicsforgotten-crisis/ > pada 29 Maret 2016. 4 Ibid. 2
Pemberontakan dan kudeta kekuasaan tersebut dilakukan oleh kelompok pemberontak Seleka yang merupakan koalisi atau gabungan dari beberapa kelompok pemberontak dari bagian Timur dan Utara Republik Afrika Tengah antara lain Convention of Patriots for Justice and Peace (CPJP), Union of Democratic Forces for Unity (UFDR), Democratic Front of Central African People (FDPC), Patriotic Convention for the Salvation of Kodro (CPSK), dan Alliance for Renaissance and Reorganization (A2R)5 yang bergabung perengahan tahun 2012. Kebanyakan anggota kelompok pemberontak Seleka adalah kelompok minoritas Muslim yang merasa termarjinalisasi di Republik Afrika Tengah. Dipimpin oleh Michel Djotodia, koalisi pemberontak Seleka mulai menguasai kota-kota strategis di Republik Afrika Tengah dan pada akhirnya berhasil mengambil alih ibukota negara, Bangui, pada Maret 2013 sekaligus merebut pemeintahan dari Francois Bozize. Selama melakukan upaya pemberontakan hingga berhasil mengambil alih kekuasaan, kelompok pemberontak Seleka telah melakukan banyak kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampasan serta pembakaran pemukiman penduduk6. Sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan kelompok Seleka, sebagian masyarakat membentuk kelompok milisi bernama Anti-Balaka di mana anggotanya terdiri dari kelompok Kristen yang merupakan mayoritas di Republik Afrika Tengah. Namun, serangan Anti-Balaka tidak hanya ditujukan kepada anggota Seleka saja melainkan semua warga Muslim secara umum karena mereka dianggap sebagai pendukung Seleka. Perang saudara antara Muslim dan Kristen pun tak terhindarkan yang mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan ratusan warga sipil Muslim dari Republik Afrika Tengah harus mengungsi ke negara-negara tetangga untuk menyelamatkan diri dari pembersihan etnis-agama secara masif yang dilakukan oleh Anti Balaka. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu untuk membahas dan menganalisis konflik tersebut melalui penelitian ini. Penulis melihat adanya pola yang membedakan perang saudara tahun 2013 dengan konflik-konflik lain di Republik Afrika Tengah di mana aksi kudeta kekuasaan dilakukan oleh koalisi kelompok-kelompok pemberontak mayoritas Muslim dan justru berlanjut dengan perang saudara dan pembersihan etnis-agama Islam oleh kelompok Kristen.
Yoshida, Y, “Understanding the 2013 Coup d’etat in the Central African Republic”, University for Peace: daring, diakses di < http://www.monitor.upeace.org/innerpg.cfm?id_article=1026# > pada 20 November 2015. 6 Human Rights Watch, “Rampant Abuses After Coup”, Human Rights Watch: daring, 10 Mei 2013, diakses di < https://www.hrw.org/news/2013/05/10/central-african-republic-rampant-abuses-after-coup > pada 10 Februari 2016. 5
Padahal selama berratus-ratus tahun, kelompok Kristen dan Muslim telah hidup berdampingan tanpa adanya konflik terbuka yang besar meski aksi pemberontakan dan kudeta telah beberapa kali terjadi7. 1.2. Pertanyaan Penelitian Melalui latar belakang masalah tersebut, menarik bagi peneliti untuk mengangkat pertanyaan penelitian yaitu “Mengapa perang saudara yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen di Republik Afrika Tengah pada tahun 2013 dapat terjadi?” 1.3. Landasan Konseptual a.
Perang Saudara Untuk mendefinisikan perang saudara yang dimaksud dalam tulisan ini, penulis
menggunakan landasan konseptual mengenai karakter perang saudara yang dikemukakan oleh Nicholas Sambanis dan Ibrahim Elbadawi antara lain (1) menyebabkan lebih dari ribuan korban jiwa; (2) mengancam kedaulatan negara yang diakui secara internasional; (3) terjadi di dalam batas Negara yang diakui; (4) melibatkan negara sebagai salah satu kombatan; (5) melibatkan pemberontak dengan kemampuan m
engorganisir oposisi; dan (6) melibatkan
pihak yang memiliki prospek untuk hidup bersama dalam satu unit politik setelah perang usai8. Mengacu pada definisi tersebut, penulis meyakini bahwa konflik antara kelompok Muslim dan Kristen di Republik Afrika Tengah dapat dikategorikan sebagai perang saudara. Pertama, perang tersebut menyebabkan lebih dari ribuan korban jiwa yang mana menurut data dari Asosiasi Pers tahun 2014, sedikitnya 5.186 jiwa melayang sejak pecahnya perang saudara antara Kristen dan Muslim pada Desember 20129. Kedua, pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Seleka mengancam kedaulatan negara yang diakui secara internasional karena berusaha untuk menjatuhkan kepala negara Republik Afrika Tengah saat itu yaitu Francois Bozize dan berhasil merebut tampuk kekuasaan. Perang saudara tersebut juga terjadi di seluruh bagian Republik Afrika Tengah namun dalam batas negara yang diakui, meskipun terdapat campur tangan dan pengaruh dari negara lain seperti Sudan dan Chad.
7
Wolongo, Yeelen, salah satu pemimpin agama Katolik (Bruder) di Bangui, Republik Afrika Tengah,dalam peryataan di film dokumenter “War in the Central African Republic”, Vice News: daring, 25 Maret 2014, diakses di < https://www.youtube.com/watch?v=VoQAxQgevEA > pada 29 Maret 2016. 8 Elbadawi, Ibrahim & Nicholas Sambanis, “Why Are There So Many Civil Wars in Africa: Understanding and Preventing Violent Conflict”, Journal of African Economies, December 2000, p. 5. 9 Larson, Krista, “Central African Republic: Death toll in massacres far exceeds U.N. count”, San Jose Mercury News: daring, 9 Desember 2014, diakses di < http://www.mercurynews.com/nationworld/ci_26521076/central-african-republic-death-toll-massacres-far-exceeds > pada 15 Maret 2016.
Keempat, keterlibatan negara sebagai salah satu kombatan juga dapat terlihat melalui tentara nasional Republik Afrika Tengah (FACA) dalam peperangan di mana para anggotanya turut andil dalam pembataian kelompok Muslim di berbagai daerah sekaligus menjadi target pembataian oleh Seleka10. Ciri-ciri selanjutnya adalah melibatkan pemberontak dengan kemampuan mengorganisir oposisi yaitu Seleka, yang merupakan gabungan beberapa kelompok pemberontak seperti UFDR, APRD, CPJP dan mampu mengorganisir sekitar 20.000 milisi Muslim dan tentara bayaran dari Chad dan Sudan11. Terakhir, konflik ini melibatkan pihak yang memiliki prospek untuk hidup bersama dalam satu unit politik setelah perang usai yaitu kelompok Muslim dan Kristen yang telah sekian lama hidup berdampingan di Republik Afrika Tengah. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa konflik antara kelompok Kristen dan Muslim di Republik Afrika Tengah dapat dikategorikan sebagai perang saudara. b. Negara Gagal Konsep negara gagal, penyebab dan indikatornya dibahas oleh Rotberg dalam bukunya yang berjudul “State Failure and State Weakness in a Time of Terror”. Negara-bangsa dapat dikatakan gagal ketika negara tersebut dipenuhi dengan kekerasan internal dan tidak lagi mampu untuk
memberikan produk-produk politik yang positif bagi rakyatnya sehingga pemerintah kehilangan legitimasinya12. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan kegagalan suatu negara13. Pertama, kekerasan sudah menjadi hal lumrah terjadi hampir setiap hari di negara tersebut dan perang saudara berbasis etnis, agama, bahasa atau identitas lainnya. Negara juga tidak mampu hadir di semua wilayahnya yang tidak hanya ditunjukkan secara simbolik melalui adanya pemerintahan daerah dan fasilitas negara, namun juga secara fungsional seperti pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Pemerintahan yang gagal kerap menyerang rakyatnya sendiri karena latar belakang kebencian etnis atau insekuritas elit pemerintah. Indikator lain dari negara gagal adalah bertumbuhnya kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta korupsi yang terus menerus dan destruktif. Negara yang gagal juga tidak mampu untuk membangun institusi demokrasi yang kuat, di mana satu-satunya institusi negara yang berfungsi adalah lembaga eksekutif yaitu presiden dan jajarannya. Sebagai dampak yang paling tampak nyata dari
FIDH, “Central African Republic: ‘They Must All Leave or Die’, Answering War Crimes with Crimes against Humanity,” Investigative Report, Juni 2014, p. 31. 11 Weyns, Yannick, Lotte Hoex, Filip Hilgert & Steven Spittaels, “Mapping Conflict Motives: The Central African Republic,” International Peace Information Service, 21 Novmeber 2014 p. 15. 12 Rotberg, Robert I, 2004, State Failure and State Weakness in a Time of Terror, Washington: Brookings Institution Press, p. 1. 13 Ibid, p. 5-9. 10
kegagalan-kegagalan pemerintah tersebut adalah rendahnya GDP negara dan terus menurun dari tahun ke tahun. Melalui karakteristik dan indikator tersebut, penulis dapat mengategorikan Republik Afrika Tengah sebagai negara gagal pada pemerintahan Francois Bozize. Penulis nantinya akan menguraikan bahwa pemerintahan yang berjalan selama satu dekade tersebut memenuhi indikator-indikator yang disebutkan di atas yang membuat rakyatnya tidak puas terhadap pemerintahan sehingga memicu munculnya banyak aksi pemberontakan dan pada akhirnya penggulingan kekuasaan.
c.
Perebutan Sumber Daya Menurut Bartos dan Wehr, konflik merupakan situasi di mana para aktor menggunakan
perilaku konflik terhadap satu sama lain untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan dan untuk menunjukkan kebencian mereka14. Mereka juga menguraikan bahwa terdapat tiga penyebab pertentangan tujuan yaitu karena adanya perebutan sumber daya, pertentangan peran dan pertentangan nilai15. Penyebab pertentangan tujuan yang akan digunakan dalam menganalisis konflik ini adalah perebutan sumber daya berupa kekayaan, kekuasaan dan prestis. Kekayaan dapat diasosiasikan dengan uang atau segala bentuk materi yang dapat menunjang kesejahteraan hidup seseorang atau kelompok. Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi pihak lain untuk melakukan apa yang diinginkan, di mana kepemilikan kekuasaan akan memberikan akses bahkan dominasi terhadap sumber daya. Sementara yang dimaksud dengan prestis adalah harkat atau martabat yang menunjukkan bahwa seseorang atau seuatu kelompok diakui keberadaannya, dihargai bahkan dihormati. Beberapa alasan terjadinya perebutan sumber daya tersebut adalah distribusinya tidak merata sehingga membuat beberapa pihak merasakan ketidakadilan dan ketimpangan baik secara relatif maupun absolut. Ketimpangan relatif artinya kelompok tersebut merasa bahwa mereka mengalami marjinalisasi ketika membandingkan dengan kelompok lainnya, meski belum tentu kelompok lainnya memiliki hak khusus atau privilege. Sementara ketimpangan absolut berarti adanya kesenjangan yang nyata dan tidak hanya dirasakan oleh sebagian kelompok saja. Budaya atau pribadi yang suka berkelahi merupakan faktor psikologis dari para aktor yang biasanya hidup dan besar di lingkungan yang konfliktual dan penuh dengan nilai-
14 15
Bartos, Otomar J & Paul Wehr, 2002, Using Conflict Theory, New York: Cambridge University Press, p. 13. Ibid, p. 30.
nilai kekerasan sehingga perilakunya cenderung kasar dan berkelahi adalah cara yang dipilih untuk meyelesaikan permasalahan. Konsep ini dapat digunakan untuk menganalisis penyebab terjadinya perang saudara di Republik Afrika Tengah yaitu adanya perebutan sumber daya di antara para pihak yang berkonflik, baik antara pemerintah dan rakyat maupun antar kelompok masyarakat itu sendiri. Di bawah negara predator Republik Afrika Tengah, pemerintah bukannya mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyatnya namun justru mengeksploitasinya untu memperkaya presiden dan kerabatnya. Tidak hanya itu, di bawah Bozize, politik etnis marak terjadi di mana kekuasaan serta pembuatan kebijakan didominasi dan hanya menguntungkan suatu kelompok etnis tertentu yang menyebabkan kelompok etnis lainnya merasa cemburu. Sementara itu, beberapa kelompok, khususnya kelompok Muslim, merasa terekslusi, tidak diakui eksistensinya dan dianggap sebagai bangsa pendatang di negaranya sendiri sehingga mereka menuntut penghargaan terhadap identitas mereka untuk mempertahankan martabat mereka.
d. Mobilisasi Kelompok Francis Stewart dalam jurnalnya yang berjudul “Crisis Prevention: Tackling Horizontal Inequalities” berargumen bahwa perang saudara terjadi karena mobilisasi kelompok-kelompok dengan latar belakang budaya seperti etnis atau agama yang bertentangan satu sama lain16. Pertentangan tersebut kebanyakan disebabkan oleh kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi dalam masyarakat dan negara gagal untuk mengatasinya sehingga terjadilah kekerasan politik khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, situasi politik, budaya dan ekonomi merupakan faktor penting yang saling terkait satu dengan yang lain untk dapat melihat dan menganalisis terjadinya perang saudara secara komprehensif. Dalam kelompok yang menginisasi konflik, biasanya terdapat pemimpin yang mengarahkan dan mengorganisir konflik, termasuk mengkonstruksi serta memperkuat identitas kelompok untuk memobilisasi anggotanya. Pemimpin biasanya merupakan orang yang dihormati atau dihargai oleh banyak orang serta mampu memperoleh kepercayaan dan memberi perintah kepada orang-orang tersebut. Sementara ada pula yang disebut sebagai pengikut yaitu mereka yang mendukung ide sang pemimpin dan secara terlibat aktif maupun pasif dalam perang, misalnya menjadi pejuang, simpatisan, pemasok logistik dan lain sebagainya. Pemimpin politik sering mengkonstruksi identitas kelompok karena kohesi dan 16
Stewart, Francis, “Crisis Prevention: Tackling Horizontal Inequalities", Oxford Development Studies, Vol. 28, No. 3, 2000, pp. 246.
mobilisasi kelompok adalah mekanisme yang ampuh dalam perebutan kekuasaan dan sumber daya dengan strategi memunculkan kembali memori sejarah untuk memunculkan rasa solidaritas17. Rasa solidaritas inilah yang dapat dijadikan justifikasi untuk memobilisasi kelompok untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah identitas etnis-agama, di mana suatu kelompok didefinisikan atau dibedakan dengan kelompok lainnya berdasarkan etnis dan agamanya. Umumnya di Afrika, suatu kelompok etnis identik atau menganut agama tertentu sehingga kedua dimensi identitas ini tidak bisa dipisahkan dan terkadang membuat rancu apakah suatu kelompok melakukan aksinya atas dasar etnis ataukah agama mereka. Misalnya di Republik Afrika Tengah, etnis Gbaya dan Manza sangat identik dengan agama Kristen sementara etnis Gula dan Runga hampir semua menganut Islam. Kelompok-kelompok pemberontak juga pada awalnya dibentuk berdasarkan identitas etnis dan bukan agama, seperti UFDR dari etnis Gula, CPJP dari etnis Runga, atau CPSK dari etnis Bornu. Pemberian privilege terhadap kelompok Kristen oleh pemerintah Bozize juga didasarkan karena persamaan etnis, yaitu etnis Gbaya, yang merupakan hampir semuanya beragama Kristen. Dalam tulisannya yang lain, Stewart juga mengungkapkan bahwa pemimpin dan pengikut memiliki motif yang bereda. Pemimpin kelompok, baik agama atau etnis, biasanya memiliki motif politik yang kuat yaitu untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan yang diikuti oleh motif material atau ekonomi, identitas etnis atau agama hanya sebagai instrumen untuk menggalang dukungan dari para pengikutnya18. Sementara motif lain mungkin dimiliki oleh para pengikut mungkin berbeda berdasarkan identitas yang dibangun dalam kelompok mereka. Meski kelompok yang domobilisasi berdasarkan etnis maupun agama sama-sama memiliki tujuan untuk mempertahankan diri dari ancaman atau opresi pihak lain, namun keduanya memiliki alasan atau justifikasi untuk melakukan kekerasan yang berbeda. Jika kelompoknya berbasis agama, maka motif para pengikut untuk ikut berjuang adalah untuk membela Tuhan dan agamanya, bahwa tindakannya dilakukan sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan dan agamanya serta sebagai bentuk perlawanan terhadap ‘si jahat’19. Hal ini dapat ditemukan pada kelompok-kelompok teroris berbasis agama seperti Al-Qaeda atau Islamic State. Sementara para pengikut kelompok yang dimobilisasi berdasarkan etnis, menurut Stewart, biasanya akan menjustifikasi tindakannya berdasarkan dua alasan, yaitu karena berhasil 17
Ibid, p. 247. Stewart, Francis, “Religion versus Ethicity as a Source of Mobilisation: are there differences?,” CRISE Working Paper No. 70, July 2009, p. 11. 19 Ibid, p. 15. 18
diyakinkan oleh pemimpinnya bahwa anggota kelompok lain adalah orang-orang jahat yang pantas dilawan (hostility) atau bahwa kelompok lain tersebut akan mengancam eksistensi kelompok mereka dan cara untuk bertahan diri yang terbaik adalah untuk melawan serta menyerang mereka (solidarity)20. Berdasarkan uraian di atas, mobilisasi kelompok yang terjadi dalam perang saudara di Republik Afrika Tengah merupakan gabungan dari kedua identitas yaitu etnis dan agama. Agama digunakan untuk menggalang massa yang lebih besar, karena dapat menyatukan kelompok-kelompok etnis yang beragama sama dan dapat mempolarisasi dukungan menjadi dua kubu yaitu Kristen dan Muslim. Namun, alasan atau justifikasi tindak kekerasan mereka bukanlah karena untuk membela maupun menaati perintah Tuhan atau agamanya melainkan melindungi eksistensi komunitasnya dari serangan kelompok lain. Mobilisasi kelompok oleh pemimpin politik yang menggunakan simbol-simbol identitas seperti etnis dan agama tidak akan berhasil secara efektif apabila tidak ada dimensi-dimensi perbedaan secara sosial, politik dan ekonomi. Apabila dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang mampu mengakses elemen-elemen tersebut sementara kelompok yang lainnya tidak, maka Stewart menyebutnya sebagai ketimpangan horizontal. Ketimpangan horizontal inilah yang dapat digunakan oleh pemimpin kelompok untuk membakar kebencian terhadap kelompok lainnya dan kemudian melatar belakangi konflik serta memicu terjadinya perang saudara. 1.4. Argumen Utama Berdasarkan landasan konseptual yang telah dipaparkan di atas, penulis akan menjelaskan tiga hal yang menyebabkan pecahnya perang saudara antara kelompok Muslim dan Kristen di Republik Afrika Tengah tahun 2013. Pertama, negara di bawah pemerintahan Francois Bozize gagal untuk membangun institusi demokrasi serta melakukan kekerasan politik yang dapat dilihat dari cara Francois Bozize mendapatkan kekuasaan melalui kudeta militer, melakukan manipulasi pemilu dan menjalankan pemerintahan yang sangat sentralistik. Kedua, adanya perebutan sumber daya yang terjadi antara kelompok masyarakat dan juga pemerintah seperti adanya konflik berlian, lahan, ternak, dominasi politik, dominasi ekonomi serta tuntutan akan pengakuan terhadap identitas. Pertentangan-pertentangan yang telah terjadi sekian lama memupuk sentimen dan kebencian di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga, adanya
20
Ibid.
mobilisasi kelompok dari para elit penguasa menggunakan simbol identitas untuk memenuhi tujuan politik yaitu memperoleh kekuasaan dan mendapatkan keuntungan ekonomi. Meski pada awal pembentukannya, Anti-Balaka tidak memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, namun dalam upaya menghadapi Seleka, beberapa pemimpin kelompok ini menggunakan identitas etnis-agama sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan terhadap musuhnya. Kebencian dan sentimen anti-Islam disebarkan hingga target Anti-balaka tidak hanya anggota ex-Seleka melainkan semua Muslim sehingga terjadilah apa yang disebut pembersihan etnisagama terhadap Muslim di Republik Afrika Tengah. 1.5. Metodologi Penelitian Skripsi ini akan menggunakan metode desk research,21 yaitu penelitan yang dilakukan melalui studi dokumen dan literatur dan bukan penelitian langsung di lapangan. Penelitian akan menggunakan dua tipe data yaitu data kualitatif serta data kuantitatif sebagai pendukung. Datadata kualitatif yang digunakan dalam penulisan diantaranya adalah kutipan wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat atau menjadi saksi dalam perang serta transkrip pidato para tokoh politik sebagai data kualitatif primer. Penulis juga akan menyertakan sumber-sumber seperti buku, jurnal, laporan berkala terbitan organisasi kemanusiaan serta artikel baik cetak maupun daring dari sumber yang kredibel sebagai data kualitatif sekunder. Sedangkan untuk data kuantitatif, penulis akan mempergunakan data laporan dari organisasi internasional mengenai tingkat kemiskinan dan pembangunan ekonomi serta infrastruktur di Republik Afrika Tengah untuk menunjukkan adanya ketimpangan horizontal di negara tersebut. Selain itu penulis juga akan mencantumkan data jumlah korban jiwa dan pengungsi untuk menunjukkan tingkat keparahan konflik. Jawaban dari pertanyaan penelitian akan diperoleh melalui hasil analisis yang mengaitkan data dengan landasan konseptual. 1.6. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan membahas mengenai penyebab perang saudara antara kelompok mayoritas Kristen dan kelompok minoritas Islam yang terjadi di Republik Afrika Tengah yang terjadi pada 2013 – 2015. Dalam menganilisis penyebab perang saudara, penulis akan menarik mundur garis waktu ke beberapa tahun sebelum konflik terjadi, khususnya selama masa pemerintahan Francois Bozize (2003 – 2013), untuk menemukan akar permasalahan yaitu
21
Lamont, C, 2012, Research Method in International Relations, New York: SAGE Publishing, p. 3.
kegagalan pemerintah, perebutan sumber daya dan mobilisasi kelompok yang dilakukan oleh pemimpin politik. 1.7. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini akan menjadi empat bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumentasi utama, metode, jangkauan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II akan memaparkan dinamika ekonomi, sosial dan politik di Republik Afrika Tengah sebelum terjadinya perang saudara tersebut, penyebab muncunya kelompok pemberontak Seleka, serta menjelaskan secara terperinci mengenai kronologi terjadinya perang saudara di Republik Afrika Tengah pada kurun waktu 2013 – 2015. Penjelasan mengenai kronologi terjadinya perang saudara akan dibagi lagi menjadi 3 fase yaitu pemberontakan Seleka (Desember 2012 – Maret 2013), Seleka berkuasa (Maret 2013 – September 2013), dan pembersihan etnis-agama oleh Anti-Balaka (September 2013 – September 2015). Sementara Bab III akan berisi analisis dari konflik tersebut yang menjelaskan penyebab terjadinya perang saudara di Republik Afrika Tengah yaitu karena adanya kegagalan pemerintahan Francois Bozize, perebutan sumber daya dan mobilisasi kelompok berbasis etnis-agama. Bab IV merupakan bab penutup yang akan menyimpulkan jawaban dari pertanyaan penelitian serta nilai-nilai yang dapat dipelajari dari penelitian ini.