BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mempunyai kegiatan kehidupan yang sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Berdasarkan hal tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundangundangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena peraturan perundang-undangannya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan1 sehingga diperlukan penemuan hukum dengan berbagai metode agar peraturan hukum dapat diterapkan pada peristiwa konkret. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau oleh aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret.2 Penemuan hukum dapat dilakukan dalam hal hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap atau hukumnya tidak ada. Apabila peraturan hukumnya tidak jelas, hakim dapat menggunakan metode interpretasi terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti hakim bertumpu pada peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum untuk melakukan penemuan hukum. Apabila peraturan perundang-undangannya tidak lengkap/tidak
1
2
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 37 Ibid., hlm. 38
mengatur hakim dapat melakukan penemuan hukum secara lebih bebas, hakim dapat tetap bertumpu pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada sumber hukum lain yaitu yurisprudensi, kebiasaan, traktat atau doktrin. Penemuan hukum oleh hakim dapat menyebabkan pemberian makna baru pada sebuah kaidah hukum. Pemberian makna baru pada sebuah kaidah hukum dapat berarti penambahan pada hukum yang ada. Hakim tidak membatasi diri hanya pada penelusuran kaidah-kaidah hukum atau penerapan kaidah-kaidah hukum saja, tetapi hakim juga harus dapat memberikan kontribusi pada pembentukan hukum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang putusan-putusan hakim mutlak diperlukan untuk mengetahui hukum yang berlaku.3 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penemuan hukum mempunyai tiga pengertian, pertama, penemuan hukum merupakan penerapan kaidah-kaidah hukum ke dalam kasus konkrit, hal ini dilakukan apabila kaidah hukumnya sudah jelas untuk diterapkan pada kasus konkritnya; kedua, penemuan hukum juga dapat berarti pemberian makna baru pada sebuah kaidah hukum. Pemberian makna baru pada sebuah kaidah hukum dapat diartikan bahwa hakim melakukan penambahan terhadap kaidah hukum yang ada. Hal ini juga berarti bahwa hakim melakukan pembentukan hukum. Hal ini dilakukan oleh hakim ketika kaidah hukumnya tidak jelas atau kaidah hukumnya tidak ada; ketiga, penemuan hukum yang bertujuan untuk menemukan pemikiran baru di bidang hukum, yang biasanya dilakukan oleh
3
Ibid.
ilmuwan hukum. Hasil temuannya disebut sebagai doktrin hukum. Doktrin hukum merupakan salah satu sumber hukum. Dalam situasi seperti itu peranan hakim untuk membuat yurisprudensi sangat diperlukan, setidaknya untuk memberikan jawaban/penyelesaian terhadap masalah hukum tertentu secara lebih cepat dan tepat. Seharusnya pembentuk undang-undang segera tanggap dalam menghadapi permasalahan tersebut. Fakta menunjukkan bahwa proses legislasi di Indonesia termasuk lamban. Kalaupun pembentuk Undang-Undang merespon permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan cepat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, kualitasnya banyak yang dipertanyakan, kontroversial, tidak sinkron dan sebagainya. Undang-undang seperti itu tidak mempunyai keberlakuan sosiologis.4 Penemuan hukum oleh hakim telah diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
4
E. Sundari dan Iswantiningsih, 2003, “Penemuan Hukum oleh Hakim Indonesia dalam Menghadapi Peraturan Hukum yang Tidak Lengkap”, Majalah Justitia Et Pax, Vol. 23, 2 Desember 2003, hlm. 114
mengadilinya. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kedua ketentuan tersebut merupakan dasar hukum bagi hakim Indonesia untuk melakukan penemuan hukum. Sumber hukum yang digunakan untuk melakukan penemuan hukum tidak hanya bersumber pada peraturan perundang-undangan saja tetapi juga bersumber pada nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini juga diatur dalam Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie disingkat AB jo Pasal 4 ayat (1), bahwa hakim harus mengadili menurut hukum tidak hanya mendasarkan pada undang-undang.5 Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dari ketentuan ini jelas menyatakan bahwa sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara selain bersumber pada hukum tertulis juga bersumber pada hukum yang tidak tertulis.
5
Pasal 20 AB menentukan: “Hakim mengadili menurut undang-undang, sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Isi Pasal 20 AB bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1). Pengertian mengadili “menurut hukum” lebih luas dari pada “menurut undang-undang”. Sudikno Mertokusumo dalam buku “Penemuan Hukum Sebuah Pengantar” berpendapat bahwa Pasal 20 AB jo Pasal 4 ayat (1) harus ditafsirkan saling melengkapi. “Mengadili menurut hukum” diartikan sebagai hakim berpeluang melaksanakan kebebasan sebebas-bebasnya dalam mengadili sedangkan “mengadili menurut undang-undang” diartikan sebagai lebih membatasi kebebasan hakim tersebut.
Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, perlu dicatat asumsi-asumsi sebagai berikut:6 1. Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum; 2. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat, peranan hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis; 3. Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap adil; 4. Untuk menjamin adanya kepastian hukum memang perlu sebanyak mungkin menyusun hukum tertulis. Ini bukan berarti bahwa keadaannya pasti demikian sebab dalam bidang kehidupan publik, maka hukum tertulis terutama dibuat untuk mencegah kesewenangan-wenangan penguasa. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu hakim harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga hakim dapat memberi putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain penemuan hukum sebenarnya bertujuan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Penemuan hukum oleh hakim yang menggunakan sumber hukum tertulis telah banyak dilakukan oleh hakim. Metode penemuan hukumnya juga sudah cukup jelas, namun metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim yang menggunakan sumber hukum tidak tertulis belum jelas. Padahal di dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
6
Rahngena Purba, “Hukum Adat dalam Yurisprudensi”, Varia Peradilan, No. 260, Juli 2007, hlm. 31
hakim dapat menggunakan sumber hukum tidak tertulis dalam menyelesaikan perkara. Di dalam penjelasan Pasal tersebut tidak dijelaskan yang dimaksud dengan sumber hukum yang tidak tertulis tersebut. Lilik Mulyadi berpendapat bahwa apabila dikaji dari perspektif perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum), khususnya perspektif asas, norma, teoritis, dan praktek, mengenai terminologi Hukum Adat dikenal dengan istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, ‘nilai-nilai hukum” dan “rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan” dan lain-lain.7 Soepomo memberikan pengertian Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law).....8 Beberapa ahli hukum Adat yang lain juga sependapat dengan Soepomo bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis diantaranya adalah Bushar Muhammad, Soerojo Wignjodipoero. Dengan demikian dapat dipersoalkan lebih lanjut, berkenaan dengan metode penemuan hukum di bidang Hukum Adat. Apabila hakim memutuskan dengan bersumber pada hukum yang tertulis dasar-dasarnya mudah diketahui. Misalnya apabila ada seseorang yang tidak membayar sesuatu yang telah dibelinya dari seorang penjual, maka penjual dapat menggugat dengan ketentuan yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Demikian juga apabila ada orang yang mencuri, hakim melihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), apabila perbuatan yang dilakukan tersebut memenuhi semua unsur-unsur yang 7
8
Lilik Mulyadi, “Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik, dan Prosedurnya”, Varia Peradilan, No. 303, Februari 2011 hlm. 73 Soerojo Wignjodipoero, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. XIV, Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995, hlm. 14
disyaratkan dalam Pasal 362 KUHP, berarti Pasal 362 KUHP dapat digunakan sebagai landasan bagi hakim untuk memutuskan perkara tersebut, namun apabila hakim menggunakan Hukum Adat dalam memutuskan perkara belum diketahui dengan jelas prosedurnya. Di dalam Hukum Adat pun masih belum ada kejelasan (masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli Hukum Adat) mengenai ada dan tidaknya ketentuan yang menurut sifatnya sama dengan yang ada dalam pasal-pasal BW ataupun KUHP yaitu sebagai kaidah/norma substantif. Kaidah substantif adalah kaidah yang dirumuskan dengan cara merinci unsur-unsur suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang disyaratkan dalam suatu ketentuan atau pasal tertentu. Misalnya ketentuan tentang pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP, perbuatan melanggar hukum diatur dalam Pasal 1365 BW. Mengenai hal ini juga masih belum ada kejelasan. Hal ini masih menimbulkan perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya kaidah yang demikian di dalam Sistem Hukum Adat.9 Pada tahun 1937 Ter Haar menegaskan bahwa : “Hukum Adat ada didalam keputusan-keputusan yang diberikan oleh para petugas Hukum Adat yang berwenang untuk itu di dalam masyarakat yang bersangkutan (kepala desa, hakim permusyawaratan rakyat, wali tanah, pegawai-pegawai agama dan desa), yang ditetapkan karena adanya sengketa atau di luar persengketaan didalam hubungannya langsung dengan ikatan-ikatan struktural dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang saling taut menaut dan saling menentukan.10
9
10
M. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 34 Pendapat Ter Haar ini dikenal dengan ajaran Keputusan (Beslissingen Leer), ajaran Ter Haar ini bertujuan untuk memositifkan Hukum Adat, Ajaran keputusan dipengaruhi oleh John Chipman Grey dari Inggris, The Law is Judge Made law.mengenai ajaran Ter Haar lihat dalam buku Soerojo Wigjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, M. Koesnoe, 1979, Catatan Catatan Terhadap Hukum Adat, Soelistyowati, “Sebuah Pemikiran tentang Konsep Dasar Hukum Adat”, Majalah Hukum Yuridika. Hukum Positif dari kata bahasa Latin ius positum yaitu hukum yang ditetapkan oleh yang berwenang, tentang hal ini lihat Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 142
Menurut Koesnoe, hasil karya Ter Haar tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai pedoman yang tetap, namun dalam prakteknya pandangan Ter Haar ini, di dalam pandangan para sarjana Indonesia diterima dan dipakai sebagai “kitab undang-undang”. Misalnya di dalam buku Ter Haar dikemukakan, bahwa jika antara suami isteri ada harta gono gini, maka bagian masing-masing adalah segendong-sepikul, hal ini diterima sebagai suatu kaidah yang substantif di dalam Hukum Adat. Berarti di sini Ter Haar menunjukkan bahwa di dalam Hukum Adat ada kaidah substantif.11 Metode atau cara yang digunakan hakim dalam menerapkan kaidah (substantif) Hukum Adat dalam memutuskan perkara belum diketahui secara jelas. Dengan kata lain, cara hakim dalam melakukan penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis belum jelas. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
Putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal
19 Agustus
1953 mengenai persoalan anak angkat sebagai ahli waris. Dalam perkaranya Nyimas Roekmini sebagai penggugat dan Nyimas Umara bersama empat orang saudara dan anak kemenakan almarhum ayah angkat sebagai tergugat. Nyimas Roekmini selaku penggugat dengan dalih bahwa menurut Hukum Adat di Jawa Barat, anak kukut12 yang berhak mendapat warisan dari bapak dan ibu kukutnya dan mohon kepada Pengadilan Bandung antara lain agar
11 12
M. Koesnoe, Loc. Cit. Pengertian anak kukut sama dengan anak angkat. Pada masyarakat parental, khususnya di Jawa (Timur, Tengah, Barat) perbuatan mengangkat anak itu hanyalah memasukkan anak itu ke kehidupan rumah tangganya saja, sehingga ia selanjutnya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuanya sendiri. Jadi anak angkat di daerah ini tidak mempunyai kedudukan anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya.
ditetapkan bahwa penggugat sendiri yang berhak mendapat warisan dari tirkah ayah angkatnya. Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara itu mengabulkan permohonan penggugat tersebut dengan alasan antara lain bahwa:” untuk memberikan jawaban kepada pokok perkara, mengenai anak kukut berhak mewarisi barang asal orang tua kukutnya atau tidak, haruslah diambil ukuranukuran yang sesuai dengan keadaan zaman dan setempat-tempat, sesuai dengan proses tentang kesadaran individual yang sedang berjalan di masyarakat.13 Bilamana diperhatikan isi pertimbangan-pertimbangan di atas dengan memperhatikan pendapat kalangan ilmu pengetahuan, Pengadilan Negeri Bandung tersebut memberikan putusan dengan berpedoman kepada “ukuranukuran yang sesuai dengan keadaan zaman dan tempat, sesuai dengan proses tentang kesadaran individual yang sedang berjalan di masyarakat. Di dalam pertimbangan tersebut tertera dengan jelas bahwa putusan itu tidak menunjuk kepada suatu aturan Hukum Adat yang tegas dalam perumusannya. Dalam putusan itu tidak dijumpai ketegasan penunjukan bunyi suatu aturan Hukum Adat mengenai masalah anak kukut, tetapi secara tidak begitu jelas/samarsamar di dasarkan pada “ ukuran-ukuran yang sesuai dengan keadaan zaman”.
Ketidakjelasan/samar-samar disini mengenai persoalan ukuran-
ukuran yang dimaksud tidak dijelaskan lebih lanjut.
13
M. Koesnoe, Ibid.
Putusan Mahkamah Agung14 tanggal 5 Maret 1958, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung. Mahkamah Agung mengadili sendiri dengan putusan “ tidak menerima gugatan asli Nyimas Roekmini tersebut dengan alasan antara lain tidak sesuai dengan yurisprudensi yang tetap selama dua puluh tahun terakhir. Didalam pertimbangan Mahkamah Agung mendasarkan putusannya kepada suatu ketentuan yang tetap (berbentuk yurisprudensi). Disini Mahkamah Agung mengakui bahwa di dalam Hukum Adat terdapat suatu aturan yang substantif sekalipun dibentuk oleh yurisprudensi. Dari contoh ini barangkali dapat dijadikan sebagai pijakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang metode yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang bersumberkan kepada Hukum Adat. Berkaitan dengan hal ini, belum jelas metode yang digunakan oleh hakim lain manakala memutus perkara yang bersumberkan pada hukum adat apabila terkait dengan kasus yang ditangani hakim belum ada yurisprudensi yang mengaturnya. Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Mei 1959 dalam sengketa antara penggugat dalam kasasi bernama Napu Daega dan Duang Daega melawan tergugat dalam kasasi masing-masing bernama Ake, Haminsi (yang mewakili isterinya bernama Pesong) dan Masa’ud, dalam perkara penebusan kembali sebidang tanah yang digadaikan oleh pihak pertama kepada tergugat, menolak permohonan kasasi dan hanya memperbaiki keputusan Majelis 14
Mahkamah Agung Peradilan tertinggi di Indonesia, “Hoge Raad di Belanda, Cour de Cassation di Perancis, Bundesgerichtshof di Jerman atau Supreme Court di Amerika Serikat dikutip dari Mohammas Askin, Peranan Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision”, Varia Peradilan, Tahun XXIX, No. 342, Mei 2014, hlm. 17
Besar Bolaang Mongondow sedemikian rupa sehingga tanah yang bersangkutan hanya dapat ditebus dengan sejumlah uang yang nilainya disesuaikan atas dasar pertimbangan yang antara lain berbunyi: “Bahwa Mahkamah Agung menganggap pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, maka dari itu adalah patut, apabila tanah yang bersangkutan harus ditebus dengan 15 (lima belas) kali uang gadai dulu”. Di dalam putusan ini Mahkamah Agung tidak menyebutnyebut adanya suatu kaidah substantif yang berkenaan dengan masalah itu. Di situ hanya disinggung asas-asas “pantas” dan “patut” sebagai pegangannya untuk menetapkan penyesuaian nilai gadai yang harus dibayar kembali. Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa masalah penemuan hukum di bidang Hukum Adat belum banyak mendapat perhatian dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dalam perkembangannya kasus-kasus yang sering dipersoalkan dan perlu mendapat perhatian karena banyak terjadi di masyarakat adalah masalah sengketa Hukum Waris Adat. Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.15 Proses peralihannya, sesungguhnya dapat dimulai ketika pemilik harta kekayaan itu masih hidup, serta proses itu selanjutnya akan berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (mentas dan
15
Soepomo, 2013, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cetakan 18, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 78
mencar) yang kelak pada waktunya mendapat giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya (keturunannya juga). Jadi esensi dari Hukum waris adat adalah proses peralihan harta dari seseorang kepada keturunannya. Berdasarkan konsep tersebut, janda dan anak angkat tidak berhak atas harta warisan. Karena syarat untuk menjadi ahli waris harus ada garis keturunan. Janda dan anak angkat menurut konsep Hukum Waris Adat tidak mewaris, namun dalam perkembangannya janda dan anak angkat dapat mewaris. Perkembangannya ini dapat diketahui dari putusanputusan Mahkamah Agung. Sistem kekerabatan berpengaruh terhadap sifat hukum kewarisan, dan penentuan ahli waris, serta cara pembagian harta warisan. Dengan kata lain bahwa “hukum kewarisan berkaitan dengan sistem kekerabatan, berkaitan nilai-nilai dan kearifan budaya serta kepercayaan masyarakat tempat hukum itu tumbuh dan berkembang”16 Sistem kekerabatan/kekeluargaan itu dapat dibedakan dalam
tiga
corak, yaitu : 1. Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis Bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian).
16
A. Nuzul, 2009, Pembentukan Hukum Kewarisan Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral Relevansi Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Menurut Hukum Islam, Dan Menurut Hukum Adat, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.18
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis Ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, dan Timor). 3. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak – Ibu) dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi).17 Ketiga sistem kekerabatan tersebut memandang kedudukan janda berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Apabila diperhatikan perkembangan Hukum Waris Adat melalui putusan-putusan pengadilan memperlihatkan pergeseran dari nilai aslinya. Sebagai contoh ada putusan MA yang secara tegas menetapkan janda sebagai ahli waris, meskipun hak dan kedudukan untuk mewaris hanya terbatas pada “harta pencaharian suami”. Hal ini dapat dijumpai dalam putusan MA No. 320 K/Sip/1958 merumuskan: “Menurut Hukum Adat Tapanuli pada zaman sekarang, janda mewarisi harta pencaharian suami” Senada dengan putusan di atas dapat dilihat putusan MA tanggal 2910-1958 No. 298 K/Sip/1958, pada putusan ini tidak secara tegas disebutkan bahwa janda mewaris harta pencaharian (gono-gini). Istilah yang digunakan adalah “menguasai”, rumusan kaidahnya berbunyi: “Dalam hal tidak ada anak, janda berhak menguasai seluruh harta gono-gini tanpa mempersoalkan besar kecil jumlahnya.” Berdasarkan putusan ini, status janda diakui sebagai ahli waris terhadap harta pencaharian suami. Putusan ini pada saat itu,
17
Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 23
bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai hukum Adat Batak, yang sama sekali tidak dapat mengakui adanya anak wanita dan isteri (janda) untuk mewaris. Dengan demikian putusan ini merupakan terobosan yang memaksa terjadinya pergeseran nilai Hukum Adat lama ke arah nilai hukum Adat baru.18 Pada
masyarakat
matrilineal,
contohnya
pada
masyarakat
Minangkabau seorang suami tidak dapat mewaris harta isteri, namun putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi tanggal 2 Maret 1972 No. 12/1972 menentukan, bahwa menurut Hukum Adat Minangkabau, suami adalah ahli waris dari isterinya mengenai harta yang bukan harta pusaka tinggi. Jadi dengan adanya putusan ini pun menunjukkan ada pergeseran. Pada masyarakat Parental, pada awalnya MA berpendapat bahwa janda berhak menguasai barang-barang peninggalan suaminya selama hidup dan tidak kawin lagi, seperti tercantum dalam putusan MA tanggal 24 Juni 1959 No. 187 K/Sip/1959 dan tanggal 19 Oktober 1960 No. 307 K/Sip/1960. Berbeda dengan putusan MA tanggal 7 Maret 1959 No. 393 K/Sip/1958 menentukan : “seorang janda mendapat separoh dari barang gono-gini”. Dalam perkembangannya mulai ada kepastian mengenai bagian yang seharusnya diterima oleh janda, misalnya pada putusan MA tanggal 22 Juni 1961 No. 140 K/Sip/1961, menentukan bagian janda sama dengan anak kandung namun putusan MA tanggal 18 Agustus 1979 No. 681 K/Sip/1975, hak janda adalah ½ dari harta bersama ditambah dengan satu bagian anak menjadi ½+1/4= ¾ bagian.
18
Yahya Harahap, 1993, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 122-123
Sama halnya dengan kedudukan janda, anak angkat juga mempunyai kedudukan yang berbeda di setiap daerah sesuai dengan kekerabatan yang dianutnya. Kedudukan anak angkat pada masyarakat patrilinial berbeda dengan anak angkat pada masyarakat parental. Kedudukan anak angkat pada masyarakat patrilineal sama dengan anak kandung laki-laki, karena anak angkat pada masyarakat patrilineal memutus hubungan darah dengan orang tua kandungnya sehingga anak angkat mewaris harta orang tua angkatnya. Anak yang diangkat dalam masyarakat patrilineal adalah laki-laki karena tujuan diangkatnya anak tersebut adalah untuk melanjutkan garis keturunan, sehingga anak angkat tersebut mewaris seluruh harta orang tua angkatnya. Apabila dalam keluarga tersebut ada anak kandung dan anak angkat, maka bagian anak angkat sama dengan bagian anak kandung, misalnya dalam putusan MA tanggal 3 Desember 1958, No. 200 K/Sip/1958, menentukan bahwa menurut hukum adat Bali yang berhak mewarisi sebagai ahli waris ialah hanya keturunan pria dari pihak keluarga dan anak angkat lelaki. Anak angkat pada masyarakat parental mempunyai kedudukan yang berbeda. Seorang anak yang diangkat pada masyarakat parental tidak memutus hubungan dengan orang tua kandungnya, sehingga anak angkat pada masyarakat parental masih dapat mewaris harta dari orang tua kandungnya. Pada perkembangannya anak angkat juga dapat mewaris harta orang tua angkatnya. Beberapa putusan MA menentukan bahwa anak angkat mewaris harta gono gini orang tua angkatnya, seperti tertuang dalam putusan MA tanggal 4 Juli 1961 No. 384 K/Sip/1961 dan putusan MA tanggal 2 Januari 1973 No. 441 K/Sip/1972.
Apabila diperhatikan, maka MA memutus secara berbeda terhadap suatu hal yang sama, khususnya berkaitan dengan hak waris atau bagian yang seharusnya diterima oleh janda dan anak angkat masih terjadi perdebatan di antara para ahli hukum adat dan juga ada beberapa putusan pengadilan yang memutus secara berbeda. Demikian juga halnya pada pembagian warisan pada perkawinan lebih dari satu (poligami). Pada dasarnya pembagian warisan pada perkawinan poligami dilakukan seperti pada perkawinan tunggal. Dalam perkawinan poligami terdapat asas pemisahan harta bersama, terbentuk harta bersama antara suami dengan masing-masing isterinya. Pada prinsipnya harta bersama yang ada pada perkawinan I akan diwaris oleh anak-anak yang ada pada perkawinan itu, sebagaimana diterapkan dalam Putusan MA No. 741 K/Pdt/1985, Putusan MA No. 901 K/Sip/1974 dan putusan No. 248 K/sip/1958, tetapi dalam putusan No. 3832 K/Pdt/1985, Putusan No. 3428 K/Pdt/1985 dan putusan No. 147 K/Pdt/2001, MA mempunyai pendirian yang berbeda. Pada perkembangannya, apabila ditelusuri putusan-putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan sengketa pewarisan adat, ada kecenderungan mengarah pada sistem kekerabatan parental/bilateral. Apabila ditelusuri ada beberapa alasan yang menyebabkan : 1. Adanya Ketetapan MPRS RI No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahap Pertama 19611969, Lampiran A Nomor 402 ayat (38) huruf c 2 dan 4, yaitu adanya upaya
membentuk Hukum Kewarisan Nasional yang mengarah pada bentuk kekerabatan parental/bilateral. 19 2. Arah/trend
mengarah
pada
masyarakat
parental
karena
adanya
perkembangan masyarakat itu sendiri. 3. Proses penyelesaian sengketa Hukum Waris adat mengarah pada pola penyelesaian sengketa Hukum Waris Adat masyarakat parental, yang menempatkan semua anak sebagai ahli waris, berbeda dengan masyarakat patrilinial atau matrilinial. 4. Politik hukum yang dijalankan oleh Mahkamah Agung mengarah pada pola penyelesaian sengketa pada masyarakat parental. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penelitian mengenai penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung sangat penting untuk dilakukan dengan alasan: pertama, penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tertulis sudah jelas baik metode maupun langkah-langkahnya dan sudah banyak diteliti/ditulis, namun penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis khususnya di bidang Hukum Waris Adat belum banyak dilakukan. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melengkapi pemikiran tentang penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis khususnya 19
Dalam Lampiran A angka 402 huruf C nomor 2 dan 4 disebutkan bahwa : mengenai penyempurnaan UU Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama adat, dan lain-lain. (Panitia Pembina Djiwa Revolusi Tudjuh bahan pokok indoktrinasi, bagian ringkasan Tap MPRS ini merupakan dasar hukum di dalam pembentukan Hukum Kewarisan nasional berdasarkan sistem Bilateral/Parental). Pada waktu itu pemerintahan Orde Lama secara tegas dalam ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 menyatakan perlunya pembentukan undang-undang hukum kewarisan nasional dan undangundang perkawinan nasional, namun sampai ketetapan MPRS tersebut dicabut berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXVIII/MPRS/1968, sampai saat ini belum juga dilaksanakan.
di bidang Hukum Waris Adat berkaitan dengan metode penemuan hukumnya, langkah-langkah penemuan hukumnya sekaligus kendala yang dihadapinya. Kedua,adanya perkembangan kaidah Hukum Waris Adat disebabkan adanya putusan MA, khususnya berkaitan dengan hak waris janda, anak angkat dan pembagian warisan pada perkawinan lebih dari satu (poligami). Adanya perkembangan kaidah Hukum Waris Adat maksudnya adalah disamping kaidah Hukum Waris Adat (asli) melalui putusan MA telah terbentuk kaidah Hukum Waris Adat (baru/yurisprudensi). Berkaitan dengan hal ini, penelitian ini penting untuk dilakukan karena bertujuan menganalis dan menemukan asas
hukum
yang terkandung dalam kaidah Hukum Waris Adat
(baru/yurisprudensi), sehingga dapat diketahui pendirian MA di dalam memutus sengketa pewarisan pada masyarakat parental di Jawa. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi hakim karena dapat dijadikan rujukan dalam menyelesaikan sengketa pewarisan agar lebih memberikan keadilan bagi rakyat pencari keadilan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis mengajukan beberapa masalah penting yang perlu diteliti secara lebih mendalam sebagai permasalahan besarnya (grand issue) sebagai berikut: “Bagaimanakah penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ?” Dari permasalahan besar tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimanakah metode penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa pewarisan khususnya mengenai hak waris janda, anak angkat dan pembagian warisan pada perkawinan lebih dari satu (poligami) menurut Hukum Waris Adat pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia? Dalam permasalahan pertama ini meliputi: a. Cara penentuan kaidah/norma dalam penemuan hukum b. Langkah-langkah/prosedur penemuan hukum c. Kendala-kendala penemuan hukum oleh hakim 2. Bagaimanakah perkembangan norma Hukum Waris Adat pada masyarakat Parental di Jawa dengan adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim? a. Kaidah/norma Hukum Waris Adat berkaitan dengan hak waris janda, anak angkat dan pembagian warisan pada perkawinan lebih dari satu (poligami) b.
Konstruksi asas hukum yang melandasi kaidah/norma Hukum Waris Adat
Permasalahan tersebut di atas pada dasarnya merupakan sebagian dari permasalahan hukum yang lebih luas di bidang penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis khususnya Hukum Waris Adat. Penemuan hukum di bidang Hukum Adat yang mendasarkan pada kaidah Hukum Adat yang hidup di masyarakat perlu dikembangkan karena belum diteliti dalam disertasi ini. Apabila hal itu diteliti, besar kemungkinan akan ditemukan metode penemuan hukum yang utuh di bidang Hukum Adat.
Metode penemuan hukum di bidang Hukum Adat juga perlu dikembangkan lagi, karena apa yang dilakukan penulis adalah langkah awal sehingga perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah yang lain untuk mengembangkan Hukum Adat khususnya, metode penemuan hukum dan ilmu hukum. Oleh karena itu, dipersilakan kepada peneliti yang lain untuk meneliti masalah tersebut. Untuk mempermudah/memperjelas alur pikir berikut disajikan dalam Ragaan 1 : Alur Pikir Disertasi.
Ragaan 1Alur Pikir Penelitian Disertasi Pengembanan hukum Pengembanan hukum
Teoriti s
Praktis
Filsafat Hukum Teori Hukum Dogmatik Hukum
Pembentukan Hukum Bantuan Hukum Penemuan Hukum
Problem solving
Penemuan hukum
Masalah Hukum
Tidak Tertulis
Tertulis
Ada
Jelas
Diterapkan pada kasus
Tidak ada
Tidak jelas
Penafsiran hukum
Konstruksi hukum
Sumber: Diolah dari Latar Belakang masalah, perumusan masalah, fokus penelitian
C. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh jawaban atas beberapa masalah yang telah dirumuskan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Secara lebih khusus tujuan peneitian ini adalah : a. Menganalisis dan menemukan cara/metode penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa pewarisan menurut Hukum Waris Adat pada masyarakat parental di Jawa berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang meliputi: cara penentuan norma/kaidah Hukum Waris Adat menurut Teori Norma dan Konsep Hukum Waris Adat dan nilai filosofi serta asas hukum yang melandasi pengaturan norma dalam Hukum Waris Adat, langkah-langkah penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim
sehingga
menghasilkan
putusan
yang
membentuk
norma/kaidah hukum waris adat yang baru serta kendala-kendala penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa pewarisan. b. Menganalisis dan menemukan perkembangan kaidah/norma Hukum Waris Adat dengan adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam penyelesaian sengketa pewarisan yang membentuk norma/kaidah baru (yurisprudensi), terutama kaidah/norma yang berkaitan dengan hak waris janda, anak angkat dan pembagian warisan pada perkawinan lebih dari satu
(poligami) dan konstruksi asas hukum yang melandasi kaidah/norma Hukum Waris Adat.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengembangkan metode penemuan hukum di bidang Hukum Adat lebih khusus lagi di bidang Hukum Waris Adat dan mengembangkan Teori Penemuan Hukum pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara, khususnya berkaitan dengan pembentukan hukum yang melandaskan pada Hukum Adat. Ragaan 2 berikut ini akan membantu memetakan luaran hasil penelitian.
Ragaan 2 Roadmap luaran hasil penelitian disertasi
Jurnal ilmiah/ seminar
Pemanfaatan informasi
Hasil penelitian
Kegunaan akademis
Proses belajar – mengajar
Kegunaan Praktek
Pertimbangan Hakim dalam menyelesaian Perkara
Pemanfaatan informasi
Masyarakat
Sumber : Diolah dari Latar Belakang, Tujuan Penelitian, Perumusan Masalah dan Kegunaan Penelitian
E. Keaslian Penelitian Dari kajian kepustakaan, baik yang menyangkut referensi berupa disertasi maupun tesis yang pernah ditulis, tidak terdapat penelitian yang secara khusus dilakukan terhadap permasalahan yang diajukan penulis. Dari referensi tesis di strata 2, penulis hanya mendapatkan satu judul, yaitu: “Praktek Penemuan Hukum oleh Hakim mengenai Sengketa Perjanjian Jual Beli dengan Hak membeli Kembali pada Pengadilan Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Ditulis oleh Muhammad Busyro Muqqodas20. Tesis tersebut disusun untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tahun 1995. Ada dua permasalahan yang diteliti dalam tesis tersebut, pertama, tentang alasan hakim dalam melakukan penafsiran atas sengketa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dan yang kedua tentang alasan hakim dalam melakukan penafsiran 20
Muhammad Busyro Muqqodas, 1995, Praktek Penemuan Hukum oleh Hakim mengenai Sengketa Perjanjian Jual Beli dengan Hak membeli Kembali pada Pengadilan Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
tersebut (mengacu pada masalah yang pertama). Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa :hakim dalam putusannya tidak menafsirkan menurut isi Undang-Undang maupun nilai-nilai kepatutan yang ada di masyarakat, namun telah menafsirkan isi perjanjian tersebut sebagai perjanjian utang piutang dengan jaminan barang. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Busyro Muqoddas sangat berbeda dengan yang akan dilakukan penulis. Muhammad Busyro Muqoddas menitikberatkan pada praktek interpretasi yang dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara. Sementara penulis, bertolak pada penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis, khususnya di bidang Hukum Waris Adat. Dari referensi disertasi terdapat dua disertasi yang mengambil tema penemuan hukum, masing-masing diajukan oleh H.M. Fauzan di Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2010 dan disertasi Elisabeth Nurhaini Butar Butar tahun 2011 yang diajukan pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pertama,
Disertasi
H.M.
Fauzan21,
yang
berjudul
Filsafat
Hermeneutika sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi Relevansinya bagi Pengembangan Hukum Indonesia membahas tiga permasalahan : yaitu pertama, konsepsi hermeneutika sebagai metode pemahaman terhadap teks dan fakta kejadian, kedua tentang bagaimana seharusnya hermeneutika hukum
21
H.M.Fauzan, 2010, Filsafat Hermeneutika sebagai Metode penemuan Hukum Yurisprudensi Relevansinya bagi Pengembangan Hukum Indonesia, Disertasi, Program Doktor Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
memahami teks dan fakta hukum di persidangan untuk menemukan hukum yurisprudensi? Ketiga, bagaimana para hakim Indonesia memahami dan menerapkan hermeneutika dalam menjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara konret di pengadilan? Dari ketiga permasalahan tersebut dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Hermeneutika hukum berusaha memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dengan pendekatan hermeneutika eksplorasi makna kontekstual teks hukum, sehingga teks hukum menghasilkan pemahaman baru yang menghasilkan kaidah hukum baru b. para hakim yang memeriksa dan memutus perkara di pengadilan telah menerapkan hermeneutika, tetapi terbatas pada interpretasi terhadap teks, belum menyentuh pada makna keadilannya c. Yurisprudensi dibangun melalui pemahaman hermeneutika filosofis sosiologis. Disertasi H.M. Fauzan sangat berbeda dengan penulis, H.M Fauzan bertolak dari arti penting hermeneutika dalam memahami teks. Dengan kata lain meneliti tentang penemuan hukum yang bersumber pada hukum tertulis, khususnya memahami makna dibalik teks dengan menggunakan metode hermeneutika. Sementara itu, penulis bertolak pada penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis, khususnya Hukum Adat dan lebih khusus lagi di bidang Hukum Waris Adat.
Kedua, disertasi Elisabeth Nurhaini Butar Butar22, dengan judul Penemuan Hukum oleh Hakim sebagai Dasar untuk Mengambil Putusan dalam Tuntutan Ganti Rugi Di Pengadilan Negeri, membahas dua permasalahan: pertama, tentang cara hakim pengadilan negeri menemukan hukum sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam tuntutan ganti rugi dan yang kedua, bagaimana hakim menerapkan asas-asas hukum acara perdata dalam proses penemuan hukum, yang dapat digunakan untuk mengisi kekosongan atau ketidaklengkapan sistem hukum. Dari permasalahan tersebut disimpulkan sebagai berikut: 1. Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dengan menggunakan sumber hukum yang tertulis, yaitu pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cara berfikir hakim dalam melakukan penemuan hukum tidak bertolak pada undang-undang tetapi penyelesaian berdasarkan pada sistem ( problem oriented) 2. Penerapan asas-asas hukum acara dilakukan dalam setiap tahapan penemuan hukum sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan digunakan hakim untuk melengkapi dan menjelaskan undang-undang. Dengan demikian disertasi Elizabeth Nurhaini Butar Butar berbeda dengan penulis. Elizabeth Nurhaini Butar Butar bertolak pada penemuan hukum yang bersumber pada hukum tertulis, khususnya ditujukan kepada proses penemuan hukum oleh hakim di pengadilan negeri untuk mengetahui cara melakukan penemuan hukum oleh hakim, apakah hakim terikat pada 22
Elisabeth Nurhaini E Butar Butar, 2011, “Penemuan Hukum oleh Hakim sebagai Dasar Untuk Mengambil Putusan dalam Tuntutan Ganti Rugi di Pengadilan Negeri”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
undang-undang ataukah kepada sistem hukum positif Indonesia. Sementara itu, penulis bertolak pada penemuan hukum yang bersumber pada hukum yang tidak tertulis, khususnya Hukum Adat dan lebih khusus lagi di bidang Hukum Waris Adat. Penelitian lain yang bertemakan penemuan hukum dilakukan oleh E. Sundari dan Iswantiningsih dengan judul, Penemuan Hukum oleh Hakim Indonesia dalam Menghadapi Peraturan Hukum yang Tidak Lengkap. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa metode penemuan hukum yang dipergunakan hakim dalam hal peraturannya tidak lengkap adalah dengan melakukan argumentum per analogiam (analogi). Dalam melakukan penemuan hukum hakim juga berani mengesampingkan hukum yang telah ada dan membuat norma baru berdasarkan keadilan, perikemanusiaan atau kebutuhan masyarakat, namun ada juga dalam melakukan penemuan hukum masih nampak kinerja hakim yang
tidak berdasar atau tidak jelas
argumentasinya. Penelitian-penelitian tersebut belum ada yang secara khusus memfokuskan pada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam penyelesaian perkara yang bersumberkan pada hukum yang tidak tertulis khususnya hukum adat. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa penelitian ini adalah penelitian asli.