BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Poligami dalam masyarakat muslim Indonesia tak pernah berhenti diperdebatkan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Isu tersebut berawal dari publikasi media massa terhadap poligami sejumla h tokoh panutan agama yang popular saat itu seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan Alfarini Eridani (Teh Rini), Rhoma Irama dengan Angel Lelga, Pujiono Cahyo Wicaksono (Syekh Puji) dengan Lutfiana Ulfa, Ustad Arifin Ilham dengan Oki, hingga poligami elit pemerintah, misalnya Hamzah Haz, Anis Matta, Zaenal Ma‟arif, Lutfi Hasan Ishaq dan Aceng Fikri. Selain itu, peredaran buku-buku provokatif dalam mengkampanyekan isu poligami, yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh pro poligami seperti Puspo Wardoyo (Kiat Sukses Beristri Banyak)1 dan Aa Gym (Indahnya Poligami) 2 semakin mempertajam polemik dalam
1
Puspo Wardoyo adalah penerima Poligami Award pertama di bulan Mei tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Foru m Jurnalis Muslim /FJM yakn i ku mpulan wartawan dari berbagai med ia islamist seperti Amanah, Fikri, Hidayah, Pelita dan Annida. Pada awalnya, Award ini diadakan sebagai counter publisitas goyang ngebor Inul Daratista yang dimuat sejumlah med ia massa Indonesia. Untuk selanjutnya di bulan Juli 2003, Poligami Award dalam skala yang lebih besar diprakarsai Puspo Wardoyo. Tujuannya adalah mengkampanyekan poligami dan memperbaiki persepsi masyarakat tentang poligami (Nina Nu rmila dalam Women, Islam and Everyday Life. Routledge. h.65-77). Melalui buku Kiat Sukses Beristri Banyak menceritakan pengalaman sehari-hari Puspo dengan keempat istrinya. 2 Aa Gy m muncul sebagai seorang dai muda terkenal setelah berakh irnya kepemimp inan Soeharto di tahun 1998. Secara otomatis kondisi polit ik Indonesia dan penggunaan media massa mengalami perubahan sehingga memungkinkan bagi Aa Gy m untuk bisa memanfaat kan peluang yang tersedia secara baik. Keteramp ilannya menggunakan media massa dalam menyampaikan pesan dakwah yang islami secara prakt is mampu memu kau sebagian besar jamaah Indonesia. Saran dan nasehat secara teratur juga diberikan kepada kepala negara beserta para menteri (Tempo, 2 November 2003.h.46-50). Alhasil Aa Gy m men jadi figur muslim berpengaruh dan dikagumi oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Bahkan menurut Majalah Time, Aa Gy m men jadi acuan sebagai The Holy Man Indonesia. (C.W. Watson, „A Popular Indonesian Preacher: The Significance Aa Gy mnastiar‟ dalam The Journal of The Royal Antropoligical Institute, Vol.11.
1
2
masyarakat hingga menjurus pada keresahan dan kekhawatiran perempuan akan dampaknya bagi keharmonisan rumah tangga yang selama ini telah mereka bina (Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011: 70; Nurani, Edisi 566 Desember 2011: 06-07, Brenner, 2006: 166; Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Sabili No.12 Th.XIV 28 Desember 2006/ 7 Dzulhijjah 1427; Forum Keadilan, No. 35, 15 Januari 2007; Reportase Sore, 2013. Trans Tv, 9 Juli, Jam 16.38; Indonesia Lawyers Club, Selasa, 18 Desember 2012. Pukul 22.53). Disadari atau pun tidak, poligami tokoh panutan dapat dikatakan telah menstrukturkan persepsi dan mempengaruhi perilaku masyarakat. Misalnya, popularitas yang dibangun Aa Gym sebagai pasangan ideal Teh Ninih dan pendakwah unik dalam kehidupan muslim Indonesia masa kini, secara perlahan ditinggalkan oleh penggemarnya terutama kaum perempuan. Dakwahnya seputar ketulusan hati dan keluarga sakinah menuai kritik dari masyarakat karena tidak sesuai dengan praktik poligami yang dilakukannya. Lebih jauh, sebagian besar usaha bisnis yang dimilikinya seperti paket umrah, pelatihan kewirausahaan, dan usaha kewiraswastaan mengalami pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Dalam keadaan yang demikian itu, sebagian masyarakat menunjukkan simpati terhadap teh Ninih melalui sms, menulis di blog dan surat pembaca, berhenti berkunjung ke Daarut Tauhid hingga berdemonstrasi menolak poligami. Hal yang sama juga terjadi pada Rhoma Irama sebagai „Raja Dangdut‟ No.4 Desember 2005. h.773-792). Oleh karena itu, melalui buku Indahnya Poligami Aa Gy m menceritakan alasannya berpoligami. Salah satunya adalah usaha untuk menghilangkan pengkultusan yang dilaku kan jutaan umat Islam terhadap dirinya. Pemu jaan ibu -ibu yang berlebihan terhadap sosok kiai muda ini meresahkan diri Aa Gy m. Oleh karena itu Aa Gy m memilih berpoligami untuk mementahkan kultus tersebut (Rach mat Ramadhana Al-Banjari dan Anas Al-Djohan Yahya dalam Indahnya Poligami: Menangkap Hikmah Dibalik Tabir Poligami , Pustaka Al-Furqan).
3
setelah poligaminya diketahui masyarakat. Tidak berbeda dengan poligami Syech Puji yang meresahkan masyarakat karena bersifat melanggar hak- hak anak dan Undang-undang Perkawinan sehingga Komnas Perlindungan Anak meminta secara legal agar pernikahan tersebut dibatalkan. Sedangkan elit pemerintah berusaha untuk menolak pasal larangan poligami dimasukkan kedalam kode etik DPR (Tempo, 17 Desember 2006, h. 112-113). Sejumlah komunitas perempuan dalam institusi perkawinan dan organisasi perempuan ikut serta menunjukkan pandangan yang berbeda-beda satu sama lain. Seperti aksi damai atas prakarsa perempuan Hizbut Tahrir di Yogyakarta dan Malang, demonstrasi dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Malang, dialog interaktif dengan tema poligami di berbagai forum diskusi dan media massa, kiriman pesan pendek (sms) dari sebagian besar perempuan ke telepon seluler kepala negara, seruan penghentian kekerasan terhadap perempuan oleh negara dari 18 organisasi perempuan, pembuatan film bertemakan poligami hingga berdirinya klub Poligami Indonesia (Kompas, 21 Desember 2006:3; Kompas, 23 Oktober 2009:53; Kompas, 10 Juni 2011: 40). Bahkan sebagai upaya mendapatkan empati perempuan terhadap wacana poligami yang sedang berkembang, Asma Nad ia 3 melalui buku cerita non fiksi berjudul Catatan
Hati Seorang
Istri
mengungkapkan beragam upaya
perempuan dalam menyelesaikan prahara rumah tangga mereka. Buku tersebut berhasil meraih National Best Seler di tahun 2007 dari Majalah Tempo dan Harian Berita Kompas berdasarkan survey pada 27 toko buku Gramedia di tanah 3
Asma Nad ia adalah seorang penulis novel yang telah banyak mendapat penghargaan nasional dan regional, diantaranya tercatat sebagai pengarang fiski terbaik I di tahun 2008
4
air, hingga Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menayangkannya menjadi sinetron pada tahun 2014 dan itu pun berhasil mencapai posisi pertama dengan rating 5,5 dan share 21 dibandingkan sinetron Ganteng-Ganteng Srigala yang berada pada posisi kedua dengan rating 5,2 dan share 24,5 (Nadia, 2011:v; Pandito Rayendra, “Catatan Hati Seorang Istri Ungguli Ganteng-Ganteng Srigala” diakses dari http://www.tabloid bintang.com, pada tanggal 12 Septe mber 2015 pukul 15.00 WIB). Kesemuanya ini merupakan upaya segelintir perempuan untuk menjelaskan resistensi mereka terhadap poligami yang sarat dengan muatan-muatan kekerasan terhadap perempuan. Berbeda halnya dengan sejumlah masyarakat yang sudah cukup lama mempunyai tradisi poligami dalam sistem perkawinan mereka dan bersikap fanatik dalam beragama seperti orang Minang, orang Aceh, ataupun orang Banjar (Alim, 1986: 25; Efendi, 2014: 24). Dan ketika poligami dihadapkan dengan perselingkuhan, mereka akan cendrung membenarkan poligami sebagai alternatif untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya perzinaan. Maka tidaklah
mengherankan apabila pengajian Aa Gym masih diminati publik di tengah luasnya pemberitaan isu poligaminya, tidak pula mengurangi simpati pe nggemar terhadap Rhoma sang „raja dangdut‟, dan melihat perkawinan Syech Puji- Ulfa sebagai sebuah kewajaran. Bahkan poligami bisa dipandang sebagai pilihan yang lebih positif dilakukan elit pemerintah daripada perselingkuhan. Kesemuanya itu adalah cerminan dari perbedaan hasil pemahaman masyarakat terhadap agama dan pengaruh perbedaan latar belakang sosial dan budaya.
5
Masalah ini tentunya sangat serius karena Presiden SBY, sebagai kepala negara saat itu, memberikan perhatian yang cermat terhadap perkembangan kasus poligami yang dikritisi kaum perempuan. Alhasil, peraturan negara yang selama ini hanya diterapkan untuk mengontrol prilaku seksual PNS dan TNI/ABRI diperluas jangkauannya untuk pejabat negara, pejabat pemerintahan dan anggota DPR. 4 Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatur ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri, mut‟ah, poligami, dan perkawinan berbeda kewarganegaraan dalam rumusan Rancangan Undang- undang (RUU) Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. 5 Akan tetapi, tidak adanya tersirat kesetaraan dalam sanksi hukum pidana perkawinan, sejumlah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Forum Ulama Umat Indonesia maupun organisasi perempuan seperti Komnas Perempuan, Jaringan Kerja Proglenas Pro Perempuan (JKP3), Rifka Annisa, dan Perempuan Kepala Rumah Tangga (Pekka) memperdebatkan rencana legalisasi peraturan perkawinan
4
Presiden SBY meminta Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1983 (14 Bab dan 67 Pasal) tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, yang telah direvisi menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No.45 Tahun 1990 tentang perubahan pemer intah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi PNS untuk dapat direvisi kembali (Simak Tempo, 17 Desember 2006, h. 23; 108-110). 5 Draf Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Perad ilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat 24 Bab dan 156 Pasal, dimaksudkan untuk melengkapi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. RUU tersebut dibuat dengan mengacu pada Ko mp ilasi Huku m Islam (KHI) dan mengatur perkawinan secara detail khususnya untuk warga negara beragama Islam. RUU tersebut meliputi syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan kewajiban suami istri, ruju k, perkawinan campur dan ketentuan pidana (10 pasal) bagi pelanggar ketentuan di dalamnya. Ketentuan pidana dalam RUU tersebut memunculkan perdebatan dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan dalam pasal 142 ayat 3 yang mengatur perkawinan beda kewarganegaraan mengharuskan pria asing untuk memberikan jaminan 500 juta apabila men ikah i perempuan WNI. Selain itu, pasal 143 menyebutkan bahwa pelaku nikah siri atau yang tidak dicatat pejabat resmi maupun pelaku poligami tanpa ijin isteri pertama yang disahkan pengadilan, bisa dikenakan denda sejumlah 6 juta atau huku man penjara 6 bulan. Pasal 144 dituju kan kepada pelaku nikah mut‟ah atau kawin kontrak dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun dan pembatalan perkawinannya demi huku m. Lihat Kompas 2006; Kompas 2006d :4; Kompas 2007:35; Kompas 2007:5; Kompas 2009:12; Kompas 2009:53; Kompas 2010:5:35
6
dan perceraian dalam kaitannya dengan asas perkawinan (Kompas, 27 Agustus 2007, h.35). Peristiwa yang hampir sama juga terjad i pada masa kepemimpinan Soeharto terutama pada saat dirumuskannya Rancangan Undang-undang Perkawinan oleh pemerintah bersama DPR hingga diberlakukannya dalam bentuk Undang-undang No.1 Tahun 1974. Secara menakjubkan, partai dan massa Islam bereaksi melakukan penolakan atas Rancangan Undang- undang Perkawinan karena dianggap bertentangan dengan asas poligami Islam (Amak F.Z, 1976; Kompas, 1968: III kol 4). Sementara, sejumlah organisasi perempuan menuntut adanya payung hukum yang seragam untuk melindungi pere mpuan dari upaya poligami, kawin paksa, perkawinan anak/perkawinan dini (early marriage) dan perceraian yang sewenang-wenang. Dalam hal ini, istri Presiden Soeharto mengisyaratkan agar Undang-undang Perkawinan yang bersifat monogami dapat diperjuangkan. (Simak Tempo, 14 Juni 1973, h.5). Pada akhirnya Undang-undang Perkawinan berasaskan monogami bisa diterima masyarakat dan pemerintah memperketat praktek poligami bagi Pegawai Negeri Sipil. Praktik serupa memiliki kesamaan historis dengan masa kepemimpinan Soekarno. Pada masa itu, pemerintah mulai membenahi sistem peradilan Belanda yang cendrung memihak pada sistem peradilan waris tradisional daripada hukum Islam. Hasilnya direalisasikan pemerintah dalam bentuk RUU Perkawinan Umum dan RUU Perkawinan Umat Islam (Siegel, 2000:23). Salah satu konsep yang dipersiapkan adalah izin khusus poligami, dengan catatan pasangan tersebut tidak keberatan dan suami memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi. Meskipun
7
demikian, tetap saja poligami secara resmi dibiarkan oleh negara. Terlihat dari pengumuman yang dikeluarkan pemerintah tanggal 1 Maret 1952 tentang tunjangan pensiun dua kali lipat bagi janda-janda pegawai negeri yang tidak lebih dari empat orang. Aspek inilah yang mendasari terjadinya demonstrasi pertama setelah kemerdekaan oleh sejumlah organisasi seperti Persatuan Wanita Indonesia (Perwari), Bhayangkari, dan beberapa organisasi perempuan lainnya kecuali Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang tidak menunjukkan pembelaan dalam memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan. Pada akhirnya draf yang telah ada tidak pernah terselesaikan disamping perebutan kekuasaan dari kelompok yang menghendaki kesatuan hukum negara dan hukum agama dalam kehidupan umum, juga poligami Sukarno yang secara cepat ditransfer ke arena publik oleh partai politik (Darwin, 2004: 288; Van Der Kroef, 1953:124; 1957: 120; Kompas 01 Juni 2001:76). Perbedaan pandangan yang muncul pada setiap zaman dalam perumusan undang-undang perkawinan itu merupakan suatu tanda adanya ketidaksesuaian faham dalam menafsirkan perkawinan khususnya poligami. Sebagaimana Dicky Chandra, Ketua Masyarakat Poligami Indonesia, berpendapat bahwa perkawinan mengalami reduksi makna pada saat poligami dibatasi ruang geraknya bahkan dilarang. Sementara itu, solusi tidak diberikan bagi individu yang ingin berpoligami di luar persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Tidak heran apabila segelintir masyarakat melakukan nikah siri dan mut‟ah untuk memperoleh istri simpanan atau tambahan karena sulitnya proses berpoligami secara administrasi di pengadilan. Berbeda dengan Nasaruddin Umar,
8
Dirjen Bimas Islam, perkawinan menurutnya disamping berada pada wilayah pribadi, juga menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warga ketika persoalan sosial muncul apalagi angka perceraian semakin meningkat dari 20.000 mencapai 200.000 setiap tahunnya. Dalam posisi ini pemerintah berhak melindungi hak asasi perempuan agar tidak dilecehkan dan identitas anak-anak dari perkawinan siri atau mut‟ah karena sistem hukum Indonesia tidak pernah mengakui bentuk pernikahan tersebut (Metro Pagi, 2010:06.27). Dapat disebutkan bahwa salah satu penyebab tertinggi angka perceraian menurut Dirjen Bimas Islam tersebut adalah gugat cerai oleh istri karena suami menikah lagi dengan diam-diam atau menikah siri. Berdasarkan data dari Departemen Agama bahwa perceraian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2004 terjadi 42.769 perceraian dan 813 perceraian disebabkan oleh poligami, kemudian tahun 2005 terjadi 55.509 perceraian dan 879 karena poligami. Sedangkan tahun 2007 tidak disebutkan data perceraian tetapi 983 perceraian disebabkan oleh poligami. (Kompas, 22 May 2009: 47). Tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Dari 2 juta orang yang menikah, 280 ribu bercerai (TvOne, 2013:14:14). Di dalam proses ini, perempuan menjadi sosok yang rentan diceraikan dalam perkawinan poligami apalagi tidak ada nilai-nilai hukum yang melindungi mereka dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, poligami disebutkan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian meskipun ketidakkonsistenan pelaku poligami mempraktekkan prinsip perkawinan merupakan faktor esensial terjadinya perceraian. Memang, pelaku poligami disyaratkan untuk berlaku adil dalam
9
perkawinan walaupun keadilan itu sendiri tidak bersifat mutlak tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuan -sebagai manusiauntuk mewujudkannya. Namun, semakin buruknya praktek poligami yang ditunjukkan oleh pasangan berpoligami menyiratkan monogami sebagai bentuk perkawinan yang ideal untuk menghindari kemungkinan seseorang terjebak pada prilaku tidak adil baik secara materil dan non materil dalam perkawinan. Gagasan dominan tentang kedua bentuk perkawinan tersebut sebagaimana diuraikan di atas, seringkali diwacanakan media massa dengan sejumlah konotasi seperti cara untuk „menghindari zina‟, sebagai „pintu darurat‟, „solusi sosial‟, pro kumpul kebo dan menghujat syari‟at. Bahkan mitos- mitos misoginis bagi perempuan seperti perawan tua, perempuan akan masuk surga jika dimadu, jumlah perempuan lebih banyak daripada laki- laki, perbedaan tingkat nafsu, acapkali digambarkan media massa sebagai penerimaan perempuan terhadap poligami. Hal itu menunjukkan bahwa media massa turut serta mengkonstruksi citra perempuan dalam perkawinan poligami dengan simbol dan ideologi tertentu yang berakibat pada peneguhan dominasi laki-laki atas perempuan. Cara pandang yang sama memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk diprioritaskan sebagai isu utama bagi sejumlah media massa yang diterbitkan jauh sebelum Kongres Perempuan I berlangsung. Dikarenakan media massa pada saat itu lebih tertarik mengkritik poligami sebagai upaya menarik simpati perempuan untuk berjuang menentang praktik poligami. Sebagaimana tercatat dalam sejarah modern, Kartini adalah perempuan yang pertama kali berjuang menentang poligami meski dikalahkan oleh poligami. Rohana Kudus (1912) juga
10
mengkritik praktik poligami meskipun harus berdebat dengan para ulama lewat surat kabar yang dipimpinnya, Soenting Melayu. Termasuk kritik yang disampaikan Ny. Abdoerachman tentang perkawinan dan pendidikan perempuan dalam Putri Mardika (1914) (Savitri, 2006: 41; Setyowati, 2009: 21; Dahlia, 2013: 125). Siti Sundari sebagai redaktur media cetak Wanita Sworo (1913) juga mengkritik poligami dengan keras meskipun artikel yang dipublikasikan lebih fokus membahas persoalan domestik (Stures, 1960: 63-64). Sementara itu, media cetak terbitan Sarekat Islam cabang Batavia bernama Pantjaran Warta (1913) berkontribusi mengkritik perkawinan konkubinat (pergundikan) perempuan Indonesia (yang disebut Nyai) dengan laki- laki Eropa atau Cina karena dianggap merendahkan derajat perempuan dan bangsa Indonesia. Seharusnya konkubinat ditiadakan dan dijadikan perkawinan yang resmi dan jelas sebagaimana diberitakan oleh Kaum Muda di awal tahun 1915 (Korver, 1985: 45; 54). Dengan demikian, media cetak yang diterbitkan sebelum Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1929 sudah mulai memperjuangkan isu poligami selain pendidikan, anak dan kehidupan berumahtangga. Media massa yang berkembang pesat saat ini tidak lagi seefektif periode itu mengkritik persoalan poligami. Dikarenakan aspirasi penolakan perempuan terhadap poligami telah diwujudkan pada masa kepemimpinan Suharto berupa UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dimana poligami tetap diperbolehkan tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Dalam penerbitan media massa sesudahnya, isu poligami hanya akan dimuat apabila dipraktikkan tokoh masyarakat atau publik figur disertai dengan kemasan yang menarik sebagai daya tarik untuk
11
meningkatkan popularitas media tersebut. Tema kekerasan dalam rumah tangga baik fisik dan psikis terhadap perempuan dan anak selain kemampuan suami bersikap adil seringkali diungkapkan media massa tanpa mengkritik kesesuaian UUP tersebut dengan masa sekarang. Artinya, media massa tidak lagi mengandalkan ideologi yang dominan semata tetapi telah menghubungkan diri dengan selera pasar. Situasi itu mendorong umat Islam berupaya memperoleh pemahaman yang akurat perihal poligami dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam. Meskipun media massa umum mampu menjelaskannya secara lebih baik, tetapi umat Islam berkesempatan menyerap informasi itu dari media massa khusus yang dimiliki umat Islam. Rahmat (1998: 54-55) melihat beragam defenisi tentang media massa Islam yakni; Pertama, media massa yang pada tingkat simbol menggunakan nama Islam, seperti Ummat, Panji Masyarakat dan Amanah. Kedua, media massa itu tidak menggunakan simbol-simbol Islam tetapi secara tersirat dipersepsikan orang bahwa dia memikul misi keagamaan, seperti Republika
dan Kompas.
Ketiga,
media
massa
yang tidak
membawa
lambang- lambang Islam, juga tidak secara implisit membawa misi Islam, tetapi di media
massa
itu
banyak
orang
Islam
yang
berupaya
memasukkan
gagasan-gagasan mereka, seperti Radio Ramako. Dengan kata lain, media massa Islam adalah media komunikasi yang digunakan oleh dan untuk masyarakat Islam dengan menekankan pada unsur- unsur isi, etika media dan komitmen terhadap Islam sebagai pedoman kasar untuk bisa diindikasikan sebagai media Islam (Abdullah, 2009: 259).
12
Media cetak Islam adalah bagian dari media massa Islam yang cenderung diperuntukkan bagi pembaca yang sebagian besar orang Islam. Media cetak itu boleh jadi berupa majalah, tabloid, buletin, jurnal, surat kabar, buku, maup un risalah-risalah yang beridentitaskan Islam sebagai literatur pengimbang terhadap beragam informasi media massa umum yang bertolak belakang dengan Islam dan dunia Islam. Contoh-contoh dari media cetak ini dapat dijumpai pada media cetak Islam berskala besar dan popular hingga selebaran-selebaran kecil yang diedarkan tiap hari Jum‟at, yang dikelola oleh beragam perusahaan media massa dalam rupa penerbitan yang sederhana hingga paling modern. Pasang surut perkembangannya dipengaruhi oleh eskalasi politik, masyarakat pembaca, sisi komersial dan ideal media. Majalah Islam termasuk salah satu bagian dari media cetak Islam yang cakupannya telah dipersempit dan disesuaikan dengan segmentasi pembacanya. Umumnya, segmen pembaca majalah ini berasal dari kelompok menengah Islam Indonesia yakni kalangan remaja, laki- laki dan perempuan dewasa, hingga keluarga muslim yang memiliki ketertarikan lebih besar pada pengayaan spiritual di tengah kesibukan kerja. Muatan isinya tidak lagi terbatas pada persoalan ritual keagamaan, dakwah, dan politik seperti di awal perkembangannya tetapi sudah mulai bersentuhan dengan budaya popular seperti fashion dan mistik sejak berakhirnya kepemimpinan Soeharto di tahun 1999 (Irawanto, 2006: 307). Di tengah kompetisi antar majalah yang semakin ketat dalam memperebutkan hati pembaca maka majalah Islam juga meningkatkan kualitas dengan memperbaharui tampilan dan isi. Bahkan beberapa majalah Islam seperti Hidayah menyiasati
13
persaingan itu dengan cara bersinergi dengan televisi dan radio (Majalah & Tabloid, 2005: 35). Keragaman corak majalah Islam yang ada tidak bisa dilepaskan dari berbagai aliran pemikiran dan pemahaman yang diwakili oleh majalah tersebut dengan tidak melupakan sisi komersial dan ideologisnya. Menurut Sudibyo (2006), corak majalah Islam terdiri atas: pertama, majalah Islam yang berorientasi keagamaan secara ekstrim. Seluruh proses komunikasi berjalan secara monologal tanpa disediakannya ruang buat dialog secara rasional dan interaksi pemikiran. Kedua, majalah Islam yang bercorak progresif liberal. Dalam hal apapun, mereka lebih terbuka terhadap perbedaan pendapat dan lebih apresiatif terhadap posisi atau sikap yang bertentangan dengan mereka. Ketiga, majalah Islam yang bercorak moderat (Syafi‟i, 2005: 19). Moderat itu artinya tidak ekstrim, melainkan cenderung ballance (seimbang) dan mengambil posisi di tengah. Selain itu, bersifat inklusif, modern dan terbuka terhadap berbagai macam mozaik pemikiran, serta peka terhadap berbagai aspirasi beragam kelompok yang ada. Kelompok dengan corak ini berada di antara majalah Islam yang bercorak ekstrim dan progresif liberal. Ketiga orientasi majalah Islam tersebut hanya muncul pada saat reformasi sebab di masa kepemimpinan Suharto, aspirasi umat Islam dan perbedaan-perbedaan pandangan tidak bisa diekspresikan secara bebas karena dikontrol oleh rezim yang berkuasa. Untuk ketiga kategori tersebut dipilih tiga majalah sebagai berikut: Pertama, majalah Sabili yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi untuk menegakkan syari‟at Islam serta menjadikan generasi muda Islam dan kalangan
14
terpelajar sebagai segementasi pembacanya. Majalah Sabili pernah mewakili kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim, pernah menempati tiras teratas sebanyak 380 ribu eksemplar pada tahun 2005 (Syir‟ah, 2006: 19). Menurut Bagir dari segi ideologi majalah Sabili selain Hidayatullah adalah majalah Islamis (Syafi‟i, 2006:52) dengan berita yang bombastis, kontroversial dan sering menentang kebijakan pemerintah maka majalah Sabili termasuk kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim. Kedua, majalah Syir‟ah yakni majalah Islam yang mewakili kategori majalah Islam yang progresif liberal. Pemahaman Islam yang toleran dan liberal seringkali dimuat dalam isu- isu sosial keagamaan seperti terorisme, perdamaian, perdagangan bebas, civil society, dan sebagainya. Majalah Syir‟ah menurut Bagir (Syafi‟i, 2006: 54) termasuk majalah ideologi yang liberal (siap menerima pandangan apapun yang berkembang termasuk yang tak disetujuinya), Majalah ini cenderung memilih generasi Islam liberal sebagai tokoh narasumber dalam menyampaikan pemikirannya karena menurut Qodir (2007:110) mereka bekerja pada pijakan kemanusiaan untuk semua, bukan landasan teologi yang kaku dan diskriminatif. Segmentasinya ditujukan untuk orang dewasa dan mahasiswa. Ketiga, majalah NooR yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi menjadikan muslimah dewasa bergaya hidup Islami dan menjadikan perempuan muslimah sebagai generasi pembacanya. Majalah Noor mencapai tiras 30.000 bahkan mencapai 50.000 per edisi, lebih tinggi dari majalah sejenis seperti Paras, Umi, Alya yang memiliki tiras rata-rata 20.000 per edisi. Majalah NooR merupakan satu dari 14 majalah dan tabloid yang dikelola Pinpoint seperti audio
15
pro, PC Media, mobil motor, Noor, Perkawinan, Salon, Lisa yang masih eksis hingga sekarang (Cakram Komunikasi, 2005:7). Bagi perempuan muslimah yang akan menekuni agama atau memperdalam ilmu agama Islam akan membaca majalah Noor dan Ummi (NBR, 2005:8). Namun pernyataan itu agaknya berlebihan, sebab dilihat dari isi dan sebagaimana pendapat Jones (2010: 102), Noor sebagai fashion magazine khususnya bagi kaum perempuan. Bahkan the fashion pages from Noor portrait women modeling fashionble muslim dress: for work, home, dinner and night out (Wicheken, 2010:57). Pemilihan ketiga majalah tersebut tidak hanya didasarkan pada kategori media Islam yang pada tingkat simbolik menggunakan nama Islam dan pers yang menyatakan dirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut formal Islam (Rakhmat, 1998: 54; Sobur, 2004: 260) tetapi juga mewakili ketiga orientasi majalah Islam sebagaimana penulis sebutkan di atas. Kekhasan tiga majalah Islam yakni majalah Syir‟ah, majalah Sabili dan majalah NooR, dalam kajian wacana poligami dapat saling mengisi karena masing- masing majalah memiliki visi- misi, ideologi, serta segmentasi yang berbeda. Namun, pertentangan ideologi serta keberpihakan masing- masing media juga dapat terlihat. Sehingga kajian ini menjadi bagian penting dari riset wacana tentang poligami yang melibatkkan tiga majalah Islam sekaligus sebagai wacana pertarungan antara kelompok Islam garis keras dan Islam progresif liberal di Indonesia, sesungguhnya ada kelompok yang lebih besar. Mereka cenderung apolitis, tidak ideologis dan acuh tak acuh atas perdebatan pemikiran yang terjadi (Sudibyo, 2006).
16
1.2 Rumusan Masalah Praktik poligami bukanlah menjadi cerita baru dalam Islam. Hanya saja bagaimana praktek poligami dijalankan suatu masyarakat menjadi misi dari masing- masing kelompok Islam yang diujung kelompok-kelompok itu telah ada beragam majalah seperti Sabili, Syir‟ah atau NooR yang memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan penilaian atas setiap praktik poligami yang dilakukan. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap majalah berhasrat meraup sebanyak mungkin pembaca tertentu sebagai bagian dari sense of mission majalah tersebut. Ketiga majalah Islam yakni Sabili, Syir ‟ah dan NooR menjelaskan isu-isu poligami dengan cara yang beragam mulai dari bentuk cerita fiksi maupun non fiksi. Akan tetapi, majalah-majalah Islam tersebut membuka isu poligami dengan berbagai argumen yang berbeda. Argumen itu disusun dan diseleksi berdasarkan sudut pandang yang sudah dipersiapkan untuk memperebutkan perhatian masyarakat pembaca. Ini mengharuskan majalah Islam memproduksi makna yang beragam mengenai perkawinan poligami seperti „menghindari zina‟, sebagai „pintu darurat‟, atau „solusi sosial‟ untuk memberikan identitas dan menampilkan penafsiran tentang poligami yang secara tidak
langsung
mengarahkan masyarakat pembaca pada pengambilan keputusan. Memang majalah-majalah Islam tersebut memiliki kemampuan dalam menampilkan perkawinan poligami melalui gambaran yang mendukung atau pun menolak sampai dengan menghadirkan majalah Islam dalam beragam perspektif.
17
Berdasarkan uraian di atas, mengkaji bermacam- macam majalah Islam dalam caranya merepresentasikan persoalan poligami menarik untuk dicermati. Dengan ini, penelitian diarahkan untuk memecahkan masalah pokok yakni: bagaimana majalah-majalah Islam yakni Sabili, Syir’ah dan NooR merepresentasikan isu poligami? Pertanyaan umum ini selanjutnya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang lebih rinci sebagai berikut: 1. Bagaimana wacana poligami dikonstruksi oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR? 2. Bagaimana perempuan diwacanakan oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR dalam wacana poligami tersebut? 3. Identitas perempuan seperti apa yang direpresentasikan majalah Sabili, Syir‟ah dan Noor dalam wacana poligami? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini pada hakekatnya bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisa dan memahami secara mendalam: 1. Konstruksi wacana poligami oleh media cetak Islam melalui majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR 2. Keberadaan perempuan dalam wacana poligami pada majalah Sabili, Syir‟ah, dan NooR 3. Identitas perempuan yang ditampilkan oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR dalam isu poligami.
18
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat atau kontribusi teoritik terkait penerapan kajian representasi terhadap wacana poligami yang dikonstruksi majalah Islam yakni majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR. Selain itu penelitian ini juga memberikan kontribusi teoritik terkait identitas perempuan yang diwacanakan oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR sebagai bagian dari konstruksi poligami secara keseluruhan. Secara praktis, penelitian ini memberikan gambaran yang utuh tentang dinamika wacana poligami yang berkembang di majalah Sabili, Syir‟ah dan majalah NooR. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk mengetahui pola pikir (ideologi) dan keberpihakan majalah Islam berdasarkan sudut pandang yang digunakan majalah Islam tersebut. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan yang bermanfaat terhadap kalangan peneliti sosial yang meneliti tentang poligami, peneliti media, praktisi media yang mengangkat wacana poligami sebagai isu kajian. Bagi media cetak khususnya majalah Islam, kajian ini dapat menjadi bahan telaah yang membawa pengaruh bagi kehidupan keluarga muslim maupun kebijakan pemerintah tentang perkawinan poligami di Indonesia. 1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 1.5.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini berupaya memetakan aspek kajian yang sudah diteliti dan menemukan aspek yang belum banyak diteliti sehingga peneliti mengetahui posisi penelitian ini di antara berbagai penelitian yang sudah dilakukan dan
19
menjadikannya sebagai studi dalam sebuah penelitian. Penelusuran yang dilakukan tentang poligami menemukan beberapa kajian terdahulu yang meliputi tinjauan poligami secara legal formal, praktek poligami, implikasi dari perkawinan poligami, serta wacana (discource) poligami. Pada bagian akhir paparan dari kajian pustaka ini, peneliti menyampaikan posisi studi ini di antara studi-studi yang berhubungan dengan poligami. Kajian tentang poligami yang dilihat secara legal formal baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun sumber hukum Islam sebagai acuan umat Islam telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Sebagaimana studi Abdul Qodir (2005) dalam Memilih Monogami: Pembacaan Atas Al-Quran dan Hadist Nabi. Studi tersebut menjelaskan bahwa pilihan monogami bukan soal pengharaman sesuatu yang telah dihalalkan dalam Islam, bukan pula soal pembiaran terhadap nasib perempuan yang jumlahnya lebih banyak daripada laki- laki, juga bukan soal ajaran Barat dan Timur, melainkan soal implementasi perintah al-Qur‟an terhadap keharusan berlaku adil dan larangan tindakan aniaya dalam perkawinan. Dalam studinya tersebut, Qadir memperkuat argumentasi teologis terhadap pilihan monogami berdasarkan teks-teks al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Dengan begitu bagi mereka yang ingin dan propoligami hendaknya mempertimbangkan segi hukum Islam dan hak-hak perempuan dan kerelaan mereka. Kajian berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa studi. Diantaranya studi Suzanna Eddyo no (2015) dalam Narasi Hak-hak dalam Perdebatan mengenai Poligami di Indonesia. Studi ini
20
menjelaskan respon negara dan kelompok-kelompok perempuan terkait dengan judical review pasal-pasal yang mengatur tentang poligami. Hasil studi menunjukkan bahwa Negara menolak tuntutan judical review tersebut karena dipandang sebagai
upaya
menghapus
instrumen perlindungan
terhadap
perempuan dan anak-anak. Sementara itu kelompok-kelompok perempuan berupaya untuk menegosiasikan hak- hak mereka sebagai warga negara dan komunitas agamanya terlepas dari penekanan ulang negara yang mengakui dan menempatkan perempuan dalam komunitas agamanya. Ika Oktavianti (2006) dalam tesis berjudul Implementasi PP No. 45 tahun 1990 Jo.PP No.10 Tahun 1983 tentang Perkawinan Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Kutai Kartanegara juga melihat aspek legal formal yang berkaitan dengan poligami. Studi ini menfokuskan pada alasan poligami yang dilakukan PNS di Kutai Kartanegara untuk menghindari Peraturan Pemerintah tersebut dan cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hasil studi menunjukkan bahwa pernikahan di bawah tangan, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah, atau PNS perempuan menjadi isteri yang kedua merupakan solusi bagi PNS di Kabupaten Kutai Barat supaya tidak terjerat oleh ketentuan negara yang mengatur perkawinan pegawai negeri sipil. Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan tidak sah berdasarkan aturan pemerintah, meskipun sah secara agama, sehingga segala hal terhadap perkawinan tersebut dapat terlepas dari ketentuan dalam peraturan tersebut. Paralel dengan studi yang dilakukan Yeni Gusti (2010) di Kota Padang dalam judul Tinjauan terhadap Putusan Pengadilan Agama tentang Perkawinan
21
Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama di Kota Padang). Studi ini menjelaskan penyebab poligami yang ditemukan di Pengadilan Kota Padang. Hal itu terkait dengan ketidakmampuan istri memberikan keturunan, sakit menahun, tidak bisa mensupport suami, lalai dalam menjalankan kewajiban, suami terlanjur cinta pada calon istri keduanya tersebut sebagai penyebab terjadinya perceraian dalam perkawinan. Hampir sama dengan studi Sadiansyah Sabara (2007) dalam Pelaksanaan Poligami Ditinjau dari UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di KUA Kota Makassar. Hasilnya menunjukkan bahwa 4 (empat) faktor yang mempengaruhi terjadinya poligami, yaitu: faktor agama, faktor ekonomi, faktor keturunan dan faktor hawa nafsu. Berdasarkan kajian Eddyono (2015), Gusti (2010), Sabara (2007), Oktaviani (2006), pada aspek legal formal dapat dilihat bahwa orientasi seksual biologis sebagai faktor utama terjadinya poligami dalam rumah tangga. Meskipun negara melalui pemerintah telah memberlakukan aturan tentang perkawinan ternyata tidak menjadi jaminan untuk tidak menemukan celah membenarkan poligami demi orientasi biologis dan meningkatkan status sosial di masyarakat. Padahal Qadir (2005) sudah menyampaikan bahwa berdasarkan sumber hukum Islam, poligami yang dicontohkan Nabi bukan dengan pertimbangan biologis tetapi karena alasan perlindungan terhadap para janda dan anak yatim. Kajian tentang praktek poligami paling banyak menjadi perhatian peneliti dari berbagai sudut pandang. Salah satunya melihat keterkaitan praktek poligami yang berlangsung dari masa lalu hingga poligami yang diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana dibahas Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam studinya
22
Poligami dari Berbagai Persepsi. Studi ini menjelaskan perbedaan penerapan praktik poligami di masa lalu oleh bangsa Cina, India, Persia, Mesir Kuno, Arab, Yahudi dan termasuk bangsa-bangsa Eropa dengan poligami yang dpraktikkan oleh Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai jumlah istri yang dimiliki pada zaman sebelum kedatang Islam tetapi setelah Islam hadir maka perempuan yang boleh dinikahi hanya empat orang. Meskipun Jahrani mengutip beragam pendapat dari berbagai ulama Islam tetapi tidak ditemukan argumentasi pribadinya kecuali berusaha menggiring pembaca kepada pendapat yang cendrung berpihak terhadap poligami. Praktik poligami dalam studi Khozin Abu Fakih (2007) dengan judul Poligami Solusi atau Masalah? juga menunjukkan keberpihan terhadap poligami secara jelas. Hasil studi ini menjelaskan bahwa poligami tidak dilakukan dengan alasan kesenangan pribadi tetapi bertujuan untuk keselamatan dan terjaganya sebuah keluarga. Serupa halnya dengan studi Ridha Salamah (2005) yang berjudul Menjadi Suami Sejati jangan Menjadi Suami Gagal. Studi ini menjadi menarik karena penulisnya adalah seorang perempuan yang secara persuasif menggiring pembaca untuk berpoligami. Ridha Salamah (2005) menfokuskan studinya pada perilaku baik suami terhadap istri. Perilaku baik suami dalam kehidupan rumah tangga terlihat dari kemampuannya memuliakan para istri dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk kesuksesan suami memimpin rumah tangga poligami. Bagian bab terakhir diberikan alternatif dengan bahasa yang menganjurkan untuk menambah istri. Studi Siti Musdah Mulia (1999) yang berjudul Pandangan Islam tentang
23
Poligami bertolak belakang dengan studi Jahrani (1996), Fakih (2007), dan Salamah (2005). Studi tersebut lebih menitikberatkan pembahasannya pada perubahan-perubahan yang radikal dalam pelaksanaan poligami berdasarkan faktor sosio-historis. Pertama, membatasi bilangan istri hanya sampai empat orang, itu pun hanya boleh kalau suami mampu berlaku adil. Syarat ini dirasakan amat berat kalau tidak ingin dikatakan mustahil dapat terpenuhi. Perubahan kedua, membatasi alasan poligami: poligami hanya dibolehkan semata- mata demi menegakkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu biolo gis. Ini pun ternyata lebih sulit dipenuhi. Musdah juga menyampaikan bahwa faktor- faktor yang mendorong timbulnya poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa kuat) dan sifat depotis (semena- mena) kaum pria. Dan sebagian lagi berasal dari perbedaan kecendrungan alami antara laki- laki dan perempuan dalam hal fungsi reproduksi. Jahrani (1996), Fakih (2007), Salamah (2005) dan Musdah (1999) memiliki sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan praktik poligami. Meskipun Salamah (2005) dan Musdah (1999) sama-sama penulis perempuan tetapi keduanya memiliki pemikiran yang bertolak belakangan tentang poligami. Salamah (2005) justru memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Jahrani (1996) dan Fakih (2007) dalam hal menggiring pembaca untuk memilih poligami. Sementara Musdah (1999) memiliki pendapat yang berbeda dengan mengajak pembaca untuk bermonogami. Hal itu terlihat sekali dalam studinya dengan judul Islam Menggugat Poligami (2004). Studi ini menjelaskan bahwa praktek poligami di masyarat telah menimbulkan problem sosial yang meluas dan sudah
24
sangat memprihatinkan. Aspek negatif poligami lebih besar dari aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak mudharat ketimbang maslahatnya dan sesuai kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya ha rus dihilangkan. Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Praktik poligami yang terjadi pada masa sekarang dapat dilihat dalam beberapa tulisan. Diantaranya studi Mas‟udi (2008) yang berjudul Poligami di Mata Laki-laki Madura (Studi Kasus Masyarakat Pakandangan Barat Kecamatan Blutto Kabupaten Sumenep Madura). Studi ini menfokuskan pada penyebab lain terjadinya poligami pada laki- laki Madura. Hal itu terkait dengan motif ekonomi sebagai penyebab terjadinya praktek poligami. Masyarakat sekitar melihat hal itu sebagai takdir Tuhan walaupun praktek poligami diyakini menimbulkan keretakan keluarga. Lain halnya dengan Dono Baswardono (2006) yang menemukan hal berbeda pada studinya dengan judul Poligami itu Selingkuh. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa poligami tidak terjadi begitu saja tetapi diawali dengan proses orientasi terlebih dahulu. Secara psikologis, hal itu telah terjadi semenjak si suami mengenal lebih dekat perempuan lain. Dikarenakan manusia bukanlah robot maka sebelum memutuskan untuk berpoligami, laki- laki tertentu mengucapkan perasan, isi hati dan niatnya kepada calon istri mudanya. Bahkan dan ini yang banyak terjadi, niatnya itu tidak pernah diceritakan kepada istri lamanya, karena disadari betul bahwa sang istri tidak akan merestui niatnya. Studi Mas‟udi (2008) dan Baswardono (2006) merupakan dua studi yang
25
berbeda dalam melihat praktik poligami. Perbedaan itu juga terlihat dari realitas dalam kehidupan rumah tangga keluarga poligami. Sebagaimana yang dtulis Ika Qurrota A‟yun (2008), dalam Poligami dalam Perspektif Postfeminis (Analisis Skenario Film Berbagi Suami). A‟yun (2008) menjelaskan secara sistematis relasi-relasi yang terjadi dalam ruang kehidupan rumah tangga Salma, Siti dan Ming. Hasilnya adalah lebih banyak konflik yang terjadi dalam rumah tangga berpoligami antara istri-suami, istri- istri, orang tua – anak maupun dengan masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan film Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang dibahas Zahro (2009) dalam Penerimaan Perempuan terhadap Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta. Menurut Zahro (2009) kasus perkawinan Fahri yang telah memiliki istri, yakni Aisya dan Maria merupakan salah satu contoh perkawinan poligami yang dapat diterima oleh sebagian perempuan. A‟yun (2009) dan Zahro (2009) setidaknya berusaha menyampaikan realitas kehidupan yang dialami oleh istri- istri poligami dari sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi, menjalani kehidupan berpoligami memang menimbulkan banyak konflik rumah tangga. Di sisi lain, paling tidak poligami dianggap sebagai pilihan rasional untuk menyelamatkan kehidupan seorang anak manusia. Namun, pilihan kedua itu hanya sampai pada realitas kehidupan awal keluarga poligami karena salah satu tokoh perempuan sebagai istri kedua dalam film Ayat-ayat Cinta tersebut meninggal dunia. Sebagai akibatnya Zahro sendiri kesulitan untuk menjelaskan pesan secara keseluruhan dari proses penerimaan kehidupan berpoligami tersebut.
26
Dari berbagai penelitian tentang praktek poligami yang telah dilakukan di atas, terlihat ragam kajian poligami baik dari aspek legal formal, poligami dalam praktik sehari-hari di keluarga, hingga melalui film, ternyata untuk mempraktek poligami tidak mudah dilakukan. Akan selalu ada persoalan yang dialami kehidupan keluarga poligami. Sehingga kajian-kajian yang beragam ini menemukan titik fokus bahwa poligami meskipun ada dan berlangsung dalam masyarakat, tetapi tidak mudah dijalankan. Praktek perkawinan poligami yang telah dikaji peneliti-peneliti tersebut membawa pada satu pembahasan lain, yakni tentang implikasi terhadap perkawinan poligami. Tulisan Laila S.Shahd dalam “Cairo Papers in Social Science” dengan judul An Investigation of the Phenomenon of Poligyny in Rural Egypt (2001). Penelitiannya mengungkapkan bahwa poligini tidak hanya menjadi sarana bagi laki- laki pedesaan Arab untuk memperbanyak tenaga kerja di pertanian melainkan juga memperkuat kehidupan ekonomi da n kekuasaan politik di desa tersebut. Faktor infertilitas dan ketidakmampuan istri melahirkan anak laki- laki memberikan kesempatan bagi suami untuk beristri lagi. Hal itu dikarenakan, anak laki- laki memiliki nilai yang lebih daripada anak perempuan karena berfungsi sebagai pelanjut keturunan, pewaris kekayaan dan tenaga utama pertanian mereka. Konflik istri dengan ipar yang mendiami rumah yang sama sering terjadi dalam rumah tangga poligini. Hal itu tidak hanya dialami petani pada kelas sosial ekonomi menengah ke bawah tetapi juga kelas sosial atas. Namun, istri- istri tersebut lebih suka mempertahankan rumah tangga mereka dengan alasan agama dan kenyamanan anak serta status sosial ekonominya.
27
Dari kajian Shahd (2001) dapat diketahui perkawinan poligami merupakan upaya mengelola dan menambah sumber daya manusia untuk kekuatan ekonomi dan politik pada level masyarakat desa sehingga dapat memperkuat status sosial. Kajian berbeda dari Islah Gusmian (2007), dalam Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, menjelaskan kisah kehidupan Nabi dengan 11 istrinya yang selama ini dijadikan acuan laki- laki yang berpoligami. Menurut Gusmian, data sejarah menunjukkan bahwa Nabi berpoligami bukan karena ketidakmampuannya mengendalikan libido seksual seperti tuduhan para orientalis tetapi demi melindungi para janda dari derita hidup dan pembebasan diri mereka dari status budak. Dengan demikian, laki- laki yang berpoligami mesti berfikir ulang bila mengabsahkan pilihannya itu pada sunnah Nabi sebab pada kenyataannya Nabi tidak
pernah
menganjurkan
umatnya
untuk
berpoligami
tetapi
justru
membencinya. Implikas perkawinan poligami dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana kajian Gusmian (2007) bermaksud memberikan perlindungan pada kalangan perempuan terutama para janda dan membebaskan perempuan da ri perbudakan. Hal berbeda terjadi dalam perkawinan poligami pada masyarakat biasa, sebagaimana kajian Leli Nurohmah (2006) dalam Meretas Jihad Kesetaraan juga membahas pengalaman perempuan yang menjalani praktik perkawinan poligami dan realitas keadilan yang mereka lalui dalam perkawinan poligami. Menurut Nurohmah (2006) perempuan yang dipoligami mengalami 3 (tiga) bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, ekonomi dan kekerasan multilapis. Ketiga bentuk kekerasan itu dialami oleh istri pertama, kedua, ketiga dan keempat tanpa
28
perlawanan. Hal itu disebabkan oleh karena praktik poligami yang dilakukan secara sirri sehingga para istri dapat dicerai tanpa proses hukum pengadilan. Poligami dalam tinjauan aspek legal formal, praktek poligami, implikasi poligami, sebenarnya tidak terlepas dari wacana poligami yang berkembang di masyarakat dan pada giliran selanjutnya akan mempengaruhi pemikiran hingga menentukan kecenderungan seseorang untuk memilih perkawinan monogami atau perkawinan poligami. Kajian terhadap poliga mi baik praktek dari tokoh hingga pemikiran tokoh menjadi dasar utama wacana poligami, sebagaimana studi Abduttawab Haikal (1993) dalam membantah tuduhan Barat terhadap poligami dalam Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs Monogami Barat. Haikal mengkomparasikan poligami Islam dengan sistem monogami Barat sehingga mudah menunjukkan mana yang terbaik diantara keduanya. Ia juga menjawab setiap tuduhan dan kecaman Barat tentang poligami Islam, khususnya poligami Nabi secara cermat, kritis dan analitis. Yusuf Wibisono (1980) dalam Monogami atau Poligami Masalah Sepanjang Masa juga memuat bantahan terhadap opini negatif sarjana Barat mengenai poligami dalam Islam. Wibisono membantah keras terhadap kritik sarjana Barat terhadap poligami yang dilakukan Nabi Muhammad saw. serta praktek poligami yang dilakukan umat Islam di Indonesia. Karya ini menarik untuk dicermati karena Wibisono tidak saja menggunakan dalil al-Qur‟an dan hadis tetapi ia juga mengemukakan pendapat pemikir Barat hingga filosof seperti Plato dan Socrates yang memberikan ruang terhadap praktek poligami. Wibisono juga melihat carut marut kehidupan berkeluarga di Eropa yang mengagung-agungkan praktek
29
monogami. Praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad menjadi wacana besar yang dipertentangkan oleh pemikiran Barat dan pemikiran Islam, sebagaimana studi Haikal (1993) dan Wibisono (1980) merupakan wacana tandingan yang mengkritik wacana barat. Selain itu kajian tersebut memberikan pengertian bahwa praktek poligami yang dilakukan seorang tokoh selalu mengundang polemik di masyarakat terutama dalam wacana pro dan kontra poligami. Hal itu dikarenakan para ulama memiliki intensitas yang tinggi untuk tampil di hadapan publik dan pada kasus tertentu ulama pun hidup berpoligami seperti kasus poligami Aa Gym. Studi Sulaiman Al-Kuyami (2009) yang berjudul Aa Gym diantara Pro-Kontra Poligami membahas tentang pro kontra Poligami Aa Gym. Hasil studi ini lebih banyak membahas secara berimbang pendapat kelompok pro kontra poligami dengan menggunakan gaya pelaporan (reporting style) yang lazim dalam karya jurnalistik. Secara keseluruhan pendapat-pendapat ulama, sarjana dan aktivis muslim dikutip di dalam buku tersebut sehingga pihak yang mendukung atau menentang poligami Aa Gym dapat mengetahui dasar pemahaman yang benar dan diharapkan tidak timbul sikap saling menyalahkan apalagi memaki secara membabi buta. Berbeda sekali dengan studi Abu Umar Basyir (tt) dengan judul Poligami Anugerah yang Terzalimi. Studi tersebut menjelaskan masalah poligami (heboh poligami Aa Gym). Basyir mendudukkan poligami secara spekulatif. Terlihat dari argumen yang ditulis tidak begitu kuat dan terkesan menonjolkan dalil yang cenderung membenarkan pendapat penulis.
30
Kajian wacana terhadap praktek poligami tokoh juga dilakukan Sonja van Wichelen dalam bukunya Religion, Politics and Gender in Indonesia sub bab buku itu membahas tentang poligami yang dilakukan Puspo Wardoyo. Bagi Wichelen, poligami di Indonesia sebagai hegemoni maskulinitas. Ia juga membahas kajian media Islam yakni majalah NooR, tetapi sebatas pada kajian mode pakaian muslim Indonesia (Lihat Wichelen, 2010). Meskipun membahas poligami, sayangnya kajian Wichelen tidak secara fokus mengkaji poligami tersebut sehingga peneliti hanya melihat kajian tersebut sebagai pelengkap dari kajian yang lebih besar yakni tentang gender. Selain wacana poligami yang muncul dari praktek poligami yang dilakukan para tokoh agama, pemikiran para tokoh juga ikut mempengaruhi berlangsungnya wacana poligami sebagaimana studi Khoiruddin Nasutio n (1996) yang berjudul Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Studi tersebut membahas pemikiran Muhammad Abduh secara sangat sederhana sekali di bidang poligami dan riba. Sebagai ulama modern, Abduh sangat keras dalam menetapkan pengharaman poligami. Hal itu terkait dengan ketidakmampuan seorang suami melakukan keadilan di antara para istrinya. Tentu saja, Abduh mengakui poligami yang dilakukan sahabat Nabi, tetapi kondisi saat itu yang menghendaki poligami diungkapkan demikian selain konteks sejarah yang harus dibaca secara cermat dan jernih. Namun, Nasution tidak menjelaskan pemahaman Abduh secara mendalam karena lebih banyak mengadopsi pendapat para ulama Islam klasik dan modern sehingga pembahasan tentang pemikiran Abduh tidak terfokus pada satu tema utama.
31
Jika pemikir Islam seperti Abduh dengan keras menentang poligami, berbeda dengan pemikir Islam lain seperti Muhammad Syahrur yang memberikan peluang poligami secara bersyarat. Makmun, Muafiah, dan Amalia (2009) dalam studinya tentang Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur membahas pemikiran Muhammad Syahrur tentang poligami. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam terkemuka yang dijuluki sebagai „Immanuel Kant‟ dunia Arab dan „Martin Luther‟ nya dunia Islam. Ia merumuskan poligami sebagai bantuan khusus untuk orang-orang yang mampu berlaku adil terhadap anak yatim. Hal itu diperjelas Syahrur melalui Teori Limitnya dengan menggunakan standar kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas, seorang lelaki dapat beristri 1 sampai 4. Secara kualitas, istri pertama dapat berstatus perawan atau janda tetapi istri kedua, ketiga dan keempat harus perempuan janda yang memiliki anak. Makmun, Muafiah, dan Amalia menawarkan konsep Syahrur sebagai tawaran alternatif bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perlindungan anak melalui poligami. Paralel dengan Disertasi Sulhan Chakim yang berjudul Persimpangan Kelas Sosial dan Gender dalam Poligami; Studi Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy (2013). Studi ini menjelaskan bahwa poligami dalam wacana yang berkembang masih dominan pada kepentingan sepihak sehingga berimplikasi pada bentuk kekerasan yang merugikan perempuan dan anak-anak. Ideologi kekerasan dan anti kekerasan yang direpresentasikan sebagai temuan kontestasi pada wacana relasi keluarga dan sosial menggunakan dialog antar agama untuk menarik rasa simpati sekaligus membingkai gagasan poligami.
32
Sebagaimana dilihat dari solidaritas pemeluk Islam dan Koptik untuk menolong dan melindungi korban kekerasan seksual dan eksploitasi atas tubuh perempuan. Begitu pula dengan kumpulan tulisan Wacana Poligami di Indonesia, (2005) Rochayah Machali (ed) menghadirkan beragam perkembangan wacana poligami di Indonesia secara lebih utuh. Diperkaya pula dengan data-data faktual seperti polemik penghapusan PP 10/1983, kampanye propoligami oleh sebagian kelompok, dan kasus poligami di sebagian kalangan buruh industri dan buruh migrant (TKW). Namun buku tersebut hanya berbentuk bunga rampai sehingga kajian
poligami
dibahas
secara
singkat
dan
hanya
terfokus
pada
fenomena- fenomena poligami yang sedang berkembang di Indonesia tanpa membahas keterkaitannya dengan media Islam. Dari studi terhadap kajian pustaka yang telah peneliti lakukan di atas, penulis bermaksud melengkapi kajian tentang poligami dengan pendekatan wacana kritis. Kajian terdahulu menfokuskan pada beberapa hal. Pertama, kajian poligami yang penulis temukan lebih banyak menyoroti poligami ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek legal formal, praktik poligami, implikasi poligami dan wacana (discourse) poligami. Kajian-kajian tersebut meskipun dilakukan dengan tema beragam, tetapi lebih banyak berada pada kajian yang bersifat empiris. Kedua, praktek poligami yang dilakukan tokoh agama menjadi salah satu penyebab munculnya wacana poligami yang menghadirkan polemik pro dan kontra baik dari kalangan umat Islam maupun menimbulkan pertentangan ideologis antara Islam dan Barat. Ketiga, posisi penelitian ini dapat diketahui setelah mendapati bahwa banyak kajian poligami yang bersifat empiris dan masih sedikit yang
33
mendalami kajian tentang wacana poligami. Selain itu, meskipun terdapat kajian wacana poligami yang dilakukan peneliti terdahulu, tetapi belum ditemukan obyek kajian pada majalah Islam. Sehingga penelitian ini mengisi celah kosong dalam kajian wacana poligami di majalah Islam. Keempat, keunggulan kajian ini adalah menekankan pada aspek aktualitas wacana poligami yang diangkat oleh majalah Islam dan segenap polemik pro kontra poligami dalam majalah Sabili, majalah Syir‟ah dan Majalah Noor. Selain itu, menganalisa wacana poligami pada tiga majalah Islam sekaligus memiliki tingkat kesulitan sendiri. Sebab pada umumnya kajian wacana dalam tema apapun biasanya hanya mengkaji pada satu atau dua media massa tertentu saja. 1.5.2 Landasan Teori 1.5.2.1 Representasi Secara etimologi, representasi berasal dari bahasa latin repraesentatio terkait dengan praesens, berasal dari kata praeesse. Kata kerja ini berarti „mendahului‟ dengan sebuah pengertian ganda: yaitu secara spasial dan secara hierarkis. Kata tersebut merujuk pada orang atau objek yang „mendahului‟ atau „di muka seseorang atau sesuatu yang lain dalam ruang, atau merujuk pada orang atau objek yang „menjadi superior‟ atas seseorang atau sesuatu yang lain dalam sebua h sistem kekuasaan.
Sementara
itu representasi dalam Kamus
Chamber
Twentieth-Century diartikan dengan tindakan, pernyataan atau kenyataan yang merepresentasikan atau dipresentasikan: yang mewakili/ melambangkan: citra: gambaran: penampilan dramatis: citra (image) mental: sebuah penyajian pandangan atas berbagai fakta atau argumen: sebuah petisi, bantahan, peringatan:
34
penerimaan harta warisan oleh pewaris (Dani, 2001: 69). The Sorter Oxford English Dictionary mengusulkan dua makna yang relevan dengan represe ntasi. Pertama, penjelasan atau penggambaran sesuatu dengan mengingatnya dalam pikiran berdasarkan deskripsi, gambaran atau imajinasi; menempatkan sebuah kemiripan dalam pikiran atau indra kita. Contoh,
lukisan ini seperti
menggambarkan pembunuhan Abel karena keributan. Kedua, representasi juga berarti melambangkan, berdiri untuk menjadi bagian kelompok atau keseluruhan. Contoh, Dalam agama Kristen, salib menggambarkan penderitaan dan penyaliban Kristus (Hall, 1997: 16). Representasi secara terminologi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Lyotard (dalam Rahman, 2000:187), seorang filsuf pascamodern, berpendapat bahwa representasi berkaitan dengan ide, gambaran, image, narasi, visual dan produk-produk keilmuan yang diistilahkannya sebagai „teks‟. Jadi representasi adalah teks itu sendiri. Goody (1997:31) mendefenisikan representasi adalah sebuah penghadiran kembali, sebuah penyajian dari sesuatu yang tidak dihadirkan, yang barangkali menggunakan linguistik sebaik sebuah bentuk visual. Menurut Hall (1997:16) representasi berarti proses produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang yang disampaikan kepada orang lain melalui bahasa. Dalam bidang retorika, representasi mengacu pada kemampuan untuk membangkitkan sebuah impresi yang kuat melalui kata-kata dan figures of speech. Hal tersebut dikaitkan dengan konsep
pengulangan (repetition)
yakni
menghadirkan kembali dalam berbagai konteks yang berbeda. Menurut penulis
35
Roman Quintilian, utamanya, „representasi‟ menunjukkan sebuah kepandaian memilih dan menentukan guna membuat benda-benda bersifat cemerlang dan menyolok sehingga merangsang imajinasi audiens (Dani,2001). Dengan demikian, representasi erat kaitannya dengan strategi produksi makna untuk menampilkan seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu dalam suatu pemberitaan melalui pilihan bahasa yang tepat sehingga menjadi kekuatan dalam pencitraan. Representasi menurut Hall (1997:17), berlangsung dalam dua proses yang saling berhubungan, yaitu representasi mental dan bahasa. Representasi mental merupakan „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing- masing (peta konseptual) namun representasi ini masih bersifat abstrak. Ketika membayangkan tentang Belanda, gambaran yang muncul adalah bangunan kuno, orang-orang jangkung berkulit kemerahan, tulip atau kincir-kincir besar. Maka pada tahap ini hadirlah konsep maupun kesan tentang apa yang disebut Belanda dalam pikiran kita. Kesan yang didapatkan itu sangat tergantung pada subjek yang memaknai sebuah obyek, serta relasi antara subyek dan obyek yang karenanya bersifat tidak menetap. Representasi mental mengenai Belanda bagi yang pernah berkunjung atau yang pernah tinggal akan sangat berbeda dengan orang yang hanya mengenal Belanda dari penggambaran orang lain. Representasi bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala diterjemahkan oleh „bahasa‟ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide- ide tentang „sesuatu‟ dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
36
sesuatu dengan sistem „peta konseptual‟ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara „peta konseptual‟ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟ dan „tanda‟ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. Makna dikonstruksi oleh sistem representasi. Supaya proses sistem representasi tersebut bisa sedemikian rupa maka digunakan kode untuk menghubungkan keduanya. Kode memperbaiki hubungan antara konsep dan tanda. Kode memantapkan makna dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Kode memberitahu kita bahasa yang digunakan untuk menyampaikan yang ide. Kode juga mengatakan kepada kita yang mana konsep yang diacu untuk kemudian kita dengar atau baca melalui tanda. Dengan berubah- ubanya perlengkapan yang menghubungkan antara sistem konsep dan sistem bahasa, kode membuat hal itu mungkin bagi kita untuk berbicara dan jelas didengar, dan kemampuan menterjemahkan antara konsep dan bahasa kita yang memungkinkan makna disampaikan dari pembicara ke pendengar dan secara efektif dikomunikasikan kedalam sebuah budaya. Kemampuan menterjemah ini tidak diberikan alam atau ditentukan Tuhan. Ini adalah hasil dari seperangkat persetujuan sosial (Hall, 1997: 21-22). Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, maka Hall (1997: 24-25) menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan reflektif, memandang fungsi bahasa sebagai cermin yang merefleksikan makna
37
yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada. Dalam pendekatan reflektif ini istilah mimesis yang hadir dimaknai sebagai bahasa yang merefleksikan atau menirukan kenyataan. Kedua, pendekatan intensional, yang memandang makna sebagai bagian dari maksud pengarang (author). Makna berada dalam intensi pengarang karena kata-kata bermakna sesuai dengan kehendak pengarang. Pengarang bermaksud menunjukkan keunikannya ke dunia luar melalui bahasa. Kata-kata menjadi bermakna manakala pengarang menguraikan apa yang mereka maksudkan. Di sini pengarang yang didaulat sebagai pembuat representasi. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, menyebut bahwa makna terkontruksi dalam bahasa dan melalui bahasa. Dalam pendekatan ini dipercaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. Pendekatan ini memperkenalkan kepada publik apa yang disebut sebagai karakter sosial bahasa (social character of languange). Makna tidak hanya diperoleh melalui intensi pengarang, namun didapatkan juga melalui sistem representasi. Kitalah, sebagai pengguna bahasa,
yang mengkonstruk
makna dengan
mempergunakan sistem representasi berupa konsep-konsep dan tanda-tanda. Dengan kata lain pendekatan konstruksionis berpendapat bahwa penggunaan tanda-tanda yang diorganisir ke dalam berbagai bentuk bahasa untuk menyampaikan sesuatu dengan sepenuh arti kepada orang lain. Pendekatan terakhir inilah yang kemudian melahirkan meaning is constructed seperti yang dikemukakan Stuart Hall. Makna tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda melainkan terbangun ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang juga telah memiliki serangkaian konsep sesuai budaya yang telah dimiliki
38
sebelumnya (Hall, 1997:28). Pendekatan konstruksionis sendiri pada dasarnya mempunyai dua varian penting, yakni: pendekatan semiotik dan diskursif. Pendekatan semiotik dipelopori oleh Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai Bapak linguistik modern. Sumbangan pentingnya terletak pada kaitan yang diberikan oleh kode antara bentuk ekspresi yang digunakan bahasa yang disebut dengan „penanda‟ (signifier) dan konsep mental yang berasosiasi dengannya yang disebut dengan „petanda‟ (signified).
Hubungan
antara
kedua
sistem
representasi
ini
menghasilkan tanda (sign) yang digunakan untuk mengacu pada objek, manusia, peristiwa di dunia „nyata‟. Sedangkan pendekatan diskursif, yang dirintis oleh Michael Foucault, menaruh perhatian pada kuasa yang senantiasa hadir dalam setiap wacana. Foucault tidak menganalisa teks dan representasi secara khusus sebagaimana yang dilakukan kalangan semiotis tetapi ia lebih tertarik pada formasi diskursif (discoursive formation) tempat teks berlangsung. Ia melihat relasi pengetahuan-kuasa senantiasa berakar pada konteks dan sejarah tertentu; ini merupakan perluasan terhadap jangkauan dari representasi (Budi, 2005). Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana poligami, penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol oleh media. Pengontrolan itu dapat dilakukan melalui dua cara pertama, pengontrolan terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh berbicara, siapa yang bisa mendengar dan mengiyakan serta sumber dan bagian mana yang perlu bahkan dilarang untuk diberitakan. Kedua, pengontrolan terhadap struktur wacana, diwujudkan oleh seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan sehingga bisa
39
menentukan bagian mana yang harus atau tidak perlu ditampilkan (Eriyanto, 2006). Hal itu menurut Bourdieu hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan karena mereka memiliki modal budaya yang tepat sebagai sesuatu yang mempunyai makna simbolis seperti gengsi, status, otoritas, selera, tingkat pendidikan dll. Maka untuk bisa selamat melewatinya seseorang diharuskan memiliki posisi kemelekhurufan budaya (cultural literacy) yang kuat yakni kemampuan rasa untuk menegosiasikan segala aturan budaya dan pengetahuan akan medan budaya yang dihadapi misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama, juga filsafat dll. Melengkapi hal itu, Foucault melihat bahwa kekuasaan yang diproduksi oleh kelompok dominan melalui prosedur tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung akan melahirkan kekuasaan berikut resistensinya (Budianta, 2002). Dalam kaitannya dengan konsep wacana poligami, representasi diibaratkan sebagai „medan perang‟ kepentingan atau kekuasaan (Budianta, 2002). Di sana wacana yang dominan (doxa)6 dengan wacana lain yang ingin menggugatnya saling bertarung atau mendukung kepentingan tertentu untuk memperoleh legitimasi
simbolik.
Wacana
dominan
akan
terus
berusaha
untuk
mempertahankan keberadaannya, sedangkan wacana-wacana yang terpinggirkan akan terus menerus berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan bersiap-siap untuk mengambil posisinya. Namun, penguasaan kelompok dominan atas kapital
6
Do xa adalah wacana yang diterima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi dipertanyakan kebenarannya dan tidak pernah lagi dipertanyakan sebab dan musababnya. Bentuk doxa b isa berupa kebiasaan-kebiasaan sederhana seperti cara duduk atau cara makan sampai wacana lain yang lebih luas. Do xa biasanya didukung oleh kelo mpok sosial yang dominan dan berkuasa. Lihat Su ma Riella Rusdiarti, „Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam Basis, Nomor 11-12, 2003, hal 38
40
ekonomi, kapital budaya dan kapital sosial sangat jauh dari cukup untuk dapat dilawan sehingga mereka dapat merepresentasikan wacana sesuai dengan logika mereka untuk menciptakan „kebenaran‟ menurut versi mereka atau menciptakan versi resmi dunia sosial. Pagelaran berbagai macam kuasa pada wacana poligami tentunya akan direpresentasikan melalui bahasa. Bahasa mampu melakukan semua itu karena ia beroperasi sebagai sebuah sosial representasi yang berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar), seseorang bisa mengungkapkan pikiran, konsep dan ide- ide tentang sesuatu. Makna sesuatu tersebut sangat tergantung dari cara kita „merepresentasikannya‟. Dengan mengamati kata-kata yang dipergunakan dan imej- imej yang diberikan dalam merepresentasikan sesuatu, terlihat jelas nilai- nilai yang diberikan pada sesuatu tersebut. Namun, kerap kali penonjolan dan pemakaian kata-kata tertentu dalam bahasa tidak digunakan secara sadar melainkan setengah sadar (semi-consciously) atau bahkan tidak sadar (unconsciously) sehingga representasi yang tercipta menjadi ternaturalkan (naturalized)-yakni statusnya sebagai konstruksi menjadi terhapuskan. Hal itu menurut Bourdieu (dalam Budianta, 2002) berlangsung melalui eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi bekerja secara halus, tidak dapat dikenali dan dipilih secara „tak sadar‟. Bentuknya berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala atau belas kasihan. Sementara, mekanisme sensorisasi menjadikannya tampak sebagai bentuk dari pelestarian
41
semua bentuk nilai yang dianggap sebagai „moral kehormatan‟ seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan „moral rendah‟ seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan dan lain- lain. Semua itu hanya dapat dicapai melalui penguasaan bahasa secara canggih dan penuh strategi. Dengan demikian, apa saja yang dikemukakan majalah Islam merupakan representasi atas apa yang disampaikan oleh aktor sosial, baik redaktur majalah maupun wartawan atau para penulis tetap maupun penulis yang bersifat freelance dalam menyusun makna tentang poligami. Penggunaan kata-kata tertentu dalam bahasa maupun bentuk
visual yang ditampilkan tentang isu poligami
menunjukkan ragam pandangan majalah Islam tersebut karena masing- masing majalah Islam menghadirkan berbagai kalangan yang berbeda sebagai narasumber, serta beragam sudut pandang yang secara implisit sebenarnya menunjukkan keberpihakan majalah Islam. Oleh karena itu, teks maupun tampilan visual dari majalah Islam apabila berkaitan dengan poligami dianggap sebagai representasi majalah Islam tersebut dalam wacana poligami. 1.5.2.2 Media sebagai Alat ideologi Media massa merupakan ruang untuk merepresentasikan berbagai ideologi di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam. Posisi ini menjadikan media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah tetapi akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Sehingga kemampuan media sebagai mekanisme integrasi sosial dalam membentuk opini publik dikonstruksi
42
sesuai dengan kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama dalam komunitas. Akibatnya, kelompok yang berada di luar itu akan dipandang sebagai penyimpang (deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Proses marjinalisasi ini berlangsung secara wajar, apa adanya, dihayati bersama bahkan diterima sebagai kebenaran tanpa mempertanyakan motif politik-ideologis tertentu yang bersembunyi dibalik teks-teks berita tersebut. Istilah ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk menjelaskan ilmu tentang ide yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenali prasangka dan bias-bias mereka (Kaplan,2000; Cavallaro, 2004). Seringkali istilah ini hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide seperti ketika berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Ideologi di sini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide- ide besar akan tetapi ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Ideologi itulah yang membuat liputan media memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih penting ketimbang pandangan kelompok lain dan sebagainya (Sudibyo, 2001). Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka kedalam logika pasar hingga menempatkan pembaca pada posisi dan hubungan sosial tertentu. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat „kesadaran palsu‟ pada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted seperti konsepsi Marx. Dalam hal ini, kesadaran pembaca dibentuk dan diproduksi melalui teks berita dengan menempatkan mereka untuk
mengikuti ideologi dominan yang lebih
mengutamakan
43
terjaminnya kelangsungan ekonomi dan pasar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi mengganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Sementara itu, Louis Althusser (2008: xvii), seorang pemikir Prancis dan pelopor kajian ideologi mikro, berpendapat bahwa ideologi adalah suatu kepercayaan yang tertanam tanpa disadari (profoundly unconcious). Ideologi membawa kita bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata, menerima yang semu seperti nyata. Tetapi oleh karena sifatnya yang tidak disadari, manusia merespon seolah semua itu nyata, menanggapi ilusi sebagai sebagai realitas yang sesungguhnya. Apalagi ketika ideologi itu terus direproduksi maka mereka pun bersifat lebih efektif melayani kelas dominan. Oleh karenanya, satu-satunya pengertian yang dapat kita raih tentang diri kita sendiri, relasi sosial, dan pengalaman sosial, tak lain merupakan hasil praktik ideologi dominan. Ideologi sebagai sebuah praktik/ tindakan yang dikemukakan Althusser (2008, 39-47; Thompson, 2007: 150) memiliki tiga tesa. Tesis pertama menyatakan bahwa ideologi tidak mewakili realitas tapi kehidupan manusia kaitannya dengan kondisi eksistensinya. Relasi ini adalah „imajinasi‟ dalam pemahaman bahwa ia adalah bentuk dimana subjek „menghidupkan‟ relasinya dengan dunia dan dirinya, hidup diandaikan dengan pembentukan dirinya sebagai subjek. Tesis yang kedua menegaskan bahwa ideologi memiliki eksistensi material: representasi yang membuat ideologi tertulis dalam tindakan sosial dan diekspresikan dalam bentuk objektif. Jika seorang individu „mengimani‟ Tuhan,
44
misalnya, kemudian pergi kegereja secara teratur, sembahyang, mengakui dosa-dosanya, demikian seterusnya;‟keyakinan direalisasikan dalam praktik tertentu yang diatur oleh ritual-ritual yang berhubungan dengan aparatus ideologis. Tesis ketiga Althusser diekspresikan dalam slogan yang selalu dikutip, „ideologi menginterpelasi individu sebagai subyek‟. Sebagaimana dalam kasus polisi yang berteriak pada seseorang yang meyakini bahwa teriakan itu benar-benar dialamatkan kepadanya, demikian juga dalam ideologi, individu dibentuk sebagai sebuah subjek melalui sebuah proses interpelasi di mana subjek mengakui dirinya sebagai subjek, sekalipun subjek tidak mengakui bahwa subjektifitasnya merupakan hasil produksi. Dalam kekuasaan modern, individu- individu yang dahulunya diperintah, diarahkan bahkan dimanipulasi maka sekarang ini justru dilibatkan sebagai mekanisme kontrol dimana orang tidak merasa dikuasai. Melalui pengertiannya mengenai „kelompok represif‟ dan „ideologi aparatus negara‟, Althusser mengatakan
bahwa
kedua
perangkat
tersebut
berfungsi
sama
yakni
melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Oleh karena itu Althusser mengembangkan konsep perantara mengenai „interpelasi‟ untuk menempatkan individu dalam posisi dan hubungan sosial tertentu. Interpelasi merupakan suatu tata cara dimana ideologi modern mengklaim individu menjadi subjek ideologi. Manusia sebagai subjek identik dengan subjek bagi struktur menurut Althusser (2006: 84; 2008: 45-46), dimana struktur tersebut bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk dan identik dengan kelompok penciptanya,
45
individu- individu di sini dikatakan sebagai subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut. Kendati seringkali merasakan diri sebagai subjek yang bebas, kebebasan atau kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau perangkat-perangkat (RSA maupun ISA). Dengan kata lain, ideologi atau perangkat negara hanyalah suatu alat untuk membangkitkan ilusi dan menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan alat intervensi bagi perjuangan kelas. Subjek yang dibentuk ideologi tersebut bersifat imajiner karena kekuasaan hanya berpretensi menghargai ideologi dan tidak mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kemampuan ideologi (Althusser, 2008: xi). Menurut Lacan (dalam Budianta, 2002) konsep imajiner adalah suatu kondisi sebelum subjektivitas seseorang (kemampuan seseorang mengenali dirinya sebagai subjek, sebagai aku) terbentuk. Dalam wilayah imajiner ini tidak ada pemisahan antara subjek dan objek, tidak ada waktu yang linear. Segala sesuatu bercampur aduk dalam suatu kondisi yang penuh harmoni dan kenikmatan. Proses subjektivitas terjadi melalui proses yang disebut fase cermin (mirror-stage), yaitu proses ketika subjek dapat „bercermin‟ dan melihat dirinya sendiri. Proses ini sekaligus merupakan proses meninggalkan wilayah imajiner untuk memasuki wilayah simbolik yaitu wilayah bahasa. Dengan mendapatkan subjektivitas tersebut sang aku pun sekaligus memasuki dunia aturan dan norma, dunia kebahasaan yang linear. Pada dasarnya, teks-teks di media merupakan representasi dari fungsi
46
ideologis media, yang lebih jauh memberikan kontribusi dan reproduksi hubungan sosial dari dominasi dan eksploitasi. Representasi ideologi media secara umum memang implisit daripada eksplisit dalam teks, dan ditanamkan dengan cara penggunaan bahasa yang dinetralkan (Fairclough, 1995: 44-45). Fairclough (1995) memahami ideologi sebagai proposisi-proposisi yang secara umum membingkai asumsi-asumsi (yang diterima begitu saja) tersirat dalam teks, yang menyumbang pada produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara, hubungan dominasi, ideologi juga tersirat dalam cara menaturalisasikan pengorganisasian jenis-jenis interaksi tertentu. Fairclough melihat media sebagai publik politis yang efektif, yaitu ruang untuk debat dan diskusi rasional mengenai isu politik. Mengacu pada Tolson (1991) yang melihat ruang publik memiliki kontradiksi di dalam (inncer contradiction); dan dapat berubah-ubah diantara tuntunan untuk informasi dan untuk hiburan- Fairclough melihat adanya ketegangan antara tekanan untuk meningkatkan rating melalui isu media yang menghibur dan tekanan untuk menyediakan informasi dan layanan pendidikan publik. Berkaitang dengan hal tersebut, ia berpendapat bahwa analisis media lebih diajukan pada aspek yang berorientasi pada output (misalnya pemberitaan) yang dibentuk secara ideologis. Selanjutnya, menurut Fairclough (1995), konsep ideologi sering mengandung distorsi, „keadaan palsu‟, dan manipulasi kebenaran dalam mengejar kepentingan tertentu. Satu-satunya cara untuk memperoleh akses pada kebenaran adalah melalui representasi kebenaran dan sudut pandang, nilai, dan tujuan tertentu. Karena kebenaran selalu problematik dalam pengertian yang absolut, maka
47
representasi kebenaran dapat dibandingkan dalam kerangka parsialitas, kelengkapan dan ketertarikan (interstedness) dari posisi dan sudut pandang tertentu. Namun kita dapat membandingkannya dalam kerangka sejauh mana mereka memiliki semangat publik (public-sprited) atau mengandung kepentingan sendiri (self-interested). Konklusi yang dapat diambil berada di sekitar relatifitas ke(tidak)benaran representasi. Representasi dalam teks media bisa berfungsi secara ideologis jika mereka menyumbang pada reproduksi hubungan dominasi dan eksploitasi. Representasi ideologis umumnya lebih implisit daripada eksplisit dalam teks; yang meliputi: apa yang mereka masukkan (include) dan apa yang mereka keluarkan (exlude), apa yang menjadi latar depan (foregroun) apa yang menjadi latar belakang (background), darimana mereka berasal dan faktor/kepentingan apa ya ng mempengaruhi formulasi dan proyeksi mereka. Representasi ini juga terkait dengan naturalisasi dan komersialisasi cara-cara penggunaan bahasa bagi reporter, khalayak, dan berbagai kategori pihak ketiga. Cara-cara seperti ini merupakan postulat atau asumsi yang diterima begitu saja bagi koherensi wacana (Fairclough, 1995). Dengan pandangan semacam ini, wacana poligami tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah karena dalam setiap wacana poligami selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Seperti ungkapan John Fiske (2012) bahwa kerja ideologi selalu mendukung status quo, sistem ekonomi diorganisir sesuai dengan kepentingan mereka dan sistem ideologi diambil dari kerja itu untuk menyebarkan gagasan mereka. Bagi
48
Fiske, semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja untuk dominasi kelas, perbedaannya hanya pada cara kerja dan tingkat kefektifannya. 1.5.2.3 Identitas Perempuan dalam Rumah Tangga Identitas adalah sesuatu yang dipersembahkan, dikonstruksi, diperankan atau diproduksi dari waktu ke waktu dalam setiap pembicaraan (Benwell dan Stokoe, 2006: 49). Proses pengulangan dalam setiap pembicaraan itu seakan-akan merupakan proses tidak sadar. Padahal, sebenarnya yang dilakukan merupakan sebuah kesadaran yang terakumulasi dan menjadi semacam tindakan terulang karena dilakukan secara terus menerus dalam keseharian (Udasmoro, 2014: 36). Tindakan berulang ini pun dapat membentuk struktur-struktur pengulangan dalam kehidupan perempuan yang poligami, misalnya pendefinisan istri yang ideal dalam konteks Islam yakni istri shaleha. Istri yang shaleha didefinisikan secara sosial melalui proses yang panjang. Dari waktu ke waktu „yang shaleha‟ sebagai yang taat pada suami, beriman, mampu merawat anak, diulang dalam wacana sehari- hari sampai kemudian orang percaya bahwa istri yang shaleha adalah memang yang memiliki kategori tersebut. Identitas seseorang pada umumnya bersifat melekat dalam diri dan adapula yang mengalami perubahan karena berbagai pengaruh dari luar. Menurut Jenkins (2008:95) identitas personal tak ubahnya seperti sebuah sejarah atau biografi yang di dalamnya terdapat seperangkat perbuatan yang konsisten terikat keunikannya. Meskipun demikian, Burke and Stets (2009:130) mengingatkan bahwa identitas tidak selalu bekerja dalam keterisolasian, tetapi terjadi interaksi dengan identitas lain dalam situasi yang berbeda. Begitu pula identitas
49
perempuan yang dilekatkan sejak lahir, kemudian menjadi seorang gadis dan menjalani pernikahan hingga menjadi seorang istri, ibu dari anak-anaknya dan sebagai ibu rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang sudah lama terbentuk dengan sendirinya dalam kehidupan. Merujuk pada pendapat Jekins, Burke dan Stets di atas, sesungguhnya identitas pada seorang perempuan adalah multiple identity berasal dari pengalaman individu dan sosial yang terus bergerak (Udasmoro, dkk, 2014:32). Ternyata identitas yang dianggap melekat sebenarnnya mengalami berbagai perubahan. Ketika perempuan menginjak usia remaja atau menjadi seorang gadis, identitasnya pun bersifat dinamis karena terjadi proses pencarian jati diri dan imitasi terhadap berbagai atribut menarik baginya. Mereka mengalami proses konstruksi baik yang berasal dari sosial tempat dia berada maupun dari dalam diri remaja itu sendiri (Udasmoro, dkk, 2014:30). Kondisi demikian digambarkan sebagai berikut. An example of the first is a situation in which an adolescent, who is both a friend and a daughter, is interacting in a situation that activates both of these identities at the same time, for example, when the daughter has friend visit and her parent are present. In this situation, what it means to be a friend (perhaps by acting “sophisticated” with the friend) may be at odds with what it means to be a daughter (not acting “sophisticated”) (Burke and Stets, 2009:130). Berdasarkan contoh di atas, seseorang anak perempuan mengalami dilema ketika pada saat yang sama ia harus memilih menjadi seorang anak gadis dan bersama orang tuanya atau pergi bersama temannya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa self-identity merupakan realitas yang berasal dari pengalaman. Pengalaman tidak sebagai itself given (pembawaan sendiri) tetapi
50
identitas diri yang dikreasikan atau diolah dari realitas (Fergosun, 2009:81). Begitu pula dongeng, cerita rakyat, hingga dalam berbagai tayangan di televisi merupakan refleksi dari multiple identity. Ketika perempuan menjalani masa transisi atau menginjak perkawinan, dalam berbagai dongeng, perempuan selalu dilekatkan sebagai pihak yang menunggu kehadiran laki- laki sebagai sang pangeran penyelamat. Dongeng putri Cinderella hingga kini terus memasyarakat karena ditayangkan dalam film animasi dan terakhir diperankan secara langsung oleh aktor dan aktris. Identitas Cinderella sebagai seorang perempuan yang hidup dalam penderitaan akibat perlakuan kedua saudara tiri dan ibu tirinya, kemudian hidupnya berubah menjadi seorang putri karena dipersunting oleh putera mahkota. Oleh karena Cinderella adalah cerita dongeng, maka nasib baik seorang gadis seperti Cinderella hanyalah angan-angan belaka. Apabila dalam kehidupan nyata ditemukan seorang gadis menikah dengan pihak putera mahkota kerajaan, seperti Kate Middleton yang dinikahi pangeran William, ataupun seorang perempuan yang bekerja sebagai pegawai bank kemudian akan dinikahi oleh putera Presiden Jokowi, mereka dianggap sebagai Cinderella dalam kehidupan nyata. Kedudukan perempuan dalam cerita Cinderella dapat dilihat sebagai kontestasi sesama perempuan yang memperebutkan lelaki pujaan hati, dan posisinya akan terangkat apabila menemukan laki- laki dengan status sosial lebih tinggi. Hal ini menunjukkan kedudukan perempuan lemah di hadapan laki- laki. Cerita-cerita dari Barat tentang Cinderella, Putri Tidur atau Putri Salju masih pula dibaca anak-anak. Cerita-cerita ini lebih mengisahkan putri yang pasif yang menunggu datangnya pangeran penyelamat (Udasmoro, dkk, 2012:65). Hal
51
berbeda dalam dongeng Candi Prambanan, ketika seorang laki- laki ingin menikahi Roro Jonggrang, ia pun meminta dibuatkan seribu candi dalam satu malam. Permintaan mustahil tersebut menunjukkan tingginya posisi tawar seorang perempuan dalam menempuh pernikahan, sekaligus sebagai seleksi pilihan hidup yang berkualitas. Identitas perempun akan bersifat ganda jika ia sudah mengarungi kehidupan rumah tangga. Pada mulanya identitasnya adalah sebagai seorang istri, sehingga dalam penyebutan atau panggilan nama resmi pada masyarakat patrilieal adalah nama suami melekat dalam nyonya. Begitu juga jika suami memiliki jabatan tertinggi dalam suatu institusi, misalnya kepala desa, maka seorang istri dipanggi “ibu Kades”. Identitas tersebut dikonstruksi oleh ikatan sosial yang lebih tinggi dalam kehidupan seorang perempuan. Itulah sebabnya, kita dengan mudah membayangkan hubungan kita dengan nama yang melekat sebagai suatu cara yang primordial (Fergosun, 2009:83). Namun kadangkala perempuan menolak nama keluarga dari pihak suaminya sebagai „married name‟ sebagai upaya untuk melekatkan nama keluarganya sendiri (Fergosun, 2009:91), lebih dari itu, kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki sebab identitas tersebut hanya melekat pada perempuan saja. Sebutan “ibu negara,” “ibu pertiwi,” dan “ibu negara” tidak memiliki padanan istilah yang sama jika dikaitkan dengan laki- laki. Istilah “ibu” menjadi kata sifat sebagai identitas feminim yang melekat perempuan yang tidak bisa berubah atau diubah oleh keadaan apapun. Identitas perempuan sebagai seorang ibu meskipun sedemikian kokoh tetapi juga menjadi multitafsir, sebab nama menunjukkan posisi konseptual dan
52
kontekstual dan dari situlah arah untuk memahami sepenuhnya tentang identitas diri (Fergosun, 2009:83). Istilah “ibu tiri” selalu dikonotasikan sebagai tokoh antagonis dalam kehidupan rumah tangga terutama bagi seorang anak buah dari perkawinan suaminya dengan perempuan lain. Gambara n ibu tiri bagi seorang anak adalah sosok menyiksa ketika ayah kandung sedang tidak ada di rumah, sebaliknya ibu tiri akan bersikap manusia jika sang ayah kembali berada di rumah. Pada sisi lain, identitas perempuan menjadi sakral dalam hubungan ibu dan anak kandungnya. Ibu kandung tidak boleh disakiti karena murka ibu kandung yang disakiti akan membuat dampak buruk. Pesan ini dapat diketahui melalui dongeng dari Sumatera Barat dalam cerita Malin Kundang, seorang anak yang durhaka dan tidak mengakui ibu kandungnya. Ibu kandung Malin Kundang merasa kecewa dan dipermalukan oleh sikap anaknya, kemudian Malin Kundang berubah menjadi batu setelah dikutuk ibu kandungnya. Narasi tersebut bukan hanya sekedar diperdengarkan ke anak cucu. Narasi tersebut mencakup di dalamnya politik identitas, politik representasi, dan produksi dan reproduksi makna hadir terus menerus (Udasmoro, dkk, 2012:51). Jadi identitas perempuan sebagaimana teori identitas bahwa identitas sesungguhnya selalu mengalami perubahan (Burke and Stets, 2009:175). Perubahan identitas itu sendiri bersumber pada empat hal. Pertama, perubahan situasi dari identitas standar kepada kondisi yang relevan. Kedua, identitas konflik yang terjadi karena multiple identity berada pada level berbeda dalam waktu bersamaan. Ketiga, perubahan identitas terjadinya konflik antara pemaknaan sikap dan pemaknaan yang terkandung dalam identitas standar.
53
Keempat, perubahan identitas dapat terjadi sebagai bagian dari strategi adaptasi yang disatukan dalam identitas yang dapat membantu mereka yang dinamakan mutual verification context, bahwa suatu identitas tidak hanya bersifat personal tetapi juga menjadi identitas partisipan (Lihat, Burke and Stets, 2009). Pandangan yang demikian itu dapat membantu untuk menjelaskan bahwa identitas perempuan yang direpresentasikan majalah Islam pada isu poligami adalah sesuatu yang given dan telah didefenisikan secara berulang-ulang dalam waktu yang panjang. Hal ini semakin meyakinkan ketika identitas perempuan yang ideal secara sosial dikonstruksi sedemkian rupa untuk menegaskan kenyataan yang sebenarnya dalam masyarakat tentang kodrat perempuan. Perubahan identitas bisa saja terjadi sesuai dengan keinginan selama media mampu melakukan pengontrolan terhadap identitas tersebut. Pada akhirnya identitaslah yang menjadi alat membentuk dirinya dan bukan dirinya yang membentuk identitas. 1.5.2.4 Konsep Poligami di Indonesia Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas poli (banyak) dan gamy (perkawinan). Hal itu mengacu pada pasangan yang berlainan jenis kelamin memiliki lebih dari satu perkawinan di saat bersamaan (Nurmila, 2009: xix). Istilah poligami meliputi poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan antara satu orang perempuan dengan satu atau lebih laki- laki, sementara poligini mengacu pada perkawinanan antara seorang laki- laki dengan dua orang atau lebih perempuan.
Di Indonesia,
istilah poligami
lebih
dikenal dan
sering
diperbincangkan masyarakat karena mengundang pandangan yang kontroversial.
54
Poligami dipahami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Selain poligami, praktik lain bagi istri yang memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang sama dikenal dengan istilah poliandri (Mulia, 2004: 43-44). Penggunaaan istilah poligami dalam kajian ini merujuk pada konsep poligini dikarenakan istilah poligami lebih umum digunakan masyarat Indonesia. Kebalikan dari poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Perkawinan monogami dinilai oleh sebagian umat Islam sebagai implementasi atas keadilan yang paripurna dari sebuah relasi dalam keluarga ideal yang lebih memungkinkan seseorang untuk tidak terjebak pada prilaku tidak adil baik secara materil maupun non materil. Kalangan ini melihat kehidupan perkawinan Nabi selama dua puluh delapan tahun bermonogami dengan Khadijah sebagai simbol otentik dalam upaya transformasi kultural menuju pembebasan manusia dari tiranik yang menindas. Upaya ini sebagai suatu cara untuk mencari pemaknaan yang lebih berakar dari bentuk perkawinan agar pesan transformasi sosial dari kedua bentuk perkawinan tersebut tidak bisa mengangkangi prinsip dasar untuk berlaku adil, dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Monogami meskipun pilihan terbaik dalam sebuah perkawinan tetapi poligami seringkali dianggap masyarakat sebagai solusi yang memiliki pembenaran dalam pelaksanaan. Sebagaimana dikemukakan Ashabuni (1980) dan Azzuhaili (1989) bahwa sebagian besar kalangan ahli hukum Islam berpandangan atas kebolehan beristri lebih dari satu. Namun, praktik poligami secara historis
55
sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pra Islam dengan jumlah tanpa batas.Kemudian Islam hadir melalui Nabi Muhammad saw mereformasi dengan pembatasan hanya empat orang istri, dengan persyaratan dapat berbuat adil. Jika merasa tidak mampu berbuat adil di antara para isterinya, maka diwajibkan beristri hanya satu atau menikahi budak yang dimilikinya. Praktik poligami ini merujuk al-Qur‟an (4:2-3), para ulama (imam Malik, Hanafi, Hambali dan as-Syafi‟i) membaca ayat tersebut sebagai kebolehan bagi laki- laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Perkawinan poligami menurut Marcoes (2005:Ii) pada dasarnya terdiri atas dua jenis pola yaitu pertama, romantic love marriage, penerimaan poligami ini biasanya berlangsung sangat alot. Banyak dari perkawinan itu berakhir dengan perceraian. Umumnya suami pertama-tama akan berkeras dan menolak opsi perceraian dengan alasan masih mencintainya. Penolakan si istri dengan mengajukan opsi “pilih saya atau cerai” akan menentukan ke mana bahtera itu akan dikayuh, lanjut atau cerai. Akan tetapi jika si istri menerima perkawinan itu, maka dalam pola romantic love marriage itu dipastikan di dalamnya akan dipastikan terus menerus berlangsung perang terbuka atau perang dingin. Apabila si istri berhasil mentransformasikan situasi itu dengan misalnya mengambil manfaat untuk menyenangkan diri dan anak-anaknya sehingga si suami tak lebih hanya sapi perahan maka perkawinan poligami itu bisa bertahan. Dalam pola romantic love marriage, penerimaan si istri atas perkawinan kedua
dan seterusnya seringkali
didasarkan
atas
pertimbangan
untuk
mempertahankan sebuah keyakinan bahwa rumah tangganya telah dibangun
56
berdasarkan cinta. Perceraian bagi mereka hampir bukan pilihan karena perceraian merupakan penghancuran atas seluruh bangunan keyakinan atas keluarga yang selama ini telah dibangunnya dengan cinta dan kesetiaan. Tak heran misalnya ada perempuan yang dengan sangat terpaksa menerima perkawinan poligami itu, meskipun secara finansial mereka cukup mandiri. Kedua, perkawinan poligami yang dasarnya adalah economic marriage. Poligami tidak bisa lain harus diterima dan dirasionalisasikan karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Bentuk poligami ditemui pada masyarakat agraris, dalamkeluarga-keluarga petani pegunungan, atau para pedagang yang nomade. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk pengehmatan pengelolaan sumber daya. Tanpa sususah payah, lewat poligami diperoleh tenaga kerja ganda lewat upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota, meskipun struktur masyarakatnya telah berubah. Misalnya praktik poligami yang dilakukan seorang bakul ayam goreng yang konon dapat melaksanakannya dengan harmonis. Sementara untuk kalangan priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan tahta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial laki-laki. Dari cara pandang budaya, poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat manakala perempuan yang dipoligami mengalami self depreciation. Mereka membenarkan bahkan bersetuju dengan tindakan poligami, meskipun mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Tak sedikit di antara
57
mereka yang menganggap bahwa penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahan sendiri. Abduh (dalam Marcoes, 2005: Iiii) menyatakan bahwa untuk memberi status hukum poligami seharusnya dilakukan pengujian di lapangan dengan menanyai perempuan sebagai pihak yang menerima akibat poligami. Jika ternyata lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Hal itu memperlihatkan bahwa poligami sanggup membunuh karakter dan kepribadian perempuan. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cultural studies, yaitu suatu pendekatan yang menganggap budaya bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah pergumulan dan konflik. Artinya adanya proses pertarungan ideologis dengan menghadirkan makna ganda, makna selalu merupakan akibat dari tindakan artikulasi, sebab makna harus diekspresikan dalam konteks yang spesifik (Storey, 2007). Metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analisis) Norman Fairclough (Jorgensen dan Phillips, 2007: 122-123) digunakan dalam penelitian ini karena Fairclough mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat ya ng lebih luas. Fairclough merasa bahwa analisis teks itu saja tidaklah memadai bagi analisis wacana dan juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan proses kultural serta kemasyarakatan. Oleh karena itu Fairclough mengkritik pendekatan linguistik yang semata- mata hanya memusatkan perhatian pada teks dan menggunakan pemahaman simpisitis tentang hubungan antara teks dan
58
masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengagas analisa wacana kritis lainnya yakni Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew dalam mengeksplorasi hubungan antara struktur gramatikal dan hubungan sosial. Termasuk Van Dijk yang lebih menekankan pada kognisi sosial individu dengan memproduksi pesan teks tersebut dan Sara Mills yang juga menekankan pada analis struktur text ( Van Dijk, 1998: 263-264; Mills, 1997). 1.6.2 Sumber Data Sumber primernya berupa teks pada majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR yang membahas isu poligami selama bulan Februari 2006 hingga Januari 2007. Alasan pemilihan bulan Februari 2006-Januari 2007 antara lain: pertama, masyarakat sudah sampai pada titik puncak kemuakan terhadap praktik poligami (Arivia, 2006: 40) meskipun mereka sudah sering kali menyaksikan sejumlah kaum priamulai dari pejabat, ulama, hingga para selebriti memamerkan kuasa melalui poligami. Kedua, terjadinya pertarungan wacana antara kelompok pro dan anti poligami di berbagai media massa termasuk majalah Islam sebagai letupan kemarahan serentak perempuan terhadap poligami tokoh panutan. Sumber data yang digunakan penulis dari masing- masing majalah Syir‟ah, majalah Sabili dan majalah Noor sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini:
59
Tabel 1.1 Liputan Poligami di Majalah Syir'ah No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Edisi 52/VI/April 2006 M - Rabiul Awwal 1427 H 55/VI/Juli 2006 M - Jumadil Tsani 1427 H 56/VI/Agustus 2006 M - Rajab 1427 H 57/VI/September 2006 M- Sya’ban 1427 H 61/VI/Januari 2007 M- Zulhijah 1427H 61/VI/Januari 2007 M- Zulhijah 1427H 61/VI/Januari 2007 M- Zulhijah 1427H 61/VI/Januari 2007 M- Zulhijah 1427H 61/VI/Januari 2007 M- Zulhijah 1427H
Kolom/Rubrik Kisah Rasul
Judul Nabi Pisah Ranjang
Penulis Fathuri SR Redaktur Majalah Teguh Winarso AS
Halaman 60-61
Kisah
Malaikat yang Datang Pagi Hari
Kisah
Sebab Ibu Perempuan...Sayan g Suami Penyayang
Azzah Zain alhasani
48-51
Fathuri
62-63
Opini Redaksi
Memilih Sebuah Pernikahan
-
17
Syir’ atuna
Banyak Aral yang Menghalang
Nasrul Umam Syafi’iy
22-25
Syir’ atuna
Antara Akad dan Hasrat
Nasrul Umam Syafi’ iy
26-29
Lembar Toleransi
Poligami, Maslahat atau Mudarat
Abdullah Ubaid Matraji
50
Selilit
Poligami = Makan Pete
AUM
87
Kisah Rasul
48-51
60
Tabel 1.2 Liputan Poligami di Majalah Sabili No 1
Edisi No 16.Th.XIII 23 Februari 2006 M/24 Muharram 1427 H No 17 Th.XIII 9 Maret 2006 M/9 Shafar 1427 H No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Kolom/Rubrik Bimbingan Tauhid
Judul Studi di Australia Jadi Anti-Poligami
-
Halaman 82 - 83
Bimbingan Tauhid
Al-Kitab Melegalkan Poligami
-
100-101
Rosail
SBY & Poligami
Ayu Hamzah
6
Muhasabah
Salah Faham tentang Islam (2) Poligami atau Zina
M.U. Salman
14-15
Telaah Utama
Anti Poligami Berkomplot Menentang Hukum Allah
16-21
No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama
Sepuluh Subhat Menghujat Poligami
No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama
Bola Panas Aturan Perkawinan
Telaah Utama
Selingkuh Disanjung, Poligami Dicerca
9
No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H
Telaah Utama
Yang Berbahagia di Poligami
10
No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H No13 Th.XIV 11 Januari 2007 M /21 Dzulhijjah 1427 H
Kolom
Anti Poligami, Pro Kumpul Kebo
Hepi Andi Bastoni (koordinator Liputan) Laporan: Diyah Kusumawati, Faris Khoirul Anam, Evan Hamzah, Ernie Arie Susanti, Chairul Akhmad Defi Ruspiandi M. Nurkholas Ridwan, Evan Hamzah, Diyah Kusumawardhani, E. Sudarmaji Artawijaya Laporan: Diyah, Evan Hamzah, Kukuh Santoso Dwi Hardianto Laporan: Depi Ruspiyanty, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati Dwi Hardianto Laporan Deffi Ruspiyandi, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati Hartanto Ahmad Jaiz (wartawan, penulis buku)
6
7
Komentar
Bolehnya Poligami, Perkara Niscaya
Fatimah al-Mundzir Bekasi Jakarta
10
2
3
4
5
8
11
Penulis
22-26
24-25
27-29
30-31
32-33
61
Tabel 1.3 Liputan Poligami di Majalah NooR No 1
Edisi 01/Th V/Januari 2007 M/Muharram 1427 H
Kolom/Rubrik Topik Kita
2
01/Th V/Januari 2007 M/Muharram 1427 H 01/Th V/Januari 2007 M/Muharram 1427 H 01/Th V/Januari 2007 M/Muharram 1427 H
Topik Kita
3
4
Judul Esensi Beragama Menyatukan Aqidah & Akhlak Syariah Indahnya Memaknai Hidup
Penulis Badriyah Fayumi
Halaman 14-16
Ade
18-20
Topik Kita
Fenomena Skandal Seks & Polemik
Agus/Foto Rina
22-23
Cerpen
Antara Aku, Istriku & Poligami
Rijal Muttaqin
76-79
Data yang diambil dari tiga tabel di atas menunjukkan wacana poligami ditampilkan dalam berbagai rubrik di masing- masing majalah. Majalah Syir‟ah menampilkan wacana poligami sebanyak 9 judul dari berbagai macam rubrik, tetapi yang dominan menampilkan wacana poligami melalui rubrik kisah, termasuk kisah Rasul dan Syir‟ atuna sebanyak 5 judul. Majalah Sabili lebih banyak menampilkan wacana poligami sebanyak 11 judul dari berbagai rubrik dan yang mendominasi adalah rubrik telaah utama sebanyak 5 judul. Ini berarti majalah Sabili menempatkan wacana poligami sebagai perhatian utama di antara wacana lain. Majalah NooR paling sedikit menampilkan waca na poligami paling sedikit. Koleksi majalah NooR yang dimiliki oleh peneliti dari Januari 2006 sampai Januari 2007 hanya menemukan satu edisi penerbitan tentang poligami yakni edisi Januari 2007. Pada edisi Januari 2007, majalah NooR menampilkan 4 judul tentang poligami dan yang sebagian besar ditampilkan pada rubrik topik
62
kita. 1.6.3 Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa wacana kritis Norman Fairclough, analisis ini berusaha menghubungkan teks yang mikro dengan kontek sosial makro yang dijembatani oleh analisis pada tataran meso. Fokus perhatian analisa wacana kritis Fairclough ini adalah bahasa ditempatkan sebagai praktik sosial. Untuk melihat ideologi pengarang digunakan analisis bahasa secara menyeluruh, karena bahasa dalam konteks ini dipahami sebagai tindakan dalam hubungannya dengan dialektika dan struktur bahasa. Oleh karena itu, pusat perhatian analisis ini adalah bagaimana bahasa diproduksi dan direproduksi dari relasi sosial dan konteks sosial. Model yang dibangun oleh Fairclough (1992) dalam analisisnya disamping dimensi linguistik, adalah ia mengintegrasikan pemikiran sosial, politik menjadi bagian integral dari perubahan sosial. Pemakaian bahasa dalam wacana merupakan bentuk praktik sosial yang memiliki implikasi, antara la in wacana merupakan suatu bentuk tindakan dan bentuk representasi dalam memandang realitas sosial, dan hubungan interaksional antara wacana dan struktur sosial. Kemudian ia memperkenalkan tiga tahap untuk melakukan penelitian dengan metode analsis wacana kritis. Tiga tahap tersebut adalah deskripsi, interpretasi dan eksplanasi dalam menghubungkan teks pada level mikro dengan konteks sosial yang lebih besar, yakni socio-cultural practice. Tiga dimensi yang dilakukan Fairclough ( 1995: 57) dalam analisisnya yaitu teks, praktik wacana, praktik sosiokultural, sebagai berikut:
63
a. Teks Level pertama berupa teks dianalisis secara linguistik, atau deskripsi perhatiannya pada beberapa aspek struktur bahasa, yaitu aspek kosa kata dan gramatika serta struktur teks. 1. Kosa Kata Kosa kata mencakup nilai- nilai ekprensial yang menjelaskan kata-kata ideologis, kelebihan kata atau penyusunan kata kembali, hubungan makna yang mencakup sinonim, hiponim atau antonim. Penekanan pada nilai- nilai relasional, misalnya ungkapan eufemisme, ironi, formal atau informal, dan lain- lain. Kosa kata ini, memberikan pilihan kata sebuah teks yang menciptakan hubungan sosial antar partisipan yaitu pembuat teks dengan pembacanya. Hal yang juga diperhatikan adalah kosa kata yang berhubungan dengan nilai- nilai ekspresif. Kosa kata yang menunjukkan pada evaluasi positif atau negatif sesuatu yang berhubungan dengan ideologi pengarang dalam bentuk penggunaan metafora. 2. Gramatika Aspek-aspek gramatika yang berhubungan dengan nilai- nilai eksperensial, adalah tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, situasi agen tampak jelas atau tidak, proses-proses situasi yang tampak, penggunaan kalimat aktif dan pasif, dan kalimat positif atau negatif. Aspek-aspek gramatika yang berkaitan dengan nilai- nilai relasional, adalah model- model
pertanyaan
yang
digunakan,
relasi-relasi
modalitas,
dan
penggunaan kata ganti. Selanjutnya aspek-aspek gramatika yang berhubungan
64
dengan nilai ekspresif, misalnya aspek-aspek modalitas; memberikan petunjuk tentang sebuah peristiwa. Hubungan antar kalimat sederhana juga diperhatikan, misalnya penggunaan jenis kata penghubung logis, penggunaan kalimat kompleks bersifat koordinasi atau subordinasi, arti kata atau makna yang digunakan dalam menghubungkan teks ataupun luar teks. 3. Struktur Teks Struktur teks ini dikaji tiga unsur adalah, pertama kaida-kaidah interaksional. Aspek yang diperhatikan dalam struktur teks berkaitan dengan penggunaan kaidah-kaidah interaksional. Kedua, ukuran struktur yang dimiliki teks. Teks dirumuskan atas dasar urutan kepentingannya, maka teks dapat menunjukkan evaluasinya atas apa yang layak ditampilkan. Aspek kelayakan tampilan tersebut harus mendapatkan perhatian dalam ranah deskripsi. Ketiga aspek itu akan dianalisis pada teks-teks yang memuat isu poligami di majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR. Dalam menganalisis ketiga majalah itu akan ditampilkan pilihan kata-kata atau teks-teks tertentu yang berhubungan dengan aspek kata dengan unsur eksprensial kata, relasi kata, ekspresif kata dan metafora. Selain itu dalam tataran luas ditampilkan juga aspek gramatikal baik secara eksprensial, relasi dan ekspresi gramatikal. Bagian selanjutnya dalam tataran yang lebih luas lagi yakni ditampilkan keterkaitan antar kalimat, terutama kalimat yang mengandung unsur teks atau kata-kata yang berhubungan dengan praktik wacana poligami.
65
b. Praktik Wacana Level kedua berupa Praktik wacana atau interpretasi (Fairclough, 1995: 58) berkaitan dengan produksi, dan konsumsi teks. Adapun yang dimaksud dengan analisis intertekstual itu sendiri adalah analisis yang berfokus pada perbatasan antara teks dengan praktik wacana. Analisis intertekstual melihat teks dari perspektif praktik wacana, melihat jejak-jejak praktik wacana dalam teks. Analisis ini mencoba mengungkapkan genre- genre dan wacana-wacana - yang seringkali dalam wacana kreatif, bercampur dengan kompleks - yang diartikulasikan di dalam teks.
Pertanyaannya adalah
genre- genre dan
wacana-wacana apa yang dijadikan sandaran dalam memproduksi teks, dan apa saja yang menjadi jejaknya di dalam teks (Fairclough, 1995: 61; Faruk, 2007: 6). Tahap kedua ini merupakan tataran meso dalam analisa wacana kritis Norman Fairclough. Peneliti mencari sumber atau tokoh yang memproduksi teks terkait dengan wacana perempuan yang dipoligami, setelah itu menghubungka n produksi teks tersebut dengan interpretasi penulis teks atau penulis artikel yang didasarkan pada hubungan antar tokoh atau partisipan. Sehingga analisa pada bagian ini adalah hasil kombinasi dari apa yang terdapat dalam teks dan pada penafsir baik penulis atau pun tokoh yang memproduksi teks berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. c. Praktik Sosio-kultural Analisis dari dimensi praktik sosiokultural, suatu peristiwa komunikatif ada pada level abstraksi yang berbeda dari peristiwa yang khusus. Ia dapat melibatkan konteks situasionalnya yang lebih langsung, konteks praktik-praktik institusional
66
yang lebih luas, yang di dalamnya peristiwa itu melekat, atau bahkan bingkai masyarakat dan kebudayaan yang lebih luas lagi. Konteks praktik sosio-kultural ini dapat banyak aspek masyarakat. Setidaknya, ada tiga aspek yang penting, yang perlu mendapat perhatian, yaitu ekonomi, politik (berkaitan dengan soal kekuasaan dan ideologi), dan kultural (berkaitan dengan nilai dan identitas) (Fairclough, 1995: 62; Faruk, 2007: 4). Tahap akhir dari analisa Fairclough yakni tataran makro. Disini ditampilkan praktis-praktis sosial yang terdapat dalam majalah Syir ‟ah, Sabili dan NooR. Untuk mengungkapkan praktik sosial tersebut, terlebih dahulu akan ditampilkan tokoh atau sumber yang memproduksi teks, terkait dengan identitas perempuan yang dipoligami. Pada bagian ini akan diketahui tokoh, sumber atau bahkan penulis teks itu sendiri yang memproduksi teks tentang identitas perempuan dipoligami. Kemudian peneliti mengkaitkan identitas perempuan tersebut dengan ideologi yang dianut majalah Syir ‟ah, Sabili dan NooR. Ideologi itu bisa pada hal- hal yang sederhana tetapi menjadi latar belakang yang mendorong produksi identitas perempuan tersebut berlangsung.