BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dengan memahami agama sebagai kebenaran absolut, sebagian masyarakat meyakini bahwa tidak bisa dibandingkan agama yang satu dengan agama lainnya. Para penganut agama tersebut sering menggunakan klaim kebenaran (truth claim) terhadap agama yang dianutnya sehingga orang-orang mengakui kebenaran mutlak terhadap agama yang dianutnya dan tidak bisa diganggu gugat termasuk dibandingkan. Bahkan agama yang diyakini memiliki kebenaran mutlak tersebut sering digunakan para penganutnya untuk mempertahankan identitasnya, menyerang dan menghancurkan pihak lawan. Hubungan Kristiani dan Islam cenderung bersifat ambivalen, bisa konflik dan bisa konsruktif. 1 Aspek-aspek ganjil dan positif hubungan kedua komunitas agama tersebut dapat dilihat dalam sejarah interaksi kedua komunitas itu. Menurut Mahmoud Ayoub, Al-Qur’an hanya meletakkan sikap kaum Muslim pada saat tertentu terhadap kaum dan agama Kristen dengan pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial konkrit, bukan pertimbangan teologi. 2 Namun, menurut ahli agama lain bahwa sebagian besar aspek negatif dan positif dari hubungan itu berakar dari penekanan yang disengaja terhadap teks-teks
1
Mahmoud Ayoub, Akar-Akar Konflik Muslim- Kristen: Persfektif Muslim Timur Tengah, dalam Buku: Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Passing Over Melintas Batas Agama. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 191. 2 Ibid.
tertentu dari Kitab Injil dan Al-Qur’an yang dianut oleh masing-masing pemeluknya. 3 Salah satu contohnya yaitu pada saat Bapak gereja awal berperang secara kokoh terhadap ekslusivisme keagamaan seperti yang ditunjukkan dalam sebuah slogan yang terkenal “Extra ecclesiam nulla salus” dengan mengutip sebuah firman Yesus yang terdapat dalam Matius Surat keduabelas ayat tigapuluh, “Siapa yang tidak bersama aku berarti menentangku, dan siapa tidak berkumpul denganku, maka tersesat.” Pada saat itu pula ditemukan spirit inklusivisme dalam kitab Cornelius di mana St. Peter berucap kepadanya, “Demi sebuah kebeanaran saya berkata bahwa Tuhan tidak mengasihi siapa-siapa; tetapi dalam setiap bangsa, dia yang tunduk kepada-Nya dan bekerja dengan benar, diterima di sisi-Nya” (Act 10:34-35). Kajian Kristiani dan Islam dapat dilihat secara rinci dari hasil kajian Wilfred Cantwell Smith melalui hubungan paralel atau pebandingan. Smith mengkaji agama dari aspek doktrin terutama hubungan proporsional atau pendekatan persamaan dan perbedaan yang sejajar. Padahal agama sebagai objek kajian para ahli ilmu agama dapat dikaji melalui pendekatan berbagai aspek. Manifestasi dari agama itu, perwujudannya sangat beragam. Manifestai tersebut dapat juga disebut sebagai ekspresi keberagamaan atau pengalaman keagamaan. Smith sendiri memahami agama terdiri dari beberapa bentuk sebagai unsur keagamaan. Unsurunsur tersebut adalah ajaran, symbol, praktek dan lembaga.4
3
Alwi Shihab, Hubungan Islam dan Kristen Abad 21, dalam dalam Buku: Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Passing Over Melintas Batas Agama.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 185. 4 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama- Suatu Pengantar Awal, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm, 3.
Menurut Joseph M. Kitagawa, agama itu dapat dipelajari dengan tujuh macam dari ilmu Perbandingan Agama atau Ilmu Agama berdasar pendekatannya yaitu sejarah Agama Umum, Sejarah Agama Khusus, Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama dan Fenomenologi Agama. 5 Begitu juga menurut Ninian Smart seorang ahli studi agama mengungkapakan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi, seperti doktrin (doctrine), mitologi (mythology), etika (ethics), ritual (ritus), institusi sosial (sosial institution) dan pengalaman keagamaan (religious experience).6 Dengan demikian seharusnya agama dapat dikaji dari berbagai dimensi. Wilfred Cantwell Smith seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama yang terkenal dengan teori personalisasi (personalization) dapat mengkaji agama pada aspek pemahaman doktrin dengan metode perbandingan. Pemahaman doktrin agama dalam masyarakat termasuk pemahaman seseorang terhadap nilai dan norma, karena agama merupakan salah satu sturuktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. 7 Setiap agama pada umumnya menawarkan nilai dan norma berupa ajaran yang mirip sama tentang moral, keselamatan, kemanusiaan, perdamaian batin individu agar manusia menjadi beradab. Ajaran atau doktrin dari masing-masing agama senantiasa merupakan pedoman atau aturan bagi pemeluk agama. Masing-masing penganut agama tertentu meyakini kebenaran terhadap ajaran agama yang dianutnya.
5
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life. Oxford University Press, US, 2001, hlm, 5 6 Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline, Fortress Press Minneapolis, USA, 1995, p. 308. 7 Thomas F. Ode’a, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Terjemahan Tim Yasogama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, cet. ke-6, hlm. 1.
Ternyata Agama yang dianggap sering diklaim memiliki kebenara absolut itu bisa dikaji dengan metode perbandingan. Bagi Smith, hubungan agama Kristiani dan Islam dapat dikaji dengan melihat hubungan paralel atau hubungan proporsional dari unsur-unsur kedua agama tersebut termasuk dimensi doktrin atau teologi yang dimiliki masing-masing agama. Agama tidak hanya memiliki perbedaan tetapi juga memiliki kemiripan doktrin antara agama satu dengan agama lainnya. Fenomenanya adalah hasil pemikiran Smith tentang beberapa persamaan dan perbedaan antara Kristiani dan Islam yang ditulis dalam berbagai buku. Kajian agama yang dilakukan Smith melahirkan teori personalisasi. Teori Personalisasi yang diungkapkan Smith digunakan untuk dialog agama yang menekankan sikap yang harus digunakan dalam menghadapi agama lain yaitu sikap yang menganggap orang lain sebagai bagian dari “kita” atau dalam bahasa Inggris disebut “we”, bukan “it”, “you” dan “They”. 8 Dia menyarankan kapada penstudi agama untuk bersikap kesataraan dengan menggunakan kata “kita” atau dalam bahasa Inggris disebut “we” sebagai puncak personalisasi. Sebagaimana dia ungkapkan dengan ungkapan Bahasa Inggris, We all are talking with each other about us.9 Pentingnya hasil karya Smith mengenai doktrin teologi Kristiani dan Islam tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian. Ketertarikan penulis dalam penelitian ini adalah adanya kecenderungan dari Smith mengkaji agama pada aspek doktrin dan dengan metode perbandingan. Padahal banyak tokoh-tokoh
8 9
Romdon, 1996, hlm,12 Ibid
ahli ilmu agama lainnya mengkaji dari aspek sosial, dan budaya, filsafat dan sebagainya dalam memahami agama. Fenomena analisa perbandingan mengenai doktrin teologis antara Kristiani dan Islam yang ditulis Wilfred Cantwell Smith menimbulkan masalah penelitian sehingga perlu dikaji. Masalah penelitian itu adalah Bagaimana Pemikiran Wilfred Cantwell Smith menganalisa beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam? Masalah penelitian ini berupaya memahami konsep ajaran agama Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith.
B. Rumusan Masalah Perhatian dalam penelitian ini terfokus pada pemahaman atau pemikiran dari Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli Ilmu Agama mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Fokus penelitian ini cenderung pada deskripsi analisis mengenai perbandingan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Kajian ini termasuk kajian agama sebagai pemahaman,10 dan kajian agama sebagai sistem budaya yang memiliki simbol, 11 Simbol-simbol agama tersebut dijadikan cara dalam memahami atau menafsirkan pemikiran agama mengenai konsep doktrin teologi Kristiani dan Islam dari ahli Ilmu Agama yang dianggap penting dalam mengkaji agama. Deskripsi analisis pemahaman Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan
10
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000, cet. ke-1, hlm.72. 11 Clifford Geertz, From the Native’s Point of View: On the Nature of Anthropological Understanding, Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial Science A Reader, University of California Press, California, 1979, p. 228.
doktrin teologi Kristiani dan Islam dinyatakan dalam tiga rumusan pertanyaan. Ketiga rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya?
2.
Bagaimana analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Islam dan Kristen menurut Wilfred Cantwell Smith?
3.
Bagaimana implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu Agama?
C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian Kegiatan penelitian ini merupakan proses pencarian pemahaman analisa perbandingan ajaran Kristiani dan Islam menurut Ahli ilmu Agama berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuat Wilfred Cantwell Smith. Menyadari hal tersebut tujuan penelitian ini tidak lepas dari pemahaman Joachim Wach bahwa mempelajari agama atau bagian agama adalah dengan maksud to understand meaning, bukan to know. 12 Dengan demikian terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk memahami,
12
Romdon, 1996, hlm. 2.
1.
Kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya.
2.
Analisa beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Kristiani dan Islam menurut Wilfred Cantwell Smith
3.
Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu Agama.
Kegiatan ini diharapkan memenuhi kepentingan-kepentingan dan tujuan tertentu yaitu untuk kepentingan akademik dan berupaya mengatasi persoalan sosial keagamaan. Secara akademis penelitian ini memiliki keterkaitan dengan relevansi, unik, penting dan menambah pustaka. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama menurut ahli ilmu agama. Fenomena agama khususnya ide doktrin teologi Kristiani dan Islam sebagai hasil penelitiannya di satu sisi, dan di sisi lain, ahli agama sebagai pengkaji agama. Keduanya dapat dipahami dalam pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam sehingga perlu diteliti guna menambah informasi. Pengkajian mengenai pemikiran Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli ilmu agama penting untuk diteliti, karena untuk menambah wawasan akademik, dan memelihara integritas sosial berdasarkan pemahaman keberagamaan. Secara akademik, kajian ini relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu Perbandingan Agama memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin, ritual dan tokoh agama atau umat. Hal tersebut sesuai dengan hasil kajian agama
menurut Joachim Wach bahwa pengalaman keberagamaan dapat diungkapkan dalam bentuk pemikiran, peribadatan dan kelompok sosial. 13 Pemikiran ahli ilmu agama merupakan bagian dari kajian Ilmu Perbandingan Agama secara literatur. Hal ini relevan dengan kajian keberagamaan (religious studies), karena penelitian ini mengkaji agama sebagai kajiaan teoritis dari ahli Ilmu Agama. Sebagaimana Capps ungkapkan, “Simply put, religious studies provides training and practice (each an essential quality of a discipline) in directing and conducting inquiry regarding the subject-fields) utilizes prescribed modes and techniques of inquiry to make the subject of religion intelligible. This is its twofold task: to discover as well as to elicit its subject’s intelligibility.”14 Penelitian ini termasuk kajian agama dengan cara dideskripsikan oleh ahli ilmu agama. Sebagaimana lebih lanjut Capps uraikan bahwa agama dapat dikaji dengan cara deskripsi atau dipertanyakan dengan kalimat, How shall religion be described?15 Gambaran ini termasuk bagaimana cara mengkaji agama dari ahli ilmu agama. Fenomenanya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Smith mengenai beberapa persamaan dan perbedaan Kristiani dan Islam dengan melihat aspek doktrinya. Penelitian tentang doktrin teologi menurut Wilfred Cantwell Smith masih terbatas kajiannya terutama di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara memandang bentuk doktrin teologi Kristiani dan Islam. Apabila terdapat penelitianpenelitian lain yang berkaitan dengan tema tersebut telah dilakukan peneliti lain,
13
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Terjemahan Djamannuri (Ed), PT. Rajawali Press, Jakarta, 1978, Cet. Ke-5, hlm, VIII. 14 Walter H. Capps, 1995, p. xiv. 15 Ibid.p.xvii.
penelitian ini dapat menambah informasi yang sudah ada terutama dalam aspek pemahaman doktrin. Di samping itu penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan keherensi dan konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu Perbandingan Agama (religious studies) melalui pendekatan makna filosofis dari gejala teks. Selain itu, penelitian ini relevan dengan konteks pembangunan (reformasi) nasional Indonesia. Dilihat dari keberadaan Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli Ilmu agama yang menggunakan metode perbandingan dapat dijadikan rujukan atau referensi dalam berdalog antara muslim dan kelompok Kristiani. Penelitian ini dapat memberi kontribusi informasi dalam dialog keberagamaan, karena terdapat model interaksi agama. Model interaksi itu adalah interaksi antara doktrin teologi Kristiani dan Islam yang diharapkan dapat berdampak pada tanggung jawab manusia dalam memelihara integritas termasuk integrasi nasional yang menjadi bagian tak tepisahkan dengan tanggung jawab global termasuk bagi para penganut agama. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung diantaranya, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).16 Upaya-upaya mengintegrasikan peran masyarakat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat perhatian, karena upaya tersebut relevan dengan upaya memelihara integrasi bangsa yang plural termasuk isu-isu agama.
16
Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic, Translated John Bowden, Crossroad, New York, 1991, p. vii-xii.
Khusus bagi kelompok muslim Indonesia, karena posisinya dianggap sebagai kelompok mayoritas, maka peran masyarakat muslim dituntut dalam pelaksanaan perubahan yang telah diprogramkan oleh Negara. Dengan demikian usaha-usaha yang mengarah pada upaya integrasi bangsa dianggap penting pula dalam program pembangunan nasional yang berlandaskan norma-norma pluralisme dan multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi yang berguna untuk melihat isu keberagamaan secara lebih dialogis, proporsional dan sosial-kultural. Karena kemajemukan masyarakat Indonesia secara etnis dan agama akan memiliki polapola hidup yang berbeda terutama akibat berbagai pengaruh yang ditimbulkan, baik internal maupun eksternal masyarakat.
D. Kerangka Pemikiran Penelitian ini diawali dengan penemuan penulis mengenai masalah substantif. Masalah substantif dalam penelitian ini adalah pemikiran Wilfred Cantwell Smith tentang beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Pemikirang Wilfred Cantwell mengenai doktrin Kristiani dan Islam dipahami sebagai gejala agama, karena doktrin merupakan aspek dari kajian agama. Pendekatan Smith mengenai agama adalah internalistik yang berupa teologi yang merupakan pendukung dari ilmu agama atau Ilmu Perbandingan Agama. Kemudian, penulis mendisain penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk dicari jawaban-jawabannya. Untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan kerangka teoritis atau teori-teori yang dikerangkakan (dikonstruksi). Rumusan
teoritis yang digunakan untuk memahami pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam adalah paradigama filosofis dengan pendekatan analisis tekstual. Adapun paradigma content analisis atau analisis tekstual itu didukung dengan paradigma filosofis.17 Penelitian dengan menggunakan analisis tekstual ini digunakan karena bersentuhan langsung dengan teks, dan analisis isi yang melibatkan pertimbangan fenomena di dalam teks. 18 Melalui paradigma filosofis penulis berusaha memahami pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persaman dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam. Peran kerangka teori dalam penelitian ini sebagai persfektif. Ia digunakan untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang dan untuk menafsirkan atau memahami doktrin teologi Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori sebagai persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk memahami atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan maupun orang dalam rangka membangun konsep. Terdapat beberapa buku yang memuat pembahasan pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai agama. Buku-buku itu dianggap dapat membantu penulis dalam penelitian mengenai doktrin Kristiani dan Islam dari pemikiran Wilfred Cantwell Smith diantaranya, On Understanding Islam Selected Studies diterbitkan
17
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet. ke-1, hlm.129. 18 Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti, Bentang, Bandung, 2006, cet. ke1, hlm, 59.
oleh Mouton di New York pada tahun 1981. Kitab Suci Agama-Agama yang diterbitkan oleh Teraju di Jakarta pada tahun 2005. Islam dalam Sejarah Modern yang terjemahan Abusalamah dan diterbitkan oleh penerbit Bhratara pada tahun 1962 di Jakarta merupakan kajian Islam yang cenderung dengan pendekatan doktrin dan sejarah. Buku Memburu Makna Agama, yang diterjemahkan Landung Simatupang, Penyunting, Ahmad Baiquni, diterbitkan di Bandung oleh Mizan pada tahun 2004, dapat memberikan informasi dalam kajian ini.
E. Langkah-Langkah Penelitian Penelitian ini memiliki prosedur penelitian yang disebut langkah-langkah penelitian. Di dalam langkah-langkah penelitian ini menjelaskan bagaimana cara yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sesuai derngan format penulisan skripsi langkah-langkah penelitian ini terdiri atas metode penelitian, penentuan jenis data yang dikumpullkan, sumber data yang diperoleh, cara pengumpulan data yang akan digunakan, cara pengolahan dan analisa data yang akan ditempuh. 19 Di samping itu, penulis mencantumkan pula garis besar penulisan laporan, untuk mengetahui gambaran yang akan dilaporkan dalam skripsi ini.
1. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode content analisis untuk mengkaji beberapa doktrin Kristiani dan Islam yang bersumber dari buku-buku yang ditulis Wilfred
19
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Pedoman Penulisan Skripsi, Laboratorium Fakultas Ushuluddin, Bandung, 2008, cet.ke-1, hlm.46.
Cantwell Smith. Penggunan metode content analysis ini sesuai dengan pengertiannya yaitu metode yang digunakan dalam jenis penelitian yang bersifat normatif, dengan menganalisis sumber-sumber tertentu.20 Metode analisis isi (content analysis) ini digunakan mengingat dari aksioma yang timbul yaitu terdapat proses pemahaman dari Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam. Hal ini sesuai pula dengan pemahaman Muhadjir bahwa content analisis berangkat dari aksioma studi tentang proses dan isi komunikasi yang merupakan dasar bagi semua ilmu sosial. 21
2. Jenis Data yang Dikumpulkan Sesuai dengan rumusan masalah penelitian dan tujuan penelitian, maka jenis data dalam penelitian ini merupakan data yang benar-benar dapat menjawab rumusan atau fokus permasalahan. Data tersebut berupa ungkapan-ungkapan yang dideskripsikan melalui kata-kata atau tulisan-tulisan sebagai hasil pemikiran yang terdapat dalam buku-buku pustaka. Terdapat tiga jenis data yang diperlukan. Pertama, data yang berkaitan dengan kronologis riwayat hidup. Kedua, data yang berkaitan dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Ketiga, data yang berkaitan dengan implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu Agama.
20
Ibid, hlm. 47 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1996, Edisi III, hlm. 49. 21
Pendekatan ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah teologi, filsafat dan Antropologi Budaya yang dijadikan pendukung dalam ilmu Perbandingan Agama.
3. Sumber Pengambilan Data Sumber data dalam penelitian ini merupakan bahan yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sumber pengambilan data tersebut diperoleh dari buku-buku, artikel dan situs Web. Sumber data tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah buku-buku, artikel dan situs web yang ditulis Wilfred Cantwell Smith. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku atau artikel-artikel dan situs web yang ditulis orang lain atau orang tertentu berkaitan dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai doktrin Kristiani dan Islam. Kedua sumber tersebut dijadikan bahan yang akan dikaji untuk menemukan jawaban-jawaban yang ditulis dalam rumusan masalah penelitian.
4. Cara Pengumpulan Data yang Digunakan Penulis mengumpulkan data berdasarkan, pada rumusan masalah, tujuan penelitian, paradigma, teori dan metode penelitian. Penulis menggunakan cara studi pustaka atau studi dokumentasi untuk menemukan data-data yang diperlukan. Kajian pustaka ini sesuai dengan pemahaman Noeng Muhadjir bahwa kajian
pustaka seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoritik dan terkait dengan values.22 Untuk memperoleh jawaban yang diperlukan terdapat beberapa langkah dalam menyusun pengumpulan data. Pertama, penulis menentukan beberapa buku, artikel dan situs web yang dianggap bermanfaat dan relevan dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Kedua, penulis membaca beberapa judul buku, artikel dan situs web tersebut dengan menyesuaikan dengan relevansi pertanyaan yang telah disusun dalam rumusan masalah. Penulis memindai kandungan-kandungan bab-bab atau bagian-bagian paragraf tertentu dalam tulisan di buku, artikel dan situs web yang telah ditentukan. Dalam langkah ini penulis juga mencatat judul, penulis dan perincian-perincian lainnya yang terdapat dalam sumber data tersebut, terutama topik-topik utama yang diliput dan beberapa kalimat mengenai subyek yang berkaitan pertanyaaan penelitian. Ketiga, penulis mengidentifikasi beberapa buku, artikel dan situs web yang dianggap menjawab pertanyaan penelitian. Penulis membaca buku, artikel dan situs web yang telah diidentifikasi sebagai sesuatu yang relevan dan dianggap penting untuk menjawab pertanyaan penelitian.
5. Cara Pengolahan dan Analisa Data yang Ditempuh. Tahap berikutnya setelah data terkumpul, penulis mengolah dan menganalisis data tersebut. Tujuan analisis data adalah menyederhanakan seluruh data yang
22
Ibid. hlm. 159.
terkumpul, menyajikannya dalam suatu susunan yang sistematis, mengolah dan menafsirkan atau memaknai data yang diperoleh. Untuk mengolah dan menganalisis data, penulis melakukannya berdasarkan ciri-ciri tertentu.23 Pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah dirancang. Kedua, teks diproses secara sistematis, di sini teks dipilih mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan. Kategori yang digunakan dalam analisis data ini adalah proporsional atau sebanding dalam menentukan persamaan dan perbedaan. Ketiga, proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian sumbangan pada teori, artinya ada relevansi teoritiknya. Keempat, proses analisis tersebut didasarkan pada deskrisipsi yang dimanifestasikan.
6. Garis Besar Penulisan Laporan Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai Pendahuluan. Di bab ini penulis menjelaskan, latar belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan langkah penelitian. Bab Kedua tentang tinjauan teoritis mengenai agama dan sistem keyakinan. Di bab ini penulis menjelaskan berbagai studi pustaka dan teori mengenai agama dan sistem keyakinan. Di samping itu penulis juga menjelaskan secara singkat agama Kristiani dan Islam. Bab Ketiga tentang pembahasan hasil
23
Ibid, hlm. 51.
penelitian. Di bab ini penulis mendeskripsikan dan menganalisis kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith, pemikiran persamaan dan perbedaan doktrin Kristian dan Islam, dan implikasinya bagi ilmu agama. Bab keempat membahas tentang kesimpulan dan saran. Di sub bab mengenai kesimpulan, penulis akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian secara ringkas sebagai jawaban singkat dari pertanyaan penelitian. Sedangkan hal-hal yang diungkapkan dalam saran penelitian ini, penulis mengajukan saran menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan oleh peneliti lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis dalam penelitian ini. Di samping itu, penulis mengungkapkan pula beberapa komentar terhadap pemikiran-pemikiran Wilfred Cantwell Smith, baik mendukung maupun mengkeritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis di lapangan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS AGAMA DAN RUANG LINGKUP SISTEM KEYAKINAN Manusia sebagai makhluk yang memahami kesadaran spiritual dapat mengungkapkan kesadarannya itu dalam bentuk agama. Dalam memelihara kehidupan masyarakat, agama sangat diperlukan. Kontribusi nilai-nilai agama sangat diperlukan terutama dalam upaya membangun etika yang diperlukan masyarakat. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung bahwa ada beberapa pola dalam membentuk tanggung jawab dunia. Pertama, dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia (No survival without a world ethic); Kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No world peace without religious peace); Ketiga, tidak ada perdamaian keberagamaan tanpa dialog keberagamaan (No religious peace without religious dialogue); Keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).24 Dalam bab ini secara teoritis penulis mendeskripsikan pengeritian agama, teori sistem keyakinan dan klasifikasi agama. A. Pengertian Agama Kata “Agama” terdiri dari dua perkataan yaitu kata “a” yang berarti tidak, dan “gama” berarti kacau atau berantakan. Jadi arti “agama” itu adalah tidak kacau atau tidak berantakan. Lebih jelas lagi arti agama itu adalah teratur atau peraturan.25 Istilah agama ini memiliki bermacam-macam pengertian. Seorang ahli agama telah
24 25
Hans Kung, Global Responsibility …, hlm, vii-xii. Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19.
mengumpulkan 50 definisi agama, dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi telah berhasil mengumpulkan 98 definisi agama. 26 Dengan demikian definisi agama itu berjumlah banyak. Namun penulis di bab ini hanya menunjukkan beberapa definisi agama menurut beberapa ahli. Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan agama dari bahasa asing yaitu kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”. Kata “religi” berasal dari bahasa Latin. Arti kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam Kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata “religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. 27 Sedangkan istilah “religi” berasal dari bahasa Belanda dan kata “religion” berasal dari bahasa Inggris.28 Selain perkataan itu dalam bahasa Inggris istilah agama itu disebut ‘religion’ dan ‘religious’. Sedang dalam bahasa Arab disebut “din” dengan memanjangkan “I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”. 29 Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan
Djam’anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27. 27 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1, hlm. 10. 28 Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124 29 ibid. 26
sejarahnya sendiri. 30 Dengan demikian, sekalipun yang berbeda itu hanya latar belakang sejarahnya, namun sudah tentu dari perbedaan itu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda dari masing-masing peristilahan tersebut. Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang sendiri berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari’ah, ath-thoriqoh dan al-millah yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.31 Sedangkan Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit kata itu berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.32 Secara rinci kata “dien” itu termasuk masdar dari kata kerja daana- yadinu. Secara bahasa kata itu memiliki arti bermacam-macam diantaranya, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat, dan agama.33 Tetapi secara umum kata “dien” itu diartikan dengan undang-undang atau peraturan Tuhan yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia. Selanjutnya di dalam Al-Qur’an kata “dien” memiliki persamaan dengan katakata lainnya diantaranya, kaata shirath (QS. al-fatihah: 5), hukum (QS. Yusuf: 76), millah (QS. Al-an’am: 156), sabil (QS. An-Nahl: 125), al-Ibadah (QS. Al-Araf: 29).
30
ibid. Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9. 32 Harun Nasution, hlm. 9 33 Moenawar Chalil, hlm. 13. 31
Selain itu Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian istilahistilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.34 Menurut Harun, agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut, karena ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia dan kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan pancaindera manusia. Munngkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan keyakinan. Para ahli lain pun menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para sarjana
agama.
Para
ahli
tersebut
diantaranya,
Hasbi
Ash-shiddieqy
mengungkapkan bahwa agama adalah suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntun para umat yang berakal kuat dan patuh akan kebajikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan kejayaan, kesentosaan di akhirat, negeri yang abadi mengecap kelezatan yang tak ada tolok bandingannya serta kekal selama-lamanya. 35 Ahmad Abdullah Al-Masdoesi pun menjelaskan pengertian agama dengan bahasa Inggris, “Religion is code of life revealed to mankind from time ever since the appereance of man in this is globe, and is embodied in its final perfect from in the Holly Qur’an which revealed by God to His last apostle Muhammad Ibn Adb Allah (pease be upon him), a code of life certain clear and complete guidance concerning both the spiritual and the material aspects of life. 36
34
Harun Nasution, hlm. 10. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17. 36 Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8. 35
Mukti Ali seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia mendefinisikan agama yaitu kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan Sidi Gazalba mendefinisikan agama hampir sama dengan Mukti Ali yaitu sebagai kepercayaan pada dan hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.37 Secara rinci Endang Saepudin Anshari menjelaskan bahwa agama, religi dan dien adalah suatu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, dan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu, serta sistem norma (tata kaidah) yang menyatakan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub. 38 Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta bahwa agama merupakan segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Misalnya Islam, Buddha, Kristen.39 Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English, sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief
37
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm. 22. 38 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9. 39 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet. ke8, hlm. 18.
in and worship of God or the super natural.40 Artinya kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English tercatat bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the creator and controller of the continues to exist after the death of body.
41
Artinya agama
merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi, menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan manusia setelah mati. Secara psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan arti agama sebagai pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan fitrahnya secara utuh.42 Ahli Psikologi lainnya Ogburn dan Nimhoff menjelaskan bahwa agama adalah suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia. 43 Penjelasan agama tersebut mirip dengan penjelasan Immanuel Kant yang dikutif oleh Hasanudin. Kant berpendapat bahwa agama adalah perasaan kejiwaan manusia yang berdasar dan bersumber pada Tuhan. 44 Penjelasan psikolog agama lainnya sebagaimana disebutkan oleh William James bahwa agama merupakan perasaan dan pengalaman batin insan secara individual yang menganggap bahwa
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 60. Ibid., hlm, 61. 42 Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, hlm. 129. 43 Rasyidi, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet. ke-2, hlm. 50. 44 A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81. 40 41
mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. 45 Selain itu dijelaskan pula bahwa agama merupakan suatu kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi dan perasaan yang biasa. Zakiah menjelaskan tentang agama dengan mengutif beberapa pendapat ahli ilmu agama lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart.46 Frazer mengungkapkan bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia untuk dapat mengendalikan, menahan atau menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia. Martineau menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana diakui bahwa dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama adalah suatu keadaan jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akal kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules menambahkan bahwa ketiga definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan dorongan. Tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark mengungkapkan bahwa agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart less world, just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.47 Artinya agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, hati nurani dari dunia yang tidak berhati, tepatnya bahwa agama adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini mungkin melihat realitas agama
45
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30. Ibid., hlm. 36. 47 Karl Mark and F. Engels, On Religion, p. 42. 46
menunjukkan peran yang melegitimasi masyarakat tertindas dalam memasuki dunia modern. Agama yang dilihatnya terutama agama-agama di Erofa. Goulson pun menyatakan bahwa agama adalah hasil dari pengaruh hubungan khusus antara manusia dengan lingkungannya. 48 Sedangkan menurut Khan, agama adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan bukan merupakan hal yang mempunyai wujud dalam alam nyata.49 Agama sebagai refleksi dari keyakinan tidak hanya terbatas pada kenyataan saja, tetapi juga refleksi dalam tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh penjelasan Koentjaraningrat bahwa refleksi cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan tindakan kolektivitas penganutnya atau dimensi religiusitas yang terangkum dalam empat unsur. Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama menjadi religius atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan yang mengandung sistem keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara atau Ritual keagamaan yang dilakukan oleh para penganutnya yaitu sistem kepercayaan yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan atau realitas mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan yaitu kesatuan sosial yang menganut suatu sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.50
48
C.A. Goulson, Science and Christian Belief, Moskow, 1970, p. 4. Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, 1983, Bandung, hlm. 6. 50 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81. 49
Secara singkat hal tersebut dikemukakan pula oleh Harun Nasution bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam agama adalah kekuatan gaib, keyakinan manusia, respon yang bersifat emosionil dari manusia dan paham adanya yang kudus (sacred) dan suci. 51
B. Teori Sistem Keyakinan Sistem keyakinan merupakan salah satu unsur dari empat unsur agama atau religi yaitu emosi keagamaan, sistem keyakinan, ritual keagamaan dan lembaga keagamaan. Secara Antropologi Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa terdapat tiga konsep yang berorientasi pada keyakinan religi. Pertama, teori Lang mengenai Dewa Tertinggi. Teori ini dikemukakan oleh Andrew Lang (1844-1922). Dia seorang satrawan Inggris yang pernah menulis buku berjudul, The Making of Religion (1898). Di buku itu dia menjelaskan dua bagian yaitu gejala psikologi dan keyakinan orang-orang suku bangsa primitif tentang tokoh dewa tertinggi. Di bagian pertama buku itu dia menjelaskan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Gejala-gejala gaib itu menurut dia lebih kuat pada orang-orang bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikirannya, dibandingkan dengan orang-orang yang cenderung bergantung pada berfikir rasional, seperti sikap orang-orang Erofa. Di bagian kedua, dia menjelaskan suatu analis tentang foklor dan mitologi suku-suku bangsa di berbagai daerah di muka bumi. Di dalam mitologi suku bangsa itu, Lang menemukan adanya tokoh Dewa yang dianggap
51
Harun Nasution, Islam …, hlm. 11.
dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Pemahaman atau keyakinan terhadap dewa-dewa itu menurut Lang terdapat pada suku-suku bangsa yang masih rendah sekali tingkat kebudayaannya yang dicirikan dengan hidup berburu atau meramu. Keyakinan pada Dewa-Dewa tertinggi itu menurut Koentjaraningrat terdesak oleh keyakinan pada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang, hantu dan lain-lainnya. Kedua, teori kekuatan luar biasa. Teori ini dikemukakan oleh R.R. Marett (1866-1940). Dia seorang ahli kesusastraan Yunani dan Rumawi Kilasik, tetapi dia banyak membaca karangan foklor dan etnografi yang ditulis para pendeta nasrani. Dia menulis buku berjudul The Melanesians (1891). Di buku itu dia menjelaskan tentang keyakinan orang Melanesia yang disebut mana yang dipancarkan oleh rohroh atau dewa-dewa, dan dapat dimiliki manusia. Menurut keyakinan orang-orang Malanesia, orang yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya, berkebun, berburu, atau pekerjaan mencari ikan. Secara singkat menurut Marett bahwa orang yang memiliki mana itu adalah orang yang berkuasa dan mampu memimpin yang lain. Marett mengajukan teori asal mula religi manusia bahwa pangkal religi adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa. Menurut manusia purba bahwa gejala alam yang luar biasa dianggap memiliki kekuatan luar biasa pula. Hal ini berarti kekuatan tak dapat diterangkan dengan akal manusia biasa dan ia disebut kekuatan supernatural. Karena konsep ini dianggap membahas sistem keyakinan
manusia purba yang lebih tua dari konsep animisme maka konsep ini disebut preanimisme. Ketiga, teori animism dan spiritisme. Tokoh teori ini diantaranya A.C Kruyt (1869-1949). Dia menulis berbagai buku. Salah satu judul buku itu berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906). Di buku itu, dia tidak hanya menulis tentang bentuk religi manusia kuno yang berpusat pada kekuatan gaib atau supernatural, tetapi juga membahas zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Kruyt menyebut zat halus ini dengan nama zielestof. Zat ini berada dalam berbagai makhluk termasuk di dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda. Beberapa bagian tubuh manusia yang dijadikan tempat zat halus itu diantaranya, kepala, rambut, kuku, isi perut, pusat, gigi, ludah, keringat, air mata, air seni, darah dan kotoran manusia. Beberapa binatang yang dijadikan tempat zat halus diantaranya, kunang-kunang, laba-laba, jangkrik, kupu-kupu, burung, tikus, ular, dan harimau. Sedangkan tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat halus diantaranya, padi, nyiur, pohon aren, kampar, dan karet. Benda-benda yang biasa mengandung zat halus atau zielestof itu seperti besi, batu, periuk dan benda-benda pusaka. Menurut Kruyt keyakinan terhadap zat halus atau zielestof disebut animisme. Selain zat halus itu yang dimiliki makhluk hidup dan benda itu terdapat pula makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Sebagian besar makhluk halus tidak tinggal di tempat makhluk halus asalnya tetapi diam di sekeliling lingkungan manusia seperti di pohon yang besar, mata air, persimpangan
atau di pelangi. Makhluk halus itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan mansia, karena ia mempunyai kemauan sendiri, dapat bergembira apabila diperhatikan oleh manusia, tetapi dapat pula marah apabila diabaikan. Sistem keyakinan mengenai adanya makhluk-makhluk halus tersebut menurut Kruyt disebut spiritisme.
1.
Kepercayaan Terhadap Hal Yang Gaib Suatu konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada sikap manusia
dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal dari ahli teologi Rudolf Otto. Konsep itu diuraikannya dalam sebuah buku yang telah menarik perhatian kalangan luas, berjudul Das Heilige (1917). Menurut Otto, semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap mahadahsyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dari hal yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi, maha-dahsyat, maha-baik, maha-adil, mahabijaksana, tak terlihat, tak berobah, tak terbatas dan sebagainya. Pada dasarnya, sifat dan azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia manapun juga, karena “hal yang gaib serta keramat” itu memang memiliki sifat sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Tetapi dalam semua masyarakat dan kebudayaan didunia, “hal yang gaib dan keramat” tadi, yang menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya. Faktor adanya religi menurut Otto adalah sikap kagum-terpesona, manusia tertarik untuk bersatu dengan hal yang gaib, keramat dan tak dapat dijelaskan
dengan akal manusia itu. Hal itu nampak dalam pandangan Otto pada sub-judul dari buku tersebut di atas, yang berbunyi, “Uber dan irrational in der idée des gottlichen”. Teori itu sangat disetujui dan diterima oleh para ahli teologi dan penganut agama. Namun menurut Koentjaraningrat, teori itu hanya cocok untuk menerangkan sikap manusia yang menganut agama-agama besar seperti Islam, Kristen, atau Katolik, tetapi tidak untuk menerangkan adanya ratusan sistem kepercayaan dan religi yang kecil dalam masyarakat yang bersahaja. Otto tidak berusaha untuk menerapkan teorinya terhadap sistem religi dan kepercayaan dalam masyarakat bersahaja. Menurut Otto sistem religi dan masyarakat bersahaja belum merupakan agama, tetapi hanya suatu tahap pendahuluan dari agama yang sedang berkembang. Dia berusaha menerapkan konsepnya terhadap religi dan kepercayaan manusia dalam masyarakat bersahaja ini, serta cara dia mempergunakan bahan etnografi, menunjukan kelemahannya dalam ilmu antropologi menurut ahli Antropologi. Meskipun demikian, teori tersebut masih dianggap penting, karena menunjukan adanya suatu unsur penting dalam tiap sistem religi, kepercayaan atau agama, yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sikap kagum-terpesona terhadap hal hal yang gaib dan keramat. Menurut Koentjaraningrat52 sistem keyakinan dalam religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib (kosmologi), tejadinya alam dan dunia (kosmogoni), zaman akhirat (escatologi), wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk-makhluk halus
52
Koentjaraningrat, Sejarah…, hlm. 81
lainnya. Selain itu sistem keyakinan itu menurut Koentjaraningrat menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan itu umumnya terdapat dalam narasi suci yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Narasi suci itu berisi ajaran doktrin, tafsiran, dongeng-dongeng suci dan mitologi dalam bentuk prosa maupun puisi. Isi pesan narasi suci itu menceritakan kehidupan yang dianggap roh, dewa dan makhlukmakhluk halus dalam dunia gaib lainnya. Narasi suci itu biasanya dikumpulkan dalam sebuah kumpulan tulisan yang sering disebut dengan Kitab Suci. Sistem keyakinan ini menurut Koentjaraningrat terbentuk oleh emosi keagamaan yang merupakan komponen utama dari gejala religi.
2.
Bentuk Ungkapan Keagamaan Secara Intelektual Sistem keyakinan merupakan bagian dari pengalaman keagamaan secara
teoritis. Secara umum Wach mengungkapkan bahwa pengalaman keagamaan atau emosi keagamaan dapat diekspresikan dalam tiga bentuk yaitu teoritis, praktis dan sosilogis. 53
Pengalaman keagaman
secara
teoritis
merupakan ungkapan
keberagamaan secara intelektual yang disusun secara sistematis. Pengalaman keagamaan secara teoritis berkaitan dengan simbol. Kata “simbol” berasal dari kata “symballien” bahasa Yunani. Kata ini berarti pertalian yang spontan dan berkesinambungan antara dua bagian, yaitu bagian fisik konkrit
53
Joachim Wach, hlm.VIII
dan realitas yang bersifat spiritual atau diberi makna. Sombol ini dapat diuraikan secara konseptual, menjurus pada perbuatan dan berfungsi secara integratif. Menurut Wach pengalaman keagamaan yang diungkapkan secara intelektual bisa bersifat spontan, belum mantap atau baku dan tradisional. Secara rinci unsurunsur ungkapan pengalaman keagaman teoritis secara intelektual itu diantaranya, mite, doktrin, dogma, kredo, dan kitab suci.54 Ungkapan Steithal tetang mite sebagaimana dikutif Wach bahwa biasanya mite dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan fakta, tetapi di balik mite itu terdapat realitas-realitas atau fenomena asli kehidupan spiritual. 55 Wach menunjukkan bahwa di dalam mite tersebut terkandung persoalan-persoalan yang perlu ditemukan jawaban-jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu diantaranya, mengapa kita ada di sini? Dari mana kita datang? Untuk tujuan apa? Mengapa kita melakukan ini? Mengapa kita mati? Bentuk kedua ungkapan keagamaan secara intelektual adalah doktrin. Doktrin ini merupakan penjelasan mengenai hal-hal yang terkandung dalam simbol yang digambarkan mite secara sistematis. Doktrin ini ditetapkan sebagai norma dan dipertahankan untuk menghindari dari penyimpangan. Perkembangan doktrin ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keinginan untuk bertautan, suatu dorongan yang sifatnya sistematis. Kedua, keinginan untuk memelihara kemurnian pandangan. Ketiga, keinginan untuk tahu, kemauan untuk mengisi kehidupan.
54 55
Ibid., hlm. 98-146. Ibid., hlm. 99.
Keempat tantangan keadaan. Kelima, adanya kondisi-kondisi sosial, terutama adanya suatu pusat kekuasaan. Pengetahuan tentang doktrin biasanya disebut teologi. Menurut Richardson, teologi dan nalar bukan hanya menjadi sumber pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga merupakan cara-cara intelektual untuk merumuskan dan melihat lebih jelas kebenaran Tuhan.56 Hal tersebut sesuai dengan peran akal yaitu sebagai alat bantu, penopang atau alat penghubung, dan sebagai alat kritik, baik kritik maupun formulasi yang kreatif. Dalam perkembangan pemikiran Islam, istilah teologi itu hampir mirip dengan ilmu kalam. Ilmu itu berfungsi menegaskan dan menunjukkan rasionalitas iman. Ilmu kalam ini berbeda dengan penerimaan yang tanpa bertanya atau taklid berdasarkan otoritas seorang imam. Definisi Ilmu kalam menurut Ibnu Khaldun adalah suatu disiplin ilmu yang memberikan sarana untuk menguji dogma iman melalui argumen-argumen yang rasional dan menunjukkan kesalahan para pembaharu yang berkaitan dengan iman yang dilakukan golongan tradisionalis. 57 Esensi dari doktrin ini adalah pengakuan terhadap Keesaan Allah. Kelompok Muslim yang menggunakan Ilmu Kalam ini umumnya menggunakan Al-Qur’an, sunnah dan ijma sebagai sandarannya. Sedangkan kelompok Muslim yang liberal lebih mengutamakan akal sebagai sumbernya atau sama kedudukannya dengan sumber yang disebut sebelumnya. Menurut Muhammad Abduh seorang modernis Islam bahwa akal dapat menguji bukti-bukti bagi keimanan dan aturan tingkah laku
56 57
Ibid., hlm. 104. Ibid.
yang telah ditetapkan agama untuk mengetahui apakah benar-benar berasal dari Tuhan. Dalam sejarah pemikiran Islam, timbulnya Ilmu Kalam ini dibentuk di Madinah setelah masyarakat Muslim melakukan kontak dengan teologi Kristen. Masa perdebatan ilmu kalam ini terjadi ketika kelompok
Mu’tazilah
dipertentangkan dengan golongan mutakallimin. Sedangkan masa kejayaan ilmu kalam ini adalah masa Asyariah dan sintesa pemikiran Al-Gadzali. Pemikiran alGadzali ini diikuti oleh kelompok muslim konservatif dan selanjutnya memasuki periode pemikiran modern. Dengan demikian doktrin tersebut memiliki beberapa fungsi, penegasan, penjelasan, pengaturan kehidupan normatif dalam melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain (apologetic).58 Isi dokrtrin keagamaan berkaitan dengan masalah hakikat realitas mutlak (teologi), alam semesta (kosmologi) dan manusia (antropologi). Realitas mutlak ini terangkum dalam pembahasan mengenai Tuhan. Pembahasan alam semesta menunjukkan kehidupan yang tidak mutlak di dunia. Fenomena manusia merupakan fenomena yang terdapat di alam semesta. Bentuk lain dari ungkapan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah dogma. Dogma ini mewakili sebuah norma tertentu. Dogma timbul apabila wewenang sebuah kekuasaan menetapkan dan diakui secara jelas. Kata “dogma “ ini berasal dari bahasa Yunani yang berlawanan dengak kata “doxa” (pendapat). Dengan kata lain dogma ini merupakan suatu keputusan di antara pelbagai macam 58
Ibid., hlm. 103.
teologi. Dogma ini berkembang dan terdapat dalam berbagai agama, termasuk agama Kristen dan Islam. Menurut Harnack bahwa terdapat sepuluh faktor yang membantu pertumbuhan dogma dalam agama Kristen. Pertama, konsep-konsep dan perkataan-perkataan dalam tulisan yang kanonik. Kedua, tradisi terdahulu yang tidak dimengerti. Ketiga, kultus. Keempat, keinginan untuk menyelaraskan diri dengan dunia luar. Kelima, faktor-faktor politik dan sosial. Keenam, ide-ide moral yang
berubah.
Ketujuh,
kecenderungan-kecenderungan
konsistensi yang
logika.
terdapat
Kedelapan,
dalam
Gereja.
harmonisasi Kesembilan,
penolakan doktrin-doktrin yang keliru. Kesepuluh, kebiasaan-kebiasaan. 59 Fungsi dogma ini berfungsi untuk memberikan ketentuan dan kepastian yang lebih jelas terhadap keyakinan-keyakinan agama, namun tidak sulit dengan ketepatan dan ketegasan akan timbul adanya bahaya-bahaya ketegaran dan kemandegan.60 Dogma-dogma dalam agama itu diungkapkan dalam pengalaman keagamaan dalam bentuk kredo. Semua agama besar dunia memiliki kredo yang dirumuskan oleh para tokoh-tokohnya melalui kutipan-kutipan dari teks suci. Dalam agama Kristen terdapat berbagai kredo sebagai bentuk pernyataan keimanan sesuai dengan kelompok-kelompok keimanan yang prinsif. Selain kredo ekumene, ada pula kredo agama Katolik Yunani, Katolik Romawi, dan Evangelis. Kredo evangelis dapat dilihat menjadi bermacam-macam seperti Kredo Lutheran, Reformasi, Anglikan, Presbyterian dan sebagainya.
59 60
Ibid. Ibid.
Selanjutnya ungkapan keagamaan secara teoritis lainnya adalah Kitab Suci. Kitab suci ini berasal dari ungkapan dari mulut ke mulut atau dari tradisi lisan. Tradisi lisan itu dituangkan dalam cerita-cerita suci, nyanyian, doa dan menjadi tulisan klasik atau kitab suci. Tradisi lisan sampai menjadi kitab suci itu mengalami proses yang bertingkat, atau memiliki tingkatan-tingkatannya. Buku-buku suci ini merupakan tulisan-tulisan yang mempunyai ciri mengikat (normatif). Teks klasik atau kitab suci itu berfungsi untuk menggembirakan, memperteguh keyakinan, dan untuk mendidik. Hal tersebut terlihat dari tulisan kitab suci agama seperti Bibel, Al-Qur’an, Avesta, Weda, Ginza, Grath, Tripitaka yang cenderung mengungkapkan norma kehidupan. Untuk memahami kandungan isi pesan kitab suci itu dibutuhkan para ahli kitab suci tertentu. Para ahli itu berperan menjelaskan makna dari kandungan kitab suci. Dalam Kristen Katolik, jemaah agama ini merujuk pada para pastor secara hirarkis yang bersumber pada Paus di Roma. Para penganut Kristen Protestan merujuk pada tokoh-tokoh gerejanya, seperti Martin Luther dan Calvin. Para penganut Islam merujuk pada hasil tulisan dari penafsir, seperti tafsir ibn Katsir, Kurtubi, Jalalaen, al-Maraghi dan sebagainya. Apabila perasaan keagamaan yang mulai terbentuk terus dipupuk dengan kekuatan keyakinan (iman), maka kekuatan keyakinan tersebut dapat menyatu padu dengan konstruksi kepribadian seseorang dengan penganutnya, sehingga dalam perilaku dan tingkah lakunya merupakan pencerminan dari sistem keyakinannya. Selain itu, sistem keyakinan bagi orang yang beragama secara fungsional turut menentukan landasan moral dalam segala perilakunya. Karena itu dengan percaya
kepada Tuhan, hati manusia akan mendapatkan siraman ketentraman, ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan dapat membangkitkan optimisme gairah kerja dan segala perilakunya. C. Klasifikasi Agama Terdapat beberapa pengklasifikasian agama yang dilakukan para ahli agama. Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agama-agama besar – agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional - agama modern, agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 61 Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama primitif dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan. 62 Agama yang termasuk agama Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme. Sedangkan Djam’anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu dan wahyu, atau agama bukan semit dan semit.63 Kelompok agama yang termasuk bukan wahyu atau bukan semit terbagi empat kelompok berdasarkan asal usul bangsanya diantaranya, Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme. Bangsa Arya memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan Zoroastrianisme.
Bangsa
Missellaneous
melahirkan
Buddhisme.
Bangsa
Paganisme melahirkan berbagai agama yang dikelompokkan dalam paganism. Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama wahyu atau agama semit diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme.
Djam’anuri, hlm. 27. Harun Nasution, hlm.11 63 Djam’anuri, hlm. 28. 61 62
Sesuai dengan objek kajian penelitian, penulis akan menguraikan secara teoritis agama Kristen dan Islam. Kedua agama ini termasuk agama wahyu dan semit.
3.
Agama Kristiani Secara kronologi Agama Kristiani lahir setelah lahirnya agama Yahudi.
Sebagaimana agama lalinnya kelahiran agama Kristiani sebagai reformasi dari agama-agama sebelumnya. Kehadiran Yesus di dunia dianggap sebagai juru selamat dan sebagai pendiri agama ini. Secara umum agama Kristiani ini terbagi dalam tiga kelompok yaitu Katolik, Kristen Protestan dan Kristen Ortodox. Masing-masing kelompok disebut sebagai agama. Sering orang menyebut masing-masing agama tersebut dengan istilah “Agama Katolik”, Agama Kristen” dan “Agama Kristen Ortodox”. Khusus untuk Agama Kristen Protestan biasanya para penganutnya menyebut agama Kristen. Pengklasifikasian ketiga agama dalam agama Kristiani ini muncul secara jelas pada saat reformasi di dalam perkembangan agama Kristiani yang diwujudkan dengan gerakan Marthin Luther. Agama Kristiani ini bersumber dari Yesus dari Nazaret dan gerakan sosial keagamaannya. Bagi penganut agama Katolik, hidup, ajaran dan kematian yang dialami Yesus merupakan tindakan Allah melalui manusia. Para penganut Katolik memahami tiga point penting berkaitan dengan Yesus. Pertama, pada pewartaan Yesus, Dia adalah awal, akhir hidup dan memanggil Abraham dan Musa menyapa manusia sehingga manusia tidak dapat mengelakkan jawaban (Kerajaan Allah).
Kedua, pada tindakan Yesus, Allah yang oleh Yesus disebut Bapak yang menawarkan kehidupan-Nya kepada semua orang agar mereka punya hidup dalam kelimpahan. Ketiga, pada kematian Yesus, orang Kristiani meyakini terbuka jalan supaya segala yang hidup menemukan hidup dalam Allah. Dengan demikian mereka yang tergabung dalam gerakan Yesus mengakui dan mengimani Allah yang bertindak bersama manusia dalam sejarah manusia, dan mengakui Yesus sebagai Kristus. Kristus dipahami oleh penganut Kristiani sebagai “juru selamat”, bahasa Arabnya “al-masih” Terdapat periodesasi sejarah yang dialami kelompok Kristiani. Pada abad I sampai dengan abad II Masehi, penganut Agama Kristiani ini dengan sebutan jemaat rumah. Mereka hidup di tengah-tengah dunia Yahudi, Yunani, dan Romawi. Pada abad IV sampai dengan XVI Masehi, masyarakat Kristiani hidup dalam Kekaisaran Roma-Jerman. Pada abad XVI sampai dengan XX, penganut Kristiani dalam lingkungan Negara-negara termasuk Gereja Katolik dan banyak gereja lain di seluruh dunia. Pada abad XXI Agama Kristiani hidup di tengah-tengah aneka kebudayaan, agama dan pergulatan sosial politik. Selanjutnya dasar iman Kristiani dapat dipahami dari ungkapan Thomas Michel seorang tokoh Agama Katolik yang banyak belajar tentang agama Islam. Dia mengungkapkan bahwa agama Kristiani didasarkan pada iman para rasul. 64 Para rasul yang dimaksud dia adalah sekolompok murid Yesus khususnya kelompok inti yang berjumlah dua belas orang yang dipanggil untuk mengikuti
Thomas Michel. Pokok-Pokok Iman Kristiani – Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog Antar Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2001, hlm. 45. 64
Yesus dan terlibat dalam misi Yesus. Mereka hidup selama 1-3 tahun menyaksikan perbuatan-perbuatan dan mendengarkan ajaran Yesus. Kelompok ini bersama Yesus termasuk ketika Yesus dikhianati menuruth keyakinan orang-orang Kristiani. Bahkan penurut pengakuan penganut Kristiani bahwa ada seorang murid bernama Yohanes berada di bawah salib, ketika Yesus wafat. Agama Katolik menurut Djam’anuri bersumber pada tiga sumber yang berbeda. 65 Pertama, hidup, keyakinan, dan usaha dari jemaat-jemaat sepanjang sejarah. Di sini tradisi kitab suci berperan sebagai Kisah Awal Jemaat Kristiani. Kedua, kesepakatan-kesepakatan antar jemaat tentang keyakinan iman yang dirumuskan pada pertemuan seluruh pemimpin Katolik yang membahas keyakinan, ritual dan kehidupan. Kesepakatan itu biasanya disebut konsili. Ketiga, tradisi tidak tertulis menyangkut kebiasaan-kebiasaan dalam ritual dan moral. Secara sederhana pokok-pokok ajaran Agama Kristiani termasuk Katolik, Kristen dan Ortodox mengandung beberapa hal, diantaranya konsep Allah, inkarnasi, Yesus, sebutan untuk Yesus, Trinitas, Maria, Penebusan, Gereja dan Sakramen.66 Berkaitan dengan pokok-pokok ajaran Kristiani ini Thomas Michel menjelaskan dengan sederhana. Orang-orang Kristiani meyakini bahwa Allah itu abadi, Maha Kuasa, Maha Tahu, Pencipta alam semesta dan segala isinya, penyelenggara kehidupan, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Transenden sekaligus Imanen, Maha Besar dan Hakim bagi seluruh umat manusia
65 66
Djam’anuri, hlm. 77. Thomas Michel., hlm. 45-79.
di Akhir zaman. Selain itu Allah memberi ganjaran dan hukuman yang abadi. Sabda dan kebijaksanaan-Nya merupakan perwahyuan diri-Nya. Allah pun memiliki pesan yang abadi, Sabdanya kekal, tidak diciptakan dan tidak terpisahkan dari Allah. Orang-orang Kristiani menyebut Bapa untuk memanggil Allah itu. Panggilan Bapa itu merupakan istilah yang biasa digunakan oleh kalangan Yahudi untuk menyebut Allah sebagai Bapak, dan umat Yahudi sebagai anak-Nya. Penyebutan Bapa tersebut dapat dilihat dalam salah satu bagian kitab Mazmur Daud. Di sana disebutkan bahwa Allah bersabda kepada bangsa Yahudi, “Kamu adalah anak-Ku, hari ini Aku tinggal bersamamu.” Dalam kesaksian Hosea disebutkan, “Aku memanggil anak-Ku (bangsa Yahudi) keluar dari Mesir.” Yesus pun menggunakan itu dengan makna kedekatan hubungan dan kekeluargaan. Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk memanggil Allah dengan sebutan Abba (Bapa). Hal ini bagi orang Kristiani menunjukkan bahwa Yesus memiliki hubungan afektif semacam cinta kasih, sebagaimana hubungan anak-anak dengan ayah mereka dengan memanggil Bapak. Pemahaman ini bagi mereka adalah makna metafora yang diambil dari pengalaman manusiawi. Konsep inkarnasi dipahami oleh penganut Kristiani sebagai penjelamaan. Orang Kristiani berkeyakinan bahwa sabda Allah yang kekal diwahyukan dalam pribadi manusia Yesus. Oleh karena itu, bagi orang Kristiani bahwa Yesus tidak menyampaikan wahyu dalam bentuk kitab, melainkan diri Yesus itu telah menjelma menjadi wahyu Allah, atau Yesus adalah wahyu Allah.
Pribadi Yesus mengalami siklus hidup sebagaimana manusia pada umumnya, yaitu lahir, hidup dan wafat. Yesus lahir dari rahim Maria di Kota Nazareth. Maria diakui oleh orang-orang Kristiani sebagai wanita perawan ketika melahirkan Yesus. Dengan kata lain, Yesus dikandung atas kuasa Allah (Roh Kudus) dan dilahirkan oleh perawan Maria. Yesus mengajarkan pesan-pesan pokok kepada rasulnya dan pengikutnya selama hidupnya. Pesan itu berisi cara-cara hidup diantaranya, bertobat kepala Allah, penerimaan kerajaan Allah, memerangi kuasa Setan, mengampuni dosa-dosa atas nama Allah, menghibur orang sakit, bergaul dengan para pendosa, mengkritik para pemimpin Yahudi, meramalkan krisis besar yang melanda dunia, dan membentuk komunitas murid-murid untuk mewartakan pesanNya kepada orang-orang lain. Cerita luar biasa lainnya yang diakui para penganut Kristiani adalah Allah membangkitkan Yesus setelah tiga hari wafat. Di sini orang Kristiani memahami bahwa Allah membangkitkan Yesus dari mati. Yesus menampakkan diri beberapa kali kepada para murid-muridnya dan kemudian diangkat ke surga. Orang-orang Kristiani menyebut nama Yesus dengan beberapa nama, diantaranya putera Allah, anak manusia, Tuhan, Kristus, Sang Sabda, hamba Allah, penyelamat, nabi (pembawa pesan Allah kepada manusia terutama orang-orang miskin), Imam perjanjian baru antara Allah dan manusia, Gembala yang baik, jalan kebenaran, Citra Allah dan sebagainya. Konsep Trinitas merupakan pemahaman teologi Kristiani untuk menunjuk pada Tuhan Bapak, Yesus dan Roh Kudus. Konsep Trinitas ini dipahami orang Kristiani sebagai konsep monoteisme Kristiani. Konsep Trinitas ini berbeda dengan
konsep Triteisme (tiga Tuhan). Ketika orang-orang Kristiani berbicara Trinitas, hal itu bagi mereka selalu dalam rangka mengungkapkan Ke-Esa-an Allah.67 Salah satu yang mendasari mereka memahami Trinitas adalah Kitab Perjanjian Baru dalam Injil Matius ditulis, “Baptislah dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.” Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata, “Saya dan Bapa adalah satu.” Menurut Thomas, hal ini memiliki makna kekhususan dan kedekatan hubungan dalam kasih, kehendak dan perbuatan. Yesus diyakini orang-orang Kristiani melaksanakan kehendak Allah sebagai Tuhan Bapak, karena segala yang dipelajari dan diketahui Yesus, telah disampaikan Tuhan Bapak kepada Yesus. Namun di sisi lain Yesus mengakui bahwa Tuhan Bapak lebih besar (lebih tinggi stratanya) dari Yesus. Sebagaimana dikutif Thomas, “Bapa lebih besar dari Aku.” 68 Sedangkan pemahaman orang-orang Kristiani mengenai Roh Kudus dipahami sebagai Roh Allah. Bagi orang-orang Kristiani, Roh Kudus bukanlah ciptaan yang terpisah dari Allah, tetapi Allah sendiri yang hidup dan berkarya dalam hati manusia dan dalam alam raya ciptaan-Nya. Roh Kudus dipahami mereka sebagai kehadiran Tuhan yang imanen, aktif berkarya di dunia ini. Dalam peristiwa proses kelahiran Yesus, orang-orang Kristiani memahami bahwa Yesus dikandung dan dibimbing dari kuasa Roh Kudus sampai Yesus tiba di gurun pasir. Sebagian pemahaman orang-orang Kristiani menyatakan bahwa dalam Injil digambarkan bahwa Roh Kudus turun ke atas Yesus dalam rupa burung merpati pada awal karya kenabianNya.
67 68
Ibid., hlm. 57. Ibid., hlm. 59.
Selain itu orang Kristiani memandang bahwa Roh Kudus membimbing dan mengajar jemaat Kristiani untuk menyingkap misteri Allah dan memberi inspirasi untuk penulisan Kitab Suci. Dalam kitab lainnya Roh Kudus pun sering disebut sebagai penolong, Roh Kebijaksanaan, Iman, Semangat, Kasih, dan Kegembiraan. Secara sederhana orang Kristiani memahami rumusan Trinitas sebagai dogma, yaitu Allah yang satu dan sama menyatakan diri-Nya dalam tiga pernyataan. Pertama, sebagai Pencipta yang Maha Kuasa dan Tuhan atas Kehidupan. Orangorang Kristiani menyebut-Nya “Bapa” atau “Bapa kami”. Kedua, sebagai Allah yang mewahyukan Sabda Ilahi-Nya dalam diri manusia Yesus. Orang Kristiani menyebut-Nya “Putera”. Ketiga, sebagai Allah yang hadir secara imanen, aktif, dan memberikan daya hidup dalam alam raya. Orang Kristiani menyebut-Nya “Roh Kudus”. Pemahaman mengenai Maria, orang Kristiani tidak pernah menganggap Maria sebagai isteri Allah, tetapi sebagai manusia dan wanita yang suci dan perawan. Mereka meyakini bahwa Maria tidak pernah berdosa. Banyak orang memasang gambar atau patung Maria di rumah maupuan di tempat lainnya. Mereka mengakui bahwa mereka melakukan semua itu bukan untuk menyembah dia (Maria), melainkan untuk menunjukkan kedekatan Allah saja. Selain itu mereka melakukan itu untuk menunjukkan kedekatan dan penghormatan terhadapnya. Orang-orang Kristiani biasa memohon Maria untuk berdoa kepada Allah bersama mereka dan untuk mereka. Mereka percaya bahwa Maria yang mengandung Yesus dengan kuasa Allah. Menurut pemahaman orang Kristiani bahwa pada saat Maria mengandung Yesus, Sabda Allah yang kekal mewujud dalam daging Yesus. Oleh
karena itu orang-orang Kristiani menyebut Maria dengan Theotokos (Bunda Allah) sebagai bentuk penghormatan. Namun hal itu bagi orang Kristiani bukan berarti bahwa Allah yang kekal mempunyai ibu. Mereka meyakini bahwa Allah tidak pernah menurunkan anak secara fisik. Konsep lainnya dalam pokok-pokok ajaran Kristiani adalah Penebusan. Orang-orang Kristiani memahami penebusan dengan mengkaitkan pada peristiwa kematian Yesus. Bagi mereka terdapat tiga hal penting dengan kematian Yesus. Pertama, kematian Yesus dipahami sebagai pembebasan dari kekuatan dosa dan maut. Bagi mereka, Yesus hidup di antara kami dalam kesucian, mengajarkan kasih, dan membuktikannya melalui pelayanan-Nya kepada orang miskin dan sakit, mengajak orang untuk hidup benar dan taat pada Allah. Kedua, kematian Yesus sebagai “silih” atau pelunasan atas dosa. Orang-orang Kristiani memandang bahwa kerusakan berat yang terjadi di alam ini akibat kesalahan atau ditimbulkan dosa yang melanggar kebaikan Allah dan tatanan moral. Kerusakan ini merupakan sesuatu yang berada di luar individu yang melakukan dosa dan hal itu mencemari seluruh umat manusia. Hal itu merupakan sumber munculnya perasaan berdosa dan perlu disucikan. Dengan demikian bagi orang Kristiani, Yesus telah membersihkan dosa-dosa itu dengan kematiannya. Yesus dianggap orang Kristiani telah merobohkan tembok penyekat antara Allah yang Maha baik dan manusia yang penuh dosa. Tindakan tersebut hanya bisa dilakukan oleh Yesus yang tidak berdosa dan Yesus mampu menyatu dengan kebijaksanaan Ilahi.
Ketiga, kematian Yesus dipahami orang-orang Kristiani sebagai kasih yang memperbaharui. Mereka memahami bahwa kematian Yesus memiliki daya kasih yang dapat menyentuh dan mengubah hati manusia sehingga kehidupan manusia dapat diperbaharui. Sebagaimana disebutkan dalam Injil Yohanes bahwa “Tak ada kasih yang lebih besar daripada orang yang menyerahkan nyawanya bagi saudarasaudaranya.” Ajaran pokok Kristiani mengajarkan pula tentang Gereja dan Sakramen. Kata “gereja” dipahami orang-orang Kristiani pada dasarnya sebagai “jemaat Kristiani.” Mereka tidak terlalu memahami kata “gereja” sebagai bangunan atau struktur organisasi umat Kristiani. Mereka memahami bahwa keberadaan Gereja (Jemaat Kristiani) di dunia ini menunjukkan karya yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh Allah bagi umat manusia melalui manusia Yesus. Sedangkan kata “sakramen” dipahami orang-orang Kristen sebagai suatu kenyataan yang tampak yang menghadirkan rahmat penyelamatan Allah. Sakramen ini bisa pula dipahami sebagai suatu tanda yang tampak dari karya Allah yang tidak tampak. Secara umum dalam agama Kristiani termasuk dalam Gereja Protestan, sakramen itu ada dua macam yaitu Baptis dan ekaristi. Tetapi dalam gereja Katolik dan Orthodox terdapat lima macam sakramen lain, sehingga jumlah sakramen menjadi tujuh macam diantaranya sakramen Baptis, sakramen penguatan, sakramen perkawinan, sakramen Imamat, sakramen pengampunan dosa, sakramen minyak suci dan sakramen ekristi. Dalam kajian ini, Smith Cenderung lebih menekankan pada agama Kristen Prostestan daripada Katolik dan Ortodox. Mungkin latar belakang agama yang
dianut keluarganya, keaktifan dia di gereja sewaktu remaja dan lingkungan Eropa yang memiliki banyak penganut Protestan menjadi faktor penyebab dalam kajiannnya.
4.
Agama Islam Istilah “Islam” merupakan nama agama yang memiliki makna sebagai
penyerahan diri, damai dan selamat. Istilah “Islam” tersebut berbeda dengan namanama agama lainnya. Apabila agama Buddha, Khonghucu, Tao, dan Kristen cenderung mengkaitkan nama agama itu dengan nama pendiri atau tokoh agama, kitab dan tempat lahirnya agama, seperti agama Buddha dikaitkan dengan nama pendirinya yaitu Shidarta Buddha Gautama. Agama Khonghucu dapat dikaitkan dengan nama Khonghucu atau Confucu sebagai tokoh agama tersebut. Agama Tao dapat dihubungkan dengan Tao sebagai Kitabnya. Agama Kristiani dapat pula dikaitkan dengan Yesus Kristus sebagai pendiri atau tokohnya. Agama Hindu dikaitkan dengan nama tempat yaitu lembah Hindustan. Sedangkan agama Islam tidak dikaitkan dengan nama Muhammad. Dengan kata lain Agama yang dibawa Muhammad itu adalah agama Islam, sehingga agama ini bukan Muhammadisme, sebagaimana yang ditulis para orientalis.69 Kata “Islam” berarti “masuk dalam perdamaian” dan orang yang beragama Islam disebut Muslim. Dengan kata lain seorang Muslim merupakan orang yang membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia. Hubungan perdamaian
69
H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1993, cet.ke-2, hlm. 49.
manusia dengan Tuhan ditunjukkan dengan sikap tunduk dan patuh secara total kepada kehendak-Nya. Sedangkan hubungan perdamaian dengan manusia tidak hanya meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain. Kedua hubungan tersebut merupakan esensi dari agama Islam. Pemahaman lainnya diungkapkan Harun Nasution. Dia memahami bahwa Islam adalah agama dalam pengertian ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. 70 Dia menegaskan bahwa Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam memiliki berbagai aspek, diantaranya aspek moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan dan sebagainya. Adapun sumber dari ajaran-ajaran tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dua sumber ini dianggap sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam, karena ia merupakan Sabda Tuhan atau Kalamullah atau disebut wahyu. Sedangkan Hadits merupakan cerita-cerita yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan sikap Muhammad terhadap persoalan kehidupan manusia. Terkadang Hadits ini disebut pula Tradisi Islam. Di samping itu ada pula consensus para ulama dan pendapat ulama dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Ajaran Islam yang terpenting adalah ajaran Tauhid. Ajaran Tauhid ini merupakan pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Tauhid ini menjadi dasar untuk ajaran-ajaran lainnya seperti masalah kerasulan, wahyu, kitab
70
Harun Nasution, hlm. 24.
suci Al-Qur’an, soal percaya kepada ajaran Nabi Muhammad atau soal Mu’min dan Muslim, soal yang tidak percaya seperti kafir dan musyrik, hubungan makhluk (manusia) dengan khalik (pencipta), masalah hari akhir (surga dan neraka), dan sebagainya. Dalam tradisi Suni ajaran Islam itu terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Rukun Iman berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir. Sedangkan rukun Islam berkaitan dengan syahadat (kesaksian), shalat, zakat, puasa dan menunaikan ibadah haji. Fenomena Agama Islam secara umum kini terbagi dalam kelompok besar yaitu suni dan syiah. Berbeda dengan klasifikasi dalam Kristen, kelompok suni dan syiah ini tetap dianggap muslim (beragama Islam) oleh kedua kelompok ini. Artinya kelompok ini tidak melahirkan agama baru, melainkan aliran. Berbeda dengan klasifikasi dalam agama Kristiani, dimana kelompok-kelompoknya melahirkan agama baru. Pembagian kelompok ini cenderung berdasarkan pada nuansa politik yaitu pada saat proses pembentuk kepemimpinan setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Kelompok Suni merupakan kelompok yang berorientasi pada pembentukan kepemimpinan berdasarkan musyawarah. Kelompok ini mengakui kepemimpinan empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) setelah Nabi Muhammad meninggal. Sedangkan kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang cenderung hanya mengakui kepemimpinan Ali saja sebagai pemimpin mereka. Kaum Suni memahami bahwa kepala Negara tidak mesti dari keturunan Nabi melalui Fatimah dan Ali. Kaum Syi’ah justru memahami dan meyakini bahwa hanya keturunan Nabi yang boleh menjadi kepala Negara. Dari pemahaman ini berkembang pada
pemikiran tentang jabatan kepala Negara jaman sekarang. Di satu sisi meyakini bahwa jabatan kepala Negara mempunyai sifat turun temurun dari bapak ke anak. Di sisi lain memahami bahwa pengangkatan kepala Negara didasarkan atas kesanggupan serta keahlian dan bukan atas keturunan. Selain itu dalam aspek teologi, Islam memiliki berbagai aliran, seperti aliran bercorak liberal, tradisional, tidak terlalu liberal, dan tidak terlalu tradisional. Dalam aspek hukum Islam atau fiqh terdapat empat kelompok pemahaman mengenai hukum Islam yaitu, Hanafi, Maliki dan Syafi’i, dan Hambali. Pemahaman-pemahaman terhadap hukum Islam, ada yang menggunakan tekstual atau tradisional dan ada yang bersifat kontekstual yang cenderung menggunakan akal. Pemahaman yang bersifat tekstual yaitu pemahaman yang langsung berdasarkan teks Al-qur’an dan Hadits. Sedang pemahaman kontekstual yaitu pemahamn yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, tetapi aplikasinya disesuai dengan konteks masyarakat tertentu. Dalam pemahaman kontekstual AlQur’an dan Hadits berfungsi sebagai konfirmasi. Salah satu contoh yang cenderung menggunakan tradisional menurut Mukti Ali adalah pengikut-pengikut Ahmad bin Hanbal. Mereka berjuang berabad-abad lamanya menentang pemikiran-pemikiran yang bebas yang berusaha untuk melampaui pemikiran-pemikiran ulama-ulama yang lalu. Mereka pula menentang pemikiran-pemikiran ilmu kalam dan pendekatan agama secara mistis.71 Khusus mengenai Islam di Indonesia, Harun menilai bahwa Islam di Indonesia secara umum dikenal hanya pada aspek teologi dan aspek hukum. Itu juga orang
71
H.A. Mukti Ali, hlm. 9-10.
Indonesia melihatnya hanya dari satu kelompok saja. Dalam bidang teologi, hanya aliran tradisionalnya terutama aliran jabariah yang mengajarkan fatalisme. Aliran ini dapat menimbulkan kesalahfahaman bahwa Islam mengajarkan kesenangan materi, karena sorga dan neraka diberi gambaran sebagai kesenangan materi dan kesenangan jasmani. Sedang dalam bidang hukum Islam, hanya mazhab Safi’i yang banyak dipelajari orang Indonesia. Sehingga Harun berkesimpulan bahwa pengetahun orang Indonesia mengenai Islam tidak sempurna. 72 Untuk menghindari kesalahfahaman dan untuk menyempurnakan pengetahuan tentang Islam, Harun mengajukan adanya perubahan dalam memahami pengetahuan Islam. Beliau mengajukan adanya spesialisasi atau mengetahui aspekaspek, dan aliran-aliran lain dalam Islam. Pendapat lainnya Mukti Ali menjelaskan bahwa cara mendekati dan memahami Islam dengan tiga cara, yaitu naqli (tradisional), aqli (rasional), dan kasyfi (mistis).73 Pendekatan-pendekatan ini menurut Mukti Ali sudah ada dalam fikiran Nabi Muhammad Saw dan terus digunakan oleh ulamg-ulama Islam setelah beliau wafat. Pasang surut pendekatan ini sering berganti dan berbeda-beda dilakukan para ulama hingga sekarang. Namun menurut Mukti Ali terdapat tradisi yang kaku sekarang ini dalam memahami Islam yaitu tradisi yang dilakukan oleh kalangan Wahabiyah di Arab Saudi dan Tariqat As-Sanusiyah di Afrika Utara.74
72
Harun Nasution, hlm. 34. H.A. Mukti Ali, hlm. 9. 74 Ibid. 73
Agama Islam yang dikaji Smith dalam perbandingannya lebih pada kelompok Islam Suni daripada Islam Syiah. Mungkin pergaulan Smith dengan orang-orang Islam Suni yang menjadi faktor yang mempengaruhi kajiannya itu.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN BEBERAPA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DOKTRIN TEOLOGIS ANTARA KRISTIANI DAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN WILFRED CANTWELL SMITH
Kata "persamaan" dan ”perbedaan” sering penulis dengar dan baca ketika mengkaji sesuatu yang bersifat ilmiah melalui metode perbandingan. Banyak kajian ilmiah yang memuat perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu lainnya termasuk dalam kajian agama. Dalam kajian Agama sering para ahli membandingkan unsurunsur agama yang satu dengan agama lainnya, seperti konsep ketuhanan, keselamatan, kitab suci, pendiri agama, ritual, pengalaman keagamaan dan lembaga atau komunitas sosialnya. Kajian agama melalui metode perbandingan yang banyak dilakukan sebagian para pengkaji agama biasanya hanya pada hal-hal yang nampak. Hal itu sepintas dirasakan sebanding atau proporsional, padahal hal itu tidak proporsional. Contohnya perbandingan Yesus dengan Muhammad. Secara sepintas hal itu sebanding atau proporsional karena keduanya dipahami sebagai pendiri agama. Yang satu sebagai pendiri agama Kristiani dan yang satunya lagi sebagai pendiri Islam. Tetapi apabila dipahami dari aspek pemahaman penurut penganutnya, hal itu dapat dikatakan tidak sebanding. Yesus bagi orang Kristiani dipahami sebagai sabda Tuhan atau wahyu, sedangkan Muhammad dipahami sebagai nabi atau utusan Tuhan (bukan wahyu Tuhan), karena bagi orang Muslim yang dimaksud wahyu itu adalah Al-Qur’an. Namun ketika penulis mengkaji pemikiran Smith mengenai perbandingan antara doktrin Islam dan Kristiani, penulis dapat memahami pentingnya proporsional unsur-unsur agama yang berdasarkan pemahaman para penganutnya. Smith menekankan pentingnya proporsional tersebut. Pemahaman agama menurut penganutnya itu menjadi dasar proporsionalnya unsur-unsur agama jika unsur-
unsur agama tersebut dibandingkan. Baik doktrin Islam maupun Kristiani dapat dianalisa melalui perbandingan dengan mengutamakan proporsional dari pemahaman penganut kedua agama tersebut. Oleh karena itu untuk memahami pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai perbandingan doktrin teologis antara Kristiani dan Islam, dan sesuai dengan rumusan masalah penelitian, di dalam bab III ini penulis akan menguraikan riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith termasuk karya-karyanya, pemikiran mengenai persamaan dan perbedaan doktrin teologis, dan implikasi pemikiran Smith tersebut dalam kajian agama.
A. Kronologis Riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith Wilfred Cantwel Smith adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir di Toronto pada tanggal 21 Juli 1916, anak kedua dan bungsu dari seorang keluarga yang berstatus ekonomi mapan. Dia seorang anak yang orang tuanya memiliki perusahaan Ballpoint Parker di Kanada. Pada usia antara delapan dan tujuh belas tahun dia memasuki Upper Canada College. Keluarga Smith termasuk keluarga yang berada dalam bidang akademik maupun dalam bisnis. Kakak Smith yaitu Arnold Cantwell Smith banyak berkiprah dalam urusan diolomatik di Negara Kanada. Dia pernah menjadi duta besar Kanada untuk pemerintah Mesir dan Uni Sovier. Dia pernah juga menjadi sekjen Negaranegara persemakmuran bekas penjajahan kerajaan Inggris. Keluarga Smith yang menganut agama Kristiani, sekte Presbitarian. Hali ini menjadi faktor bahwa Smith termasuk orang yang taat dan saleh dalam menerapkan ajaran agamanya. Smith adalah aktivis gereja yang dominan dan sangat fanatik terhadap keyakinan yang dipegangnya, hal ini dipengaruhi oleh sikap keagamaan
dan pengalaman keagamaan yang telah menjadi sebuah kepribadian yang melahirkan sikap “Close System” dalam menerima pendapat ajaran Kristiani dan sekte yang lain. Biasanya setiap sekte dalam ajaran Kristiani mempunyai sikap dominasi yang berlebihan, kadang menimbulkan konflik sosial dan politik. Mungkin sikap tersebut dipengaruhi dengan semangat kebebasan beragama di Eropa. Sikap kompetitif antara sekte, yang juga berkembang dan teralami oleh Smith dalam kehidupan sebagai seorang yang beragama. Terkadang muncul sikap emosi dan sikap menyudutkan diantara para penganut sekte-sekte agamanya itu. Keluarga Smith yang menganut agama Kristiani dalam anggota keluarganya itu bersifat plural. Ibunya adalah penganut aliran Kristiani metodis. Ketika masih muda Smith memahami doktrin Kristiani metodis hanya sebatas literal dan hal ini menajadi pengalaman berharga bagi dirinya. Smith kemudian memahami doktrin tidak hanya secara literal, akan tetapi ia menafsirkan dan menjabarkan secara intelektual dan terbuka. Dalam melihat dan memahami agama tersebut, terkadang agama sebagai suatu simbol dan realitas yang agung dan sakral. Dia memahami makna dan esensi dari sesuatu simbolisasi itu. Simbol menyatakan atau mengekspresikan tentang arti agama yang diwujudkan dalam pengembangan institusi. Sikap agama mewujudkan kepemilikannya dan dijabarkan dalam doktrin teologi. Ketika Smith menjelang dewasa, pemikirannya mulai mengalami perubahan yang asalnya ortodoks, tapi kemudian dia mampu bersikap modern dan semangatnya sangat terbuka dan pluralis. Dia tidak setuju tentang konsep keselamatannya untuk orang Kristiani saja, tetapi menurutnya semua umat yang
beragama mendapatkan kasih sayang dari Tuhannya. Smith sangat memegang semangat puritanisme Calvinistik, yaitu ajaran dalam agama protestan yang keras. Konsep Smith tentang komunitas agama bukan merupakan milik suatu sekte dalam agama, tetapi kebersamaan dan kesatuan agama. Hal ini yang menjadi titik acuan bagi Smith untuk mengembangkan ide-ide mengenai agama. Sejak dia memasuki jenjang perguruan tinggi, dia telah tertarik mengembangkan gagasan ekumene, yaitu gagasan untuk menyatukan semua mazhab dalam melakukan misi. Ide ini pertama dikembangkan sejak awal abad ke-20 dan sasarannya kepada missionaries di luar negeri dan di kampus di mana Smith kuliah pada saat itu. Kata “ekumene” berasal dari bahasa Yunani kuno yang berati rumah tangga, semakin besar ruang lingkupnya, kata “ekumene” ini tidak hanya rumah tangga dalam arti sempit, tetapi lebih luas lagi menjadi dunia. Namun, suatu hal yang negatif dari ekumene adalah sikap yang berlebihan yang mengarah pada dominasi dan eksploitasi. Dilihat dari hasil karya-karyanya, Smith sangat memelihara tradisi humanistik, yang memandang agama sebagai sesuatu yang hidup yang menurutnya agama memiliki peranan untuk mengembalikkan hakikat manusia yang sesungguhnya. Saat Smith masih sekolah di Upper Colledge dan di Lycee Champollion, Grenomble, Prancis, Smith menunjukkan kemampuan dan otoritas di bidang bahasa dan sejarah, sehingga banyak pengkajian dan studi agamanya menggunakan pendekatan sejarah. Pada tanggal 7 Pebruari 2000, dunia telah kehilangan salah satu ahli Ilmu Perbandingan Agama yang sangat berpengaruh. Pada waktu itu Smith meninggal
dunia. Para kolega menempatkan dia sebagai salah satu pemikir kajian keagamaan secara perbandingan pasca perang dunia kedua. 75
1. Kehidupan Karir Ketika Smith masih kecil dia sekolah di Upper college dan Lyceee hampolion, Grenoble, Prancis. Smith kemudian masuk perguruan tinggi dan menamatkan S-1 nya di Universitas Toronto, Kanada dalam bidang orientalis studies. Kemudian dia melanjutkan studinya ke West Minister College Universitas Cambridge dalam studi bahasa Arab sampai perang dunia ke-2. Pada selang waktu antara tahun 1941-1945 dia menyempatkan waktu untuk mengajar di India. Dari sanalah dia mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan penganut agama-agama yang lain.76 Sekembalinya dari india dia kembali ke Amerika dan di sana dia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Princeton dengan pembimbingnya adalah Prof K. Hitti, dia diangkat menjadi professor untuk studi ilmu perbandingan Agama di Universitas Mc. Gill Institute of Islamic Studies. Pada Tahun 1964 dia menjadi direktur Harvard Unversity’s Center for the Study of World Relgions. Baik di Harvard maupun di Mc Gill dia mengumpulkan para mahasiswa maupun staf pengajar dari agama-agama besar yang dipelajari di sana dan meminta mereka mengembangkan dan menguji teologi mereka dengan tujuan menyusun teori-teori
75
http://news.harvard.edu/gazette/2001/11.29/27-memorialminute. pada tanggal 14 januari 2012. 76 Adeng Muhtar Ghjali, hlm.141.
html diundu
yang dapat diterima oleh orang Yahudi, Islam, Buddha, Kristiani dan yang lain guna meyakinkan dalam tradisi akademis.
2.
Karya Publikasi W.C. Smith Terdapat beberapa bentuk karya ilmiah yang telah dihasilkan Smith,
diantaranya buku, dan artikel ilmiah. Di bawah ini terdapat sebelas buku penting yang ditulis Smith diantaranya; 1. Modern Islam in India: A social Analysis. Lahore, Minerva, 1943. Edisi Revisi: London V. Golanez, 1946. Buku ini diterbitkan kembali: Lahore, Sh. M. Ashraf, 1963, 1969, New York, Russel & Russell, 1972; dan ditulis oleh penyusun tak dikenal dengan Edisi tanpa ijin, diterbitkan di Lahore, nama penerbit Rippon, tahun 1947 (dengan sebuah bab palsu “Towards Pakistas”). 2. Pakistan as an Islamic State, Lahore, Sh. M. Ashraf, 1951. 3. Islam in Modern History, Princeton University Press, 1957. Diterbitkan kembali di London, oleh penerbit Oxford University Press, 1958; di New York, New American Library (mentor Books) tahun 1958; Princeton and London, Princeton University Press (Princeton Paperback), 1977. Direkam untuk orang buta, Inc, Washington, 1973. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, (diterbitkan tanpa ijin 1960, disusun 1975), Bahasa Swedia, 1961, Bahasa Prancis, 1962, Bahasa Indonesia 1962-1964, Bahasa Jerman, 1963; Bahasa Jepang 1974; Beberapa bagian buku itu diterjemahkan ke bahasa Urdu (1958-1959, 1960) dan bahasa Arab, 1960.
4. The Faith of Other Men, Toronto, Canadian Broadcasting Corporation, 1962. Edisi diperluas; New York, New American Library, 1963. Diterbitkan kembali: New York, New American Library (Mentor Books), 1965: London, New English Library (mentor Books), 1965: New York and London, Harper & Row (torcbook), 1972. Diterjemahkan kedalam bahasa Swedia, 1965. Bab II berjudul (The Christian in a Religiously Plural World) dicetak ulang dalam Religious Diversity (infra) dalam bentuk rangkuman, juga dalam tulisan John Hick dan Brian Hebblethwaite, ditambahkan Christianity and Other Religions, London, Collins, fount Paperback, 1980. 5. The Meaning and End of Religion: A New Approach to the Religious Traditions of Mankind, New York, Macmillan, 1963. Diterbitkan kembali: New York, New American Library (mentor Books), 1964: London, New English Library (Mentor Books), 1965; San Pransisco, Harper & Row, dan London: SPCK, 1978. 6. Modernization of A Traditional Society, Bombay, Calcutta, dll, Asia Publishing House, 1965. Bab I dicetak ulang dalam jumlah sedikit dalam jurnal Religious Diversity (infra). 7. Questions of Religious Truth. New York, Charles Scribner’s Sons; dan London, V.Gollancz Ltd., 1967. Diterjemahkan dalam Bahasa Jepang, 1971. Bab II berjudul Is The Qur’an the Word of God? Dicetak ulang dalam jumlah terbatas dalam jurnal Religious Diversity (infra). 8. Religious Diversity, Willard G Oxtoby, ed, New York and London, Harper & Row, 1976.
9. Belief and History, Charlottewile: Univesity Press of Virginia, 1977. 10. Faith and Belief, Princeton: Princeton: University Press, 1979. 11. Towards a World Theology, London, Macmillan, and Philadelphia, Westminster, 1981.
Penulis menemukan duapuluh artikel umum yang ditulis Smith diantaranya, 1. The Comparative Study of Religion: Reflections on the Possibility and Purpose of a Religious Science, di Mc Gill University, faculty of Divinity, Inaugural Lectures (montreal, McGill University, 1950. 2. The Christian and the Religions of Asia, dalam: Changing Asia: Report of the Twenty Eighth Annual Couchiching Conference: Sebuah proyek kerja sama The Canadian Institute on Public Affairs dan the Canadian Broadcasting Corporation (Toronto, Canadian Institute on Public Affairs, 1959). Dicetak ulang di Occasional Papers, Department of Missionary Studies, International Missionary Council (World Council of Churches), London, No. 5 (April, 1960), juga dalam Christianity’s Third Great Challenge, The Christian Century 77: 17 (April, 17, 1960). Dicetak dalam bentuk rangkuman, The Beacon, London 39 (1962). 3. Comparative Religion: Whither and Why? dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa editor, The History of Religions: Essays in Methodology (Chicago, The University of Chicago Press, 1959), pp 31-58. Dicetak ulang dalam bentuk rangkuman dalam jurnal Religious Diversity (supra).
Diterjemahkan dalam bahasa Urdu, 1962, Bahasa Jepang 1962 dan Jerman 1963. 4. Mankind’s Religiously Divided History Approaches Self-consciousness, Harvard Divinity Bulletin 29:1 (1964), pp. 31-58. Dicetak ulang dalam bentuk rangkuman dalam jurnal Religious Diversity (supra). Diterjemahkan dalam bahasa Jerman 1967. 5. Scularism: The Problem Posed, Seminar, New Delhi, 67 (1965). 6. Religious Atheism? Early Buddist and Recent American. Milla wa Millaa, Melbourne, 6 (1966).pp 5-30. Dicetak ulang dalam, John Bowman, Editor, Comparative Religion: The Charles Strong Trust Lectures 1961-1970 (Leiden, E.J Brill, 1972). 7. The Mission of the Church and the Future of Missions, dalam George Johnston anf Wolfgang Roth, Editor, The Church in the Modern World: Essays in Honour of James Sutherland Thomson (Toronto, the Ryerson Press, 1976). 8. Traditional Religions and Modern Culture, dalam Proceedings of the XIth International Congress of the International Association for the History of Religions, vol. I. The Impact of Modern Culture on Traditional Religions (Leiden, E. J. Brill, 1968). pp. 55-72. Dicetak ulang dalam bentuk rangkuman dalam Religious Diversity (Supra). 9. Secularity and the History of Religion, dalam Alberth Schilitzer, editor, The Spirit and Power of Christian Secularity (Notre Dame and London, University of Notre Dame Press, 1969).
10. Studies of Religion in a Global Context, dalam Study of Religion in Indian Universities: A Report of the Consultation Held in Bangalore pada bulan September, 1967 (Bangalore), Bangalore Press, n.d 1970. 11. Participation: The Changing Christian Role in Other Culture, Occasional Bulletin, Missionary Research Library, New York, 20:4 (1969) 1-13. Dicetak ulang dalam Religion and Society, Bangalore, 17:1 (1970) 56-74, dalam bentuk rangkuman dalam Gerald H. Anderson and Thomas F. Stransky, editor. Mission Trends No. 2 (New York, Paulist Press, and Grand Rapids, Eerdamans, 1975, pp.218-229, dan dalam Religious Diversity (supra). 12. A Human view of truth, SR: Studies in Religion/ Sciences Religieuses I (1971), 6-24. Dicetak ulang dalam John Hick editor, Truth and Dialogue: The Relationship between World Religions (London, Sheldon Press, 1974; Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claims (Philadelphia, Westminster Press, 1974) pp. 20-44, dengan edisi baru, Conflicting Truth Claims: A. Rejoinder, pp. 156-162. 13. Programme Notes for a Mitigated Cacophony (Sebuah artikel pandangan terhadap R.C Zaehner, Concordant Discord, 1970), The Journal of Religion 53 (1973). 14. On “Dialogue and Faith”: A Rejoinder (To Eric J. Sharpe, “Dialogue and Faith, dalam masalah yang sama), Religion 3 (1973), 106-114.
15. The Finger that Points to the Moon: Reply to Per Kvaerne (Kvaerne, Comparative Religion: Weither and Mhy?” A Reply to Wilfred Cantwell Smith, dalam masalah yang sama, Temenos, Helsinki, 9 (1973) 169-172. 16. World Religions (dalam bagian, What’s in Store for 74? Looking Ahead in Various Areas of Contemporary Life), The Christian Century, 91:1 (1974). 17. Religion as Simbolism, Introduction to Propaedia, Part 8 Religion, Encyclopaedia Britannica, 15 th, (Cicago, Encyclopaedia Britannica, 1974), vol. 1. pp. 498-500. 18. Methodology and the Study of Relgion: Some Misgivings, dalam Robert D. Baird editor, Methodological Issues in Religious Studies (Chico, Calif., New Horizons Press, 1975), pp.1-25. (Discussion, pp 25-30. “Is the comparative Study of Religion Possible? Panel Diskusi, dengan Jacob Neusner, Hans H. Penner, pp. 95-109, tanggapan, pp. 123-124. 19. An Historian of Faith Reflects on What We are Doing Here, dalam Donald G. Dawe and John B. Carman, Editor, Christian Faith in a Religiously Plural World (Maryknoll, New York, Orbis, 1978), pp. 139-148. 20. Divisiveness and Unity, dalam Gremilion, Joseph editor., Food/ Energy and the Major Faiths (Maryknoll, New York: Orbis, 1978),pp. 71-85.
Tulisan-tulisan Smith terdapat juga di artikel-artikel yang mengkaji Pendidikan, Kajian Timur dan Barat, dan Budaya. Artikel-artikel yang memuat tulisan Smith itu berjumlah delapan artikel diantaranya, 1. Achievement Test in History, Education, Lucknow, 24: 1 (1945) 57-62.
2. Objective Test in History, Education, Lucknow, 1945. Dicetak ulang dalam The Punjab Educational Journal, Lahore, 1944. 3. The Place of Oriental Studies in a Western University, Diogenes no. 16, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956, Bahasa Jerman 1957 dan bahasa Spanyol 1958. 4. The YMCA and the Present, Bulletin, National Council of Young Men’s Christian Association of Canada, Toronto, 1960. 5. Non-western Studies: The Religious Approach, dalam A Report on an Invitational Conference on the Study of Religion in the State University, oktober 1964 di Indiana University Medical Center (New Haven, the Society for Religion in Higher Education, 1965. 6. Objectivity and the Humane Sciences: A New Proposal, Transactions of the Royal Society of Canada, Ottawa, royal Society of Canada, 1975. Dicetak ulang dalam bentuk ringkasan dalam Religious Diversity (supra) dan Claude Fortier et.al., Symposium on the frontiers and Limitations of Knowledge/Colloque sur les frontiers et limites du savoir (Ottawa, royal Society of Canada, 1975. 7. The Royal of Asian Studies in the American University, The plenary address of the New York State conference for Asian studies, Colgate University, Oktober 1975. 8. The University, artikel tinjauan terhadap Murray Ross, the University: the Anatomy of Academy, New York, 1976, dan dalam Dalhousie Review, thinking about Persons, Humanitas, 1979.
Secara khusus Smith juga menulis Artikel Tentang Islam. Di bawah ini terdapat tigapuluh delapan artikel Islam diantaranya, 1. The Mughal Empire and the Middle Class: A Hypothesis, Islamic culture, Hyderabad, 1944. 2. Lower Class Uprisings in the Mughal Empire, Islamic Culture, Hyderabad, 1946. 3. The Muslim World, dalam one family , Toronto, Missionary Society of the Church of England in Canada, volume 2 1947-1948. 4. Hyderabad, Muslim Tragedy, Middle East Journal, 1950. 5. The Muslim and the West, foreign Policy Bulletin, New York, 1951. 6. Islam Confronted by Western Secularims, Revolutionary Reaction, dalam Dorotha Seelye Franck, editor, Islam in the modern world: A Series of Address Presented at the fifth Annual conference on Middle east affairs, Washington, Middle east institute, 1951. Diterjemahkan dalam Bahasa Arab, 1953. 7. Modern Turkey- Islamic Reformation? Islamic Culture, Hyderabad, 1952. Dicetak ulang dalam bentuk ringkasan, Die Welt des Islams, 1954. 8. Pakistan, Collier’s Encyclopedia, 1953. 9. The Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, The Islamic Literature, Lahore, 1953. 10. The Importance of Muhammad, Artikel tinjauan, the Canadian Forum, 1954.
11. The Intellectuals in the Modern Development of the Islamic World, dalam Sydney Nettleton Fisher, editor, social Forces in the Middle East, Ithaca, Cornell University Press, 1955. 12. Propaganda (Muslim), Twentieth Century Encyclopedia of Religious Knowledge, grand Parids, Baker, Volume 2, 1955. 13. Ahmadiyyah, Encyiclopedia of Islam, new edition , Leiden and London, E, J. Bill, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956. 14. Amir Ali, Sayyid, Encyclopedia of Islam, new edition, Leiden and London, E, J. Bill, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956. 15. The Christian and the near East Crisis, The British Weekly, London, no.3638 Desember, 1956. Dipublikasikan juga dalam The Presbyterian Record, Toronto, 1957. 16. The Muslim World, (pamphlet), Urusan Aktual angkatan Perang Canada, volume 10 no. 4, Ottawa, Departemen Pertahanan Nasional, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956. 17. Islam in the Modern World, current History, 1957. Dicetak ulang, Enterprise, Karachi, Januari, 4, 1958, Morning News, Karachi, april, 12, 1959. 18. Independence Day in Indonesia, The Mc Gill News, Montreal, Winter, 1957. 19. Aga Khan III, Encyclopedia Americana, 1958.
20. Law and Ijtihad in Islam: Some Considerations on Their relation to Each Other and to Ultimate and Immediate Problems, Dawn, Karachi, Januari 5, 1958. Dicetak Ulang dalam Pakistan Quartely, Karachi, 1958, dan di International Islamic Colloquium Papers, December 29, 1957, Lahore, Punjab University Press, 1960. 21. Some Similarities and differences between Christianity and Islam: an essay in Comparative Religion, dalam James Kritzeck and R. Bayly winder, editor, the world of Islam: Studies in Honour of Philip K. Hitti (London, Macmillan: and New York, St. Martin’s Press, 1959. Diterjemahkan dalam bahasa Urdu, 1964. 22. India, Religion and Philosophy: Islam, Encyclopedia Americana, 1960. Dicetak ulang dalam W. Norman Brown, editor, India, Pakistan, Ceylon, Edisi Revisi (Philadelphia, University of Pannsylvania. Press: London, Oxpord University Press, 1964. 23. Modern Muslim Historical Writing in English, dalam C.H Philips, Editor, Historians of India, Pakistan and Ceylon (Historical Writing on the Peoples of Asia, London Oxford University Press, 1961. 24. The comparative Study of Religion in General and the Study of Islam as a Religion in Particular, dalam Colloque sur la sociologie musulmane: Actes 11-14 September 1961. 25. Iblis, Encyclopedia Britannica, 1962. 26. The Historical Development in Islam of the Concept of Islam as an Historical Development, dalam Bernard Lewis and P.M. Holt, editor,
Historians of the Middle East (Historical Writing on the Peoples of Asia, London, Oxford University Press, 1962. 27. The Ulama in Idian Politic, dalam C. H. Philips, Editor Polities an Society in India (London, George Allen & Unwin Ltd, 1963. 28. Druze, Encyclopaedia Britannica, 1963. 29. Koran (Qur’an), Encyclopaedia Britannica, 1964. 30. The Concept of Shari’a among some Mutakalimun, dalam George Makdini Editor, Arabic and Islamic studies in Honor of Hamilton A. R. Gibbs, Leiden, E. J Brill, 1965. 31. The Islamic Near East: Intelectual Role of Librarianship, Library Quarterly 35, 1965. Dicetak ulang oleh Tsuen-Hsuin Tsien dan Howard W. Winger, Editor, Area Studies and the Library, Chicago & Landon, The University of Chicago Press, 1966. 32. The Crystalization of Religious communities in Mughul India, dalam Mojtaba Minovi and Iraj Afshar, editor, Yad-name ye Irainis (sic)-ye Minorsky (Ganjine-ye Tahqiqat-e Irani, no 57. Publication of Tehran University, no 1241, Tehran, Intisharat Daneshgah, 1969. 33. The End is near, diterbitkan dalam Aziz Ahmad dan G.E von Grunebaum, editor, Muslim self-Statement in India and Pakistan 1857-1968, Wiesbaden, Otto Harrassowitz, 1970. 34. Orientalism and truth: A Public Lecture in Honor of T. Cuyler Young, Horatio Whitridge Garrett Professor of Persian Language and History,
Chairman of the Departement of Oriental Studies, Princeton, Program in Near Eastern Studies, Princeton University, 1969. 35. Arkan dalam David P. Little, editor Essays on Islamic Civilization Presented to Niyazi Berkes, Leiden, E.J, Brill, 1976. Diterjemahkan dalam Turkish, 1977. 36. Faith and Belief (some considerations from the Islamic instance), dan Faith and Belief Journal of the Departement of Philosophy, university of the Punjab, Lahore. 37. Interpreting Religious interrelations: An Hostorian’s View of Christian and Muslim, dalam SR: Studies in Religion/ Sciences religieuses, 19761977. 38. Tauhid and the Integration of Personality, Studies in Islam: Quarterly Journal of the Indian Institute of Islamic Studies, New Delhi, 1979.
B. Analisa Beberapa Persamaan dan Perbedaan Doktrin Kristiani dan Islam Smith menulis suatu pengalaman keagamaan yang berbeda dengan ahli agama lainnya. Dia mengomentari pemahaman tokoh agama yang bernama Mani. Sebagaimana dia ungkapkan, “tampaknya tidak seorang pun [pemuka religius besar di dunia ini—kecuali Mani (216-277M) yang dikenal sebagai agama Manichaeanisme] yang secara sadar dan terencana mendirikan suatu religi.”77 Argument ini menunjukkan adalanya faktor eksternal yang hadir dan “sama”
77
Wilfred Cantwell Smith. Memburu Makna Agama, Penerjemah Landung Simatupang, Penyunting Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2004, hlm. 156.
sebagai subyek kelahirannya, Dialah Tuhan. Kemudian, manusia sesungguhnya adalah hewan yang berTuhan. 78 Agama dalam pengertian sekarang, menurut Smith datangnya belakangan. Pengetahuan religi seseorang semestinya dibarengi dengan religi orang lain agar paham makna “agama” secara “kelahiran dan tujuan.” Walaupun kata Smith, ‘tidak semua pengamat percaya pada Tuhan dan tidak semua orang taat peduli pada sejarah; tetapi sulit menghindari keduanya.79 Secara khusus Smith mengkaji hubungan proporsional antara Islam dan Kristiani dalam sub judul, Muslim- Christian Relations: Some Similarities an Some Differences Between Christianity and Islam.80 Smith mulai membandingkan doktrin Islam dan Kristiani mengenai ungkapan “Kehendak Tuhan”. Menurut Smith orang-orang Kristiani dan Islam menggunakan ungkapan ini, namun menunjukkan konsep yang berbeda. Orang-orang Kristiani telah biasa menggunakan ungkapan itu dalam doa-doa mereka, karena Kristus mengajarkan mereka (orang Kristiani) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola yang lebih tinggi yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Pemahaman tersebut menurut Smith merupakan ungkapan yang penuh makna dan kehendak Tuhan memiliki konotasi moral yang sangat besar. Bagi orang Kristiani berjuang untuk mencapai kehendak Tuhan merupakan panggilan tertinggi –dan kegagalan besar jika tidak berjuang. Smith menunjukkan imbangan konsep ini dalam Islam, dengan
78
Ibid., hlm. 202. Ibid., hlm. 226. 80 Wilfred Cantwell Smith, On Understanding Islam Selected Studies, Mouton, New York, 1981, p. 233. 79
menggunakan istilah yang bersifat teknik teologinya yaitu “ridha (ridwan, mardl) yang berarti senang. Namun istilah yang lebih umum bagi orang Muslim menurut Smith adalah amr (perintah). Smith mengungkapkan perbandingan yang dilakukan orang lain. Seseorang mungkin bersfekulasi menyusun hubungan, kehendak Tuhan dalam Kristiani sebanding dengan Syariah (hukum) dalam Islam. Perbandingan ini menurut Smith merupakan bersifat kasar, tetapi tidak berbahaya karena setiap orang akan melihat kurang paralel dan barangkali hal ini merupakan seimbang sehingga mendorong beberapa orang melihat hubungan parsial. Smith menunjukkan dua kata yang berkaitan dengan istilah “kehendak Tuhan” dalam Islam yaitu mashiah dan iradah. Sebagaimana menurut orang Muslim, Smith menyatakan bahwa kehendak Tuhan bagi Islam bukan apa yang seharusnya manusia kerjakan, tetapi apa yang seharusnya Tuhan kerjakan. Bagaimanapun juga Kehendak Tuhan menurut Smith beroperasi, dengan sangat menarik. Kehendak Tuhan itu akan tidak berarti dalam kegiatan berdoa, apabila kehendak Tuhan itu sungguh-sungguh diperlakukan Tuhan. Pada kenyataannya, barangkali hal itu akan menjadi lucu, atau kurang ajar, seseorang berkata ‘karena perbuatannya (manusia)” terhadap kehendak Tuhan. Ini bukan konsep moral melainkan sesuatu yang menentukan (determinist one). Smith mengembangkan pemikiran kehendak Tuhan itu dengan proporsi orangorang Kristiani. Menurut Smith, imbangan atau perbandingan bagi orang-orang Kristiani, mereka juga kadang-kadang menyebut kehendak (will) secara rancu, tetapi masalah teologi hubungan perintah Tuhan dan mashiah-Nya sering
ditempatkan dalam lingkaran orang Kristiani dalam istilah pengetahuan Tuhan (nasib, takdir, kedaulatan dan sebagainya). Bagi orang-orang Muslim kehendak Tuhan merupakan apa yang terjadi dan telah diperintahkan Tuhan. Dalam istilah manusia Kehendak Tuhan itu merupakan apa yang seharusnya terjadi. Smith menegaskan pemahaman orang Islam bahwa seseorang bisa tidak memenuhi perintah Tuhan, tetapi tidak bertentangan dengan kehendak-Nya. Dalam istilah yang sangat umum, Smith mengungkapkan bahwa semua orang bisa memohon. Seorang Muslim sesuai dengan ayat “Kamu akan diperlakukan” sesuai dengan kata “Islam”. Seorang Muslim didefinisikan sebagai orang yang menerima perintah untuk memiliki peraturan yang berlaku di bumi (sebagaimana mereka kerjakan di Surga seperti orang-orang Kristiani tambahkan), untuk memiliki kedatangan kerajaan-Nya (secara politik Negara Islam). Bahkan terdapat dalam perkembangan sejarah dua gerakan keagamaan itu akhirnya memiliki hubungan paralel yang rancu. Istilah Islam mulai bermakna sebagai penerimaan aktif (kehendak untuk menerima pengabdian) kepada perintah Tuhan. Hal itu merupakan awal penerimaan sikap aktif dari sikap pasrah menjadi mashiah Tuhan. Hal ini akan menjadi menarik untuk menyelidiki perkembangan dan meneliti hubungan yang mungkin tepat dengan kejatuhan agama dan budaya Islam dalam abad baru-baru tertentu. Menurut Smith hal ini mungkin menjadi imbangan teologi transisi dari aktifisme menjadi pasif. Menurut Smith perbandingan Al-Qur’an dalam Islam dan Bible dalam Kristiani sungguh masuk akal. Hal itu diakui secara luas, dan mungkin dikatakan valid pada tingkatan pertama kira-kira. Namun penyelidikan lebih dekat
menunjukkan bahwa perbandingan itu menjadi terlalu sederhana. Smith telah mengajukan perbandingan lebih internalistik. Secara mendasar dalam jiwa keagamaan menurut Smith agak lebih valid yaitu perbandingan Al-Qur’an dalam Islam sebanding dengan pribadi Yesus Kristus dalam Kristiani. Hubungan paralel lebih lanjut, Smith membandingkan antara Muhammad dan Santo Paul (bagi katolik Roma Santo Peter), dan antara Hadith dengan Bible. Smith Menunjukkan intinya bahwa sentral sistem Islam yang berfokus pada wahyu itu adalah Al-Qur’an, yang merupakan karunia Tuhan bagi manusia dan inti Agama. Muhammad merupakan pribadi yang menyampaikan pesan ini kepada setiap manusia, mendakwahkannya, dan implikasinya mengorganisir masyarakat yang diterimanya sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Komunitas ini secara bertahap tumbuh sebagai kesatuan literatur yang memperhatikan secara lengkap dan implementasinya dijelaskan secara lengkap pula bahwa pesan ini terangkum dalam sunnah nabawiyah. Smith menyimpulkan, pemikiran itu menjadi jelas bahwa tiga unsur dalam skema yaitu Al-Qur’an, Nabi (prophet) dan Hadits memiliki kedekatan atau sebanding dalam Kristiani yaitu Yesus, Santo Paul (atau duabelas rasul atau sejaman dengan Santo Paul) dan Bibel (khususnya Kitab Perjanjian Baru). Menurut Smith, Bibel merupakan catatan wahyu, bukan wahyu itu sendiri. Kebenaran sejati ini jelas telah merebut pemahaman secara lebih kuat dalam pemikiran orang Kristiani baru-baru ini daripada kejadian pada masa lalu. Kejadian itu dipertegas ketika seseorang memahami kesalahan penafsiran dari orang-orang Muslim terhadap Kitab-Kitab Injil bahwa Tuhan telah mewahyukannya (Injil-injil) kepada Isa (Yesus), sebagaimana dalam Al-Qur’an surat ke-57 ayat ke-27). Hal ini
tidak bisa, dan dianggap kesalahan oleh orang-orang Kristiani dan para sejarah Agama. Hal itu mengakibatkan beberapa orang-orang Kristiani tersenyum dan yang lainnya melakukan protes. Secara singkat hal itu menggambarkan bahwa sesuatu telah menjadi masalah karena hubungan paralel antara Al-Qur’an dan Perjanjian Baru atau salah satu dari empat kitab orang Muslim –termasuk beberapa orang Kristiani, telah menjadikannya secara fasih. Sebenarnya hubungan paralel antara Perjanjian Baru –khususnya empat Kitab Injil (perjanjian Baru), dengan Hadits nampak menjadi dekat dengan pemikiran orang-orang. Apabila orang Muslim mengatakan bahwa Yesus membawa Injil, sebanding dengan perkataan orangorang Kristiani bahwa Muhammad membawa sahthan atau al-kutubu al-sittah. Smith
melanjutkan perbandingannya dengan
mengungkapkan bahwa
keselamatan dari dua tradisi keagamaan Islam dan Kristiani adalah dengan keyakinan-keyakinan kepada Tuhan dan wahyu-Nya. Bagi orang Muslim keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa. Keyakinan itu tidak hanya dalam sebuah kitab tetapi apa yang kitab harus katakan. Apa yang Al-Qur’an harus katakan itu secara fundamental adalah pentingnya sebuah moral yaitu keyakinan yang bermaksud meluruskan dirinya sendiri secara aktif dengan orientasi moral. Karena hukum itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial. Hubungan paralel di kalangan orang-orang Kristiani, menunjukkan bahwa keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus, juga berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja. Kemudian terdapat pula hubungan lebih lanjut di tempat lain yang telah Smith bayangkan, bahwa mediator antara manusia dan Tuhan dalam Islam adalah
kebajikan. Kebenaran sejati ini juga terdapat dalam Keyakinan Yahudi (bahkan sebelum tradisi agama Semit). Oleh sebab itu St. Paul menitik beratkan bahwa keyakinan Abraham (Ibrahim) terkandung baginya kebajikan dan tersedia juga bagi para pendosa. Hal ini mengarahkan orang beragama baik Muslim maupun Kristiani untuk memahami hubungan paralel lainnya yang jelas dan standar, juga keduanya tidak bisa disangkal antara peran teologi dalam Kristiani dan peran teologi dalam Islam. Walaupun hal itu absah, Smith mengingatkan bahwa adanya bahaya akibat dari terlalu penyederhanaan itu. Bagi orang-orang Kristiani, teologi sejak awal telah menjadi sentral. Menurut Smith, orang-orang Kristiani bisa menduga kebenarannya bahwa teologi dan doktrin adalah sentral juga dalam keyakinan lainnya. Memang kadang-kadang ungkapan pertanyaan mereka mengenai agama-agama yang dianut seseorang dapat diungkapkan dalam pertanyaan, Apa yang mereka yakini? Walaupun apa yang orang-orang yakini itu secara nyata bukan masalah pokok keagamaan, dan sering (dalam Mesir Kuno, dan Polinesia modern) dengan susah menyamakan dengan masalah pokok itu. Hal ini dipersulit dengan kekacauan menggunakan kata “keyakinan (belief)” pada kepercayaan yang sangat berbeda. Untuk alasan tertentu, pengaruh tradisi Yunani terhadap perkembangan awal Kristiani dan unsur terbesar Yunani dalam budaya Barat secara umum sangat penting. Teologi telah memainkan dan terus memainkan peran yang sangan dominan dalam Kristiani. Ungkapan intelektual dari keyakinan telah dianggap sebagai ungkapan utama. Secara sederhana hal ini bukan masalah dengan Islam. Semua pengkaji Islam hati-hati menganggap penilaian dari pernyataan Bergstrasser
bahwa ungkapan tegas dari keyakinan Islam adalah hukum. Menurut Smith begitu banyak masalah ini yang dia argumentasikan dalam beberapa cara yang menganggap bahwa hukum bagi Islam sejajar dengan teologi dalam Kristiani. Smith menemukan para pengkaji Kristiani kadang-kadang dikagetkan ketika mereka pertama kali menemukan bahwa para pemimpin keagamaan dari beberapa orang Muslim telah menyangkal teologi sebagai materi studi yang tidak penting, hanya selingan atau kesia-siaan manusia. Untuk melengkapi masalah tersebut, Smith menjelaskan bahwa teologi (ilm al-kalam) bagi Islam sejajar dengan filsafat agama bagi orang-orang Kristiani. Hal ini merupakan sesuatu yang serius, materi pelajaran yang brilian bagi orang-orang yang memperhatikan soal tersebut. Hal itu berguna sebagai pembelaan, tetapi bukan masalah pokok dalam perkembangan utama, dianggap tidak penting, dan mengandung kecurigaan. Hal yang sama mirip dengan jelas bahwa mesjid dalam Islam sejajar dengan gereja dalam Kristiani. Pada awalnya mungkin hal itu dianggap benar. Tetapi dengan lebih hati-hati, perbandingan terhadap mesjid adalah kapel (gedung gereja dalam Kristiani). Mesjid adalah suatu kumpulan, lebih dari itu adalah sebuah institusi yang bersifat eklesia (komunitas keagamaan). Perbedaan mendasar dalam persoalan orang Kristiani kembali dengan sejarah. Hal itu nampak pada perbedaan kehidupan keagamaan Yahudi dan awal munculnya Kristiani, antara tempat beribadah cultic (Kristiani awal) dengan tempat beribadahnya tipe kumpulan yang menjadi sinagog (tempat beribadah Yahudi). Gereja Kristiani memiliki kedua unsur tersebut. Islam menyangkal kependetaan, tidak pernah mengenal tipe cultic sehingga tidak pernah mengenal tempat ibadah itu kecuali semacam al- Haramain
(istilah itu berarti pencerahan, selain di dua kota ini, mesjid-mesjid di seluruh dunia secara teknis tidak ditahbiskan pada bangunan-bangunan). Poin ini bisa diteruskan lebih lanjut. Istilah gereja (Church) memiliki makna sebagai bangunan lokal gereja, fokus jemaah atau kumpulan manusia, hanya sebagai makna yang diperoleh. Makna utamanya adalah komunitas pribadi (community of persons). Dalam teori atau aspirasi komunitas total orang-orang Kristiani atau dalam praktek secara lebih jauh lagi merupakan kumpulan manusia atau jemaah lokal seperti dalam Gereja Presbyterian, orotodox dan sebagainya. Sebuah bangunan gereja lokal adalah sebuah gereja (dan bukan kapel) sejauh ia memiliki persetujuan yang diformalkan dari komunitas yang lebih luas. Seorang Kristiani adalah anggota suatu gereja. seorang Muslim bukan anggota suatu mesjid. Terbukti telah disebutkan bahwa tidak ada pertentangan dalam Islam mengenai gereja orang-orang Kristiani. Pada satu sisi poin ini valid, di sisi lain, seseorang berargumen bahwa dalam beberapa cara secara khusus menganggap berbagai macam gereja orang Kristiani (denomination) sebanding dengan persaudaraan Sufi dalam dalam Islam. Dengan ketentuan-ketentuan tertentu, Smith mengusulkan penyelesaian sementara dari persamaan kedua agama tersebut sebagai berikut, Mesjid bagi Islam sejajar dengan kapel bagi Kristiani, tariqah (dengan zawiyahnya dan sejenisnya) bagi Islam sejajar dengan gereja bagi Kristiani. Jika ada kebenaran dalam tingkatan ini sejajar dengan tingkatan kedua, maka (Smith yakin bahwa hal itu memiliki penilaian pembenaran sosiologi dan teologi). Menurut Smith bahwa orang beragama dengan seketika mengakui dan menuntut perbaikan lebih lanjut mengenai asumsi ketiga dan keempat atau lebuh lanjut. Salah
satu dari berbagai kesulitan yang mencolok adalah bahwa seorang Muslim tidak perlu menjadi anggota sebuah tariqah, walaupun banyak orang dengan beberapa cara, sepanjang sebuah struktur terkait (tapi tentu bukan dengan cara-cara lain) hubungan paralel itu akan tergambarkan dengan sebuah oraganisasi semacam keanggotaan YMCA yang didalamnya merupakan tambahan atau pilihan. Penyelidikan bermanfaat, Smith mengusulkan bidang lainnya yang menjadi pemikirannya bahwa ide petunjuk (huda) bagi sebagian kalangan Islam sejajar dengan roh suci bagi Kristiani. Orang-orang Muslim kurang tertarik dengan teologi ini. Sebagaimana Smith tegaskan, belum banyak mengembangkan sebuah doktrin hidayah Allah, secara khusus hidayah-Nya bagi komunitas Muslim itu. Namun dalam hukum, jika bukan teologi maka doktrin ijma merupakan salah satu gambaran penghukuman (pendirian) bahwa Kekuasaan Tuhan (dalam beberapa perasaan penebusan) berhadapan dengan orang yang tidak mengurung inisiatif terdahulu-Nya dalam wahyu yang terang. Kasih dan sayang-Nya dalam kekusaanNya membawa manusia untuk taat dan berhubungan erat dengan Dia, walaupun puncaknya
secara
sejarah
pengirimannya
Al-Qur’an
merupakan
proses
berkelanjutan. Tentu saja konsep roh dalam Kristiani memiliki hubungan kedekatan paralel dengan Islam dalam ide petunjuk Tuhan (hidayah, al-Hadt) daripada dalam beberapa ide yang dihubungkan dengan kata “ruh”. Hal ini menurut Smith membawa kita pada hubungan paralel lainnya yang telah menimbulkan sangat berkeingintahuan. Tentu saja dorongan keingintahuan dan jauh dari hal yang biasa dibayangkan orang. Salah satu yang menunjukkan kepada Smith, mungkin secara
sementara digambarkan dalam kebiasaan antara pemikiran Trinitas Kristiani dan nama-nama Tuhan dalam Islam yang Sembilan puluh Sembilan. Kemiripan itu tidak begitu banyak di dalamnya sebagaimana dalam bentuk hubungannya. Sekali lagi Smith mengusulkan bahwa sebuah analogi bagi suatu muslim liberal, seorang sarjana literatur dengan gelar doktornya di London (Mani). Kehebatan atas ketaajuban dan kecepatan penyangkalan dinyatakan, tetapi Smith merasa tidak meyakininya. Muslim itu memiliki semacam suatu tradisi meremehkan terhadap ajaran trinitas Kristiani yang secara mudah. Dia tidak bisa menganggap masalah sebagaimana orang Muslim berhadapan dengan hubungan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang menimbulkan beberapa kesamaan bagi orang Kristiani di bidang ini. Namun baru-baru ini, Smith menemukan sebuah diskusi yang hati-hati dan diperpanjang juga sejenisnya telah nampak dalam kenyataannya. Tentu saja ada ungkapan baik, “Mereka bukan Dia, bukan pula mereka yang lainnya melebihi daripada Dia” secara indah bisa dilakukan tanpa modifikasi berbagai konsep modern tentang pribadi orang kedua dan ketiga dari Trinitas. Persamaan lainnya dalam pandangan Smith bahwa seharusnya ada anggapan yang diduga benar bahwa Islam menurut Kristiani sebagaimana Kristiani menurut Islam. Hal ini tidak menghiraukan sejarah yang mana hal itu sangat angkuh tidak dihiraukannya nilai-nilai tertentu. Masalah yang sangat penting apakah agama yang satu mendahului atau mengikuti agama yang lainnya secara kronologi. Menurut Smith orang-orang Muslim telah lama dibingungkan dan terganggu oleh fakta bahwa orang-orang Kristiani menolak Muhammad dan Islam dengan sangat bersemangat (berapi-api) orang-orang Muslim melakukannya tehadap orang
Kristiani. Mereka menanyakan mengapa orang-orang Kristiani bisa tidak mengakui sedikit pun bahwa Muhammad sebagai Nabi asli. Namun menurut Smith hubungan paralel itu sejajar dengan semangat berapi-apinya orang-orang Muslim menolak Ghulam Ahmad dan gerakan Ahmadiyah Qadyan. Hal itu secara mudah berkenaan dukungan dengan orang-orang penggantinya. Orang-orang Kristiani menerima seluruh kitab suci Yahudi ke dalam Bibel miliki mereka. Di sisi lain hal itu tidak gampang menjadi puas ketika gerakan berikutnya muncul, setelah yang satu telah menduga bahwa masalah keagamaan akhirnya terjawab. Terdapat sejumlah wilayah lain yang di dalamnya salah satunya bisa mengkaitkan dengan masalah jenis, mencari terus hubungan paralel yang bisa diterima dan mengajukan sesuatu yang baru dan halus. Smith mengakhiri dengan suatu keberanian dan pemikiran propokatif tertentu, salah satu yang mungkin melukai perasaan baik orang Kristiani maupun Muslim dan mendapatkan ejekan dari pengkaji perbandingan agama. Walaupun di dalamnya Smith menyampaikan bukan karena hal itu penting menjadi valid, tetapi karena dia menunjukkan suatu pelajaran penting secara potensi. Hal itu menimbulkan beberapa implikasi khusus dalam bentuk tajam dan kesulitan-kesulitan dari jenis karya itu. Smith menunjukkannya dalam bentuk suatu pertanyaan, Adakah beberapa analogi antara pentingnya ekaristi bagi orang-orang Kristiani dan pentingnya menghafal AlQur’an bagi orang Muslim? Smith menganggap bahwa dia bisa membayangkan dengan baik seluruh jawaban terhadap pertanyaan ini mungkin “tidak”. Barangkali pengajuan yang seimbang berdasarkan satu atau dua pertimbangan secara logis bisa dicapai dalam
jawaban positif yang bisa menyokong. Hal yang lebih penting bahwa dengan beberapa pertimbangan menunjukkan bahwa pertanyaan itu mungkin tidak bisa dijawab semuanya. Kemungkinan hal terakhir ini pada dasarnya adalah masalah penting. Berbagai alasan yang telah menunjukkan dia untuk mengajukan pertanyaan pada semuanya mungkin sama dalam pemikirannya, termasuk analogi pertama yang telah dia gambarkan di atas. Kekuatan yang dimiliki telah lahir dengan penuh semangat dalam wacana mengenai orang-orang Muslim dan Kristiani, antara peran Kristus dan peran Al-Qur’an. Dengan penuh rasa hormat terdapat poin-poin di dalam diri orang-orang Kristiani dan Muslim yang memahami ketuhanan yang telah menerima inisiatif dan diturunkan dalam kehidupan dunia secara umum. Al-Qur’an –sebelum eksis dan terciptanya doktrin bagi Muslim merupakan sesuatu yang nyata di dalamnya terdapat sifat alami yakni supernatural. Masalah itu merupakan tempat keabadian yang telah menghancurkan waktu. Tentu saja Al-Qur’an bukanlah tinta dan kertas, tetapi isi Al-Qur’an, pesannya, sabdanya, terutama maknanya. Hafidz yang dikenal sebagai pengingat, secara literal diartikan “penghafal”, memiliki jiwa yang sesuai dengan dirinya telah mendalaminya dalam suatu cara yang bisa dianggap logis mendorong analogi orang-orang Kristiani dengan apa yang terjadi ketika orang-orang Kristiani dalam pelayanan umat sesuai dengan diri tubuh Kristus. Kasus ini merupakan ungkapan Tuhan yang mendunia, sifat supernatural dan perwujudan keabadian. Sekurang-kurangnya seseorang mesti mencatat bahwa penghormatan umat Muslim terhadap hafiz, merupakan hal penting. Kecakapan bagi hafiz sendiri secara
sederhana bukanlah pengakuan kemampuan intelektual. Untuk mengingat AlQur’an hal itu sungguh berbeda dengan mengingat Mu’alaqat. Melalui karya Muslim ini (hafiz) sepertinya mendapat “karunia” Tuhan terus tetap pada kitab dan kertas di dalamnya abadi dan menemaninya, sehingga ia menjadikan dirinya pribadi yang hidup di jaman sekarang secara tetap. Namun menurut Smith poin penting dalam masalah ini tidak hanya ajuan itu apakah benar atau salah, tetapi lebih dari itu yaitu pertanyaan, bagaimana bisa seseorang mungkin mengetahui? Bagaimana seseorang mendapatkan keterangan apa yang dialami orang Kristiani dalam komuni (umat) dan apa yang dialami orang Muslim dalam diri hafiz, bisakah dibandingkan? Seseorang mungkin bertanya, tetapi mereka tidak bisa bercerita dengan mudah, karena mereka tidak mengetahui seluruh pelayanan Umat Kristiani itu. Seseorang mungkin bertanya kepada orang Kristiani, tetapi mereka tidak mengetahui pentingnya upacara orang Muslim. Tentu saja kedua kelompok itu sedikit kehilangan kemampuan untuk menjelaskannya. Katakanlah kepada mahasiswa perbandingan agama bahwa apa yang mereka alami bermaksud diri mereka, biarkan sendiri menilai orang lain itu. Orang beragama tidak bisa menjelaskan secara terperinci kepada orang luar mengenai pelayanan umat atau pengalaman nyata yang penting. Mahasiswa perbandingan agama sedang berhubungan tidak hanya dengan hal yang tidak dinyatakan secara jelas, tetapi dengan semacam pengajuan yang samar dan sering tak terucapkan dalam hal yang tidak dinyatakan secara jelas. Posisinya seringkali berada pada tempat yang sangat sulit. Sifat yang sangat sulit ini telah ditunjukkan Smith dan menjadi cukup menarik dalam dirinya untuk menilai dengan pertanyaannya yang lebih sulit.
Sebagaimana Smith telah tunjukkan di atas. Dia tidak percaya seluruhnya bahwa terdapat semacam dorongan analogi sebagaimana nampak pada Smith semacam ketika dia pertama kali memikirkan tetang hal itu. Dalam beberapa kasus Smith merasa bahwa masalah itu menjadi bernilai. Penyelidikan yang hati-hati dari literatur pada dua sisi itu, mencerahkan pemikiran tidak tergantikan oleh diskusi personal dengan dua komunitas itu mungkin akhirnya menuntun mahasiswa berdisiplin dan peka pada suatu posisi dimana dia akan mampu memberi beberapa jenis jawaban yang memenuhi syarat pada pertanyaan yang Smith tanyakan. Tentu saja pada saat itu Smith sendiri mengaku belum cukup melakukan penelitian. Smith menyimpulkan bahwa baik persamaan maupun perbedaan yang dimiliki orang Kristiani dan Muslim itu (doktrin Islam dan teologi) mungkin tidak terlalu nampak. Menurut dia semuanya akan menjadi mirip antara unsur-unsur penting tradisi keagamaan yang dapat disamakan daripada kesamaan, dengan studi perbandingan yang bersifat hati-hati, dan yang bisa menjadi lebih berhasil jika hal ini diakui secara tegas. Tentu saja seseorang mungkin heran bahwa keyakinan bukanlah akhir suatu masalah pribadi secara mendasar yang dalam beberapa hal mirip kebenarannya di dalam tradisi masing-masing diantara pribadi-pribadi yang menyusun itu. Jika seseorang berusaha menganggap lebih bermakna daripada bentuk luarnya. Sebaliknya seseorang dengan susah sedang belajar agama dalam suatu perasaan penting, maka seseorang itu mesti meneruskan perhatian sepenuhnya dan mesti siap menuntun dan memberi bantuan pada tempat-tempat yang tidak dapat dipercaya.
Untuk megetahui beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam berdasarkan hubungan parallel, di bawah ini penulis rangkum hubungan paralel pemikiran Smith itu dalam bentuk tabel. Tabel ini mendeskripsikan hubungan proporsional doktrin Kristiani dan Islam berdasarkan pemahaman dari kedua penganut agama masing-masing. Terdapat tigabelas poin yang penulis temukan berkaitan dengan doktrin Kristiani dan Islam yang menjadi bahan pembahasan Smith. Ketigabelas poin itu adalah sebagai berikut:
Tabel.1 Hubunggan Paralel
NO 1
MATERI Kehendak Tuhan
KRISTIANI
ISLAM
KETERANGAN
Menggunakan istilah kehendak Tuhan
Menggunakan kehendak Tuhan
biasa digunakan dalam doa-doa, karena Kristus mengajarkan mereka (orang Kristiani) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi
Biasa digunakan Maknanya dalam doa, berbeda Iradah Allah yang menentukan nasib atau takdir
sama
sesuai dengan pola yang lebih tinggi yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. istilah pengetahuan Tuhan (nasib, takdir, kedaulatan dan sebagainya).
Kehendak Hubungan paralel Tuhan (mashi’ah, iradah) Tuhan bukan apa yang seharusanya manusia kerjakan melainkan apa yang Tuhan kehendaki atau kerjakan
Hubungan paralel Istilah Bermakna Kehendak syariah (hukum) Tuhan bagi bagi orang Islam Kristiani 4
Sabda Tuhan/ Kalamullah
Yesus Kristus.
5
Utusan/ Nabi
Santo Paul Muhammad (bagi katolik Roma Santo Peter),
Hubungan paralel
6
Cerita tentang utusan/Nabi
Bible
Hubungan paralel
7
Sistem keyakinan
keyakinan Bagi Msulim Hubungan paralel berada dalam keyakinan itu Tuhan dan adalah
Al-Qur’an
Hadith
Hubungan paralel
keselamatan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus, juga berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja.
Menurut perkataan orang-orang Kristiani bahwa Muhammad membawa sahthan atau al-kutubu alsittah.
keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa (AlQur’an yang mengandung pesan moral Karena hukum itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial. Menurut Orang Hubungan paralel Muslim bahwa Yesus membawa Injil,
Keyakinan Keyakinan sama kepada Tuhan kepada Tuhan dan wahyu- dan wahyu-Nya Nya Bagi orang Kristiani keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus,
Bagi orang Hubungan paralel Muslim keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa. AlQur’an
mengajarkan pentingnya sebuah moral yaitu keyakinan yang bermaksud meluruskan dirinya sendiri secara aktif dengan orientasi moral. 8
Keyakinan
Keyakinan berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja.
Karena hukum Hubungan paralel itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial
keyakinan Abraham (Ibrahim) terkandung baginya kebajikan dan tersedia juga bagi para pendosa.
mediator antara Hubungan paralel manusia dan Tuhan dalam Islam adalah kebajikan.
hukum
teologi
Hubungan paralel
filsafat agama teologi (ilm al- Hubungan paralel Kristiani. kalam) 9
Gereja, kapel (gedung Mesjid (gedung) Mesjid, dan gereja dalam komunitas Kristiani). gereja (Church) memiliki makna sebagai
Hubungan paralel
Mesjid berbeda bermakna gedung atau tempat ibadah
bangunan lokal gereja, fokus jemaah atau kumpulan manusia, gereja orang persaudaraan Hubungan paralel Kristiani Sufi dalam (denomination) dalam Islam Seorang seorang Muslim Berbeda Kristiani bukan anggota adalah anggota suatu mesjid suatu gereja. gereja bagi tariqah (dengan Hubungan paralel Kristiani. zawiyahnya dan sejenisnya) bagi Islam 10
Roh Suci
roh suci bagi Hidayah atau ide Hubungan paralel Kristiani petunjuk (huda) bagi kalangan orang Islam
11
Konsep Tuhan
Trinitas Kristiani
nama-nama Hubungan paralel Tuhan dalam Islam yang Sembilan puluh Sembilan
12
Pengakuan
Menurut orang Kristiani bahwa orangorang Muslim menolak Mirza Ghulam Ahmad dan gerakan Ahmadiyah Qadyan.
Orang Muslim Hubungan paralel menanyakan mengapa orangorang Kristiani bisa tidak mengakui sedikit pun bahwa Muhammad
sebagai asli. 13
Pengalaman apa yang keagamaan dialami orang Kristiani dalam komuni Gereja (umat)
Nabi
apa yang dialami Hubungan paralel orang Muslim dalam diri hafiz (Al-Qur’an)
Dengan demikian analisa Wilfred Cantwell Smith dalam mengungkapkan persoalan agama baik Kristiani maupun Islam cenderung menggunakan pendekatan keyakinan (faith). Kajian dengan menggunakan pendekatan keyakinan seperti ini memiliki karakter internalistik, ineffable, transenden dan berdimensi privat, sesuai dengan pemahaman para penganut agama masing-masing. Hal tersebut berbeda dengan kajian agama yang sering dilakukan oleh sebagian pengkaji agama yang memiliki karakter sebagai tradisi (tradition). Karakter kajian yang dengan pendekatan tradisi tersebut memiliki sifat eksternalistik, sosial, dan historis.
C. Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith Kajian mengenai beberapa persamaan dan perbedaan Islam dan Kristiani menurut Wilfred Cantwell Smith, memiliki implikasi terhadap kajian ilmu agama. Imlikasi tersebut penting digunakan untuk kajian Ilmu Agama dan dialog keberagamaan. Dalam kajian ilmu agama, menurut Smith tugas pokok seorang pengkaji ilmu perbandingan agama seabagaimana dikutif Zakiah Daradjat
dirumuskan dengan, it is the business of comparative religion to construct statement about religion that are intelligible within at least two traditions simultaneously. 81 Pemahaman tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataan Muzammil Siddiqi82 seorang direktur Masyarakat Islam di Orange County California, anggota dewan Tinggi Masjid-Masjid Makkah bahwa, Wilfred Cantwell Smith, barangkali salah seorang cendekiawan Islam non-Muslim paling terkemuka, membuat komentar menarik tentang kebenaran. Dalam Bahasa Arab, ada tiga kata berbeda yang diterjemahkan sebagai kebenara: Sihdq, haqq, dan shahih. Kata yang pertama biasanya digunakan bagi orang, misalnya untuk menyebut orang yang jujur dan tulus. Yang kedua digunakan untuk menggambarkan realitas kebenaran dalam artian faktual. yang ketiga adalah kebenaran dalam artian pernyataan yang tepat, mungkin pernyataan yang tepat secara gramatis yang, pada pihak lainnya penuh dengan kebohongan. Sebagai seorang Muslim, saya memang mellihat ketulusan, pengabdian yang mendalam dan komitmen pada banyak orang, apakah itu Musllim, Kristiani, Yahudi, Buddhis, Hindu atau lainnya. Saya yakin ada orang-orang yang jujur dan tulus dalam setiap komunitas iman. Pada peringkat kedua, kebenaran realitas dan faktual, saya juga melihat beberapa kebenaran dan realitas dalam tradisi-traadisi religious yang lain, Islam berbicara tentang wakyu Allah yang diberikan kepada semua orang. Karena Allah adalah Kebenaran, maka realitas kebenaran Allah ini harus juga ada pada seluruh umat manusia. Pada peringkat ketiga, saya juga mengkui bahwa sering kali kita membuat pernyataan-pernyataan yang tepat secara gramatis dan berpikir bahwa itu memang benar, tapi sesungguhnya tidak benar. Namun kita harus tetap meneruskan pencarian kita bagi kebenaran dan ketulusan di antara semua orang. Analisa Smith tentang perbandingan itu direspon juga oleh M. Sastraprateja seorang cendekiawan Protestan. Menurut M. Sastraprateja, Wilfred Cantwell Smith membedakan tiga aras perbandingan Agama sebagai disiplin Ilmu yaitu menemukan fakta luar, mempelajari makna religious dan menarik generalisasi. Dua
81
Zakiah Daradjat dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara dan Depag, Jakarta, 1996, cet.ke-1, hlm, 86 82 George B. Grose dan Benyamin J. Hubbard (editor), Tiga Agama Satu Tuhan, Terjemahan Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 163.
aras pertama berkaitan dengan penentuan data; menemukan fakta kehidupan religious berbagai komunitas bangsa manusia di masa lalu dan masa kini. Menurut dia bahwa kita terlibat dalam fakta eksternal dan penafsiran makna. Baru pada tahap ketiga kita menemukan berbagai titik temu. Generalisasi di sini berlaku bukan dalam arti ilmu-ilmu positif, yaitu hukum-hukum yang sifatnya hipotesis, melainkan suatu konvergensi titik temu tanpa mereduksi fakta religious ke dalam suatu kesatuan metafisik. 83 Bagi Smith, bangkitnya kesadaran diri dalam sejarah religius umat manusia merupakan ‘kejadian yang drastis.’ Akibatnya susah diramalkan secara meyakinkan oleh siapa saja.84 Dengan demikian, manusia dengan iman religiusnya selalu akan hidup di dunia. Mereka terpengaruh dan ditentukan oleh tekanan-tekanan dunia, terbatasi dalam ketidaksempurnaan dunia.85 Akibatnya, agama dan manusia akan selalu berdampingan, saling menguntungkan serta membentuk hubungan yang saling melengkapi. Berhentinya kemansiaan, adalah berhentinya agama, begitu pula sebaliknya. Manusia dituntut untuk selalu meredefinisi keagamaan dan kemanusiaannya. Memang gagasan ini sungguh prestisius dan ambisius, tetapi harus dikerjakan oleh manusia yang percaya bahwa setiap diri ada keterbatasannya dan setiap agama mengharuskan kearifan pemeluknya. Dengan demikian pemikiran Smith tentang hubungan doktrin Islam dan Kristiani memiliki implikasi terhadap kajian Ilmu Agama (religious studies) dan
83
M. Sastraprateja, Ilmu Perbandingan Agama dan Disintegrasi Umat Beragama, dalam Buku: Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. 1998. Passing over Melintas Batas Agama. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 339. 84 Wilfred Cantwell Smith, 2004, hlm. 342. 85 Ibid. 264.
dialog kebergamaan. Dalam kajian Ilmu Agama, seorang pengkaji agama dengan pendekatan teologi dan metode perbandingan dalam membandingkan agama satu dengan agama lainnya perlu memperhatikan proporsional unsur-unsur agama yang dibandingkan itu, sesuai pemahaman dari penganut agama masing-masing. Untuk memahami proporsional pemahaman keagamaan dari penganutnya itu, Smith menggunakan pendekatan lebih ke dalam, sehingga kajiannya memiliki ciri internalistik, ineffable, transenden dan berdimensi privat. Internalistik dapat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kedalam (buka ke luar). Apabila kita melihat penganut agama, maka yang kita pahami adalah bagaimana penganut agama itu memahami sesuatu yang berkaitan dengan agama, bukan hanya nama agama penganut itu. Ineffable adalah kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu yang berkaitan dengan agama. Transenden adalah pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang sakral di luar jangkauan dirinya. Berdimensi privat merupakan corak keberagamaan yang menekankan pada asperk pribadi seseorang.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pemahaman Wilfred Cantwell Smith mengenai doktrin Kristiani dan Islam merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini. Doktrin Kristiani dan Islam dapat dibandingkan
dengan
mempertimbangkan
proporsional.
Pertimbangan
Proporsional tersebut didasarkan menurut pemahaman para penganut agama masing-masing, sehingga pertimbangan proporsional tersebut menimbulkan hubungan paralel di antara doktrin agama masing-masing. Para penganut agama dan pengkaji agama menganggap bahwa suatu yang diyakini oleh penganut agama tertentu sejajar dengan apa yang diyakini penganut agama lainnya. Adanya gejala beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam itu dapat dibandingkan menurut pemahaman Wilfred Cantwell Smith. Hal ini tidak lepas dari pemahaman keberagamaan orang-orang Kristiani dan Islam dalam
memahami doktrin masing-masing. Ekspresi keberagamaan mereka yang diwujudkan dalam bentuk sistem keyakinan sebagai salah satu ekspresi keagamaan. Secara sederhana, beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam menurut pemahaman Wilfred Cantwell Smith memiliki karakter tertentu dalam analisanya. Hubungan paralalel dari kedua agama tersebut menjadi dasar untuk membandingkan doktrin Kristiani dan Islam. Uraian sederhana mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith tersebut dapat dirangkum dalam kesimpulan. Selain itu penulis memberikan beberapa saran atau rekomendasi kepada peneliti lain yang merasa tertarik untuk mendalami masalah penelitian ini yang tidak ditemukan penulis selama penulis melakukan penelitian. Oleh karena itu di bab IV ini penulis akan menguraikan kesimpulan dan saran.
A. Kesimpulan Untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai kesimpulan penelitian ini, penulis menguraikan tiga hal penting. Pertama, kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya. Kedua, Analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Islam dan Kristen menurut Wilfred Cantwell Smith. Ketiga, Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Islam dan Kristiani dalam Ilmu Agama. Wilfred Cantwel Smith adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir di Toronto pada tanggal 21 Juli 1916. Di lahir dari keluarga yang berada dalam bidang akademik maupun dalam bisnis, kakak Smith yaitu Arnold Cantwell Smith banyak berkiprah dalam urusan diolomatik di Negara Kanada, dia pernah menjadi duta besa Kanada untuk pemerintah Mesir dan Uni Sovier. Dia pernah juga menjadi sekjen Negara-negara persemakmuran bekas penjajahan kerajaan Inggris. Latar belakang agama Kristen, sekte Presbitarian dalam keluarga Smith menjadikan Smith sebagai orang yang taat dan saleh dalam menerapkan ajaran agamanya. Keluarga Smith yang menganut agama Kristen dalam anggota keluarganya itu bersifat plural. Ibunya adalah penganut aliran Kristen metodis.
Ketika masih muda Smith memahami doktrin Kristen metodis hanya sebatas literal dan hal ini menajadi pengalaman berharga bagi dirinya. Smith kemudian memahami doktrin tidak hanya secara literal, akan tetapi ia menafsirkan dan menjabarkan secara intelektual dan terbuka. Ketika Smith masih kecil dia mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan penganut agama-agama yang lain. Hal itu membawa pengaruh pada saat menjelang dewasa, pemikiran Smith mulai mengalami perubahan yang asalnya ortodoks, tapi kemudian dia mampu bersikap modern dan semangatnya sangat terbuka dan pluralis,. Dia tidak setuju tentang konsep keselamatannya untuk orang Kristen saja, tetapi menurutnya semua umat yang beragama mendapatkan kasih sayang dari Tuhannya. Smith sangat memegang semangaat puritanisme Calvinistik, yaitu ajaran dalam agama protestan yang keras. Beberapa karya yang dibuat Smith tentang kajian agama-agama di dunia diantaranya buku-bukunya yang terkenal adalah; The Muslim League, 1942-1945 (1945), Pakistan as an Islamic State: Preliminary Draft (1954), Islam in Modern History: The tension between Faith and History in the Islamic World (1957), The Meaning and End of Religion (1962), Modern Islam in India: A Sosial Analysis (1963), The Faith of Other Men (1963), Questions of Religious Truth (1967), Religious Diversity: Essays (1976), Belief and History (1977), On Understanding Islam: Selected Studies (ed. 1981), Scripture: Issues as Seen by a Comparative Religionist (1985), Towards a World Theology: Faith and the Comparative History of Religion (1989), What Is Scripture? A Comparative Approach (1993), Patterns of Faith Around the World (1998), Faith and Belief (1987), Believing (1998), Wilfred Cantwell Smith: A Reader (2001). Pada tanggal 7 Pebruari 2000 Smith yang dikenal sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama dan perannya sangat berpengaruh meninggal dunia. Para kolega menempatkan dia sebagai salah satu pemikir kajian keagamaan secara perbandingan pasca perang dunia kedua. Analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Islam dan Kristen. Smith membandingkan doktrin Islam dan Kristen mengenai berbagai hal diantaranya,
Kehendak Tuhan, Sabda Tuhan/ Kalamullah, Utusan/ Nabi, Cerita tentang utusan/Nabi, System keyakinan keselamatan, Gereja, Mesjid, dan komunitas, Roh Suci, Konsep Tuhan, Pengakuan dan Pengalaman keagamaan. Ungkapan “Kehendak Tuhan” orang-orang Kristen dan Islam menurut Smith menunjukkan konsep yang berbeda. Orang-orang Kristen telah biasa menggunakan ungkapan itu dalam doa-doa mereka, karena Kristus mengajarkan mereka (orang Kristen) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola yang lebih tinggi yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Pemahaman tersebut menurut Smith merupakan ungkapan yang penuh makna dan kehendak Tuhan memiliki konotasi moral yang sangat besar. Bagi orang Kristen berjuang untuk mencapai kehendak Tuhan merupakan panggilan tertinggi –dan kegagalan besar jika tidak berjuang. Smith menunjukkan imbangan konsep ini dalam Islam, dengan menggunakan istilah yang bersifat teknik dalam teologinya yaitu “ridha” (ridwan, mardl) yang berarti senang. Namun istilah yang lebih umum bagi orang Muslim menurut Smith adalah amr (perintah). Doktrin Kristiani dan Islam menggunakan istilah “kehendak Tuhan”. Orangorang Islam menggunakan istilah “mashiah dan iradah” yang berarti kehendak Allah. Istilah itu merupakan sifat dari Tuhan. Dalam dokritn Kristianai kehendak Tuhan biasa digunakan dalam doa-doa, karena Kristus mengajarkan mereka (orang Kristen) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola yang lebih tinggi yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Dalam doktrin Islam kehendak Tuhan biasa digunakan dalam doa dengan menggunakan istilah Iradah Allah yang menentukan nasib atau takdir. Dalam doktrin Kristiani kehendak Tuhan diartikan dengan istilah pengetahuan Tuhan (nasib, takdir, kedaulatan dan sebagainya). Hal ini memiliki hubungan pralal dengan doktrin Islam Kehendak Tuhan (mashi’ah, iradah) Tuhan. Istilah itu berarti bukan apa yang seharusanya manusia kerjakan melainkan apa yang Tuhan kehendaki atau kerjakan.
Di sisi lain istilah Kehendak Tuhan bagi Kristen sejajar dengan makna dalam doktrin Islam sebagai syariah (hukum) bagi orang Islam. Sabda Tuhan/ Kalamullah dalam doktrin Kristiani adalah Yesus Kristus. Sedangkan Sabda Tuhan dalan doktrin Islam adalah wahyu yang disebut Al-Qur’an. Akibat dari pemahaman tersebut, maka istilah utusan/ Nabi dalam doktrin Kristiani disebut Santo Paul (bagi katolik Roma Santo Peter), sedangkan dalam doktrin Islam utusan atau nabi itu adalah Muhammad. Begitu juga cerita tentang utusan/Nabi dalam doktrin Kristiani disebut Bible terutama Perjanjian Baru. Sedangkan dalam doktrin Islam dinamakan Hadith. Selanjutnya mengenai sistem keyakinan atau doktrin tentang keselamatan dalam Kristiani dipahami bahwa keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus, juga berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja. Sedangkan dalam doktrin Islam dipahami bahwa keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa (Al-Qur’an yang mengandung pesan moral). Karena hukum itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial. Apabila orang Islam memahami bahwa Yesus membawa Injil, maka hal itu sejajar dengan pemahaman orang Kristiani bahwa Muhammad membawa sahthan atau al-kutubu al-sittah. Di samping itu doktrin Kristiani dan Islam mengajarkan tentang keyakinan kepada Tuhan dan wahyu-Nya. Bagi orang Kristen keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus. Bagi orang Muslim keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa yaitu AlQur’an. Al-Qur’an mengajarkan pentingnya sebuah moral yaitu keyakinan yang bermaksud meluruskan dirinya sendiri secara aktif dengan orientasi moral. Ajaran keyakinan dalam doktrin Kristiani berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja. Hal itu sejajar dengan pemahaman orang Islam bahwa karena hukum (fiqh) itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial. Orang-orang Kristiani memahami bahwa dalam keyakinan Abraham (Ibrahim) terkandung baginya kebajikan dan tersedia juga bagi para pendosa. Dalam doktrin Islam orang-orang Islam memahami bahwa mediator antara manusia dan Tuhan
dalam Islam adalah kebajikan. Dalam ajaran Kristiani ada yang disebut hukum. Di dalam ajaran Islam terdapat teologi. Dalam ajaran Kristiani ada filsafat agama Kristen, di dalam ajaran Islam ada teologi (ilm al-kalam). Orang-orang Kristiani memahami kapel sebagai gedung gereja. Hal itu sejajar dengan orang-orang Islam yang memahami Mesjid sebagai gedung tempat ibadah ritual. Selain itu di dalam ajaran Kristen ada gereja (Church) memiliki makna sebagai bangunan lokal gereja, fokus jemaah atau kumpulan manusia. Hal ini berbeda denga ajaran Islam bahwa mesjid bermakna gedung atau tempat ibadah. Apabila orang-orang Kristiani memahamai Gereja sebagai komunitas orang Kristiani (denomination). Hal itu memiliki proporsional dalam ajaran Islam dengan persaudaraan Sufi. Seorang Kristiani adalah anggota suatu gereja. Sedangkan seorang Muslim bukan anggota suatu mesjid. Dengan demikian Gereja bagi Kristtiani, sama halnya dengan tariqah (dengan zawiyahnya dan sejenisnya) bagi Islam. Konsep mengenai roh suci. Orang-orang Kristiani meyakini adanya Roh Suci. Pemahaman orang Kristiani terhadap Roh Suci itu sebanding dengan orang Islam yang percaya dengan Hidayah atau ide petunjuk (huda) Allah. Begitu juga orang-orang Kristiani memahami konsep Trinitas yaitu Tuhan Bapak, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Bagi orang Kristiani hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Pemahaman orang Kristiani tersebut sebanding dengan pemahaman orang-orang Islam tentang nama-nama Tuhan dalam Islam yang sembilan puluh sembilan yang disebut asmaul husna. Menurut Smith apabila orang-orang orang-orang Muslim menolak terhadap kehadiran Mirza Ghulam Ahmad dan gerakan Ahmadiyah Qadyan. Hal itu sejajar bagi orang Kristiani dengan pemahaman orang-orang Muslim yang menanyakan mengapa orang-orang Kristen bisa tidak mengakui sedikit pun bahwa Muhammad sebagai Nabi asli. Selanjutnya mengenai pengalaman keberagamaan. orang-orang Kristiani mengalami pengalaman keberagamaan di dalam komuni Gereja (umat). Pengalaman keagamaan itu dapat dipahami oleh orang-orang Islam yang mengalami hafidz atau membaca Al-Qur’an.
Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Islam dan Kristiani berpengaruh dalam kajian Ilmu Agama dan praktek dialog keberagamaan. Semith memahami bahwa tugas Ilmu Perbandingan Agama adalah menyusun pernyataan-pernyataan tentang agama yang dapat dimengerti sekurang-kurangnya dua agama secara simultan. Pemahaman tersebut diakui oleh cendekiawan non Kristiani yang mengakui bahwa Wilfred Cantwell Smith membuat komentar menarik tentang kebenaran. Dalam Bahasa Arab, ada tiga kata berbeda yang diterjemahkan sebagai kebenaran: Sihdq, haqq, dan shahih. Kata “Sihdq” biasanya digunakan bagi orang yang jujur dan tulus. Kata “haqq” digunakan untuk menggambarkan realitas kebenaran dalam artian faktual. Kata “shahih” adalah kebenaran dalam artian pernyataan yang tepat, mungkin pernyataan yang tepat secara gramatis yang, pada pihak lainnya penuh dengan kebohongan. Dalam berdialog kajian perbandingan doktrin Kristiani dan Islam itu penting, karena dapat memahami konsep-konsep doktrin yang diyakini penganut agama masing-masing. Dalam kajian Ilmu Agama, seorang pengkaji agama dalam membandingkan agama satu dengan agama lainnya perlu memperhatikan proporsional unsur-unsur agama yang dibandingkan itu. Tentu saja proporsional itu menurut pemahaman penganut agama masing-masing. Untuk memahami proporsional pemahaman keagamaan dari penganutnya itu, Smith menggunakan pendekatan lebih ke dalam, sehingga kajiannya memiliki ciri internalistik, ineffable, transenden dan berdimensi privat. Dia tidak menggunakan pendekatan yang mengutamakan sifat eksternalistik, sosial dan historis.
B. Saran Setelah penulis melakukan penelitian beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith, penulis menyarankan kepada peneliti lainnya untuk meneliti lanjutan terhadap hal-hal yang belum ditemukan penulis dalam penelitian ini. Penulis menyadari ada hal-hal yang belum sepenuhnya penulis deskripsikan secara terperinci dalam penelitian ini. Masih banyak unsur-unsur agama lainnya dalam Kristiani dan Islam perlu diteliti,
contohnya doktrin tentang alam, makna hidup, eskatologi dan sebagainya. Ritual keagamaan dan sosial keagamaan dari kedua agama itu perlu juga dikaji dengan menggunakan perbandingan yang proporsional. Di samping itu penulis menyarankan dalam kajian agama Kristiani dan Islam perlu dikaji dengan metode perbandingan yang menggunakan pendekatan eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan historis, agar dapat memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan.