BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hari Minggu, 6 April 2014, seorang anak kecil tercebur ke kolam, tepatnya sebuah kubangan yang digali tukang bangunan di sebelah rumah kost, di mana orang tuanya baru seminggu bertempat tinggal. Kejadian yang diperkirakan pada pk. 14.00 WITA tersebut menyebabkan nyawa anak kecil berumur 2,5 tahun tersebut tidak tertolong. Ia meninggal di tempat kejadian, walau masih sempat dibawa ke Rumah Sakit. Sekembalinya ke rumah, jenasah anak tersebut dilanjutkan ke kampung asal orang tuanya, yakni Tondon Langi’, setelah sebelumnya diadakan pemotongan hewan di rumah kost tersebut. Yang menarik, ketika tiba di Tondon, jenazah anak kecil tersebut dibawa oleh kerabatnya yang lain ke rumah adat (tongkonan) lain. Rumah tongkonan tersebut diperkirakan berjarak sekitar 200 meter dari rumah tongkonan yang sepekarangan dengan rumah kakek dan nenek jenazah; yakni rumah tongkonan yang semula direncanakan sebagai tempat pesemayaman jenazah tersebut. Akibatnya, suasana menjadi kacau. Tangis histeris dari ibu korban semakin menjadi. Keluarga yang telah datang melayat juga mulai mengeluarkan kata-kata penyesalan atas sikap keluarga yang menyerobot jenazah tersebut. Saling tuding dan saling mempersalahkan antar keluarga kian merebak. Kata-kata yang penuh dengan amarah nyaris tak terkendali lagi. Apa yang terjadi pada hari Minggu 6 April 2014 tersebut hanyalah salah satu dari sekian kasus yang pernah atau kerapkali terjadi di Toraja. Dalam berbagai bentuk lainnya, perebutan, penyerobotan, atau pencurian jenazah, juga beberapa kali terjadi. Pihak-pihak yang terlibat tentu bukan tanpa hubungan kekeluargaan sama sekali. Bentuk yang paling lazim muncul dalam wujud alotnya pembicaraan keluarga si mati dalam menentukan tempat di mana jenasah akan diupacarakan kelak. Memang,
1
2
mereka yang berebut itu selalu berasal dari rumpun keluarga yang bertali-temali secara cukup dekat. Yang unik, sejauh yang penulis ketahui, kejadian macam demikian khas terjadi di Toraja. Memperhatikan upacara pemakaman orang Toraja yang berbiaya mahal, maka pemenang perebutan jenazah justru menanggung beban ekonomi yang tidak ringan. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Namun seiring dengan modernitas, kekayaan pada gilirannya menjadi satu-satunya tolok ukur ‘kebesaran’ upacara pemakaman. Pada sisi lain, secara psikologi sosial, gengsi keluarga menggiring mereka untuk melampaui kemampuan ekonomi mereka untuk mengadakan upacara pemakaman yang besar. Mengingat mahalnya biaya pemakaman, maka perebutan jenasah tampak merupakan suatu ironi; sebuah tindakan yang tampak out of logic. Banyak pertanyaan yang bisa dimunculkan terhadap kejadian-kejadian tersebut di atas. Namun, pertanyaan yang spontan dapat dikemukakan adalah, mengapa hal tersebut terjadi? Apa motivasi di balik perebutan jenazah seperti itu? Inilah misteri yang hendak dikaji dalam penelitian ini.
B. Batasan Masalah Kasus perebutan jenazah terjadi di hampir semua wilayah adat di Toraja. Dari 32 wilayah adat Toraja yang ada, mungkin tak satupun yang tidak pernah mengalami kejadian serupa. Perbedaan wilayah adat mungkin saja menjadi salah satu faktor pembeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, maka penelitian ini difokuskan pada wilayah adat Tondon, khususnya di lembang Tondon Langi’.
3
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “apa motif dan nilai yang terdapat di balik praktik berebut jenazah yang terjadi di Lembang Tondon Langi’ - Kecamatan Tondon?”
D. Tujuan Penelitian Mengikuti rumusan masalah tersebut di atas, maka peneltian ini bertujuan mengkaji motif dan nilai di balik praktik berebut jenazah yang terjadi di Lembang Tondon Langi’ - Kecamatan Tondon?”
E. Signifikansi Penelitian Signifikansi atau manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan wawasan keilmuan antropologi Kristen, khususnya dalam pengembangan teologi kontekstual dan etika Kristen yang berwawasan kearifan lokal.
2.
Manfaat praktis a.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan pengambilan keputusan strategik dalam menangani kasus-kasus perebutan jenazah
b.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pemangku adat dan pemuka agama dalam mendampingi umat atau warga masyarakat yang sedang mengalamai kedukaan karena meninggalnya sanak famili.
F. Sistematika Penulisan Laporan Penelitian Penelitian ini pada gilirannya akan disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan, yang menyajikan latar belakang masalah, batasan masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Bab II merupakan kajian pustaka yang meliputi: konsep budaya dan konsep religi, upacara kematian dalam bingkai kebudayaan Toraja, aluk dan pemali.
4
Bab III memaparkan metodologi penelitian yang meliputi: metode penelitian dan gambaran umum lokasi penelitian. Bab IV merupakan pemaparan hasil penelitian dan refleksi teologis yang meliputi: deskripsi kasusu dan motif di balik praktik berebut jenazah. Sedangkan Bab V menyajikan kesimpulan dan saran atau rekomendasi hasil penelitian.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada gilirannya, kajian kepustakaan atas penelitian ini akan dilakukan dalam interaksi dengan kasus yang ada. Artinya, identifikasi terhadap setiap faktor atau ‘kategori’ yang ditemukan akan menggiring pada suatu uraian teoritis untuk memperoleh kejelasan kasus. Oleh sebab itu, uraian dalam tajuk ‘kajian pustaka’ ini masih cenderung bersifat fakultatif dan tentatif. Karena sebagaimana laiknya pendekatan kualitatif, yang merupakan pilihan pendekatan penelitian ini, kajian kepustakaan dapat mengalami perkembangan dan perubahan seiring ditemukannya data-data penelitian dari hasil observasi dan refleksi atas kenyataan lapangan. Berdasarkan observasi dan studi pendahuluan yang penulis lakukan, maka berikut ini disajikan beberapa kajian kepustakaan yang dipandang bermanfaat dalam menguraikan pokok persoalan penelitian ini.
A. Konsep Budaya dan Konsep Religi Beberapa ahli mengajukan pengertian tentang budaya. Salah satu yang terkenal adalah budayawan Indonesia, Koentraningrat. Menurutnya, ada tiga wujud kebudayaan. Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat. Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial.
6
Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.1 Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan. Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual baik yang diadakan musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga mempunyai bendabenda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.2 Sementara itu, menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan 1
yang
kompleks,
yang
di
dalamnya
terkandung
pengetahuan,
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h. 186-187. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi (Jakarta: Rineka Cipta 1979), h. 203-204. 2
7
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.3 Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Kebudayaan dan agama tidak bisa dipisahkan. Banyak ahli yang mengemukakakn pandangannya tentang agama. Salah satunya dalah Emile Durkheim. Menurutnya, agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.4 Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.5
3
E.B. Tylor, Primitive culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press, 1974), h. 332. 4 Émile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. (London: George Allen & Unwin, 1915), h.10. 5 Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed). Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: CV Rajawali, 1988), h. v-xvi.
8
Menempatkan fenomena memperebutkan jenasah ke dalam kajian kebudayaan adalah suatu keniscayaan. Budaya memperebutkan jenazah merupakan kebudayaan dalam wujud aktivitas, menurut tipologi koentraningrat di atas. Namun, disadari bahwa lebih jauh dari itu, ada landasan ide atau gagasan yang mendasari wujud aktivitasnya. Sistem nilai atau ide itulah yang memerlukan penelusuran lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Upacara Kematian Dalam Bingkai Kebudayaan Toraja Perilaku memperebutkan jenasah di kalangan orang Toraja berhubungan dengan pandangan orang Toraja tentang kematian dan ritus-ritus yang mengiringinya. Untuk dapat mengkaji alasan atau motif di balik perebutan jenasah, perlu dipahami world-view orang Toraja tentang kematian. Namun demikian, membicarakan kematian bagi orang Toraja juga harus berarti membicarakan kehidupan, karena kedua hal tersebut merupakan suatu sistem yang membentuk seluruh kedirian seorang Toraja, yang disebut alukta. Dalam Alukta, dikenal dua ritus utama, yakni aluk rambu tuka; dan aluk rambu solo’. Aluk rambu tuka’ berhubungan dengan ritus-ritus kehidupan, sementara aluk rambu solo’ berhubungan dengan ritus kematian. Kedua kelompok ritus tersebut berhubungan erat dengan falsafah hidup orang Toraja. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga. Keyakinan tentang arwah seseorang yang
9
membali Puang sering diungkapkan dalam kadong badong (syair lagu kedukaan) yang berbunyi: Dadi deatami dao, kombongmi to palulungan Laditulungmira langngan, ladi penombaimira Anna benki tua’ sanda, palisu sanda mairi’ Rongko’ toding sola nasang, maupa’to palimbuan.6 Dari ungkapan kadong badong ini jelas bahwa dalam Aluk Todolo tetap diyakini hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara hidup di sini dan hidup di sana. Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar. Hal ini nampak dengan jelas dalam upacara Rambu Solo’ Ma’nene’. Ma’nene’ adalah mengurus jenasah yang sudah lama dikuburkan di dalamnya dipersembahkan kerbau atau babi. Ritual rambu solo’ dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan (rumah adat Toraja) dengan mempersembahkan babi dan kerbau bagi arwah leluhur atau orang yang baru meninggal. Menurut kepercayaan Aluk todolo, orang yang baru saja meninggal belum dianggap “mati betul” tapi dianggap “orang sakit” dan
6
Gereja Toraja, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaan dengan Injil (Toraja: Pusbag Gereja Toraja, 1992), h. 5.
10 dinamakan To Makula’ (To= orang, makula’=sakit), sehingga orang mati itu masih tetap disajikan makanan dan minuman dengan nampan dan cangkir pada setiap kali orang makan sama seperti sewaktu ia hidup dan orang yang telah meningggal ini dapat dinyatakan telah mati saat upacara pemakamannya dilaksanakan yang diawali dengan upacara di doya (duduk menunggu tak tidur = mata tidak ditutup) dan makanan yang disajikan tidak lagi diletakkan di dalam wadah tampan maupun cangkir tapi diletakkan diatas daun pisang dan gelas bambu. Hal ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa dengan menyajikan makanan dan minuman dengan daun pisang dan gelas bambu, maka wadah ini dapat mengantarkan sajian persembahan langsung kepada yang ditujukan.7 Dalam upacara pemakaman masyarakat Toraja, keluarga mempersembahkan kerbau dan babi sebagai persembahan mereka. Jumlah yang diberikan tergantung dari status sosial mereka, yang status sosialnya paling tinggi keluarganya biasanya mempersembahkan ratusan ekor babi dan kerbau karena masyarakat aluk todolo meyakini bahwa semakin banyak jumlah kerbau yang dikorbankan, maka semakin baik tempat orang yang telah meninggal tersebut nantinya (selamat). Harapan akan keselamatan keluarga mereka ditunjukkan pula dengan cara mengusung jenazah ke atas menara (Lakkien) tempat jenazah disemayamkan selama prosesi berlangsung. Sebagai bentuk kepercayaan animisme, diyakini bahwa ritual rambu solo’ mengandung unsur pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan tersebut dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang telah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan.8
C. Aluk dan Pemali Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").
7
Abdul Aziz Said, Toraja, (Jakarta: Ombak, 2004), h. 39. Dhavamony, Fenamenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 79.
8
11
Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.9 Seluruh tatanan kehidupan (tradisional) orang Toraja berada dalam ikatan alukta. Kehidupan
orang
toraja
(tradisional)
merupakan
suatu
totalitas
berkepercayaan dan beretika. Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-nilai religius yang menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan. Aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun dimensi spiritual. Aluk mempunyai pengertian yang sangat luas yaitu: dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.10 Alukta bukan saja merupakan suatu sistem kepercayaan, tetapi juga sistem etika. Didasarkan atas pandangan dua tokoh alukta, Roxana Waterson menemukan bahwa, Alukta was also an ethical system. Often, the aluk (ritual prescriptions) and pemali (prohibitions) are described as a pair, for, as Pak Kila’ put it, the aluk teaches us to do good, while the pemali instruct us not to do what is bad. But the most complete expression of Alukta’s underlying structure was given to me by Tato’ Dena’. As he explained, it is actually founded upon four categories: first, the aluk (ritual requirements), second, the pemali (prohibitions), third, the sangka’ (regulations defining the proper order and progression of stages of ceremonies, housebuilding, agricultural ritual, and so forth), and fourth, encompassing all of the above, sanda salunna (...) which he rendered in Indonesian as kebenaran, ‘the truth’, the right way to live. All these together form the sukaran aluk, the rules that were given to humans by Puang Matua. The pemali are very numerous, described in a couplet as: pemali sanda saratu’, passalinan dua riu (‘the complete one hundred prohibitions, the two thousand taboos’), meaning that they are in effect countless, but they are not as strong as the sangka’. Sangka’ are said to be the kaka’ (older sibling), pemali the adi’ (younger sibling). Taking an example from social etiquette, Tato’ Dena’ explained that, when people are sitting together, it is pemali to stretch your legs out into the middle of the room, but a worse form of impoliteness to sit with your back turned to someone; that is sangka’.11 9
Imam Indratno, Sudaryono S., & Ahmad Mansur Khudori, Refleksi Ruang Tongkonan: Studi Kasus: Kampung Adat Tua Sillanan, Tana Toraja (Bandung: Univrsitas Islam Bandung, 2010), h. 4. 10 Gereja Toraja, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaan dengan Injil (Toraja: Pusbang Gereja Toraja, 1992), h. 5. 11 Roxana Waterson, Path and Rivers:Sa’dan Toraja society in transformation (Leiden: KITLV Press, 2009), h. 306.
12
Budaya memperebutkan jenazah harus ditempatkan dalam kerangka pemahaman Aluk dan Pemali (adp) yang bersifat totalitas dan berkelindan itu. Karenanya, dapat diduga bahwa di balik perebutan jenazah ada persoalan aluk dan pemali yang melatarinya. Masing-masing aluk mempunyai tuntunan dan larangan (pemali) yang semuanya tidak terlepas dari sifat religiusnya yakni korban persembahan. Masyarakat yang memangku aluk dan pemali itu tidak berani melakukan pelanggaran terhadap aluk tersebut. Mereka tahu bahwa setiap pelanggaran menuntut kewajiban mengadakan upacara pengakuan dan penghapusan dosa,
yang dalam
bahasa Toraja disebut massuru’. Masyarakat yang menganut aluk ini meyakini bahwa aluk dapat memberi mereka berkat dan kesejahteraan maupun atau malapetaka dan kesengsaraan. Oleh karena itu mereka sungguh memperhatikan dan berhati-hati dalam saat melaksanakan upacara aluk mereka. Dalam hal ini oragn Toraja menjadikan aluk sebagai hukum dan undang-undang yang harus ditaati oleh semua orang dan barangsiapa melakukan sesuatu dan tidak sesuai dengan yang ditentukan aluk maka akan mendapat hukuman baik dari masyarakat umum maupun dari dewadewa atau nenek moyang.
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Data yang disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.12 Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 Peneliti berupaya menggambarkan, menganalisis, serta memperbandingkan variabel-variabel yang diteliti, melalui pengamatan terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan pokok yang sedang dikaji.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data penelitian ini bersumber dari data lapangan dan data kepustakaan. Data kepustakaan bersifat sekunder, sementara data yang diperoleh dari lapangan bersifat data primer. Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan mencari berbagai literatur yang berkaitan dengan topik kajian, terutamanya yang berhubungan langsung dengan data lapangan, maupun teori dan metodologi yang akan digunakan. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan tekhnik observasi dan wawancara. Tekhnik dilakukan untuk mengumpulkan data lapangan dengan mengadakan pengamatan langsung di lapangan dan survei secara sistematik untuk melakukan kegiatan perekaman data. Tekhnik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data oral (tradisi lisan) yang tidak dapat diamati secara langsung. Instrumen yang digunakan
12
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 29. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosdakarya, 2002), h. 3.
13
14
dalam tekhnik wawancara ialah pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan pokok yang merupakan acuan pelaksanaan wawancara.
3. Teknik Analisa Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.14 Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, peneliti disini menggunakan metode analisis deskriptif yakni suatu metode penelitian yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.15 Analisis deskriptif ini dilakukan dengan tiga langkah, yakni reduksi, display dan interpretasi data. Dalam praktiknya, ketiga komponen analisis ini berjalan secara simultan. Langkah awal merupakan tahapan mengklasifikasi data atau taksonomi data ke dalam kategori atau pokok-pokok besar sesuai dengan hasil pengumpulan data. Data ini akan didisplay atau dibeberkan sebagaimana adanya, untuk kemudian dapat diberikan interpretasi dalam rangka menarik makna yang terkandung di dalamnya, sesuai dengan konteks dan ruang penelitian.
4. Jadwal Penelitian Jadwal penelitian ini meliputi persiapan, pelakasanaan, dan penyelesaian penelitian (penyusunan laporan). Jadwal Penelitian Tahun 2014 N o 1 2 3 4 5
Kegiatan 1
2
3
4
Bulan 5 6 7
8
9
10
Studi pendahuluan Menyusun dan mengajukan usulan penelitian Review dan seleksi penelitian Perbaikan proposal Studi Lapangan dan kepustakaan 14
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 103. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 18.
15
15
6 7 8 9
Analisa data Penyimpulan data Seminar hasil penelitian penelitian Perbaikan dan penyerahan hasil penelitian
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Tondon – Lembang Tondon Langi, Kabupaten Toraja Utara. Secara geografis, bersama dengan Kabupaten ‘induknya’, Tana Toraja, penelitian ini ada dalam dalam batasn 2° 40' Lintang Selatan (LS) sampai 3° 25' LS dan 119° 30' Bujur Timur (BT) sampai 120° 25' BT. Kabupaten Toraja Utara terletak di Sulawesi Selatan, merupakan kabupaten baru hasil pengembangan Kabupaten Tana Toraja yang resmi dibentuk berdasarkan UU No. 28 Tahun 2008. Ibu Kota Kabupaten Toraja Utara adalah Rantepao. Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja memiliki karakteristik serupa, baik budaya, adat, sampai mata pencaharian. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan Toraja Utara. Permintaan ekspor tinggi, sayangnya belum disertai dengan kemampuan produksi memadai. Toraja dibagi dalam tiga wilayah adat besar: kapepuangan di Tallu Lembangna (yang meliputi Sangalla, Makale, dan Mengekendek), pekamberan di Toraja Utara (Rantepao dan sekitarnya), dan kama’dikan (bagian barat Toraja, yang meliputi daerah Saluputti dan sekitarnya). Berdasarkan pembagian itu, maka Kecamatan Tondon yang menjadi lokus penelitian ini termasuk di dalam wilayah adat pekaamberan atau diAmbe’i. Mengingat luasnya wilayah kecamatan Tondon, maka penelitian ini dibatasi pada Lembang Tondon Langi’. Lembang Tondon Langi’ merupakan salah satu lembang yang terdiri dari dua dusun, yakni dusun Ampangan dan dusun Saleka.
1. Batas-batas Lembang Lembang Tondon Langi’ adalah salah satu dari 4 Lembang di kecamatan Tondon, dengan batas-batas sebagai berikut:
16
a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Lembang Karua
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan Lembang Nanggala
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Lembang Tondon Matallo
d.
Sebelah Barat berbatasan dengan Lembang Embang
2. Penduduk Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas dari keterlibatan serta partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari kedua dusun diatas sesuai dengan data jumlah penduduk tahun 2010 yang kami kumpulkan berjumlah sebanyak 1235 jiwa. Terdiri atas laki-laki 634 jiwa dan perempuan sebanyak 601 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 296. Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pemeritah di Lembang Tondon Langi’ maka Lembang ini dibagi kedalam 2 dusun yaitu dusun Ampangan dan Saleka. Tabel 1 Jumlah penduduk Lembang Tondon Langi’ Tahun 2010
Nama Dusun
Jenis Kelamin
Jumlah Jiwa
L
P
Ampangan
442
425
867
Saleka
192
176
368
Jumlah
634
176
1235
Sumber : data statistik Kantor Lembang Tondon Langi’ tahun 2011 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga Dusun Ampangan lebih banyak dari Dusun Saleka yaitu Ampangan 867 sedangkan Saleka hanya 368.
17 3. Luas wilayah Lembang Tondon Langi’ Luas wilayah Lembang Tondon Langi’ secara keseluruhan adalah 16.6728 km2 luas tersebut meliputi persawahan, perkebunan masayarakat, pekarangan, dan lain-lain yang dapat diperinci pada table 2 sebagai berikut: Tabel 2 Luas wilayah Lembang Tondon Langi’ (diperinci berdasarkan tanah) Tahun 2010 Komposisi Tanah
Luas (ha)
Sawah
24.420
Perkebunan
63.019
Pekarangan Rumah
55.645
Lain-lain
23.644 Jumlah
166.728
Sumber: data statistic Kantor Lembang Tondon Langi’ tahun 2011
4. Jumlah penduduk menurut usia Jumlah penduduk produktif di Lembang Tondon Langi’ adalah sebanyak 854 jiwa yaitu 17 sampai 56 Tahun sedangkan jumlah non produktif adalah sebesar 381 jiwa. Tabel 3 Jumlah penduduk Lembang Tondon Langi’ (diperinci menurut Usia) No.
Umur
L
P
Jumlah
1
0 - 12 Bulan
10
4
14
2
1 - 5 Tahun
40
35
75
3
6 - 7 Tahun
38
33
71
4
8 - 17 Tahun
144
134
278
5
18 – 56 Tahun
298
278
576
6
>56 Tahun
104
117
221
Jumlah
634
601
1.235 Jiwa
Sumber: data statistik Kantor Lembang Tondon Langi’ 2011
18
5. Mata Pencaharian Mata pencaharian merupakan sumber ekonomi atau sumber pendapatan penduduk yang dapat menentukan tingkat kemakmuran dan taraf hidup mereka. Semakin bagus mata pencaharian seseorang maka semakin tinggi pula statusnya dalam masyarakat. Mata pencaharian Penduduk Lembang Tondon Langi’ sangat bervariasi, mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat adalah petani, disamping itu sebagian bekerja sebagai pedagang, pegawai, tukang, sopir dan sebagainya seperti tampak pada tabel 4. Tabel 4 Jumlah penduduk Lembang Tondon Langi’ menurut mata pencaharian
No
Mata pencaharian
Jumlah KK
1
Petani
230
2
PNS (Sipil dan Militer)
38
3
Pedagang
11
4
Tukang
15
5
Sopir
13
Jumlah
298
Sumber:data statistik Kantor Lembang Tondon Langi’ tahun2011 Tabel 4 di atas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di Lembang Tondon Langi’ adalah petani, sebanyak 230 orang dari jumlah penduduk, 38 pegawai, pedagang 11, tukang 15, sopir 13. Dalam bidang pertanian, di Lembang Tondon Langi’, terdapat lahan persawahan yang cukup luas. Penghasilan berupa padi cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. 6. Sistem Pendidikan Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan tingkat kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di
19
suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilaya, begitu pula sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Potensi Lembang Tondon Langi’ dalam sektor pendidikan NO.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1
Buta Aksara
198
2
Tamat SD
279
3
Tamat SLTP
235
4
Tamat SLTA
200
5
Tamat D2
37
6
Tamat S1
99
7
Tamat S2
3
8
Tamat S3
1
Sumber: data statistik Lembang Tondon Langi’ Tahun 2011 Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidikan yang dominan di Lembang Tondon Langi’ adalah Tamat SD dan tingkat pendidikan yang paling kecil adalah S3. Dengan mengacu pada program pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Lembang Tondon Langi’ memiliki tingkat pendidikan dasar yang tinggi.
7. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah salah satu factor yang sangat penting bagi suatu Lembang di suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat dibutuhkan. Adapun
20 sarana dan prasarana yang terdapat di Lembang Tondon Langi’ adalah sebagai berikut: a. Sarana Pemerintah Lembang Tondon Langi’ memiliki sebuah kantor Lembang sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan. Kantor Lembang tersebut belum memiliki 1, Sebuah mesin ketik, 4 buah meja, 25 kursi.
21
b. Sarana kesehatan Pemenuhan layanan kesehatan di lembang Tondon Langi, dilayani dengan penyediaan sebuah Polindes, 2 buah posyandu. Selain itu, terdapat sebuah Puskesmas yang terletak dalam jarak yang relatif sangat muda dijangkau. c. Sarana ibadah Terdapat 2 buah gereja Kristen Protestan, 2 buah gereja Katolik, dan sebuah gereja Pentakosta. d. Sarana Transportasi Sarana perhubungan Lembang Tondon Langi’ cukup memadai, dimana semua pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal, pengerasan dan rintisan. Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas masyarakat Lembang Tondon Langi’. e. Sarana Air Bersih Lembang Tondon Langi’ merupakan daerah yang minim mata air, sehingga sebagian besar masyarakat Lembang Tondon Langi’ mengkomsumsi air PAM yang tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan warganya, terutama pada musim kemarau. f. Sarana penerangam Dari segi penerangan semua wilayah Lembang Tondon Langi’ telah terjangkau penerangan PLN, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek penerangan tidak menjadi kendala bagi masyarakat Lembang Langi’. 8. Sistem Kepercayaan Dari segi realigi masyarakat Lembang Tondon Langi’ terdiri atas 1.110 orang beragama Kristen, 118 orang beragama Katolik, dan 7 orang beragama islam. Tidak terdapat lagi penganut Kepercayaan Aluk Todolo, kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Toraja.
22
9. Sistem Kekerabatan Ada beberapa hal yang penting mendasar yang mencakup dalam aspekaspek sosial setiap masyarakat. Dalam penulisan ini, aspek –aspek yang dieksperikan ialah sistem kekerabatan dan sistem pelapisan sosial masyarakat (stratifikasi sosial). Kekerabatan merupakan kesatuan sosial yang terbentuk atas pertalian darah atau perkawinan. Kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya sentiment dan keakraban antara satu dengan yang lainnya. Sistem kekerabatan ini terjalin erat dengan sistem perkawinan. Dalam sistem perkawinan di Toraja ada filosofi basse situka’. Didalamnya ada ide pertukaran orang tua kedua belah pihak. Perkawinan menjadikan anak mantu menjadi anak ‘kandung’ dari mertua. Kuatnya filosofi demikian berkorelasi positif terhadap menguatnya ikatan kekerabatan yang terjalin. Perkawinan adat Toraja atau dalam bahasa Toraja disebut Rampanan Kapa’ sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum-hukum adat dimana ketentuanketentuan tersebut berpangkal pada susunan Tana’ atau Kasta yang dianut oleh masyarakat Toraja. Secara umum istilah kekerabatan biasanya diartikan sebagai kinsip group atau suatu kesatuan sosial yang berbentuk dengan didasari oleh pertalian darah dan perkawinan. Kelompok-kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya kekerabatan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga perkawinan bagi kebanyakan orang Toraja adalah perkawinan antara rumpun keluarga yang sama sehingga membina dan mempererat hubungan kekeluargaan. Terminologi kekerabatan kekeluargaan mengemuka dalam berbagai bentuk interaksi sosial kemasyarakatan. Dalam lingkup wilayah adat pekaamberan, isilah Ambe’ dan Indo’ dipergunakan dalam makna yang beragam. Pada dasarnya kata tersebut bermakna ayah untuk Ambe’ dan Ibu untuk Indo’. Namun demikian, pada lapangan pergaulan di luar keluarga batih, istilah tersebut sangat akrab digunakan. Para pemangku adat dan pemerintahan disapa dengan istilah-istilah kekerabatan kekeluargaan tersebut, baik Ambe’, Indo’, siulu’, maupun anak. Kata sapaan Ambe’
23 atau Indo’ digunakan apabila menyapa orang yang tua atau dituakan. Terhadap mereka yang lebih muda dalam usia perorangan disapa dengan anak. Orang Toraja menganut sistem bilateral dalam pelestarianan nama keluarga. Garis keturunan dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu, dilestarikan secara bersama-sama. Namun demikian, dalam pembagian warisan bahwa bila seorang anak yang banyak menyumbang korban persembahan bila seseorang dari orang tua mereka telah meninggal, maka dialah yang lebih banyak mendapatkan warisan, entah laki-laki maupun perempuan. Dalam tatanan sosial yang berlaku di Lembang Tondon Langi’, anggota masyarakat terkelompok ke dalam sejumlah satuan yang disebut saroan. Saroan adalah unit keanggotaan masyarakat yang terdiri dari beberapa (kepala) keluarga. Saroan terbentuk sehubungan dengan pembagian bahkan ‘perebutan’ peran dalam berbagai interaksi sosial, khususnya dalam Aluk Rambu Solo’. Jumlah saroan di Tondon Langi’ pada mulanya hanya empat, tetapi belakangan ini kian banyak.
24
BAB IV PEMAPARAN, ANALISIS DAN REFLEKSI TEOLOGIS HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Kasus Berebut jenazah hampir tidak pernah alpa dalam percakapan di sekitar perlakuan terhadap orang meninggal. Perebutan itu berada pada skala kecil atau besar, biasa maupun ekstrim. Berikut ini, sebagai contoh kasus, dipaparkan tiga kasus berebut jenazah pada skala besar atau ekstrim yang pernah terjadi di Lembang Tondon Langi’.
1. Kasus Pertama Kasus pertama telah dipaparkan sebagian di depan, yakni kasus anak yang mati tercebur di kubangan. Ibu korban berasal dari daerah mengkendek, di wilayah adat Pekapuangan. Ayahnya berasal dari Lembang Tondon Langi. Perebutan jenazah tidak terjadi antara ayah dan ibunya yang berasal dari wilayah adat yang berbeda. Walau ada kerinduan dari pihak keluarga ibunya untuk membawa jenazah ke kampung mereka, namun ia tidak terlalu ngotot. Mereka lebih berpikir praktis bahwa tondon lebih dekat dari tempat tinggal mereka di mana terjadi kejadian/kematian sang anak. Jenazah dibawa ke Tondon, namun sesampainya di Tondon jenazahnya ‘diperebutkan’ oleh pihak keluarga batihnya dengan pihak keluarga besarnya. Pada akhirnya, jenazah diserahkan kepada pihak keluarga batih setelah diinapkan semalam di rumah keluarga besar dan kepadanya dilakukan beberapa ritual upacara kecil. Walau akhirnya jenazah diserahkan kepada pihak keluarga batih, namun prosesnya cukup berbelit serta menguras waktu dan pikiran mereka yang terlibat langsung dalam kejadian.
25
2. Kasus Kedua Kasus kedua berhubungan dengan kematian seorang Ibu muda. Si mati meninggal karena sakit. Ia meninggal di rumah sakit di Rantepao setelah dirawat beberapa hari karena sakit. Suaminya berasal dari Kollo, sebuah daerah dalam wilayah lembang Tondon Siba’ta. Mereka belum memiliki anak. Sebelum menikah, almarhumah tinggal bersama orang tuanya di Tondon Langi. Namun sejak menikah, ia mengikuti suaminya tinggal di Kollo. Ibu almarhum sendiri berasal dari Tondon Langi, namun ayahnya sedaerah asal dengan suaminya, yakni dari Kollo. Dengan demikian, ia memiliki banyak kerabat di Kollo, dari pihak ayahnya. Sebelum jenazah dibawa keluar meninggalkan rumah sakit, terjadilah insiden pertengkaran memperebutkan jenazah. Suaminya dan kerabat keluarga ayahnya dari Kollo menghendaki jenazah dibawa ke Kollo. Pada pihak lain, orang tua dan saudara-saudaranya beserta kerabat keluarga yang lain dari pihak Ibunya, yang berasal dari Tondon Langi’, memaksa membawa jenazah ke Tondon Langi. Menurut beberapa informan, perebutan tersebut sangat sengit, penuh pertengkaran, bahkan nyaris mengakibatkan perkelahian antara kedua belah pihak. Lebih dari itu, bahkan ada yang sangat emosional meminta supaya jenazah dipotong jadi dua supaya masing-masing pihak membawa jenazah (walau tidak utuh) ke tempat masingmasing. Setelah melalui debat dan perebutan panjang, pada akhirnya jenazah dibawa ke Tondon Langi’. Masing-masing pihak, khususnya pihak yang dari Kollo, mengalah setelah ayah almarhum memutuskan membawa almarhum anaknya ke Tondon Langi’. Perlu digaris bawahi bahwa ayah almarhum berasal dari Kollo tetapi sejak menikah ia tinggal di Langi’. Dengan demikian, ia sudah bertahun-tahun berdomisili di Langi.
3. Kasus Ketiga Kasus ketiga adalah kasus perebutan jenazah seorang nenek. Selagi muda, almarhumah menikah sebanyak dua kali. Kedua suaminya audalah orang Tondon
26 Langi’, dan keduanya pun telah meninggal dunia. Ia memiliki lima (5) orang anak, buah dari kedua pernikahannya itu: seorang anak dari pernikahan pertama dan empat (4) orang anak dari pernikahan kedua. Ia mencapai umur sepuh atau lanjut usia. Beberapa anaknya yang tertua bahkan telah pula memiliki cucu. Selama masa tuanya, ia tinggal berpindah-pindah dari satu rumah anaknya ke rumah anaknya yang lain. Ia meninggal di rumah anaknya yang tinggal di sebuah rumah tongkonan. Menjelang upacara penguburannya, anak-anaknya mengadakan rapat. Rapat tidak menemui kata sepakat soal di mana dan bagaimana bentuk upacaranya. Anak yang terakhir ditempati sebelum meninggal, bersikukuh mengupacarakan ibunya di rumah tongkonan yang ditinggalinya. Semua saudaranya setuju, kecuali kakak tertuanya – yang berasal dari ayah yang lain. Kakak tertua menghendaki ibunya dibawa dan diupacarakan di tempat tinggalnya, yakni di rumah tongkonan yang dihuninya. Karena tidak bersepakat, akhirnya almarhumah diupacarakan sebanyak 2 kali. Upacara pertama dilaksanakan di rumah di mana ia meninggal, sedangkan upacara kedua dilaksanakan di rumah anak tertua.
B. Motif Berebut Jenazah 1. Kecintaan kepada Si Mati Kecintaan terhadap si mati merupakan salah satu pendorong utama tradisi berebut jenazah (TBJ) di kalangan warga Tondon Langi’. Mereka yang terlibat dalam praktik berebut jenazah (PBJ) merasa amat kehilangan dengan kematian tersebut. Mereka ingin lebih dekat kepada si mati, walaupun itu tinggal jenazah saja. Kelurga yang ditinggal tidak siap menerima kenyataan terpisah dari si mati.
2. Motif Mebala Kollong Mebala kollong adalah ungkapan Toraja yang bermakna ungkapan basabasih. Penutur tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dituturkannya. Oleh sebab itu pengabulan permintaan, bila mebala kollong bersifat permintaan seperti yang
27
lazim dalam berebut jenazah, maka pengabulan permintaan itu tidak selalu dikehendaki oleh pemohon. Mebala kollong dalam TBJ di Tondon Langi, demikian juga di Toraja pada umumnya, hampir selalu terjadi ketika berhadapan dengan penentuan tempat di mana jenazah hendak disemayamkan atau diupacarakan. To dileso didalukki’16 adalah alasan yang mendasari motif mebala kollong. Status dileso didaluk menempatkan si mati sebagai bagian dari sebuah rumpun keluarga yang besar. Ia adalah milik dari banyak orang, yaitu mereka yang bertalian darah dengannya. Atas dasar hubungan darah itulah, banyak orang yang merasa memiliki ‘hak’ untuk memilikinya. Mereka yang mebala kollong biasanya adalah pihak keluarga yang sesungguhnya menyadari bahwa mereka tidak ‘lebih berhak dari pada keluarga yang lain. Ia mebala kollong sekedar untuk menunjukkan bahwasanya ia pun merindukan dan berhak ‘memiliki’ si mati.
3. Motif Egoisme Jika mebala kollong adalah permintaan untuk ‘memiliki’ jenazah tidak dengan bersungguh-sungguh, maka ada pula yang sangat bersungguh-sungguh. Pada posisi ketika semua pihak bersungguh-sungguh merasa berhak atas si mati, pada kondisi inilah sering terjadi perebutan jenazah dalam pengertian yang sesungguhnya. Kasus kedua dan ketiga di atas adalah cerminan dari perebutan jenazah jenis ini. Pada kasus kedua, baik suami maupun orang tua si mati merasa merekalah yang paling berhak memilikinya. Pada kasus ketiga, baik anak tertua maupun keempat adiknya dari ayah yang lain sama-sama memiliki klaim kuat ‘kepemilikan’ ibu mereka. Di sekitar kedua pihak yang berebut dengan sungguh-sungguh itu, dipastikan ada pihak lain yang sekadar mebala kollong.
16
To berarti orang, dileso berarti belahan empat (1/4), didaluk berarti belahan 16 (1/16). Hal itu bermakna semua orang adalah turunan dari empat kakek-nenek dan dari 16 buyut. Dengan demikian, setiap orang (Toraja) adalah bagian dari salah rumpun keluarga besar.
28
4. Motif ekonomi Motif ekonomi berhubungan dengan perhitungan untung rugi yang akan dialami sebagai konsekuensi pelaksanaan pemakaman si mati. Hal ini paling menonjol dalam kasus ketiga. Keempat bersaudara sadar benar konsekuensi yang terjadi apabila mengikuti kemauan kakak tertua mereka. Konsekuensi itu adalah: a.
Kakak tertua bertempat tinggal di Tongkonan yang berbeda dengan tongkonan yang yang ditempat keempat adiknya, tempat di mana jenazah disemayamkan untuk sementara. Antara kedua tongkonan itu, ada perbedaan status sosial. Bilamana dilaksanakan di tongkonan kakak tertua, maka level upacara akan naik. Kenaikan level upacara tersebut akan berbanding lurus dengan besarnya hewan yang akan dipotong. Hal itu berarti, biaya pemakaman akan bertambah besar.
b.
Pemindahan jenazah, sebagaimana bila pelaksanaan upacara telah tiba, selalu melibatkan orang dalam jumlah yang besar. Pelibatan orang dalam jumlah besar menuntut pengorbanan yang besar pula. Hal ini berhubungan dengan biaya transportasi pemindahan jenazah, biaya makan, biaya minum, biaya pembelian rokok, dan sebagainya. Di lembang Langi, dalam upacara pemindahan jenazah saja, kadang kala
sudah mulai ada pembagian daging dan/atau hewan, khususnya babi. Ini merupakan bagian dari adat yang dikontemporerkan, yang sesungguhnya bermotif ekonomi belaka. Para ambe’ tondok (para pemimpin saroan) mempolitisasi hal ini untuk mendapatkan keuntungan materil dari keluarga yang berhajatan. C. Nilai di Balik Praktik Berebut Jenazah di Tondon Langi’ Motif dan nilai adalah dua hal yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan secara tajam. Di balik motif terdapat nilai-nilai yang mendasarinya; sebaliknya, nilainilai yang dianut merupakan titik pangkal suatu aktivitas. Nilai pada dasarnya bermakna sesuatu yang dijunjung tinggi seseorang, sebagai yang sangat bermakna atau penting. Serena Nanda menyebut, “Values are
29 shared ideas about what is true, right, and beautiful.”17 Nilai dapat bersifat personal namun bisa juga bersifat komunal. Kedua spektrum nilai inilah yang sering berada dalam ketegangan dinamis. Namun pada gilirannya, nilai sosiallah yang pada umumnya lebih dominan. Hal ini mengingat sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang cenderung conform dengan sosialitasnya. Pada dasarnya ARS adalah penampakan dari suatu konfigurasi nilai-nilai dasar yang menentukan pola hidup orang Toraja.18 Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa nilai yang mendasarinya diantaranya:
1. Nilai religius Pada kasus pertama, salah satu penyebab perebutan itu ialah adanya keterikatan pada pantangan atau tabu. Keluarga di tongkonan tua, tempat di mana jenazah pertama-tama disemayamkan, berkeberatan bilamana jenazah diambil begitu saja tanpa sebuah penumpahan darah hewan. Keluarga takut terjadi malapetaka di kemudian hari akibat melanggar aluk to mate dan aluk banua yang berkelindan dalam situasi tersebut. Hal itu terungkap dari penuturan salah seorang anggota keluarga waktu itu, “ia ke la male punalai mibaa te batang rabuk, issanammi kamu ke dendenni apa dadi. Daona’ tang na rambu, diongna’ tang na to’doi.” Ungkapan lan yang muncul saat itu ialah “pemali tu mpanglo’doi’ banua.” Situasi tabu umpanglo’doi banua
dan harus den apa dipakerara,
menyebabkan malam itu – walau hari sudah larut, sekitar pk. 21.00 WITA dipotonglah seekor babi. Alasan kebutuhan makan malam saat itu tidak lebih penting daripada ketakutan melanggar pemali atas aluk banua. Di sekitar rumah tongkonan, yang menjadi pusat dari semua ritus-ritus “aluk todolo” sejak nenek moyang orang Toraja, tidak boleh dilakukan sesuatu yang serampangan/semberono, yang tidak sejalan dengan tuntutan aluk.
17
Serena Nanda dan Richards L. Warms, Culture Counts: A Concise Introduction to Cultural Anthropology (New York:Wadsworth Cengange Learning, 2012), 35. 18 PUSBANG Gereja Toraja, Aluk Rambu Solo’ (Rantepao: Sulo, 1996), 120-132.
30
Dalam kasus ketiga, nilai religius juga cukup kental. Kakak tertua sadar betul beratnya biaya yang akan ditanggungnya dengan mengupacarakan ibunya di rumah tongkonan yang didiaminya. Ia rela melakukan itu demi memberi ‘bekal’ kepada ibunya. Keyakinan tersebut adalah khas dalam alam pikiran orang Toraja (penganut alukta). Walaupun tak ada lagi orang di Lembang Langi yang berkepercayaan alukta secara administratif, namun dalam prakteknya keyakinan itu masih hidup, setidaknya dalam diri kakak tertua, anak dari almarhumah dalam kasus ketiga di atas. Kedua kasus tersebut (yakni dalam kasus pertama dan ketiga) menguatkan sinyalemen mistisisme Toraja. Manusia toraja adalah makhluk mitis: ia dilahirkan ke dalam dunia ini, hidup secara pragmatis dalam ikatan aluk dan pemali untuk kembali ke alam mitis. Pelanggaran terhadap aluk sola pemali langsung mendapat hukuman dalam dunia ini, karena itu tidak boleh mengabaikan ritual ARS. Jika melalaikan, saat membali puang dari rohnya tertunda bahkan tidak masuk puya.19
2. Nilai kekeluargaan Orang Toraja terkenal dengan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Menyoal praktik berebut jenazah, Naomi Kila’ Allo, salah seorang informan, mengatakan itu adalah wujud dari “ungkanna’i rara buku.” Dalam setiap peristiwa kematian, semua yang memiliki pertalian darah – baik secara genealogis maupun melalui hubungan perkawinan – akan turut merasakan dukacita tersebut. Tidak ada keluarga yang menunggu undangan untuk datang berbela sungkawa. Bukan hanya datang berbela sungkawa, mereka bahkan berusaha untuk mengambil peran aktif di dalamnya. Bila tidak demikian, maka orang tersebut akan dianggap tidak peduli terhadap keluarga.20 Mereka dipandang tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada keluarganya yang meninggal.
19
Tim Institut Theologia, Manusia Toraja: dari Mana-bagaimana-ke mana (Tangmentoe: Institut Theologia, 1983), 1. 20 Wawancara dengan Naomi Kila’ Allo, tanggal 19 Mei 2014.
31
3. Nilai persekutuan Nilai persekutuan adalah salah satu wujud sosialitas manusia Toraja. Ikatan sosial sangat kental membentuk kedirian seorang manusia Toraja. Nilai persekutuan dapat dipadang sebagai perluasan atau sisi lain dari nilai kekeluargaan pada aras yang lebih luas. Hal itu pun tercermin dalam praktik berebut jenazah. Dalam kasus kedua di atas, persekutuan sosial orang Kollo sedang berhadaphadapan dengan persekutuan sosial orang Tondon Langi’. Suami almarhumah mendapat dukungan dari sesamanya orang Kollo untuk mengklaim jenazah, sebaliknya orang tua almarhum didukung oleh kerabat luas dari Tondon Langi’. Prinsip resiprositas kelompok ada di balik perebutan jenazah. Kedua pihak yang berebut jenazah, berada dan ingin bertindak memenuhi tuntutan sosial kelompoknya masing. Salah satu kesempatan, bahkan yang terutama, di mana kewajiban membayar tuntutan sosial itu mendapat ruang adalah dalam upacara rambu solo’. Di dalam upacara tersebut terjadi sebentuk transaksi sosial yang bersifat resiprokal. Keluarga yang melakukan upacara ‘berkewajiban’ melakukan pembagian daging kepada masyakat, sebagaimana ia pun telah mendapat pembagian tersebut pada upacara yang sama yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. Dalam kasus kedua, pihak keluarga suami almarhumah merasa jenazah harus diupacarakan di Kollo, karena selama ini ia telah banyak menerima dari masyarakat Kollo. Baginya, upacara pemakaman jenazah istrinya adalah saat untuk ‘membayar’. Perasaan ‘berhutang’ yang sama juga tentu dialami oleh orang tua almarhumah di Tondon Langi’. Tarik menarik kepentingan membayar ‘hutang’ dan memberi ‘piutang’ itulah yang memunculkan praktik berebut jenazah.21 4. Nilai longko’ atau siri’ Longko’ Toraya adalah salah satu faktor pendorong utama berbagai tindakan sosial seorang Toraja. Longko’ secara leksikal berarti malu, segan.22 “Apa la
21
Wawancara dengan Titus Tuppang, tanggal 28 Oktober 2014. J. Tammu dan H. van der Veen, Kamus Toradja – Indonesia (Makassar: Lembaga Bahasa Nasional, 1972), h. 327, s.v “Longko’” 22
32 nakuangki’ tau,” demikian penuturan Kristanto mengartikan longko’. Kristanto melihat prinsip itu terdapat di balik praktik berebut jenazah. Orang yang mebala kollong, misalnya, pasti terdorong oleh nilai longko’. Nilai longko’ juga mengiringi keinginan menentukan tingkatan upacara aluk rambu solo’. Apa yang terjadi dalam kasus ketiga di atas tidak lepas pula dari longko’ Toraya. Kakak tertua, tidak sanggup menahan malu bilamana tidak mengupacarakan almarhum ibunya menurut level yang dipersepsikan orang-orang di sekitarnya. Ia pun berkepentingan mempertunjukkan status tongkonannya sebagai tongkonan besar. Secara umum dapat dikatakan, longko’ berjalan beriringan dengan asas resiprokal alias ‘hutang-piutang’ yang melekat dalam budaya Toraja dalam upacara aluk rambu solo’.
5. Nilai pragmatisme - materialisme Materialisme adalah salah satu nilai yang tidak dapat dimungkiri menyertai praktik berebut jenazah. Hal ini telah lama melekat dalam budaya Toraja. Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, roh materialisme kian berkembang liar dengan dukungan sikap pragmatis yang banyak mengisi ruang-ruang kebudayaan Toraja masa kini.23 Pada mulanya, ada satu bagian dari upacara aluk rambu solo’ yang dikenal dengan nama mangrinding. Mangrinding adalah ritus pembagian harta kekayaan berdasarkan besarnya pengorbanan saat upacara pemakaman orang mati. Besarnya perolehan kekayaan berbanding lurus dengan besarnya pengorbanan hewan yang dilakukan seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini mengkondisikan seorang anak berusaha seoptimal mungkin memberi kepada orang tuanya yang telah meninggal. Pada gilirannya, sikap ini rentan menimbulkan egoisme dan persaingan antar anak si mati.
George J. Aditjondro, Pragmatisme Menjadi To Sugi’ dan To Kapua di Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2010), 116. 23
33
Apa yang terjadi pada kasus ketiga tidak lain dari adanya nilai pragmatismaterialis. Menurut beberapa orang di Tondon Langi, sikap kakak tertua yang bersikukuh membawa orang tuanya ke tongkonannya tidak lain daripada ekspresi kebelum-siapannya untuk mengupacarakan orang tuanya dalam waktu dekat. Ia belum memiliki kerbau dalam jumlah yang cukup, baik untuk kepentingan mangrinding itu, maupun untuk memenuhi level upacara yang diinginkannya. Di sini nampak jelas bahwa sang kakak ada dalam tarik ulur antara ketidak-siapan berupacara dengan kebutuhan pemenuhan gengsi dirinya dan tongkonannya. Tentang faktor gengsi dalam hal semacam ini, Tino Sarungallo – membandingkan dengan yang terjadi di kalangan orang Manado – mengatakan, … berbeda dengan orang Toraja. Ajang persaingan gengsi terjadi dalam upacara-upacara adat. Upacara pemakaman di Tana Toraja misalnya, sudah terkontaminasi kesakralannya dengan kepentingan gengsi pribadi maupun keluarga besar Mungkin ini dampak dari kenyataan bahwa upacara sudah tidak dilakukan lagi oleh penganut aluk to dolo tetap penganut agama Nasrani yang karena tidak menjiwai keseluruhan upacara tersebut akhirnya hanya mengambil ‘kulit kemegahan’-nya. Penyebutan sebagai adat adalah melulu bentuk pembenaran!24 Sikap sang kakak jelas bertentangan dengan sikap adik-adiknya. Secara matematis-ekonomis, adik-adiknya cenderung realistis. Mereka lebih memilih untuk memberi sesuai kemampuan mereka daripada memaksa diri. Mereka tahu bahwa apa yang akan mereka peroleh tidak akan sebanding dengan apa yang akan mereka korbankan dalam upacara pemakaman orang tua mereka. Yang menarik ialah kehadiran ‘pihak ketiga’, yaitu kelompok saroan. Mereka ini banyak memainkan peran tersembunyi di balik perebutan jenazah. Mereka berkepentingan mendorong peningkatan level upacara menjadi lebih tinggi guna mendapatkan bahagian yang besar pula dari upacara tersebut. Mereka juga berperan menggiring pemindahan jenazah ke wilayah saroan-nya supaya mereka dapat terlibat dan berada dalam arena upacara secara determinan.
24
Tino Sarungallo, Anak Toraja Kota menggugat (Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, 2008),
113-114.
34
Permainan kelompok saroan tersebut bukan tidak disadari oleh pihak yang hendak mengupacarakan si mati. Walau demikian, mereka seakan tidak berdaya menghadapinya. Hal ini sudah menjadi fakta sosial yang sulit dielakkan. Ada semacam fatalisme di dalamnya, ada pula ‘dendam sosial’. Mereka tahu, bahwasanya kelak akan tiba masanya pada upacara yang digelar oleh pihak lain maka ia pun akan menerima kembali apa yang dikorbankannya itu bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Akumulasi nilai kekeluargaan dan persekutuan yang telah kehilangan dasar, yakni kepercayaan alukta, kemudian yang ‘ditunggangi’ oleh longko’ telah melahirkan pragmatisme materialisme yang tak terkontrol. Aditjondro mensinyalir kemunculan hal tersebut karena adanya penghormatan yang tanpa kritik terhadap kekayaan dan kekuasaan yang lebih dipicu oleh apresiasi dan rasa segan orang toraja terhadap orang besar (to kapua) dan orang kaya (to sugi).25
D. Refleksi Teologis Terhadap Tradisi Berebut Jenazah Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak menjelaskan boleh atau tidak boleh memperebutkan jenazah. Alkitab, khususnya Perjanjian Lama hanya menjelaskan tentang upacara penguburan jenazah. Namun tidak berarti bahwa budaya Toraja yang sering memperebutkan jenazah pada upacara penguburan tidak dapat dinilai secara teologis. Karena itu, bagian ini akan menjelaskan makna upacara penguburan jenazah sebagaimana kesaksian Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, yang dianggap memiliki banyak kemiripan dengan budaya Toraja. Kejadian 25:8-10 mengatakan: Lalu ia meninggal. Ia mati pada waktu telah putih rambutnya, tua dan suntuk umur, maka ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. Dan anakanaknya, Ishak dan Ismael, menguburkan dia dalam gua Makhpela, di padang Efron bin Zohar, orang Het itu, padang yang letaknya di sebelah timur Mamre, yang telah dibeli Abraham dari bani Het; di sanalah terkubur Abraham dan Sara isterinya.
25
Aditjondro, h. 38-144
35 Para penafsir telah menafsirkan ungkapan “dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” dengan bermacam-macam cara. Penafsir yang satu menafsirkannya sebagai ungkapan yang lebih halus untuk kematian.26 Sedangkan penfsir yang lain menafsirkannya sebagai rujukan kepada penguburan berganda, yakni hal yang biasa dilakukan di antara orang Kanaan dan juga orang Israel.27 Nada yang hampir sama juga dikemukakan oleh Walter Lempp bahwa istilah itu menyatakan penguburan dalam kuburan keluarga, dci mana kaum leluhur, yaitu nenek moyang, telah berkumpul.28 Tetapi pandangan mayoritas adalah sebagai rujukan kepada kekekalan perdamaian.29 Abraham dikubur di gua Makhpela, yang dahulu telah dibeli dari bani Het, oleh kedua anaknya, Ishak dan Ismael, yang menandakan bahwa telah terjadi perdamaian di antara keduanya.30 Makna perdamaian dari upacara penguburan juga ditunjukkan oleh Esau dan Yakub ketika menguburkan Yakub, ayah mereka. Menurut John J. Davies, kenyataan bahwa Esau membantu Yakub menguburkan ayah mereka menunjukkan kerukunan dan perdamaian selanjutnya antara Esau dan Yakub (Kej. 35).31 Dari tafsiran teks Kejadian 25:8-10 dapat disimpulkan bahwa jika Ishak dan Ismael menguburkan Abraham bersama kaum leluhurnya, maka hal itu menunjukkan bahwa telah terjadi kekekalan perdamaian, baik antara Abraham dan Sara sebagai suami-istri, Abraham dengan anak-anaknya maupun di antara keturunan Abraham sendiri. Makna lain dari penguburan jenazah dalam Perjanjian Lama adalah sebagai bukti kasih dan kesetiaan kepada yang meninggal. Kejadian 49:29 mengatakan:
26
Francis D. Nichol (ed.), The Seventh-Day Adventis Bible Commentary, jilid 1 (Washington: Review and Herald Publishing Association, 1953), 314, 315. 27 Eric M. Meyers, “Secondary Burials in Palestine”, The Biblical Archaeologist, vol. 33 (1970). 28 Walter Lempp, Tafsiran Alkitab: Kitab Kejadian 12:4-25:18 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h.343. 29 Misalnya, Derek Kidner, Genesis (Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1967), 150; Keil and Kelitzsch, Biblical Commentary, jilid 1 (Nashville: Broadman Press, 1953), 263; Clifton J. Allen (Peny.), Genesis: The Broadman Bible Commentary, jilid 1 (Nashville: Broadman Press, 1969), 207. 30 John J. Davis, Eksposisi Kitab Kejadian, diterjemahkan oleh Gandum Mas (Malang: Gandum Mas, 2001), h. 248. 31 Ibid., h. 279.
36
Ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati, dipanggilnyalah anaknya, Yusuf, dan berkata kepadanya: "Jika aku mendapat kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan menunjukkan kasih dan setia kepadaku: Janganlah kiranya kuburkan aku di Mesir. Yusuf meletakkan tangannya di bawah pangkal Yakub, sebuah simbol bahwa sumpah itu tetap mengikat bahkan setelah kematian Yakub sekalipun (bnd. Kej. 24:2-4). Yusuf bersumpah akan menguburkan Yakub di Kanaan, tanah airnya. Keinginan Yakub untuk dikuburkan di sana, dengan jelas menunjukkan imannya yang nyata akan janji-janji perjanjian Allah. Yakub menyadari bahwa kediaman keluarganya di Mesir adalah sementara saja, dan bahwa Allah akan membebaskan mereka mengembalikan mereka ke tanah perjanjian.32 Permintaan Yakub sebelum meninggal adalah supaya dirinya dikuburkan bersama nenek moyangnya di Kanaan. Yakub bersumpah (bnd. Kej. 24:2) bahwa dirinya akan memenuhi permintaan itu. Hal itu menunjukkan betapa penting permintaan Yakub itu. Dikubur dalam makam keluarga, bukan hanya tanda akhir hidup yang diharapkan, tetapi juga menandakan ikatan dengan para leluhurnya. Selain itu, dikubur di Kanaan berarti tanda bahwa dirinya memiliki tanah itu dan mengantisipasi hari kepulangan keturunannya dari Mesir.33 Masa akhir hidup Yakub dilewati dengan sejahtera, makmur dan bahagia. Sebelum meninggal, Yakub menyuruh Yusuf berjanji untuk membawa tubuhnya kembali ke Kanaan untuk dikuburkan di sana. Hidup Yakub merupakan hidup yang penuh dengan pergolakan, dan hidupnya telah mengembara jauh. Namun Yakub ingin agar tulang-tulangnya dikuburkan di sisi tulang-tulang Abraham, Ishak, Sara, Ribka dan Lea, yakni di gua Makhpela yang telah dibeli Abraham ketika Sara meninggal dunia (bnd. Kej. 23). Tubuh wakil pilihan Allah itu akan dibaringkan bersama dengan leluhur lainnya.34
32
Ibid., h. 316. Dianne Bergant dan Robert J. Karris (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 77. 34 Charles F. Pfeiffer dan Evertt F. Harrison (eds.), Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, vol. 1, diterjemahkan oleh Gandum Mas (Malang: Gandum Mas, 2007), h. 138. 33
37
Permintaan Yakub ini kelihatannya menghina Mesir, seakan-akan Mesir tidak layak bagi kuburannya. Tetapi Yakub tahu bahwa permintaannya itu benar dan bermanfaat bagi keturunanya, dan karena itu ia tetap melakukannya. Menurut Calvin, tujuannya mengapa Yakub minta tidak dikubur di Mesir ialah untuk mendorong anakanaknya untuk mengharapkan pembebasan dan supaya janji Allah bisa ditegaskan kepada keturunannya.35 Karena itu tepatlah kata-kata dari R. Martin - Achard bahwa Israel (Yakub) yang sekarat itu kelihatannya lebih memperhatikan masa depan umat Allah dari pada dunia yang tidak dikenal yang sedang dimasukinya.36 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata-kata Yakub dalam Kejadian 47:29 merupakan permintaan Yakub kepada Yusuf, anaknya, agar menguburkannya di Kanaan sebagai bukti kasih dan kesetiaannya kepada ayahnya. Makna lain ialah agar janji bisa ditegaskan kepada keturunannya. Makna lain dari penguburan jenazah terdapat dalam Keluaran 13:19, yang mengatakan: Musa membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: “Allah tentu akan mengindahkan kamu, maka kamu harus membawa tulangtulangku dari sini”. Dengan membawa jenazah Yusuf ke Kanaan berarti orang Israel diingatkan akan tujuan perjalanan Yusuf bagi mereka. Orang Israel diinsafkan bahwa mereka mempunyai milik pusaka di tanah Kanaan. Dekat Hebron terdapat gua Makhpela menjadi pekuburan milik bersama. Di sana dikuburkan Sara (Kej. 23:1-20), Abraham (Kej. 25:9-10), Ishak (Kej. 35:27-29; 49:31), Ribka (Kej. 49:31), Lea (Kej. 49:32) dan Yakub (Kej. 47:29-31; 49:29-32; 50:1-14).37 Menurut Roland de Vaux, merupakan sesuatu yang normal bagi seorang laki-laki dikubur di kuburan ayahnya (Hak. 8:32; 16:31; 2 Sam. 2:32; 17:23) sebagaimana yang diharapkan selama hidupnya (2 Sam. 19:38), dan Daud telah menunjukkan hal ini sebagai suatu
35
John Calvin, Commentary on the Book of Genesis, vol. 2, translated by William Pringle (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, 1999), h. 291. 36 Budi Asali, “Eksposisi Kitab Kejadian” dalam http://golgothaministry.org/kejadian/kejadian-47_27-48_22.htm. 37 H. Rosin, Tafsiran Keluaran 1-15 (Djakarta: BPK Kwitang, 1963), h. 289.
38
penghormatan terhadap tulang-tulang Saul dan keturunannya (2 Sam. 21:12-14). Sebaliknya, seorang yang dihukum Allah tidak boleh dikubur dikuburan keluarga (1 Raj. 13:21-22). Ungkapan-ungkapan “tidur dengan ayahnya sendiri” dan “bersatu kembali dengan miliknya sendiri” merupakan ungkapan-ungkapan yang umum dalam Perjanjian Lama. Sekalipun ungkapan-ungkapan ini menunjuk kepada kematian, namun pada saat yang sama menekankan adanya pertalian darah sampai alam baka.38 Di samping kuburan milik pribadi (Yos. 24:30, 32; 1 Sam. 25:1; 1 Raj. 2:34) dan milik keluarga (Kej. 23; 25:8-10; 49:29-32; 50:13), juga terdapat kuburan kaum miskin dan kuburan kaum kaya. Kuburan kaum miskin adalah kuburan biasa bagi kaum miskin dan mereka yang dihukum karena kejahatan (Yer. 26:23; bnd. 2 Raj. 23:6). Sedangkan kuburan kaum kaya adalah kuburan bagi kaum yang terpandang, yang terhormat, yang berjasa dan keturunannya (Yes. 22:16; bnd. Ayb. 3:14). Misalnya, raja-raja Yehuda, di mana raja Daud dan para penggantinya sampai raja Ahaz dikubur, bersebelahan dengan benteng kota tua Daud (1 Raj. 2:10; 11:43; 14:31).39 Yang menarik ialah penghormatan Daud terhadap tulang-tulang Saul dan keturunannya (2 Sam. 21:12-14). Menurut Liem Thin Ping, tulang-tulang orang yang meninggal melambangkan bahwa orang itu pernah ada (Kej. 2:23), bukti janji Tuhan di dalam orang itu (Kej. 49:31, 32), orang yang melakukan sesuatu dalam diri anak cucu dan cicitnya (Mzm. 37:25), kuasa Allah yang ada dalam diri orang itu (2 Raj. 13:21), orang itu menjadi panutan banyak orang (Kej. 25:8-10) dan mampu memberi kehidupan bagi orang yang hidup (Yesus). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguburan jenazah bagi orang Israel mengandung beberapa makna teologis, yakni: 1.
Penguburan jenazah di kuburan keluarga menunjukkan adanya kekekalan perdamaian, baik di antara orang-orang yang telah meninggal maupun dengan keturunannya yang masih hidup. 38
Roland de Vaux, Ancient Israel: Religious Institutions, vol. 1 (New York, Toronto: McGraw-Hill Book Comapny, 1961), h. 58-59. 39 Liem Thin Ping, “Kuasa dari Tulang” dalam houseofallnations.blogspot.com.
39
2.
Penguburan jenazah di kuburan keluarga menunjukkan kasih dan kesetiaan janji keluarga kepada orang yang telah meninggal.
3.
Bagi orang Israel, tulang-tulang orang yang meninggal mempunyai kuasa dan pengaruh besar bagi orang yang masih hidup, yakni: melambangkan bahwa orang itu pernah ada, bukti janji Tuhan di dalam orang itu, orang yang melakukan sesuatu dalam diri anak cucu dan cicitnya, kuasa Allah yang ada dalam diri orang itu dan orang itu menjadi panutan banyak orang.
4.
Sekalipun
Alkitab
tidak
menjelaskan
tradisi
boleh
atau
tidak
boleh
memperebutkan jenazah, namun Alkitab sendiri menjelaskan nilai-nilai teologis di balik penguburan jenazah di kuburan yang telah ditetapkan oleh keluarga.
40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa tradisi berebut jenazah sarat dengan motif dan atau nilai-nilai ketorajaan. Pada pokoknya motif tersebut ada yang bersifat intrinsik dan ada yang bersifat ekstrinsik. Motif instrinsik berhubungan dengan dorongan yang berasal dari dalam diri keluarga si mati sendiri, sedangkan motif ekstrinsik berupa dorongan atau desakan yang berasal dari luar diri keluarga si mati tetapi bersifat memaksa keluarga si mati untuk melakukannya. Kedua motif tersebut berkelindan menjadi satu, sehingga tidak dapat dipisahkan secara tajam. Motif-motif itu berupa motif religius, motif sosial, dan motif ekonomi. Kedua motif tersebut didasari oleh penghayatan sejumlah nilai-nilai hidup ketorajaan, baik yang diwarisi dari nenek moyang orang toraja sendiri maupun yang lahir sebagai buah dari perjumpaan atau interaksi dengan budaya kontemporer. Nilainilai tersebut yakni nilai kasih sayang, penghormatan, nilai ekonomi, siri’ atau harga diri. Secara teologis, nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi berebut jenasah tersebut banyak yang bersesuaian dan sejalan dengan iman kristen, tetapi ada pula yang bertentangan dengannya.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: 1.
Gereja Toraja, pada segala aras, perlu meningkatkan pendampingan kepada keluarga dalam berbagai ajang upacara Rambu Solo’ guna membimbing warga gereja untuk mengekspresikan tradisi berbudaya yang sejalan dengan iman Kristen.
41
2.
STAKN Toraja perlu meningkatkan penelitian di bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Toraja yang merupakan kebudayaan mayoritas stake-holder-nya, guna membantu memberikan solusi bagi persoalan sosial kemasyarakatan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George J. Pragmatisme Menjadi To Sugi’ dan To Kapua di Toraja. Yogyakarta: Gunung Sopai, 2010. Agustinus. Pengaruh Nilai-nilia Tradisi Leluhur Rambu Solo’ terhadap Konsep Kematian yang dimiliki Umat Kristen Gereja KIBAID di Toraja. Toraja, 201. Allen, Clifton J. (Peny.). Genesis: The Broadman Bible Commentary, jilid 1. Nashville: Broadman Press, 1969. Asali, Budi. “Eksposisi Kitab Kejadian” dalam http://golgothaministry.org/kejadian/kejadian-47_27-48_22.htm. Bergant, Dianne dan Robert J. Karris (eds.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Calvin, John. Commentary on the Book of Genesis, vol. 2, translated by William Pringle. Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, 1999. Davis, John J. Eksposisi Kitab Kejadian, diterjemahkan oleh Gandum Mas. Malang: Gandum Mas, 2001. Dhavamony, Fenamenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Durkheim, Émile. The Elementary Forms of the Religious Life. London: George Allen & Unwin, 1915. Gereja Toraja, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaan dengan Injil. Toraja: Pusbang Gereja Toraja, 1992. Indratno, Imam, Sudaryono S. & Ahmad Mansur Khudori, Refleksi Ruang Tongkonan: Studi Kasus: Kampung Adat Tua Sillanan, Tana Toraja. Bandung: Universitas Islam Bandung, 2010. Indratno, Imam, Sudaryono S. & Ahmad Mansur Khudori. Refleksi Ruang Tongkonan: Studi Kasus: Kampung Adat Tua Sillanan, Tana Toraja. Bandung: Univrsitas Islam Bandung, 2010. Keil and Kelitzsch. Biblical Commentary, jilid 1. Nashville: Broadman Press, 1953. Kidner, Derek. Genesis. Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1967. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta 1979. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1987. Lempp, Walter. Tafsiran Alkitab: Kitab Kejadian 12:4-25:18. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Meyers, Eric M. “Secondary Burials in Palestine”, The Biblical Archaeologist, vol. 33 (1970).
43
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya, 2002. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Nanda, Serena dan Richards L. Warms. Culture Counts: A Concise Introduction to Cultural Anthropology. New York:Wadsworth Cengange Learning, 2012. Nichol, Francis D. (ed.), The Seventh-Day Adventis Bible Commentary, jilid 1. Washington: Review and Herald Publishing Association, 1953. Pfeiffer, Charles F. dan Evertt F. Harrison (eds.). Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, vol. 1, diterjemahkan oleh Gandum Mas. Malang: Gandum Mas, 2007. Ping, Liem Thin. “Kuasa dari Tulang” dalam houseofallnations.blogspot.com. PUSBANG Gereja Toraja. Aluk Rambu Solo’. Rantepao: Sulo, 1996. Robertson, Roland (ed). Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali, 1988. Rosin, H. Tafsiran Keluaran 1-15. Djakarta: BPK Kwitang, 1963. Said, Abdul Aziz. Toraja. Jakarta: Ombak, 2004. Sarungallo, Tino. Anak Toraja Kota menggugat. Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, 2008. Suparlan, Parsudi dalam Robertson Roland (ed). Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali, 1988. Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Tim Institut Theologia. Manusia Toraja: dari Mana-bagaimana-ke mana. Tangmentoe: Institut Theologia, 1983. Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan Daerah. Tylor, E.B. Primitive culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press, 1974. Vaux, Roland de. Ancient Israel: Religious Institutions, vol. 1. New York, Toronto: McGraw-Hill Book Comapny, 1961. Waterson, Roxana. Path and Rivers:Sa’dan Toraja society in transformation. Leiden: KITLV Press, 2009.