BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Teori keuangan tradisional (traditional finance) seperti Efficient Market
Hypothesis (Fama, 1970) dibangun atas dasar berbagai asumsi. Salah satu asumsinya menyebutkan bahwa pelaku pasar selalu berpikir rasional dalam membuat keputusan (Suryawijaya, 2003). Namun pada kenyataannya, asumsi tentang rasionalitas investor sulit untuk dipenuhi merujuk pada penelitian Widoatmodjo (2010) yang menemukan bahwa di Pasar Modal Indonesia secara keseluruhan investor lebih cenderung berperilaku tidak rasional daripada rasional. Kekuatan pengaruh sosial atau orang sekitar seringkali digunakan sebagai acuan investor untuk berinvestasi. Jika sikap investor terhadap pengambilan keputusan positif (investor ingin melakukan investasi) tetapi teman tidak mendukung sikapnya, maka niat investor tersebut bisa berubah secara kontradiktif (Adhikara, 2008). Hal ini berarti bahwa minat investor untuk berinvestasi lebih banyak melakukan adopsi perilaku meniru (Adhikara, 2008). Penelitian Gunawan dkk. (2011) menemukan bahwa perilaku investor pada kondisi normal maupun kondisi imbal hasil yang sangat tinggi menunjukkan perilaku yang rasional. Sedangkan pada kondisi market crash, terdapat indikasi perilaku follower diantara investor. Ketika kondisi pasar saham sedang jatuh yang memicu terjadinya market crash di pasar modal, maka volatilitas cenderung meningkat. Hal ini berarti, ketika investor semakin banyak menunjukkan perilaku
1
2
sebagai follower investor, maka volatilitas cenderung meningkat. Sedangkan ketika kondisi pasar saham meningkat (bullish) maka volatilitas cenderung rendah, dimana pergerakan naik turunnya harga saham lebih rendah dibandingkan ketika kondisi pasar saham sedang turun (bearish). Ketika volatilitas meningkat, risiko investasi meningkat sedangkan imbal hasil yang diperoleh investor menurun. Volatilitas adalah naik turunnya atau fluktuasi harga saham selama periode tertentu. Volatilitas dipasar keuangan menggambarkan tingkat risiko yang dihadapi pemodal karena mencerminkan fluktuasi dari return-return sekuritas akibat pergerakan harga saham (Jogiyanto, 2010: 376). Penelitian yang dilakukan oleh Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia pada Tahun 2011, menemukan bahwa angka volatilitas ketika indeks sedang dalam trend menurun (bearish) relatif tinggi, sedangkan dalam trend menanjak (bullish) volatilitas relatif stabil dan hanya sesekali berada di luar batas rata-rata. Hal ini menunjukan bahwa di Pasar Modal Indonesia apabila pergerakan IHSG sedang menurun maka terjadi panic selling, namun apabila IHSG bergerak sebaliknya panic buying tidak terjadi. Panic selling adalah kondisi terjadinya volume penjualan saham yang besar di pasar secara keseluruhan atau hanya pada saham tertentu saja yang akan berpengaruh pada IHSG. Panic selling terjadi karena pelaku pasar dalam kondisi panik. Dalam keadaan panic selling keputusan pelaku pasar didominasi oleh faktor emosi. Ketika IHSG turun, tingkat volatilitas lebih tinggi dari rata-rata yang
3
diakibatkan oleh panic selling, yang dapat dilihat pada Gambar 1.1 (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia, 2011).
Sumber : Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia 2011
Gambar 1. 1 Pergerakan IHSG dan Tingkat Volatilitas 2008-2010
Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia pada Tahun 2011 menemukan bahwa investor lokal bertindak tidak dengan perhitungan yang matang, tetapi hanya dengan menggunakan instingnya saja. Investor lokal beranggapan bahwa pihak asing mempunyai riset dan sumber informasi lebih dibandingkan dengan investor lokal, sehingga berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa setiap pengambilan keputusan atas investasi yang diambil investor asing, selanjutnya akan diikuti oleh investor lokal atau bertindak sebagai follower (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia, 2011). Selanjutnya, Tim Studi Volatilitas Pasar Modal
4
Indonesia dan Perekonomian Dunia (2011) menduga kemungkinan keputusan tidak rasional investor Indonesia dengan berperilaku sebagai follower dapat menggangu volatilitas saham pada pasar modal Indonesia, dengan memperhatikan pergerakan IHSG dan transaksi yang dilakukan investor asing dan lokal selama tahun 2008-2010. Gambar Pergerakan IHSG dan transaksi yang dilakukan investor asing dan lokal dapat ditunjukkan pada Gambar 1.2.
Sumber : Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia 2011
Gambar 1. 2 Pergerakan IHSG dan Transaksi yang Dilakukan Investor Asing dan Lokal 2008-2010
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh Investor Lokal lebih mendominasi (diwakili dengan grafik berwarna merah) dan hanya sesekali Investor Asing melakukan transaksi yang lebih besar. Hal ini terus terjadi ketika tren IHSG sedang turun (bearish) maupun ketika sedang menanjak (bullish). Selama ini terdapat anggapan bahwa pihak asing mempunyai riset dan
5
sumber informasi yang lebih dibandingkan investor lokal. Dengan kondisi tersebut maka setiap pengambilan keputusan atas investasi yang diambil pihak asing selanjutnya akan diikuti oleh investor lokal atau bertindak sebagai follower (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia, 2011). Teori Sinyal menyebutkan bahwa investor akan menyesuaikan perilakunya sesuai pada pemahaman sinyal yang disampaikan oleh pihak pemilik informasi (Spence, 1973). Pemilik informasi dalam hal ini adalah perusahaan, sehingga sinyal yang diterima dari perusahaan oleh investor disebut sebagai sinyal langsung. Sedangkan, apabila investor menerima sinyal dari apa yang disampaikan oleh teman, pihak asing, dan tren pasar, maka sinyal yang ditangkap investor adalah sinyal tidak langsung dari perusahaan (Aprillianto dkk., 2014). Investor yang menerima sinyal tidak langsung perusahaan disebut sebagai follower investor (Aprillianto dkk., 2014). Investor di Indonesia cenderung ditemukan sebagai follower. Mereka ada yang sebagai follower investor lain, follower investor asing, dan follower tren (Aprillianto dkk., 2014). Follower investor hanya mengetahui sinyal positif dan negatif dari apa yang disampaikan teman, investor asing, dan tren pasar. Investor yang berperilaku sebagai follower investor lain, follower investor asing, ataupun follower tren, adalah investor yang mengikuti transaksi teman, pihak asing ataupun pergerakan tren. Asumsinya adalah teman sebagai penerima langsung sinyal yang disampaikan perusahaan, sedangkan investor yang mengikuti teman adalah penerima sinyal yang disampaikan teman (Aprillianto dkk., 2014). Investor hanya sebagai follower terhadap apa yang mereka jadikan acuan, tanpa
6
mengetahui kejelasan tingkat return dan risiko yang mereka terima. Perilaku tidak rasional seperti follower investor selain karena melakukan pengambilan keputusan yang menyimpang dari asumsi rasionalitas, juga dipengaruhi oleh subyektifitas, emosi, dan faktor psikologis lainnya (Kowonda dan Rowland, 2012). Market crash adalah salah satu kasus yang dapat membuktikan emosi dapat mempengaruhi perilaku tidak rasional investor (Suryawijaya, 2003), seperti fenomena crash di pasar modal Amerika Serikat yaitu Black Thursday pada 11 September 1986. Black Thursday dilatarbelakangi justru oleh pembicaraan di Eropa mengenai kemungkinan naiknya inflasi di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan harga obligasi pemerintah Amerika Serikat mengalami penurunan pada saat NYSE dibuka keesokan harinya. Pada saat itu panic selling terjadi dan seketika harga saham jatuh, mengakibatkan derivative securities mengalami kehancuran dalam waktu dua hari. IndoAlpha (www.indoalpha.com) sebagai penyelenggara riset bebas pasar modal Indonesia, menunjukkan bahwa data IHSG Indonesia selama 10 tahun kebelakang yaitu tahun 2004-2013 mengalami 10 kali Market Crash, terkecuali ditahun 2009 tidak terjadi. Statistik Market Crash IHSG dapat dilihat pada Gambar 1.3.
\
Sumber : www.indoalpha.com Gambar 1. 3 Statistik Market Crash IHSG
7
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa jumlah hari yang dibutuhkan IHSG untuk jatuh ke titik terendah di masa crash, dan jumlah hari yang dibutuhkan IHSG untuk kembali ke harga sebelum crash. Peak adalah harga tertinggi sebelum IHSG mengalami koreksi sedangkan Bottom adalah harga terendah IHSG sebelum harga kembali naik. Misalnya pada kejadian Mei 2012, IHSG turun 13%, dari 4224 ke 3654. Penurunan ini terjadi selama 32 hari. Dan IHSG mebutuhkan 102 hari untuk kembali ke harga sebelum crash, yaitu 4224. Fenomena investasi market crash membuktikan kondisi emosi dari investor menyebabkan mereka buy high and sell low, yang merupakan dasar dari terjadinya market crash. Market Crash terjadi karena penyebab yang berbeda-beda, baik dari pelakunya maupun jenis asetnya. IndoAlpha menyelidiki bahwa dari penelitian yang dilakukan terhadap kejadian market crash, hanya 20% yang disebabkan oleh external shock seperti bencana alam, misalnya serangan teroris tragedi WTC pada tahun 2011. Namun, penyebab market crash yang tidak pernah berubah adalah, akibat dari sifat manusia atau perilaku investor yang tidak terkendalikan (www.indoalpha.com). Tindakan investor yang tidak terkendali yang menyebabkan setiap perubahan pada pasar (bullish atau bearish) dilatarbelakangi oleh faktor psikologis yaitu, keserakahan (greed), ketakutan (fear) dan kepanikan (madnes) Shiller (1990). Ketika pasar bullish, saham selalu menjadi over-valued karena didominasi oleh mayoritas investor yang menjadi serakah. Sifat greed muncul dan mendorong investor menggunakan keuntungan dan berani membeli di harga tinggi dengan harapan dapat menjual di harga yang lebih tinggi lagi. Setelah harga
8
semakin turun, investor yang masih memiliki saham, mulai ketakutan yang menyebabkan investor melepas saham tersebut, karena takut menanggung kerugian yang lebih besar. Dua karakteristik investor inilah yang menjelaskan perilaku individu yang cenderung bergerak atau bertindak sesuai dengan yang mayoritas lakukan (Shiller, 1990). Menurut Chang et al. (2000), jika investor hanya mengikuti tanpa berfikir rasional, maka tingkat penyebaran dari imbal hasil saham akan meningkat lebih rendah daripada kenaikan imbal hasil portofolio pasar atau tingkat penyebaran imbal hasil saham akan menurun walaupun imbal hasil portofolio pasar meningkat. Kesalahan dalam menentukan harga juga dapat terjadi ketika investor berperilaku sebagai follower, karena terjadi bias dalam melihat resiko dan imbal hasil yang diharapkan (Hwang dan Salmon, 2004). Sejak perilaku rasional pengambilan keputusan investasi terganggu, maka hal ini akan meningkatkan volatilitas pada pasar tersebut (Bikhchandani dan Sharma, 2001). Volatilitas pasar saham di pasar negara-negara berkembang (emerging market) umumnya jauh lebih tinggi daripada pasar negara-negara maju (Bekaert et al. 1998). Indonesia adalah salah satu Negara yang masih berkembang, sehingga umumnya tingkat volatilitas menjadi lebih tinggi yang dilatarbelakangi oleh instabilitas ekonomi (Kaminsky dan Reinhart, 2001). Berkaitan dengan klasifikasi tiga sektor di Bursa Efek Indonesia (BEI) yaitu, sektor industri penghasil bahan baku, sektor industri manufaktur, dan sektor jasa, setiap sektor memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri meliputi return dan resikonya (Sekar, 2006). Penelitian yang dilakukan Pakpahan (2002
dalam Sekar, 2006) dengan
9
mengamati profil resiko setiap sektor industri di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menemukan bahwa sektor aneka industri memiliki volatilitas return yang paling rendah diikuti dengan sektor perdagangan, sedangkan sektor properti dan pertanian merupakan dua sektor yang paling tinggi volatilitasnya. Sehingga menarik untuk mengetahui perbedaan tingkat perilaku follower investor antar industri di BEI. Levine dan Zervos (1998), menyatakan volatilitas yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan pengembangan pasar modal, yang turut berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Berdasarkan fenomena yang terjadi di pasar modal Indonesia dan berbagai hasil penelitian, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perilaku follower investor pada volatilitas saham, di pasar modal Indonesia dengan menggunakan periode penelitian selama 2010-2013. Selama tahun 2010-2013 ditemukan bahwa pasar modal Indonesia mengalami market crash akibat perilaku tidak rasional investor. Proksi yang digunakan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya perilaku follower Investor dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan deteksi herding behavior sesuai pada behavioral finance.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian, yaitu: 1) Apakah perilaku follower investor berpengaruh pada volatilitas saham di Bursa Efek Indonesia?
10
2) Apakah terdapat perbedaan perilaku follower investor antara sektor industri penghasil bahan baku, sektor industri manufaktur, dan sektor jasa di Bursa Efek Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh perilaku follower investor pada volatilitas saham di Bursa Efek Indonesia. 2) Untuk menganalisis perbedaan perilaku follower investor antara sektor industri penghasil bahan baku, sektor industri manufaktur, dan sektor jasa di Bursa Efek Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai teori sinyal dan teori ekspektasi rasional terkait dengan fenomena penyebab tingginya volatilitas saham dan perilaku tidak rasional investor dalam pengambilan keputusan yang terjadi di Pasar Modal Indonesia.
11
2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan pengambilan keputusan bagi investor ketika berinvestasi dalam situasi market crash di pasar modal Indonesia. Serta memberikan pertimbangan bagi pemerintah dan pelaku di pasar modal mengenai perilaku follower investor serta pengaruhnya terhadap volatilitas saham.