BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Karo adalah salah satu dari beberapa etnis yang terdapat di daerah Propinsi Sumatera Utara. Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi Tanah Karo, yang sekarang menjadi wilayah administratif Kabutapen Karo sering disebut sebagai Karo Gugung1. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1986), menyebutkan kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur kebudayaan dan salah satu diantaranya adalah yang berhubungan dengan kesenian. Kesenian selalu muncul dalam berbagai upacara tradisional di tengah-tengah masyarakat seperti upacara keagamaan, upacara kematian, upacara perkawinan, dan berbagai macam aktivitas keseharian masyarakat tradisional lainnya. Kesenian sudah menjadi tradisi secara turun temurun mewarisi kekayaan budaya dari para leluhur, yang pada masa lalu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola kehidupan masyarakatnya. Di masyarakat Karo masih banyak hidup kesenian2, dan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian kesenian Karo adalah seni tarinya.
1
Karo Gugung adalah masyarakat karo yang bermukim di dataran tanah tinggi karo. Lihat Pilar Budaya Karo oleh Sempa Sitepu, dkk (1996;05) 2 Kesenian yang hidup dalam masyarakat Karo seperti seni sastra, seni musik, seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni drama, seni ukir, seni pakaian (Ose), perhiasan dan kerajinan. Lihat Pilar Budaya Karo oleh Sempa Sitepu, dkk (1996;176-216)
Menurut buku Pilar Budaya Karo (1996), tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas 3 jenis yakni: 1. Tari yang berkaitan dengan adat 2. Tari yang berkaitan dengan religi 3. Tari yang berkaitan dengan hiburan. Tari Karo terbentuk sejak adanya masyarakat Karo, walaupun tidak diketahui secara tepat kapan adanya masyarakat Karo tersebut. Tari yang diteliti adalah tari Lima Serangkai yang diperkirakan ada sejak tahun 1956 yang merupakan tarian yang bersifat hiburan (wawancara dengan Bpk. M. Ukur Ginting). Tari Lima Serangkai merupakan tari tradisional, tari tradisional adalah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada (Soedarsono,1986:93). Tari Lima Serangkai biasanya ditampilkan dalam kegiatan Gendang Guro-guro Aron. Gendang Guro-guro Aron berasal dari kata Guro-guro dan Aron. Guro-guro artinya senda gurau atau bermain, sedangkan Aron artinya muda-mudi (usia tidak dibatasi) dalam satu kelompok kerja berbentuk arisan untuk mengerjakan ladang. Gendang Guro-guro Aron merupakan suatu pertunjukan seni budaya karo yang dilakukan oleh muda-mudi yang terdapat dalam kelompok kerja yang mengerjakan ladang, dengan menampilkan gendang karo dan perkolong-kolong (penyanyi) diiringi tarian yang dilakukan oleh muda mudi (Skripsi Sarjana Arapenta Barus, Peranan Pemusik Tradisional Pada Masyarakat Karo).
Pada saat pelaksanaan Gendang Guro-guro Aron, keterlibatan unsur kekerabatan masyarakat Karo yang tergabung pada Rakut Si Telu3 mempunyai peranan yang sangat penting walaupun secara teknis pelaksanaannya dilakukan oleh muda-mudi yang tergabung dalam kelompok aron. Sejak pemerintahan Bupati Karo Matang Sitepu (sekitar tahun 1960-an) tari Lima Serangkai sering difestivalkan, hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bupati Karo Sinar Peranginangin (2000-2005) hampir setiap tahunnya dilakukan festival Tari lima Serangkai oleh instansi-instansi pemerintah, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) atau pun sekolah-sekolah. Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tari lima Serangkai dalam konteks pertunjukan festival, karena dimasa sekarang ini lebih sering dilakukan pertunjukan festival dibandingkan dengan penampilan Tari Lima Serangkai dalam Gendang Guro-guro Aron. Menurut Bpk. M. Ukur Ginting secara koreografi, tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang4 yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Keindahan dalam suatu tarian tidak terlepas dari unsur pembentuk, maka unsur pembentuk tarian tersebut adalah:
3
Rakut Sitelu pada masyarakat Karo terdiri dari Kalimbub ,Senina dan Anak Beru. Lihat Adat Karo oleh Darwan Prinst, S.H. (2004;46) 4 Gendang = lagu/irama
1. Gerak endek (gerak naik turun) 2. Gerak jole (gerak goyang badan) 3. Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari) Dari struktur tari ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan gerak tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Karo, gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu menggambarkan makna yang terkandung pada tari Lima Serangkai. Biasanya menceritakan sifat manusia hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya. Tari Lima Serangkai ini menceritakan tentang muda mudi yang bertemu dan ertutur (berkenalan) satu dengan yang lainnya, hingga mereka menjalin hubungan dan menuju perkawinan. Walaupun dibeberapa daerah makna tari Lima Serangkai tidak selalu sama, ini dikarenakan perbedaan kebiasaan dan pola pikir masyarakat didaerah tersebut. Pengaruh modernisasi, pendidikan dan lainnya dapat membuat pola pikir masyarakat berubah, sehingga menghasilkan kebiasaan, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Tari Lima Serangkai ditarikan oleh sepasang muda mudi (usia tidak dibatasi), dalam bentuk perkelompok (biasanya 5 pasang muda-mudi). Pertunjukan tari Lima Serangkai menggunakan pakaian adat, beka buluh (lakilaki) dan uis nipes (perempuan). Pakaian adat akan dipakaikan secara bersama-
sama setelah semua penari sudah berdiri di atas panggung, sambil memasang pakaian tersebut para penari melakukan endek (gerakan naik turun) sesuai iringan musik dalam hitungan tertentu. Bagi penari perempuan uis nipes dilingkarkan dari pundak sebelah kanan menuju bawah lengan sebelah kiri, seperti menggendong anak menggunakan kain panjang. Tetapi dalam hal ini kain yang digunakan adalah kain adat Karo yang disebut uis nipes. Ada 2 buah beka buluh yang digunakan oleh penari laki-laki, yaitu beka buluh yang sudah terpasang di pundak, dan beka buluh yang dipegang didepan dada. Beka buluh yang dipegang didada, pada saat menari akan dilipatkan dikepala membentuk penutup kepala yang disebut bulang-bulang. Pembentukan bulang-bulang itu akan dilakukan bersamaan dengan penari perempuan yang memasangkan uis nipes dipundaknya yang membentuk kain seperti menggendong anak. Bulang-bulang merupakan beka buluh yang telah berbentuk menyerupai topi untuk penutup kepala. Banyak tempat di Kabupaten Karo yang tetap menjalankan tradisi karo, salah satunya adalah Kabanjahe. Peneliti memilih Kabanjahe sebagai tempat penelitian tentang kesenian masyarakat karo khususnya seni tari. Lokasi penelitian dipilih dengan perhitungan tempat hidup dan berkembang tari Lima Serangkai. Tari Lima Serangkai hidup di Kabanjahe dan terus berkembang , hal ini dapat dilihat dari beberapa sekolah dan sanggar tari yang tetap mengajarkan tari Lima Serangkai yaitu sanggar Sertali, sanggar Pemkab Karo, dan lain-lain. Dalam sebuah tarian peranan musik sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Menurut Soedarsono (1986:109) dikatakan bahwa musik dalam tari bukan hanya
sekedar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang secara langsung dapat mendukung dan memperkuat sajian tari. Begitu juga dalam penyajian tari Lima Serangkai, musik berperan penting sehingga membicarakan hubungan musik dengan tari merupakan hal yang menarik, penggabungan antara tari dan musik merupakan sesuatu hal yang sangat mempengaruhi. Dimana kecepatan gerakan tarian sejalan dengan tempo musik, semakin cepat musik semakin cepat juga para penari menari. Masyarakat Karo memiliki beberapa ensembel musik yaitu ensembel Gendang Telu Sedalanen dan ensembel Gendang Lima Sedalanen. Menurut Bpk. M. Ukur Ginting untuk penyajian tari Lima Serangkai digunakan ensembel Gendang Lima Sedalanen, yaitu seperangkat alat musik yang terdiri dari gendang singindungi (membranophone konis), gendang singanaki (membranophone konis lebih kecil dari gendang indung), gung (suspended idiophone), penganak (idiophone berpencu lebih kecil dari gung), sarunei (aerophone yang double reed)5. Gendang Lima Sedalanan inilah yang menjadi musik pengiring para penari dalam menyajikan tari Lima Serangkai. Ekstensi musik iringan dalam tari Lima Serangkai merupakan hal yang penting dimana musik menjadi pembentuk suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak. Bunyi sarunei yang berfungsi membawa melodi menjadi tanda dalam pergantian pola gerak tari, dan bunyi gung serta penganak menjadi penentu tempo sebuah repertoar lagu. Semakin dekat jarak antara satu gung dengan pukulan gung berikutnya maka semakin cepat pula tempo lagu itu dimainkan. Semakin cepat tempo dimainkan, maka semakin cepat tempo pergerakan tari tersebut. 5
Pengklasifikasian alat musik menggunakan metode Sachs-Hornbostel, yaitu pengelompokan alat musik berdasarkan sumber getar utamanya.
Hal-hal di atas menarik perhatian peneliti untuk meneliti dan melihat pertunjukan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo. Dimana semua komponen termasuk tari, musik, perlengkapan serta persiapan yang dilakukan serta hal-hal lain yang mendukung pertunjukan menjadi bahan penelitian yang menarik untuk dibahas. Jadi dalam hal ini penulis akan mengangkat dan mendeskripsikan suatu penampilan tari Lima Serangkai melalui gerakan tari tersebut. Penulis juga tertarik untuk meneliti makna, fungsi tari Lima Serangkai dan peranan musik terhadap tari, dengan latar belakang masalah diatas penulis mengambil judul: “STUDI DESKRIPTIF TARI LIMA SERANGKAI PADA MASYARAKAT KARO”
1.2 Pokok Permasalahan Melihat latar belakang yang dipaparkan, maka ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji dari topik penelitian ini sehingga penulis membuat pokok permasalahan yaitu: 1.
Bagaimana penyajian tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo
2.
Bagaimana fungsi tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo dan peranan musik terhadap tari tersebut.
3.
Makna apa saja yang terkandung dalam gerak tari Lima Serangkai.
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Setiap kegiatan senantiasa berorientasi pada tujuan. Tanpa ada tujuan yang jelas maka arah kegiatan yang akan dilakukan tidak terarah dan tidak dapat diketahui apa yang hendak dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Muhammad Ali (1987:9) yang mengatakan: “Kegiatan seseorang dalam merumuskan tujuan penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan, karena penelitian pada dasarnya merupakan titik anjak dari titik tuju yang akan dicapai seseorang dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Itu sebabnya tujuan penelitian harus mempunyai rumusan yang jelas, tegas dan operasional.” Untuk penulisan ini dirumuskan beberapa hal yang merupakan tujuan, yaitu: 1.
Untuk mendeskripsikan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo, baik
pola
gerak
maupun
pola
lantai
tarian
tersebut
dan
mendeskripsikan makna gerak tari Lima Serangkai. 2.
Mendeskripsikan keberadaan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo dimasa sekarang ini khususnya muda-mudi.
1.3.2 Manfaat Manfaat penelitian diharapkan dapat mengisi kebutuhan segala komponen masyarakat baik dari instansi terkait, lembaga-lembaga kesenian maupun praktisi
kesenian. Setelah melihat dan membaca tujuan diatas maka manfaat yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah: 1.
Menjadi media informasi dan data tertulis bagi masyarakat umum dan secara khusus bagi masyarakat Karo, mengenai jenis tari tradisi khususnya tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo.
2.
Sebagai
dokumentasi
dan
bahan
literatur
dalam
disiplin
Etnomusikologi berkaitan tentang kesenian Karo terutama dalam seni tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo. 3.
Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Etnomusikologi yang berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai budaya daerah khususnya Karo.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penulisan yang akan digunakan sebagai alat menggambarkan fenomena dengan adanya penjabaran masalah dari kerangka teoritisnya. Kata studi berasal dari bahasa Inggris yaitu study yang berarti proses belajar atau
pembelajaran.
Sedangkan
deskripsi
adalah
menceritakan
atau
menggambarkan apa adanya (Depdikbud 2005:201). Berbicara tentang tari, tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun keduaduanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud
dengan tari Lima Serangkai adalah tari tradisional Karo yang bersifat hiburan, yang pada masa lampau ditampilkan dalam acara Gendang Guro-guro Aron dan sekarang ini lebih sering difestivalkan. Secara goreografi tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berpasangan (laki-laki dan perempuan). Tari Lima Serangkai bukan hanya sekedar tarian yang menghibur tetapi juga memiliki makna pada gerak tarinya. Tari tersebut menceritakan tentang muda-mudi yang berkenalan (ertutur), kemudian menjalin hubungan hingga akhirnya menuju perkawinan. Dalam menampilkan tari Lima Serangkai digunakan alat musik tradisional sebagai musik pengiringnya, yang terdiri dari gendang singindungi, gendang singanaki, gung, penganak, sarunei, yang kesemuanya ini sering disebut Gendang Lima Sedalanen. Masyarakat Karo terdiri dari 2 bagian besar, yaitu masyarakat Karo Gugung dan masyarakat Karo Jahe. Masyarakat yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah masyarakat Karo Gugung. Masyarakat Karo Gugung adalah orang Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan) tanah Karo (taneh Karo), sedangkan masyarakat Karo Jahe ialah sebagian masyarakat Karo yang tinggal di dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang. Hal yang diakui secara umum, baik orang Karo Gugung maupun orang Karo Jahe adalah kenyataan bahwa Karo Gugung di anggap sebagai pusat kebudayaan Karo6. 6
Laporan penelitian Keterikatan “Endek” Terhadap Gong Pada Tari Guro-guro Aron Karo, oleh Drs. Bebas Sembiring, dkk. (1994:1).
Kelompok masyarakat secara umum memiliki kebiasaan, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160) bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Tari Lima Serangkai merupakan komposisi tari pada masyarakat Karo yang dijadikan menjadi satu tarian yang menggambarkan rasa ekspresif dari pada masyarakat Karo untuk mengatakan keindahan.
1.4.2 Teori Landasan teori yang dimaksud adalah sebagai pedoman berpikir dalam melaksanakan penelitian atau sebagai landasan dalam melaksanakan penelitian yang merumuskan suatu uraian teoritis dari suatu masalah yang akan dipecahkan. Untuk pembahasan tari Lima Serangkai, penulis mempergunakan teori-teori yang relevan serta mendukung tulisan sebagai acuan untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Menurut Murgiyanto (1996:156) kata seni pertunjukan secara umum memiliki arti tontonan yang bernilai seni, seperti drama, tari, musik yang disajikan secara khusus di depan penonton. Dalam mendeskripsikan tari Lima Serangkai penulis juga menggunakan teori Milton Siger (MSPI, 1996:164-165)7 yang menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1) Waktu pertunjukan yang
7
Skripsi Sarjana Analisis Pertunjukan Tari Piring Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan, oleh Flora Hutagalung (2009:11).
terbatas, (2) Awal dan akhir, (3) Acara kegiatan yang terorganisir, (4) Sekelompok pemain, (5) Sekelompok penonton, (6) Tempat pertunjukan dan, (7) Kesempatan untuk mempertunjukkannya. Bentuk adalah wujud dan susunan yang ditampilkan dan pengertian penyajian yang kata dasarnya saji yaitu mempersembahkan, sedangkan penyajian mengandung arti yaitu proses, cara dan perbuatan menyajikan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005:135,979). Dari pengertian diatas yang dimaksud dengan bentuk penyajian dalam penelitian ini adalah susunan cara menyajikan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo. Bentuk penyajian tersebut dapat mengarah kepada elemen-elemen tari yaitu: 1.
Tema
2.
Gerak
3.
Iringan Musik
4.
Tata Rias
5.
Tata Busana
6.
Tempat (Pentas)
Fungsi adalah kegunaan atau tujuan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta 1972:22), fungsi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Menurut Soedarsono (1972:22), tari dapat berfungsi sebagai: a. Sarana upacara keagamaan yang masih kuat dengan unsur kepercayaan kuno.
b.
Sarana untuk mengungkapkan perasaan emosional (kegembiraan) dan pergaulan.
c.
Sarana pertunjukan untuk memberikan hiburan atau kepuasan batin manusia.
Sejalan dengan pendapat Soedarsono bahwa tari Lima Serangkai termasuk dalam fungsi mengungkapkan kegembiraan, pergaulan, dan hiburan. Bagi masyarakat Karo gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu, yang menggambarkan sifat manusia hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya. Gerak tari juga memiliki unsur-unsur pembentuk yang membuat tari Lima Serangkai menjadi indah dan memiliki nilai-nilai estetis. Unsur pembentuk tari Lima Serangkai adalah: 1. Gerak endek (gerak naik turun) 2. Gerak jole (gerak goyang badan) 3. Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari) Untuk menggambarkan makna yang terkandung pada pertunjukan tari Lima Serangkai, penulis menggunakan pendekatan yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98) yang mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan persaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud-maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis yang sukar untuk dimengerti. Dalam meneliti gerak tari tersebut terdapat teori Notasi Laban yang membahas secara detail bentuk dan polanya, akan tetapi mengingat penulis tidak
memfokuskan secara detail pada gerak tari dan penulis tidak bergerak dibidang tari, maka dalam tulisan ini penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakilkan pola gerak tari Lima Serangkai. Untuk membahas aspek musik, penulis menggunakan teori Bruno Nettl (1964:131) mengatakan bahwa untuk mendapatkan seluruh benda musikal harus dilakukan analisis: perbendaharaan nada, modus, ritem, nada dasar, bentuk, dan tempo. Sesuai dengan landasan teori yang diuraikan di atas, penelitian dan pengkajian Studi Deskriptif Tari Lima Serangkai Pada Masyarakat Karo merupakan ulasan menyeluruh dari berbagai aspek disiplin ilmu seni. Tari Lima Serangkai memiliki makna sebagai ungkapan tertentu yang mewakili zamannya. Tari Lima Serangkai merupakan suatu pola budaya yang tumbuh dan dapat dikaji dari dua kategori yakni sebagai produk dan proses. Sebagai produk budaya, dapat dikaji dari bentuk penyajian dan nilai estetisnya. Sedangkan sebagai proses budaya yakni, tari Lima Serangkai bisa dipahami bahwa keberadaannya merupakan proses perilaku manusia beserta lingkup budaya yang mengiringinya.
1.5 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Koentjaraningrat (1991:6) menyebutkan bahwa
metode adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu sebuah metodologi penelitian yang mencakup pandanganpandangan falsafi mengenai disiplin inquiry dan mengenai realitas obyek studi dalam ilmu-ilmu sosial dan tingkah laku (Sanapiah, 1990:1) Untuk mendapat data yang akurat, penulis mengadakan: 1). Penelitian lapangan, dengan cara melihat langsung Festival Tari Lima Serangkai yang dilaksanakan di Open Stage Berastagi, dan Festival tari Lima Serangkai yang dilaksanakan di Hotel Sibayak Berastagi. 2). Studi kepustakaan dan 3). Kerja Laboratorium.
1.5.1
Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan, penulis mengadakan observasi dan wawancara,
dimana wawancara yang penulis lakukan yaitu wawancara terbuka dan tidak berstruktur
(Maleong,
2002:137-139).
Dengan
demikian
penulis
dapat
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pengamatan penulis lakukan secara langsung, namun segala kekurangan atau hal-hal yang meragukan saat penelitian segera penulis tanyakan terhadap informan.
Menurut Narbuko dan Achmadi observasi atau pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik.... (2001:70) Untuk mendapat data-data yang diperlukan penulis melakukan observasi secara langsung. Observasi secara langsung dimaksudkan untuk mencari gambaran yang nyata terhadap keberadaan tari Lima Serangkai di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Tanah Karo, usaha ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana latar belakang dan keberadaan tari Lima Serangkai. Adanya observasiobservasi ini semakin dapat diyakinkan adanya data-data yang diperlukan sebagai bahan yang dapat dikenali adanya indikasi tertentu. Untuk mendukung hasil penelitian dari observasi yang dilakukan, penulis mengadakan wawancara langsung dengan narasumber. Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek peneliti. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang menyatakan: “Kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi 3 kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara”. Koentjaraningrat (1981:139) juga mengemukakan bahwa wawancara itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu: Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Dalam wawancara berfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi
berlangsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pada pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi-diskusi yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul. Sesuai
dengan
pendapat
dari
Koentjaraningrat
mengenai
kegiatan
wawancara maka sebelum wawancara penulis telah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancarannya seperti alat tulis, daftar pertanyaan dan tape recorder/handycam. Materi pertanyaan yang penulis arahkan adalah yang berkaitan dengan pertunjukan tari Lima Serangkai. Pertanyaan itu penulis kembangkan untuk menjaring data dan keterangan yang lebih banyak sebagaimana kebutuhan penelitian ini. Wawancara menjadi salah satu proses pengumpulan data yang cukup jelas, sebab melalui wawancara dapat ditanyakan secara langsung kondisi yang sebenarnya tentang tari Lima Serangkai. Penulis juga mengumpulkan data dari beberapa penari, pemusik dan pelatih tari. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menetapkan informan yang dapat memberikan informasi yang mendukung tulisan. Terdapat dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan pokok (Koentjaraningrat, 1997:163-164). Sebagai awal penulis melakukan penelitian ini adalah mencari informasi melalui wawancara dengan informan pangkal, yaitu Bapak Kumalo Tarigan selaku dosen Etnomusikologi. Melalui beliau, penulis mendapatkan informan yang dapat dijadikan sebagai informan kunci, yaitu Bapak Malem Ukur Ginting. Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Seter Ginting (panarune), Bapak Lukas Tarigan seorang guru kesenian di sebuah
sekolah negeri di Kabanjahe dan merupakan pelatih tari Lima Serangkai. Penulis tidak terfokus pada satu informan saja tetapi juga mencari informan lain yang terlibat dalam pertunjukan tersebut (para penari, pelatih dan pemusik). Hasil wawancara dengan informan, penulis mengabadikan dalam pita kaset MAXXEL 60 IEC TYPE I yang berdurasi 60 menit dan juga menggunakan tape Recorder Sony TCM-150. Selain itu penulis juga mengabadikan hasil wawancara dalam pita kaset Mini DV MAXXEL dan Mini DV SONY yang berdurasi 60 menit dengan menggunakan Handycam JVC GR-D820E.
1.5.2 Studi Kepustakaan Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, penulis juga mencari keterangan dan data-data dari berbagai sumber termasuk buku-buku, majalah, koran dan sebagainya. Melalui segala keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, data-data dan keterangan sengaja penulis cari sebanyak-banyaknya. Hal ini penulis maksudkan untuk menjaring data dan keterangan yang dapat dipakai untuk melengkapi materi penulisan ini. Mengingat buku-buku dan majalah yang berkenaan dengan tari Lima Serangkai tidak penulis temukan, maka akhirnya proses dan analisis data hanya mengandalkan sumber-sumber yang ada. Studi kepustakaan hanya digunakan untuk mendukung proses dan analisa dari data-data yang telah ada. Diantaranya , yaitu buku Pilar Budaya Karo oleh Sempa Sitepu,dkk yang membahas tentang adat istiadat Karo, skripsi mahasiswa Etnomusikologi seperti Arapenta Barus
tentang pemusik tradisional Karo, skripsi Flora Hutagalung yang membahas tentang tari Piring masyarakat Minangkabau, Indra Juli H. Hutapea tentang tari Manulangat masyarakat Papak Suak Pegagan, jurnal penelitian, dan lain-lain. Berkaitan dengan materi penelitian ini penulis lebih mengarah kepada studi kepustakaan mengenai seni pertunjukan dalam seni tari beserta elemen-elemen pokoknya.
1.5.3 Kerja Laboratorium Semua data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis untuk selanjutnya diadakan penyeleksian agar selesai dengan pembahasan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam melakukan penelitian. Ketika penulis terbentur pada masalah kekurang jelasan data-data, maka untuk mengatasi hal tersebut penulis mengulang-ulang hasil rekaman yang telah dilakukan, kemudian dicatat dan diklasifikasikan. Data-data yang penulis dapatkan kemudian disusun dan diatur kembali untuk mendapatkan hasil yang diperlukan. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan melakukan beberapa kali pengamatan dan wawancara. Untuk mentranskrip musik, penulis melakukan perekaman dan kemudian hasil rekaman didengarkan secara berulang-ulang, sehingga menghasilkan data yang akurat. Hasil rekaman diolah kembali dalam program Sibelius, untuk menuliskan bunyi musik kedalam bentuk not balok secara rapi.
Hasil-hasil dari pengolahan dan analisis tersebut disusun secara sistematis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, sehingga hasilnya dapat dilihat dalam satu bentuk laporan ilmiah atau skripsi.