BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang. Tension-Type Headache (TTH) merupakan satu penyakit dengan gejala yang sangat beragam, yang diagnosisnya terutama ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan adanya jenis nyeri kepala lainnya seperti migren. Nyeri kepala ini tidak memiliki karakteristik tertentu kecuali adanya nyeri. Istilah TTH pertama kali digunakan oleh the Classification Committee of the International Headache Society untuk penamaan nyeri kepala
dengan
dasar
patogenesis
yang
belum
jelas,
walaupun
menunjukkan kemungkinan adanya peranan ketegangan mental atau otot (Furnal dan Schoenen, 2008).
Frequent ETTH dan CTTH disebabkan
oleh kombinasi genetik dan faktor lingkungan, sedangkan penyebab utama infrequent ETTH adalah faktor lingkungan (Russell, 2007). TensionType Headache merupakan salah satu tipe nyeri kepala yang sangat sulit didiagnosis. Masih menjadi tanda tanya apakah TTH merupakan penyakit tunggal atau lebih merupakan suatu sindroma. Banyak penyakit dari bidang ilmu kedokteran misalnya pengaruh gas lingkungan, konflik psikis maupun kelainan pada leher dapat menyerupai TTH (Sjaastad, 2011). Tension-Type Headache kronik adalah satu jenis nyeri kepala primer yang paling umum dan menjadi masalah kesehatan dan sosial ekonomi yang penting (Ashina, 2004). Berdasarkan frekuensinya, International Headache Society membedakan 3 bentuk TTH yaitu : 1.
Universitas Sumatera Utara
TTH episodik infrekuen (nyeri kepala <12 hari/ tahun); 2. TTH episodik frekuen (12-180 hari/ tahun); dan 3. TTH kronik ( >180 hari/ tahun). Tension-Type Headache kronik berbeda dari bentuk episodik, tidak hanya dalam frekuensinya, namun juga pada patofisiologi, kurangnya respon terhadap strategi terapi, pemakaian obat yang berlebihan (medication overuse), disabilitas yang lebih besar dan biaya yang lebih tinggi (Bendtsen, 2009). Prevalensi seumur hidup TTH episodik bervariasi antara 13-66%, dan TTH kronik antara 1-3%. Suatu penelitian di Jerman menemukan prevalensi TTH kronik 2.6%, wanita lebih banyak daripada pria, dengan prevalensi tertinggi pada umur 46-65 tahun. Sekitar 20% dari penderita ini mencari pertolongan medis (Yan, 2012). Di Denmark, prevalensi TTH episodik 74%, TTH kronik 3%, migren 10% dan drug-induced headace 2% (Jensen, 2001). Secara global 46%
populasi dewasa diperkirakan
menderita nyeri kepala aktif, 11% migren, 42% TTH dan 3% chronic daily headache (Stovner, 2011). Secara definisi, TTH kronik terjadi bila nyeri berlangsung sedikitnya 15 hari dalam 1 bulan, selama 6 bulan, meskipun pada praktik klinis biasanya terjadi setiap hari atau hampir setiap hari, dengan karakteristik nyeri kepala bilateral, bersifat menekan atau mengikat dengan intensitas ringan hingga sedang. Tidak seperti migren, nyeri kepala ini tidak diperberat oleh aktifitas fisik, dan tidak berhubungan dengan muntah. Namun penderita dapat mengalami nausea, mialgia dan artralgia, kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur, fatigue kronik,
Universitas Sumatera Utara
carbohydrate craving, penurunan libido, iritabilitas serta gangguan memori dan konsentrasi. Oleh karenanya, gangguan ini mirip dengan gejala depresi, namun pada TTH kronik tidak dijumpai anhedonia, lebih jarang dijumpai gangguan mood dan keluhan utamanya adalah nyeri kepala (Solomon, 2002). Beberapa mekanisme terlibat dalam patofisiologi TTH kronik, termasuk mekanisme perifer, mekanisme sentral, perbedaan dalam biokimia, faktor muskular dan faktor mekanik. Oleh karena ketegangan pada otot-otot wajah, kepala dan kulit kepala sangat menonjol pada keadaan ini, faktor muskular biasanya yang pertama kali ditelaah ketika meneliti patofisiologi nyeri kepala kronik. Ternyata aktifitas otot memang sedikit lebih tinggi dibandingkan pada penderita migren. Tension-Type Headache kronis, begitu juga jenis episodik dikarakteristikkan dengan nyeri (tenderness) pada otot wajah, kepala dan kulit kepala, dimana nyeri tersebut berkorelasi positif dengan frekuensi dan intensitas nyeri kepala. Selanjutnya, dijumpai nyeri pada tendon-tendon di wajah dan kepala. Tidak hanya nyeri bila disentuh, namun juga keras (Jensen, 2001). Perkembangan dalam neurobiologi molekuler dalam nyeri dan peningkatan jumlah studi mengenai TTH telah menambah pengetahuan mengenai mekanisme yang mendasari nyeri kepala kronik. Bukti-bukti eksperimental
menunjukkan
sensitisasi
sentral,
yaitu
peningkatan
eksitabilitas neuron di sistem saraf pusat yang dihasilkan oleh adanya input nosiseptif yang memanjang dari jaringan miofasial perikranial, memainkan peranan penting dalam patofisiologi nyeri kronik dan TTH
Universitas Sumatera Utara
kronik. Selanjutnya, penemuan neurotransmitter dan neuromodulator, seperti : nitric oxide (NO), calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P (SP), neuropeptida Y (NPY) dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP) yang terlibat dalam proses nyeri telah memberikan pandangan baru bagi pemahaman kita mengenai aspek biologi nyeri kepala kronis (Ashina, 2007). Sejumlah studi juga telah meneliti kadar sitokin dalam darah dalam hubungannya dengan nyeri kepala, mayoritas pada migren. Sitokin proinflamasi, interleukin (IL)-1β dan Tumor Necrosis Factor (TNF)-α paling banyak diteliti dan kadarnya dalam saat serangan ditemukan bervarisi, meningkat atau tidak berubah. Bo dkk meneliti kadar sitokin dalam cairan serebrospinal (CSS) penderita nyeri kepala dan menemukan bahwa dijumpai peningkatan kadar IL-1, TGF-b1 (transforming growth factor-b1), dan MCP-1 (monocyte chemoattractant protein-1) pada TTH episodik dan migren dibandingkan kontrol, dan adanya perbedaan yang signifikan pada MCP-1 antara nyeri kepala servikogenik dan migren tanpa aura. Monocyte Chemoattractant Protein -1 intratekal berkorelasi dengan IL-1, IL-10 dan TGF-b1 pada TTH episodik, dan MCP-1 dengan IL-10 pada migren dengan aura (Bo, Davidsen, Gilbrandsen, 2008). Kocer menemukan adanya peningkatan kadar IL-6 pada penderita TTH episodik dan kronik dibandingkan kontrol. Oleh karenanya mereka meyakini bahwa IL-6 terlibat dalam induksi nyeri atau mekanisme inflamasi pada TTH (Kocer,
Memisogullari, Domac, Ilhan, Kocer,
Okuyucu, et.al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Studi oleh Rozen menemukan adanya peningkatan kadar TNF-α pada CSS penderita new daily persistent headache (NDPH) dan migren, namun tidak dalam serum. Tumor Necrosis Factor -α adalah suatu sitokin pro-inflamasi yang terlibat dalam aktifitas imunitas dan inflamasi otak, begitu juga dalam inisiasi nyeri . Dari penelitian terdahulu dijumpai sekitar 30% penderita NDPH mengalami nyeri kepala setelah mengalami infeksi atau penyakit, kemungkinan adanya kondisi persisten dari inflamasi sistemik atau sistem saraf pusat menjadi pertanyaan. Peningkatan kadar TNF-α yang dijumpai pada hampir seluruh penderita NDPH pada penelitian Rozen, menunjukkan adanya peran TNF-α pada patogenesis keadaan ini (Rozen, 2010). Peranan
faktor
miofasial
pada
TTH
telah
diteliti
dengan
pemeriksaan nyeri perikranial (pericranial tenderness) dengan palpasi manual atau deteksi nyeri dan toleransi nilai ambang dengan algometer tekanan (pressure algometer). Pericranial tenderness meningkat selama masa bebas nyeri dan selanjutnya meningkat bila nyeri kepala muncul pada kebanyakan penderita TTH (Jensen, 1995). Nilai ambang (threshold) nyeri tekan pada pemeriksaan dengan algometer menurun pada kebanyakan penderita TTH kronik dibandingkan kontrol, tapi perbedaan ini kurang nyata dibandingkan nilai ambang nyeri tekan pada palpasi manual. Pada penderita TTH episodik, nilai ambang nyeri tekan pada lokasi sefalik tidak berbeda dibandingkan kontrol yang sehat. Nilai ambang nyeri tekan pada penderita TTH kronik juga abnormal pada lokasi ekstrasefalik, misalnya di tendon Achilles, otot paravertebral
Universitas Sumatera Utara
atau di jari-jari. Nilai ambang nyeri tekan juga lebih rendah di kranium dibandingkan di ekstremitas, yang mungkin menjelaskan mengapa reduksi umum dari ambang nyeri (peningkatan sensitifitas) dapat menyebabkan nyeri kepala tanpa nyeri pada bagian tubuh yang lain (Schoenen, Gerard, De Pasqua, Sianrd-Gainko, 1999). Edwards meneliti mengenai hubungan nyeri akut yang sangat berat (catastrophizing pain) dengan respons IL-6 dan menemukan hubungan yang sangat kuat antara IL-6 dengan reaktifitas IL-6 yang lebih tinggi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa respons kognitif dan emosional selama mengalami nyeri dapat membentuk respons sistem imun proinflamasi terhadap stimulasi nyeri (noxious stimulation) (Edwards, Holden, Felitti, Anda, 2003). Penelitian
oleh
Backonja,
2008,
juga
menemukan
adanya
peningkatan level reseptor TNF pada darah dan CSS, juga adanya peningkatan kadar IL-1β pada CSS yang berhubungan dengan intensitas nyeri, sementara IL-10 berhubungan terbalik dengan gejala nyeri. Ketidakseimbangan antara sitokin pro dan anti-inflamasi tampaknya merupakan gambaran relevan yang berkontribusi terhadap menetapnya nyeri kronik (Backonja, Coe, Muller, Schell, 2008). Peranan faktor psikologis dalam nyeri kepala telah lama menjadi fokus penelitian. Banyak studi menunjukkan bahwa penderita dengan nyeri
kepala
primer,
khususnya
migren
menunjukkan
beberapa
abnormalitas psikologik. Sejumlah studi telah mempelajari struktur kepribadian penderita dengan nyeri kepala primer, dan ditemukan bahwa
Universitas Sumatera Utara
penderita tersebut mengalami ansietas ringan dan depresi, relatif terhadap waktu bebas nyeri kepalanya. Namun, lebih sedikit penjelasan pada literatur mengenai karakter kepribadian pada penderita nyeri kepala kronik tipe tegang. Studi oleh Chen menunjukkan bahwa tingginya skor Zuckerman-Kuhlman Personality Questionnaire (ZKPG) untuk ansietasneurotik dan depresi berhubungan dengan TTH kronik (Chen dan Smith, 2012). Efek TTH pada individu termasuk penderitaan fisik, hilangnya kualitas hidup dan efek ekonomi, namun hal ini sulit untuk dikuantifikasi. Menurut Lipton (2000), TTH kronik memiliki efek negatif pada kehidupan emosional, dimana dijumpai terganggu 7x lipat pada seluruh subskala survei kualitas hidup dibandingkan dengan kontrol (Jensen dan Stovner, 2008). Beberapa peneliti telah melaporkan peningkatan skor skala depresi pada penderita dengan TTH kronik, namun tidak depresi yang nyata/ jelas (overt), meskipun sulit untuk menentukan apakah mood depresif bersifat primer atau sekunder pada penderita-penderita ini (Furnal dan Schoenen, 2008). Namun, penemuan bahwa penderita yang nyeri kepala dan mengalami depresi lebih rentan terhadap nyeri kepala yang diinduksi stresor laboratorik (Janke, Holroyd, Romanek, 2004). Penelitian terdahulu telah menemukan hubungan yang positif antara beberapa sitokin dengan beberapa tipe nyeri kepala. Sayangnya sebagian besar pengukuran kadar sitokin dilakukan pada CSS, yang relatif menyulitkan apabila dilakukan secara rutin dalam praktek sehari-
Universitas Sumatera Utara
hari. Belum pernah diteliti hubungan antara kadar IL-1, IL-6 dan TNF-α secara bersama-sama di dalam serum pada penderita TTH kronik. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan kadar serum TNF-α, IL-1, IL-6 pada kelompok yang diberikan Amitriptilin dan kelompok yang diberikan Deksketoprofen serta korelasinya dengan
tingkat intensitas
nyeri pada penderita TTH kronik.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin dengan setelah pemberian Deksketoprofen ? 2. Berapakah rerata kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik ? 3. Apakah terdapat hubungan antara kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik ? 4. Apakah terjadi perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin ? 5. Apakah terjadi perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik setelah pemberian Deksketoprofen ?
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perubahan kadar kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum
setelah
pemberian
Amitriptilin
atau
Deksketoprofen,
serta
hubungan antara kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik.
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui perbedaan perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik pada kelompok yang mendapat terapi
Amitriptilin
dengan
kelompok
yang
mendapat
terapi
Deksketoprofen 2. Untuk mengetahui
rerata kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum pada
penderita TTH kronik. 3. Untuk mengetahui hubungan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6
serum
dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik. 4. Untuk mengetahui perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum setelah pemberian Amitriptilin pada penderita TTH kronik. 5. Untuk mengetahui perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum setelah pemberian Deksketoprofen pada penderita TTH kronik.
1.4. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah terdapat perbedaan perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik pada kelompok yang mendapat
Universitas Sumatera Utara
terapi
Amitriptilin
dengan
kelompok
yang
mendapat
terapi
Deksketoprofen ? 2. Berapakah rerata kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik ? 3. Apakah terdapat hubungan antara kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik ? 4. Apakah terjadi perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin ? 5. Apakah terjadi perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik setelah pemberian Deksketoprofen ?
1.5. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan perubahan kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 pada serum penderita TTH kronik antara kelompok yang mendapat terapi Amitriptilin
dengan
kelompok
yang
mendapat
terapi
Deksketoprofen. 2. Semakin tinggi kadar TNF-α serum, semakin tinggi intensitas nyeri, pada penderita TTH kronik. 3. Semakin tinggi kadar IL-1 serum, semakin tinggi intensitas nyeri, pada penderita TTH kronik. 4. Semakin tinggi kadar IL-6 serum, semakin tinggi intensitas nyeri, pada penderita TTH kronik. 5. Kadar TNF-α serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Amitriptilin.
Universitas Sumatera Utara
6. Kadar IL-1 serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Amitriptilin. 7. Kadar IL-6 serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Amitriptilin. 8. Kadar TNF-α serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Deksketoprofen. 9. Kadar IL-1 serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Deksketoprofen. 10. Kadar IL-6 serum pada penderita TTH kronik akan menurun pada kelompok yang mendapat terapi Deksketoprofen.
1.6. Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya perubahan kadar kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum
setelah
pemberian
Amitriptilin
atau
Deksketoprofen,
serta
hubungan antara kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6 serum dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik diharapkan akan bermanfaat untuk hal-hal berikut : 1.6.1. Untuk ilmu pengetahuan
: agar dapat menambah pemahaman
mengenai dasar patofisiologi penyakit TTH kronik dan mengetahui apakah Amitriptilin atau Deksketoprofen bermanfaat pada tata laksana penyakit ini yang lebih efektif dan efisien. 1.6.2. Untuk klinisi : agar dapat menambah pemahaman tentang patofisiologi penyakit TTH kronik sehingga dapat memberikan pengobatan yang lebih baik terhadap penderita penyakit ini
Universitas Sumatera Utara
termasuk
dengan
mengetahui
apakah
Amitriptilin
atau
Deksketoprofen bermanfaat pada TTH kronik. 1.6.3. Untuk masyarakat : agar masyarakat dapat lebih memahami penyakit TTH
kronik serta penyulitnya, sehingga dapat mencari
pengobatan yang tepat dan efektif .
1.7.
Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari disertasi ini
adalah diketahuinya hubungan biomarker ini dengan tingkat intensitas nyeri dan perubahan kadarnya dalam serum pada penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin atau Deksketoprofen.
Universitas Sumatera Utara