10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini, maupun di masa yang akan datang. 4 Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. 5 Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. 6 Sehingga dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini dapat kita lihat sendiri yaitu maraknya anak-anak kecil yang sudah memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui alat-alat elektronik tersebut kita dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui jaringan internet yang lebih sering kita kenal dengan dunia maya. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa, dunia telah memasuki era baru komunikasi, Dengan demikian, teknologi informasi ini telah mengubah perilaku masyarakat global. Di samping itu perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung 4
Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1. 5 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 1-2. 6 Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm 1.
Universitas Sumatera Utara
11
demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum. 7 Dengan terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.8 Kemudian lahirlah suatu era baru yang dikenal dengan hukum telematika. Hukum telematika dapat juga disebut dengan hukum siber. Hal ini didasari pada argumentasi bahwa hukum siber (cyber crime) merupakan kegiatan yang memanfaatkan
komputer
sebagai
media
yang
didukung
oleh
sistem
telekomunikasi baik itu dial up system, menggunakan jalur telepon, maupun wireless system yang menggunakan antena khusus nirkabel.9 Pada akhirnya kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. 10 Namun seiring dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang dalam jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan
pada dunia
internet itu sendiri. Permasalahan hukum yang yang sering kali kita hadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi
7
Ibid, hlm. 2. Ibid. 9 Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 12-13. 10 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, (Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 17. 8
Universitas Sumatera Utara
12
secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.11 Tekologi dan Hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger nerpendapat bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi. Pada dasarnya, setiap teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja.12 Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam satu negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Ketertiban dan keadilan tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan didalam masyarakat pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon hukum, dan hukum berada di persimpangan: di satu sisi berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, tetapi di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang,
11
Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 3. Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Jakarta : Tatanusa), 2012, hlm. 31-32. 12
Universitas Sumatera Utara
13
sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.13 Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi, terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai macam lainnya.14 Dalam dunia siber sendiri ada hal yang perlu segera mendapat perhatian dalam masalah penggunaan media internet ini, sebelum lebih jauh terlanjur menjadi hutan belantara yang tidak bertuan.15 Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pelu dibuat suatu perundangan yang mengatur agar tidak menjadi suatu hutan belantara yang tidak bertuan. Dalam prosesnya telah dilihat banyaknya perdebatan mengenai perlu tidaknya aturan yang khusus mengatur tentang cybercrime ini. Namun pada akhirnya pada bulan Maret tahun 2008 menjadi tonggak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini terdapat bagian tersendiri mengenai perbuatan yang dilarang, yaitu dalam Bab VII dengan rincian sebagai berikut :
Pasal 27
: asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan
Pasal 28
: berita bohong dan menyesatkan, berita kebencian permusuhan
13
Ibid, hlm. 32. Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 3 15 Asril Sitompul, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). (Bandung : PT. CITRA ADITYA BAKTI), 2001, hlm. 2. 14
Universitas Sumatera Utara
14
Pasal 29
: ancaman kekerasan dan menakut-nakuti
Pasal 30
: akses komputer pihak lain tanpa Izin, cracking
Pasal 31
: penyadapan, perubahan, penghilangan informasi
Pasal 32
: pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia
Pasal 33
: virus, membuat sistem tidak bekerja
Pasal 35
: menjadikan seolah dokumen otentik
Tidak hanya hal-hal tersebut yang dapat kita lihat dalam UU ITE ini. Dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE memuat suatu bentuk perluasan alat bukti diluar pasal 184 KUHAP. Dimana dalam UU ITE diakui bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Di mana dalam pasal 5 ayat (2) UU ITE diperjelas bahwa alat bukti yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara yang berlaku. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. Tentunya setelah melihat sekilas mengenai tindakan tindakan yang dilarang dalam UU ITE tersebut maka terlihat bahwa media di internet yang paling dekat dan paling sering menjadi ambang batas dalam terjadinya tindak pidana dalam UU ITE adalah media sosial. Dalam hal ini Undang-Undang ITE ini memimiliki sudut pandang yang baru dalam perumusan tindak pidana dibandingkan dengan pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang cenderung kita pandang telah konvensional. Seringnya masyarakat menggunakan media sosial, baik untuk ajang pekerjaan maupun ajang untuk
Universitas Sumatera Utara
15
sekedar iseng-iseng dalam menggunakan internet terkadang menjadi sesuatu yang secara tidak sadar mendatangkan akibat-akibat tertentu. Yang mana akibat-akibat yang dimaksud dapat berupa terjadinya suatu tindak pidana yang belum mampu dijangkau oleh KUHP itu sendiri. Hal yang memicu tejadinya kejahatan melalui tindak pidana siber ini pun mayoritas adalah berasal dari keterangan yang ada pada media sosial. Keterangan di media sosial termasuk dalam pengertian dari informasi elektronik dalam UU ITE. Pasal 1 ayat 1 UU ITE menjelaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Sehingga banyak kasus-kasus siber yang kita ketahui berkutat pada kasuskasus yang berawal dari media-media sosial seperti e-mail, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Dan dalam jalannya proses persidangan terhadap perkara-perkara cyber itu sendiri, keterangan-keterangan tersebutlah yang menjadi alat bukti dalam persidangan. Seperti dalam kasus Prita Mulyasari dimana alat buktinya berupa hasil cetakan e-mail dari akun milik prita mulya sari. Dan juga pada kasus
Universitas Sumatera Utara
16
Benny Handoko16 pun, alat bukti yang diajukan oleh jaksa pun berupa potongan gambar dari isi posting twitter dengan user @benhan. Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan mengenai penggunaan keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam menguraikan hal tersebut maka penulis akan menguraikan mengenai Ketentuan Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE dan kemudian dilajutkan dalam pembahasan mengenai bagaimana Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kemudian akan diulas juga tentang penerapan hukum yang telah ada dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi, dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE? 2. Bagaimana keterangan pada media sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE? 3. Bagaimana penerapan hukum terhadap penggunaan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel? 16
Dalam perkara Pidana Nomor 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel
Universitas Sumatera Utara
17
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengkaji mengenai bagaimana informasi pada media sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undangundang Nomor 11 Tahun 2008. 2. Memberikan sumbangan pemikiran hukum dalam konteks Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam prespektif pasal 27 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. 3. Untuk digunakan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. D. Tinjauan Pustaka Dalam skripsi akan dibahas mengenai “Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008”. Adapun tinjauan kepustakan dari skripsi ini adalah: 1. Keabsahan Penggunaan suatu alat bukti dalam bentuk apapun tentunya membutuhkan sifat yang sah agar dapat digunakan di dalam proses peradilan. Keabsahan merupakan suatu bentuk
Universitas Sumatera Utara
18
kata sifat yang menunjukkan sifat yang sah17. Sehinga dalam menggunakan berbagai alat bukti dalam proses peradilan yang berlaku di Indonesia maka harus dapat dijamin adanya suatu keabsahan dari alat bukti yang diajukan tersebut. 2. Informasi Elektronik Berkembangnya era globalisasi membuat muncul bentuk baru dari informasi-informasi yang ada. Informasi elektronik merupakan bentuk baru dari informasi yang ada akibat era globalisasi ini. Dalam Undang-Undang ITE disebutkan pengertian secara rinci dari informasi elektronik, yang merupakan objek kajian dari skripsi ini. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.18
17 18
http://kbbi.web.id/absah Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Universitas Sumatera Utara
19
3. Media Sosial Akiabat masuknya era globalisasi saat ini, ada sebuah tempat yang menjadi suatu dunia baru yang tidak nyata namun memiliki dampak nyata dalam kehidupan yang nyata. Dunia tersebut biasanya kita kenal sebagai media sosial. Media sosial adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online melalui jaringan internet yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.19 Andreas
Kaplan
mendefinisikan media
dan
sosial sebagai
Michael
Haenlein
"sebuah
kelompok
aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content" 20 Gamble, Teri, dan Michael dalam Communication Workssebagaimana dikutip Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri ciri sebagai berikut : a. Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
19 20
http://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media/ http://www.romelteamedia.com/2014/04/media-sosial-pengertian-karakteristik.html
Universitas Sumatera Utara
20
b. Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper c. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya d. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi 4. Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat
dipergunakan
sebagai
bahan
pembuktian
guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan. Adapun Definisi Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu
tindak
pidana,
dimana
alat-alat
tersebut
dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.21 5. Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian
ditentukan
nasib
terdakwa.
Apabila
hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang 21
http://politkum.blogspot.com/2013/05/pengertian-alat-bukti-yang-sah-dalam.html diakses pada tanggal 25 Juni 2014
Universitas Sumatera Utara
21
undang
“tidak
cukup”
membuktikan
kesalahan
yang
didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Pitlo mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak baik orang perseorangan maupun badan hukum atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian dalam Acara Pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam Acara Perdata, dimana dalam acara pidana pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana itu.22
22
M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),, hlm. 273.
Universitas Sumatera Utara
22
Menurut
Subekti,
pembuktian
adalah
upaya
meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara buktibukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan
hakim
akan
kebenaran
dalil-dalil
yang
dikemukakan. Dalam bukunya tentang Cybercrime Josua Sitompul jugamemberikan pengertian dari pembuktian yaitu, upaya
untuk
menemukan
kebenaran
materil
(materiel
waarheid) tentang telah terjadi suatu tindak pidana dan jelas siapa pelakunya.23 6. Tindak Pidana Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa 23
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm. 264.
Universitas Sumatera Utara
23
hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat24 Dalam bukunya Prof. Moeljatno juga memberikan definisi terhadap tindak pidana. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.25 Definisi lain dari Tindak pidana ini juga dapat kita lihat dari definisi yang diberikan oleh Prof. Bambang Poernomo, yaitu Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.26 7. Pencemaran Nama Baik Sampai saat ini di Indonesia belum ada definisi hukum yang tepat dan jelas tentang apa yang disebut pencemaran nama 24
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada tanggal 25 Juni 25 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1987) hlm. 54 26 Babang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992) hlm. 130
Universitas Sumatera Utara
24
baik. Dalam bahasa inggris pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, dan libel. R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal
225)
dalam
menerangkan
penjelasan Pasal
bahwa,
“menyerang kehormatan
dan
310
“menghina” nama
KUHP, adalah
baik seseorang”. Yang
diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”,
bukan
“kehormatan”
dalam
lapangan
seksual,
kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.27 E. Metode Penelitan dan Penulisan 1. Tipe Penelitian Penulis dalam menulis skripsi ini menggunakan salah satu tipe penelitian hukum yang ada, yaitu Doctrinal Research28. Tipe Doctrinal Research adalah suatu penelitian hukum yang menganalisis aturanaturan hukum yang berkaitan atau mengatur suatu kategori permasalahan hukum tertentu, menjelaskan permasalahan yang sulit dipahami, menganalisis hubungan antar peraturan perundang-undangan dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa
27
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatanyang-termasuk-pencemaran-nama-baik diakses pada tanggal 25 Juni 2014 28 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010) hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
25
selanjutnya. Tipe penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan tipe penelitian hukum normatif yuridis. 2. Pendekatan Masalah Guna membahas permasalahan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yang berarti dalam melakukan pembahasannya penuslis mengacu pada statute approach, conceptual approach, dan case approach, dengan cara mempelajari, memahami, meneliti kasus, serta menganalisa konsepkonsep dalam peraturan erundang-undangan yang berkaitan dengan Keabsahan Informasi Pada Media Sosial sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. 3. Sumber Bahan Hukum Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi 2 jenis, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat normatif seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan
maupun
ketetapan-ketetapan dari lembaga yang berwenang. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum seunder berupa sumber-sumber lain yang berhubungan dengan bahan hukum primer, yang
Universitas Sumatera Utara
26
digunakan untuk memperlengkapi bahan huum primer, sehingga
dapat
membantu
permasalahan-permasalahan
untuk
terkait.
menganalisis Bahan
hukum
sekunder dapat diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan terkait. 4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Adapun untuk mempermudah dan memperlancar penulisan skripsi
ini,
maka
dipergunakan
beberapa
langkah
dalam
pmengumpulkan dan mengolah bahan hukum yang terkait dengan skripsi ini. Pertama adalah dengan melakukan studi kepustakaan dengan materi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan cara membaca peraturan-perundang-undangan, buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, danliteratur-literatur lainnya yang terkait dengan skripsi ini. Kemudian bahan-bahan yang telah terkumpul tersebut diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas sehubungan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini diuraikan menjadi 5 Bab yang secara sistematis terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
27
Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, dan sistematika penulisan Bab II, merupakan pembahasan dari rumusan masalah yang pertama. Dimana dalam bab ini akan ditinjau secara umum definisi dari tindak pidana teknologi informasi. Kemudian pada bab ini juga akan dibahas perihal pengaturan tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan transaksi elektronik. Karena pembahasan skripsi ini mengarah pada penggunaan keterangan media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana mencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE, maka dalam bagian terakhir pada bab ini akan dibahas mengenai tindak pidana pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE. Bab III, merupakan pembahasan dari permasalahan yang kedua yaitu mengenai kedudukan alat bukti elektronik dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Pada awal bab akan terlebih dahulu dibahas terkait alat bukti secara umum, yakni pengaturan alat bukti yang tentunya diatur dalam KUHAP. Kemudian akan dilanjutkan kepada pembahasan pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pidana Indonesia. Sehingga pada akhir bab ini dapat diketahui penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE.
Universitas Sumatera Utara
28
Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan ditinjau secara yuridis putusan pengadilan terhadap perkara pidana yang menggunakan keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam proses pembuktiannya. dalam hal ini, akan ditinjau putusan Nomor : 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel. Namun sebelum meninjau hal tersebut terlebih dahulu akan dibahas mengenai penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia, khususnya penggunaan keterangan pada media sosial sebaga alat bukti dalam proses pembuktian perkara pidana. Bab V, merupakan bagian akhir dalam penulisan skripsi ini. Sebagai bagian akhir atau penutup penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari penelitian dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, serta akan memberikan beberapa saran bagi perbaikan dan perubahan di masa yang akan datang mengenai tindak pidana cyber terutama terkait pada media sosial yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait.
Universitas Sumatera Utara