BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin memegang peran yang penting dalam kehidupan politik. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberi dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Sebagai contoh, kekuatan media massa pada tahun 1998 mampu mempercepat tumbangnya rezim Orde Baru oleh Gerakan Reformasi. Ketika itu, pemberitaan luas tentang gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa beserta masyarakat oleh media cetak dan elektronik mampu mempercepat pengunduran diri Presiden Soeharto. Dalam komunikasi politik, media acapkali tidak hanya bertindak sebagai saluran yang menyampaikan pesan politik melainkan juga sebagai agen politik. Sebagai agen politik, media melakukan proses pengemasan pesan (framing of
political messages) dan proses inilah yang
sesungguhnya menyebabkan sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu. Dalam proses pengemasan pesan ini, media dapat memilih fakta yang akan (dan yang tidak) dimasukkan ke dalam teks berita politik (Suwardi dalam Hamad, 2004: xvi).
Universitas Sumatera Utara
Media massa dalam melakukan produksi berita boleh jadi dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu. Sementara faktor eksternal berupa tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Pada era reformasi, sejumlah media massa memperlihatkan sikap partisannya terhadap partai politik secara terbuka walaupun tidak menyatakan diri secara resmi sebagai pendukung salah satu partai politik. Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik, tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik, melainkan menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya entah itu kepentingan ekonomi, politik ataupun ideologis (Hamad, 2004: 75). Untuk media cetak, Harian Media Indonesia (MI) merupakan salah satu media yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Sepak terjang Surya Paloh sebagai pemilik surat kabar ini dalam politik, tidak bisa dipungkiri mempengaruhi pemberitaannya. Terutama pemberitaan mengenai Partai Golkar, dimana Surya Paloh sempat menjadi anggota MPR dari partai ini. Saat Surya Paloh masih aktif berkiprah di Partai Golkar, semua berita mengenai Partai Golkar diberitakan secara positif. Citra positif
Universitas Sumatera Utara
dalam
pemberitaan
terhadap
Partai Golkar
yang
dilakukan
MI
menunjukkan bagaimana pengaruh Surya Paloh (sebagai pemilik dari MI) ketika itu. Beberapa penelitian menunjukkan bagaimana harian Media Indonesia memberitakan Partai Golkar secara positif. Hasil penelitian Ibnu Hamad yang dituliskan dalam bukunya, Konstruksi Realitas Politik dalam Media massa (2004), mengungkapkan bahwa dalam berita-berita mengenai Pemilu 2004, MI memperlihatkan sikap yang positif untuk mencitrakan
Partai
Golkar.
Situasi
reformasi
yang
cenderung
mendiskreditkan Golkar disiasati agar tidak merusak hubungan politik dan ekonomi yang selama ini terjaga antara MI dan Golkar (Hamad, 2004: 134). Yakni dengan memberi wacana positif ke semua partai. Bahkan, salah satu penelitian terbaru yakni pada Pemilu 2009, menunjukkan bahwa pemberitaan MI cenderung berpihak dan mendukung calon presiden dari Partai Golkar. Dalam pemberitaan MI, Jusuf Kalla selalu dicitrakan secara positif dengan memberitakan Jusuf Kalla sebagai calon presiden yang paling tepat memimpin Indonesia (dikutip dari abstraksi skripsi Dewanto Samodro, 2010). Namun, sejak kekalahan Paloh pada pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar tahun 2009 di Pekan Baru, Surya Paloh tidak lagi aktif berkiprah di partai tersebut. Alih-alih, Paloh bersama 44 orang deklarator lainnya mendirikan organisasi massa Nasional Demokrat pada tahun 2010. Hal ini boleh jadi berimplikasi pada
Universitas Sumatera Utara
perubahan arah pemberitaan MI mengenai Partai Golkar saat ini. Apalagi setelah Golkar berperan sebagai salah satu partai koalisi dalam pemerintahan. Baru-baru ini Partai Golkar sebagai partai koalisi dalam pemerintahan membuat suatu keputusan kontroversial dengan mendukung hak angket terhadap kasus mafia pajak dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, Partai Demokrat yang notabene-nya adalah ‘rekan’ Partai Golkar dalam koalisi dan representatif dari pemerintah, tidak menyetujui adanya hak angket tersebut dengan berbagai alasan. Pengajuan hak angket terhadap kasus mafia perpajakan ini dilatarbelakangi oleh kasus penyelewengan biaya pajak yang dilakukan oleh Pegawai Golongan Tiga Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Sebagai salah satu hak istimewa DPR, hak angket boleh dilaksanakan boleh juga tidak. Tentu pengajuan hak angket untuk menyelesaikan permasalahan ini memicu pro dan kontra dalam tubuh DPR sendiri. Keputusan Golkar mendukung hak angket ini dipandang kontroversial oleh beberapa pihak dikarenakan peran Partai Golkar sebagai partai koalisi
yang
seharusnya
mendukung
dan sejalan dengan
pemerintahan. Peristiwa ini dikemas pula oleh media massa dengan berbagai macam pandangan, tak terkecuali oleh Harian Media Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti
Universitas Sumatera Utara
bagaimana Harian Media Indonesia mengkonstruksi realitas Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai hak angket kasus mafia pajak.
I.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah konstruksi Harian Media Indonesia terhadap Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai Hak Angket Kasus Mafia Pajak yang terjadi pada tahun 2011?”
I.3
Pembatasan Masalah Agar tidak terjadi pengembangan masalah di luar ruang lingkup dan kekaburan dalam penelitian, peneliti merasa perlu untuk melakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat arah pemberitaan Harian Media Indonesia terhadap Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai hak angket kasus mafia pajak. 2. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. 3. Media yang diteliti adalah media cetak harian atau surat kabar. Dalam hal ini peneliti menggunakan Harian Media Indonesia yang terbit sepanjang bulan Februari 2011.
I.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Universitas Sumatera Utara
I.4.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cara Harian Media Indonesia memaknai, memahami dan membingkai berita yang berhubungan dengan Partai Golkar. 2. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pandangan dan posisi Harian Media Indonesia dalam mengkonstruksi berita terkait Partai Golkar saat ini, terutama pemberitaan tentang hak angket kasus mafia pajak.
I.4.2 Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya khasanah penelitian tentang realitas dan konstruksi pemberitaan di media cetak. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya
penelitian
khususnya
di
bidang
Ilmu
Komunikasi. 3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
I.5
Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun
Universitas Sumatera Utara
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 39). Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah himpunan konstruk atau konsep, definisi, dan proporsi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 1993: 6). Dalam penelitian ini teori yang dianggap relevan adalah: I.5.1 Pendekatan Politik Ekonomi Media Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2). Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk di dalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi (Barrett, 1995: 186). Dari pendapat Mosco di atas dapatlah dipahami pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang
Universitas Sumatera Utara
dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan
(http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/kapitalisme-
organisasi-media-dan.html). Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik
memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi. Selanjutnya, Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media. Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur.
Universitas Sumatera Utara
Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya. Sementara itu, dalam memberitakan suatu peristiwa, media massa dipengaruhi oleh beragam pengaruh. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content (1996) mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu: 1. Level Individu/Pekerja Media Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspekaspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. 2. Level Rutinitas Media Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. 3. Level Organisasi Media
Universitas Sumatera Utara
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis. 4. Level Ekstra Media Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media. 5. Level Ideologi Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Oleh karena uraian di atas, peneliti menggunakan teori politik ekonomi media untuk membantu peneliti menjelaskan fenomena bagaimana kepemilikan media dapat digunakan untuk menyebarluaskan ideologi pemiliknya. Khususnya dalam pemberitaan mengenai partai
Universitas Sumatera Utara
Golkar pada harian Media Indonesia. Sementara lima level yang diungkapkan oleh Shoemaker dan Reese digunakan peneliti untuk memperjelas bahwa kepemilikan media dan ideologi mempengaruhi pembentukan berita.
I.5.2 Konstruksi Sosial Media Massa Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingankepentingan (Bungin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.
Universitas Sumatera Utara
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme,
keberpihakan
semu
kepada
masyarakat,
keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap
pembentukan
konstruksi berlangsung
konstruksi
realitas.
Pembentukan
melalui: (1) konstruksi realitas
pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.
Universitas Sumatera Utara
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa
maupun
akuntabilitas
penonton
terhadap
memberi
pilihannya
argumentasi
untuk
terlibat
dan dalam
pembetukan konstruksi. Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara
obyektif.
Individu
mengkostruksi
realitas
sosial
dan
merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa
membuat
gambaran
tentang
realitas.
Untuk
itu,
peneliti
menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana harian Media Indonesia memaknai, memahami dan kemudian membingkai realitas partai Golkar ke dalam bentuk teks berita.
I.5.3 Teori Propaganda Teori propaganda menurut Herman dan Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988), adalah teori tentang media yang memaksakan kepentingannya sedemikian rupa agar diterima oleh publik. Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media sangat strategis, oleh karena itu, para
Universitas Sumatera Utara
penguasa media akan melakukan apapun agar posisi mereka aman serta sejahtera. Propaganda, melalui sebuah media selalu digunakan untuk membangun citra politik, baik citra politik seseorang maupun citra politik partai. Sebenarnya,
fokus
model
propaganda
ini
adalah
pada
ketidakseimbangan antara kekayaan dengan kekuasaan dan efek multilevel terhadap minat serta pilihan media massa. Maksudnya, uang dan kekuasaan dapat menyetir output berita serta memungkinkan pihak-pihak dominan (swasta maupun pemerintah) menyampaikan pesan-pesan sesuai dengan kepentingan tertentu pada publiknya. Herman dan Chomsky memperkenalkan model propaganda yang didalamnya terdapat filter-filter yang mempresentasikan kekuatan politik yang ada, yakni: ukuran besar-kecil kepemilikan dan orientasi media, pengiklan, sumber berita, flak dan ideologi anti komunisme (Herman, 1988: 2). Filter-filter tersebut tentu dimiliki oleh setiap media massa, begitu juga dengan Harian Media Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh ini. Teori Propaganda akan membantu peneliti untuk melihat bagaimana pemilik media menyampaikan kepentingan politiknya melalui media massa yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
I.5.4 Teori Agenda Setting Agenda setting diperkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarteley tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda setting adalah jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Bungin, 2008: 281). Media menata sebuah agenda terhadap peristiwa ataupun isu tertentu sehingga dianggap penting oleh publik. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting. Dalam penelitian ini, teori agenda setting digunakan untuk melihat bagaimana harian Media Indonesia memberikan penekanan terhadap Partai Golkar melalui peristiwa hak angket mafia perpajakan ini sebagai sesuatu yang penting untuk dikonsumsi publik.
I.5.5 Analisis Framing Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan
Universitas Sumatera Utara
politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162). Menurut Imawan dalam Sobur (2004:162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun dalam penelitian ini, model analisis yang digunakan adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252). Setiap media memiliki konstruksi dan pembingkaian yang berbedabeda atas suatu realitas atau peristiwa. Demikian juga dengan harian Media Indonesia dalam memberitakan Partai Golkar melalui peristiwa kontroversi hak angket mafia perpajakan ini. Melalui pembingkaian, wartawan mampu membuat peristiwa yang rumit menjadi sederhana dan dapat diterima oleh khalayak. Bahkan budaya, pengetahuan, lingkungan, atau faktor lain yang dimiliki oleh wartawan dapat memengaruhi bagaimana ia mengkonstruksi realitas menjadi suatu berita. Dengan kata lain, penelitian ini akan melihat bagaimana pandangan dan posisi Harian Media Indonesia dalam mengkonstruksi berita terkait Partai Golkar saat ini, terutama dalam pemberitaan tentang hak angket kasus mafia pajak.
I.6
Instrumen Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki sebagai instrument penelitian. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An Aproach to News Discourse” mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemenelemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175). Selanjutnya perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar: 1. Struktur Sintaksis yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Dapat diamati dari bagian berita (lead yang dipakai, latar, headline, kutipan yang diambil, dan sebagainya). 2. Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa ke dalam bentuk berita. 3. Struktur
tematik
berhubungan
dengan
bagaimana
wartawan
mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. 4. Struktur
retoris,
berhubungan
dengan
bagaimana
wartawan
menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga
Universitas Sumatera Utara
menekankan arti tertentu kepada pembacanya. (Eriyanto, 2004:255256) Gambar 1. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
STRUKTUR
SINTAKSIS
UNIT YANG DIAMATI
PERANGKAT FRAMING
Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup
1. Skema berita
Cara wartawan menyusun fakta
SKRIP
5 W + 1H
2. Kelengkapan berita
Cara wartawan mengisahkan fakta
TEMATIK Cara wartawan menulis fakta
RETORIS Cara wartawan menekankan fakta
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti
Paragraf, proporsi,
7. leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Kata, idiom,
kalimat, hubungan antar kalimat
gambar/foto, grafik
Sumber: Eriyanto, 2004: 256
Universitas Sumatera Utara