1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pada tanggal 4 Januari 1948 Myanmar memperoleh kemerdekaannya dari tangan kolonial Inggris yang menjajah Myanmar sejak tahun 1824, dengan nama Union of Burma. Presiden pertama saat itu adalah Sao Shwe Thaik dan U Nu sebagai Perdana Menterinya. Tidak seperti bekas negara jajahan Inggris lainnya, Burma saat itu tidak menjadi anggota dari negara persemakmuran Inggris. Diawal kemerdekaannya Burma menjalankan sebuah pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokratis ini berakhir pada tahun 1962 ketika Jendral Ne Win sukses memimpin sebuah kudeta militer. Ne Win berkuasa selama 26 tahun dan memerintah Burma dalam sebuah kebijakan yang terkenal dengan nama “Jalan Burma Menuju Sosialisme (Burmese Way to Socialism)”. Diantara tahun 1962 sampai 1974, Burma dipimpin oleh sebuah Dewan Revolusi dengan Ne Win sebagai ketuanya. Pada periode ini, hampir seluruh aspek dan aset masyarakat dinasionalisasi (bisnis, media, dan produksi).1 Sejak awal perjalanannya Pemerintah Junta Militer ini tidak terlepas dari berbagai protes dan aksi demonstrasi yang bersifat sporadis. Sebagian besar aksi diawal pemerintahan Junta ini diorganisir oleh para mahasiswa. Pada tanggal 7 Juli 1962, pemerintah Junta membubarkan aksi demonstrasi mahasiswa pada 1
Myint-U, Thant (2006). The River of Lost Footsteps. ISBN 0-374-16342-1, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.
2
Universitas Rangoon yang menewaskan 15 mahasiswa2. Pada tahun 1974, kekerasan militer kembali terjadi terhadap kelompok anti pemerintah pada saat prosesi pemakaman U Thant, Perwakilan Tetap Union of Burma di PBB, sekaligus Sekretaris Perdana Menteri pada masa Pemerintahan Demokratis U Nu. Aksi protes mahasiswa yang terjadi pada tahun 1975, 1976, dan 1977, dengan cepat ditumpas oleh pemerintah melalui kekuatan militer.3 Pada tahun 1988, terjadinya kemandegan ekonomi akibat dari kesalahan manajemen dan opresifitas politik pemerintah, menyebabkan terjadinya gelombang demonstrasi yang tersebar ke seluruh negeri yang kemudian dikenal dengan sebutan “8888 Uprising”.4 Pasukan keamanan Myanmar saat itu membunuh ribuan demonstran. Hal ini memicu dilakukannya sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Saw Maung yang kemudian membentuk Dewan Hukum Negara dan Restorasi Pemerintah atau State Law and Order Restoration Council (SLORC). Segera setelah SLORC terbentuk, pemerintah mendeklarasikan Martial Law pada tahun 1989, dan menyelenggarakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 31 Mei 1989.5 Berdirinya pemerintahan Junta Militer baru yang dipimpin oleh Jenderal Saw Maung, mengindikasikan bahwa demokrasi masih belum menjadi sebuah jalan dan norma yang seharusnya digunakan untuk menentukan kebijakan dan 2
Myint-U, Thant (2006). The River of Lost Footsteps. ISBN 0-374-16342-1, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008. 3 Fink, Christina (2001). Living Silence:Burma under Military Rule. ISBN 1-8564-9926X, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008. 4 http://my.wikipedia.org/ Myanmar Wikipedia Official Site, diakses tanggal 17 Agustus 2008. 5 PYITHU HLUTTAW ELECTION LAW, State Law and Order Restoration Council. iBiblio.org (1989-05-31). Diakses tanggal 17 Agustus 2008.
3
keputusan yang berkaitan dengan nasib jutaan rakyat Myanmar, walaupun terlihat bahwa keran yang selama ini menyumbat perlawanan kelompok pro demokrasi sedikit dibuka. Pada bulan Mei 1990, SLORC menyelenggarakan pemilihan umum bebas untuk pertama kalinya dalam 30 tahun terakhir. Liga Demokrasi Nasional atau National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan 392 kursi dari 489 kursi yang diperebutkan, tetapi dengan segera hasil pemilihan tersebut kemudian dianulir oleh SLORC yang menolak untuk lengser dari kekuasaan tertinggi negara.6 Kekerasan kembali dan terus dilakukan oleh pemerintah Junta militer terhadap para penentangnya. Pada bulan Agustus 2007, kembali terjadi aksi demonstrasi yang dipimpin oleh para tokoh anti pemerintah seperti Min Ko Naing, Su Su Nway dan yang lainnya. Aksi ini dengan segera dilumpuhkan oleh militer Myanmar, pemerintah sendiri tidak mengijinkan Palang Merah Internasional untuk mengunjungi salah satu pemimpin demonstrasi yang ditahan di penjara Insein, Min Ko Naing, setelah terjadinya beberapa kekerasan terhadap para demonstran. Berdasarkan laporan yang beredar, satu orang aktivis, Win Shwe meninggal pada saat interograsi di penjara Insein.7 Selanjutnya pada tanggal 19 September 2007 terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ribuan biksu di Kota Sittwe. Aksi ini meluas hingga ke kota Rangoon dan beberapa kota lainnya di Myanmar, yang menyebabkan aparat keamanan Myanmar bekerja ekstra keras,
6
Khin Kyaw Han (2003-02-01). "1990 MULTI-PARTY DEMOCRACY GENERAL ELECTIONS". National League for Democracy. iBiblio.org., diakses tanggal 17 Agustus 2008. 7 "Burma's new capital stages parade", BBC News (2006-03-27), http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.
4
sehingga
mengakibatkan
terjadinya
perluasan
tindak
kekerasan
yang
mengakibatkan banyak demonstran terluka dan meninggal serta ditahan. Pada tanggal 28 September 2007, akses internet di Myanmar diputus8 dan para jurnalis tidak diperbolehkan untuk meliput berbagai aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat, biksu, dan mahasiswa. Akhirnya pada tanggal 7 Februari 2008, untuk meredam berbagai aksi demonstrasi yang terus terjadi, Pemerintahan Junta Militer Myanmar atau State Peace and Development Council (SPDC), mengumumkan bahwa akan dilaksanakan referendum untuk menentukan konstitusi dan pemilihan umum pada tahun 2010. Referendum Konstitusi Burma akhirnya dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2008, dan pemerintah berjanji untuk menerapkan demokrasi mengalir yang disiplin, “Discipline-flourishing Democracy” di masa depan. Apa yang terjadi di Myanmar saat ini telah menimbulkan keprihatinan, tidak hanya pada negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga dunia. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dan beranggotakan hampir seluruh negara-negara di dunia, dalam hal ini merasa perlu untuk melakukan tindakan-tindakan khusus dalam menyelesaikan krisis HAM dan demokrasi di Myanmar. Hal ini merupakan sebuah hal yang wajar, ketika PBB yang mengedepankan perdamaian, penegakan HAM dan demokrasi memiliki kewajiban untuk ikut membantu pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan krisis yang sedang terjadi di Myanmar. Dalam kasus ini ada tiga aspek penting yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban PBB,
8
"Internet access cut off in Burma", Guardian http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.
Unlimited
(2007-09-28),
5
yaitu perdamaian (stabilitas keamanan kawasan), penegakan HAM, dan penegakan Demokrasi. Sampai dengan sejauh ini, PBB telah mengeluarkan dua resolusi terkait dengan perkembangan kekerasan yang terjadi di Myanmar. Resolusi tersebut yaitu :9 1) Resolusi yang pertama yaitu Resolusi S-5/1 tanggal 2 Oktober 2007. Dalam resolusi tersebut, Dewan HAM PBB meminta Pelapor Khusus PBB terhadap situasi HAM di Myanmar untuk melaporkan situasi HAM terkini dan mengawasai pelaksanaan dari resolusi yang dikeluarkan PBB tersebut, termasuk di dalamnya menemukan hal-hal yang harus segera ditindaklanjuti dalam kunjungan tersebut, dan melaporkan kepada DEWAN HAM PBB, serta mendesak Pemerintah Myanmar agar mau bekerjasama dengan Utusan/Pelapor Khusus PBB. Utusan/Pelapor Khusus PBB mengunjungi Myanmar dari tanggal 1115 November 2007 dan menyerahkan laporan kunjungannya (no laporan : A/HRC/6/14) kepada Dewan HAM PBB tanggal 7 Desember 2007. 2) Resolusi yang kedua adalah Resolusi 6/33. Seperti resolusi sebelumnya, dalam resolusi ini pun meminta kepada Utusan Khusus PBB untuk melaporkan perkembangan situasi HAM di Myanmar, mengawasi 9
pelaksanaan
resolusi
PBB,
dan
meminta
kepada
Dewan HAM PBB, Human Rights SituationsThat Require Council’s Attention : Report of the special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Srgio Pinheiro by resolution 6/33 of the Human Rights Council, United Nations General Assembly, 7 Maret 2008.
6
Pemerintah Myanmar agar bekerjasama penuh dengan Utusan Khusus PBB. Pada tanggal 30 Januari 2008, Utusan Khusus PBB mengirimkan surat pemberitahuan kepada Pemerintah Myanmar untuk melanjutkan misi PBB terkait dengan masalah HAM di Myanmar, akan tetapi pada tanggal yang telah ditentukan dalam resolusi, Pemerintah Myanmar tidak memberikan akses masuk kepada Utusan Khusus PBB. Selanjutnya PBB juga mengirimkan utusan khususnya Ibrahim Ghambari yang bertugas untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah junta militer seputar rekonstruksi dan rekonsiliasi menuju demokrasi. Selain itu PBB juga telah mengirimkan pelapor khusus untuk urusan HAM yang baru, Thomas Ojea Quintana yang menggantikan Paulo Sergio Pinheiro yang telah habis masa tugasnya pada bulan Mei 2008. Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak hanya terbatas pada aspek politik dan demokrasi saja, tetapi telah menyentuh aspek-aspek lain, seperti tenaga kerja, eksploitasi seks dan anak-anak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dibungkamnya saluran politik dan demokrasi masyarakat, sehingga tidak ada kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah junta militer. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan tidak tegaknya supremasi hukum, karena monopoli pemerintah, sehingga batas-batas tindakan legal dan ilegal menjadi kabur, dan yang ada hanyalah konspirasi. Pada bulan November 2006, Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), menyatakan bahwa mereka akan menuntut beberapa pejabat Junta Militer
7
ke Pengadilan Internasional karena kejahatannya terhadap kemanusiaan dengan meneruskan eksploitasi dan kekerasan terhadap buruh, berdasarkan kepada data yang dimiliki ILO, terdapat 800,000 orang yang menjadi buruh paksa di Myanmar.10 Dalam pergaulan internasional saat ini, yang ditandai dengan unipolaritas AS, penegasian terhadap HAM dan demokrasi di Myanmar dalam sebuah pemerintahan yang opresif dan otoriter, dianggap sebagai sebuah anomali. Tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap warganya secara massif, pada akhirnya akan menjadi sebuah permasalahan internasional, ketika isu tersebut telah menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
kemanusiaan.
Hal
terjauh
yang
mungkin
terjadi
adalah
ketidakpercayaan dunia internasional terhadap pemerintah Junta militer, sehingga pemerintah Junta militer, secara de facto, akan kehilangan legitimasi keluar. Sejauh ini telah dilakukan beberapa pemboikotan terutama dari AS, Perancis, Jepang, dan Cina terhadap pemerintah Junta di Myanmar. Bahkan pada bulan Januari 2007, sebelum UN Security Council atau Dewan Keamanan PBB memanggil pemerintah Junta Myanmar, Rusia dan Cina telah menggunakan hak vetonya dan meminta pemerintah Junta Myanmar untuk menghormati HAM dan memulai sebuah pemerintahan transisi.11
10
“ILO cracks the whip at Yangon”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008. 10 United Nations Security Council Document 14 S-2007-14 on 12 January 2007, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.
8
Seperti pada kasus-kasus internasional lainnya, Irak, Afghanistan, dan Iran, DK PBB terkesan lambat dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM di Myanmar. Sebagai sebuah Dewan Keamanan, yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas kemanan dunia, PBB seharusnya bertindak cepat dan tegas dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM di Myanmar, karena jika ditilik dari dimensi yang lain, misalnya dari dimensi ekonomi, stabilitas keamanan regional, tentu saja negara-negara yang berkepentingan terhadap adanya stabilitas di Myanmar bisa saja bertindak mendahului PBB. Walaupun sampai dengan saat ini PBB telah beberapa kali mengirimkan utusan khususnya untuk urusan demokrasi dan HAM, untuk berunding dengan pemerintah Junta Myanmar terkait dengan krisis dalam negeri Myanmar, akan tetapi PBB perlu segera melakukan langkah-langkah strategis dalam penyelesaian krisis HAM di Myanmar. Untuk itu, melalui proposal penelitian ini, peneliti mengajukan rencana judul penelitian, IMPLIKASINYA
yaitu : “KEBIJAKAN PBB DI MYANMAR TERHADAP
PROSES
PENEGAKAN
HAM
DAN DI
MYANMAR”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dan gambaran pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah mekanisme kerja PBB dalam mengatasi permasalahan HAM yang terjadi pada level negara ?
9
2) Bagaimanakah gambaran rill kasus pelanggaran HAM di Myanmar sehingga akhirnya dikategorikan menjadi permasalahan dan isu internasional ? 3) Kebijakan seperti apa yang dikeluarkan PBB sebagai tanggapan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar ? 4) Bagaimana implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ? 1. Pembatasan Masalah Masalah dalam penelitian ini akan dibatasi pada beberapa aspek, yaitu : 1) Aspek ruang lingkup tema atau masalah-masalah yang diidentifikasi akan dibatasi pada bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB dalam menanggapi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah juta militer di Myanmar, serta seberapa jauh implikasi yang muncul dari penerapan kebijakan PBB tersebut terhadap proses penegakan HAM di Myanmar. 2) Aspek ruang lingkup waktu penelitian akan dibatasi dari mulai meningkatnya aksi protes dan demonstrasi di Myanmar pada bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Agustus 2008 yang berimplikasi terhadap peningkatan perhatian dunia internasional terhadap krisis HAM di Myanmar.
10
2. Perumusan Masalah Berdasarkan kepada pembahasan sebelumnya, yaitu identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai acuan untuk membuat hipotesis, sebagai berikut : Bagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB sebagai bentuk tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar berimplikasi terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui mekanisme kerja PBB yang memiliki kewajiban untuk menegakan HAM dan demokrasi dalam rangka menjaga stabilitas keamanan internasional dalam menyelesaikan krisis HAM di Myanmar. 2) Mendeskripsikan dan menganalisa gambaran rill peningkatan kasus pelanggaran HAM di
Myanmar, sehingga menjadi isu dan
permasalahan internasional. 3) Mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. 4) Mendeskripsikan dan Menganalisa implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar
11
2. Kegunaan Penelitian 1) Sebagai
masukan
dalam
khasanah
keilmuan
HI
dalam
mendeskripsikan dan menganalisa secara operasional konsep HAM dan organisasi internasional, dalam hal ini adalah peranan PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam menyelesaikan krisis HAM di Myanmar. 2) Dapat dijadikan pembanding dan tolak ukur bagi kegiatan penelitian ke depan yang mengangkat tema atau masalah seputar implikasi penerapan kebijakan PBB dan implikasi yang timbul terhadap proses penegakan HAM. 3) Sebagai sebuah prasyarat bagi peneliti untuk menyelesaikan Studi Strata-1 (S1) dan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) pada Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pasundan, Bandung.
D. Kerangka Teoritis dan Hipotesis 1. Kerangka Teoritis Pergaulan internasional yang sudah tidak lagi mengenal batas, membawa pengaruh yang sangat signifikan bagi setiap negara. Pergaulan internasional dalam konteks hubungan internasional meliputi beberapa segi hubungan. Dalam hal ini Holsti memberi deskripsi tentang pengertian hubungan internasional seperti dibawah ini : Hubungan internasional adalah segala bentuk interaksi diantara masyarakat negara-negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau warga negara. Dan meliputi segala segi hubungan diantara berbagai negara
12
didunia meliputi lembaga perdagangan internasional, perdagangan internasional, dan perkembangan nilai dan etika internasional.12
Hubungan Internasional merupakan hubungan yang terjadi antara bangsabangsa yang berbeda, dimana hubungan tersebut didasarkan beberapa faktor yang menunjang terjadinya proses hubungan antara negara tersebut. Mochtar Mas’oed memberikan gambaran mengenai hubungan internasional, sebagai berikut: Hubungan Internasional itu sangat kompleks karena didalamnya terlibat bangsa-bangsa yang berdaulat, sehingga memerlukan mekanisme yang lebih rumit dari pada hubungan kelompok manusia didalam suatu negara. Hubungan internasional juga sangat kompleks karena setiap segi hubungan itu melibatkan berbagai seni lain yang koordinasinya tidak sederhana.13
Secara sepesifik, Suwardi Wiriaatmadja dalam buku pengantar hubungan internasional, mengemukakan bahwa : Hubungan Internasional lebih sesuai untuk mencakup segala macam hubungan antar bangsa dan kelompok kelompok bangsa dalam masyarakat dunia dan kekuatan kekuatan, tekanan – tekanan, proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak dan cara berfikir manusia, meskipun fokus masih tetap dalam sistem Negara kebangsaan dan hubungan antar bangsa, tetapi hubungan antar berbagai macam organisasi dan kelompok juga harus diperhatikan.14
Dalam hubungan internasional, terdapat beberapa aktor atau subjek pelaku, diantaranya yang paling umum adalah aktor negara-bangsa. Seiring dengan internasionalisme dan globalisasi yang terjadi saat ini, eksistensi institusiinstitusi internasional semakin memiliki peranan penting dalam kajian HI.
12
K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis (Terjemahan Wawan Djuanda) (Bandung: Binacipta, 1987), hlm.26. 13 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodelogi ( Jakarta : LP3S, 1987 ), hlm.27 14 Suwardi Wiriaatmadja, Pengantar Hubungan Internasional (Jakarta; Pustaka Tinta Mas;1984), hal 39.
13
Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri). Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi berbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi berbagai masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan berbagai bentuk institusi lokal
14
dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban global.15 Interaksi antara aktor yang tidak hanya terdiri atas negara saja, dalam ilmu hubungan internasional dijabarkan melalui Paradigma Pluralis. Adapun asumsi dasar dari Paradigma Pluralis tersebut adalah : 1) Aktor non-negara merupakan entitas penting. 2) Negara bukan kesatuan aktor. 3) Negara bukan aktor yang rasional. 4) Meluasnya pembahasan dalam agenda politik internasional.16 Suatu organisasi internasional memiliki karakter-karakter khusus yang berguna untuk membedakan lingkup kerja dan kegunaan organisasi tersebut di dalam sistem. Klasifikasi yang paling sering digunakan untuk organisasi internasional biasanya didasarkan pada tiga hal, yaitu : 1) Berdasarkan keanggotaannya, dimana organisasi internasional harus terdiri dari setidaknya dua atau lebih negara yang berdaulat. Meskipun keanggotaannya tidak terbatas pada negara atau perwakilan yang sah. 17
15
tipe keanggotaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Inter
http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_internasional, diakses tanggal 24 Juli 2008 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: realism, Pluralism, Globalism. (Macmillan Publishing Company, 1990) hlm. 192-193. 17 Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, Op.Cit. hlm. 279-280. 16
15
Governmental
Organization
(IGO”s)
dan
International
Non-
Governmental Organization (INGO”s).18 2) Berdasarkan tujuan organisasi dimana sebuah organisasi didirikan dengan tujuan untuk pencapaian kepentingan umum seluruh anggotanya. 3) Berdasarkan struktur organisasi, dimana sebuah organisasi harus memiliki struktur formal yang telah disepakati atau disetujui dalam traktat pada saat pendiriannya.19 Organisasi internasional sebagai badan formal yang didirikan berdasarkan persetujuan anggota-anggotanya, baik yang berasal dari pemerintah ataupun nonpemerintah secara umum memiliki tiga kategori, yaiu : 1) Organisasi antar pemerintah / Inter Governmental Organization (IGO”s). 2) Organisasi
non-pemerintah
/
International
Non-Governmental
Organization (INGO”s). 3) Organisasi trans pemerintahan / Trans Governmental Organization (TGO”s). Organisasi Internasional sendiri bila dilihat dari sudut keanggotaannya dan sifat hukum yang mengatur kegiatan organisasi dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu:20
18
Clive Archer, International Organizations (London : George Allen & UNWIN, 1983)
19
Ibid, hlm. 34-35
hlm. 66
16
1) Organisasi
Internasional
antar
pemerintah
atau
IGO
(Inter
Governmental Organization), dimana keanggotaannya meliputi pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu negara secara resmi. 2) Organisasi Internasional non-pemerintah atau INGO (International Non-Governmental Organization), dimana keanggotaannya meliputi warga negara atau kelompok-kelompok swasta atau keduanya yang bekerjasama pada tingkat nasional dan internasional. Menurut disiplin ilmu organisasi internasional, ada 3 kategori peranan dari organisasi internasional, yaitu: 1) Sebagai instrumen : sebagai alat untuk memenuhi kepentingan anggotanya walau mungkin secara konstitusional ada pembatasan kekuasaan negara untuk bertindak secara otonom (sebagai sarana untuk mecapai tujuan para anggotanya). 2) Wadah atau arena : tempat pertemuan bagi negara-negara untuk secara bersama-sama berdiskusi, berargumentasi dan bekerjasama. 3) Sebagai aktor : sebagai independent actor, sehingga ia dapat bertindak tanpa dipengaruhi secara signifikan oleh aktor lain. Hal ini diperlukan untuk melihat apakah organisasi internasional tersebut ikut aktif berperan dalam suatu peristiwa atau mereka hanya sekedar menjadi
20
R. Soeprapto, Hubungan Internasional Sistem, Interaksi, dan Perilaku. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm 36. .
17
instrumen pencapaian tujuan bagi aktor-aktor lainnya.21 Tujuan dan aktifitas yang dilakukan oleh organisasi menunjukkan makna sesungguhnya pembentukan suatu organisasi dan menunjuk pada kegiatan apa yang harus mereka lakukan. Dalam upaya mencari solusi dari suatu permasalahan global kerjasama internasional terkadang tidak hanya melibatkan negara, tetapi juga aktor nonnegara seperti organisasi internasional. Menurut Pierre Gerbert, organisasi internasional didefinisikan sebagai berikut, “The idea of an international organizations is the outcome of anAttempt to bring order into relations by establishing lasting bonds across frontiers between governments or social groups wishing to defend their common interest, within the context of permanent bodies, distinct from national characteristic, cpable of expressing their own will and whose role it is to perform certain functions of international importance (Gerbert, 1977).”22
Organisasi internasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai Any Cooperative arrangement instituted among state, usually by basic agreement, to perform some mutually advantageous functions implemented through periodic meetings and staf activities (Pengaturan bentuk Kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik yang diaplikasikan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala).23
21
Pierre Gibbert dalam buku karangan Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, Op.Cit., hlm.
130-131. 22
Clive Archer, Op.Cit., hlm. 34. Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional (Bandung: PT. Refika Aditama, 1998), hlm. 2. 23
18
Tolak ukur suatu organisasi internasional, apakah dia sudah berperan atau belum dapat dilihat dari tiga hal: 1) Instrumen (alat), organisasi internasional digunakan sebagai alat bagi anggotanya untuk mencapai kepentingannya. 2) Arena (forum), organisasi internasional menyediakan tempat untuk melakukan rapat, berkumpul, kerjasama atau saling berbagi pendapat antara anggota. 3) Aktor, organisasi internasional adalah aktor yang independen, dimana ia dapat bertindak tanpa dipengaruhi oleh kekuatan luar. Selain itu, manusia mengidentifikasikan diri dan kepentingannya melalui organisasi, bukan lagi melalui negara bangsa. Hal ini diperlukan untuk melihat apakah Organisasi Internasional tersebut ikut aktif berperan dalam suatu peristiwa atau mereka hanya sekedar menjadi instrumen pencapaian tujuan bagi aktor lainnya.24 Salah satu peranan organisasi internasional yang ada saat ini adalah peranannya dalam masalah penegakan HAM dan Demokrasi. Walapun ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah 24
Clive Archer, International Organization (New York: Routledge, 1997), hlm. 130-146.
19
soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teoritisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini. Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus internasional. Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis
20
merupakan perjuangan sentral yang lahir pada abad kita. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia.25 Perbedaan antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi.26 Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam
25
Perihal hak-hak perempuan dalam konteks intemasional, lihat Margaret K. Bruce, "Work of the United Nations to the Status of Women" Human Rights Journal 4 (1971): 365-412 Margaret E. Galey, "International Enforce ment of Women's Rights," Human Rights Quarterly 6 (1984): 463490; Terry Ellen Polson, " The Rights of Working Women: An International Perspective," Virginia Journal of International Law 14 (1974): 729-746; dan Jane P. Sweeney, "Promoting Human Rights Through Regional Organizations: Women's Rights in Western Europe," Human Rights Quarterly 6 (1984): 491-506. 26 Lihat Louis Henkin, The Rights of Man Today ( Boulder, Colo: Westview Press, 1978), xi-xiii.
21
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap.27 Di dalam Deklarasi Universal, salah satu hak yang dinyatakan adalah hakhak sipil dan politik yang terdiri dari : hak untuk bebas dari diskriminnasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Sedangkan hak-hak sosial dan ekonomi mencakup : hak untuk menikah dart membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.28 Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. “standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak 27
Tentang intervensi, lihat Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, "How Effective in Causing Compliance with Human Bights Law Are Coercive Measures That Do Not Involve the Use of Armed Force?" dalam Lillich dan New man, ed., International Human Rights: Problems of Law and Policy (Boston: Little, Brown, 1979),1979, 3tS8-482; atau Richard B. Lillich, "Intervention to Protect Human Rights," McGill Law Journal 15 (1969) 205-219. 28 John P. Humphrey, Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984), hlm. 6
22
bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).29 Salah satu organisasi internasional yang memiliki fokus perhatian terhadap permasalahan penegakan HAM dalam tataran global adalah United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai sebuah organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di dunia, maka PBB dapat dikategorikan sebagai Inter Governmental Organization (IGO). Dalam kaitannya dengan penegakan HAM secara global, PBB melalui Dewan HAM PBB memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap sebuah negara yang melakukan tindakan pelanggaran HAM, walaupun ada batas-batas tertentu, seperti misalnya masalah kedaulatan negara, akan tetapi atas nama perdamaian dan kemanusiaan maka PBB dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam usahanya melakukan penegakan HAM di suatu negara dalam bentuk intervensi dan fasilitasi. Hal ini sejalan dengan konsep HAM Internasional yang menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan HAM dan kemanusiaan, faktor kedaulatan negara dapat dinegasikan. Adanya hak yang dimiliki oleh PBB tersebut berimplikasi terhadap 29
Ibid
23
munculnya kewajiban, yaitu melakukan tindakan dan upaya maksimal untuk membantu proses penegakan, baik pada level negara maupun sistem. Jika melihat hubungan antara adanya organisasi internasional sebagai salah satu aktor internasional yang strategis, dalam arti menentukan isu di tataran internasional dan global (dengan tanpa melihat fenomena unipolaritas AS), dengan adanya konsep HAM Internasional, maka dapat kita bahwa dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, ketika sudah menyentuh hal-hal yang terkait dengan kemanusiaan, kemudian memiliki ekses terhadap stabilitas keamanan, baik regional maupun internasional, maka dalam hal ini PBB memiliki hak sekaligus kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam kebijakan-kebijaknnya terhadap pemerintah Junta militer Myanmar sebagai aktor pelanggar HAM dalam rangka membantu proses penegakan HAM di Myanmar.
2. Hipotesis Mengacu kepada identifikasi dan perumusan masalah, serta kerangka teori dalam proposal penelitian ini, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: “Jika kebijakan PBB berupa resolusi dan fasilitasi dapat diterapkan secara optimal, maka akan memberikan implikasi positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar, ditandai dengan terbangunnya kembali peta jalan damai di Myanmar.”
24
3. Operasionalisasi Variabel dan Indikator Tabel 1. Operasionalisasi Variabel dan Indikator
Variabel dalam Hipotesis (Teoritik) Variabel Bebas : Jika kebijakan PBB berupa resolusi dan fasilitasi dapat diterapkan secara optimal,
Variabel Terikat : Maka akan memberikan implikasi positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar, ditandai dengan terbangunnya kembali peta jalan damai di Myanmar.
Indikator (Empirik)
Verifikasi (Analisis)
a) Adanya mekanisme penjatuhan resolusi sebagai bentuk intervensi PBB terhadap masalah pelanggaran HAM di Myanmar; b) Adanya usaha PBB untuk mengakomodir seluruh kepentingan, baik dari pihak pemerintah Myanmar, maupun dari pihak kelompok pro demokrasi dalam bentuk dialog, sebagai bentuk fasilitasi pihak-pihak yang berkepentingan; c) Diutusnya utusan khusus PBB untuk urusan demokrasi dan HAM yang baru pada bulan Mei 2008 dalam rangka melakukan perundingan dengan pemerintah Junta militer di Myanmar untuk menyelesaikan krisis HAM di Myanmar. a) Terbukanya dialog antara pemerintah Myanmar dan kelompok pro demokrasi paska kunjungan utusan khusus PBB, untuk menjembatani perbedaan diantara kedua pihak serta untuk mencapai sebuah rekonsiliasi menuju demokrasi; b) Akan dilaksanakannya pemilu dan penyusunan konstitusi baru Myanmar, yang akan melibatkan peran serta perwakilan kelompok pro demokrasi di Myanmar.
a) Dikeluarkannya resolusi S5/1 dan resolusi 6/33 sebagai tanggapan terhadap perkembangan situasi HAM yang terjadi di Myanmar; b) Pelapor Khusus yang dikirim PBB dengan masa kerja selama 3 bulan memiliki tugas tidak hanya menginventarisir masalah di Myanmar, tetapi juga melakukan berbagai dialog dengan pemerintah Myanmar dan juga kelompokkelompok prodemokrasi dan para elit partai di Myanmar; c) Utusan Khusus Ibrahim Gambari sebagai negosiator, melakukan tugas utamanya, yaitu membuka dialog dengan pemerintah Myanmar untuk mencari jalan keluar bersama dari permasalahan HAM di Myanmar.
a) Pernyataan pemerintah Myanmar yang bersedia melakukan dialog dengan Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi dan perdamaian, yang difasilitasi oleh Utusan Khusus PBB; b) Pernyataan pemerintah Myanmar, paska pertemuan dengan Ibrahim Gambari, yang akan menggelar konvensi nasional untuk menentukan wakil-wakil yang akan menyusun konstitusi baru, serta janji pemerintah Myanmar yang akan menggelar pemilu pada tahun 2010.
25
4. Skema Kerangka Teoritis Alur Pemikiran Kebijakan PBB dan Implikasinya Terhadap Proses Penegakan HAM di Myanmar
Gagasan tentang HAM Internasional yang menjadikan Negara sebagai objek dari pemaksaan dunia internasional untuk penegakan HAM
PBB sebagai Organisasi Internasional yang memiliki kewajiban untuk menegakan HAM dan Demokrasi dalam rangka menjaga stabilitas keamanan internasional, hadir sebagai salah satu aktor atau subjek pelaku pemaksa atau garantor penegakan HAM dalam skala internasional
Kebijakan PBB dalam bentuk resolusi dan fasilitasi sebagai tanggapan terhadap perkembangan situasi HAM di Myanmar
Peningkatan tindak kekerasan aparat di Myanmar diidentifikasi sebagai krisis HAM di Myanmar
Krisis HAM di Myanmar dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Dibungkamnya saluran politik dan demokrasi masyarakat Myanmar selama puluhan tahun b) Tindakan represif dari aparat militer Myanmar dalam mengatasi berbagai aksi demonstrasi selama puluhan tahun telah mengakibatkan ribuan orang sehingga menciderai kemanusiaan c) Penangkapan dan sweeping terhadap para biksu di Myanmar akibat dari aksi demonstrasi ribuan biksu sepanjang tahun 2007-2008, menunjukan pemerintah Junta militer anti demokrasi dan mengabaikan hak menyampaikan pendapat serta menentukan jalan hidup masyarakat Myanmar
Bagaimana implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ?
Gambar 1. Skema Kerangka Teoritis
26
E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1. Tingkat Analisis Dalam penelitian ini dimuat variabel-variabel yang memiliki tingkat analisis yang berbeda. Variabel independen (unit eksplanasi) memiliki tingkat analisa sistem atau organisasi internasional, yaitu Jika PBB mengeluarkan kebijakan dalam bentuk resolusi dan fasilitasi sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Dalam hal ini variabel independen adalah bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB yang merupakan organisasi internasional atau aktor dalam hubungan internasional pada tataran internasional. Sedangkan variabel dependen (unit analisa) dalam penelitian ini memiliki tingkat analisa negara, yaitu Maka akan memberikan implikasi positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar. Dalam hal ini yang menjadi variabel terikat (dependen) adalah implikasi-implikasi positif dalam proses penegakan HAM di Myanmar, sehingga tingkat analisanya dikategorikan pada tingkat analisa negara. Karena tingkat analisa unit eksplanasi lebih tinggi daripada unit analisanya, maka penelitian ini menggunakan Analisa Deduksionis.
2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada pada masa sekarang. Metode deskriptif mengumpulkan,
27
menyusun,
menginterpertasikan
data
yang
kemudian
diajukan
dengan
menganalisa data tersebut searah dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Metode deskriptif dalam penelitian tentang peranan PBB dalam mengatasi krisis HAM di Myanmar menjelaskan bentuk-bentuk implikasi positif yang muncul dalam proses penegakan HAM di Myanmar sebagai implikasi dari diterapkannya
kebijakan
PBB
dalam
bentuk
intervensi
dan
fasilitasi.,
menginterpretasi dan menguji hipotesa. Sehingga gambaran dan penjelasan dalam penelitian ini akan diarahkan kepada bagaimana implikasi positif yang bisa muncul dalam proses penegakan HAM dari penerapan kebijakan PBB.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam mencari dan mengumpulkan data seputar objek penelitian ini adalah : 1) Studi
Kepustakaan
:
data
yang
dibutuhkan
sesuai
dengan
operasionalisasi variabel dan indikator penelitian mengenai kebijakan PBB di Myanmar dan implikasinya terhadap proses penegakan HAM di Myanmar, dilakukan melalui penelaahan data terhadap buku teks, jurnal ilmiah, dokumen, majalah berita, surat kabar, laporan lembaga pemerintah dan non-pemerintah, maupun data-data yang terdapat dalam website/internet. 2) Wawancara: data yang dibutuhkan didapatkan melalui pelaksanaan wawancara terhadap pakar, pelaku, yang terkait secara tidak langsung kepada tema penelitian ini.
28
F. Lokasi dan Lamanya Penelitian 1. Lokasi Penelitian 1) Perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jl. Tanah Abang III/23-27, Jakarta. 2) Perpustakaan Universitas Pasundan, Jl. Lengkong Besar. Bandung. 3) Perpustakaan Universitas Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit, Bandung.
2. Lamanya Penelitian Penelitian ini akan menghabiskan waktu selama satu bulan (4 Minggu), terhitung dari Minggu III Agustus – Minggu III September 2008.
29
G. Sistematika Penulisan Merupakan susunan dan materi dalam penulisan usulan atau proposal yang harus mengikuti ketentuan sistematika sebagai berikut: Tabel 2 Sistematika Penulisan
30
Bab I Berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan hipotesis, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, lokasi dan lamanya penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Merupakan uraian mengenai variabel bebas di dalam penelitian yaitu seputar bagaimana mekanisme kerja PBB dalam menyelesaikan atau menanggapi berbagai permasalahan pelanggaran HAM serta bagaimana bentuk kebijakan PBB yang dikeluarkan dalam rangka menanggapi pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Bab III Merupakan uraian mengenai variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu seputar proses dan perjalanan penegakan HAM di Myanmar hingga hari ini. Bab IV Analisis bentuk-bentuk implikasi positif dalam proses penegakan HAM di Myanmar dari penerapan kebijakan PBB dalam bentuk intervensi dan fasilitasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Bab V Kesimpulan
31
BAB II KEBIJAKAN PBB DALAM MENANGGAPI KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MYANMAR
A. PBB Sebagai Organisasi Internasional Yang Memiliki Perhatian Terhadap Penegakan HAM 1. Gambaran umum Organisasi PBB PBB adalah organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB berdiri pada tahun 1945 sebagai metamorfosa dari Liga BangsaBangsa yang pada waktu itu tidak mampu mencegah terjadinya perang dunia ke II. Paska perang dunia ke II, masyarakat dunia dihadapkan kepada sebuah kondisi traumatik paska perang, oleh karena itu, atas dasar keinginan untuk menghindari terjadinya perang, maka atas prakarsa negara-negara barat dibentuklah PBB. Saat ini PBB telah menjadi pusat usaha-usaha global untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. Terdapat sekitar 30 organisasi yang berafiliasi di dalam PBB dalam rangka usahanya untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. PBB bersama-sama dengan organisasi yang berafiliasi dengannya bekerja untuk mempromosikan HAM, perlindungan terhadap lingkungan hidup, memerangi wabah-wabah penyakit dan mengatasi kemiskinan. Agen-agen PBB juga ikut ambil bagian dalam menentukan standar perjalanan udara yang aman
32
dan
efisien
dan
ikut
membantu
mengembangkan
telekomunikasi,
sert
perlindungan terhadap konsumen. PBB juga memimpin kampanye internasional dalam mememrangi perdagangan obat dan terorisme. Di seluruh penjuru dunia, PBB beserta agen-agennya ikut membantu menangani masalah pengungsi, membuat dan merancang program pembukaan lahan bagi para pengungsi, membantu memperluas produksi makanan, serta memerangi HIV/AIDS. Pada tahun 2008, PBB merayakan ulang tahunnya yang ke 63. Saat ini terdapat sekitar 185 negara yang aktif dalam PBB.30 Dalam menjalankan berbagai aktifitasnya, PBB memiliki struktur organisasi utama sebagai berikut: 1) The General Assembly (Dewan Umum) : dapat juga disebut sebagai “parlemen bangsa-bangsa”. Melakukan pertemuan secara regular dan sesekali untuk membahas kejadian-kejadian yang perlu ditindaklanjuti oleh PBB. Dalam dewan ini, setiap negara anggota memiliki satu suara. Isu-isu penting seperti perdamaian internasional dan keamanan internasional, penerimaan anggota baru, dan penentuan anggaran PBB, diputuskan dalam dewan ini melalui mekanisme suara terbanyak (minimal 2/3). Sedangkan masalah-masalah lainnya diputuskan oleh suara mayoritas. Dalam beberapa tahun terakhir, usaha-usaha khusus telah dilakukan untuk mencapai sebuah keputusan/kesepakatan melalui mekanisme konsensus daripada harus menempuh mekanisme
30
Situs Resmi PBB, “Overview; UN in Brief”, http://www.un.org/Overview/uninbrief/, diakses tanggal 27 September 2008.
arsip
pada
33
voting. Dewan ini tidak dapat melakukan pemaksaan tentang suatu hal atau kebijakan tertentu kepada negara manapun, akan tetapi rekomendasi yang dikeluarkan oleh dewan ini merupakan sebuah indikasi penting dari opini dunia dan mewakili kewenangan moral dari komunitas bangsa-bangsa di dunia. Dewan ini melangsungkan sesi pertemuan tahunan dari bulan September hingga Desember. Jika diperlukan, dewan ini dapat melangsungkan sesi pertemuan atau melaksanakan sesi pertemuan khusus atau darurat kapan saja untuk membahas masalah-masalah yang menjadi perhatian khusus dunia. Kinerja dari dewan ini, secara teknis dilakukan oleh 6 komite khusus, beberapa badan tambahan, dan Sekretariat PBB.31 2) The Security Council (Dewan Keamanan PBB) : piagam PBB memberikan
Dewan
Keamanan
PBB
tanggung
jawab
untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Terdapat 15 anggota DK PBB, 5 diantaranya merupakan anggota tetap DK PBB, yaitu Cina, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS. Sedangkan 10 lainnya merupakan anggota tidak tetap yang dipilih oleh Dewan Jendral PBB setiap dua tahun sekali. Dalam mengambil sebuah keputusan, dewan ini membutuhkan 9 suara sepakat dari 15 suara yang ada di dalam DK PBB. Sedangkan untuk keputusan untuk masalah-masalah yang bersifat prosedural, keputusan tidak dapat diambil jika tidak ada kata
31
Situs Resmi PBB, “The General Assembly”, arsip http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_ga.html, diakses tanggal 27 September 2008.
pada
34
sepakat, atau veto dari 5 negara anggota tetap DK PBB. Pada saat DK PBB sedang membahas masalah yang mengancam keamanan internasional,
hal
pertama
yang
dicari
adalah
jalan
untuk
menyelesaikan sengketa secara damai. Dalam hal ini DK PBB menggunakan
prinsip-prinsip
mediasi.
Ketika
terjadi
sebuah
peperangan antar negara, DK PBB akan berusaha untuk menciptakan atau memfasilitasi terciptanya gencatan senjata. DK PBB juga dapat mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk menolong pihakpihak yang bertikai dalam mengusahakan gencatan senjata dan untuk menjaga agar pasukan militer masing-masing pihak yang bertikai dapat terpisah satu sama lain. DK PBB juga dapat menggunakan berbagai instrumen lainnya untuk memaksakan keputusannya kepada negara-negara tertentu. Misalnya dengan menerapkan sangsi ekonomi atau embargo senjata. Dalam peristiwa tertentu, DK PBB memeliki kewenangan untuk meminta negara-negara anggota PBB untuk menggunakan “seluruh perangkat yang dibutuhkan”, termasuk tindakan militer kolektif, untuk melihat apakah keputusan yang dikeluarkan oleh DK PBB benar-benar ditaati. Dean ini juga memberikan rekomendasi Sekretaris Umum yang baru bagi Dewan Umum PBB dan mengajukan kepada Dean Umum PBB negara anggota baru PBB.32
32
Situs Resmi PBB, “The Security Council”, arsip http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_sc.html, diakses tanggal 27 September 2008.
pada
35
3) The Economic and Social Council (Dewan Sosial dan Ekonomi PBB) : merupakan pusat forum kajian dan diskusi isu-isu sosial dan ekonomi internasional dan tempat penyusunan rekomendasi kebijakan, sehingga Dewan ini memiliki peranan penting dalam mengarahkan kerjasama internasional untuk pembangunan. Terdapat 54 anggota dalam Dewan ini, yang dipilih setiap 3 tahun sekali oleh Dewan Umum PBB. Dewan ini terdiri dari beberapa badan, salah satu badan dalam Dewan ini adalah The Commission on Human Rights, yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan HAM di seluruh dunia. Sedangkan badan-badan lain dalam dewan ini memiliki perhatian kepada masalah-masalah seperti pembangunan sosial, status wanita, pencegahan kejahatan, narkotika dan obat-obatan, dan pembangunan berkelanjutan. Di bawah dewan ini juga terdapat lima komisi
wilayah
yang
melakukan
pembangunan ekonomi serta
dan
mengkampanyekan
kerjasama di wilayahnya masing-
masing.33 4) The Trusteeship Council (Dewan Perwalian PBB) : merupakan dewan dalam
PBB
yang
dibentuk
untuk
menyediakan
pengawasan
internasional terhadap 11 wilayah perserikatan yang diperintah/diatur oleh 9 negara anggota PBB dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil untuk mempersiapkan negara-negara perserikatan
33
Situs Resmi PBB, “The Economic and Social Council”, arsip http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_sc.html, diakses tanggal 27 September 2008.
pada
36
tersebut menjadi negara merdeka atau memiliki pemerintahan sendiri, telah cukup. Pada tahun 1994, seluruh wilayah perserikatan telah mencapai kemerdekaan, masing-masing sebagai negara yang merdeka atau bergabung dengan negara-negara tetangga yang merdeka. Wilayah yang terakhir adalah wilayah perserikatan di Kepulauan Pasifik – Palau – yang berada di bawah pemerintah AS dan saat ini telah menjadi negara anggota ke 185 dari PBB. Pada saat kerja Dewan Perwalian PBB telah selesai, maka dewan tersebut saat ini terdiri dari 5 anggota tetap DK PBB.34 5) The International Court of Justice (Pengadilan Internasional PBB) : merupakan organ peradilan utama dalam tubuh PBB, disebut juga dengan “pengadilan dunia”. Terdiri dari 15 hakim yang dipilih oleh Dewan Umum PBB dan DK PBB. Pengadilan ini memutuskan perkara seputar perselisihan antar negara, termasuk juga masalah-maslah pelanggaran HAM internasional.35 6) The Secretariat (Sekretariat PBB) : Sekretariat PBB memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas administratif dan harian PBB yang diarahkan oleh Dewan Umum PBB dan DK PBB. Kepala Sekretariat disebut juga dengan Sekretaris Umum, yang saat ini dijabat oleh Ban Ki Mon. Sekretariat PBB berada di New York, AS, sama
34
Situs Resmi PBB, “The Trusteeship Council”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_trusteeship.html, diakses tanggal 27 September 2008. 35 Situs Resmi PBB, “The International Court of Justice”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_icoj.html, diakses tanggal 27 September 2008.
37
seperti yang terdapat di Geneva, Nairobi, Vienna, dan lokasi-lokasi lainnya.36 7) The UN System (Sistem PBB) : merupakan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PBB, diantaranya adalah UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), the UN Development Programme (UNDP), the UN Children's Fund (UNICEF), dan lain-lain. Organisasiorganisasi ini memiliki badan, anggaran, dan sekretariat sendiri. Bersama dengan PBB, organisasi-organisasi ini dikenal dengan sebutan “keluarga PBB” atau Sistem PBB. Selain itu yang masuk ke dalam sistem PBB ini juga organisasi-organisasi seperti the International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan 13 organisasi independen lainnya yang dikenal dengan sebutan “special agencies (agen khusus)” yang terhubung dengan PBB melalui kesepakatankesepakatan kerjasama. Diantara agen-agen ini, World Health Organization (WHO) dan International Civil Aviation Organization, merupakan badan yang memiliki otonomi yang dibuat oleh kesepakatan antar pemerintah. Organisasi dan agen-agen ini memiliki tanggung jawab internasional yang luas, meliputi bidang-bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan bidangbidang lain yang terkait dengannya. Beberapa dari organisasi ini,
36
Situs Resmi PBB, “The Secretariat”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_secretariat.html, diakses tanggal 27 September 2008.
38
seperti International Labour Organization (ILO) dan Universal Postal Union, berumur lebih tua dari PBB itu sendiri.37 Terkait dengan masalah aktifitas PBB dalam bidang HAM, terdapat The High Commissioner for Human Rights yang mengkoordinasikan seluruh aktifitas PBB dalam bidang HAM. Tugas utama komisi ini adalah memberikan laporan seputar pelaksanaan dan pelanggaran HAM yang terjadi d berbagai negara di dunia serta melakukan perbaikan HAM pada suatu negara yang terjadi pelanggaran HAM berat.
2. Mekanisme
kerja
PBB
dalam
menanggapi
berbagai
permasalahan
penegakan HAM Diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1948, memunculkan hak-hak dan kebebasan dasar dimana baik pria maupun wanita memiliki hak untuk – diantara mereka hak untuk hidup, kebebasan dan kebangsaan; kebebasan berpikir, memiliki keyakinan, dan beragama; hak untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan; hak untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal; dan hak untuk bisa ambil bagian di dalam pemerintahan. Hak-hak tersebut terikat secara hukum oleh dua perjanjian internasional, dimana hampir seluruh negara di dunia terlibat di dalamnya. Perjanjian pertama adalah perjanjian yang menyepakati tentang hak-hak dalam sosial dan budaya,
37
Situs Resmi PBB, “The UN System”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_unsystem.html, diakses tanggal 27 September 2008.
39
dan yang kedua adalah perjanjian yang menyepakatai hak-hak sipil dan politik. Keduanya bersama-sama dengan Universal Declaraion of Human Rights menyusun dan mengesahkan International Bill of Human Rights. Universal Declaration of Human Rights menelurkan landasan kerja bagi sekitar 80 perjanjian dan deklarasi tentang HAM, termasuk dua perjanjian internasional; perjanjian untuk menghapuskan diskriminasi ras dan diskriminasi terhadap perempuan; perjanjian tentang hak-hak anak, perjanjian melawan kekerasan dan perlakuan yang merendahkan martabat di dalam sebuah hukuman, perjanjian mengenai status pengungsi dan perjanjian tentang pencegahan dan hukuman terhadap kejahatan
genosida; dan
deklarasi tentang hak-hak
kepemilikan pribadi seseorang di dalam kerangka bangsa, etnis, agama, atau bahasa minoritas, hak untuk berkembang, dan hak-hak para pembela/penegak HAM. Dengan kerngka kerja dan standar penegakan HAM yang hampir lengkap tersebut, PBB berusaha untuk meningkatkan perhatiannya terhadap usaha-usaha PBB dalam HAM untuk menerapkan hukum-hukum HAM. Dalam hal ini, High Commissioner for Human Rights, yang mengkoordinasikan berbagai kegiatan HAM PBB, bekerja dengan pemerintah negara-negara dunia untuk meningkatkan penegakan dan ketaatan terhadap HAM di negara-negara tersebut, mencari pencegahan-pencegahan terjadinya tindak kekerasan, dan bekerja lebih dekat dengan mekanisme HAM PBB. Selanjutnya, UN Commission on Human Rights, sebuah badan antar negara, melaksanakan pertemuan-pertemuan publik untuk melihat bagaimana
40
kondisi HAM dari masing-masing negara peerta, untuk mengadopsi standarstandar baru penegakan HAM dan untuk mengkampanyekan HAM ke seluruh dunia. Komisi ini juga memiliki para ahli independen yang khusus mengkaji masalah HAM dan penegakannya – “Special Rapporteurs (Pelapor Khusus)” – yang bertugas melaporkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM di suatu negara atau untuk menguji dan mengkaji situasi HAM di negara tertentu. Badan-badan HAM yang berada di bawah PBB memiliki kontribusi dalam memberikan peringatan awal dan pencegahan konflik. Beberapa operasi penjaga perdamaian PBB juga memiliki komponen HAM di dalamnya. Keseluruhan bidang kegiatan HAM PBB, dilakukan di sekitar 30 negara atau wilayah. Mereka membantu memperkuat kapasitas HAM nasional di dalam lembaga-lebaga legislatif, pemerintahan, dan pendidikan; menyelidiki berbagai laporan terjadinya kekerasan; dan membantu pemerintah negara-negara tersebut untuk mengambil perangkat yang tepat dalam menegakan HAM jika diperlukan. PBB dalam usahanya untuk menegakan HAM, memiliki sebuah mekanisme kerja khusus. Mekanisme kerja ini dapat dilihat dan dipahami dari sebuah sistem perjanjian (pakta) atau yag dikenal dengan sebutan The United Nations Human Rights Treaty System, yang dapat dilihat dari bagan berikut:38
38
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, “The United Nations Human Rights Treaty System; An Introduction to the core human rights treaties and the treaty bodies”, Fact Sheet No. 30, arsip pada http://www2.ohchr.org/english/bodies/docs/OHCHRFactSheet30.pdf, hlm. 10, diakses tanggal 27 September 2008.
41
42
Dari bagan di atas diketahui bahwa traktat-traktat yang telah dihasilkan oleh PBB adalah sebagai berikut:39 1) Universal Declaration of Human Rights (1948) : merupakan deklarasi konsep HAM secara universal yang kemudian dijadikan dasar bagi penciptaan berbagai traktat dan perjanjian internasional tentang HAM. 2) International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965) : merupakan perjanjian internasional pertama yang dihasilkan oleh Komisi HAM di dalam Dewan Umum PBB yang didasarkan kepada kondisi diskriminasi rasial oleh rezim Pemerintah Afrika Selatan terhadap warga kulit hitam di negara tersebut. 3) The International Bill of Human Rights (1966) : merupakan gabungan dari Universal Declaration of Human Rights, the International Covenant on Civil and Political Rights, dan the International Covenant on Economi, Social, and Cultural Rights. 4) International Covenant on Civil and Political Rights (1966) : merupakan perjanjian yang mengelaborasi hak-hak sipil dan politik yang tertuang di dalam Universal Declaration of Human Rights, dengan tambahan beberapa hak, seperti hak-hak para tahanan (Pasal 10) dan perlindungan terhadap kelompok minoritas (Pasal 27). 5) International Covenent on Economic, Social, and Cultural Rights (1966): sama seperti perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik di atas, perjanjian ini dibuat berdasarkan hak-hak yang tercantum di 39
Ibid, Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, hlm. 9-20.
43
dalam Universal Declaration of Human Rights dalam rangka mengoperasionalisasikan hak-hak tersebut, dan membuat langkahlangkah teknis agar hak-hak tersebut, khususnya hak-hak dalam ekonomi, sosial, dan budaya dapat direalisasikan. 6) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (1979): merupakan perjanjian internasional yang dibuat untuk merespon fenomena khusus – diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan gender. Tujuan yang diharapkan dari perjanjian ini adalah terciptanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan secara objektif. 7) Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984): merupakan perjanjian yang dikembangkan dari perjanjian sebelumnya, yaitu perjanjian atas hakhak sipil dan politik. Dalam perjanjian hak sipil dan politik tersebut, pada Pasal 7 dinyatakan tentang larangan terhadap penyiksaan, kekejaman, perlakuan yang tidak berprikemanusiaan atau bentukbentuk hukuman yang merendahkan martabat kemanusiaan. Utnuk mengembangkan dan mengoperasionalisasikan larangan tersebut menjadi langkah-langkah yang lebih teknis, maka dibuatlah perjanjian ini. 8) Convention on the Rights of Child (1989): merupakan perjanjian internasional pertama yang menjamin secara khusus hak-hak anak di bawah usia 18 tahun. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara yang
44
terlibat di dalam perjanjian ini untuk memberikan laporan rutin kepada Komite HAM PBB terkait dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian ini. 9) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families (1990): merupakan perjanjian internasional yang memberikan jaminan hak-hak para pekerja migran beserta dengan keluarganya. Hak-hak yang dijamin meliputi seluruh proses migrasi, mulai dari persiapan migrasi, keberangkatan, transit, sampai para pekerja tersebut menetap dan memulai aktifitasnya di negara tujuan. Hampir sebagian besar ketentuan yang diatur di dalam perjanjian ini relevan atau dikenakan bagi negara tujuan para pekerja migran. Kesembilan traktat di atas, dalam mengaplikasikan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam masing-masing peraturan, maka PBB membuat badan khusus yang bertugas mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian-perjanjian tersebut, badan ini kemudian dikenal dengan istilah Treaty Bodies (Badan-badan Perjanjian/Traktat). Tujuh traktat internasional HAM utama di atas menciptakan kewajibankewajiban hukum bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya untuk mempromosikan dan melindungi HAM pada tingkatan nasional. Ketika sebuah negara menerima satu dari perjanjian-perjanjian tersebut melalui proses ratifikasi, penerimaan, atau penggantian, maka hal tersebut memberikan asumsi bahwa ada
45
kewajiban hukum bagi negara tersebut untuk melaksanakan hak-hak yang diatur di dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi hal ini baru langkah awal, karena pengakuan terhadap hak-hak yang tertera di atas kertas tidak cukup untuk menjamin bahwa negara tersebut akan benar-benar melaksanakannya. Ketika sebuah perjanjian telah diterima, maka hal tersebut sekaligus pengakuan bahwa negara-negara yang terlibat di dalam perjanjian tersebut akan melakukan usaha-usaha dan memberikan bantuan serta pendampingan untuk meletakan perangkat-perangkat yang penting yang dapat menjamin bahwa hakhak yang ada di dalam perjanjian tersebut dapat dilaksanakan atau berlaku bagi setiap orang di dalam negara tersebut, hal ini juga dalam rangka memenuhi kewajiban internasional. Oleh karena itu, masing-masing perjanjian menciptakan sebuah komite internasional yang terdiri dari para ahli yang independen untuk mengawasi, dengan berbagai perangkat yang ada, pelaksanaan ketentuanketentuan yang ada di dalam masing-masing perjanjian. Pelaksanaan dari ketujuh perjanjian internasional HAM yang utama tersebut, di awasi oleh tujuh badan pengawas perjanjian, yaitu sebagai berikut:40 1) The Committe on the Elimination of Racial Discrimination (CERD): merupakan badan perjanjian pertama yang dibentuk oleh PBB, dan telah melakukan pengawasan pelaksanaan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination sejak tahun 1969.
40
Ibid, Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, hlm. 23-24.
46
2) The Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR): dibentuk pada tahun 1987 untuk mengemban mandat pengawasan dari Economic and Social Council (ECOSOC), yang wewenangnya berada di bawah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. 3) The Human Rights Committee (HRC): dibentuk pada tahun 1976 untuk mengawasi pelaksanaan dari International Covenant on Civil and Political Rights. 4) The Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW): badan yang telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Convention on the
Elimination of All Forms of
Discrimination against Women oleh para negara peserta perjanjian tersebut sejak tahun 1982. 5) The Committee against Torture (CAT): dibentuk pada tahun 1987, telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. 6) The Committee on the Rights of Child (CRC): dibentuk sejak tahun 1990, telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Convention on the Rights of the Child oleh negara-negara peserta perjanjian tersebut, sama halnya dengan dua Optional Protocol yang diberikan kepada CRC yang mengatur masalah anak-anak yang menjadi tentara dan eksploitasi terhadap anak.
47
7) The Committee on Migrant Workers (CMW): badan ini melaksanakan sesi pertemuan pertamanya pada bulan Maret 2004 dan akan melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan
International
Convention on the Protection of the rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Mekanisme Treaty System di atas, dalam pelaksanaan kerjanya dikoordinasikan oleh United Nations Commission on Human Rights (UNCHR) yang berada di bawah Dewan Umum PBB yang khusus menangani masalah penegakan HAM di seluruh dunia. Melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Umum PBB no. A/RES/60/251 tanggal 15 Maret 2006, dibentukklah United Nations Human Rights Council (UNHRC). UNHRC merupakan badan antar pemerintah dibawah Dewan Umum PBB yang menggantikan posisi UNCHR. Tujuan utama dibentuknya UNHRC adalah untuk memberikan rekomendasi kepada Dewan Umum PBB tentang berbagai situasi di dunia, khususnya di negara-negara anggota PBB, terkait dengan adanya pelanggaran HAM. Oleh karena itu, UNHRC sebenanrnya tidak memiliki kewenangan apapun kecuali hanya sekedar memberikan rekomendasi bagi Dewan Umum PBB.41 Penindaklanjutan rekomendasi yang diberikan oleh UNHRC akan dilakukan oleh Dewan Umum PBB bersama dengan DK PBB.
41
Wikipedia, “United Nations Human Rights Council”, http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Human_Rights_Council, diakses tanggal Mei 2009.
48
Dalam melakukan pengawasan terhadap penegakan HAM di negaranegara anggota PBB, ada sebuah mekanisme yang disebut dengan Special Procedure, sebuah mekanisme untuk mengawasi tindak-tindak pelanggaran HAM di negara tertentu atau untuk mengkaji isu-isu tentang HAM pada tataran global, yang dibuat oleh UNCHR dan diteruskan kembali oleh UNHRC. Masing-masing Special Procedure ini dapat terdiri dari individu-individu yang disebut Special Rapporteurs, Special Representatives, atau Independent Experts, yang memimpin para ahli di bidang HAM dalam tugas pada wilayah/bidang HAM tertentu atau kelompuk kerja yang bisanya terdiri dari lima orang. Berbagai aktifitas dapat dilakukan oleh Special Procedure, mulai dari menerima pengaduan individu, memimpin berbagai kegiatan kajian tentang HAM, memberikan saran dalam kerjasama-kerjasama teknis, dan melakukan
berbagai kegiatan
promosi
penegakan HAM. Mekanisme khusus ini dikategorikan berdasarkan mandat thematic (personal) dan mandat negara. Saat ini terdapat 29 mandat thematic dan 13 mandat negara yang berada di bawah mekanisme Special Procedure.42 Secara umum di dalam PBB, mekanisme pengawasan dan penegakan HAM diawasi dan dikaji oleh UNHRC yang kemudian menyusun sebuah rekomendasi bagi Dewan Umum PBB mengenai langkah-langkah dan kebijakan yang perlu diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran dan penegakan HAM. Selanjutnya Dewan Umum PBB akan mengeluarkan sebuah resolusi yang bisa berisi, pernyataan, permintaan, dan tekanan terhadap negara42
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, “Special Procedure”, http://www.ohchr.org/english/bodies/chr/special/docs/13threport.AEV.pdf, diakses tanggal September.
49
negara tertentu dimana kasus pelanggaran HAM, khususnya yang bersifat berat terjadi. Jika diperlukan, pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang sangat berat, seperti pada situasi perang, PBB melalui DK PBB, dapat mengirimkan pasukan militer yang bertugas menjaga perdamaian (menciptakan gencatan senjata, memisahkan dua pihak yang bertikai), sehingga para petugas PBB, dunia internasional, termasuk berbagai organisasi internasional dapat memberikan bantuan serta dapat melakukan penyelidiakan terhadap perang yang terjadi, termasuk melihat apakah terdapat unsur pelanggaran HAM yang terjadi pada perang tersebut.
B. Persepsi PBB Dalam Melihat Kasus Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Myanmar Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa semenjak berkuasanya pemerintah junta militer Myanmar, kebebasan politik dan demokrasi masyarakat Myanmar dikekang. Penguasaan penuh negara beserta sendi-sendi kehidupan masyarakat Myanmar oleh pemerintah junta militer, teah menimbulkan keprihatinan dunia internasional, salah satunya adalah PBB. Masalah HAM di Myanmar pun sebenarnya merupakan sebuah masalah yang sudah muncul semenjak pemerintah junta militer Myanmar berkuasa, salah satu aspek tindakan pemerintah junta militer Myanmar yang dianggap dunia internasional sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap HAM adalah tindakan pemerintah dalam mengatasi berbagai gelombang protes anti pemerintah serta berbagai aksi-aksi demonstrasi damai yang terus berlangsung dari tahun 6 hingga saat ini, mulai dari
50
aksi yang diorganisir oleh mahasiswa, kelompok pro-demokrasi, hingga aksi demonstrasi yang dipelopori oleh para bikhsu. PBB dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif dalam mendorong penegakan HAM di Myanmar, yang didasarkan atas Universal Declaration of Human Rights beserta perjanjian dan traktat-traktat internasional yang mengikutinya. Dengan dasar tersebut maka PBB memiliki sebuah pendangan tersendiri dalam melihat situasi pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar yang secara jelas terlihat dari beberapa resolusi yang dikeluarkan oleh PBB sejak tahun hingga saat ini. Pada tanggal 5 Agustus , Pemerintah Myanmar menaikan harga bahan bakar minyak hingga 500%, hal tersebut sangat berdampak kepada kehidupan masyarakat Myanmar, yang merespon keputusan pemerintah tersebut dengan melakukan aksi demonstrasi secara damai pada bulan Agustus dan awal bulan September. Dari tanggal 18-26 September 2007, terjadi aksi demonstrasi damai dalam skala luas yang dilakukan hampir di seluruh negeri, di Yangoon, Mandalay, Pakokku, dan Sittwe. Pemerintah segera membubarkan para demonstran, yang kebanyakan adalah para bikshu pada tanggal 26-29 September 2007. selama aksi pembuabaran para demonstran tersebut, pasukan keamanan, terdiri dari polisi dan tentara atau polisi anti huru-hara (Lone Htein), sama halnya dengan Union Solidarity dan Development Association dan pasukan milisi Swan Ah Shin, menggunakan kekuatan berlebihan melawan masyarakat sipil, termasuk menggunakan senjata yang tidak perlu dan tidak proporsional. Terkait dengan tindakan pembubaran demonstran tersebut, beberapa laporan telah masuk ke
51
Special Rapporteurs (Pelapor Khusus) PBB, Paulo Sergio Pinheiro, diantara para demonstran yang dibubarkan, ada yang terbunuh, beberapa terkena tindakan pemukulan, ditahan, disiksa dan meninggal di dalam tahanan.43 Selama dalam kunjungannya ke Myanmar, Pelapor Khusus PBB, Paulo Sergio Pinheiro, menemukan bahwa dalam periode 26-29 September 2007, pasukan keamanan, termasuk tentara dan polisi anti huru-hara, telah menggunakan kekuatan yang berlebihan melawan masyarakat sipil. Paulo menyimpulkan, bahwa berdasarkan berbagai laporan yang masuk yang disertai dengan video dan foto-foto, maka dapat diyakiani setidaknya terdapat 31 orang tewas dalam peristiwa pembubaran para demonstran sepanjang bulan SeptemberOktober 2007, termasuk 15 orang korban meninggal dunia yang dilaporkan secra resmi oleh pemerintah Myanmar. Paulo meyakini bahwa adanya keterlibatan dari anggota Union Solidarity, Development Assesment, dan milisi Swan Ah Shin, memberikan kontribusi besar bagi penggunaan kekuatan berlebihan dalam menghadapi para demonstran yang sedang melakukan aksi secara damai. Menurut Paulo, berdasarkan kepada laporan yang dapat dipercaya, sekitar 3,000 sampai 4,000 orang ditahan sepanjang bualn September-Oktober, dan sekitar 5,00 dan 1,000 orang masih ditahan sampaid engan bulan Desember 2007.44 Sampai dengan tahun 2005, Dewan Umum PBB setiap tahunnya mengeluarkan sebuah resolusi yang detail tentang situasi di Myanmar melalui 43
Human Rights Council, “Human Rights Situation That Require the Council’s Attention: Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro, mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, arsip pada http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pdf?OpenElement, diakses tanggal 27 September 2008, hlm. 4. 44 Ibid.
52
sebuah konsensus.45 Akan tetapi pada tahun 2006, terjadi perpecahan di Dewan Umum PBB dalam sebuah voting tentang resolusi yang kemudian meminta dengan tegas agar pemerintah junta militer Myanmar segera mengakhiri kekerasan sistematis yang dilakukannya terhadap HAM.46 Pada bulan Januari 2007, Rusia dan Cina menggunakan hak vetonya untuk membuat sebuah draf resolusi sebelum DK PBB47 yang meminta kepada pemerintah Myanmar untuk menghormatik HAM dan memulai sebuah proses transisi demokratik. Dalam hal ini Afrika Selatan memilih untuk menentang resolusi yang dikeluarkan oleh Rusia dan Cina, dengan berpendapat bahwa “semenjak di Myanmar tidak ada lagi perhatian yang muncul dalam melihat situasi kedamaian dan keamanan dari negara tetangganya sendiri (Cina), maka pertanyaan dunia internasional tidak seharusnya dialamatkan ke dalam DK PBB, dimana ada badan lain dalam PBB yang khusus menangani masalah tersebut”, selanjutnya ditambahkan lagi, “ironisnya, apakah DK PBB harus menyetujui resolusi tersebut...DK PBB tidak akan dapat melihat secara jelas permasalahn dan situasi di Myanmar sementara DK PBB sendiri masih terjebak dalam masalah
45
United Nations General Assembly, “Verbotim Report meeting 69 session 60” hlm. 19, The President tanggal 23 Desember 2005, pukul 10:00, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September. 46
United Nations General Assembly, “Verbotim Report meeting 84 session 61”, hlm. 14, tanggal 22 Desember 2006, pukul 10:00, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September. 47 United Nations Security Council, “Document 14 S-2007-14” tanggal 12 January 2007, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September.
53
(resolusi) tersebut”.48 Isu yang berkembang di DK PBB saat itu dalam melihat masalah dan situasi HAM di Myanmar justru diarahkan untuk menentang resolusi yang dibuat oleh Rusia dan Cina49 yang dipelopori oleh AS (hak veto hanya berlaku untuk resolusi saja) yang menyatakan bahwa aliran pengungsi dari Myanmar, obat-obatan terlarang, HIV-AIDS, dan berbagai penyakit lainnya mengancam kedamaian dan keamanan internasional.50 Dalam hal ini terlihat, PBB, khususnya anggota DK PBB memiliki pandangan yang berbeda melihat perkembangan situasi yang terjadi mdi Myanmar. Dua anggota DK PBB yaitu Cina dan Rusia melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar sejauh ini masih dapat ditoleransi, dan tidak perlu mengeluarkan sebuah resolusi yang keras untuk Myanmar. Di sisi lain, AS berpendapat apa yang terjadi di Myanmar dapat mengancam stabilitas perdamaian dan keamanan dunia internasional, bagaimanapun juga demokrasi di Myanmar harus ditegakan, disamping itu, dampak-dampak negatif dari sikap ototiter dan represif pemerintah Myanmar terhadap warganya sendiri telah mengganggu dan mengancam stabilitas kawasan pada khususnya, dan dunia internasional pada umumnya, oleh karena itu perlu dibuat sebuah resolusi yang tegas dan keras bagi pemerintah Myanmar.
48
United Nations Security Council “Verbotim Report meeting 5619” hlm. 3, pernyataan Mr. Kumalo perwakilan Afrika Selatan untuk PBB, tanggal 12 Januari 2007, pukul 16:00, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September. 49 BBC News, "UN Security Council to include Burma in its agenda", tanggal 18 September 2006, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September. 50 United Nations Security Council, “Verbotim Report meeting 5526”, hlm. 3, Mr. Bolton perwakilan tetap AS untuk PBB, tanggal 15 September 2006, pukul 13:35, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 27 September.
54
Terlepas dari hal tersebut dari beberapa resolusi yang telah dikeluarkan oleh PBB (res. 6/33, res. 7/32, res. S-5/1, res. 7/31, dan res. 8/14)51, seluruhnya mencerminkan pandangan PBB bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Myanmar yang meliputi hak-hak sipil, politik, sosial-budaya, ekonomi, wanita, dan anak-anak, dan untuk itu PBB mendesak dan meminta dengan tegas agar pemerintah Myanmar segera menghentikan berbagai aksi kekerasannya terhadap rakyat sipil, membebaskan tokoh-tokoh politik pro-demokrasi, segera membuka diri terhadap tuntutan masyarakat akan perubahan ke arah pemerintahan yang demokratis.
C. Bentuk-Bentuk Kebijakan PBB Melalui UN Human Rights Council (UNHRC) Sebagai Tanggapan Terhadap Pelanggaran HAM Di Myanmar 1. Kebijakan UNHRC dalam bentuk resolusi Terkait dengan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, PBB melalui UNHRC mengeluarkan 5 resolusi sebagai berikut: Res. S-5/1 (tanggal 2 Oktober 2007), Situation on Human Rights in Myanmar; resolusi ini berangkat dari dasar bahwa setiap orang memiliki hak untuk ambil bagian di dalam pemerintahan di negaranya, secara langsung maupun pemilihan secara bebas, hak untuk mengungkapkan pendapat dan berekspresi
51
United Nations, “Report of Human Rights Council”, General Assembly Official Records sixty-third session, supplement no. 53 (A/63/53), New York, 2008, hlm. 252, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/148/64/PDF/G0814864.pdf?OpenElement, diakses tanggal 3 Juni 2009.
55
secara bebas, dan kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan berkumpul. Poinpoin yang terdapat didalam resolusi ini adalah sebagai berikut:52 1)
Sangat menyesalkan terus berlanjutnya tindak kekerasan dan represi terhadap aksi demonstrasi damai di Myanmar, dalam bentuk-bentuk seperti
pemukulan,
pembunuhan,
penangkapan
secara
tidak
terkendali dan tidak berdasar, dan tindak penculikan/penghilangan, menyatakan belasungkawa kepada para korban dan keluarganya, dan mendesak pemerintah Myanmar untuk menahan diri dan untuk berhenti melakukan tindak kekerasan terhadap para demonstran yang menjalankan aksi secara damai; 2)
Mendesak Pemerintah Myanmar untuk meenghormati HAM dan kebebasan-kebebasan mendasar dan melakukan penyelidikan serta membawa para pelaku pelanggaran HAM, termasuk para pelanggar HAM pada peristiwa demonstrasi damai tahun 2007 ke pengadilan;
3)
Juga mendesak Pemerintah Myanmar untuk membebaskan dengan segera seluruh demonstran yang ditahan dan ditangkap di Myanmar, termasuk Daw Aung San Suu Kyi dan memastikan bahwa tindakan penahanan yang dilakukan memenuhi standar-standar internasional dan memberikan ijin untuk mengunjungi para tahanan;
4)
Mendesak lebih lanjut Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pengekangan terhadap berbagai aktifitas politik damai setiap orang dengan menjamin kebebasan berserikat dan berorganisasi serta
52
Ibid, hlm. 240-242
56
kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi, termasuk memberikan ruang bagi media independen, dan menjamin tidak dihalanginya akses informasi media bagi masyarakat Myanmar; 5)
Menyambut baik keputusan Pemerintah Myanmar untuk menerima kunjungan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Ibrahim Gambari, dan meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama secara penuh dengan Utusan Khusus PBB untuk menemukan solusisolusi damai yang dibutuhkan;
6)
Mendesak
Pemerintah
Myanmar
untuk
dengan
segera
mengikutsertakan seluruh pihak dalam dialog kendali nasional untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang sebenarnya, demokratisasi dan penegakan hukum; 7)
Mendorong Pemerintah Myanmar dan Office of the High Commissioner for Human Rights untuk melakukan dialog secara bersama-sama dengan pandangan untuk menjamin penghormatan penuh terhadap HAM dan kebebasan mendasar;
8)
Mendorong Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama penuh dengan berbagai organisasi kemanusiaan, termasuk menjamin secara penuh, keselamatan dan tidak menghalangi akses bantuan kemanusiaan untuk seluruh orang yang membutuhkan di seluruh negeri;
9)
Meminta kepada Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar untuk memperkirakan situasi HAM terkini dan untuk mengawasi pelaksanaan resolusi ini, termasuk melakukan kunjungan
57
segera ke Myanmar, dan untuk melaporkannya dalam rangkuman sesi ke enam UNHRC, dan dengan segala hormat mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama dengan Pelapor Khusus PBB; 10) Juga meminta kepada Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar untuk menginformasikan kepada Dewan Umum PBB kemajuan situasi HAM di Myanmar; Res. 6/33 (tanggal 14 Desember 2007), Follow-up the report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; merupakan tindak lanjut dari laporan yang disampaikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar. Poin-poin di dalam resolusi ini adalah sebagai berikut:53 1)
Menyambut baik kunjungan ke Myanmar yang dilakukan oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, atas dasar permintaan UNHRC dalam resolusi S-5/1 dan memberikan catatan baik kepada Pemerintah Myanmar atas kerjasamanya dengan Pelapor Khusus PBB;
2)
Menyambut baik laporan dari Pelapor Khusus PBB (A/HRC/6/14) dan memberikan penghargaan yang mendalam atas temuan-temuan yang didapat Pelapor Khusus PBB di lapangan;
53
Ibid, hlm. 63-65.
58
3)
Mendesak dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk mengikuti dan melaksanakan rekomendasi yang terdapat di dalam laporan Pelapor Khusus PBB;
4)
Meminta kembali kepada Pemerintah Myanmar untuk menjamin penghormatan penuh kepada HAM dan kebebasan mendasar dan untuk menyelidiki dan membawa ke pengadilan para pelaku pelanggaran HAM, termasuk pelanggar HAM terhadap para demonstran pada peristiwa demonstrasi damai tahun 2007;
5)
Memberikan apresiasi terhadap pembebasan sebagian besar tahanan, walaupun berdasarkan pengamatan hanya sedikit tahanan politik yang dibebaskan;
6)
Meminta kembali kepada Pemerintah Myanmar untuk segera membebaskan orang-orang yang ditahan dan ditangkap pada peristiwa demonstrasi damai tahun 2007, untuk membebaskan seluruh tahanan politik di Myanmar, termasuk Daw Aung San Suu Kyi dan menjamin bahwa proses penahanan yang dilakukan telah memenuhi standar-standar internasional dan memberikan ijin untuk mengunjungi para tahanan;
7)
Juga meminta kembali kepada Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pengekangan terhadap berbagai aktifitas politik damai setiap
orang
dengan
menjamin
kebebasan
berserikat
dan
berorganisasi serta kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi, termasuk memberikan ruang bagi media independen,
59
dan menjamin tidak dihalanginya akses informasi media bagi masyarakat Myanmar; 8)
Menyerukan kembali kepada Pemerintah Myanmar untuk dengan segera mengikutsertakan seluruh pihak dalam dialog kendali nasional untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang sebenarnya, demokratisasi dan penegakan hukum;
9)
Mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama penuh dengan berbagai organisasi kemanusiaan, termasuk menjamin secara penuh, keselamatan dan tidak menghalangi akses bantuan kemanusiaan untuk seluruh orang yang membutuhkan di seluruh negeri;
10) Meminta kepada Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar untuk mengawasi pelaksanaan resolusi ini dan melakukan misi tindak lanjut resolusi ini ke Myanmar; 11) Mendorong Pemerintah Myanmar dan Office of the High Commissioner for Human Rights untuk melakukan dilog secara bersama-sama dengan pandangan utnuk menjamin penghormatan penuh terhadap HAM dan kebebasan mendasar; 12) Mengundang Pelapor Khusus PBB untuk melanjutkan mandat atas tugasnya tersebut melalui koordinasi dengan Penasehat Khusus Sekretaris Umum PBB untuk Myanmar; 13) Mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama secara penuh dengan Pelapor Khusus PBB dan, dan berbagai prosedur khusus lainnya yang menyangkut perlindungan terhadap kelompok-
60
kelompok rawan atau perlindungan dan promosi terhadap hak-hak sipil dan politik atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; 14) Meminta kepada Office on the United Nations High Commissioner for Human Rights untuk menyediakan dukungan yang cukup kepada Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, termasuk sumber daya manusia (para ahli), untuk memfasilitasi pemenuhan mandat dari PBB yang tertera pada resolusi ini; 15) Meminta kepada Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar untuk melaporkan hasil kunjungannya kepada UNHRC pada rangkuman sesi ke tujuh. Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Situation of Human Rights in Myanmar; poin-poin yang terdapat di dalam resolusi ini adalah sebagai berikut:54 1)
Sangat menyesalkan kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap HAM secara terus menerus dan terhadap kebebasan mendasar dari warga Myanmar;
2)
Mendesak dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk menerima, sesegera mungkin, misi tindak lanjut dari Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, seperti yang diminta dalam resolusi UNHRC no. 6/33, untuk bekerjasama penuh dengan Pelapor Khusus
tersebut
dan
untuk
mengikuti
dan
melaksanakan
rekomendasi yang terdapat di dalam laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar (A/HRC/6/14); 54
Ibid, 164-165.
61
3)
Meminta dengan sangat kepada otoritas Myanmar: a. Untuk membuat proses konstitusional, termasuk referendum, secara menyeluruh, partisipatif dan transparan dalam rangka untuk menjamin bahwa proses tersebut mewakili pandangan seluruh masyarakat Myanmar dan memenuhi seluruh normanorma internasional; b. Untuk segera mengikutsertakan seluruh pihak dalam dialog kendali nasional dengan pandangan untuk mencapai rekonsiliasi nasional, demokratisasi, dan penegakan hukum yang sebenarnya; c. Untuk menjamin kepada masyrakat Myanmar kebebasan mendasarnya dan menghentikan penolakan kepada kebebasan mendasar, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan beragama atau berkeyakinan; d. Untuk
bekerjasama
penuh
dengan
berbagai
organisasi
kemanusiaan, termasuk mnejamin secara penuh, keamanan dan tidak menghalangi akses bantuan kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang membutuhkan di seluruh negeri; e. Untuk segera mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri kekerasan terhadap HAM dan hukum kemanusiaan, termasuk memaksa pemindahan dan penahanan secara tidak berdasar, dan untuk segera membebaskan seluruh tahanan politik, tanpa terkecuali;
62
4)
Mengundang Pelapor Khusus untuk meneruskan mandat UNHRC melalui koordinasi dengan Utusan Khusus Sekretaris Umum PBB untuk Myanmar;
5)
Meminta Pelapor Khusus untuk melaporkan pelaksanaan resolusi UNHRC no. S-5/1 dan 6/33 kepada UNHRC pada resume sesi berikutnya;
6)
Meminta kepada Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights untuk menyediakan dukungan yang dibutuhkan oleh Pelapor Khusus PBB, termasuk menyediakan tenaga ahli, untuk memfasilitasi pemenuhan mandat yang diberikan oleh UNHRC melalui resolusi ini.
Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Mandate of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; berisi tentang perpanjangan mandat atau tugas Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar. Poin-poin yang terdapat di dalam resolusi ini adalah sebagai berikut:55 1) Memutuskan untuk memperpanjang masa tugas/mandat Pelapor Khusus PBB untuk situasi di Myanmar, yang mengacu kepada resolusi Commission on Human Rights no. 1992/8 dan 2005/10 tanggal 14 April 2005; 2) Mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerjasama secara penuh dengan Pelapor Khusus PBB dan menanggapi dengan baik permintaan Pelapor Khusus PBB untuk mengunjungi Myanmar dan memberikan 55
Ibid, 165-166
63
informasi dan akses terhadap badan-badan yang relevan dan institusiinstitusi penting kepada Pelapor Khusus PBB; 3) Meminta kepada Pelapor Khusus untuk memeberikan laporan kemajuan situasi HAM di Myanmar kepada Dewan Umum PBB dan kepada UNHRC mengacu kepada program kerja tahunan Pelapor Khusus PBB; 4) Meminta kepada Office of the United Nations High Commissioner of Human Rights untuk memberikan bantuan dan sumber daya penting yang dibutuhkan oleh Pelapor Khusus PBB; Res. 8/14 (tanggal 18 Juni 2008), Situation of human rights in Myanmar; resolusi yang kembali dikeluarkan mengingat tidak adanya kemajuan berarti dari situasi HAM di Myanmar. Poin-poin dalam resolusi ini adalah sebagai berikut:56 1) Menyalahkan kekerasan sistematis terhadap HAM dan kebebasan mendasar masyarakat Myanmar secara terus menerus; 2) Mendesak dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk berhenti melakukan penangkapan dengan motivasi politik dan segera membebaskan seluruh tahanan politik tanpa syarat; 3) Meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk melaksanakan secara penuh komitmen yang telah dibuat dengan Sekretaris Umum PBB dalam hal segera menjamin, akses masuk secara penuh dan tidak akan menghalangi para pekerja bangunan (sebagai bagian dari bantuan kemanusiaan dari dunia internasional kepada masyarakat Myanmar) 56
Ibid, 218-220
64
untuk memberikan bantuan kepada seluruh masyarakat Myanmar yang membutuhkan, dan bekerjasama penuh dengan seluruh organisasi kemanusiaan, khususnya di wilayah Irrawadday Delta, untuk mengirimkan kembali para relawan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang tidak memiliki akses darurat dan untuk menjamin keselamatan para relawan dan berhasilnya tugas mereka; 4) Mendesak dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan melindungi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, berdasarkan kepada Universal Declaratin of Human Rights, dan, pada khususnya untuk memenuhi kewajiban Pemerintah Myanmar dalam menegakan HAM di bawah Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women dan Convention on the Rights of the Child; 5) Menyalahkan rekruitmen anak-anak untuk menjadi tentara untuk angkatan militer Myanmar dan kelompok-kelompok militer nonpemerintah, dan meminta untuk menghentikan dengan segera aktifitas ini; 6) Meminta untuk melakukan penyelidikan kepada seluruh laporan terhadap pelanggaran HAM, termasuk penghilangan secara paksa, penangkapan tidak berdasar, kekerasan, perlakuan tidak wajar, merekrut buruh paksa dan melakukan pemindahan secara paksa, secara penuh, transparan, efektif, tidak memihak, dan independen, serta membawa seluruh pihak yang bertanggung jawab atas tindakan-
65
tindakan tersebut ke pengadilan dalam rangka mengakhiri kekebalan hukum para pelanggar HAM; 7) Meminta dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk ikut serta dalam proses nyata dialog dan rekonsiliasi nasional dengan partisipasi penuh dan nyata dari perwakilan seluruh partai politik dan kelompokkelompok etnik yang selama ini telah disingkirkan dari proses politik di Myanmar; 8) Menyatakan dukungan terhadap misi dan komitmen dari Sekretaris Umum PBB, dan mendorong Pemerintah Myanmar untuk untuk mengambil langkah-langkah awal untuk mengakui Perwakilan Khusus Sekretaris Umum PBB, Ibrahim Gambari, untuk memfasilitasi terciptanya proses politik yang mengakomodir seluruh pihak, dan meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk menjamin melakukan kerjasama penuh dengan Sekretaris Umum PBB, Perwakilan Khusus Sekretaris Umum PBB, dan pelapor Khusus PBB; 9) Mendesak dengan sangat kepada Pemerintah Myanmar untuk menerima, sesegera mungkin, Pelapor Khusus PBB dan untuk bekerjasama penung dengannya untuk melaksanakan rekomendasi yang terdapat di dalam laporannya (A/HRC/6/14, A/HRC/7/18, A/HRC/7/24, dan A/HRC/8/12), sama halnya dengan resolusi UNHRC no. S-5/1, 6/33 dan 7/31;
66
10) Meminta kepada Pelapor Khusus PBB untuk melaporkan pelaksanaan mandatnya kepada UNHRC, dan secara khusus, melaporkan tentang pelaksanaan resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC.
2. Kebijakan UNHRC dalam bentuk pengawasan dan negosiasi Sejalan dengan resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC di atas, maka untuk menunjang dan mengkur bagai pelaksanaan resolusi-resolusi tersebut oleh permintah Myanmar, maka didalam resolusi-resolusi tersebut juga ditunjuk Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, yang memiliki tugas mengawasi pelaksanaan resolusi, mengumpulkan informasi seputar situasi penegakan HAM di Myanmar, serta melakukan negosiasi dan dialog dengan pihak-pihak terkait di Myanmar dalam rangka mendorong pelaksanaan resolusi ynag dikeluarkan oleh UNHRC. Pelapor Khusus ini juga memiliki kewajiban memberikan rekomendasi kepada pemerintah Myanmar berdasarkan berbagai temuan di lapangan dalam rangka menjalankan tugasnya untuk mendorong pelaksanaan resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC. Dalam melaksanakan misi pemantauan situasi HAM di Myanmar Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang pertama, Paulo Sergio Pinheiro, melakukan berbagai aktifitas yang melingkupi investigasi, penerimaan laporan, dan konfirmasi dan dialog dengan Pemerintah Junta militer Myanmar. Dalam menjalankan mandat yang diberikan oleh UNHRC, Pelapor Khusus ini terus melakukan kontak secara rutin dengan Misi Permanen Myanmar untuk PBB di Geneva dan New York, dia melaksanakan berbagai konsultasi dengan berbagai
67
perwakilan negara-negara anggota PBB, para pejabat badan-badan PBB, perwakilan organisasi-organisasi masyarakat dan anggota-anggota berbagai komunitas akademik. Dia melakukan presentasi laporan pertamanya (A/62/233) kepada Dewan Umum PBB di New York pada tanggal 14 Oktober 2007. Dia juga mendiskusikan dan menukarkan segala temuannya dan melakukan kontak rutin dengan UNHCHR, Executive Office of the Secretary-General, Departement of Political Affairs, Special Adviser to the Secretary General on Myanmar, Ibrahim Gambari, dan Special Representative of the Secretary-General on Children and Armed Conflict, Radhika Coomaraswamy. Pelapor Khusus PBB juga mengadakan pertemuan dengan Utusan Khusus Uni Eropa untuk Myanmar, Piero Fassino.57 Dari tanggal 11 sampai dengan 15 November 2007, Pelapor Khusus PBB mengunjungi Myanmar dalam ragka menghadiri undangan pemerintah Myanmar, mengikuti kepada resolusi S-5/1 UNHRC. Pada tanggal 16 dan 17 November 2007, Pelapor Khusus PBB melaksanakan konsultasi di Bangkok dengan Menter Luar Negeri Thailand, perwakilan komunitas diplomatik dan NGO-NGO yang beroperasi di Myanmar, Thailand, dan pada perbatasan Thailand-Myanmar.58 Mengikuti resolusi 6/33 UNHRC, dalam suratnya tanggal 30 Januari 2008, Pelapor Khusus PBB mengkomunikasikan kepada Pemerintah Myanmar keinginannya untuk melakukan misi tindak lanjut mengacu kepada pertemuan sesi ketujuh UNHRC. Pelapor Khusus dalam hal ini menyesalkan sikap
57
UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”, A/HRC7/18, 7 Maret 2008, hlm. 3, http://daccess-ods.un.org/TMP/1594674.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. 58 Ibid, hlm. 3-4
68
Pemerintah Myanmar, dimana samapi dengan tanggal 30 januari 2008, Pelapor Khusus PBB belum mendapatkan jamianan akses masuk ke Myanmar oleh pemerintah untuk melakukan misi tindak lanjut seperti yang diminta oleh UNHRC.59 Setelah UNHRC mengeluarkan resolusi 6/33, Pelapor Khusus PBB, Paulo Sergio Pinheiro, memasukan dalam rencana kerjanya untuk melakukan misi tindak lanjut ke Myanmar dan program untuk mendapatkan informasi terbaru terkait perkembangan penyelidikan tentang laporan orang yang hilang dan pembunuhan yang terjadi selama aksi pembubaran demosntrasi sepanjang Agustus-Oktober 2007; pertanggungjawaban pemerintah Myanmar sebagai hasil dari keputusannya menggunakan kekuatan militer dan kekerasan; dan situasi para tahanan dalam kasus-kasus
demonstrasi anti-pemerintah, termasuk kondisi
tahanan tempat mereka ditahan dan kondisi persidangan/peradilan para tahanan berikut dnegan hasil atau putusan sidangnya. Setelah melakuakn evaluasi terhadap berebagai pertemuan yang dia lakukan
selama misinya pada bulan
November 2007, Pelapor Khusus PBB menyampaikan secara jelas kepada Pemerintah Myanmar kerangka kerja yang akan dibutuhkan untuk menjamin kunjungan yang dilakukan Pelapor Khusus PBB dapat berjalan secara konstruktif.60
59
Ibid, hlm. 4. UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, A/HRC/7/24, tanggal 7 Maret 2008, hlm. 5, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pdf?OpenElement, diakses tanggal 20 November 2008. 60
69
Pada tanggal 8 Februari 2008, Pelapor Khusus PBB mengirimkan proposal program kerjanya secara rinci kepada Pemerintah Myanmar dalam usaha untuk melanjutkan mengidentifikasi kenyataan di lapangan dan mendapatkan pandangan Pemerintah Myanmar terhadap aksi yang dilakukan pemerintah selama terjadinya insiden-insiden utama sepanjang bulan Agustus-Oktober 2007 yang laporannya masuk ke Pelapor Khusus PBB, termasuk melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Myanmar, Menteri Luar Negeri Myanmar, dan Menteri Tenaga Kerja Myanmar; para pejabat penegak hukum di Myanamr, termasuk para komandan pasukan anti huru-hara dan batalio-batalion polisi; dan divisi-divisi militer dan infanteri dalam hal dasar hukum dan perintah yang diberikan kepada pasukan pengamanan pada peristiwa pembubaran demosntrasi pada bulan September 2007. Dia juga mengajukan pertemuan dengan Perhimpunan Pengacara di Myanmar serta para pejabat pengadilan untuk emndapatkan informasi terkait dengan kondisi hukum, pengadilannya dan hukuman yang dijatuhkan kepada para tahanan pada peristiwa demosntrasi sepanjang bulan Agustus-Oktober 2007, dalam pertemuan tersebut Pelapor Khusus PBB meminta untuk dapat melakukan wawancara pribadi dengan para tahanan, sama halnya dengan meminta tidak dibatasinya akses bagi tim dari negara-negara
anggota
PBB
dan
organisasi-organisasi
kemasyarakatan
internasional.61 Semenjak presentasinya kepada UNHRC pada bulan Desember 2007, Pelapor Khusus PBB harus menerima dan mengumpulkan informasi terbaru dari 61
Ibid
70
beberapa sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya terhadap perkembangan di dalam negeri Myanmar dalam hubungannya dengan pembubaran aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007. Dalm hal ini Pelapor Khusus PBB belum memiliki kesempatan untuk ikut serta bersama dengan Pemerintah terkait dengan adanya temuan baru di Situ dan untuk membandingkan informasi terbaru yang dia dapatkan sejak sejak bulan Desember 2007. Informasi yang didapatkan oleh Pelapor Khusus PBB selama misi yang dilakukannya menunjukan bahwa peristiwa pada bulan September 2007 dan konsekuensinya yang membutuhkan sebuah kerja yang sistematis dan melalui penyelidikan. Hal ini akan menjadi hal yang penting ketika usaha-usaha Pemerintah Myanmar untuk melaksanakan dan melindungi HAM, dalam konteks transisi demokrasi, seperti yang dinyatakan oleh Pelapor Khusus PBB kepada Pemerintah Myanmar selama kunjungannya, dapat direalisasikan.62 Pada bulan Maret 2008, melalui resolusi 7/32, UNHRC memperpanjang masa tugas Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar. Pada tanggal 26 Maret 2008, Tomas Ojea Quintana (Argentina) ditunjuk sebagai Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang baru yang akan mulai melaksanakan tugasnya mulai tanggal 1 Mei 2008.63 Sama halnya dengan pendahulunya, misi utama dari Tomas Ojea Quintana sebagai Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, dalam susunan 62
Ibid UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana, on the implementation of Council resolution S/51 dan 6/33”, A/HRC/8/12, tanggal 3 Juni 2008, hlm. 2, http://daccess-ods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. 63
71
kerja utamanya, melakukan penguatan kerjasama dan membantu Pemerintah Myanmar dalam usaha pemerintah untuk menegakan dan melindungi HAM. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB menggunakan pendekatan yang lebih positif terhadap Pemerintah Myanmar, dalam rangka membuka ruang dialog dan pertukaran informasi dengan pemerintah. Mengacu kepada isu-isu HAM utama yang muncul di Myanmar seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, Pelapor Khusus PBB, melalui mandat yang diberikan kepadanya, juga melakukan identifikasi terhadap topik-topik khusus yang pantas untuk mendapatkan perhatian khusus dan membuat program kerja yang akan dilaporkan kepada UNHRC. Dalam pandangan tersebut, dan dalam rangka menjalankan mandat yang diberikan kepadanya, untuk melaporkan kepada UNHRC kemajuan yang telah dibuat oleh Pemerintah Myanmar dalam melaksanakan resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC dan untuk melakukan pengawasan perkembangan seluruh situasi HAM di Myanmar, melakukan sebuah penelitian yang mendalam, termasuk melakukan berbagai kegiatan diskusi dengan para ahli di Myanmar. Sedangkan untuk bisa menerima informasi dari organisasiorganisasi HAM internasional yang juga beroperasi di Myanmar serta dari para ahli akademisi internasional, Pelapor Khusus PBB akan ikut serta di dalam kegiatan para ahli di Myanmar dalam rangka meningkatkan penegakan dan perlindungan HAM di Myanmar.64 Kajian terhadap situasi HAM di Myanmar akan dikembangkan melalui berbagai jenis masukan dan sumber, termasuk bahan-bahan dan laporan yang 64
Ibid, hlm. 14-15.
72
disiapkan oleh agen-agen pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, tim negara-negara anggota PBB dan institusi akademik. Pelapor Khusus PBB juga meneruskan untuk mengikutsertakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam diskusi terkait dengan kemajuan yang telah dicapai dari penerapan implementasi resolusi UNHRC. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB memandang peranan penting ASEAN dalam ikut merumuskan solusi bagi permasalahan di Myanmar, sehingga Pelapor Khusus PBB juga melakukan kunjungan ke negaranegara tetangga Myanmar. Melalui negara-negara tetangga ini, Pelapor Khusus PBB dapat melakukan dialog yang cukup berarti dan kerjasama dengan Pemerintah Junta Militer Myanmar untuk mencapai penegakan dan perlindungan terhadap HAM, khususnya dalam kasus-kasus yang baru saja terjadi, ketika pemerintah Myanmar mengeluarkan rancangan tahapan menuju transisi politik yang disebut dengan 7-step roadmap to democracy.65 Seperti yang dilakukan oleh Pelapor Khusus PBB sebelumnya, Tomas Ojea Quintana juga melakukan kerjasama erat dengan Utusan Khusus Sekretaris Umum PBB untuk Myanmar, Perwakilan Khusus Sekretaris Umum PBB untuk masalah anak dan konflik bersenjata, mekanisme koordinasi ILO untuk masalah buruh paksa dan prosedur-prosedur khusus lainnya yang mengawasi pelaksanaan berbagai instrumen HAM internasional, dimana Myanmar juga termasuk sebagai anggota di dalamnya, seperti peserta Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women dan Convention on the Rights of tha Child.
65
Ibid, hlm. 15.
73
Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, Tomas Ojea Quintana, telah melakukan kunjungan ke Myanmar. Misi pertama dilakukan pada tanggal 3-7 Agustus 2008, dan misi kedua dari tanggal 14-19 Februari 2009. Mengacu kepada kedua misi tersebut, Pelapor Khusus PBB menyatakan telah terjadi kemajuan penting sejak tujuan-tujuan yang diidentifikasi telah tercapai, seperti terciptanya hubungan kerjasama dengan Pemerintah Myanmar dan para stakeholders
selama
kunjungan
pertamanya,
dan
diskusi-diskusi
yang
dilakukannya bersama dengan para pejabat terkait di Myanmar dalam proses pelaksanaan 4 elemen HAM utama yang dia rekomendasikan, yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan pemilu Myanmar pada tahun 2010. 4 elemen utama HAM tersebut adalah :66 1) Menata ulang pengaturan UU nasional mengacu kepada Konstitusi baru Myanmar dan kewajiban yang diberikan oleh dunia internasional; 2) Pembebasan dengan segera para tahan politik dan para tahanan akibat dari berbagai insiden demonstrasi anti pemerintah; 3) Reformasi militer Myanmar; dan 4) Reformasi lembaga peradilan. Pelapor Khusus PBB juga telah melakukan tiga pertemuan penting kelompok-kelompok HAM pemerintah Myanmar. Dalam pertemuan tersebut, Pelapor Khusus PBB memaparkan empat elemen utama HAM di Myanmar. Pada
66
UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, A/HRC/10/19, tanggal 11 Maret 2009, hlm. 19-21, http://daccess-ods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
74
bulan Februari 2009, dia meminta kepada kelompok-kelompok HAM pemerintah untuk mendampingi pemerintah dalam melaksanakan elemen-elemen utama HAM tersebut. Pelapor Khusus PBB juga bertemu dengan Menteri tenaga Kerja Myanmar, Menteri Hubungan Luar Negeri Myanmar, Kepala Tripartite Core Group, para anggota dari Bar Council, Federasi Urusan Perempuan Myanmar, dan Union Solidarity and Central Development Association. Permintaannya untuk bertemu dengan para pemimpin partai politik tidak dapat dilakukan sejak para pemimpin partai politik tersebut masih menjadi tahanan pemerintah, menjadi tahanan rumah dan berada di penjara yang terletak di daerah pengawasan militer Myanmar.67 Dalam kunjungan keduanya tersebut, Pelapor Khusus PBB juga mengunjungi wilayah yang terkena dampak dari badai Nargis pada bulan Agustus 2008. Pada bulan Februari 2009, Pelapor Khusus PBB mengunjungi Propinsi Kayin, dimana dia bertemu dengan dua faksi dari Karen National Union (KNU) yang telah melakukan gencatan senjata dengan pemerintah. Dalam pertemuannya tersebut, Pelapor Khusus PBB bahwa Karen National Union/Karen National Liberation Army (KNU/KLA) Peace Council telah memiliki pasukan militer, konstitusi, aturan hukum, penjara dan para hakimnya sendiri; Democratic Buddhist Karen Army menginformasikan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa mereka memiliki sekitar 5,000 personil militer dalam angkatan perangnya. Kedua faksi tersebut menolak untuk melakukan rekruitmen personil militer untuk anak di 67
Ibid, hlm. 5
75
bawah umur dan mengikuti ketentuan verifikasi badan kerja United Nations Monitoring and Reporting Mechanism terhadap angkatan perang mereka masingmasing sesuai dengan permintaan DK PBB melalui resolusi 1612 tahun 2005 tentang anak di dalam konfik militer. Pelapor Khusus PBB juga bertemu dengan Phavagone Region Peace Group/Phado Aung San, yang telah menyerah kepada pemerintah.68
68
Ibid
76
BAB III GAMBARAN DAN PERKEMBANGAN KASUS PELANGGARAN HAM DI MYANMAR
A. Gambaran Umum Pemerintahan Junta Militer Myanmar 1. Sejarah Pemerintahan Militer di Myanmar Pada tanggal 4 Januari 1948, bangsa Myanmar atau Burma, mencapai kemerdekaannya dan menjadi sebuah negara republik dengan Union of Burma, dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden pertamanya dan U Nu sebagai perdana menteri pertamanya. Tidak seperti negara-negara kolonial Inggris sebelumnya, Myanmar tidak menjadi anggota negara persemakmuran Inggris. Pada awal kemerdekaan ini, sistem parlemen bicameral (dua kamar) dibentuk, yang terdiri dari Chamber of Deputies dan Chamber of Nationalities.69 Wilayah Myanmar yang diakui sejak kemerdekaannya dapat dilihat dalam Panglong Agreement, yang meliputi wilayah Burma Atas, Burma Bawah, dan Wilayah Depan, yang telah dikuasai dan diperintah melalui pemerintahan yang berbeda oleh Inggris.70 Pada tahun 1961, U Thant, Perwakilan Tetap Burma di PBB dan Sekretaris pertama Perdana Menteri Burma, terpilih menjadi Sekretaris Umum PBB; dia merupakan orang non-barat pertama yang menjadi pemimpin sebuah
69
Wikipedia, “The Constitution of the Union of Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 Desember 2008. 70 Smith, Martin (1991). “Burma -Insurgency and the Politics of Ethnicity”. London and New Jersey: Zed Books, hlm. 42-43.
77
organisasi internasional dan menjadi Sekretaris Umum PBB selama 10 tahun.71 Diantara para tokuh Burma, yang juga bekerja di PBB pada saat U Thant menjadi Sekretaris Umum PBB adalah Aung San Suu Kyi, yang selanjutnya menjadi tokoh gerakan demokrasi yang menentang pemerintahan junta militer Myanmar hingga saat ini. Pemerintahan demokratis di Myanmar berakhir pada tahun 1962 pada saat Jendral Ne Win memimpin sebuah kudeta militer. Setelah itu di memerintah selama 26 tahun dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah di bawah dogma Burmese Way to Socialism. Diantara tahun 1962 dan 1974, Burma diperintah oleh sebuah dewan revolusi yang dipimpin oleh Jendral Ne win, dan hampir seluruh aspek masyarakat (bisnis, media, produksi, dan lain-lain) telah dinasionalisasi oleh pemerintah atau diambil alih pengaturannya oleh pemerintah (termasuk perusahaan Boy Scouts).72 Dalam usahanya untuk mengkonsolidasikan kekuatan, Jendral Ne win dan banyak Jendral tinggi lainnya yang berhenti dari militer dan mengambil pos-pos sipil, melaksanakan pemilihan umum dengan sistem satu partai sejak tahun 1974. diantara tahun 1974 dan 1988, Burma secara efektif diperintah oleh Jendral Ne win melalui Burma Socialist Programme Party (BSPP).73
71
Aung Zaw. "Can Another Asian Fill U Thant's Shoes?". The Irrawaddy September
2006. 72
Myint-U, Thant (2006). “The River of Lost Footsteps”, ISBN 0-374-16342-1, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 73 Fink, Christina (2001). Living Silence:Burma under Military Rule. ISBN 1-8564-9926X, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
78
Sejak awal mula pemerintahan militer di Myanmar, telah terjadi berbagai aksi protes yang bersifat sporadis menentang pemerintahan militer, kebanyakan dari aksi tersebut diorganisir oleh mahasiswa, dan hampir di setiap aksi demonstrasi, pemerintah militer mengatasinya dengan cara represif dan tindak kekerasan. Pada tanggal 7 Juli 1962, pemerintah membubarkan aksi demonstrasi di Universitas Rangoon yang mengakibatkan 15 mahasiswa tewas.74 Pada tahun 1974, kekerasan militer kembali terjadi dalam menangani aksi demonstrasi anti pemerintah pada saat pemakaman U Thant. Berbagai aksi anti pemerintah yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 1975, 1976, dan 1977, secara cepat ditumpas dengan menggunakan kekuatan militer oleh pemerintah.75 Pada tahun 1988, kekacauan di sektor ekonomi akibat dari kesalahan menajemen pemerintah dan terus dilakukannya berbagai tekanan politik terhadap masyarakat oleh pemerintah membawa terjadinya perluasan demonstrasi prodemokrasi di seluruh negeri yang kemudian dikenal dengan peristiwa/gerakan 8888 Uprising. Pada peristiwa tersebut, pasukan keamanan pemerintah membunuh ribuan demonstran, dan kemudian Jendral Saw Maung melakukan sebuah kudeta militer dan membentuk State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada tahun 1989, SLORC mendeklarasikan martial law paska terjadinya aksi demonstrasi dalam skala luas. Setelah itu pemerintah yang
74 75
Op.Cit., Myint-U, Thant (2006). Op.Cit., Fink, Christina (2001).
79
dibentuk oleh Saw Maung menyelesaikan rencana pemilihan umum untuk Dewan Rakyat pada tanggal 31 Mei 1989.76 SLORC selanjutnya merubah versi bahsa inggris nama negara dari Union of Burma menjadi Union of Myanmar pada tahun 1989. Hal ini mengakibatkan kebingungan di masyarakat dimana seluruh media di negara tersebut menyebut nama negara dengan sebutan Myanmar, akan tetapi banyak pihak/negara lain yang masih menyebut nama negara dengan sebutan Burma. Dalam kebanyakan kasus, negara-negara yang masih menyebut dengan sebutan Burma, merupakan sebuah pernyataan politik. Dengan tidak mengakui nama Myanmar, maka hal tersebut
merupakan
salah
satau
bentuk
penolakan
terhadap
legitimasi
pemerintahan junta militer. Hal ini tidak hanya terjadi diantara kelompokkelompok penegak HAM saja, akan tetapi banyak pemerintah seperti AS, Inggris, dan Perancis, yang secara resmi masih menggunakan nama Burma untuk menyebut negara Myanmar. Nama Burma sendiri sebenarnya diberikan oleh pemerintah kolonial Inggris. Sedangkan nama Myanmar merupakan nama mata uang nasional yang digunakan sejak pertama kali pemerintahan demokratik berdiri. Pada bulan Mei 1990, pemerintah melaksanakan pemilihan umum yang bebas untuk pertama kalinya sejak 30 tahun. National League for Democracy (NLD), partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, memenangkan 392 kursi dari total 489 kursi yang tersedia, akan tetapi hasil pemilu tersebut kemudian 76
"PYITHU HLUTTAW ELECTION LAW". State Law and Order Restoration Council. iBiblio.org, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
80
dianulir oleh SLORC, yang menolak untuk turun dari pemerintahan.77 Pada tahun 1992, SLORC mengumumkan rencana untuk membuat sebuah konstitusi baru melalui sebuah lembaga yang disebut National Convention yang akan dimulai pada tanggal 9 Januari 1993. Melalui National Convention ini pemerintah junta militer Myanmar memproklamasikan tujuh langkah jalan menuju demokrasi. Pembentukan National Convention ini dilakukan pemerintah junta untuk mengobati kekecewaan masyarakat luas akibat dianulirnya hasil pemilu pada tahun 1990 dan berjanji bahwa melalui National Convention yang terdiri dari perwakilan seluruh partai politik dan kelompok-kelompok etnik di Myanmar, akan memulai sebuah transisi ke arrah demokrasi Pada perkembangannya National Convention ini sendiri akhirnya bubar setelah NLD menarik diri dari National Convention pada tahun 1996. Pemerintahan Junta militer Myanmar berubah nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC) pada tahun 1997, akan tetapi tidak merubah kebijakan pemerintah yang bersifat otokrasi dan melakukan kebijakan yang represif terhadap pihak oposisi yang demokratis. Dalam hal ini Pemerintah Junta militer Myanmar menjadikan Aung San Suu Kyi sebagai subjek dari berbagai bentuk penahanan dan hambatan-hambatan lainnya bagi gerakan yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi. Pada tahun 2000, SPDC mulai membuka pembicaraan dengan kelompok oposisi politik pemierntah yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Pembicaraan 77
Khin Kyaw Han, "1990 MULTI-PARTY DEMOCRACY GENERAL ELECTIONS". National League for Democracy. iBiblio.org, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
81
ini diikuti dengan pembebasan beberapa tahanan politk dan peningkatan terhadap kebebasan/ruang gerak bagi aktifitas politik NLD. Pada bulai Mei 2002, Aung San Suu Kyi diperbolehkan untuk keluar dari rumahnya, yang kemudian dimanfaatkan Suu Kyi untuk melakukan perjalanan mengelilingi negeri, dimana di tiap daerah dia disambut dengan hangat oleh masyarakat. Pada tanggal 30 Mei 2003, Aung San Suu Kyi beserta iring-iringan pendukungnya diserang oleh kelompok yang berafiliasi dengan pemerintah. Banyak anggota dari iringaniringan pendukung tersebut yang tewas atau terluka, dan yang lainnya hilang. Aung san Suu Kyi dan beberapa anggota partainya kemudian ditahan, dan Pemerintah Junta militer Myanmar menutup secara paksa kantor NLD. Saat ini hanya kantor pusat NLD di Rangoon saja yang masih buka, sedangkan kantor dari partai politik oposisi lainnya telah ditutup secara paksa oleh pemerintah, dan Aung san Suu Kyi masih menjadi tahanan rumah.78 Atas dasar keinginan untuk tetap mempertahankan kekuasaan, pemerintah junta membentuk kembali sebuah konvensi nasional pada bulan Mei 2004 tanpa melibatkan NLD dan kelompok-kelompok etnik yang pro-demokrasi. Dengan waktu yang singkat National Convention
jilid II terbentuk dan pada bulan
September 2007, pemerintah menutup proses “penyusunan” prinsip-prinsip dalam konstitusi Myanmar yang baru. Para delegasi yang hadir dalam konvensi nasional tersebut tidak diijinkan untuk melakukan debat terbuka, diskusi, atau berusaha untuk mengubah prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Pada bulan Oktober 2007,
78
US Secretary for Public Diplomacy and Public Affairs, “Union of Burma”, Desember 2008, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35910.htm, diakses tanggal 3 Juni 2009.
82
SPDC menjanjikan 54 orang untuk duduk di dalam komite penyusunan konstitusi, akan tetap tidak memasukan satu orang pun anggota dari NLD atau kelompok oposisi pro-demokrasi. Pada tanggal 5 Februari 2008, pemerintah mengumumkan selesainya kerja komite penyusun konstitusi dan mengumumkan akan melaksanakan sebuah referendum nasional atas konstitusi baru tersebut pada bulan Mei 2008, dengan rencana untuk mengadakan pemilu dengan sistem multi partai pada tahun 2010. Pada tanggal 10-24 Mei 2008, pemerintah menyelenggarakan referendum nasional di dalam suasana ketakutan dan intimidasi dan di tengah-tengah bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh badai Nargis. Dalam referendum tersebut, pemerintah mengakui 92.5% (dengan jumlah pemilih sebanyak 98% dari total usia pemilih di Myanmar) pemilih menyetujui konstitusi baru.79 Dalam hal ini, proses dan hasil dari referendum tersebut diakui oleh dunia internasional sebagai sebuah referendum yang tidak dapat dipercaya kebenarannya. Di bawah konstitusi baru tersebut, pemerintah akan menjalankan pengawasan yang ketat terhadap kinerja pemerintah itu sendiri, memberikan militer kewenangan untuk masuk dan menguasai pemerintahan jika hal tersebut dianggap penting. Pada bulan November 2005, tanpa diduga pemerintah memindahkan ibukota negara dari Rangoon ke Nay Pyi Taw, tanpa proses sosialisasi, bahkan persetujuan dari masyarakat Myanmar sendiri, yang akhirnya mengakibatkan pemerintah diisolasi oleh dunia internasional dan oleh masyarakat Myanmar
79
Op. Cit., Khin Kyaw Han (2003-02-01). "1990 MULTI-PARTY DEMOCRACY GENERAL ELECTIONS".
83
sendiri. Nay Pyi Taw adalah daerah dengan tingkat populasi penduduk yang rendah, yang terletak diantara Rangoon dan Mandalay. Sebagian besar pegawai pemerintah dan kementrian pindah ke Nay Pyi Taw dalam jangka waktu selama 6 bulan, dan pembangunan administrasi ibukota yang baru dilanjutkan tanpa mempedulikan kecaman dunia internasional dan suara sinisme dari masyarakat Myanmar sendiri.80 Pemerintah Junta militer Myanmar masih bertahan hingga saat ini dan tetap menjalankan kebijakannya yang otoriter dan menutup keran demokrasi serta saluran aspirasi politik masyarakat Myanmar.
2. Arah dan kebijakan dalam dan luar negeri Pemerintah Junta Militer Myanmar Hubungan luar negeri Myanmar, khususnya dengan negara-negara barat, tidak terlalu baik, hal ini berkaitan dengan otoritarianisme pemerintah junta militer Myanmar dan seringnya pemerintah melakukan pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap rakyat sipil. AS telah memberlakukan larangan bagi investasi perusahaan-perusahaan AS di Myanmar, larangan impor produk-produk Myanmar, dan embargo senjata sama halnya dengan pembekuan aset militer Myanmar di AS dikarenakan rezim militer di Myanmar terus melakukan tindak pelaanggaran HAM, terus menahan penerima nobel perdamaian sekaligus pemimpin NLD (partai oposisi pro-demokrasi di Myanmar) Aung San Suu Kyi, dan menolak hasil pemilu legislatif pada tahun 199 yang dimenangkan oleh 80
Ibid.
84
NLD.81 Demikian juga dengan Uni Eropa yang memberikan sangsi kepada Myanmar, termasuk embargo senjata, menghentikan kegiatan perdagangan, dan menghentikan segala bentuk bantuan kecuali bantuan kemanusiaan.82 Sangsi yang diberlakukan oleh AS dan Uni Eropa terhadap pemerintah Myanmar, keduanya, memberlakukan juga boikot dan tekanan-tekanan langsung lainnya terhadap perusahaan-perusahaan barat di Myanmar oleh negara-negara barat lainnya pendukung gerakan demokrasi di Myanmar yang berakibat banyaknya perusahaan-perusahaan dari AS dan Uni Eropa yang meninggalkan serta mencabut investasinya di Myanmar. Walaupun ada beberapa perusahaan barat yang menerobos atau tidak mematuhi sangsi yang diberlakukan oleh AS dan Uni Eropa tersebut. Terlepas dari isolasi yang diberlakukan barat terhadap Myanmar, perusahaan-perusahaan Asia secara umum justru berkeinginan untuk melanjutkan investasinya di Myanmar dan ingin menanamkan investasi baru di Myanmar, khususnya di bidang pengolahan sumber daya alam. Myanmar memiliki hubugan yang erat dengan negara tetangganya, Cina dan India yang ditunjukan dengan beroperasinya beberapa perusahaan India dan Cina di Myanmar. Hingga saat ini masih muncul perdebatan tentang pengaruh dari diperluas dan diperpanjangnya sangsi dari AS kepada Myanmar terhadap masyarakat sipil dan pemerintah
81
United States Library of Congress, "Burma Freedom and Democracy Act of 2003", dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 82 European Union, "The EU's relations with Burma / Myanmar", dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
85
Myanmar sendiri.83 Myamar juga menerima bantuan skala besar untuk militer Myanmar dari India dan Cina.84 Dibawah kebijakan Look East India, bidangbidang kerjasama antara India dan Myanmar adalah pada bidang-bidang seperti remote sensing, eksplorasi minyak dan gas, teknologi informasi, hydro power, dan pembangunan serta konstruksi pelabuhan.85 Pada tahun 2008, India menghentikan bantuan militernya kepada Myanmar karena isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar.86 Angkatan perang Myanmar yang dikenal dengan sebutan Tatmadaw, memiliki jumlah personil militer mencapai 488,000, yang terdiri dari angkatan darat, laut, dan udara. Myanmar menempati peringkat ke 12 dunia dalam hal jumlah tentara aktifnya.87 Militer Myanmar merupakan kelompok paling berpengaruh di Myanmar, dimana jabatan-jabatan tinggi dalam kabinet dan pospos kementrian di Myanmar diduduki dan dipimpin oleh para pejabat militer. Negara-negara yang menjadi tujuan impor senjata Myanmar adalah Rusia, Ukraina, Cina, dan India. Myanmar juga membangun pusat penelitian reaktor nuklir di dekat wilayah May Myo (Pyin Oo Lwin) dengan bantuan dari Rusia, yang merupakan salah satu negara penandatangan perjanjian non-proliferasi sejak tahun 19 dan 83
Reuters, "Reuters Belgian group seeks Total boycott over Myanmar", Ibiblio, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 84 Washington Post, “Caution by Junta's Asian Neighbors Reflects Their Self-Interest”, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 85 Op.Cit., Wikipedia, “Burma” 86 Human Rights Watch, 14-1-2008, “India and Burma: time to choose”, dikutip dari Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 87 CIA World Factbook, "Burma", http://www.cia.gov, diakses tanggal 20 November 2008.
86
merupakan negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA) sejak tahun 1957. Pada tahun 2000, pemerintah Myanmar telah memberikan laporan kepada IAEA tentang keinginannya untuk membangun sebuah reaktor nuklir.88 Terkait dengan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Junta militer Myanmar, ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama regional di Asia Tenggara, dimana Myanmar juga menjadi salah satu anggota di dalamnya, menyatakan tidak akan mempertahankan Myanmar di dalam forum internasional manapun. Pada bulan April 2007, Menteri Luar Negri Malaysia, Ahmad Shabery Cheek, menyatakan bahwa Malaysia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya telah memutuskan untuk tidak mebela atau mempertahankan Myanmar jika isu pelanggaran HAM di Myanmar muncul di dalam sebuah diskusi dalam konferensi internasional. Dalam kebijakan luar negerinya dinyatakan bahwa Myanmar semenjak memperoleh
kemerdekaannya,
menggunakan
dan
menerapkan
kebijakan
luarnegeri yang “independent” dan “non-aligned”. Evolusi tujuan-tujuan dari kebijakan ini dapat dilihat sebagai berikut:89 1) Pada saat kemerdekaan Myanmar, sistem internasional terbagi kedalam dua kutub besar, yaitu blok barat dan blok timur, dalam suasana perang dingin. Saat itu juga adalah saat dimana bangsa-bangsa kolonial
(yang
mengalami
penjajahan)
mendapatkan
kembali
kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat. 88
Op.Cit., Wikipedia, “Burma”. Minister of Foreign Affairs of Myanmmar, “Emergence of Foreign Policy”, arsip pada http://www.mofa.gov.mm/foreignpolicy/index.html, diakses tanggal 5 Juni 2009. 89
87
Negara-negara yang baru merdeka ini, tertarik untuk menggunakan kebijakan luar negeri yang bebas, dalam arti bebas secara penuh dari pengaruh luar. 2) Bagi Myanmar, yang merebut kemerdekaan dari tangan negara kolinial Inggris dengan sangat sulit, hanya kebijakan luar negeri yang bebas yang sebangun dengan makna kemerdekaan Myanmar. 3) Bersamaan dengan kemerdekaan itu, Myanmar menghadapi situasi dalam negeri yang kacau dan oleh karena itu berharap untuk bisa menghindari terjadinya bencana dalam negeri dalam kaitannya dengan pertarungan blok barat dan blok timur pada tataran internasional. Oleh karena itu Myanmar berharap dapat menjadi negara yang tidak berpihak baik ke blok barat maupun blok timur. 4) Pada
masa
kemerdekaan,
adalah
hal
yang
esensial
untuk
mengutamakan pembangunan kembali aspek sosial dan ekonomi Myanmar. Telah dinyatakan pada masa kemerdekaan Myanmar, bahwa bantuan luar negeri, tanpa adanya keterkaitan atau kepentingan dari kedua belah pihak (blok barat dan blok timur), akan diterima oleh Myanmar. 5) Myanmar yang secara geografis berada diantara dua negara dengan tingkat populasi penduduk yang tinggi, yaitu India dan Cina, maka dalam hal ini Myanmar tetap berkeinginan untuk menjadi negara yang bebas dan tidak berpihak dalam hal kebijakan luar negerinya.
88
Pada awal tahun 1971 Myanmar merubah kebijakan luar negeri yang bebas dan tidak berpihaknya menjadi kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Di dalam deklarasi SLORC pada tanggal 18 September 1988, mengumumkan bahwa pemerintah akan melanjutkan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif tersebut, Myanmar tidak akan mengikat diri terhadap salah satu blok politik internasional terkait dengan isu-isu internasional yang muncul kecuali dalam rangka melaksanakan hak Myanmar yang juga secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktifitas untuk perdamaian dunia; menolak terjadinya perang, imperialisme dan kolonialisme; dan menjaga hubungan persahabatan dengan negara manapun. Pelaksanaan kebijakan luar negeri bebas aktif Myanmar mengacu kepada prinsip-prinsip berikut:90 1) Menghormati prinsip kesetaraan diantara seluruh masyarakat dan bangsa di dunia dan Five Principles of Peacefl Co-existence; 2) Mengambil sikap tidak berpihak, bebas, dan hanya berpihak pada isuisu internasional; 3) Menjaga hubungan persahabatan dengan seluruh bangsa dan hubungan bertetangga yang baik dengan negara-negara tetangga; 4) Melanjutkan dukungan kepada, dan berpartisipasi aktif di dalam PBB dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PBB;
90
Ibid
89
5) Melakukan program-program kerjasama bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan; 6) Melakukan konsultasi kawasan dan kerjasama yang menguntungkan di dalam ekonomi kawasan dan hubungan-hubungan sosial; 7) Berpartisipasi aktif dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan penciptaan tatanan ekonomi internasional yang wajar dan menolak segala bentuk imperialisme, kolonialisme, intervensi, agresi dan hegemoni; 8) Menerima bantuan luar negeri yang berguna bagi pembangunan nasional, tanpa adanya kepentingan tertentu dibalik bantuan tersebut. Pada tahun 1954, Myanmar, Cina, dan India, selama kunjungan Perdana Menteri Cina Choun En Lai ke India dan Myanmar, menjelaskan tentang Five Principles of Peaceful Co-existence. Mengacu kepada kesepakatan unutk melaksanakan lima prinsip tersebut yang ditandatangani oleh Cina dan India pada tanggal 28 Juni 1954 di New Delhi dan ditandatangani oleh Cina dan Myanmar pada tanggal 29 Juni 1954 di Yangon, maka dapat dinyatakan kelima prinsip tersebut sebagai berikut:91 1) Saling menghormati satu sama lain kesatuan dan kedaulatan wilayah masing-masing; 2) Sepakat untuk tidak saling melalukan agresi satu sama lain; 3) Tidak campur tangan dalam masalah dalam negeri masing-masing negara; 91
Ibid
90
4) Menghormati
kesetraan
dalam
hubungan
dan
bekerja
untuk
menciptakan keuntungan bersama; dan 5) Menciptakan perdamaian. Kelima prinsip di atas hingga saat ini masih menjadi dasar utama bagi kebijakan luar negeri Myanmar. Untuk masalah hubungan dunia dan isu-isu internasional, sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB dan berdasarkan atas prinsip-prinsip Penciptaan Perdamaian Bersama, Myanmar telah melakukan hal-hal sebagai berikut:92 1) Berpartisipasi aktif di dalam berbagai kegiatan PBB dengan mengacu kepada dasar prinsip kebijakan luar negeri Myanmar; 2) Secara
konsisten
mendukung
tindakan
pelucutan
senjata
(nuklir/senjata pemusnah massal); 3) Menentang perlombaan senjata, kegiatan produksi dan penjualan senjata; 4) Mendukung berbagai gerakan pembebasan nasional; 5) Mendukung dekolonialisasi; 6) Menentang tindakan agresi dari negara-negara imperialis; 7) Menentang kolonialisme, pembedaan ras dan diskriminasi ras; 8) Mendukung berbagai usaha untuk menjamin perdamaian dunia; dan 9) Menentang berbagai perang agresif yang bersifat imperialis.
92
Ibid
91
B. Perkembangan
Politik
dan
Demokrasi
di
Myanmar
Sejak
Masa
Pemerintahan Junta Militer 1. Aktor-aktor politik dominan di Myanmar sejak masa Pemerintahan Junta Militer Sejak Pemerintah Junta militer berkuasa di Myanmar pada tahun 1962 melalui sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win, hanya ada dua kelompok aktor politik dominan di Myanmar, yaitu kelompok penguasa yang didominasi oleh militer dan kelompok oposisi yang didominasi oleh para aktifis pro-demokrasi. Kemunculan kelompok oposisi, sebagai sebuah kekuatan perlawanan terhadap rezim pemerintahan yang otoriter di Myanmar ditandai dengan gerakan protes dalam bentuk aksi demonstrasi yang dipelopori oleh para mahasiswa menuntut perubahan ke arah demokrasi politik pada tahun 1988 yang terkenal dengan istilah 8888 Uprising atau dikenal oleh dunia internasional sebagai kemunculan people power di Myanmar.93 Sejak tahun 1962, Myanmar dikuasai oleh rezim Burma Socialist Programme Party sebagai satu-satunya partai legal di Myanmar, yang diketuai oleh Jendral Ne Win. Dasar negara yang dituangkan Jendral Ne Win dalam Burmese Way to Socialism telah membawa Myanmar menjadi salah satu negara termiskin di dunia.94 Hampir seluruh hal dinasionalisasi oleh Pemerintah Myanmar pada saat itu dan menerapkan sistem pemerintah gaya Soviet dengan 93
Yawnghwe , Chao-Tzang. Burma: Depoliticization of the Political. cited in Alagappa, Muthiah. (1995). Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for Moral Authority. Stanford University Press. ISBN 978-0804725606 (1995), hlm. 170 94 Tallentire, Mark. (2007). “The Burma road to ruin”, The Guardian, 28 September 2007, dikutip dari Wikipedia, “8888 Uprising”, http://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising, diakses tanggal 6 Juni 2009.
92
sistem perencanaan terpusat dengan keyakinan terhadap hal-hal berbau takhayul.95 Peristiwa 8888 uprising dimulai oleh mahasiswa di Yangon (Rangoon), pada tanggal 8 Agustus 1988, gerakan ini kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh negeri.96 Ratusan ribu biksu berjbah kuning, anak-anak dan pemuda, para mahasiswa, para ibu rumah tangga, para dokter turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi melawan rezim pemerintah militer.97 Peristiwa ini berakhir pada tanggal 18 September, setelah terjadinya kudeta militer berdarah yang dilakukan oleh State Law and Order Restoration Council (SLORC). Ribuan orang, kebanyakan biksu dan masyarakat sipil, khususnya mahasiswa dibunuh oleh tentara Myanmar.98 Selama terjadinya krisis politik tersebut, Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon nasional. Pada tanggal 26 Agustus 1988, Aung San Suu Kyi yang mengikuti terus perkembangan demonstrasi yang terjadi diseluruh wilayah Myanmar, mulai memasuki dunia politik, dengan berbicara di depan setengah juta demonstran di Pagoda Shwedagon.99 Pada saat itulah Suu Kyi menjadi simbol perjuangan di Myanmar, khususnya di mata dunia barat.100 95
Woodsome, Kate. (2007). “Burmese Way to Socialism' Drives Country into Poverty”, VOA, 7 Oktober 2007, dikutip dari Wikipedia, “8888 Uprising”, http://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising, diakses tanggal 6 Juni 2009. 96 Ferrara, Federico. (2003). “Why Regimes Create Disorder: Hobbes's Dilemma during a Rangoon Summer”, The Journal of Conflict Resolution, 47(3), hlm. 313. 97 Steinberg, David. (2002). “Burma: State of Myanmar”, Georgetown University Press, ISBN 978-0878408931. 98 Op.Cit., Ferrara, Federico. (2003), hlm 313. 99 Fong, Jack. (2008), “Revolution as Development: The Karen Self-determination Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, Universal-Publishers. ISBN 978-1599429946, hlm 150. 100 Smith, Martin. (1999) “Burma - Insurgency and the Politics of Ethnicity”, Zed Books, ISBN 978-1856496605, hlm. 9.
93
Pada saat peristiwa 8888 uprising, tidak hanya Aung San Suu Kyi yang muncul, tetapi juga mantan perdana menteri Myanmar pada masa pemerintahan demokrasi, U Nu, dan purnawirawan Brigjen Aung Gyi, juga masuk kembali ke dalam dunia politik yang sering digambarkan sebagai masa “berseminya demokrasi” ketika banyak pemimpin demokrasi terdahulu yang masuk kembali ke dunia politik.101 Dalam perkembangannya, hanya Aung San Suu Kyi bersama dengan NLD yang telah menjadi simbol perjuangan kelompok maupun partaipartai pro-demokrasi di Myanmar. Bahkan seperti yang telah dijelaskan, hingga saat ini, hanya NLD, partai politik oposisi di Myanmar, yang kantor pusatnya di Rangoon masih diijinkan untuk melakukan berbagai aktifitas oleh pemerintah, sedangkan partai-partai lain di luar SPDC, seluruhnya sudah ditutup oleh pemerintah. Dominasi pengaruh NLD bersama dengan Aung San Suu Kyi pada tataran masyarakat di Myanmar, dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif di Myanmar, yang kemudian dianulir dan tidak diakui oleh SLORC. Hasil pemilu tahun 1990 tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Pemilu Legislatif di Myanmar tahun 1990102 Partai National League for Democracy (NLD) Shan Nationalities League for Democracy (SNLD) Minor Parties and Independents Arakan feague for Democracy (AfG) National Unity Party (UNP) Mon National Democratic Front (MNDF) 101
Perolehan suara 7,943,622 222,821 1,606,858 160,783 2,805,559 138,572
Perolehan kursi 392 23 12 11 10 5
Populasi (%) 58.7 1.7 12.1 1.2 2.1 1.0
Kursi (%) 79.7 4.7 2.4 2.2 2.0 1.0
Lintner, Bertil. (1989), “Outrage: Burma's Struggle for Democracy”, Hong Kong: Review Publishing Co., hlm. 126. 102 psephos.adam-carr.net, dikutip dari Wikipedia, “Government of Burma”, http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Burma, diakses tanggal 6 Juni 2009.
94
National Democratic Party for Human Rights Chin National feague for democracy Kachin State National Congress for Democracy Party for National Democracy Union Pa-O Organisation Democratic Organisation for Kayah National Unity Kayah State Nationalities League for Democracy Naga Hills Regional Progressive Party Ta-ang (Palaung) National League for Democracy Zomi National Congress (ZNC)
128,129 51,187 13,994 72,672 35,389 16,553 11,664 10,612 16,553 18,638
4 3 3 3 3 2 2 2 2 2
1.0 0.4 0.1 0.5 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
0.8 0.1 0.1 0.1 0.1 -
Sehingga dapat dikatakan bahwa aktor politik dominan pada tingkatan nasional, adalah kelompok pro-demokrasi sebagai kelompok oposisi yang direpresentasikan oleh Aung San Suu Kyi bersama dengan NLD sebagai kendaraan politiknya. Selain kelompok pro-demokrasi, di Myanmar juga dikenali adanya kelompok-kelompok etnis minoritas yang sejak awal kemerdekaan Myanmar telah melakukan berbagai gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Sejak ditandatanganinya Konstitusi Burma pada tahun 1948, etnis-etnis minoritas di Myanmar telah dihilangkan hak-haknya di dalam Konstitusi Burma tersebut, termasuk akses pengolahan lahan yang telah ditempati mereka sejak turun temurun dan dalam hal hak berpartisipasi di dalam pemerintahan. Berbagai macam kelompok etnis minoritas di Myanmar tidak hanya secara terus menerus mengalami tekanan mayoritas etnis dominan di Myanmar, yaitu etnis Bamar/Burma, tetapi juga telah mengalami penderitaan di tangan para pemimpin perang dan berbagai aliansi etnis kawasan yang melakukan perjuangan bersenjata melawan pemerintah. Dalam hal ini agama juga memainkan peranan di dalam konflik etnik di Myanmar. Agama-agama yang hidup dan berkembang di Myanmar adalah Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Perbedaan agama ini telah
95
membawa masyarakat ke dalam beberapa insiden yang telah mempengaruhi kehidupan ratusan ribu warga Myanmar. Pada tahun 1991, sekitar 250,000 masyarakat muslim Rohingyas (salah satu kelompok etnis di sebelah barat daya Myanmar), telah diusir secara paksa oleh tentara Myanmar.103 Mereka kemudian menyeberangi perbatasan menuju ke Bangladesh, dimana mereka mendapatkan status sebagai pengungsi dan mendapatkan bantuan dari komunitas internasional yang tidak pernah mereka dapatkan selama tinggal di dalam wilayah Myanmar. Pengusiran paksa etnis-etnis minoritas di Myanmar tersebut telah menyebabkan terjadinya kekerasan/pelanggaran terhadap HAM, sama halnya dengan eksploitasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas oleh kelompok etnis dominan. Aktor-aktor utama di dalam perjuangan etnis di Myanmar adalah Karen National Union dan Mong Tai Army.104 Sebuah kesan lama yang menggambarkan Myanmar sebagai sebuah negara yang pecah akibat konflik etnik dan kekerasan, dan oleh karena itu muncul sebuah bahaya besar bagi pecahnya negara Myanmar seperti yang terjadi di Yugoslavia, atau menghadapi perselisihan dan konflik berdarah antar etnis seperti yang terjadi di Bosnia. Pembenaran tentang kesan Myanmar tersebut telah muncul semenjak militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 1962, dan telah menjadi alasan bagi Pemerintah Junta militer untuk mengambil alih kekuasaan negara sejak saat itu.
103
Selth, Andrew. Even Paranoids Have Enemies: “Cyclone Nargis and Myanmar’s Fears of Invasion.” Contemporary Southeast Asia 30.3 (2008), hlm. 385. 104 Wikipedia, “Government of Burma”, http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Burma, diakses tanggal 6 Juni 2009.
96
Kelompok militer mengklaim bahwa mereka mengambil alih kekuasaan karena adanya rencana pemisahan diri dari para pemimpin etnis nasional (atau “ras nasional”, istilah yang digunakan oleh rezim yang berkuasa saat ini).105 Pemerintah juga mengklaim bahwa tanpa adanya kehadiran militer yang kuat maka akan terjadi pemisahan wilayah dan kekerasan konflik antar etnik. Bagaimana Mynamr sebagai sebuah negara yang multi-etnis tersebut bisa menjadi sebuah negara, dapat kita telusuri dari Panglong Accord tahun 1947, yaitu sebuah perjanjian antara Kementrian Burma dan wilayah-wilayah lain yang tidak masuk ke dalam wilayah Kementrian Burma – seperti Frontier Areas, termasuk di dalamnya Propinsi Shan. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kepala Dewan Eksekutif Kementrian Burma, U Aung San, dan Putri Shan, kepala etnis Kachin dan Chin, dan para perwakilan masyarakat yang masuk ke dalam wilayah tersebut. Sedangkan para pemimpin etnis Karen, Mon, Rakhine, dan Karenni hadir di Panglong sebagai pengamat.106 Selanjutnya terdapat kesepakatan diantara organisasi-organisasi perlawan berbasiskan etnis sejak awal tahun 1970an untuk menggunakan ide federalisme, 105
Istilah yang digunakan, yaitu “etnis nasional” lebih baik daripada menggunakan istilah “minoritas nasional” untuk menunjukan kelompok-kelompok etnik di Myanmar. Kelompok etnis mayoritas di Myanmar adalah Burma, Shan, Karen, Kachin, Chin, Rakhine, Mon, dan Karenni. Terdapat persepsi bahwa etnis Burma merupakan etnis mayoritas, sedangkan yang lain merupakan etnis minoritas. Sementara itu etnis Burma sendiri mencakup sekitar 50% lebih dari total populasi penduduk di Myanmar, sedangkan di beberapa propisi di Myanmar terdapat beberapa etnis minoritas seperti di Propinsi Shan, Propinsi Chin, dan lain-lain. Keseteraan antar etnis menjadi masalah yang lebih kompleks ketika didalam sebuah propinsi di Myanmar ternyata terdiri dari banyak etnis, seperti pada Propinsi Shan, Propinsi Karen, dan lain-lain. Bagaimanapun juga, dalam bahasa Burma, dibuat sebuah peembedaan antara etnis minoritas dan etnis nasional – Lu Ne Zu bahasa untuk menyatakan etnis minoritas dan Lu Myo Zu untuk menyatakan etnis nasional. 106
Otive Igbuzor, “The Role of State Constitution in Protecting Minority Rights under Federalism: Dialog in Support of Democratic Transition in Burma”, Report to IDEA, 2002, hlm. 14 http://www.idea.int/asia_pacific/burma/upload/burma_report.pdf, diakses tanggal 3 Juni 2009.
97
dan untuk hidup bersama dibawah satu bendera, di dalam kerangka negara federal. Pada awal tahun 1990an, tercapai kesepakatan diantara seluruh kekuatan dalam gerakan demokrasi bahwa federalisme menjadi tujuan bersama.107 Sehingga dapat dikatakan bahwa terlepas dari kelompok militer, telah terdapat konsensus dalam skala luas diantara para aktor politik di Myanmar dengan semangat dari Panglong Accord dan sebuah konsensus untuk membangun sebuah negara demokratik, negara federal. 2. Perkembangan HAM dan Demokrasi di Myanmar Semenjak mencapai kemerdekaannnya pada tahun 1948, Myanmar tidak pernah mencapai tingkat stabilitas nasional. Berbagai permasalahan serius yang berimplikasi kepada seluruh masyarakat Myanmar selalu mengiringi perjalanan Myanmar sebagai sebuah bangsa dan negara. Pada awal kemerdekaannya, Myanmar dihadapkan kepada sebuah konfiik etnis yang berlanjut hingga saat ini. Konflik etnis yang terjadi ini didasarkan kepada rasa ketidakpuasan etnis-etnis minoritas di Myanmar akibat hegemoni dan dominasi etnis mayoritas (etnis Burma) yang telah meegasikan hak-hak mereka sebagai salah satu bagian dari negara Myanmar. Hal ini dapt ditelusuri dari Konstitusi Myanmar tahun 1947 yang dibuat secara terburu buru – hanya dalam beberapa bulan, dalam sebuah situasi yang sangat tidak stabil, sebuah periode traumatik setelah U Aung San dan sebagian besar anggota dari Dewan eksekutif sementara Myanmar, terbunuh pada 107
Hal ini mengacu kepada Bo Aung Gyaw Declaration tahun 1990 antara NLD dan UNLD untuk mendirikan sebuah negara federal-demokratik, dan Manerplaw Agreement tahun 1991 antara National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB) dan organisasi-organiasai kelompok etnis perlawanan bersenjata.
98
bulan Juli 1947.108 Kelompok komunis di Myanmar pada saat itu menyatakan bahwa negosiasi terhadap kemerdekaan Myanmar sama saja dengan dengan sebuah transaksi jual beli, dan mereka mengancam untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya.109 Konstitusi Perserikatan tahun 1947, memberikan bentuk negara Myanmar sebagai sebuah negara semi-kesatuan: Kementrian Myanmar menduduki posisi sebagai unit “Negara Pusat” – Pyi-Ma. Terdapat juga tambahan, 4 unit subordinat110: Divisi Khusus Chin, Propinsi Kachin, Propinsi Shan, dan Propinsi Karenni, yang memiliki badan pemerintah dan badan legislatifnya sendiri, akan tetapi tidak memiliki konstitusi sendiri. Kewenangan atau tanggun jawab dan otonomi masing-masing unit tersebut ditetukan dan dinyatakan di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 – yang secara praktek merupakan konstitusi
108
Op. Cit.,Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International IDEA, 2002, hlm. 14. 109 Kelompok komunis Myanmar saat itu menyatakan hak untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata setelah kemerdekaan, membawa Myanmar ke dalam situasi perang sipil. Untuk semakin memperumit masalah, etnis Karen juga mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para pemimpin etnis Burma (sebagian besar mereka yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan) untuk menghilangkan eksistensi mereka. Hilangnya kepercayaan dan munculnya rasa permusuhan ini berakar pada masa ketika Jepang mengusir Inggris dari Myanmar pada saat perang dunia ke II. Etnis Karen sangat loyal kepada Inggirs dan menolak pendudukan Jepang pada saat itu. Sedangkan etnis Burma dan para pemimpinnya sangat berpihak kepada kemenanan Jepang atas Inggris. Terjadi beberapa kali pembantaian massal terhadap etnis Karen semasa terjadinya perang sipil di Myanmar, yang dilakukan oleh milisi-milisi etnis Burma. Setelah perang, usaha-usaha untuk melakukan perdamaian antara etnis Karen dan Burma, sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, tetapi gagal pada atahapan proses. Hal ini kembali membuat etnis Karen mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai negara yang dodominasi oleh etnis Burma yang memiliki agenda untuk memusnahkan etnis Karen. 110 Sesungguhnya hanya terdapat 4 bagian negara (termasuk divisi khusus Chin). Pada tahun 1950, Propinsi Karen dibentuk dan ditambahkan di dalam struktur pemerintahan, dan secara paradoks, Propinsi Rakhine dan Mon dibentuk oleh Ne Win pada masa pemerintahannya.
99
dari Pyi-Ma. Akibatnya, negara-negara bagian dari negara kesatuan Myanmar merupakan subordinat dari Negara Pusat.111 Walaupun negara serikat Myanmar saat itu bersifat semi-kesatua, terdapat klausul di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 yang mengijinkan pemisahan wilayah dari Myanmar.112 Pemerintah negara bagian Kachin dalam faktanya pada pertengahan tahun 1950, mengumumkan berdirinya negara Kachin dan mengklaim bahwa ketentuan hak unutk memisahkan diri dari negara serikat akan menjadi “duri” bagi kelompok militer. Hal ini membuat para pimpinan militer dan Jendral Ne Win melakukan tindakan: sebuah tugas untuk mencegah terjadinya pemisahan diri dan bubarnya negara serikat Myanmar secara keseluruhan. Walaupun Konstitusi Negara Serikat Myanmar tahun 1947 tidak sejalan dengan semagat dari Panglong Accord yang ditandatangani pada bulan Februari 1947, hal tersebut dapat dimengerti bahwa konstitusi tersebut dapat dirubah di masa yang akan datang. Pada awal tahun 1960, negara-negara bagian yang dipimpin oleh Sao Shwe Thaike, berinisiatif untuk merubah Konstitusi Negara Serikat Myanmar, untuk membuat konstitusi tersebut benar-benar menjaddi konstitusi negara federal. Menanggapi hal tersebut, Jendral Ne Win melakukan kudeta terhadap kekuasaan, mengklaim bahwa kelompok militer harus melakukan langkah-langkah dalam rangka mencegah rencana pemisahan diri, dan untuk
111
Pengaturan ini sama dengan pengaturan yang berlaku antara Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia dengan Inggris yang memiliki posisi dominan sebagai Negara Pusat, samapai terjadinya perubahan terhadap konstitusi Inggris. 112 Klausul pemisahan wilayah tersbut dimasukan di dalam konstitusi karena U Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar, menyatakan bahwa Negara serikat yang dibentuk ini bersifat sementara dan Negara-negara bagian dapat keluar dari perserikatan ini setelah berjalan selama sepuluh tahun di bawah bendera yang sama, bendera Negara serikat Myanmar.
100
“membersihkan kotoran” yang dibuat oleh para politisi yang korup, tidak populis dan tidak kompeten.113 Dengan naiknya Jendral Ne Win dan kelompok militer sebagai penguasan dalam pemerintahan Myanmar, maka berakhirlah era demokrasi di Myanmar yang diikuti dengan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM sebagai konsekuensi logis berkuasanya pemerintahan militer yang otoriter di Myanmar hingga saat ini. Berikut ini berbagai fakta seputar perkembangan HAM dan demokrasi di Myanmar: 1) Akibat konflik etnis dan diskriminasi etnis yang dilakukan oleh etnis mayoritas berkuasa, etnis burma, terhadap etnis-etnis minoritas sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, membuat banyak etnis minoritas yang pergi meninggalkan Myanmar ke negara-negara seperti Thailand, Bangladesh, Cina, dan Malaysia untuk mencari pekerjaan dan suaka politik. Sekitar 150,000 warga Myanmar hidup di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, dan sekitar 28,000 warga Myanmar terdaftar di dua kamp pengungsian di Bangladesh. Secara kasar terdapat sekitar 40,000 warga Myanmar (sebagian besar etnis Chin dan Rohingya) terdaftar di dalam United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Malaysia.114
113
Op. Cit., Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International IDEA, 2002, hlm. 15. 114 US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008, hlm. 5, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35910.htm, diakses tanggal 27 Mei 2009.
101
2) Pada masa pemerintahan Jendral Ne Win bersama dengan BSPP, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti bisnis, media, produksi dan lain-lain, dinasionalisasi dan berada di bawah pengaturan dan pengawasan pemerintah. Hal ini membuat masyarakat Myanmar tidak memiliki hak dalam hal pengaturan ekonomi dan dalam melakukan usaha-usaha mandiri, selain itu kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan menyatakan pendapat juga tidak ada semasa pemerintahan Ne Win. Pemerintahan militer juga melaksanakan pemilu dengan sistem satu partai, yang menghalangi aspirasi-aspirasi politik dari kelompok-kelompok oposisi.115 3) Pada bulan Maret 1988, terjadi aksi demonstrasi mahasiswa di Rangoon untuk menyikapi buruknya situasi perekonomian negara dan menuntut terjadinya pergantian rezim pemerintahan. Aksi demonstrasi ini terus meluas dan berlangsung selama dua bulan lebih, yang kemudian direspon pemerintah melalui aksi pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan. Sepanjang aksi demonstrasi yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988, militer Myanmar membunuh sekitar 1,000 demonstran. Aksi demonstrasi tersebut mengakibatkan pengunduran diri Jendral Ne Win. Paska pengunduran diri tersebut, militer yang dipimin oleh Jendral Saw Maung melakukan kudeta terhadap pemerintahan sementara yang didukung oleh kelompok pro
115
1.
Op. Cit., Myint-U, Thant (2006). “The River of Lost Footsteps”, ISBN 0-374-16342-
102
demokrasi dan membentuk pemerintahan militer yang disebut dengan State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang dengan segera mengirimkan pasukan militer ke jalanan untuk membubarkan berbagai aksi demonstrasi yang masih berlangsung di seluruh negeri. Dalam peristiwa ini, sekitar 3,000 orang terbunuh akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer dan sekitar 10,000 mahasiswa lari menuju ke hutan dan pegunungan serta wilayahwilayah perbatasan, dan sebagaian lagi pergi ke luar negeri untuk menghindari penangkapan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer.116 4) Pada tahun 1990 SLORC melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya. Dalam pemilu ini NLD yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan sebagian besar kursi di parlemen. SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut dan melakukan tindakan penangkapan dan penahanan kepada para aktifis politik pro-demokrasi, termasuk Aung San Suu Kyi dengan alasan dan dasar hukum yang tidak jelas.117 5) Pada tahun 1997 SLORC berubah nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Pada tahun 2000 SPDC mulai melakukan dialog dengan kelompok oposisi pro-demokrasi yang diwakili oleh Aung San Suu Kyi, serta membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumahnya dan memberikan sedikit kebebasan bagi 116
Op. Cit., US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008,
117
Ibid.
hlm. 6.
103
NLD untuk melakukan aktifitas politknya. Pada tanggal 30 Mei 2003, ketika Aung San Suu Kyi beserta para pendukungnya melakukan konvoy mengelilingi negeri, rombongan tersebut diserang oleh kelompok milisi pro pemerintah yang mengakibatkan banyaknya anggota rombongan yang tewas, terluka, dan hilang. Akibat peristiwa ini dan dengan alasan mengganggu kedamaian dan ketertiban di masyarakat, Aung San Suu Kyi kembali ditangkap dan dijadikan tahnan rumah oleh pemerintah hingga saat ini, bersama dengan para anggota NLD lainnya yang ditahan secara terpisah.118 6) Sepanjang tahun 2004 sampai 2006 SPDC membebaskan beberapa tahanan politik dan ribuan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan dibebaskannya para tahanan politik ini, kegiatan pengorganisiran masyarakat mulai dilakukan kembali oleh para tokoh dan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan kenaikan harga minyak dan buruknya situasi perekonomian Myanmar pada tahun 2007, kelompok prodemokrasi memanfaatkan momentum ini untuk melakukan aksi demonstrasi anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 15 Agustus 2007. Menangggapi aksi ini pemerintah kembali melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 150 aktifis pro-demokrasi dari tanggal 15 Agustus sampai dengan 11 September 2007. Menanggapi aksi pemerintah ini, para biksu di Myanmar melakukan aksi demonstrasi damai anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 18 118
Ibid.
104
September 2007. Menanggapi aksi tersebut, pemerintah kembali melakukan pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan pada tanggal 26 dan 27 September 2007 melalui tindakan pemukulan, penembakan, dan penangkpan secara brutal. Dalam peritiwa ini ribuan biksu dan demonstran ditangkap serta ditahan, biara-biara penting diseluruh Myanmar dijaga ketat dan ditutup oleh pasukan keamanan. Menurut laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, dalam peristiwa ini sedikitnya 31 orang tewas.119 Tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM dan demokrasi oleh pemerintah militer Myanmar tersebut, dapat terus berlangsung tidak terlepas dari adanya berbagai peraturan hukum atau undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat maupun terhadap para oponen politiknya. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar mencatat ada beberapa peraturan hukum atau undang-undang yang digunakan oleh pemerintah Myanmar sebagai dasar hukum bagi berbagai tindakan dan kebijakannya yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional, hingga saat ini. Peraturanperaturan hukum tersebut adalah sebagai berikut:120
119
Ibid, hlm. 6-7. United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, hlm. 18, http://daccessods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. 120
105
1)
State Protection Act (1975); digunakan untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas nasional serta dijadikan dasar hukum bagi dilakukannya aksi-aksi militer terhadap berbegaia gerakan yang membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;
2)
Emergency Provisions Act (1950); sama halnya dengan State Protection Act, peraturan ini digunakan untuk melakukan berbagai aks-aksi militer terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;
3)
Printers and Publishers Act (1962); perturan yang digunakan untuk melakukan sensor terhadap berbagai bentuk publikasi tulisan yang dianggap melawan pemerintah atau bersifat menghasut publik utnuk melawan pemerintah, atau tulisan-tulisan yang hanya sekedar mengkritisi kebijakan pemerintah;
4)
Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responsibility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); digunakan oleh pemerintah untuk melawan gerakan dan mengahncurkan gerakan-gerakan politik kelompok oposisi;
5)
Law Relating to Forming of Organizations (1998); diguakan oleh pemerintah untuk membatasi ruang lingkup gerakan kelompok oposisi, khususnya kelompok pro-demokrasi dalam hal pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik;
106
6)
Television and Video Law (1985); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi dan melakukan sensor terhadap berbagai tayangan televisi dan pencitraan dalam bentuk video;
7)
Motion Picture Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan bereskpresi dan berkesenian;
8)
Computer Science Development Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi arus informasi dan telekomunikasi yang menggunakan media komputer;
9)
Unlawful Association Act; digunakan pemerintah untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam berasosiasi;
10) Electronic Communication Law; sama halnya dengan Computer Science Development Law, peraturan hukum ini digunakan oleh pemerintah
untuk
membatasi
kepentingan-kepentingan
gerakan
penggunaan yang
elektronik
dapat
untuk
membahayakan
kepentiangn dan kekuasaan pemerintah; dan 11) Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code; digunakan oleh pemerintah untuk mengidentikan gerakan-gerakan politik dan berbagai tindakan masyarakat yang cenderung mengkritisi dan anti pemerintah, ke dalam sebuah tindakan kriminal atau kejahatan.
107
3. Gerakan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar serta kelompok-kelompok penggerak di dalamnya. Sejak tahun 1990, Pemerintah Junta militer Myanmar telah menolak semua pilihan kecuali melaksanakan transisi politik (oleh militer) melalui jenis demokrasi “berdisiplin” atau “terpimpin”. Perdana Menteri Myanmar pada tahun 2003, Jendral Khint Nyunt, mengumumkan pada akhir Agustus 2003 bahwa pemerintah menjalankan kembali Konvensi Nasional, untuk membuat sebuah konstitusi baru. Hal ini tetap tidak membuat kelompok oposisi – atau sebagain besar negara-negara barat – yakin bahwa rezim militer di Myanmar memiliki komitmen terhadap transisi politik di Myanmar. Walaupun demikian, pernyataan Jendral Khin Nyunt tersebut menjadi sebuah gerakan penting dalam “permainan” politik yang kompleks, yang mungkin mengindikasikan bahwa kelompok militer memposisikan dirinya sendiri untuk berpartisipasi dalam sebuah proses transisi, keberhasilan dan keabsahan proses transisi tersebut yang mana akan tergantung kepada siapa saja yang berpartisipasi dalam proses penyusunan konstitusi baru, dan tergantung kepada kondisi-kondisi tertentu. Jika NLD dan pihak etnis-etnis nasional masuk ke dalam proses tersebut, maka hal tersebut akan menjadi langkah awal bagi dimulainya proses transisi politik. Ketika NLD dan sebagian besar kelompok-kelompok pro-demokrasi di Myanmar secara konsisten meminta pengakuan terhadap hasil pemilu legislatif pada tahun 1990, di sisi lain mereka juga menerima pentingnya untuk melakukan kompromi dan dialog dengan SPDC. Bagaimanapun juga, usaha-usaha yang dilakukan Aung San Suu Kyi untuk memobilisasi para pendukungnya yang
108
kemudian berakhir secara berdarah pada tanggal 30 Mei 2003, usaha-usaha internasional untuk membantu perkembangandialog dua pihak antara SPDC dan NLD juga menjadi terhenti. Dalam hal ini ada tiga set aktor politik di Myanmar, yang dirancang oleh PBB sebagai perantara proses perdamaian di Myanmar. Resolusi PBB tahun 1994 dan resolusi-resolusi PBB setelahnya terhadap Myanmar telah meminta adanya solusi tiga pihak bagi penyelesaian masalah di Myanmar, yang melibatkan pemerintah, NLD (dan partai-partai lainnya yang menjadi peserta pemilu pada tahun 1990), dan kelompok-kelompok etnis nasional. Dalam perjalanannya, banyak kader etnis nasional yang waspada terhadap kepemimpinan di dalam NLD yang banyak terdiri dari mantan pejabat Tatmadaw, yang memiliki kesamaan budaya politik dan konsepsi tentang hubungan negara dan masyarakat yang berdasarkan kepada negara terpusat yang kuat. Akan tetapi, banyak para pemimpin etnis nasional yang telah percaya kepada Aung San Suu Kyi untuk memasukan permintaan/tuntutan mereka dalam berbagai negosiasi yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi dengan SPDC. Hal ini merupakan sebuah strategi yang beresiko: jika tercapai kesepakatan antara NLD dan SPDC, komunitas internasional akan menanggapi hal tersebut dengan sangat antusias, dan proses transisi politik menemukan momentumnya, yang terjadi sebelum perwakilan etnis nasional muncul. Dalam kasus ini, kelompok etnis nasional memiliki resiko dipinggirkan dari ranah politik nasional, bahkan dipinggirkan untuk kesekian kalinya, kepentingan-kepentingan dan hak-hak politiknya, sehingga para pemimpinnya dihadapkan kepada dua
109
pilihan, tetap mengikuti kesepakatan yang telah ada, dimana keterlibatan mereka sangat kecil dalam proses negosiasi, atau tetap menuntut dilakukannya gencatan senjata secara nasional. Komunitas etnis nasional terdiri dari tiga elemen. Sebagian besar dari 65 kandidat “etnis” dalam pemilu tahun 1990 merupakan perwakilan dari United Nationalities Alliance (UNA, sebelumnya UNLD) yang selalu melakukan kerjasama erat dengan NLD. Kemudian terdapat 14 kelompok etnis bersenjata yang sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan Pemerintah Junta militer Myanmar sejak tahun 1989. Sektor ketiga dari komunitas etnis nasional adalah kelompok etnis yang hingga saat ini masih melakukan perlawan senjata terhadap pemerintah, yang merupakan anggota atau sekutu dari National Democratic Front (NDF). Dalam hal ini posisi antara UNA dan NDF sudah dalam posisi bersatu, yang menjadi masalah justru posisi dari kelompok-kelompok etnis nasional yang telah menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Kachin Independent Organisation (KIO), New Mon State Party (NMSP) dan sekutu-sekutu NDF lainnya telah berpartisipasi di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee (ENSCC; dibentuk pada tahun 2001),
untuk
menyepakati posisi bersama diantara kelompok-kelompok etnis nasional, dalam rangka persiapan negosiasi tiga pihak. Secara khusus NMSP memiliki peranan penting disini, dengan memiliki jaringan di ketiga elemen komunitas etnis nasional: ini merupakan akhir dari kelompok-kelompok yang melakukan gencatan senjata dibelakang NDF, dan juga mereka yang menikmati hubungan baik dengan
110
kepemimpinan UNA. Bagaimanapun juga posisi dari beberapa mantan anggota Communist Party of Burma (CPB) dan kelompok-kelompok yang melakukan gencatan senjata di sebelah utara Myamar, masih jauh dari jelas. Kelompokkelompok seperti Wa, Kokang, dan PaO dan yang lainnya akan merasa bisa mendapatkan lebih jika berada pada pihak SPDC, dan tidak melakukan kegiatan politik, tetapi memusatkan perhatian kepada program-program pembangunan ekonomi (termasuk dalam beberapa kasus perdagangan obat bius). Sejak tahun 1989, Pemerintah Junta militer Myanmar telah berulang kali menyatakan bahwa pemerintah hanya akan melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok bersenjata secara masing-masing, menolak untuk mengakui berbagai macam front bersama, seperti NDF atau DAB. Taktik pemecahan yang dilakukan oleh pemerintah tekah berjalan dengan baik dan berhasil dijalankan di Rangoon, dan beberapa pengamat menduga SPDC akan memberikan penawaran sebagai konsesi dengan dilakukannya gencatan senjata dengan beberapa kelompok perlawanan, sebagai ganti bagi dukungan mereka terhadap usaha pemerintah dalam menyelesaikan Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru. Sebagai alternatif, pemerintah akan berusaha untuk mengalihkan perhatian dari krisis politik yang sedang terjadi dengan melakukan usaha-usaha memerangi kelompok-kelompok yang terlibat di dalam perdagangan obat bius, dalam rangka untuk memobilisasi dukungan domestik, dan mungkin utnuk mendapatakan sedikit apresiasi dari Pemerintah Thailand dan AS. Dalam hal ini partai-partai etnis nasional juga harus menghitung resiko mengasingkan diri dari gerakan demokrasi yang terjadi di wilayah kota di
111
Myanmar. Dengan mengumumkan adanya “inisiatif etnis” pada saat NLD sedang lemah, para politisi etnik nasional akan dituduh telah merusak apa yang sudah dikerjakan oleh Aung San Suu Kyi dan membiarkan kelompok-kelompok demokrasi berada di pembuangan/penjara. Pada kenyataannya, paska peristiwa 8888 uprising pada tahun 1988 dan paska pecahnya dukungan kelompok-kelompok etnis nasional terhadap gerakan demokrasi, ternyata tidak emmbuat gerakan demokrasi di Myanmar dengan serta merta menjadi mati. Pada tahun 2007 kembali terjadi serangkaian aksi demonstrasi di Myanmar yang menuntut terjadi perubahan menuju ke arah demokrasi, penegakan HAM, dan perbaiak ekonomi serta taraf kehidupan masyarakat Myanmar. Rangkaian aksi demonstrasi ini dipicu oleh sebuah aksi protes pada tanggal 22 April 2007 yang dilakukan oleh 10 orang di daerah pinggiran kota Yangon, ditengah-tengah daerah militer. Para demonstran tersebut membawa plakat dan slogan-slogan yang meminta diturunkannya harga berbagai bahan kebutuhan pokok, peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, peningkatan pendidikan, dan pelayanan publik yang lebih baik. Para demonstran mengakhiri aksinya setelah berjalan selama 70 menit, akan tetapi polisi berpakaian preman segera menangkap 8 dari 10 demonstran. Beberapa orang yang ditahan ini sebelumnya juga pernah melakukan aksi demonstrasi di Yangon pada tanggal 22 Februari 2007. Para demonstran yang ditahan tersebut kemudian dibebaskan setelah menandatangani surat pernytaaan untuk tidak melakukan aksi
112
demonstrasi di hadapan publik tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada aparat keamanan.121 Selanjutnya pada tanggal 23 April 2007 pemerintah mengumumkan secara resmi maksud dari penangkapan para aktifis HAM tersebut. Pengumumkan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar tersebut ditanggapi dengan munculnya permintaan dari kelompok-kelompok pendamping HAM, termasuk Amnesty International yang bermarkas di London, kepada pihak-pihak berwenang untuk menyelidiki serangan terhadap para aktifis HAM yang terjadi di Myanmar. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi perekonomian Myanmar, yang ditandai dengan dilakukannya serangkaian aksi demonstrasi oleh para aktifis pada bulan April 2007, meluas menjadi sebuah aksi demonstrasi anti pemerintah. Pada tanggal 15 Agustus 2007 aksi demonstrasi anti pemerintah dimulai. Pada tanggal 18 September 2007 ribuan biksu Budha mulai memimpin aksi protes yang juga diikuti oleh para biarawati pada tanggal 23 September 2007. Pada tanggal 24 September 2007, sekitar 20,000 biksu dan biarawati Budha memimpin sekitar 30,000 orang demonstran yang memulai perjlanannya dari Shwegadon Pagoda di Yangon, dan diakhiri di kantor NLD. Sebelumnya pada tanggal 22 September 2007, para biksu Budha ini telah menemui Aung San Suu Kyi di tahanan
121
International Herald Tribune,"Eight demonstrators detained for rare protest in military-ruled Myanmar", 22 April 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
113
rumahnya, untuk berbicara lebih lanjut tentang aksi demonstrasi anti pemerintah yang sedang mereka lakukan.122 Pada tanggal 25 september 2007, 2,000 orang pasukan militer Myanmar ditempatkan di Shwegadon Pagoda dan mendapat perintah dari Jendral Thura Myint Maung agar tidak melanggar aturan-aturan Budha dalam mengatasi aksi demonstrasi.123 Keesokan paginya beberapa aktifis terkemuka yang ikut dalam demonstrasi ditangkap, pasukan militer membuat barikade di Shwegadon Pagoda dan menyerang 700 orang yang ada di dalam wilayah tersebut. Meskipun demikian 5,000 biksu Budha tersu melakukan aksi demonstrasi di Yangon. Pemerintah Junta mengumumkan bahwa 10 orang menimnggal dunia pada aksi pembubaran demonstrasi pada tanggal 27 September 2007. Pada tanggal 27 September 2007, pasukan keamanan mulai menjaga biara-biara di Myanmar dan melakukan penangkapan terhadap para biksu di seluruh negeri. Pasukan keamanan juga menembaki 50,000 orang demonstran di Yangon yang berakibat kepada tewasnya 9 orang.124 Terkait dengan aksi demonstrasi ini, akses internet di dalam negeri telah diputus, dalam rangka mengurangi kesadaran dunia internasional terhadap situasi yang sedang terjadi di Myanmar.125 Respon kekerasan Pemerintah Junta tehadap
122
THE ASSOCIATED PRESS "Tens of Thousands Said to March in Myanmar's Main City", 24 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 123 Guardian Unlimited, “Troops sent in as Burmese protesters defy junta's threats”, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 124 Politiken, "Soldater dræber ni i Myanmar", 27 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 125 SMH.com.au, “Burma cuts web access”, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
114
aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007 telah memunculkan berbagai kecaman dari dunia internasional dan meminta untuk segera menghentikan berbagai tindakan kekerasan di Myanmar. Secara khusus, Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fakuda telah meminta penjelasan atas terbunuhnya warga negara Jepang, Kenji Nagai, pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai di Myanmar. Selanjutnya Ibrahim Gambari, Utusan Khusus Sekretaris Umum PBB seger aberangkat menuju Naypyidaw dan telah bertemu dengan Pemerintah Junta dan Aung San Suu Kyi.126 Meskipun tekanan dunia internasional terus meningkat meminta agar diciptakannya perdamaian di Myanmar, militer Myanmar terus menyerang para Biksu dan menjaga biara-biara sepanjang tanggal 1 Oktober 2007.127 Pada tanggal 2 Oktober 2007, diperkirakan terdapat ribuan biksu yang tidak diketahui keberadaannya dimana. Dalam hal ini ada beberapa saksi mata yang menyatakan bahwa para demonstran yang ditangkap, termasuk para biksu yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya dimana, telah dibakar hiduphidup di krematoriun di Rangoon.128 Sejak militer berkuasa di Myanmar pada tahun 1962 hingga saat ini, gerakan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi digerakan oleh beberapa kelompok, yaitu kelompok mahasiswa pada tahun 1988 yang menjadi
126
Mizzima News, “Breaking News – Gambari meets Daw Aung San Suu Kyi” 30 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 127 Reuters, India, “Army barricades lifted around key Myanmar temple” 1 Oktober 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 128 U.S. Campaign for Burma website, “Audio file describing atrocities committed by the military regime, in Burmese with English translation”. 29 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008.
115
cikal bakal berdirinya NLD, kelompok pro-demokrasi dari tahun 1988 hingga saat ini yang disimbolkan melalui NLD dan Aung San Suu Kyi, kelompok-kelompok etnis nasional yan melakukan perlawan bersenjata terhadap pemerintah menuntut kesetaraan hak-hak etnis di Myanmar serta federalisme sebagai solusi bagi bentuk pemerintahan negara Myanmar, dan yang terakhir adalah kelompok agama yang diwakili oleh para biksu Budha sebagai mayoritas agama di Myanmar.
C. Respon Pemerintah Junta M iliter Terhadap Tuntutan Perubahan Ke Arah Transisi Politik Dan Konsolidasi Demokrasi Tuntutan perubahan yang disuarakan oleh berbagai kelompok anti pemerintah di Myanmar selalu ditanggapi dengan tindakan kekerasan oleh pemerintah, hal ini menunjukan tidak maunya Pemeruntah Junta militer Myanmar melakukan kompromi dan negosiasi terhadap berbagai tawaran perubahan, dan tetap meyakini bahwa berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta sistem politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh pemerintah, dipastikan dapat membawa masyarakat Myanmar ke arah kehidupan yang lebih baik. Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, terdapat dua tonggak penting gerakan perubahan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi, yang pertama adalah gerakan mahasiswa bersama dengan elemen-elemen rakyat pada tahun 1988 (8888 uprising) dan gerkan yang dipelopori oleh para biksu pada tahun 2007. Selain itu, gerakan tuntutan ke arah kesetaraan hak-hak etnis di Myanmar serta tuntutan ke arah federalisme yang diperjuangkan oleh kelompok-
116
kelompok perlawanan etnis nasional, juga menjadi poin penting dalam hal gerakan perubahan menuju ke arah transisi politik. Pada peristiwa 8888 uprising, para demonstran yang dimotori oleh mahasiswa menuntut perubahan ke arah demokrasi dan diakhirinya sistem pemerintahan yang militeristik serta menegasikan aspirasi masyarakat. Isu yang muncul dalam demonstrasi ini adalah penentangan terhadap kebrutalan polisi, kesalahan pengelolaan ekonomi dan korupsi di dalam pemerintahan. Menanggapi aksi demonstrasi yang terus berlangsung, maka pemerintah mengumumkan ditutupnya universitas-universitas untuk beberapa bulan.129 Pada bulan Juni 1988, aksi demonstrasi mahasiswa dan para simpatisannya menjadi pemandangan sehari-hari di Myanmar.130 Banyak mahasiswa, simpatisan aksi, dan polisi anti huru-hara yang tewas pada bulan tersebut, dimana aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi di Rangoon telah menyebar hingga ke seluruh Myanmar. Terjadi kerusuhan sipil dalam skala luas yang terjadi di wilayah Pegu, Mandalay, Tavoy, Toungoo, Sittwe, Pakokku, Mergui, Minbu, dan Myitkyina.131 Demonstrasi dalam skala besar dan luas ini menuntut sistem demokrasi multi partai, yang pada akhirnya mendorong Ne Win untuk mengundurkan diri pada tangal 23 Juli 1988.132 dalam pidato pengunduran dirinya, Ne Win menegaskan
129
Op.Cit., Fong, Jack. (2008), “Revolution as Development: The Karen Selfdetermination Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, hlm. 148. 130 Ibid. 131 Op.Cit., Smith, Martin. (1999) “Burma - Insurgency and the Politics of Ethnicity”, hlm. 10. 132 Op.Cit., Fong, Jack, hlm. 148.
117
bahwa “ketika tentara menembak, maka mereka menembak untuk membunuh”.133 Dia juga berjanji akan dijalankannya sistem multi partai, akan tetapi dia telah menyatakan ketidaksenangannya yang sangat kepada Sein Lwin yang dikenal sebagai “tukang jagal dari Rangoon”,134 untuk menjadi kepala pemerintahan yang baru.135 Pengunduran diri Ne Win ini tidak serta merta membuat pemerintahan baru mau membuka diri bagi tuntutan para demonstran. Pada tanggal 19 Agustus 1988, dibawah tekanan untuk membentuk sebuah pemerintahan sipil, penulis biografi Ne Win, Dr. Maung Maung, ditetapkan sebagai kepala pemerintahan.136 Maung merupakan seorang sarjana dan satu-satunya orang non-militer yang bekerja di dalam Burma Socialist Programme Party (BSPP).137 Penetapan Maung sebagai kepala pemerintahan, secara cepat menghentikan aksi-aksi penembakan sekaligus
aksi
demonstrasi.
Maung
meninggalkan
martial
law
yang
dideklarasikan sebagai salah satu landasan kebijakan pemerintah dan berjanji untuk segera melaksanakan referendum dengan sistem satu partai maupun dengan sistem multi partai, mengajukan 11 orang/komisi yang bertanggung jawab untuk
133
Tucker, Shelby, (2001), “Burma: The Curse of Independence”, Pluto Press. ISBN 978-0745315416, hlm. 228. 134 Fong (2008), pada tahun 1962, Lwin memerintahkan kepada para pasukannya untuk menembak para demonstran mahasiswa, membunuh para dosen, dan meledakan bangunan Union di Universitas Rangoon. 135 Op.Cit., Yawnghwe , Chao-Tzang. Burma: Depoliticization of the Political. cited in Alagappa, Muthiah. (1995), hlm. 171. 136 Fink, Christina. (2001), “Living Silence: Burma Under Military Rule”, Zed Books, ISBN 978-1856499262. 137 Op.Cit., Fong, Jack. (2008), “Revolution as Development: The Karen Selfdetermination Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, hlm. 149.
118
menjaga jalannya proses transisi.138 Maung berjanji akan melaksanakan referendum pada tanggal 12 September. Tanda-tanda positif yang mengarah kepada terjadinya sebuah transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar, ternyata hilang setelah kelompok militer kembali melakukan kudeta dan mengambil alih kekuasaan negara. Pada tanggal 18 September 1988, militer mengambil alih kekuasaan di Myanmar. Jendral Saw Maung mencabut konstitusi tahun 1974 dan memberlakukan State Law and Order Restoration Council (SLORC).139 Setelah Saw Maung memberlakukan martial law, para demonstran yang melakukan aksi demonstrasi menentang pemerintahan militer kembali berhadapan dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Melalui radio pemerintah mengumumkan bahwa kekuasaan yang mereka kendalikan atas nama kepentingan masyarakat, “dalam rangka menghentikan secara singkat berbagai kondisi buruk di seluruh bidang dan di seluruh negeri”.140 Pasukan Tatmadaw menyisir seluruh kota di mYanmar, dan melakukan penembakan terhadap para demonstran yang sedang melakukan aksi demonstrasi.141 Dalam minggu pertama pengamanan kekuasaan militer, 1,000 mahasiswa, biksu, dan pelajar terbunuh, sementara 500 orang lainnya terbunuh saat melakukan aksi demonstrasi di luar kedubes AS.142 Dalam hal ini, Saw Maung menggambarkan para korban yang tewas tersebut sebagai para 138
Op.Cit., Tucker, Shelby, (2001), “Burma: The Curse of Independence”, hlm. 228. Delang, Claudio, (2000), “Suffering in Silence, the Human Rights Nightmare of the Karen People of Burma”, Parkland: Universal Press. 140 Op.Cit., Ferrara, Federico. (2003). “Why Regimes Create Disorder: Hobbes's Dilemma during a Rangoon Summer”, hlm. 313-4. 141 Ibid, hlm. 314. 142 Burma Watcher. (1989), “Burma in 1988: There Came a Whirlwind”, Asian Survey, 29(2). A Survey of Asia in 1988: Part II, hlm. 179. 139
119
“perampok”.143 Sampai dengan akhir bulan September, terdapat sekitar 3,000 orang yang tewas, sedangkan jumlah orang yang terluka tidak diketahui secara pasti144, dengan 1,000 orang tewas di Rangoon145. Pada tanggal 21 September 1988 pemerintah telah mendapatkan kekuasaan negara secara penuh dan menjalankannya secara efektif di seluruh negeri146, dan gerakan pro-demokrasi berhenti pada Oktober 1988147. Sampai dengan akhir tahun 1988, diperkirakan jumlah korban tewas, baik dari pihak demonstran, maupun dari pihak militer mencapai 10,000 orang, sedangkan banyak lainnya hilang dan tidak diketahui bagaimana kondisinya.148 Sebagai sarana untuk mengambil simpati dari kelompok pro-demokrasi, khususnya mengambil simpati dari dunia internasional, pada tanggal 27 Mei 1990, SLORC mengadakan pemilu legislatif yang diikuti oleh 16 partai politik. Dalam pemilu tersebut, NLD memperoleh suara terbanyak dan mendapatkan 392 kursi dari 489 kursi yang diperebutkan. Akan tetapi, sekali lagi pemerintah mencederai komitmennya sendiri terhadap pelaksanaan pemilu tersebut, dengan menganulir hasil pemilu dan menolak untuk mundur dari pemerintahan.149
143
Op.Cit., Fong, Jack. (2008), “Revolution as Development: The Karen Selfdetermination Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, hlm. 151. 144 Boudreau, Vincent. (2004), “Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia”, Cambridge University Press. ISBN 978-0521839891, hlm. 210. 145 Op.Cit., Ferrara, Federico. (2003). “Why Regimes Create Disorder: Hobbes's Dilemma during a Rangoon Summer”, hlm. 314. 146 Ibid. 147 Op.Cit., Tucker, Shelby, (2001), “Burma: The Curse of Independence”, hlm. 229. 148 Wintle, Justin. (2007), “Perfect Hostage: a life of Aung San Suu Kyi, Burma’s prisoner of conscience”, New York: Skyhorse Publishing. ISBN 978-0091796815. 149 Op.Cit., Khin Kyaw Han, "1990 MULTI-PARTY DEMOCRACY GENERAL ELECTIONS".
120
Pilar kedua dari gerakan transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar adalah gerakan demonstrasi sepanjang bulan September 2007 yang dikenal oleh dunia internasional dengan sebutan Saffron Revolution. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aksi yang dimotori oleh para biksu ini pun berakhir dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar. Akan tetapi setidaknya aksi ini dapat membuat Pemerintah Junta militer Myanmar segera melaksanakan referendum pada tahun 2008 dan pemilu pada tahun 2010. Pada tanggal 7 Februari 2008, SPDC mengumumkan bahwa referendum untuk menentukan konstitusi baru Myanmar yang draftnya disusun oleh Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru akaan segera dilaksanakan. Pada tanggal 10 Mei 2008 referendum untuk konstitusi baru dilaksanakan dan pemerintah berjanji akan melaksanakan prinsip “discipline-flourishing democracy” bagi Myanmar dimasa depan.150 Pada tangal 10 Mei 2008, dalam pelaksanaan referendum tahap pertama dari dua tahap yang direncanakan ditengah-tengah terjadinya bencana badai Nargis, draft konstitusi baru yang disusun oleh pemerintah Junta militer Myanmar diterima sebagaian besar masyarakat Myanmar (dengan 92.4% pemilih dari 22 juta pemilih menyetujui draft konstitusi tersebut). Referendum tersebut merupakan pemilihan nasional pertama sejak pemilu tahun 1990. Pemilu dengan sistem multi partai yang dijanjikan oleh pemerintah akan dilaksanakan pada tahun 2010, akan mengakhiri 5 dekade penguasaan negara dan pemerintahan oleh
150
November 2008.
Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20
121
kelompok militer, hal ini terlihat dari ketentuan dalam konstitusi Myanmar yang baru, dimana kelompok militer secara otomatis mendapatkan 25% kursi dalam parlemen. Juru bicara NLD, Nyan Win, mengkritisi referendum tersebut dengan menyatakan bahwa “Referendum ini penuh dengan kecurangan dan rekayasa hampir di seluruh negeri; di beberapa desa, para aparat dan petugas pemungutan suara menandai surat suara oleh mereka sendiri dan tidak mengijinkan para pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.”151 Pada referendum tahap kedua yang dilaksanakan tanggal 24 Mei 2008 di yangon dan Irrawady, 5 juta warga negara akan menggunakan hak pilihnya.152 Akan tetapi sudah dapat dipastikan bahwa referendum tahap kedua ini tidak akan memiliki dampak apapun terhadap hasil referendum, hal ini mengingat hasil referendum tahap pertama, dengan jumlah pemilih sebanyak 22 juta pemilih, penerimaan terhadap konstitusi baru menjadi hasil mutlak.
151
Encyclopædia Britannica, CD 2000 Deluxe Edition. BBC News Magazine Monitor "How to Say: Myanmar", 26 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 November 2008. 152
122
BAB IV PERKEMBANGAN POSITIF PENEGAKAN HAM DI MYANMAR PASKA DIJALANKANNYA KEBIJAKAN PBB DI MYANMAR
A. Implementasi Kebijakan PBB Dalam Penegakan HAM Di Myanmar Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat dua bentuk kebijakan PBB di Myanmar terkait dengan adanya kasus atau tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Junta militer Myanmar, yaitu kebijakan dalam bentuk resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC dan kebijakan UNHRC dalam bentuk pengawasan dan negosiasi dengan mengirimkan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar. Terdapat 5 resolusi yang dikeluarkan oleh PBB, masing-masing resolusi berisi tentang tekanan kepada pemerintah Junta militer untuk mengakhiri berbagai pelanggaran HAM, membuka dialog dengan kelompok oposisi, dan memulai proses transisi politik dan demokrasi di Myanmar. Untuk mengawasi bagaimana pelaksanaan atau implementasi dari ke 5 resolusi tersebut, UNHRC mengirimkan Pelapor Khusus PBB, yang pertama adalah Paulo Sergio Pinheiro dan yang kedua adalah Thomas Ojea Quintana. Sejak awal Pelapor Khusus PBB untuk situasi di Myanmar yang pertama, Paulo Sergio Pinheiro, tiba di Myanmar, Pelapor Khusus PBB terus menerima informasi mengenai penangkapan dan penahanan para aktivis HAM dan individuindividu dalam hubungannya dengan pembuabaran dengan kekerasan aksi demonstrasi damai yang berlangsung pada bulan September 2007. Dari laporan
123
yang diterima terdapat indikasi adanya tren berlanjutnya penangkapan individuindividu yang memiliki hubungan dengan organisasi-organisasi yang terlibat di dalam demonstrasi damai pada bulan September tersebut, atau mereka yang diduga berusaha untuk memberikan keterangan atau informasi visual menyangkut peristiwa pembubaran tersebut. Beberapa orang yang ditahan dilaporkan telah diajukan ke pengadilan dan dikenai beberapa pasal karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi tersebut. Telah dilaporkan juga bahwa pemerintah Junta militer Myanmar terus melakukan penjagaan terhadap para biksu dan biara-biara. Sejak misi pertama Pelapor Khusus PBB di Myanmar pada bulan November 2007, Pelapor Khusus PBB telah mendapatkan keterangan langsung dari 23 biksu yang berpartisipasi dalam aksi demonstrasi damai tersebut. Motivasi dari para biksu untuk mengikuti demonstrasi tersebut adalah kekerasan yang sering dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat dan buruknya standar hidup masyarakat Myanmar.153 Keberadaan para biksu di Myanmar, yang secara tradisional telah menjadi jaring pengaman ekonomi bagai kebanyakan orang di Myanmar, mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi Myanmar sedang tertekan yang juga ditandai dengan langkanya sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk bantuan sosial. Pada tanggal 29 November 2007, Pelapor Khusus PBB menerima informasi mengenai ditutupnya beberapa biara, termasuk biara Maggin di Yangoon, yang secara tradisional telah memberikan bantuan kepada para 153
Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar”, no. A/HRC/6/14, dalam Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro, mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, no. A/HRC/7/24, hlm. 6, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pdf?OpenElement, diakses tanggal 20 November 2008.
124
penderita HIV/AIDS. Penutupan biara-biara tersebut diduga oleh para kepala biara, memiliki hubungan dengan dukungan para biksu di biara-biara tersebut terhadap aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007. Di kota-kota utama seperti Mandalay, biara-biara yang ada dikelilingi dan dijaga ketat oleh pasukan keamanan. Pada tanggal 4 Desember 2007, Pelapor Khusus PBB mengirimkan surat kepada Pemerintah Junta militer Myanmar yang berisi tiga daftar orang-orang yang diduga telah ditahan, dibunuh atau hilang pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai, dan meminta kepada informasi tentang kasus tersebut. Permintaan Pelapor Khusus PBB tersebut ternyata tidak ditanggapi oleh pemerintah. Mengacu kepada hukum HAM internasional, penangkapan dan penahanan harus dilakukan dengan aturan-aturan hukum formal dan substantif, baik aturan hukum domestik maupun internasional, termasuk dengan mengedepankan prinsip-prinsip non-diskriminasi. Di bawah Universal Declaration of Human Rights, sebuah tindakan penangkapan oleh tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut, seperti para aparat hukum. Lebih lanjut, hak-hak para tahanan, seperti hak untuk mendapatkan informasi terkait tuduhan yang diberikan kepadanya, hak untuk mendapatkan akses kepada konsultan hukum/pengacara dan perawatan medis, hak untuk menginformasikan kepada keluarganya tentang keberadaannya, dan hak untuk mengajukan peninjauan hukum terhadap materi atau masalah yang menjadi dasar bagi penangkapan atau
125
penahanannya, tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan mengubah istilah
penagkapan dan penahanan menjadi “penyelidikan”. Lebih jauh lagi, di dalam prinsip ke 2 dari Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment menyatakan : “arrest, detention or imprisonment shall only be carried out strictly in accordance with the provisions of the law and by competent officials or persons authorized for that purpose”154
Selama misi yang dilakukan oleh Pelapor Khusus PBB pada bulan November 2007, Pemerintah Junta militer Myanmar memberikan konfirmasi tentang penahanan 93 orang. Pada tanggal 4 Desember 2007, Pelapor Khusus menyampaikan daftar tambahan 653 orang yang dipercayai masih ditahan pada saat itu. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB tidak mendapatkan tanggapan atas permintaan konfirmasinya dari Pemerintah Junta militer Myanmar, walaupun demikian, Pelapor Khusus PBB telah mendapatkan informasi dari sumber nonpemerintah tentang dibebaskannya 100 orang yang ditangkap dalam hubungannya dengan demonstrasi damai tersebut. Pelapor Khusus PBB mengakui adanya kesulitan dalam melacak tentang informasi pembebasan 100 orang tersebut dikarenakan tidak adanya informasi mengenai tanggal pasti pembebasan para tahanan tersebut, dan tidak dapatnya Pelapor Khusus PBB mendapatkan 154
Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro, mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, no. A/HRC/7/24, hlm. 6, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pdf?OpenElement, diakses tanggal 20 November 2008.
126
konfirmasi langsung dari pihak berwenang di Myanmar terkait dengan kemajuan positif tersebut melalui kunjungan tindak lanjut yang dilakukan Pelapor Khusus PBB ke Myanmar. Setalah Pelapor Khusus PBB meninggalkan Myanmar pada tanggal 15 November 2007, Pelapor Khusus PBB masih terus menerima informasi tentang berlanjutnya tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Sekitar 70 orang dilaporkan telah ditangkap antara tanggal 15 November 2007 sampai tanggal 18 Februari 2008 dalam hubungannya dengan dugaan berpartisipasinya mereka dalam aksi demonstrasi. Sampai dengan laporan Pelapor Khusus PBB pertama dibuat, sekitar 62 dari mereka masih ditahan. Diantara mereka yang ditangkap dan ditahan tersebut, banyak juga para aktivis senior gerakan pro-demokrasi di Myanmar, diantaranya adalah Khin Moe Aye, Kyaw Soe, Zaw Min, Htun Htun Win, Myo Yan Naung Thein – yang seluruhnya merupakan tahanan politik terkemuka di Myanmar yang juga sebagai anggota kelompok Mahasiswa Angkatan 88 – mereka ditangkap dari tanggal 16-18 Desember 2007. Mereka dilaporkan ditangkap karena merekam dalam bentuk film/video peristiwa demonstrasi damai beserta dengan pembubaran demonstrasi dengan kekerasan oleh aparat Myanmar pada bulan September 2007 dan memberikannya kepada media asing. Selanjutnya ada Aung Aung Gyim, Myat Hsan, dan Win Maw yang juga tahanan politik terkemuka, dilaporkan ditangkap pada bulan Desember 2007 karena mencoba mengirim video berdurasi panjang dari peristiwa demonstrasi di bulan September kepada media internasional. Disamping itu ada juga para aktivis politik seperti Ye Thein (alias
127
Ko Bo Naung), Myint Naing, U Khin Hla, Mon Min Soe, Htav Myint, Dr. Aung Moe Nyo, Sin win, Nay Myo Kaw, Htet Htet Aung dan Kyaw Zin Win, yang ditangkap sejak Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar memulai misinya yang pertama. Pada tanggal 18 Februari 2008, U Thet Wia (alias Pauk Sa) Ketua dari NLD wilayah Sanchaung dilaporkan ditangkap kembali setelah penangkapan dan pembebasannya pada bulan September 2007 dan bulan Januari 2008. Pada penangkapannya di bulan Januari 2008, diduga polisi melakukan penggeledahan tubuh Pauk Sa dan menemukan perangkat memori digital dengan informasi tentang buruh paksa dan anak-anak di dalam konflik bersenjata yang terjadi di Myanmar. Pada tahun 2007, ketika peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada tanggal 10 Desember, bersamaan dengan kampanye global tahunan dalam rangka peringatan 60 tahun Universal Declaration of Human rights, dimana secara tradisional, perayaan Hari HAM Internasional tersebut dirayakan oleh jutaan penegak HAM di seluruh dunia yang melakuakn perjuangan setiap hari untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB sangat menyesalkan karena para penegak HAM di Myanmar dilaporkan telah diganggu pada saat akan menyiapkan acara peringatan Hari HAM Internasional. Aung Zaw Oo salah satu penegak HAM di Myanmar yang juga anggota jaringan kerja Human Rights Defenders and Promoters, dilaporkan telah ditangkap pada tanggal 26 November 2007 pada saat menyiapkan materi-materi acara peringatan
128
tersebut. Pelapor Khusus PBB mendapatkan informasi dari Pemerintah Junta militer Myanmar bahwa Aung Zaw Oo telah dikenakan tuduhan Pasal 17 ayat (1) Unlawful Association Act (1908), Pasal 13 ayat (1) Immigration (Emergency Provision) Act 1947, dan Pasal 505/B Penal Code. U Tin Hla, salah seorang anggota Federation of Trade Union – Burma, dilaporkan telah ditangkap beserta dengan seluruh anggota keluarganya pada 28 November 2007 karena mengorganisir dan mendorong partisipasi para pekerja jalan pada demonstrasi bulan September 2007. Selanjutnya Pemerintah Junta militer Myanmar melaporkan bahwa U Tin Hla telah dibebaskan pada tanggal 25 Oktober 2007. Terkait dengan berbagai informasi tersebut, Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar meusatkan perhatian kepada pencarian jumlah pasti para aktivis politik, para penagak HAM, dan para jurnalis yang ditahan beserta alasan penangkapan dan penahanan mereka, termasuk adanya dugaan beredarnya laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar kepada Dewan HAM PBB. Dalam laporan Pelapor Khusus PBB yang pertama, paulo Sergio Pinheiro, Pelapor Khusus PBB telah menerima nama-nama dari 718 orang yang ditangkap antara bulan Agustus 2007 sampai dengan Februari 2008, yang dilaporkan masih ditahan hingga saat ini. Data tersebut, termasuk 93 orang tahanan, yang merupakan pernyataan resmi Pemerintah Junta militer Myanmar selama misi Pelapor Khusus PBB pada bulan November 2007. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB telah menyampaikan versi terbaru dari daftar yang disampaikan pada bulan
129
Desember 2007, dan khususnya, permintaan Dewan HAM PBB informasi tentang 718 orang yang ditahan, termasuk wialyah penangkapan, tempat penahanan, dasar hukum penahanan, tuntutan yang dikenakan, dan informasi rinci tentang pengadilan terhadap para tahanan tersebut berikut dengan hukuman yang dijatuhkan. Pada saat pertemuannya dengan pihak pengacara umum di Myanmar pada bulan November 2007, Pelapor Khusus PBB menyatakan perhataiannya terhadap penahanan dalam jangka panjang tanpa adanya jaminan hukum bagi para tahanan tersebt. Palapor Khusus PBB juga menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil/berimbang baik dalam kasus sispil maupun kasus kejahatan dan efektif tidaknya perlindungan terhadap HAM tergantung kepada akses kepada pengadilan yang kompeten yang dapat memberikan keadilan baik bagi para tersangka, maupun bagi pihak yang merasa dirugikan atau menjadi korban. Prinsip-prinsip kesetaraan di hadapan hukum harus dijamin melalui sejak masa pra-sidang dan dalam tahapan-tahapan persidangan, dan setiap orang harus memiliki akses yang sama ke pengadilan untuk menuntut hak-hak mereka. Selama pertemuan Pelapor Khusus PBB dengan pejabat Pemerintah Junta militer Myanmar, Pelapor Khususu mengamati bahwa terdapat alasan yang nyata untuk meyakini bahwa hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum jatuhnya putusan pengadilan bagi para tahanan telah dihilangkan. Penangkapan yang terus berlangsung terhadap setiap orang yang dianggap bermaksud mengganggu atau mengkritisi kekuasaan Pemerintah junta militer
130
Myanmar sejak bulan September 2007, dilaporkan dilakukan tanpa mengacu kepada prosedur penanganan kejahatan. Beberapa orang dilaporkan telah ditangkap tanpa tuntutan dan ditahan di lokasi yang tidak diketahui, dengan pusatpusat interograsi yang berbeda. Setelah proses interograsi, beberapa orang dibebaskan tanpa tuntutan, sementara yang lainnya dimasukan ke penjara Insein di Yangon. Di dalam penjara tersebut, para tahanan dibertahukan tentang tuntutan yang dikenakan kepada mereka di bawah ketentuan berbagai macam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Criminal Code). Sementara itu, sebagian besar tahanan dikenakan tuntutan berdasarkan Pasal 505/B Penal Code: “untuk membuat, menerbitkan atau mengedarkan pernyataan-pernyataan, berbagai rumor atau laporan, dengan maksud untuk atau ingin menyebabkan ketakutan atau keadaan bahaya di dalam masyarakat”, selain itu, aturan hukum yang lain seperti Printer and Publisher Act, Emergency Provision Act, dan Unlawful Association Act, juga dikenakan kepada para tahanan. Pelapor Khusus PBB juga mendapatkan informasi bahwa polisi di Myanmar dapat melakukan penahanan terhadap para tersangka lebih dari 24 jam, setelah itu baru polisi menetapkan kasus dan landasan hukum bagi tindakan penahanan tersebut. Mengacu kepada Pasal 6 Criminal Procedure (hukum internasional), jika kasus tersebut diterima oleh pengadilan, maka pengadilan memberikan waktu maksimal 14 hari bagi polisi untuk melakukan investigasi. Setelah jangka waktu 14 hari tersebut habis, polisi harus membawa para tersangka kembali ke pengadilan dan mendapatkan jangka waktu 14 hari kembali untuk melengkapi kerangka kasus para tersangka. Setelah 28 hari, polisi harus
131
membawa kasus tersebut ke pengadilan. Jika dalam penyelidikannya ternyata polisi tidak menemukan bukti yang dibutuhkan untuk menuntut para tersangka di pengadilan, maka para tersangka harus dibebaskan. Sampai dengan diselasaikannya laporan misi pengawasan yang dilakukan oleh
Pelapor Khusus PBB, terdapat 145 tahanan yang diduga telah dikenai
tuntutan pasal dari berbagai macan aturan hukum/UU, sementara yang lainnya menjadi tahanan tanpa ada dasar hukum yang jelas. Mengacu kepada laporan yang diterima oleh Pelapor Khusus PBB, sekitar 40 tahanan dikenakan hukuman penjara antara 2-22 tahun. Selain itu, banyak para tahanan yang ditahan tanpa melalui proses persidangan/pengadilan; dalam kasus yang lain, peradilan Myanmar justru melakukan persidangan di penjara. Pada sebagain besar kasus, para tahanan dilaporkan tidak memiliki pendamping/perwakilan hukum. Ye Myat Hein, seorang mahasiswa berusia 17 tahun, telah dikenai hukuman tanpa melalui proses persidangan. Dia juga tidak diberikan akses terhadap para pengacara dan tidak dapat menerima kunjungan dari keluarganya. Mahasiswa yang lain, Sithu Maung (alias Ya Pyeit) ditahan tanpa pernah dibawa ke pengadilan. U kaw Vi da dan Zaw Thi la, keduanya adalah seorang biksu, ditahan tanpa pernah melalui proses persidangan dan dikenakan hukuman di bawah Penal Code. Dalam beberapa kasus, para tahanan melakukan proses persidangan di dalam pengadilan khusus di penjara Insein, dengan situasi penjara dan
bukan merupakan sebuah pengadilan yang terbuka. Mengacu kepada
beberapa sumber yang memberikan kontribusi informasi kepada Pelapor Khusus
132
PBB, keluarga sekalipun dan kadangkala pengacara para tahanan tidak diijinkan masuk ke dalam pengadilan ini. Anggota kelompok mahasiswa Angkatan 88, Min Ze Ya, Paw U Tun (alias Min Ko Naing), Ko Ko Gyi, Pyone Cho (alias Htay Win Aung), Aung Thu, Kyaw Kyaw Htwe (alias Marky), Kyaw Min Yu (alias Jimmy), Mya Aye (alias Thu Ya), dan Yin Htoo Aung, seluruh ditangkap pada saat terjadinya demonstrasi bulan September 2007, dilaporkan dikenai hukuman sesuai dengan Pasal 17 ayat (20) Printer and Publisher Registration Act. Sekitar 33 biksu, termasuk pemimpinnya, U Gambira, dilaporkan telah dijatuhi hukuman sesuai dengan Penal Code, Emergency Provision Act dan Unlawful Association Act. Para anggota NLD, U Ba Myint, Kaw Maung, U Pe Sein, Aye Cho, Min Aung, U Nay Win, U Khin Hla, dan Thi Ha, yang ditangkap anatara bulan September sampai mOktober 2007, dikenai hukuman sesuai dengan Penal Code, dengan masa hukuman penjara antara 2-22 tahun. Selain itu, seorang politisi, aktivis HAM, anggota NLD, dan anggota jaringan kerja Human Rights Defenders and Promoters, Thi Ha, dilaporkan dikenai hukuman penjara selama 22 tahun. Thi Ha ditangkap pada tanggal 8 September 2007 karena menyebarkan leaflet dengan isi pesan diantaranya “It’s time to get back on track” dan “where there are students, there are student unions”. Dia dihukum dengan tuduhan melakukan hasutan dan provokasi untuk menyerang kedamaian masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 124 (a) dan 505 (b) Penal Code. Selanjutnya, para penagak HAM seperti Thet Oo, Zaw Tun (Htun) dan Ko Shwe Pain (alias Htav Naing Linn), ditangkap pada tanggal 15 September dan 19 Oktober 2007 dengan tuduhan
133
sesuai ketentuan Pasal 505 (b) Penal Code dan mendapatkan hukuman 2 tahun penjara. Menurut sumber kontribusi informasi Pelapor Khusus PBB, menyatakan bahwa Thet Oo ditahan tanpa dibawa ke depan pengadilan; pengadilan Myanmar menyatakan bahwa mereka akan melakukan persidangan di penjara Prome, tempat dimana Thet Oo diisukan mendapatkan putusan pengadilan. Selain itu masyarakat sipil seperti Ya Zar, Zaw kyi, dan Shwe Thwe, yang ditangkap pada bulan September 2007, dikenai tuntutan sesuai dengan ketentuan di dalam Penal Code dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun hanya karena menyediakan air minum pada saat demoonstrasi bulan September 2007 bagi para biksu yang ikut melakukan demonstrasi. Aung Naing Soe, seorang masyarakat sipil berusia 33 tahun, yang ditangkap pada bulan Oktober 2007, dijatuhi hukuman 3 tahun 9 bulan penjara dan ditahan di penjara Thandwe yang sunyi. Selain masyarakat sipil tersebut, para biksu juga dijatuhi hukuman penjara. U Einthariya dan U Wannathiri, keduanya merupakan biksu yang ditangkap pada bulan September 2007, dikenai ketentuan Pasal 143, 505 (b), dan 295 Penal Code, masing-masing dikenakan hukuman penjara selama 7 tahun 6 bulan penjara dan 2 tahun penjara. Selanjutnya U wikarmala (Kow Mala), biksu yang ditangkap pada tanggal 14 Oktober 2007, dikenai tuntutan sesuai dengan Pasal 143 dan 295 (A) Penal Code dan dijatuhi hukuman penjara 2 tahun 6 bulan penjara. Ketiga biksu tersebut dipenjara pada penjara di Provinsi Rakhine. Seorang biksu U Pannita (alias U Myint Ye) dikenai tuntutan sesuai dengan ketentuan dalam Penal Code dan dikenai hukuman selama 2 tahun penjara tanpa
134
melalui proses persidangan/pengadilan; putusan hukuman dikirimkan ke penjara Prome tempat dimana biksu tersebut ditahan. Selama kunjungannya ke Myanmar dan mengacu kepada diskusi yang dilakukannya dengan berbagai pejabat berwenang di Yangon yang telah memberikan bukti material terkait adanya 15 orang yang terbunuh, pada bulan Desember 2007, Pelapor Khusus PBB memberikan informasi kepada Pemeirntah Junta militer Myanmar bahwa dia telah menerima informasi yang dapat dipercaya terkait dengan adanya tambahan nama 16 orang yang terbunuh sepanjang aksi pembubaran demonstrasi damai oleh aparat keamanan Myanmar pada bulan September 2007. Pelapor Khusus PBB meminta informasi kepada Pemerintah Junta militer Myanmar terkait dengan penyelidikannya terhadap sebab-sebab kematian orang-orang yang berada di dalam daftar tersebut dan meminta tanggung jawab dari Pasukan Keamanan Myanmar yang melakukan aksi pembubaran tersebut, sesuai dengan ketentua artikel ke 3 dari Code of Conduct for Law Enforcement Officials berikut penjelasannya. Dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB ( A/HRC/6/14), Pelapor Khusus PBB juga mencatat bahwa dia telah menerima adanya dugaan orang lain (di luar daftar yang diberikan oleh pemerintah) yang terbunuh yang diduga dibawa ke krematorium di Yangon dan dibakar disana sekitar pukul 04:00-08:00 a.m. dari tanggal 27-30 September 2007. dalam hal ini, Pelapor Khusus PBB kecewa karena tidak mendapatkan informasi ataupun klarifikasi dari pejabat ataupun pihak keamanan yang terlibat di dalam pembunuhan 15 orang yang diakui oleh Pemerintah Junta militer Myanmar telah menjadi korban pada
135
peristiwa pembubaran aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007. Pelapor Khusus PBB juga kecewa dengan tidak adanya informasi yang pasti terkait dengan adanya laporan terbunuhnya 16 orang di luar yang diakui oleh pemerintah dan dugaan adanya tindakan pembakaran jenazah para korban pada krematorium Ye Way, yang dapat membantunya untuk memberikan gambaran yang komprehnsif tentang situasi HAM di Myanmar. Sejak pembubaran paksa demonstrasi damai pada bulan September 2007, Pelapor Khusus PBB terus menerima informasi terkait dengan masih adanya orang-orang yang hilang dalam peristiwa tersebut. Dalam daftar nama korban, maupun daftar nama orang-orang yang ditangkap dan ditahan paska peristiwa pembubaran tersebut, yang dia tukarkan dengan informasi dari pihak berwenang di Myanmar, Pelapor Khusus PBB mencatat terdapat 74 orang dilaporkan telah hilang. Sejak bulan Desember 2007, Pelapor Khusus PBB telah memperbarui daftar-daftar tersebut melalui berbagai informasi yang dia terima dari berbagai sumber, baik pemerintah maupun non-pemerintah di Myanmar. Selama misinya pada bulan November 2007, Pelapor Khusus PBB bertemu dengan Menteri Informasi Myanmar, Brigjen Kyaw Hsan, yang memberikan keterangan kepada Pelapor Khusus tentang bentuk komisi penyusun konstitusi yang dibentuk pemerintah Myanmar pada tanggal 18 Oktober 2007, dan merupakan langkah ketiga dari 7-steps roadmap to democracy
yang
dicanangkan oleh pemerintah. Kyaw Hsan menyatakan bahwa langkah keempat akan selesai pada saat mayoritas masyarakat Myanmar menyetujui konstitusi yang disusun tersebut melalui sebuah referendum nasional. Lebih lanjut Kyaw Hsan
136
menyatakan kepada Pelapor Khusus bahwa selama menjalankan langkah kelima, yaitu pelaksanaan pemilu, bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih dan untuk dipilih. Masyarakat Myanmar juga memiliki hak untuk mendirikan partai politik dan melakukan kampanye pemilu pada waktu yang telah ditentukan. Pada tahap keenam, pemerintahan baru akan dibentuk. Sedangkan tahap ketujuh dijelaskan oleh Kyaw Hsan sebagai langkah lanjutan untuk membangun sebuah negara demokratik baru. Kyaw Hsan menyatakan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa konvensi nasional telah menjalankan prinsip-prinsip dasar yang akan memandu proses penyusunan konstitusi baru tersebut. Prinsip-prinsip ini, mengacu kepada pernyataan Kyaw Hsan kepada Pelapor Khusus PBB, menjamin keadilan, kebebasan, dan kesetaraan untuk seluruh warga negara Myanmar untuk dapat menikmati kesamaan hak di hadapan hukum; tidak ada diskriminasi terhadap ras/etnis, gender atau status ekonomi; dan kebebasan memeluk dan menjalankan agama/keyakinan spiritual. Kyaw Hsan juga menegaskan bahwa mengacu kepada hukum, setiap warga negara akan memiliki hak dan kebebasan untuk berbicara, berekspresi, berserikat dan berorganisasi secara damai. Hak-hak etnis nasional untuk menggunakan dan mengembangkan bahasa, literatur, kesenian danbudaya mereka juga dijamin di dalam prinsip-prinsip tersebut. Di dalam konstitusi baru Myanmar akan dibagi ke dalam tujuh wilayah, tujuh propinsi (Kachin, Kayah, Kayin, Shan, Chin, Mon, dan Rakhine), satu divisi otonomi khusus buat etnis/wilayah Wa dan 5 daerah otonomi khusus untuk etnis nasional Pa-o, Danu, Palaung, Kokang, dan Naga. Perangkat tambahan akan dibuat didalam konstitusi
137
baru untuk menjamin pelaksanaan hak-hak kelompok minoritas, dimana populasinya tidak mencukupi untuk dibuat sebuah daerah otonomi khusus atau divisi otonomi khusus. Kelompok-kelompok minoritas, yang populasinya tidak mencapai 0.01% dari total populasi nasional akan mendapatkan satu kursi di dalam pemerintahan propinsi masing-masing. Pemerintah mengumumkan bahwa pada tanggal 9 Februari 2008 akan dilaksanakan referendum untuk konstitusi baru pada bulan Mei 2008 dan pemilihan demokratis dengan sistem multi partai pada tahun 2010. Pada tanggal 13 Februari 2008, Pelapor Khusus PBB mendapatkan informasi bahwa masa tahanan Tin Oo deputi untuk Sekretaris Umum NLD yang sudah berusia 80 tahun, telah diperpanjang untuk beberapa tahun lagi dan ketentuan hukum di dalam konstitusi baru akan mencegah Sekretaris Umum NLD, Aung San Suu Kyi untuk menjadi salah satu kandidat dalam pemilu tahun 2010. Pada bulan Oktober 2007, Pelapor Khusus juga menerima informasi tentang adanya dugaan penggunaan kekeuatan/paksaan terhadap para penduduk Myanmar
untuk
berpartisipasi
dalam
kampanye
pro-pemerintah
untuk
mendukung proses penyusunan konstitusi baru dan pelaksanaan referendum. Pada bulan November 2007, Menteri Dalam Negeri Myanmar, Mayjen Maung Oo, menginformasikan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa 20 anggota kelompok HAM nasional telah dibentuk. Kelompok ini, yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, didalamnya termasuk perwakilan dari Kementrian Luar Negeri, Kejaksaan, dan Pengadilan. Badan yang otonom ini akan bekerja di dalam 9 sub kelompok tematik yang memiliki perhatian terhadap isu-isu HAM dalam
138
skala luas. Selama pertemuan Pelapor Khusus PBB dengan 18 anggota pria dan 2 anggota wanita dari kelompok HAM ini pada bulan November, diinformasikan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa ada harapan kelompok ini akan menjadi sebuah institusi HAM nasional di masa yang akan datang. Berdasarkan data dan laporan yang ditemukan oleh Pelapor Khusus PBB, terdapat tanda-tanda buruknya kondisi perekonomian Myanmar dan sektor sosial di Myanmar, yang dapat memperburuk situasi kemanusiaan di Myanmar. Mengacu kepada profil kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada bulan Juni 2007, pengeluaran untuk makanan mewakili 73% dari seluruh pengeluaran konsumsi. Berdasarkan data agen PBB yang berada di Myanmar, 1 dari 3 anak Myanmar dibawah umur lima tahun, menderita malnutrisi, dan kurang dari 50% anak yang dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan dasar mereka. dalam hal ini setidaknya pemerintah Myanmar telah melakukan kerjasama yang baik dengan lembaga-lembaga internasional seperti World Food Programme (WFP), untuk menyalurkan bantuan makanan kepada komunitas-komunitas masyarakat yang rentan, dengan menyediakan akses bagi para pekerja kemanusiaan menuju ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Dalam hal tenaga kerja paksa di Myanmar, mengacu kepada tercapainya kesepakatan tambahan antara ILO dan pemerintah Myanmar pada Februari 2007 untuk membuat sebuah mekanisme bagi para korban tenaga kerja paksa untuk mendapatkan ganti rugi, Pelapor Khusus PBB menyatakan bahwa beberapa kasus telah berhasil diselesaikan. Mengingat jangka waktu berlakunya mekanisme tersebut hanya satu tahun, maka Pelapor Khusus PBB mendorong pemerintah
139
untuk berkolaborasi degan para pejabat terkait untuk memperkuat efektifitas kinerja mekanisme ini. Dalam hal ini, Pelapor Khusus PBB mengajukan perpanjangan masa berlaku kesepakatan/mekanisme tersebut untuk 12 bulan masa percobaan ke depan sejak tanggal 26 Februari 2008 kepada ILO. Terkait dengan kebebasan berekspresi, bergerak, dan kebebasan untuk berkumpul/berorganisasi, Pelapor Khusus PBB menemukan beberapa fakta sepanjang kunjunganya ke Myanmar. Pelapor Khusus PBB menerima informasi adanya dugaan bahwa pemerintah terlibat dalam pembubaran berbagai aksi yang merupakan inisiatif individu; bahkan aksi untuk tujuan non-politis sekalipun, seperti kampanye perang terhadap HIV/AIDS. Berbagai badan yang dibentuk oleh pemerintah digunakan untuk membungkam suara-suara kelompok oposisi. Seperti Divisi Keamanan dan Registrasi Pers di bawah kementrian Informasi Myanmar yang melakukan sensor terhadap seluruh publikasi untuk menjaga tidak adanya publikasi yang mengarah kepada atau bersifat anti pemerintah. Sensor ini juga berlaku bagi seluruh bentuk ekspresi kesenian. Pemerintah Myanmar juga menjaga arus informasi yang masuk ke masyarakat melalui pemutusan dan pembatasan akses internet, penyitaan chips ponsel genggam yang diselundupkan dari negara-negara tetangga, dan pembatasan terhadap siaran televisi dan radio, baik lokal maupun internasional. Memasuki tanggal 1 Mei 2008, Paulo Sergio Pinheiro, Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, digantikan oleh Tomas Ojea Quintana, yang melakukan kunjungan ke Myanmar sebanyak dua kali. Pada kunjungan pertamanya ke Myanmar, tidak banyak perkembangan yang terjadi seputar situasi
140
HAM di Myanmar. Sepanjang kunjungan terakhir ke Myanmar, Pelapor Khusus PBB berkunjung ke penjara Hpa-An dan Insein. Di kedua penjara tersebut, Pelapor Khusus PBB mengamatis situasi dan kondisi pada bagian dapur dan ruang elayanan medis. Selain itu Pelapor Khusus PBB juga melakukan kegiatan tanya jawab secara acak kepada para tahanan tentang usia, alasan penahanan mereka, apakah mereka sudah pernah diadili atau belum, apakah mereka diberikan akses untuk mendapatkan pendamping hukum, dan lain-lain. di kedua penjara tersebut, Pelapor Khusus PBB juga melakukan wawancara singkat dengan tahanan yang pernah menjadi buruh tanpa upah di Propinsi Kayin dan mencoba untuk melarikan diri karena beratnya pekerjaan yang dibebankan. Kemungkinan bahwa terdapat korban tenaga kerja paksa lainnya di dalam kedua penjara tersebut sangat tinggi. Terkait dengan masalah tenaga kerja paksa ini, Pelapor Khusus PBB menyambut baik diperpanjangnya kesepakatan antara pemerintah dengan ILO untuk mekanisme ganti rugi bagi para tenaga kerja paksa selama satu tahun ke depan. Pelapor Khusus PBB sangat menganjurkan agar kerjasama antara Pemerintah
dengan
ILO
diteruskan
dalam
sudut
pandang
untuk
mengurangi/menghapuskan tenaga kerja paksa di Myanmar, khususnya dalam sudut pandang untuk mengkaji ulang kebijakan domestik dan kebijakan di dalam penjara dalam kaitannya dengan penggunaan para tahanan sebagai tenaga kerja di dalam penjara oleh militer dan adanya para buruh penjara. Selain itu dari semua tahanan yang berbicara dengan Pelapor Khusus PBB, semuanya tidak pernah
141
didampingi oleh pengacara di dalam pengadilan, banyak dari mereka bahkan tidak mengenal istilah “pengacara”.155 Dalam misinya ke Myanmar pada bulan Februari 2009, Pelapor Khusus PBB bertemu secara pribadi dengan 5 tahanan yang telah terlebih dahulu dia pilih. Dia bertemu dengan Dr. Tin Min Htut dan Nyi Pu, keduanya merupakan calon anggota parlemen dari NLD pada pemilu tahun 1990. Mereka berdua juga salah satu penandatangan surat kepada Sekretaris Umum PBB untuk memperhatikan masalah Konstitusi baru Myanmar, dimana setalh itu mereka ditahan pada tanggal 12 Agustus 2008. Pada tanggal 13 Februari 2009, mereka dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Pelapor Khusus PBB juga bertemu dengan Kyaw Ko Ko pemimpin All Burma Federation of Student Unions, yang ditangkap pada tanggal 17 Maret 2008 dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara pada awal bulan Februari 2009. Pelapor Khusus PBB mendapatkan informasi bahwa Kyaw Ko Ko telah dipindahkan ke penjara lain dan keberadaannya masih belum diberitahukan kepada keluarganya. Selanjutnya Pelapor Khusus PBB bertemu dengan Nyi Nyi Htwe, seorang pengacara yang membela para tahanan yang tidak bersalah, dan dia telah dituntut di bawah Pasal 228 Penal Code dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan; dia dibebaskan pada bulan April 2009. Pelapor Khusus PBB juga bertemu dengan Daw Pone Na Mee, seorang biarawati berusia 84 tahun dan telah menjadi biarawati sejak usia 45 tahun. Dia dirangkap bersama dengan para biksu
155
UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, dokumen no. A/HRC/10/19, tanggal 11 Maret 2009, hlm. 6, http://daccess-ods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
142
dan biarawati lainnya di sebuah biara pada bulan Oktober 2007, dan tidak mengetahui alasan kenapa dia ditangkap.156 Dalam misinya ke Myanmar, Pelapor Khusus mengulangi kembali permintaannya untuk penghentian penahanan Daw Aung San Suu Kyi dalam tahanan rumah, dimana hal tersebut telah bertentangan dengan Pasal 9, 10, dan 19 Universal Declaration of Human Rights. Dalam hal ini Pemerintah Myanmar menggunakan 1975 State Protection Act untuk membenarkan penahanan Aung San Suu Kyi, seseorang yang dianggap sebagai “ancaman bagi kedaulatan dan keamanan negara dan kedamaian masyarakat” dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Saat ini batas 5 tahun penjara tersebut telah lewat. Dalam pertemuannya dengan Kepala Pengadilan, Pelapor Khusus PBB menanyakan tentang kasus hukum Aung San Suu Kyi terkait dengan penangkapannya dan bagaimana kondisi penahanannya, yang kemudian disampaikan kepada pejabat yang berwenang pada tanggal 8 Oktober 2008. Tanggapan terhadap pertanyaan Pelapor Khusus PBB tersebut adalah bahwa semenjak perintah penahanan terhadap Aung San Suu Kyi diberikan hingga saat ini, kasus hukumnya belum dibawa ke Pengadilan Tinggi. Lebih jauh lagi, Deputi Kejaksaan Umum menegaskan bahwa Aung San Suu Kyi berada pada penahanan “peradilan-palsu”. Selanjutnya, Pelapor Khusus PBB mengangkat isu tersebut kepada Menteri dalam Negeri, yang menjelaskan bahwa kasusnya sudah diterima oleh Perdana mneteri, yang telah memerintahkan kepada Kepala Pengadilan dan Kementrian Dalam Negeri untuk melihat permasalahan penahanan Aung San Suu Kyi. Dalam hal ini Pelapor Khusus meminta dengan 156
Ibid, hlm. 9
143
segera untuk dilakukan kajian ulang secara netral dan bebas terhadap kasus tersebut.157 Selanjutnya Pelapor Khusus mencatat bahwa terkait dengan hak-hak para tahanan, pentingnya dukungan dana yang disediakan oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) kepada keluarga para tahanan untuk bisa mengunjungi mereka ditahanan masing-masing. Oleh karena itu, Pelapor Khusus PBB meminta kepada aparat berwenang untuk bekerjasama kembali dengan ICRC dan mengijinkan mereka untuk melakukan kunjungan ke penjara yang telah dilarang oleh pemerintah sejak Desember 2005.158 Terkait dengan masih adanya aturan hukum di Myanmar yang membatasi secara ekstrim kebebasan bersekspresi dan berpendapat, maka berdasarkan kepada diskusi yang dilakukan Pelapor Khusus PBB dengan Jaksa Agung, terkait juga dengan masalah pelaksanaan elemen HAM Myanmar yang pertama, Pelapor Khusus PBB sangat mendorong pemerintah untuk melengkapi proses pengkajian ulang dan perubahan hukum-hukum domestik yang tidak sejalan dengan standarstandar dan ketentuan-ketentuan internasional terkait dengan HAM di dalam Konstitusi baru Myanmar, dalam rangka memberikan ruang penuh bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat, sama halnya dengan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, termasuk menjamin kebebasan dan independensi media.159
157
Ibid, hlm. 10 Ibid, hlm. 11 159 Ibid, hlm. 12 158
144
Sedangkan terkait dengan konflik antara pemerintah dengan kelompokkelompok bersenjata berbasiskan etnik di beberapa wilayah di Myanmar, pelapor Khusus PBB mendesak pemerintah dan seluruh kelompok bersenjata di Myanmar untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat sipil, khususnya wanita dan anak-anak, selama terjadinya konflik senjata. Dia meinta kepada pemerintah Myanmar untuk tunduk kepada hukum kemanusiaan internasional, khususnya kepada 4 Konvensi Geneva, dimana Myanmar juga terlibat di dalamnya, khususnya pada Pasal 3 Konvensi Geneva yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil dari perlakuan tidak berprikemanusiaan dan kekerasan terhadap kehidupan/masyarakat dan pers.160
B. Kendala Penegakan HAM di Myanmar Dalam setiap laporan yang disampaikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar kepada UNHRC, disampaikan beberapa kendala terkait dengan penegakan HAM di Myanmar. Dalam hal ini, permasalahan atu pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar dapat dikategorikan menjadi bebarapa bidang, seperti yang tertuang di keseluruhan resolusi yang telah dikeluarkan oleh UNHRC terhadap Myanmar. Beberapa bidang masalah tersebut dapat dilihat dari permintaan secara keseluruhan resolusi UNHRC terhadap Pemerintah Junta militer Myanmar, sebagai berikut:161
160
Ibid, hlm. 14 UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana, on the 161
145
1) Menjamin penghormatan penuh terhadap HAM dan kebebasankebebasan mendasar dan untuk menyelidiki dan membawa para pelaku pelanggaran
HAM
dalam
peristiwa demonstrasi
damai
pada
September 2007 ke pengadilan; 2) Membebaskan dengan segera, orang-orang yang ditangkap dan ditahan pada saat peristiwa demonstrasi damai tersebut, dan untuk membebaskan
seluruh
tahananpolitik
di
Myanmar,
termasuk
Sekretaris Umum NLD, Daw Aung San Suu Kyi, dan untuk menjamin penahanan tersebut telah memenuhi standar-standar internasional, termasuk menjamin kemungkinan untuk dapat menjenguk para tahanan; 3) Menghapuskan segala larangan terhadap aktifitas politik yang dilakukan secara damai oleh seluruh orang melalui, memberikan jaminan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di depan umum dan kebebasan berekspresi, termasuk menjamin kebebasan dan independensi media, dan untuk menjamin tidak dibatasinya akses kepada media informasi bagi seluruh masyarakat Myanmar; 4) Segera melaksanakan dialog nasional dengan seluruh pihak dengan pandangan untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang sebenarnya, demokratisasi dan tercapainya penegakan hukum;
implementation of Council Resolution S/51 and 6/33”, dokumen no. A/HRC/8/12, tanggal 3 Juni 2008, hlm. 4, http://daccess-ods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
146
5) Berkerjasama kemanusiaan,
secara
penuh
dengan
organisasi-organisasi
termasuk
dengan
memberikan
jaminan
penuh,
keselamatan, dan akses bantuan kemanusiaan bagi seluruh masyarakat Myanmar yang membutuhkan. Dari kelima permintaan yang terdapat secara umum di dalam seluruh resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, dapat diketahui bidang-bidang masalah penegakan HAM di Myanmar, yaitu; kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan kedudukan yang sama di hadapan hukum, hak untuk berpartisipasi di dalam politik dan pemerintahan, hak untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara tanpa membedakan etnis, ras, agama, dan status ekonomi. Dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat, selama masa pemantauan dan kunjungan 2 Pelapor Khusus PBB, Paulo Sergio Pinheiro dan Tomas Ojea Quintana, di Myanmar masih belum menunjukan perubahan yang signifikan terhadap jaminan kebebasan bagi seluruh warga masyarakat Myanmar untuk bisa mengungkapkan pendapat dan berkespresi di depan umum. Sejak awal, dalam setiap aksi demonstrasi yang mengkritik pemerintah ataupun anti pemerintah, para demonstran selalu dihadapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar. Penetapan kerangka kerja hukum terkait dengan masalah kebebasan berkespresi dan berpendapat justru dijadikan alat oleh pemerintah untuk membungkam suara kelompok oposisi. Adanya Press Security and Registration
147
Division of the Ministry of Information, digunakan oleh pemerintah untuk menguji setiap publikasi dalam bentuk apapun yang diduga memiliki untus atau bertujuan untuk mengembangkan opini anti pemerintah. Kegiatan sensor yang sama juga dilakukan oleh pemerintah secara ketat dalam bidang kesenian, musik, film dan segala bentuk ekspresi kesenian. Seluruh penulis, penerbit, jurnalis, dan penyair harus memasukan biaografi pribadi masing-masing kepada badan sensor pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berusaha untuk menyelidiki apakah individu-individu tersebut memiliki keterkaitan dengan orang lain atau kelompokkelompok yang dapat mengancam kekuasaan pemerintah. Setiap orang yang terbukti atau menjadi tersangka karena memiliki keterkaitan dengan kelompok oposisi, maka namanya kan dimasukan ke dalam daftar hitam dan berbagai hasil karyanya tidak akan diijinkan untuk diterbitkan.162 Pembatasan kebebasan berkekspresi di Myanmar dapat dilihat dari ebebrapa penangkapan yang idlakukan oleh pemerintah, seperti ditangkapnya beberapa jurnalis dan dilarangnya beberapa media di Myanmar untuk beroperasi/mengudara. Pada tanggal 15 Februari 2008, Thet Zin, Kepala Editor surat kabar Myanmar Nation (Myo Myanmar), dan Sein With Maung (alias Ko Soe), manajer kantor surat kabar yang sama, telah ditangkap di kantor mereka di Yangoon. Dilaporkan, bahwa dalam peristiwa penangkapan di kantor surat kabar tersebut polisi melakukan penggeledahan seluruh isi kantor dan menyita salinan
162
UNHRC, “Human Rights Situation That Require Council’s Attention: Report of thae Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”, dokumen no. A/HRC/7/18, tanggal 7 Maret 2008, hlm. 9, http://daccess-ods.un.org/TMP/1594674.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
148
laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, beberapa buku, cd yang berisi gambar/foto-foto peristiwa demonstrasi pada bulan Agustus dan September 2007, ponsel genggam, dan sajak-sajak yang ditulis oleh Sein Win Maung dan tulisan-tulisan yang berisi kritik terhadap Pemerintah Junta militer Myanmar. Pemerintah mulai melarang kegiatan produksi dan distribusi surat kabar Myanmar Nation pada tanggal 19 Februari 2008. selanjutnya ada Nay Phone Latt (alias Nay Myo Kyaw) yang ditangkap pada tanggal 29 Januari 2008 karena diduga mengirimkan artikel-artikel tentang ekspresi generasi muda Myanmar melalui halaman-halaman blog internetnya. Dalam melihat kasus Thet Sin dan Sin With Maung, Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar bersama dengan Pelapor Khusus PBB untuk promosi dan perlindungan hak untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi secara bebas dan Perwakilan Khusus Sekretaris Umum Human Rights Defenders, mengirimkan seruan bersama kepada Pemerintah Junta militer Myanmar pada tanggal 21 Februari 2008.163 Lebih lanjut, Pelapor Khusus PBB terus menerima informasi tentang ditangkapnya para artis dan aktivis yang lain. Saw Wai dilaporkan ditangkap pada tanggal 22 Januari 2008 karena menulis sajak yang mengkritik kepemimpinan Junta militer di Myanmar. Dua orang penyair lainnya, Ko Ko Maung (alias Zaw Lu Sein) dan Ko Min Han ditangkap pada bulan Januari 2008. selain itu Ko Win
163
Op.Cit., Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro, mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, no. A/HRC/7/24, hlm. 7.
149
Maw seorang artis-gitaris dilaporkan telah ditangkap pada tanggal 27 November 2007.164 Dalam hal kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, Pelapor Khusus PBB mencatat bahwa pada tahun 1955, pemerintah Myanmar telah meratifikasi Konvensi ILO no. 87 tentang Kebebasan untuk Berasosiasi dan Hak untuk Mengorganisir. Dalam hal ini pemerintah Myanmar tidak memenuhi kewajiban yang ada di dalam konvensi tersebut. Partai politik dan organisasi-organisasi sosial yang ada di Myanmar telah digilangkan kemampuannya oleh pemerintah untuk beroperasi dengan bebas dan aman. Dalam hal ini, secara khusus pemerintah membatasi ruang gerak para lawan politiknya. Pemerintah juga terus melanjutkan tekanan kepada para anggota NLD dan Shan Nationalities League for Democracy untuk mundur dari dunia politik dan telah memperbarui masa tahanan ruma pemimpin NLD Daw Aung San Suu Kyi dan Tin Oo. Secara umum, kebebasan utnuk berasosiasi hanya diberikan kepada organisasi-organisasi pendukung pemerintah, termasuk asosiasi-asosiasi perdagangan, badan-badan profesional, dan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh pemerintah, seperti Union Solidarity and Development Association.165 Selanjutnya dalam masalah peradilan dan hukum di Myanmar, ternyata digunakan oleh pemerintah juga untuk menekan gerakan kelompok oposisi. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB secara serius memberi perhatian kepada
164
Ibid, hlm. 8 Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situation That Require Council’s Attention: Report of thae Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”, dokumen no. A/HRC/7/18, hlm. 10. 165
150
budaya lama di Myanmar tetang tidak akuntabelnya peradilan dan hukum di Myanmar dalammenangani berbagai kasus pelanggaran HAM, yang berakar dari strukutur pemerintah dan institusi-institusi nasional, secara serius telah menghalangi penegakan hukum dan tegaknya serta bebasnya lembaga peradilan di Myanmar. Pelapor Khusus PBB sangat menyesali tidak adanya independensi dalam peradilan Myanmar dan hal tersebut telah memberikan dasar hukum bagi penyalahgunaan kekuasaan, pembuatan keputusan secara sewenang-wenang dan memebebaskan dari tuduhan para pelaku pelanggaran HAM di Myanmar. Kapasitas
institusi-institusi
penegak
hukum
dan
independensi
serta
ketidakberpihakan lembaga peradilan harus segera diciptakan oleh pemerintah. Situasi ini ini telah memperkuat ketidaksetaraan dan meningkatkan jarak antara masyarakat miskin dan kaya.166 Sedangkan untuk masalah, etnis nasional yang telah menjadi sumber konflik etnik di Myanmar sejak masa kemerdekaan, sudah mulai dapat diselesaikan oleh pemerintah melalui negosiasi dan berbagai kesepakatan gencatan senjata. Selain itu kelompok-kelompok etnis nasional juga sudah diakomodir kepentingan politiknya melalui Konvensi Nasional untuk konstitusi baru Myanmar. Sedangkan untuk masalah bantuan kemanusiaan, Myanmar saat ini sudah muali membuka diri terhadap masuknya berbagai lembaga kemanusiaan internasional. Khusus untuk masalah ini, peran kelompok Tri-partite yang melibatkan ASEAN sangat besar.
166
Ibid.
151
Dapat disimpulkan bahwa kendala penegakan HAM di Myanmar terletak kepada sikap Pemerintah Junta militer Myanmar yang tidak mau melakukan dialog, diskusi, maupun bertukar strategi tentang arah perubahan dan kebijakan nasional Myanmar ke depan dengan kelompok oposisi, khususnya kelompok prodemokrasi, dan juga menanggapi secara setengah hati berbagai permintaan dan desakan dari dunia internasional yang meminta agar Pemerintah Junta militer Myanmar mengakhiri segala bentuk kekerasan, membebaskan para tahanan politik dan aktifis gerakan pro-demokrasi serta masyarakat sipil yang ditahan pada rangkaian aksi demonstrasi anti pemerintah, dan memulai sebuah proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi. Walapun dalam beberapa hal, Pemerintah Myanmar menyatakan kesiapannya untuk melakukan sebuah transisi politik dan konsolidasi demokrasi, yang dituangkan dalam 7-step roadmap to democracy, yang dimulai melalui pembentukan Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru Myanmar, referendum untuk Konstitusi baru Myanmar, serta rencana digelarnya pemilu dengan sistem multi partai pada tahun 2010, tetap saja dalam prosesnya Pemerintah Junta militer Myanmar membatasi keterlibatan kelompok-kelompok oposisi, khususnya kelompok pro-demokrasi. Kalaupun pada akhirnya semua elemen gerakan dan politik di Myanmar terlibat dalam proses tersebut, pemerintah Myanmar tetap membatasi peran dari kelompok-kelompok di luar kelompok pemerintah. Selain itu, sikap pemerintah Myanmar yang hingga saat ini tidak mau membebaskan seluruh tahanan politik dan mereka yang ditahan akibat melakukan atau terlibat berbagai aksi demonstrasi anti pemerintah, menunjukan sikap
152
pemerintah yang belum sepenuhnya membuka diri terhadap kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat sebagai hak yang dijamin oleh hukum dan perjanjian internasional. Salah satu unsur demokrasi yaitu kebebasan untuk berserikat dan berkumpul (berorganisasi), yang juga merupakan salah satu hak yang dijamin oleh hukum dan perjanjian internasional, juga masih belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah Myanmar. Hal ini ditunjukan dengan hanya diperbolehnkannya NLD membuka dan melakukan aktifitas politiknya, sedangkan partai-partai lain (mengacu kepada pemilu Myanmar tahun 1990), masih tidak diperbolehkan untuk membuka kantor dan melakukan aktifitas politik. Sikap ini juga menunjukan tidak maunya Pemerintah Junta militer Myanmar mengakomodir dan memberikan ruang bagi saluran aspirasi politik kelompok minoritas, mengingat partai-partai politik di luar NLD, pada pemilu tahun 1990, rata-rata hanya memperoleh suara sekitar 2-11%. Sikap-sikap pemerintah yang belum mau membuka diri sepenuhnya terhadap penegakan HAM dengan alasan perlu adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mencapai sebuah kondisi masyarakat dan negara dimana demokrasi dan HAM dapat berjalan dengan baik, dan untuk menjaga proses tersebut, perlu adanya pengawasan dan pengaturan dari pemerintah yang kuat, dalam hal ini pemerintahan militerlah yang mampu menjalankan tanggung jawab tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip discipline-flourishing democracy yang dicanangkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya membuat proses penegakan HAM sulit untuk dilakukan di Myanmar, atau paling tidak masih membutuhkan
153
waktu yang panjang agar penegakan HAM dan demokrasi yang sebenarnya bisa terwujud di Myanmar.
C. Upaya Yang Dilakukan Di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan PBB Kebijakan PBB dalam bentuk resolusi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mengandung beberapa poin permintaan kepada Pemerintah junta militer Myanmar, yang secara umum merupakan permintaan agar pemerintah Myanmar segera mengakhiri segala bentuk tindakan pelanggaran HAM dan mulai melakukan langkah-langkah perubahan menuju demokrasi. Dalam hal ini, Pemerintah Myanmar sendiri telah menyiapkan tahapan atau langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantarkan Myanmar menjadi sebuah negara yang demokratis. Tahapan atau langkah-langkah tersebut dituangkan dalam 7-steps roadmap to democracy, yaitu sebagai berikut: 1) Pembentukan Konvensi Nasional; yang sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2003 untuk menyusun sebuah konstitusi baru. Konvensi Nasional baru bisa berjalan secara efektif mulai tahun 2005. Konvensi Nasional ini secara ideal merupakan perwakilan dari setiap kelompok atau elemen bangsa di Myanmar, akan tetapi dalam kenyataannya, para perwakilan yang duduk di dalam Konvensi Nasional adalah mereka yang telah berafiliasi dengan pemerintah, termasuk beberapa kelompok etnis nasional yang pada awalnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, lalu kemudian melakukan gencatan senjata dengan pemerintah. Sedangkan kelompok oposisi yang
154
merupakan kelompok pro-demokrasi, yang pada pemilu tahun 1990 memenangkan mayoritas kursi di parlemen, justru tidak dilibatkan, bahkan pemimpinnya Aung Saan Suu Kyi dan Tin Oo hingga saat ini masih menjadi tahanan rumah pemerintah; 2) Penyusunan Konstitusi baru Myanmar; dimulai sejak tahun 2005, maksud dari penyusunan konstitusi baru ini, menurut pemerintah Myanmar adalah untuk menciptakan sebuah dasar hukum bagi proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar, sehingga perubahan yang terjadi di Myanmar dapat bersifat mendasar dan menyeluruh.
Pada
tanggal
19
Februari
2008,
Pemerintah
mengumumkan bahwa draft Konstitusi baru akan selesai pada tanggal 9 April 2008, dan referendum untuk menerima atau menolak konstitusi tersebut akan dilaksanakan pada tangal 10 Mei 2008167; 3) Pelaksanaan referendum untuk Konstitusi baru; setelah draft konstitusi baru selesai dibuat, pemerintah Myamar segera melaksanakan referendum untuk menentukan apakah draft konstitusi tersebut dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Pada tanggal 10 Mei 2008 referendum dilaksanakan oleh pemerintah di seluruh provinsi dan daerah di Myanmar, kecuali 40 kota di divisi Yangon dan 7 kota di Irrawady, dimana referendum di kota-kota tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2008. Kepala Komisi pelaksana Referendum, 167
United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, hlm. 6, http://daccessods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
155
Aung Toe, mengumumkan bahwa draft konstitusi telah diterima oleh 92.4% dari total 22 juta pemilih. Dalam hal ini NLD menolak hasil referendum168; 4) Pengesahan Konstitusi baru; 5) Pelaksanaan pemilu pada tahun 2010; 6) Pembentukan pemerintahan baru hasil pemilu 2010; dan 7) Pembangunan negara dan pemerintahan yang demokratik (langkah lanjutan). 7-steps roadmap to democracy diatas merupakan sebuah langkah positif yang menjadi tanggapan dari pemerintah Myanmar terhadap tuntutan perubahan ke arah demokratisasi dan penegakan HAM yang datang dari dalam dan dunia internasional, termasuk PBB. Dalam hal ini PBB melalui UNHRC yang kemudian mengeluarkan resolusi serta mengirimkan Pelapor Khususnya untuk situasi HAM di Myanmar untuk melakukan pengamatan, penyelidikan dan pemantauan pelaksanaan resolusi PBB, melalui Pelapor Khususnya mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Myanmar, diantaranya dan yang paling utama, khususnya setelah Pemerintah Myanmar mengumumkan 7-steps roadmap to democracy, adalah pelaksanaan atau penegakan 4 elemen utama HAM Myanmar sebelum dilakukannya pemilu 2010. Terkait dengan elemen pertama, yaitu pengkajian ulang terhadap peraturan hukum nasional yang mengacu kepada Konstitusi baru dan kewajiban internasional, Jaksa Agung Myanmar menyatakan kepada Pelapor Khusus PBB 168
Ibid, hlm. 6-7.
156
bahwa mereka telah mengirimkan 380 ahli hukum domestik kepada kementrian terkait untuk memeriksa aturan-aturan hukum domestik, untuk melihat sesuai tidaknya dengan ketentuan-ketentuan tentang HAM yang ada di dalam Konstitusi baru. Sedangkan untuk elemen yang kedua, yaitu dibebaskannya dengan segera seluruh tahanan, termasuk para tahanan politik yang tidak bersalah, Menteri Dalam Negeri Myanmar telah memberikan jaminan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa mereka akan melakukan apa yang direkomendasikan oleh Pelapor Khusus PBB tersebut. Untuk elemen ketiga, yaitu angkatan bersenjata, Pelapor Khusus PBB telah melakukan diskusi dengan Kepala Kepolisian dan pihak Jaksa Penuntut
Umum
di
Kementrian
Pertahanan
Myanmar
terkait
dengan
kemungkinan dilakukannya sesi pelatihan tentang hukum HAM internasional dan hukum kemanusiaan internasional kepada para personil tentara dan kepolisian Myanmar. Ketika sesi tersebut telah dilakukan oleh kedua angkatan, maka telah disepakati bahwa kedua angkatan tersebut akan melakukan konsultasi terkait dengan kurikulum pelatihan selanjutnya dengan Pelapor Khusus PBB untuk memastikan terpenuhinya standar-standar internasional dan kerjasama pada sesisesi pelatihan berikutnya. Sedangkan untuk elemen utama yang keempat, yaitu angkatan bersenjata, meskipun Kepala Pengadilan Myanmar menyatakan bahwa peradilan di Myanmar merupakan peradilan yang bebas dari intervensi pihak manapun, dia tetap menerima masukan dari Pelapor Khusus PBB tentang harus bebasnya para hakim dan pengacara, termasuk jaksa dari intervensi dan kepentingan pihak manapun.169 169
Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention;
157
Dalam bidang tenaga kerja, salah satu kemajuan positif yang terjadi paska masuknya para Pelapor Khusus PBB adalah diperpanjangnya kesepakatan antara ILO dan Pemerintah Junta militer Myanmar tentang mekanisme ganti rugi para korba tenaga kerja paksa di Myanmar yang telah habis pada tanggal 26 Februari 2008. Perkembangan utama lainnya dalam masalah tenga kerja paksa di Myanmar adalah bahwa Pemerintah Myanmar sudah tidak menggunakan tenga kerja paksa untuk pembangunan proyek-protek infrastruktur nasional.170 Pada tanggal 23 September 2008 7 orang tahanan yang tidak bersalah dibebaskan oleh pemerintah yang merupakan pembebasan pertama para tahanan yang tidak bersalah di Myanmar atau para tahanan yang ditangkap dan ditahan karena alasan yang tidak jelas. Selanjutnya pada tanggal 21 Februari 2009, sekitar 29 tahanan yang tidak bersalah kembali dibebeaskan oleh pemerintah.171 Dalam pembebasan para tahanan tanggal 21 Februari 2009 tersebut, pemerintah juga membebaskan sekitar 6,313 tahanan.172
D. Efektifitas Kebijakan PBB Dalam Penegakan HAM di Myanmar Sampai sejauh ini, dengan melihat berbagai fakta yang ada, masalah penegakan HAM di Myanmar masih jauh dari yang diharapkan, walaupun pada
Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, A/HRC/10/19, hlm. 5. 170 Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situation That Require Council’s Attention: Report of thae Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”, dokumen no. A/HRC/7/18, hlm. 9. 171 Op.Cit., 171 UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, dokumen no. A/HRC/10/19, hlm. 4. 172 Ibid, hlm. 11.
158
dasarnya, keinginan pemerintah untuk memulai langkah-langkah menuju ke arah perubahan negara dan bangsa yang demokratik, prosesnya sudah dimulai oleh pemerintah. Dalam hal ini penegakan HAM, dalam konteks berbangsa dan bernegara, tidak dapat dipisahkan dari berdirinya sebuah pemerintahan yang demokratis. Hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya, dimana diketahui bahwa ternyata kendala terbesar dalam penegakan HAM di Myanmar adalah sikap dari Pemerintah Junta militer sendiri yang tidak mau sepenuhnya menjalankan berbagai rekomendasi yang diberikan oleh PBB melalui para Pelapor Khususnya, serta dengan setengah hati menanggapi berbagai permintaan dan desakan dunia internasional untuk segera mengakhiri berbagai bentuk pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap rakyat sipil. Tentu saja sangat mudah untuk menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Pemerintah Myanmar yang sudah puluhan tahun (sejak tahun 1962) berada di bawah kekuasaan militer, serta hidup di dalam isolasi dunia internasional, telah memiliki sebuah dasar yang kuat untuk memegang dan menggunakan kekuasaan negara. Di sisi lain, isloasi yang dilakukan oleh dunia internasional kepada Myanmar, dalam perjalanannya justru meningkatkan rasa tanggung jawab dari kelompok militer berkuasa, bahwa hanya melalui merekalah bangsa Myanmar bisa menjadi bangsa yang besar dalam pengertian tercapainya kesejahteraan masyarakat. Setelah kurang dari satu tahun, aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007 yang diorganisir oleh para biksu (kemudian dikenal oleh media internasional dengan sebutan Saffron Revolution) menjadi perhatian dunia
159
internasional, badai tropis Nargis menyerang Myanmar yang menghancurkan daerah Ayeyarwardy Delta pada bulan Mei 2008, yang membawa kembali Myanmar sebagai pusat perhatian dunia internasional. Dalam hal ini, waktu menjadi hal yang sensitif bagi pemerintah Myanmar, mengingat pada bulan April 2008 pemerintah telah merencanakan dilaksanakannya referendum untuk menerima atau menolak draft konstitusi Myanmar yang baru, dan untuk itu Pemerintah Junta militer telah menetapkan untuk melaksanakan referendum tersebut dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Munculnya tanggapan negatif secara umum dari dunia internasional terkait dengan pelaksanaan referendum di Myanmar, telah memberikan alasan bagi pemerintah untuk menekankan tidak inginnya Pemerintah Junta militer Myanmar mendapatkan intervensi dalam hal masalah dalam negerinya; memperkuat kembali pertahanan terhadap posisi pemerintah militer sebagai pemegang kekuasaan negara, dan menjadi alasan bagi sikap pemerintah yang enggan mempercepat dan membuka akses masuk ke Myanmar bagi berbagai agen internasional yang memebawa bantuan kemanusiaan bagi para korban bencana badai Nargis di Myanmar. Kekuatan-kekuatan barat, seperti AS dan Uni Eropa, bersama dengan negara anggota PBB lainnnya segera mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi dalam rangka memaksa Myanmar untuk membuka pelabuhan dan bandaranya bagi bantuan asing dan meminta PBB untuk bisa
160
mengemban tanggung jawab dalam melindungi bantuan kemanusiaan yang akan masuk ke Myanmar.173 Sikap tidak ramah pemerintah Myanmar terhadap berbagai bantuan asing yang masuk ini, memperlihatkan berlanjutnya pertikaian antara negara-negara barat dan Myanmar sejak munculnya gerakan perubahan dan tuntutan masyarakat untuk demokrasi pada tahun 1988. Bagi pemerintahan negara-negara barat, demokrasi merupakan masalah prinsip, idealisme, dan keyakinan; oleh karena itu membutuhkan ukuran-ukuran kunci dalam melihat perkembangan demokrasi, dimana masalah-masalah di negara-negara lain di luar wilayah Eropa dan Amerika Utara akan diidentifikasi dan diselesaikan. Landasan moral bagi prinsipprinsep dan ide demokrasi, yang diidentifikasi oleh barat, mengacu kepada aturan yang menetukan perlunya terlibat dan mengatur di dalam hubungan-hubungan internasional, dan sewaktu-waktu dapat dijadikan dasar bagi dilakukannya intervensi terhadap sebuah negara.174 Sikap Pemerintah Junta militer Myanmar yang semakin “percaya diri” dengan kemampuannya mengantarkan bangsa Myanmar menuju demokrasi semakin kuat sejalan dengan semakin kuatnya desakan internasional terhadap pemerintah Myanmar. Ironisnya, selama Pemerintah Junta militer Myanmar masih berkuasa, dapat dipastikan penegakan HAM di Myanmar tidak dapat
173
Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner’s mengajukan dikeluarkannya resolusi PBB untuk memaksa Myanmar membuka pelabuhan dan bandaranya dan menerima bantuan asing yang masuk, dalam hal ini, Rusia dan Cina sebagai anggota tetap DK PBB menolak usulan tersebut. 174 Xiaolin Guo, “Democracy in Myanmar and Paradox of International Politics”, Asian Paper, Februari 2009, Institute for Security and Development Policy, Stockholm-Sweden, hlm. 9, www.isdp.eu/files/publications/ap/09/xg09democracymyanmar.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2009.
161
dijalankan sepenuhnya. Oleh karena itu, proses transisi politik menuju demokrasi yang sedang dibangun oleh Pemerintah Junta militer Myanmar saat ini, menjadi kunci penting bagi usaha-usaha penegakan HAM di Myanmar. Dengan melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa satu-satunya jalan untuk menegakan HAM di Myanmar adalah melalui pergantian kepemimpinan dan pemerintahan di Myanmar dari kelompok militer yang otoriter ke tangan kelompok-kelompok sipil yang demokratis. Untuk mencapai hal tersebut, dapat ditempuh dua jalan, yang pertama adalah dengan melakukan proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi seperti yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Junta militer saat ini; dan yang kedua melalui aksi militer untuk menjatuhkan secara paksa rezim militer di Myanmar dan menggantinya dengan kepemimpinan sipil yang demokratis, yang sempat diwacanakan oleh AS175. Sejalan dengan kebijakan PBB terhadap Myanmar saat ini, dalam bentuk resolusi, pengawasan, dan negosiasi, yang pada tataran lapangan dikomunikasikan dan diawasi serta ditekan pelaksanaannya secara intensif oleh Pelapor Khusus PBB,
memperlihatkan
pendekatan
yang
digunakan
oleh
PBB
dalam
menyelesaikan permasalahan di Myanmar, khususnya dalam masalah penegakan HAM di Myanmar, tetap diarahkan kepada pendekatan mediasi dan negosiasi untuk melaksanakan proses transisi politik di Myanmar secara damai. Dalam hal ini, PBB secara prinsip mendukung proses transisi politik yang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar yang terangkum di dalam 7-steps roadmap to democracy. Akan tetapi, mengingat berbagai temuan di lapangan yang 175
Ibid, hlm. 16
162
menunjukan bahwa dalam proses transisi politik yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer itu sendiri masih terjadi atau dilakukannya tindakan oleh pemerintah yang mengandung unsur-unsur pelanggaran HAM serta pelanggaran terhadap prinsip-prinsip umum demokrasi, maka PBB melalui Pelapor Khususnya, mengajukan pemenuhan 4 elemen utama HAM Myanmar oleh Pemerintah Junta militer Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu tahun 2010. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terkait dengan adanya 4 elemen utama HAM Myanmar yang direkomendasikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk dipenuhi Pemerintah Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu tahun 2010, telah mulai dilakukan langkah-langkah oleh pemerintah untuk memenuhi penegakan keempat elemen utama HAM tersebut. Selanjutnya, jika melihat kepada pelaksanaan implementasi resolusiresolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar poin-poin penting yang terdapat di dalam resolusi tersebut, tidak dilakukan atau dilaksanakan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Secara umum, poinpoin atau permintaan PBB melalui resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, dapat dirangkum menjadi beberapa poin utama, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, yaitu penghormatan dan penegakan terhadap HAM serta membawa para pelaku pelanggaran HAM khususnya pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai pada tahun 2007 ke pengadilan; membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi anti pemerintah tanpa kecuali; menghapuskan segala bentuk larangan terhadap aktifitas politik masyarakat dan
163
menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum; melakukan dialog nasional untuk mencari solusi atau melakukan perubahan melalui transisi politik menuju demokrasi; dan bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional, yaitu organisasi-organisasi kemanusiaan dan pemantau HAM. Dalam permintaan yang pertama, yaitu penghormatan dan penegakan terhadap HAM serta membawa para pelaku pelanggaran HAM dalam aksi demonstrasi damai pada tahun 2007 ke pengadilan, tidak dijalankan sepenuhnya oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Bahkan hingga saat ini masih belum jelas siapa saja pihak yang bertanggung jawab atas tewasnya 31 orang pada pembubaran aksi damai tahun 2007 serta hilangnya ratusan orang. Pemerintah Myanmar sendiri tidak pernah melakukan tindakan apapun atau melakukan penyelidikan dengan melibatkan pihak-pihak independen dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan keinginan Pemerintah Junta militer Myanmar untuk tetap menjaga stabilitas kekuasaannya sampai pemerintahan yang baru hasil pemilu 2010 terbentuk. Dalam permintaan yang kedua, yaitu membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, dan seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi pada tahun 2007, juga belum dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah Myanmar. Dari bulan September sampai Desember 2008, sekitar 300 tahanan tidak bersalah dijatuhi hukuman yang sanagt berat, termasuk lusinan tahanan yang dijatuhi hukuman 65 tahun penjara. Pelapor Khusus untuk situasi HAM di Myanmar, bersama dengan Pelapor Khusus untuk hakim dan pengacara independen, Pelapor Khusus untuk
164
pelaksanaan dan perlindungan hak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat secara bebas, Pelapor Khusus untuk situasi para penegak HAM dan Pelapor Khusus untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, menyalahkan beberapa hukuman dan pengadilan yang tidak adil di Myanmar. Pada tanggal 14 Januari 2009, seorang mahasiswa berusia 20 tahun dijatuhi hukuman 104 tahun penjara.176 Saat ini di Myanmar masih terdapat sekitar 2,100 tahanan tidak bersalah yang masih belum dibebaskan oleh pemerintah myanmar. Sebagaian besar dari mereka adalah mereka yang terlibat dalam berbagai aksi anti pemerintah. Para tahanan ini
ditangkap tanpa dasar hukum yang jelas, dan
ditahan tanpa terlebih dahulu menjalani proses pengadilan, bahkan jika ada proses pengadilan, maka pengadilan tersebut sudah dapat dipastikan bersifat tertutup dan tidak adil. Dalam permintaan yang ketiga, yaitu menghapuskan segala bentuk larangan terhadap aktifitas politik masyarakat dan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum, Pemerintah Junta militer Myanmar juga belum dapat menlankan dengan sepenuhnya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, sama halnya dengan kebebasan berserikat dan berkumpul, merupakan elemen penting dalam pelaksanaan pemilu 2010 dan telah diabadikan didalam Konstitusi baru Myanmar. Pada paragraf 8 pembukaan Konstitusi baru Myanmar dinyatakan tentang keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Pada Pasal 6 paragraf (d) Konstitusi baru Myanmar dinyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar 176
Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, dokumen no. A/HRC/10/19, hlm. 4.
165
dari negara adalah penerapan sistem demokrasi multi partai yang benar-benar mengalir dan disiplin. Selanjutnya pada Pasal 406 paragraf (a) dan (b) Konstitusi baru Myanmar dinyatakan bahwa partai politik harus memiliki hak berorganisasi dan mengorganisir secara bebas dan untuk berpartisipasi dan berkompetisi di dalam pemilihan umum. Terakhir, pada Pasal 354 Konstitusi baru Myanmar dinyatakan bahwa setiap warga negara harus diberi kebebasan untuk berekspresi dan menerbitkan pendirian/keyakinan dan pendapat mereka dengan bebas, untuk berkumpul dengan damai tanpa adanya senjata dan untuk membentuk asosiasi dan organisasi. Meskipun demikian, sekitar 16 jurnalis dan blogger di Myanmar masih berada di dalam tahanan.177 Dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kontitusi baru Myanmar tersebut, dalam logika hukum, segala peraturan hukum yang bertentangan dengan Konstitusi baru harus dicabut atau direvisi ulang. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB mencatat ada beberapa peraturan hukum yang harus dicabut atau direvisi karena bertentangan dengan Konstitusi baru Myanmar dan dalam rangka menunjang usaha-usaha penegakan HAM. Beberapa peraturan hukum tersebut adalah: State Protection Act (1975); Emergency Provisions Act (1950); Printers and Publishers Act (1962); Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responbility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); Law Relating to Forming of Organizations (1998); Television and Video Law (1985); Motion Picture Law (1996); Computer Science Development Law (1996); Unlawful Association Act; Electronik Communication 177
Ibid, hlm. 11
166
Law; dan Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code.178 Dari keseluruhan peraturan hukum tersebut, belum ada satupun yang dicabut atau dirubah oleh pemerintah, bahkan peraturan-peraturan hukum tersebut masih digunakan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan penangkapan dan penahanan dengan lasan mengamankan proses transisi politik yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Untuk permintaan yang keempat, yaitu melakukan dialog nasional untuk mencari solusi atau melakukan perubahan melalui transisi politik menuju demokrasi, telah dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar melalui pembentukan Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru Myanmar. Akan tetapi, dalam prosesnya, Konvensi Nasional sendiri tidak melibatkan kelompokkelompok oposisi pro demokrasi seperti NLD dan afiliasinya, yang menjadi salah satu kelompok berpengaruh di Myanmar sejak pemilu tahun 1990. di dalam Konensi Nasional, Pemerintah Junta militer Myanmar juga berusaha untuk merangkul kelompok-kelompok etnis nasional yang selama ini terlibat konfik bersenjata berkepanjangan dengan pemerintah dan kelompok etnis mayoritas. Akan tetapi dalam kenyataannya, hanya kelompok-kelompok etnis nasional yang telah melakukan gencatan senjata dan mendukung pemerintah saja yang bergabung di dalam Konvensi Nasional, sedangkan yang lainnya, yaitu kelompok-kelompok etnis nasional garis keras, seperti NDF tetap menyatakan
178
Op. Cit., United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 18.
167
bertentangan dengan pemerintah dan tersu melanjutkan perlawanan bersenjata kepada pemerintah. Sedangkan untuk permintaan kelima, yaitu bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional, yaitu organisasi-organisasi kemanusiaan dan pemantau HAM, Pemerintah Myanmar telah melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada para korban bencana alam badai Nargis melalui perantara Tripartite Core Group, yang melibatkan ASEAN dan PBB. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa kebijakan PBB melalui UNHRC yang diaplikasikan dalam bentuk resolusi, pengawasan, dan negosiasi, belum dapat secara efektif menekan Pemerintah Junta militer Myanmar untuk dengan segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM. Hal ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk tekanantekanan dari dunia internasional, termasuk PBB, dalam kenyataannya hanya justru membuat Pemerintah Junta militer Myanmar semakin menutup diri dari adanya usaha-usaha dialog dan negosiasi, baik dengan kelompok-kelompok pro demokrasi, maupun dengan dunia internasional. Myanmar telah puluhan tahun mendapatkan sanksi ekonomi dan embargo senjata dari negara-negara barat, hal
ini telah memperburuk
kondisi
perekonomian Myanmar yang pada akhirnya berdampak pada buruknya tingkat kesejahteraan masyarakat Myanmar dalam berbagai aspek, mulai dari aspek pemenuhan kebutuhan pokok, sampai dengan aspek-aspek pemenuhan kebutuhan pelengkap, seperti pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi dalam kenyataannya,
168
Pemerintah Junta militer Myanmar tetap tidak bergeming dengan adanya sanksi ekonomi dan embargo senjata yang dikenakan terhadapnya. Oleh karena itu, jika pendekatan tekanan ini terus dijalankan oleh komunitas internasional, maka pilihan penyelesaian permasalahan di Myanmar, termasuk penegakan HAM, hanya satu, yaitu melalui aksi militer, yang bisa dilakukan oleh DK PBB, atau AS yang telah lama mengajukan opsi dilakukannya aksi militer untuk menjatuhkan pemerintahan militer di Myanmar. Konsekuensi buruk dari penyelesaian masalah Myanmar melalui aksi-aksi militer, dalam kaitannya dengan penegakan HAM, semakin menjadi korbannya masyarakat sipil, yang selama ini sudah tercabut hakhaknya, kini harus menghadapi kondisi perang. Selain itu, jika terjadi aksi militer terhadap Myanmar, dalam kaitannya dengan perkembangan geopolitik dan geostrategi pada tataran global, Rusia dan Cina, yang selama ini menjadi garantor bagi pemerintahan militer di Myanmar, akan menentang keras tindakan tersebut, terlebih jika aksi ini ternyata dipaksakan dan dimulai oleh AS, maka situasi keamanan global yang sempat memanas, khususnya di Eropa akibat dari perang Rusia-Georgia pada tahun 2008 lalu, akan terbawa masuk ke kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Rasionalisasi di atas telah menjadi pertimbangan mendasar bagi dunia internasional saat ini dalam melihat dan mencari solusi bagi Myanmar, dan oleh karena itu, pilihan untuk melakukan aksi militer terhadap Myanmar, masih dijadikan pilihan paling akhir untuk saat ini. Mulai berjalannya proses transisi politik di Myanmar yang ditandai dengan diterimanya Konstitusi baru Myanmar melalui referendum, menjadi ukuran tersendiri dalam melihat efektifitas kebijakan
169
PBB terhadap Myanmar. Dalam hal ini, resolusi tidak dilihat sebagai sebuah alat untuk menekan, akan tetapi sebagai alat untuk membuka dialog dan negosiasi dengan Pemerintah Junta militer Myanmar, sekaligus sebagai alat ukur sejauh mana perkembangan, khususnya perkembangan situasi penegakan HAM di Myanmar. Sehingga kebijakan PBB selama ini melalui UNHRC, berdasarkan fakta-fakta di lapangan, serta berdasarkan sudut pandang di atas, telah berjalan efektif dalam mendorong Pemerintah Junta militer Myanmar melakukan usahausaha berdasarkan model dan pendekatannya sendiri, untuk memulai dan menjalankan proses transisi politik di Myanmar menuju demokrasi. Pemerintahan demokratis yang nanti akan terbentuk paska pemilu 2010 di Myanmar, akan menjadi tolak ukur sebenarnya dalam melihat perkembangan penegkan HAM di Myanmar.
E. Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB Proses transisi politik yang terjadi di Myanmar tidak akan berjalan dengan lancar. Strategi berikutnya dari proses transisi politik di Myanmar akan melibatkan pembagian kekuasaan antara SPDC dan kelompok oposisi, atau proses “reformasi rezim” secara bertahap, dengan kecilnya keterlibatan secara langsung dari masyarakat luas atau kekuatan oposisi. Meskipun taktik yang digunakan kelompok oposisi akan berubah-ubah tergantung kepada kenyataan yang terjadi, beberapa strategi yang digunakan oleh kelompok oposisi ini terlihat sama.
170
Bagaimanapun juga dan kapanpun perubahan tersbut dijalankan, seluruh kelompok-kelompok sosial di Myanmar harus siap untuk bertindak. Secara umum, strategi kelompok oposisi telah dipusatkan kepada tingkat elit politik, dibandingkan melakukan proses demokratisasi pada tataran akar rumput. Bagaimanpun juga, kedua pendekatan tersebut sama pentingnya. Perubahan pada tataran nasional sangat dibutuhkan dengans egera, akan tetapi proses transisi menuju demokrasi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika disertai dengan partisipasi lokal dan “pembangunan dari bawah”. Diantara ketiga pihak dalam negosiasi tripartite di Myanmar (SPDC, NLD/kelompok oposisi pro demokrasi, dan kelompok etnis nasional), kelompok etnis nasional secara khusus bisa mendapatkan manfaat dari kombinasi pada tingkatan elit, dalam rangka penguatan masyarakat sipil. Walaupun berdasarkan kepada para aktifis dan pengamat Myanmar di luar negeri, terdapat asumsi yang menyatakan bahwa tidak ada masyarakat sipil di Myanmar, hal ini jauh dari kebenaran. Kemunculan kembali jaringan lokal didalam dan diantara komunitaskomunitas etnis nasional selama beberapa dekade terakhir, telah menjadi salah satu aspek paling berpengaruh dalam situasi politik dan sosial di Myanmar. Usaha-usaha dalam membangun demokrasi lokal saat ini sedang berjalan – di dalam wilayah-wilayah pengawasan pemerintah, di beberapa populasi etnis nasional yang telah melakukan gencatan senjata dengan pemerintah dan di daerah perang, dan di negara-negara tetangga. Bagaimanapun juga inisiatif ‘bottom-up’ ini tidak akan membawa perubahan yang substansial tanpa disertai adanya reformasi ‘top-down’ pada tataran nasional.
171
Komunitas etnis nasional terdiri dari tiga elemen. Sebagaian besar 65 calon wakil legislatif yang mewakili kelompok-kelompok etnis nasional, dicalonkan melalui United Nationalities Alliance (UNA, sebelumnya bernama United Nationalities League for Democracy), yang telah melakukan kerjasama erat dengan NLD. Kemudian terdapat 14 kelompok etnik bersenjata yang telah sepakat melakukan gencatan senjata dengan pemerintah sejak tahun 1989 (ditambah 10 kelompok lagi dan beberapa bekas kelompok pemberontak yang telah melakukan kesepakatan lokal dengan Tatmadaw). Elemen ketiga dari etnis nasional adalah komunitas-komunitas etnis nasional yang terdiri dari kelompokkelompok pemberontak yang masih melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, yang merupakan anggota atau sekutu dari National Democratic Front (NDF). Dalam hal ini, banyak sekutu dari NDF, seperti The Kachin Independence Organisation (KIO), dan New Mon State Party (NMSP), telah berpartisipasi dan bergabung di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee (ENSCC), yang dibentuk pada tahun 2001, sebagai perwakilan dari kelompok etnis nasional dalam negosiasi tiga pihak dalam rangka pembentukan Konvensi Nasional.179 Sampai sejauh ini, serta berdasarkan fakta yang ada, bahwa penegakan HAM di Myanmar tidak akan sepenuhya tercapai sebelum pemerintahan militer di Myanmar jatuh. Untuk menuju ke arah tersebut, telah tercapai kesepakatan, baik pada tataran domestik, maupun pada tataran internasional (antara Pemerintah 179
Ashley South, “Roadmaps and Political Transition in Burma: The need for two-way traffic”, artikel pada http://www.burmalibrary.org/docs/Ashley-South_Political_Transition.htm, diakses tanggal 7 Juni 2009.
172
Junta militer Myanmar dengan PBB sebagai representasi dunia internasional) untuk melakukan sebuah transisi politik yang akan berujung kepada pengalihan kekuasaan dari kelompok militer ke tangan kelompok masyarakat sipil dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Dalam hal ini, PBB melalui UNHRC telah menjalankan kebijakan dan pendekatan yang dapat diterima oleh pemerintah Myanmar, sehingga membuka pintu negosiasi dan asistensi bagi berjalannya proses transisi politik di Myanmar. 7-steps roadmaps to democracy yang dijalankan oleh pemerintah Myanmar, merupakan perkembangan positif sekaligus kunci keberhasilan penegakan HAM di Myanmar. Selain itu usulan Pelapor Khusus PBB mengenai pemenuhan empat elemen utama HAM Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu 2010, yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pemerintah Myanmar (walaupun belum dijalankan secara maksimal), menunjukan sikap pemerintah Myanmar yang mulai terbuka terhadap masukanmasukan dari dunia internasional melalui PBB. Jika mengacu kepada pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa kendala utama penegakan HAM di Myanmar adalah sikap tertutup pemerintah Myanmar terhadap berbagai masukan, permintaan, terlebih lagi tekanan-tekanan yang datrang dari luar. Dan diketahui juga, bahwa ternyata sikap pemerintah Myanmar yang demikian sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tekanan dan kecaman yang mereka terima dari dunia internasional, sekaligus dipengaruhi oleh perkembangan situasi geopolitik global yang pada ahkirnya memposisikan Pemerintah Junta militer Myanmar sebagai the true decision maker dalam penyelesaian masalah di Myanmar.
173
Berdasarkan perkembangan dan pandangan yang demikian, maka prospek penegakan HAM di Myanmar dalam sepuluh tahun ke depan akan berjalan secara positif, jika faktor-faktor berikut ini dipertahankan, yaitu: 1) PBB tetap memposisikan diri sebagai jembatan antara Myanmar dengan
dunia
internasional,
menggambarkan
berbagai
dan
mampu
perkembangan
menyuarakan
positif
yang
dan
dicapai
pemerintah Myanmar dalam proses transisi politik yang sedang dijalankan. Di sisi lain, pemerintah Myanmar terus membuka diri terhadap berbagai masukan dari PBB terkait dengan proses transisi politik yang sedang dijalankan; 2) Penurunan tekanan dari dunia internasional terhadap Pemerintah Junta militer
Myanmar
terkait
dengan
kebijakan-kebijakan
yang
dijalankannya; 3) Terus terkonsolidirnya seluruh elemen kekuatan nasional di Myanmar yang mendukung berjalannya proses transisi politik di Myanmar, dengan PBB sebagai penjamin sekaligus pengawas independen proses transisi politik di Myanmar (atas dasar kesepakatan seluruh pihak); 4) Terbukanya akses masuk dan keamanan bagi pihak-pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang akan memberikan bantuan kemnusiaan
sekaligus
melakukan
pembangunan
demokrasi
masyarakat sipil pada tataran lokal dalam rang mempersiapkan masyarakat Myanmar memasuki iklim demokrasi serta dalam rangka mempersiapkan dasar-dasar penegakan HAM pada tataran lokal; dan
174
5) Terbangunnya komitmen dan kesepakatan yang erat atas dasar saling menghormati dan rasa saling percaya antara Pemerintah Junta militer Myanmar dengan PBB untuk melakukan proses transisi politik yang sebenarnya di Myanmar, dalam kerangka tindak lanjut berbagai hasilhasil yang sudah dicapai oleh pemerintah (ex., pencabutan dan perubahan berbagai peraturan hukum yang bertentangan dengan Konstitusi baru Myanmar). Jika faktor-faktor tersebut di atas, yang saat ini sudah terpenuhi, dapat terus dipertahankan eksistensinya, maka proses transisi politik di Myanmar akan dapat berjalan dengan baik, yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar. Myanmar telah melewati beberpa perubahan penting dalam beberpa tahun terakhir dan akan terus menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Pelaksanaan dan perlindungan terhadap HAM di Myanmar akan terus menjadi tantangan utama bagi Myanmar di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, konsep tradisional tentang saling ketergantungan dan tak terpisahkan antara hak-hak masyarakat sipil dalam budaya, ekonomi, politik, dan sosial, masih relevan untuk diterapkan. Transisi dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil yang demokratis membutuhkan beberapa perubahan struktural untuk menjamin keterlibatan seluruh sektor masyarakat Myanmar dalam proses transisi politik tersebut180.
180
Op. cit., United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 15-16.
175
BAB V KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, kebijakan PBB dalam bentuk resolusi dikeluarkan oleh UNHRC atau Dewan HAM PBB yang dalam kaitannya dengan situasi pelanggaran HAM di Myanmar, dikeluarkan sebagai tanggapan atas momentum tertentu yang membuat situasi HAM di Myanmar menjadi sorotan dunia internasional, dalam hal ini momentum yang masih relevan dalam hal waktu kejadian adalah peristiwa rangkaian aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh para biksu di Myanmar untuk menentang pemerintah sepanjang bulan Agustus-September 2007. Dalam hal ini, pemerintah Myanmar menanggapinya dengan aksi pembubaran secara paksa yang disertai juga dengan berbagai tindak kekerasan seperti penembakan dan pemukulan. Menanggapi hal tersebut, maka PBB melalui UNHRC mengeluarkan 5 resolusi, yaitu: Res. S-5/1 (tanggal 2 Oktober 2007), Situation on Human Rights in Myanmar; Res. 6/33 (tanggal 14 Desember 2007), Follow-up the report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Situation of Human Rights in Myanmar; Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Mandate of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; dan Res. 8/14 (tanggal 18 Juni 2008), Situation of human rights in Myanmar.
176
Secara umum, isi utama dari kelima resolusi tersebut adalah: 1) Menjamin penghormatan penuh terhadap HAM dan kebebasankebebasan mendasar dan untuk menyelidiki dan membawa para pelaku pelanggaran
HAM
dalam
peristiwa demonstrasi
damai
pada
September 2007 ke pengadilan; 2) Membebaskan dengan segera, orang-orang yang ditangkap dan ditahan pada saat peristiwa demonstrasi damai tersebut, dan untuk membebaskan seluruh tahanan politik di Myanmar, termasuk Sekretaris Umum NLD, Daw Aung San Suu Kyi, dan untuk menjamin penahanan tersebut telah memenuhi standar-standar internasional, termasuk menjamin kemungkinan untuk dapat menjenguk para tahanan; 3) Menghapuskan segala larangan terhadap aktifitas politik yang dilakukan secara damai oleh seluruh orang melalui, memberikan jaminan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di depan umum dan kebebasan berekspresi, termasuk menjamin kebebasan dan independensi media, dan untuk menjamin tidak dibatasinya akses kepada media informasi bagi seluruh masyarakat Myanmar; 4) Segera melaksanakan dialog nasional dengan seluruh pihak dengan pandangan untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang sebenarnya, demokratisasi dan tercapainya penegakan hukum; dan
177
5) Bekerjasama secara penuh dengan organisasi-organisasi kemanusiaan, termasuk dengan memberikan jaminan penuh, keselamatan, dan akses bantuan kemanusiaan bagi seluruh masyarakat Myanmar yang membutuhkan. Kebijakan berikutnya yang dilakukan oleh PBB melalui UNHRC terkait dengan situasi HAM di Myanmar adalah melalui pengiriman Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang memiliki tugas dan kewajiban utama melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan resolusi yang dikeluarkan oleh PBB sekaligus melakukan langkah-langkah negosiasi dan dialog dengan pemerintah dan para stakeholders di Myanmar dalam rangka melancarkan pelaksanaan resolusi PBB tersebut. Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar ini telah dikirim oleh PBB sejak tahun 1992 dengan estimasi waktu sebagai berikut: Paulo Sergio Pinheiro (Brazil) dari tahun 1992-April 2008 dan Tomas Ojea Quintana (Argentina) dari Mei 2008-saat ini181. Secara umum kegiatan yang dilakukan oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar ini adalah: 1) Melakukan dialog-dialog dengan pemerintah Junta militer Myanmar terkait dengan pelaksanaan resolusi PBB sekaligus mendampingi, termasuk memberikan rekomendasi-rekomendasi tertentu kepada pemerintah Junta militer Myanmar dalam pelaksanaan penegakan HAM di Myanmar;
181
OHCHR, “United Nations Special Procedures; Fact and Figures 2008”, hlm. 2, http://www.ohchr.org, diakses tanggal 7 Juni 2009.
178
2) Melakukan dialog dengan para tokoh kelompok oposisi, dalam hal ini adalah kelompok pro-demokrasi, seperti para petinggi NLD Aung San Suu Kyi, Min Ko Naing, dan lain-lain, dalam rangka mencari jalan tengah penyelesaian masalah, khususnya masalah penegakan HAM di Myanmar; 3) Melakukan berbagai kunjungan ke tempat-tempat tertentu, seperti penjara-penjara di Myanmar, lokasi bencana alam (badai/topan Nargis) di Myanmar, wilayah-wilayah tempat terjadinya konflik etnis di Myanmar, sekaligus melakukan wawancara secara acak dalam rangka mengumpulkan berbagai informasi penting terkait dengan penegakan HAM di Myanmar; dan 4) Menerima berbagai laporan dari berbagai sumber terkait dengan penegakan HAM di Myanmar dalam rangka mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang situasi penegakan HAM di Myanmar, untuk kemudian memetakan kondisi lapangan, menentukan masalahmasalah yang penting dan mendesak, yang nantinya akan disusun ke dalam sebuah laporan, untuk kemudian diserahkan dan dilaporkan kepada Dewan HAM PBB dan dijadikan bahan pertimbangan bagi Dewan HAM PBB untuk mengeluarkan resolusi selanjutnya. Kemajuan penting dalam proses penegakan HAM di Myanmar mulai terlihat pada saat masa tugas Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang kedua yaitu, Tomas Ojea Quintana, dimana pemerintah Myanmar telah menjalankan beberapa tahapan menuju konsolidasi demokrasi samapi
179
kepada tahapan referendum dan penetapan Konstitusi baru Myanmar yang memberikan jalan serta ruang bagi terciptanya pemerintahan sipil yang demokratis serta berjalannya proses penegakan HAM d Myanmar dengan baik. Terkait dengan kemajuan dan tahapan yang sedang dilalui atau dijalankan oleh pemerintah Myanmar tersebut, maka Pelapor Khusus PBB memberikan rekomendasi pemenuhan empat elemen utama HAM di Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu tahun 2010. empat elemen tersebut yaitu: 1) Peraturan hukum atau undang-undang di Myanmar yang dijadikan dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan atau mengeluarkan kebijakan yang melanggar HAM. Beberapa peraturan tersebut adalah: State Protection Act (1975); Emergency Provisions Act (1950); Printers and Publishers Act (1962); Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responbility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); Law Relating to Forming of Organizations (1998); Television and Video Law (1985); Motion Picture Law (1996); Computer Science Development Law (1996); Unlawful Association Act; Electronik Communication Law; dan Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code.182 2) Penangkapan dan penahanan para demonstran yang melakukan aksiaksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah atau aksi-aksi 182
United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, hlm. 18, http://daccessods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
180
demonstrasi
yang
mengkritisi
kebijakan
pemerintah,
serta
penangkapan dan penahanan para aktifis politik pro demokrasi secara brutal tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan tanpa pernah melewati proses persidangan yang terbuka dan adil dalam hal penjatuhan hukuman tahanan. Beberapa kategori tahanan yang menurut Pelapor Khusus PBB perlu segera dibebaskan dalam rangka penegakan HAM adalah sebagai berikut: tahanan yang berusia lanjut; tahanan dengan kondisi kesehatan yang terbatas (mengalami penyakit serius); tahanan yang merupakan anggota berbagai organisasi politik dan para pemimpin etnis nasional di Myanmar; para tahanan dengan masa hukuman yang panjang (75-100 tahun ke atas masa tahanan); tahanan yang merupakan pemimpin atau anggota dari organisasi keagamaan (seperti biksu dan bikhuni); para wanita yang memiliki anak; para tahanan yang dikirim ke kamp-kamp tenaga kerja paksa; para tahanan yang tidak bersalah atau belum pernah menjalani proses persidangan; para tahanan yang tidak pernah memiliki catatan kriminal sebelumnya; dan para tahanan rumah termasuk dan yang paling utama adalah pemimpin NLD Aung San Suu Kyi. Termasuk para tahanan yang ditangkap dan ditahan dari peristiwa-peristiwa khusus, seperti aksi-aksi demonstrasi.183 3) Angkatan bersenjata Myanmar atau yang disebut dengan Tatamadaw. Di dalam Konstitusi baru Myanmar yang dilegitimasi melalui 183
Ibid, hlm. 19-20.
181
pelaksanaan referendum tahun 2008184, Tatamadaw tetap akan memainkan peranan penting di dalam pemerintahan baru hasil pemilu tahun 2010 nanti, yang menurut Konsitusi baru Myanmar merupakan pemerintah sipil yang demokratis dengan sistem multipartai. Oleh karena itu, militer Myanmar yang selama ini menjadi aktor utama dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Myanmar harus melakukan pembenahan internal agar bisa menjalankan amanat konstitusi serta dalam rangka mendukung pemerintahan sipil yang demokratis dimana salah satu ciri atau elemen dalam sebuan negara/pemerintahan yang demokratis adalah tegaknya HAM. 4) Lembaga peradilan Myanmar; sebagai ekses dari pemerintahan militer yang otoriter, maka seluruh lembaga pemerintahan pun menjadi tidak bisa menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara objektif. Salah satu lembaga dalam pemerintahan yang penting dan utama dalam usaha-usaha penegakan HAM adalah lembaga peradilan. Selama ini lembaga peradilan Myanmar menjadi salah satu lembaga yang memberikan dasar hukum bagi berbagai tindakan penahanan terhadap para aktifis anti pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat yang menyuarakan kritik, para biksu dan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi, dan lain-lain, melalui proses peradilan yang tidak objektif 184
Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, referendum dilaksankan sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 10 Mei dan 24 Mei 2008. berdasarkan pengumuman pemerintah, bahwa hasil referendum menyatakan bahwa dari total 22 juta pemilih pada pelaksanaan referendum tersebut, sekitar 92.4% pemilih menyatakan menerima rancangan draft Konstitusi baru Myanmar yang disusun oleh Konvensi Nasional.
182
dan tidak berimbang, serta peradilan yang tertutup dan over intervention dari pemerintah/penguasa. Kedua, kendala utama penegakan HAM di Myanmar adalah sikap-sikap pemerintah yang belum mau membuka diri sepenuhnya terhadap penegakan HAM dengan alasan perlu adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mencapai sebuah kondisi masyarakat dan negara dimana demokrasi dan HAM dapat berjalan dengan baik, dan untuk menjaga proses tersebut, perlu adanya pengawasan dan pengaturan dari pemerintah yang kuat, dalam hal ini pemerintahan militerlah yang mampu menjalankan tanggung jawab tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip discipline-flourishing democracy yang dicanangkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya membuat proses penegakan HAM sulit untuk dilakukan di Myanmar, atau paling tidak masih membutuhkan waktu yang panjang agar penegakan HAM dan demokrasi yang sebenarnya bisa terwujud di Myanmar. Ketiga, upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar dengan adanya kebijakan PBB adalah melaksanakan tahapan atau langkah-langkah menuju pemerintahan sipil yang demokratis serta penegakan HAM di Myanmar, yang dituangkan oleh pemerintah dalam 7-step’s roadmap to democracy sebagai berikut: 1) Pembentukan Konvensi Nasional; yang sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2003 untuk menyusun sebuah konstitusi baru. Konvensi Nasional baru bisa berjalan secara efektif mulai tahun 2005. Konvensi Nasional ini secara ideal merupakan perwakilan dari setiap kelompok
183
atau elemen bangsa di Myanmar, akan tetapi dalam kenyataannya, para perwakilan yang duduk di dalam Konvensi Nasional adalah mereka yang telah berafiliasi dengan pemerintah, termasuk beberapa kelompok etnis nasional yang pada awalnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, lalu kemudian melakukan gencatan senjata dengan pemerintah. Sedangkan kelompok oposisi yang merupakan kelompok pro-demokrasi, yang pada pemilu tahun 1990 memenangkan mayoritas kursi di parlemen, justru tidak dilibatkan, bahkan pemimpinnya Aung Saan Suu Kyi dan Tin Oo hingga saat ini masih menjadi tahanan rumah pemerintah; 2) Penyusunan Konstitusi baru Myanmar; dimulai sejak tahun 2005, maksud dari penyusunan konstitusi baru ini, menurut pemerintah Myanmar adalah untuk menciptakan sebuah dasar hukum bagi proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar, sehingga perubahan yang terjadi di Myanmar dapat bersifat mendasar dan menyeluruh.
Pada
tanggal
19
Februari
2008,
Pemerintah
mengumumkan bahwa draft Konstitusi baru akan selesai pada tanggal 9 April 2008, dan referendum untuk menerima atau menolak konstitusi tersebut akan dilaksanakan pada tangal 10 Mei 2008185; 3) Pelaksanaan referendum untuk Konstitusi baru; setelah draft konstitusi baru selesai dibuat, pemerintah Myamar segera melaksanakan
185
Op. Cit.,United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 6.
184
referendum untuk menentukan apakah draft konstitusi tersebut dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Pada tanggal 10 Mei 2008 referendum dilaksanakan oleh pemerintah di seluruh provinsi dan daerah di Myanmar, kecuali 40 kota di divisi Yangon dan 7 kota di Irrawady, dimana referendum di kota-kota tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2008. Kepala Komisi pelaksana Referendum, Aung Toe, mengumumkan bahwa draft konstitusi telah diterima oleh 92.4% dari total 22 juta pemilih. Dalam hal ini NLD menolak hasil referendum186; 4) Pengesahan Konstitusi baru; 5) Pelaksanaan pemilu pada tahun 2010; 6) Pembentukan pemerintahan baru hasil pemilu 2010; dan 7) Pembangunan negara dan pemerintahan yang demokratik (langkah lanjutan). Keempat, kebijakan PBB dalam bentuk resolusi dan fasilitasi (pengawasan dan negosiasi) telan berjalan dengan efektif, dalam pengertian kebijakan PBB sebagai pendorong bagi Pemerintah Myanmar pada khususnya, dan para aktoraktor politik penting di Myanmar pada umumnya, untuk melakukan tahapantahapan penting menuju pemerintahan sipil yang demokratis, yang pada akhirnya memungkinkan bagi perkembangan positif penegakan HAM di Myanmar. Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon penting yang diberikan oleh Pemerintah Myanmar terhadap kebijakan PBB terkait dengan penegakan 186
Ibid, hlm. 6-7.
185
HAM di Myanmar adalah dilaksanakannya ketujuh langkah menuju demokrasi, khususnya pembentukan Konstitusi baru Myanmar dan pelaksaaan pemilu demokratis dengan sistem multi partai pada tahun 2010 dalam rangka mengalihkan kekuasaan pemerintah dari tangan militer ke tangan sipil. Selama ini yang menjadi legitimasi bagi Pemerintah Junta militer Myanmar dalam melakukan berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM, adalah peraturanperaturan hukum yang mereka buat. Oleh karena itu dengan dibentuknya Konstitusi baru dan sejalan dengan rekomendasi yang diberikan oleh Pelapor Khusus PBB, yaitu pemenuhan 4 elemen utama HAM di Myanmar sebelum pelaksanaan pemilu 2010, menjadi langkah awal penting dalam usaha penegakan HAM di Myanmar ke depan. Hal ini juga menunjukan sudah mulai terbukanya Pemerintah junta militer Myanmar terhadap berbagia tuntutan perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan penegakan HAM yang datang dari dalam maupun dari luar. Selanjutnya, penegakan HAM di Myanmar ke depan akan sangat bergantung kepada proses transisi politik saat ini, khususnya pemilu 2010 mendatang. Dalam hal ini tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pemilu 2010, dalam pengertian terbentuknya pemerintahan sipil yang demokratis dan kuat, adalah pemenuhan 4 elemen utama HAM Myanmar sebelum pelaksanaan pemilu. Jika keempat elemen utama HAM tersebut dapat dipenuhi oleh Pemerintah Junta militer Myanmar saat ini, maka usaha-usaha penegakan HAM di Myanmar akan berjalan dengan baik.
186
Dalam hal ini, PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta mendorong Pemerintah Myanmar dalam penegakan HAM, telah mencapai hasil yang positif dan signifikan, sejak mulai dilaksanakannya referendum untuk Konstitusi baru Myanmar, serta berjalannya proses pemenuhan 4 elemen utama HAM saat ini.
187
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Archer, Clive, 1983, International Organizations, London : George Allen & UNWIN. Boudreau, Vincent. (2004), “Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia”, Cambridge University Press. ISBN 978-0521839891. Delang, Claudio, (2000), “Suffering in Silence, the Human Rights Nightmare of the Karen People of Burma”, Parkland: Universal Press. Fong, Jack. 2008, “Revolution as Development: The Karen Self-determination Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, Universal-Publishers. ISBN 978-1599429946. Henkin, Louis, 1978, The Rights of Man Today, Boulder, Colo: Westview Press. Holsti, K.J., Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis (Terjemahan Wawan Djuanda), Bandung: Binacipta, 1987. Humphrey, Jhon P., Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984) Lintner, Bertil. (1989), “Outrage: Burma's Struggle for Democracy”, Hong Kong: Review Publishing Co. Mas’oed, Mochtar. 1992. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Muthiah. (1995), “Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for Moral Authority”. Stanford University Press. ISBN 978-0804725606. Nickel. James W., 1987, “Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights” © The Regents of the University of California. Rudy, Teuku May, 1998, Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: PT. Refika Aditama. Smith, Martin, 1991. “Burma -Insurgency and the Politics of Ethnicity”. London and New Jersey: Zed Books.
188
Soeprapto, R, Hubungan Internasional Sistem, Interaksi, dan Perilaku. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Steinberg, David. 2002. “Burma: State of Myanmar”, Georgetown University Press, ISBN 978-0878408931. Tucker, Shelby, (2001), “Burma: The Curse of Independence”, Pluto Press. ISBN 978-0745315416. Viotti, Paul R. & Kauppi Mark V., 1990, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism. Macmillan Publishing Company. Wintle, Justin. (2007), “Perfect Hostage: a life of Aung San Suu Kyi, Burma’s prisoner of conscience”, New York: Skyhorse Publishing. ISBN 9780091796815. Wiriaatmaja, Suwardi, 1984, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta; Pustaka Tinta Mas.
Sumber-sumber lain:
Ashley South, “Roadmaps and Political Transition in Burma: The need for twoway traffic”, artikel pada http://www.burmalibrary.org/docs/AshleySouth_Political_Transition.htm, diakses tanggal 7 Juni 2009. Aung Zaw. "Can Another Asian Fill U Thant's Shoes?". The Irrawaddy September 2006. Burma Watcher. (1989), “Burma in 1988: There Came a Whirlwind”, Asian Survey, 29(2). A Survey of Asia in 1988: Part II. Ferrara, Federico. (2003). “Why Regimes Create Disorder: Hobbes's Dilemma during a Rangoon Summer”, The Journal of Conflict Resolution, 47(3). CIA World Factbook, November 2008.
"Burma", http://www.cia.gov, diakses tanggal 20
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=27634&Cr=myanmar&Cr1= http://www.usembassyjakarta.org/ptp/hakasasi2.html Minister of Foreign Affairs of Myanmmar, “Emergence of Foreign Policy”, arsip pada http://www.mofa.gov.mm/foreignpolicy/index.html, diakses tanggal 5 Juni 2009.
189
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, “The United Nations Human Rights Treaty System; An Introduction to the core human rights treaties and the treaty bodies”, Fact Sheet No. 30, arsip pada http://www2.ohchr.org/english/bodies/docs/OHCHR-FactSheet30.pdf, diakses tanggal 27 September 2008. Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, “Special Procedure”, http://www.ohchr.org/english/bodies/chr/special/docs/13threport.AEV.pdf, diakses tanggal 17 September 2008. OHCHR, “United Nations Special Procedures; Fact and Figures 2008”, http://www.ohchr.org, diakses tanggal 7 Juni 2009. Otive Igbuzor, “The Role of State Constitution in Protecting Minority Rights under Federalism: Dialog in Support of Democratic Transition in Burma”, Report to IDEA, 2002, http://www.idea.int/asia_pacific/burma/upload/burma_report.pdf, diakses tanggal 3 Juni 2009. Selth, Andrew. Even Paranoids Have Enemies: “Cyclone Nargis and Myanmar’s Fears of Invasion.” Contemporary Southeast Asia 30.3 (2008). Situs Resmi PBB, “The Economic and Social Council”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_sc.html, diakses tanggal 27 September 2008. Situs
Resmi PBB, “The General Assembly”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_ga.html, diakses tanggal 27 September 2008.
Situs Resmi PBB, “The International Court of Justice”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_icoj.html, diakses tanggal 27 September 2008. Situs
Resmi PBB, “The Trusteeship Council”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_trusteeship.html, diakses tanggal 27 September 2008.
Situs
Resmi PBB, “Overview; UN in Brief”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/, diakses tanggal 27 September 2008.
190
Situs
Resmi PBB, “The Secretariat”, arsip http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_secretariat.html, tanggal 27 September 2008.
pada diakses
Situs
Resmi PBB, “The Security Council”, arsip pada http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_sc.html, diakses tanggal 27 September 2008.
Situs
Resmi PBB, “The UN System”, arsip http://www.un.org/Overview/uninbrief/chapter1_unsystem.html, tanggal 27 September 2008.
pada diakses
Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar”, no. A/HRC/6/14, dalam Human Rights Council, “Report of Special Rapporteur on the situation of Human Rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro, mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, no. A/HRC/7/24, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pd f?OpenElement, diakses tanggal 20 November 2008. UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”, A/HRC7/18, 7 Maret 2008, http://daccessods.un.org/TMP/1594674.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro mandated by resolution 6/33 of the Human Rights Council”, A/HRC/7/24, tanggal 7 Maret 2008, http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/113/88/PDF/G0811388.pd f?OpenElement, diakses tanggal 20 November 2008. UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana, on the implementation of Council resolution S/51 dan 6/33”, A/HRC/8/12, tanggal 3 Juni 2008, http://daccessods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. UNHRC, “Human Rights Situation That Require the Council Attention; Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, A/HRC/10/19, tanggal 11 Maret 2009, http://daccessods.un.org/TMP/9105540.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. United Nations, “Report of Human Rights Council”, General Assembly Official Records sixty-third session, supplement no. 53 (A/63/53), New York, 2008,
191
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/148/64/PDF/G0814864.pd f?OpenElement, diakses tanggal 3 Juni 2009. United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, http://daccessods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009. US Secretary for Public Diplomacy and Public Affairs, “Union of Burma”, Desember 2008, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35910.htm, diakses tanggal 3 Juni 2009. Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008. Wikipedia, “Government of Burma”, http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Burma, diakses tanggal 6 Juni 2009. Wikipedia, “The Constitution of the Union of Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 20 Desember 2008. Wikipedia, “United Nations Human Rights Council”, http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Human_Rights_Council, diakses tanggal Mei 2009. Wikipedia, “8888 Uprising”, http://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising, diakses tanggal 6 Juni 2009. Xiaolin Guo, “Democracy in Myanmar and Paradox of International Politics”, Asian Paper, Februari 2009, Institute for Security and Development Policy, Stockholm-Sweden, www.isdp.eu/files/publications/ap/09/xg09democracymyanmar.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2009.