BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ikan layur (Trichiurus sp.) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis
penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia terutama di perairan Palabuhanratu. Banyaknya tangkapan ikan layur tersebut, membuat roda perekonomian nelayan di Palabuhanratu dan sekitarnya hidup kembali. Ikan layur yang menjadi komoditas ekspor utama nelayan Palabuhanratu membawa keuntungan besar bagi nelayan, pengumpul dan perusahaan pengekspor ikan layur. Ikan layur mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi. Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2012), kandungan gizi dan vitamin pada 100 g ikan layur yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9
Kandungan Energi Protein Karbohidrat Lemak Kalsium Fosfor Zat Besi Vitamin A Vitamin B1
Nilai kandungan 82 kkl 18 g 0,4 g 1g 48 mg 229 mg 2,2 mg 15 IU 0,04 mg
Sumber: BRKP (2012) Ikan layur merupakan salah satu komoditas perikanan ekspor dengan negara tujuan utama adalah Korea dan Cina. Hal ini merupakan pendorong dalam peningkatan devisa negara. Berdasarkan hal tersebut para nelayan di Palabuhanratu dituntut untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan. Ikan layur yang diekspor harus memiliki standar mutu yang tinggi. Standar mutu yang tinggi menjadi sebuah keharusan suatu produk untuk dapat diterima dan menjadi jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Penerapan Analisis
1
2
Bahaya dan Titik Pengendalian Kritis atau lebih dikenal dalam istilah asingnya Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam pengolahan ikan layur menjadi suatu keharusan bagi para produsen untuk memenuhi tuntutan pasar dalam menyediakan ikan layur beku yang memiliki kualitas dan mutu yang baik. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang diterapkan oleh produsen merupakan salah satu cara untuk menjaga dan menjamin keamanan pangan kepada konsumen. Menurut SNI 01-4852-1998 HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang nyata bagi keamanan pangan. Unsur bahaya meliputi bahaya biologi, kimia, fisik atau kondisi dari pangan yang berpotensi menyebabkan dampak buruk pada kesehatan.
Hazard
analysis
(analisis
bahaya)
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan bahaya yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan. Critical Control Point (CCP) adalah suatu tindakan pengendalian untuk mengurangi bahaya keamanan pangan sampai pada tingkat yang bisa diterima. Penerapan HACCP selain meningkatkan keamanan pangan juga dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang berwenang dan memajukan perdagangan internasional, melalui peningkatan kepercayaan keamanan pangan. Menurut Winarno dan Surono (2004), sistem HACCP telah diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan secara global. Penerapan HACCP dalam industri pangan diperlukan untuk memberikan jaminan proses produksi yang aman dan menghasilkan mutu produk yang diharapkan. Sistem HACCP harus dibangun atas persyaratan dasar berupa cara berproduksi yang baik dan benar atau lebih dikenal dalam istilah asingnya Good Manufacturing Pratices (GMP) dan prosedur operasi standar sanitasi atau lebih dikenal dalam istilah asingnya Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Kedua persyaratan dasar ini akan memudahkan implementasi
penerapan sistem HACCP
yang
efektif dan efisien sehingga dapat menghasilkan produk dari awal penerimaan sampai menghasilkan mutu produk akhir yang aman dan berkualitas.
3
Ikan termasuk komoditas yang mengalami kerusakan lebih cepat jika dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan ikan setelah penangkapan dan pemanenan sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan, pemanenan, kondisi biologis ikan serta teknik penanganan dan penyimpanan diatas kapal. Oleh karena itu, penerapan HACCP dalam penanganan ikan layur beku sangat dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang diharapkan. PT. AGB Palabuhanratu menerapkan sistem kerjasama dalam pemenuhan bahan baku ikan layur beku dengan nelayan sekitar pantai Sukabumi antara lain Palabuhanratu, Cisolok dan Ujung Genteng. Kualitas hasil tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan sangat beragam. Keragaman kualitas bisa disebabkan oleh penanganan pertama di kapal, pengaruh dari beberapa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan seperti gillnet, bagan, payang, pancing ulur dan pancing rawai. Hal tersebut menjadi alasan kuat untuk penerapan HACCP pada proses penanganan ikan layur beku di PT. AGB supaya produk ikan layur beku yang dihasilkan tetap memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh negara-negara pengimpor. 1.2
Identifikasi Masalah Sampai sejauh mana penerapan analisis bahaya dan titik pengendalian
kritis terhadap pengendalian potensi bahaya yang mungkin terjadi pada penanganan ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis penerapan
HACCP pada penanganan ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu. 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai hasil penerapan
HACCP pada penanganan ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu. 1.5
Pendekatan Masalah Ikan layur merupakan produk ekspor yang mudah mengalami penurunan
kesegaran. Menurut SNI 6940.2:2011 (BSN 2011), untuk menjaga kesegaran
4
bahan baku ikan layur beku adalah dengan cara menyimpan bahan baku pada wadah dengan menggunakan es untuk memperoleh suhu bahan baku 0 – 5 oC. Penanganan ikan layur segar dengan menggunakan prinsip rantai dingin (cold-chain) dapat menjaga mutu hasil perikanan sejak ditangkap sampai kepada tangan konsumen dan merupakan upaya untuk menghambat penurunan kesegaran ikan. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi nelayan, penggunaan es (dalam bentuk bongkahan/balok/pecahan, curai, atau dicampur dengan air laut) paling cocok sebagai upaya penanganan. Kondisi ideal perbandingan minimal ikan dan es yang digunakan selama penanganan adalah dijaga agar selalu satu banding satu (Suherman et al. 1991). Perkembangan ekspor produk perikanan diwarnai dengan ketatnya persaingan dan tuntutan dari negara-negara importir. Hal tersebut terjadi supaya pengekspor menerapkan pengawasan mutu terpadu dengan tujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam menjaminan keamanan pangan (food safety), mutu (wholesomenes), dan menghindari timbulnya kerugian secara ekonomis (economic fraud). Menurut Laporan Statistik Perikanan Tangkap (2012), produksi ikan layur di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu pada tahun 2011 mencapai 147,864 ton dengan nilai produksi mencapai Rp. 2.114.744.500 untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun permintaan ekspor. Hal ini mendorong para produsen untuk menerapkan prinsipprinsip HACCP di lingkungan perusahaannya. Produsen harus mampu meningkatkan dan memberikan jaminan mutu sehingga dapat melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan dan membahayakan. Menurut Pierson dan Corlett dalam Thaheer (2005), sistem HACCP bersifat mencegah dan berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang mungkin berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, seperti kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku. Menurut Wiryanti dan Witjaksono (2001), sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis besar kecilnya risiko
5
terjadinya bahaya. Faktor penunjang yang menjadi prasyarat (pre-requisite) keefektifan penerapan program HACCP sebagai sebuah sistem pengendalian mutu adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar suatu sistem unit pengolahan, yang meliputi: a. Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices), meliputi persyaratan bahan baku, bahan pembantu, bahan tambahan makanan, persyaratan produk akhir, penanganan, pengolahan, perwadahan atau pengemasan, penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. b. Standar prosedur operasi sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure), meliputi kondisi fisik sanitasi dan higienis perusahaan atau unit pengolahan, sanitasi, kesehatan karyawan dan prosedur pengendalian sanitasi. Penerapan HACCP suatu perusahaan ekspor belum dikatakan benar apabila mutu produk belum sesuai dengan ketentuan SNI 6940.2:2011 tentang ikan layur beku. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti peralatan yang kurang higienis, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, bahan baku yang tercemar, serta kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Rendahnya kualitas dan mutu menyebabkan terjadinya penolakan dari negara tujuan ekspor. Penerapan GMP dan SSOP yang baik dan benar pada suatu implementasi HACCP merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah penolakan produk dari negara pengimpor, sehingga kejadian penolakan dari negara pengimpor tidak akan terjadi.