BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Mikrolinguistik sebuah bahasa meliputi beberapa kajian, di antaranya fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam bahasa Indonesia, problematika seputar mikrolinguistik cukup menarik untuk dikaji, khususnya pada bidang morfologi. Pembahasan mikrolinguistik berarti menyoroti bahasa dari segi struktur internalnya. Bahasa Indonesia merupakan satu di antara bahasa yang kosakatanya paling banyak menyerap dari bahasa lain, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Ada dua alasan utama yang menyebabkan mengapa bahasa Indonesia melakukan penyerapan unsur dari bahasa asing, yaitu karena kebutuhan dan keinginan. Masih terkait dengan kajian morfologi, tipe bahasa Indonesia tergolong ke dalam rumpun bahasa aglutinatif. Montolalu (melalui Kushartanti, 2007: 178) mengatakan bahwa bahasa aglutinatif ialah bahasa berafiks, yakni bahasa yang sering menempel-nempelkan morfem lain pada bentuk dasarnya. Hal yang demikian ini dinamakan dengan proses pembentukan kata. Proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dapat terjadi dengan proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Penelitian ini akan mengedepankan masalah pembentukan kata yang pertama, yakni afiksasi berdasarkan penyerapan bentuk asing. Terkait afiksasi, Alwi, dkk. (2003) mengatakan bahwa bentuk atau morfem terikat yang dipakai untuk menurunkan kata disebut afiks atau imbuhan. 1
2
Imbuhan terdiri atas beberapa klasifikasi, di antaranya prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan klofiks (lih. Chaer, 2008: 23). Imbuhan-imbuhan tersebut, apabila dilekatkan pada leksem atau kata dasar, akan menghasilkan kata turunan, yakni membentuk kata berimbuhan. Setelah mengalami proses, imbuhan yang menempel pada sebuah kata, baru akan mempunyai makna. Hal demikian itu dinamakan dengan makna kata berimbuhan (Pateda, 2010: 142). Dari beberapa klasifikasi jenis imbuhan yang ada, hanya permasalahan sufikslah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini. Sufiks dalam bahasa Indonesia banyak sekali jumlahnya. Akan tetapi, yang merupakan sufiks asli dalam bahasa Indonesia hanya ada beberapa, seperti -an, -kan, -i, dan -nya (Alwi, dkk. 2003: 31; bandingkan Putrayasa, 2008: 28-30). Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa selebihnya sufiks-sufiks yang ada dalam bahasa Indonesia lebih banyak berasal dari bahasa asing. Kebanyakan juga, sufiks asing tersebut diserap sebagai bagian dari bentuk kata secara utuh. Sufiks serapan asing yang dimaksud di antaranya berasal dari beberapa bahasa, seperti dari bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta. Sufiks serapan asing memang sangat diperlukan untuk kepentingan memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penyerapan unsur bahasa asing harus dilakukan secara selektif dan berkaidah. Satu di antara sufiks serapan asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia adalah -at. Oleh sebagian pemakai bahasa Indonesia, bentuk -at ada yang dianggap sebagai sebuah morfem terikat secara morfologis. Akan tetapi, banyak data yang penulis temukan ternyata bentuk -at yang berada di posisi akhir kata, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kata dasarnya, seperti advokat.
3
Kata advokat tidak akan berterima jika dihilangkan bagian bentuk kata terakhirnya, yakni -at. Dengan demikian, bentuk -at pada akhir kata tersebut bukan merupakan sebuah morfem tersendiri, melainkan berupa kata serapan asing dengan bentuk yang utuh. Walaupun demikian, tetap saja bentuk -at pada kata advokat memiliki penanda tertentu karena ada hubungannya dengan bentuk akhir -si, yakni pada kata advokasi. Penanda bentuk -at pada kata tersebut berfungsi membentuk nomina. Selain itu, makna yang dimunculkan dari bentuk -at pada kata advokat adalah ‘orang yang ahli dalam bidang hukum/pengacara’. Dengan demikian, tidak hanya bentuk terikat seperti sufiks yang dapat memiliki fungsi dan makna pada sebuah kata, tetapi bagian akhir kata pun yang munculnya bersamaan dengan kata dasar juga dapat membentuk fungsi dan memiliki makna tersendiri. Hal seperti ini disebut sebagai penanda nomina pada sebuah bentuk dasar dalam bahasa Indonesia (band. Chaer, 2008: 165). Pada awalnya, bentuk akhir -at dalam bahasa Indonesia diserap dari beberapa bahasa, di antaranya berasal dari bahasa Belanda -aat, dari bahasa Inggris -ate, dan dari bahasa Arab -atun. Akan tetapi, bentuk akhir dari bahasa Belanda dan bahasa Inggris dieja dengan bunyi yang sama, yakni -at, sedangkan bentuk akhir dari bahasa Arab harus tetap dibaca -atun kecuali jika sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dari segi penulisannya, kata-kata yang berakhiran aat (BB) akan mengalami penghilangan satu fonem /a/, yakni menjadi -at apabila diserap ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, misalkan saja bentuk democraat (BB) akan menjadi demokrat (B Ind). Di lain hal, apabila terdapat
4
kata-kata dalam bahasa Inggris yang berakhiran -ate, ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia, akan terjadi penghilangan fonem akhir /e/, tentunya akhiran itu akan berubah menjadi -at. Misalkan bentuk syndicate (B Ing) akan berubah menjadi sindikat (B Ind). Proses penyerapan yang demikian itu disebut sebagai bentuk serapan secara adaptasi. Kemunculan sufiks -at juga berasal dari bahasa Arab -atun yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan menghilangkan bagian akhir sufiks tersebit, yakni [un]. Misalnya bentuk aakhiratun (BA) diserap menjadi akhirat (B Ind). Proses penyerapan yang demikian itu disebut juga sebagai serapan secara adaptasi. Dalam bahasa Sanskerta, penulis tidak menemukan bentuk -at yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, baik sebagai sufiks maupun bentuk kata yang utuh. Akan tetapi, terlepas dari -at, banyak pula sufiks asing dari bahasa Sanskerta (BS) yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena sifat bahasa yang dinamis dan produktif, kini bentuk -at ada pula yang sudah menjadi sufiks atau sebuah morfem tersendiri, yakni morfem terikat secara morfologis. Pemakaian sufiks -at tersebut tidak saja melekati kata-kata serapan dari bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Arab, tetapi juga melekati kata-kata bahasa Indonesia karena beranalogi. Sejauh ini, sufiks -at dalam bahasa Indonesia tergolong kurang produktif dan sangat sedikit jumlahnya. Berikut merupakan data kata dengan sufiks -at yang dibuktikan dalam kalimat di bawah ini.
5
1.
Iwan bersama Rektor Unej M. Hasan dan perwakilan Top Coffe Sasongko, serta perwakilan Perhutani Jember menanam bibit pohon eboni di depan halaman Dekanat Fakultas Teknik Unej. (R, 30/6/2013).
2.
Namun, pihak dekanat justru membatalkannya secara sepihak di hari pelaksanaan forum. (R, 4/7/2012).
3.
Mahasiswa Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, mengepung gedung rektorat UI. (R, 4/7/2012).
4.
Aksi tersebut merupakan lanjutan untuk meminta penjelasan dari pihak rektorat mengenai kenaikan biaya masuk profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. (R, 4/7/2012).
5.
Pelantikan dekan baru, di tubuh kampus UGM ini juga mendapat dukungan dari para mahasiswa setempat. (R, 8/10/2012). Ada kecurigaan bahwa kata dekanat dan rektorat itu bukan sebagai satu
morfem yang tunggal dan tersendiri, melainkan kata-kata itu terdiri atas dua morfem yang bergabung. Ada dua morfem yang terdapat pada kata dekanat dan rektorat, yaitu morfem bebas dan morfem terikat secara morfologis. Morfem bebas yang dimaksud adalah kata dekan dan rektor, sedangkan morfem terikat secara morfologisnya adalah -at. Bentuk morfem terikat -at yang muncul di belakang kata dasar secara afiksasi disebut sebagai sufiks. Berikut ini adalah uraian data yang dimaksud. dekanat dekan
rektorat -at
rektor
-at
6
Melekatnya sufiks -at pada kata tersebut tidak mengubah kategori katanya, dalam artinya masih tetap sama sebagai nomina. Dengan demikian, sufiks -at yang melekat pada kata dasar dekan dan rektor berfungsi membentuk nomina. Di samping itu, makna yang muncul akibat adanya sufiks -at yang menempel pada bentuk dasar itu tentu mengalami perubahan. Perubahan makna itu ternyata juga disebabkan konteks kalimat yang dimunculkan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan beberapa makna sufiks -at berdasarkan kelima kalimat di atas. dekan
: ‘pemimpin/kepala fakultas di perguruan tinggi’ (kal. 5)
dekanat
: 1. ‘kantor/tempat dekan’ (kal. 1) 2. ‘pimpiman fakultas, seperti dekan, wakil dekan, dan pihakpihak yang memegang jabatan penting di fakultas’ (kal. 2)
rektor
: ‘ketua perguruan tinggi’ (kal. 1)
rektorat
: 1. ‘kantor/tempat rektor’ (kal. 3) 2. ‘pimpiman universitas, seperti rektor, wakil rektor, dan pihakpihak yang memegang jabatan penting di universitas’ (kal. 4)
Pada awalnya kemunculannya, sufiks -at pada kata-kata seperti dekan dan rektor itu merupakan suatu bentukan baru yang kita kenal saat ini. Secara morfologis kata dekan dan rektor tergolong ke dalam morfem bebas yang memiliki arti secara leksikal. Akan tetapi, apabila kita lihat kata dekanat dan rektorat dalam kamus besar bahasa Indonesia yang paling terbaru sekali pun, kata-kata itu belum memiliki pengertian yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, dengan adanya analisis dalam penelitian ini, kata-kata seperti dekanat dan rektorat
7
perlu segera dimaksukkan ke dalam KBBI untuk menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Penulis dapat menyimpulkan bahwa sufiks -at yang melekat pada kata dekan dan rektor dapat menyatakan ‘tempat’ atau ‘pronomina jamak’. Hal itu berkaca pada bentukan konsulat. Sebenarnya kata konsulat sendiri memiliki morfem dasarnya, yaitu konsul yang maknanya secara leksikal adalah ‘orang yang diangkat dan ditugasi sebagai wakil pemerintah suatu negara dalam mengurus kewarganegaraan di negara lain’. Selanjutnya, kata konsul mengalami proses afiksasi dengan menambahkan sufiks -at sehingga bentukannya menjadi konsulat. Bentukan konsulat bermakna ‘tempat konsul’ atau ‘pihak-pihak yang menjabat sebagai konsul’. Berikut ini merupakan penerapan bentukan konsulat dalam konteks kalimat. 6.
Juru bicara Kedutaan Besar AS mengatakan, belum ada kejelasan kapan konsulat akan dibuka kembali. (R, 9/8/2013).
7.
AS Tarik Staf Konsulat dari Lahore. (R, 9/8/2013). Kedua contoh tersebut sangat jelas menandakan bahwa -at merupakan
sufiks bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa asing. Alasan yang menguatkan bentuk -at dapat dikatakan sebagai sufiks karena penulis beranalogi dari bentukan asing -ization (B Ing) sebagai sufiks yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi -isasi. Sebagai bahan perbandingan, berikut penulis berikan contoh kata, yakni standardization (B Ing) yang kemudian diserap menjadi standardisasi (B Ind). Bentukan kata tersebut dapat diuraikan menjadi dua morfem, yakni standar (d) dan -isasi.
8
Sama halnya seperti -at, sufiks -isasi pun memiliki fungsi dan makna dalam membentuk kata turunan. Persamaannya adalah sufiks -isasi dan -at samasama berfungsi membentuk nomina. Pada kata standardisasi, makna yang ditimbulkan dari sufiks -isasi tersebut adalah ‘proses menyesuaikan sesuatu dengan pedoman’.
Dengan
adanya
analogi
seperti
itu, penulis dapat
mengungkapkan makna gramatikal sufiks -at berdasarkan contoh (kal. 6 dan 7), yakni maknanya adalah ‘menyatakan lokatif’ dan ‘bentuk jamak’.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis mencoba untuk merumuskan masalah dengan beberapa pertanyaan. Berikut ini merupakan rumusan masalahnya. 1.
Sufiks serapan asing apa saja yang diserap ke dalam bahasa Indonesia?
2.
Bagaimana proses penyerapan sufiks asing pembentuk nomina ke dalam bahasa Indonesia?
3.
Sufiks serapan asing pembentuk nomina apa saja yang produktif dalam proses pembentukan kata bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Setelah permasalahan tersebut dirumuskan, penelitian ini mencoba menjawab permasalahan itu. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
9
1.
Mengelompokkan sufiks serapan asing apa saja yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
2.
Menjelaskan proses penyerapan sufiks asing pembentuk nomina ke dalam bahasa Indonesia.
3.
Membuktikan sufiks serapan asing pembentuk nomina yang produktif dalam proses pembentukan kata bahasa Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu linguistik, khususnya dalam kajian morfologi. Selain itu, Penelitian ini pun berguna untuk mengelompokkan, menelusuri proses pembentukan, dan menentukan produktivitas sufiks serapan asing pembentuk nomina yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, manfaat praktis penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dan referensi bagi pemerhati bahasa. Harapan praktis lainnya adalah hasil karya ini dapat memberikan sumbangan informasi untuk penelitian berikutnya secara berkelanjutan.
1.5 Tinjauan Pustaka Agra dan Ismadi (melalui Kesuma, 2007: 38) menjelaskan mengenai tinjauan pustaka harus termuat uraian sistematis tentang hasil-hasil yang didapatkan dari penelitian terdahulu yang ada hubungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan objek penelitian yang akan diteliti. Lebih lanjut
10
lagi, Kesuma (2007) menganggap hasil penelitian terdahulu itu dapat berupa buku-buku teks, laporan hasil penelitian, makalah, risalah, atau artikel yang dimuat di dalam media cetak. Dengan demikian, dalam penelitian ini pun ada beberapa tinjauan pustaka yang telah didapatkan. Kajian seputar morfologi terutama masalah afiksasi dalam bahasa Indonesia sudah banyak dibahas oleh para ahli bahasa, baik di dalam maupun di luar negeri. Akan tetapi, penelusuran tentang sufiks serapan asing belum secara menyeluruh dilakukan. Misalnya saja, Chaer (2008: 165-167) telah menjelaskan nomina bersufiks asing yang hanya memberikan contoh sufiks asing tersebut. Dalam tulisannya, Chaer (2008) pun tidak menjelaskan secara detail sufiks asing yang dicontohkan. Hal serupa penulis temukan dalam Alwi, dkk. (2003) yang sama-sama menulis tentang sufiks asing. Alwi dkk. (2003: 235-238) menjelaskan tentang penurunan nomina dengan sufiks asing. Sufiks asing yang dijelaskan pun tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian ini lebih lanjut secara jelas, detail, dan komprehensif terkait sufiks asing. Putrayasa (2008) pun telah menulis mengenai sufiks serapan. Namun, dalam tulisannya, tidak terlalu dalam analisis yang diberikan kepada pembaca sehingga penulis merasa perlu mengkaji ulang terkait sufiks-sufiks yang ditulis oleh Putrayasa. Lebih sedikit lagi sufiks asing yang dicontohkan Ramlan (2001), yakni hanya -wan. Menurut penulis hanya Kridalaksanalah (2009: 76-80) yang relatif lengkap memberikan contoh sufiks asing pembentuk nomina. Dalam bukunya, Kridalaksana (2009) mengungkapkan ada sekitar tujuh belas sufiks asing disertai contoh kata yang dijadikan data.
11
Selain buku bacaan yang dijadikan referensi untuk tinjauan pustaka, karya ilmiah pun penulis gunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Karya ilmiah pertama adalah skripsi Prangwardani (1996) yang berjudul “Produktivitas Imbuhan Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan sejauh mana keberterimaan imbuhan serapan asing yang memiliki frekuensi paling tinggi dalam bahasa Indonesia. Hasilnya, sufiks asing yang produktif adalah -isasi, -isme, dan -wan. Yang berikutnya adalah karya ilmiah Denistia (2012). Dalam tesisnya dibahas sufiks asing bahasa Inggris yang berfungsi sebagai nomina pelaku, seperti -er, -ist, dan -ian; dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pembacaan yang telah dilakukan terhadap karya ilmiah tersebut ditemukan beberapa hal yang menjadi pijakan penulis dalam penelitian ini, seperti bagaimanakah proses penyerapan suatu bentuk dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, karya ilmiah ini ruang lingkupnya masih terbatas, yakni hanya tiga sufiks dalam bahasa Inggris yang dibahas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis berusaha mengungkapkan semua sufiks serapan asing yang berfungsi membentuk nomina. Tinjauan pustaka yang ketiga adalah tesis dari Syafar (2012) yang berjudul “Kata Serapan Bahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia: Kajian Morfologi dan Semantik”. Dalam tulisannya dijelaskan bagaimanakah proses penyerapan suatu bentuk yang terbagi menjadi dua, yakni proses pemasukan dan proses penyulihan berdasarkan teori Haugen (1972). Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa dalam proses penyerapan sufiks asing ke dalam bahasa Indonesia dapat pula dilakukan dengan cara yang sama, yakni adopsi dan adaptasi. Rujukan yang
12
terakhir adalah disertasi yang dibuat oleh Hadi (2003). Disertasi itu berisi katakata serapan dari bahasa arab yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia. Karena disertasi inilah, penulis terinspirasi cara memperoleh kosakata bahasa Arab, yakni dari sebuah kamus.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Morfologi Kentjono (melalui Kushartanti, 2007: 140) mengatakan bahwa morfologi adalah studi gramatikal struktur intern kata. Oleh karena itu, morfologi sering disebut pula tata kata atau tata bentuk. Dalam morfologi, yang diamati adalah kata itu sebagai satuan yang dianalisis sebagai morfem satu atau lebih (lih. Verhaar, 2006: 97). Secara tegas Kridalaksana (2001: 142) mendefinisikan morfologi sebagai
bidang
linguistik
yang
mempelajari
morfem
dan
kombinasi-
kombinasinya; bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem. Lebih jelasnya pengertian morfologi disampaikan oleh Ramlan (2001: 21) yang mengatakan bahwa morfologi itu mempelajari selukbeluk bentuk kata serta fungsi perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Karena morfologi adalah ilmu yang mempelajari morfem (lih. pula Djajasudarma, 2006: 35-39), unsur yang dapat dijadikan objek penelitian di antaranya adalah morfem, kata, pembentukan kata, kelas kata, dan partikel. Dalam kajian morfologi, Kridalaksana (2009) memasukkan leksem sebagai bahan dasar untuk memproses bentuk kata. Lebih lanjut Kridalaksana (2009) menegaskan
13
antara leksem dengan kata berbeda. Kridalaksana (dalam Kushartanti, 2007: 139) mengatakan kata adalah leksem yang sudah mengalami proses morfologis, sedangkan leksem itu sendiri adalah satuan bahasa yang akan diolah menjadi sebuah kata kompleks. Kridalaksana (2009) menggambarkan hubungan hubungan kata dan leksem seperti berikut ini. leksem
(proses morfologis)
kata
sebagai contoh: nyanyi
+ ber-/me-
=
bernyanyi, menyanyi : bentuk yang infleksi
1.6.2 Morfem Salah satu unsur yang wajib dianalisis dalam kajian morfologi adalah morfem. Teori tentang morfem sudah banyak dikemukakan oleh para ahli bahasa, seperti halnya Ramlan (2001: 32) yang mengatakan bahwa morfem adalah satuan gramatik yang paling kecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya. Pernyataan itu diperkuat pula oleh Badudu (1996: 66) yang mengatakan morfem adalah bentuk bahasa yang terkecil yang tidak dapat lagi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Hal senada pun disampaikan Kridalaksana (2001: 141) yang berpendapat bahwa morfem adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil. Apa yang disampaikan para linguis di atas tentang teori morfem terjadi kesamaan pendapat. Artinya, mereka sepakat dengan konsep sebuah morfem, yakni satuan bahasa terkecil yang tidak dapat diuraikan lagi unsur-unsurnya
14
menjadi bagian lain. Lalu seperti apakah wujud morfem yang dimaksud itu? Sebagai contoh penulis berikan data, seperti sastrawan dan ustazah. Dari kedua kata tersebut unsur-unsurnya masih dapat diuraikan menjadi dua morfem yang berbeda, yakni sastra + -wan dan ustaz + -ah. Bentuk-bentuk yang sudah diuraikan itu masing-masing disebut sebagai morfem karena tidak dapat diperkecil lagi bagiannya. Bentuk seperti sastra dan ustaz tergolong ke dalam morfem bebas, sedangkan bentuk -wan dan -ah termasuk ke dalam morfem terikat. Yang membedakan morfem bebas dan terikat adalah keberterimaan makna dalam sebuah tuturan (bandingkan Chaer, 2003: 152). Selain itu, perbedaannya lagi adalah morfem bebas dapat berdiri sendiri dalam tuturan, sedangkan morfem terikat tidak dapat berdiri sendiri.
1.6.3 Afiksasi Kridalaksana (2009: 28) mengatakan bahwa afiksasi adalah proses mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, (1) leksem berubah bentuknya; (2) menjadi kategori tertentu sehingga berstatus kata; dan (3) sedikit banyak berubah maknanya. Dalam hal ini leksem merupakan input dan kata merupakan output (lih. Kridalaksana, 2009: Bab II). Dengan istilah yang berbeda Ramlan (2001) menyebut afiksasi sebagai proses pembubuhan afiks. Proses pembubuhan afiks ialah pembubuhan afiks pada sesuatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata (Ramlan, 2001: 54).
15
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa afiksasi adalah proses atau penambahan kata dasar dengan afiks sehingga menimbulkan kata kompleks. Dalam hal ini, leksem berubah bentuknya menjadi kategori tertentu sehingga berstatus kata. Kridalaksana (2009) mengklasifikasikan afiksasi dalam bahasa Indonesia meliputi enam jenis, yaitu prefiks pe- pada kata penyanyi; infiks -el- pada kata gelembung; sufiks -at pada kata muslimat; simulfiks N- pada kata ngopi; konfiks ke-an pada kata kebakaran; dan kombinasi afiks keber-an pada kata keberhasilan. Dalam penelitian ini yang akan ditekankan adalah pembentukan kata dengan afiksasi, khususnya sufiks berdasarkan penyerapan bentuk dari bahasa asalnya.
1.6.3.1 Afiks Asli Satu di antara jenis afiks yang telah disebutkan di atas adalah sufiks. Pemilihan sufiks dilakukan karena menjadi objek dalam penelitian ini. Berbicara tentang sufiks berarti mengimbuhkan afiks pada posisi akhir bagian bentuk dasar. Sufiks dalam bahasa Indonesia terbagi atas dua, yakni sufiks asli dan sufiks serapan. Sufiks asli dalam bahasa Indonesia hanya ada empat sufiks, antara lain sufiks -an pada kata tulisan, sufiks -i pada kata ikuti, sufiks -kan pada kata terapkan, dan sufiks -nya pada kata tenggelamnya (lih. Putrayasa, 2008: 27). Sufiks tersebut pun memiliki fungsi gramatikalnya masing-masing.
16
1.6.3.2 Afiks Serapan Asing Selain sufiks asli, bahasa Indonesia pun banyak menyerap sufiks lain dari bahasa asing. Sufiks serapan bahasa asing yang dimaksud di antaranya berasal dari bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta. Sufiks serapan asing tersebut tergolong unik karena ada yang dapat lepas dari bentuk dasarnya dan ada pula yang tidak dapat lepas. Dari berbagai sumber dan penelitian awal yang telah dilakukan, ada sekitar tiga puluh lebih sufiks serapan asing yang digunakan dalam proses pembentukan kata bahasa Indonesia. Banyaknya klasifikasi sufiks-sufiks dari bahasa asing, satu di antaranya yang akan dijadikan sampel adalah sufiks serapan asing dari bahasa Sanskerta. Putrayasa (2008) mencontohkan beberapa sufiks asing dari bahasa Sanskerta diserap dan sering digunakan ke dalam bahasa Indonesia. Sufiks dari bahasa Sanskerta yang dimaksud itu adalah -man, -wan, dan -wati. Sufiks tersebut dapat lepas dari bentuk dasarnya sehingga bentuk dasarnya itu dapat berdiri bebas. Dalam bahasa Indonesia, sufiks-sufiks tersebut berfungsi membentuk nomina persona. Sufiks -man dan -wan biasanya dipakai untuk menunjukkan jenis kelamin laki-laki atau bisa juga menjadi generik, seperti budiman dan wartawan, sedangkan sufiks -wati khusus digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin perempuan, seperti biarawati dan wartawati. Makna yang dimiliki sufiks tersebut adalah ‘orang yang ahli’, ‘orang yang gemar’, dan ‘orang yang pekerjaannya sebagai’.
17
1.6.4 Produktivitas Afiks Selain berdasarkan asalnya, afiks juga dapat dilihat berdasarkan keproduktifannya. Berdasarkan produktivitasnya, afiks dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni afiks produktif dan afiks improduktif. Keproduktifan afiks serapan asing dapat juga dilihat berdasarkan jumlah dan potensinya melekat dengan kosakata bahasa Indonesia asli. Mengenai kedua kelompok afiks tersebut, berikut di bawah ini akan dibedakan berdasarkan teorinya.
1.6.4.1 Afiks yang Produktif Ramlan (2001: 61) menjelaskan “Afiks yang produktif ialah afiks yang hidup, yang memiliki kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem, seperti ternyata dari distribusinya”. Sebagai contoh afiks yang produktif pada waktu ini adalah sufiks -wan. Sufiks -wan merupakan sufiks yang berasal dari bahasa asing. Sufiks tersebut tergolong produktif karena terdapat pada kata-kata lama, seperti bangsawan, hartawan, jutawan, dan dermawan, kemudian timbullah kata-kata baru yang berakhiran dengan sufiks -wan pula, seperti sejarawan, negarawan, bahasawan, tatabahasawan, rohaniwan, karyawan, usahawan, dan masih banyak lagi (lih. Ramlan, 2001: 61).
1.6.4.2 Afiks yang Improduktif Afiks yang improduktif ialah afiks yang sudah usang, yang distribusinya terbatas pada beberapa kata, yang tidak lagi membentuk kata-kata baru (Ramlan, 2001: 61). Contoh sufiks asing yang improduktif salah satunya adalah sufiks -man
18
yang berasal dari bahasa Sanskerta. Sufiks -man disebut sebagai sufiks asing karena hanya muncul pada beberapa kata, seperti budiman dan seniman (lih. pula Ramlan, 2001: 62).
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Objek Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada objek penelitian yang berupa bentuk akhir kata, yakni sufiks. Sufiks yang dijadikan objek penelitian ini berasal dari bahasa asing. Sufiks serapan asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia banyak sekali jumlahnya. Berdasarkan keeratan dengan bentuknya, sufiks yang dimaksud ada yang dapat lepas dan tidak dapat lepas dari bentuk dasarnya. Berikut ini disajikan objek penelitian berupa sufiks serapan asing. Sufiks: -er, -ris, -or, -us/-si, -ur, -at, -in, -ah, -ir, -isme, -is, -isasi, -isida, -an, -man, -wan, -wati, -ian, -logi, -log, -grafi, -graf/-grafer, -itas/-tas, -nomi, -nom, -si, -ika/-ik, -um, -ndus, dan -nda. Morfem terikat yang dijadikan objek penelitian itu akan ditelusuri dari segi bentuk dan maknanya. Untuk mengetahui bentuk dan makna dari objek penelitian itu diperlukan sebuah data penelitian sebagai pembuktian bahwa morfem tersebut juga memiliki kelas kata sebagai pengelompokan objek tersebut. Dalam penelitian bahasa, objek penelitian berbeda dengan data penelitian. Oleh karena itu, untuk membedakan objek penelitian dan data penelitian, di bawah ini akan dijelaskan mengenai data apa yang digunakan dalam penelitian ini.
19
1.7.2 Data Penelitian Data penelitian merupakan satuan kebahasaan yang menjadi wadah objek penelitian. Itu berarti, data penelitian bahasa adalah satuan kebahasaan yang harus lebih besar dari objek penelitian. Karena objek penelitian bahasa dalam penelitian ini berupa sufiks, data penelitiannya harus dalam ujud kata. Kata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kata jadian yang berasal dari serapan asing. Kata serapan asing itu ada yang diserap sebagai bagian kata yang utuh bersama sufiksnya dan ada pula yang diserap terpisah dari sufiksnya. Semua itu bergantung dari serapan bahasa asalnya. Berikut ini merupakan data penelitian berupa bentuk kata serapan asing yang terpisah dan utuh dengan sufiksnya. yang terpisah: disainer, editor, politikus/politisi, debitur, dekanat, muslimin, ustazah, bankir, liberalisme, finalis, modernisasi, komedian, seniman, dermawan, karyawati, kata
Gusdurian, geologi, geolog, fotografi, fotograf/fotografer, loyalitas, ekonomi, dan ekonom. yang utuh
: sekretaris, komposer, orator, redaksi, redaktur, advokat, mekanik, dan komunisme.
Berdasarkan beberapa data yang telah disajikan dari KBBI di atas, sangat jelas terlihat adanya perbedaan bentuk pada kata tersebut. Data penelitian pertama, seperti kata ustazah, seniman, dan dekanat merupakan data penelitian yang berupa bentuk kata jadian. Kridalaksana (2001) menyebut kata jadian adalah kata turunan yang disebabkan adanya imbuhan. Merujuk pada data penelitian ini, bentuk kata jadian itu dapat diuraikan unsurnya, yakni menjadi ustaz + (-ah), seni
20
+ (-man), dan dekan + (-at). Lain halnya dengan data penelitian yang kedua, misalnya saja pada kata orator, redaksi, dan advokat merupakan data penelitian yang berupa bentuk dasar yang diserap secara utuh. Ramlan (2001) menganggap bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks yang menjadi dasar bagi satuan yang lebih besar. Namun, objek penelitiannya, seperti sufiks -or, -si, dan -at yang melekat langsung pada bentuk akhir kata tidak bisa diuraikan lagi bagiannya. Hal tersebut disebabkan proses penyerapannya secara keseluruhan.
1.7.3 Sumber Data Sumber data adalah dari mana asal data penelitian diperoleh atau didapatkan. Data dalam penelitian ini berupa kata serapan asing yang berbentuk dasar dan berbentuk kata jadian yang sudah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia. Bentuk dasar dan bentuk kata jadian yang dijadikan data dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan kamus sebagai data primer. Kamus yang dimaksud adalah KBBI karya Pusat Bahasa edisi ke-4 tahun 2008 cetakan Balai Pustaka. Dengan begitu, data penelitian yang didapatkan dari sumber kamus akan menjadi data yang akurat, mudah dikenali, dan ditelusuri kaidahnya.
1.7.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Data yang ada dalam penelitian ini dikumpulkan dan diklasifikasikan melalui sebuah metode. Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode penyimakan. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Dengan acuan metode simak tersebut, data-data akan diamati
21
kesesuaiannya untuk dijadikan analisis. Tak cukup hanya menggunakan metode pengumpulan data simak, data yang diperoleh dari KBBI juga harus diwujudkan dengan teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini, teknik dasar metode simak yang digunakan adalah teknik sadap. Lebih lanjut lagi, penelitian ini menggunakan teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap. Dengan teknik ini peneliti tidak terlibat langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati. Jadi, data dalam penelitian ini, penulis hanya menentukan dengan memerhatikan bentuk kata, apakah termasuk bentuk kata dasar atau bentuk kata jadian. Apabila teknik pengumpulan data awal sudah dilakukan, teknik terakhir adalah menggunakan teknik catat. Setelah data yang penulis peroleh, baik menggunakan teknik sadap maupun teknik SBLC, semua data itu dicatat dalam kartu atau kertas agar tidak lupa. Selanjutnya, data yang telah dikumpulkan dan dicatat itu akan dilakukan analisis.
1.7.5 Klasifikasi Data Sudaryanto via Kesuma (2007: 32) mengatakan apabila data penelitian telah tertranskripsi dan tertata secara sistematis, berarti penjaringan data telah berakhir. Transkripsi berkaitan dengan pencatatan data, sedangkan ketertataan secara sistematis berhubungan dengan klasifikasi data. Lebih jauh Kesuma (2007) mengatakan klasifikasi data yang baik adalah klasifikasi data yang gayut dengan masalah yang diteliti dan diorakkan. Data yang diklasifikasikan dalam penelitian
22
ini adalah data yang memiliki penanda pada bentuk akhir kata. Klasifikasi data dalam penelitian ini diwujudkan dalam bentuk tabel sebagai berikut. Tabel 1.1 Sufiks Serapan Asing -at Asal
Fungsi
1. bahasa Belanda
1. membentuk
2. bahasa Arab
nomina
Makna
Data
1. pelaku
birokrat (1,1,1)
2. gender/jumlah
muslimat (2,1,2)
3. lokatif
rektorat (1,1,3)
4. proses
maklumat (2,1,4)
1.7.6 Metode dan Teknik Analisis Data Berdasarkan data yang sudah diperoleh dan diklasifikasikan, berikutnya masuk pada tahap analisis data. Analisis data dimaksudkan untuk menangani langsung masalah yang terkandung pada data yang ada. Penanganan itu tampak dari adanya tindakan mengamati yang segera diikuti dengan membedah atau mengurai masalah yang bersangkutan dengan cara-cara khas tertentu (Sudaryanto, 1993: 6). Analisis data dalam penelitian morfologi ini menggunakan metode agih atau metode distribusional. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut ini. 8.
Tidak banyak yang tahu, seorang gitaris The Rolling Stones, Ronnie Wood ternyata seorang penggila sepak bola. (R, 13/3/2013). Data pada (kalimat 8), yakni gitaris termasuk ke dalam bentuk kata
turunan karena memiliki dua morfem yang berbeda, yakni morfem bebas gitar dan morfem terikat -is. Morfem -is pada data gitaris disebut sebagai sufiks karena
23
melekat pada posisi akhir dan dapat diuraikan dari bentuk dasarnya. Sufiks -is tersebut berfungsi membentuk kategori nomina bernyawa. Selain itu, makna yang muncul pada sufiks -is tersebut menyatakan ‘orang yang ahli dalam bermain gitar’. Sangat jelas bentuk -is tersebut memiliki penanda gramatikal. Sama halnya seperti dalam pengumpulan data, selain hanya menggunakan metode analisis data dengan metode agih, data yang dianalisis dalam penelitian ini juga harus diuraikan dengan teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang dipakai untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan pada awal analisis dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Manfaat teknik BUL adalah untuk menentukan bagian-bagian fungsional suatu konstruksi. Alat penentu teknik ini adalah intuisi kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang diteliti. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah gambaran tentang teknik BUL dalam sebuah konstruksi bahasa, yakni bentuk dasar dan bentuk kata jadian. a.
komunis, redaktur, direksi
b.
biarawati, kapitalisme, legalisasi Berdasarkan kedua data tersebut, yakni (data a dan b) ternyata memiliki
perbedaan dan persamaan. Perbedaan yang dimaksud ada pada bentuk akhir kata data tersebut, yakni (data a) tidak dapat dipilah-pilah menjadi unsur terkecil lagi, sedangkan (data b) unsurnya dapat dipilah-pilah menjadi dua bagian yang berbeda
24
dan bermakna. Berikut di bawah ini merupakan analisis pembagian unsurunsurnya dengan teknik BUL berdasarkan (data a dan b).
a.1 komunis
*komun
redaktur
*redakt
direksi
*direk
-is +
-ur -si
bentuk dasar bentuk tak berterima sufiks asing
b.1 biarawati
biara
kapitalisme
kapital
legalisasi
legal
(-wati) +
(-isme) (-isasi)
kata jadian kata dasar sufiks asing Perbandingan analisis pada (data a.1 dan b.1) dengan teknik BUL di atas jelas terlihat perbedannya. Pada (data a.1), perbedaan itu diperlihatkan ketidakmampuan bentuk akhir kata yang tidak bisa dipisahkan dari bentuk dasarnya. Bentuk-bentuk akhir kata, seperti -is, -ur, dan -si pada (data a.1) merupakan bentuk serapan asing yang melekat langsung pada bentuk dasar. Hal
25
berbeda terjadi pada (data b.1), yakni bentuk akhir pada kata tersebut dapat dipisahkan dari asal katanya. Pemisahan unsur itu bisa terjadi karena ada dua unsur yang berbeda, yakni morfem dasar yang berada di awal kata dan morfem terikat yang berada pada posisi akhir kata. Di sisi lain, yang menjadi persamaan dari kedua data di atas adalah bentuk akhirnya yang sama-sama memiliki penanda morfemis. Bentuk akhir kata -is, -ur, dan -si pada (data a.1) menjadi penanda nomina bernyawa. Hal itu beracuan dengan sufiks yang ada hubungannya, seperti -isme, -si, dan -ur itu sendiri. Begitu pula sufiks -wati, -isme, dan -isasi pada (data b.1) berfungsi membentuk nomina. Lebih khusus lagi, makna yang muncul pada sufiks tersebut adalah sufiks -wati menyatakan ‘jenis kelamin perempuan’, sufiks -isme memiliki makna ‘paham atau aliran’, dan sufiks -isasi berarti ‘proses’. Selain dengan teknik dasar BUL, ada pula teknik lanjutan yang digunakan dalam metode agih untuk menganalisis data penelitian mengenai kajian morfologi. Dalam penelitian ini, teknik lanjutan metode agih yang digunakan adalah dengan teknik lesap, teknik ganti, teknik baca markah, teknik pemerkuat, dan teknik pengontrasan. Semua teknik lanjutan dalam metode agih tersebut yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan dan dibuktikan dengan beberapa contoh konstruksi di bawah ini. Salah satu objek penelitian ini adalah bentuk akhir kata, yakni sufiks asing. Objek penelitian tersebut bisa diketahui keberadaannya apabila berada di dalam konstruksi kata. Setelah bentuk sufiks asing diketahui, barulah menentukan klasifikasinya. Pembuktian suatu unsur bahasa termasuk ke dalam kelompok
26
bentuk sufiks adalah dengan menggunakan teknik lesap. Kegunaan dari teknik ini adalah untuk membuktikan inti satuan kebahasaan dalam suatu konstruksi. Sebagai contoh berikut ini akan disajikan data senator dan orator yang akan dianalisis dengan teknik lesap. c.
senator senat
d. or
orator *orat
or
Kedua data di atas jelas terlihat perbedaannya setelah dilesapkan salah satu unsurnya pada bentuk akhir kata. Ketika bentuk akhir kata pada (data c) tersebut dilesapkan, unsur lainnya masih berterima. Unsur yang berterima itulah dinamakan dengan unsur inti atau yang dikenal dengan kata dasar, sedangkan unsur yang dapat dilesapkan itu disebut sebagai sufiks. Analisis itu penulis simpulkan berdasarkan makna yang terdapat pada bentuk yang diuraikan tersebut. Ternyata bentuk-bentuk yang diuraikan itu maknanya memiliki kaitan. Bentuk yang pertama, yakni senat bermakna leksikal ‘dewan perwakilan’, sedangkan bentuk kedua -or makna gramatikalnya adalah ‘anggota, wakil, atau orang yang dipercaya’. Artinya, bentuk -or tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus melekat dengan kata dasarnya, yakni senat. Dengan demikian, sufiks -or baru akan mempunyai makna apabila bentuknya menjadi senator berarti ‘anggota, wakil, atau orang yang dipercaya menjadi senat’. Berbeda halnya dengan (data d) yang tidak memiliki makna sama sekali jika sufiksnya dipisahkan. Bentukan orator yang memiliki sufiks akhir kata -or, sufiks tersebut tidak dapat dilesapkan. Apabila sufiksnya dilesapkan, bentuk awal *orat menjadi tidak berterima karena tidak mempunyai makna sama sekali. Oleh
27
karena itu, sufiks -or merupakan satu kesatuan yang utuh dari bentuk dasar orator dan tidak dapat dipisahkan. Sufiks -or yang tidak dapat dipisahkan berarti memiliki hubungan dengan bentuk akhir -si, misalnya orator dengan orasi. Dalam penelitian ini pun, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik ganti. Teknik ganti dilakukan dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang bersangkutan (Kesuma, 2007: 61). Untuk lebih jelasnya, berikut akan dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik ganti. Perhatikan contoh di bawah ini e. politisi
politikus =
f. musisi
musikus =
Kondisi serupa diperlihatkan (data e dan f) yang bentuk akhir katanya dapat saling menggantikan. Penggantian bentuk akhir kata antara sufiks -si dengan -us tidak terlalu berpengaruh terhadap makna gramatikal yang dimunculkan data di atas. Dengan demikian, bentuk -si dan -us pada data tersebut memiliki kadar kesamaan yang erat. Kesamaan kedua bentuk tersebut terlihat dari segi kategorinya yang sama-sama berfungsi membentuk nomina. Selain itu, makna yang ditimbulkannya bentuk -si dan -us pun sama, yakni menyatakan ‘orang yang berkecimpung dalam bidang tertentu’. Akan tetapi, ada hal yang membedakan antara -si dan -us, yakni dari segi pengelompokan bentuk dan kejamakannya. Bentuk -si merupakan silabel akhir pada kata politisi dan musisi, sedangkan -us termasuk ke dalam sufiks yang menempel pada kata dasar politik dan musik. Di
28
samping itu, perbedaan lainnya adalah sufiks -si tergolong ke dalam persona jamak, sedangkan sufiks -us tergolong persona tunggal. Teknik lain untuk menentukan sufiks adalah dengan teknik pemerkuat. Teknik pemerkuat adalah teknik analisis data dengan menghadirkan satuan kebahasaan lain. Sebagai bukti, konfiks pe-an dapat dikuatkan dengan sufiks asing -isasi karena kesamaan kategori dan makna. Misalnya, bentukan pemodernan bisa juga menjadi modernisasi. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah teknik pengontrasan. Teknik ini bertujuan menentukan kategori morfologis kata berdasarkan proses pembentukannya. Sebagai contoh, misalnya kata arsitek dengan arsitektur. Kata arsitek berkategori nomina bernyawa, sedangkan arsitektur berkategori nomina abstrak. Teknik yang terakhir digunakan untuk membedakan penanda pada sufiks adalah teknik baca markah. Misalnya saja sufiks -in pada bentukan muslimin menandakan laki-laki, sedangkan sufiks -at pada bentukan mukminat menandakan perempuan.
1.7.7 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Mengenai
metode
penyajian
hasil
analisis
data,
penelitian
ini
menggunakan dua metode, yakni metode secara informal dan metode formal. Metode informal itu terlihat dari uraian yang telah dijelaskan mengenai pengungkapan sufiks dan bentuk akhir kata serapan asing. Selain itu, hasil analisis data dalam penelitian ini pun menggunakan metode formal karena terdapat kaidah yang diwujudkan dalam bentuk tabel dan bagan untuk menjelaskan terkait sufiks
29
serapan asing. Dengan demikian, karena menggunakan dua metode penyajian hasil analisis data, penelitian ini menjadi lebih lengkap.
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini merupakan susunan bab dan subbab terkait sufiks serapan asing secara sistematis. Penelitian ini berisi urutan beserta langkah-langkah penelitian yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian lebih lanjut. Sistematika penyajian penelitian ini secara umum terbagi menjadi lima bab utama. Kelima bab yang dimaksud itu adalah bab pertama berisi pendahuluan; bab kedua berisi kelompok sufiks serapan asing; bab ketiga berisi proses penyerapan sufiks serapan asing; bab keempat berisi produktivitas sufiks serapan asing asing; dan bab kelima berisi penutup.