BAB I Pendahuluan A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Bergulirnya program-program pemberdayaan bagi masyarakat miskin dewasa ini tidak terlepas dari berbagai strategi dan pendekatan yang digunakan dalam pemberdayaan, salah satunya adalah dengan strategi pendampingan sosial.Pendampingan sosial dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin perlu mendapatkan perhatian dan
kajian,
mengingat
bahwa
pendampingan
sosial
melibatkan
pendamping atau fasilitator yang mempunyai kompetensi secara khusus dalam memberdayakan masyarakat. Peran pendamping atau fasilitator bertujuan untuk membantu dan bekerjasama dengan masyarakat yang mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber daya , maka pada tahap awal masyarakat miskin perlu distimulasi dari pihak luar, salah satunya adalah
melalui
pendampingan
melaksanakan program-program
sosial.
Kementerian
sosial
telah
pemberdayaan melalui mekanisme
Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial, dengan mekanisme tersebut diharapkan proses pemberdayaan bagi fakir miskin tidak lagi melihat sasaran pemberdayaan sebagai obyek, namun sebagai pelaku atau subjek dalam pembangunan. Kementerian sosial telah merealisasikan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), peran pendampingan sosial pada program KUBE yaitu sebagaistrategi atau sarana untuk memperkuat
1
kapasitas masyarakat miskin dalam mencapai kesejahteraan, namun tidak kalah pentingnya yaitu mengenai orientasi pendamping dalam melakukan asistensi terhadap KUBE , pada dasarnyapendamping dalam melakukan kegiatan pendampingan berdasarkan atas kesukarelaan melainkan bukan berorientasi pada materi, adanya orientasi atau motif pendamping dalam mendapatkan keuntungan secara materi akan berdampak pada kinerja atau kredibilitas pendamping dalam pengembangan potensi dan sumber daya padaKelompok Usaha Bersama ( KUBE). Pendekatan maupun strategi pendampingan sosial yang dilakukan oleh pendamping merupakan salah satu bentuk kredibilitas dan aktualisasi dari motif pendamping KUBE dalam pelaksanakan pendampingan program pemberdayaan fakir miskin. Adanya motif yang tidak disadari atas keuntungan materi dari pendamping, pada gilirannyamempunyai kecenderungan untuk mampu mengaktualisasikan kinerjanya melalui pendekatan dan strategi yang digunakan dalam pendampingan KUBE, sehingga permasalahan ini menjadi isu yang menarik untuk dilakukan penelitian. 2. Orisinilitas Pembahasan mengenai program Kelompok Usaha Bersama telah menjadi kajian yang menarik seperti pada penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Efektivitas Kelompok Usaha Bersama Sebagai Program Pemberdayaan Rakyat Miskin Perkotaan” Oleh Mutiara Pertiwi, tahun 2008 Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini membahas mengenai
2
bagaimana efektivitas kelompok usaha bersama (KUBE) dalam program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah di kecamatan
pesanggrahan
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan KUBE. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kemiskinan yang terjadi di kecamatan pesanggrahan serta menganalisis efektivitas kelompok usaha bersama (KUBE) dalam program penanggulangan kemiskinan, namun pendampingan sosial belum banyak dikaji secara lebih mendalam oleh penelitian sebelumnya.. Hal tersebut kemudian menggugah peneliti untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai “ Motif, Strategi dan pendekatan pendampingan sosial
sebagai
bentuk
aktualisasi
kinerjapendamping
dalam
pengembangan potensi dan sumber daya lokal Kelompok Usaha Bersama ( KUBE ). Melalui kajian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana motif pendampingdalam melakukan pendampingan sosial serta pendekatan maupun
strategi
yang
digunakan
pendamping
KUBE
dalam
mengembangkan potensi dan sumber daya lokal kelompok usaha bersama.
3. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial Dan Kesejahteraan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan dan kondisi sosial yang buruk pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Fokus kajian jurusan ini adalah pada
3
pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment), kebijakan sosial (Social Policy) dan tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan masyarakat (Corporate Social Responsibility). Pembangunan sosial dan Kesejahteraan
adalah
permasalahan
sosial
ilmu yang
kemasyarakatan ada
di
yang
masyarakat
mempelajari
beserta
upaya
pemecahannya. Relevansi penelitian ini dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah dalam hal kebijakan sosial yang dilakukan Kementerian Sosial RI dengan diberlakukannya Program Kelompok Usaha Bersama ( KUBE ) sebagai upaya mengembangkan potensi dan kemandirian secara ekonomi maupun sosial pada masyarakat miskin melalui adanya pendampingan sosial.
B. Latar Belakang Masalah Kemiskinan
merupakan
sebuah
isu
yang
selalu
menjadi
permasalahan utama di negara berkembang, salah satunya adalah indonesia. Dimana
isu mengenai kemiskinan selalu terkait dengan
masalah kesejahteraan sosial. Kemiskinan juga sebuah permasalahan yang bersifat kompleks dan multidimensional, maka dalam mengatasi permasalahan kemiskinan tidak lepas dari lintas sektoral mencakup sosial,politik,ekonomi,budaya dan lain-lain. Sehingga secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “Masyarakat Miskin” sebagai suatu kondisi
masyarakat
ketidakberdayaan,
yang
berada
keterisolasian,
dan
dalam
situasi
kerentanan,
ketidakmampuan
dalam
4
menyampaikan
harapan-harapannya
serta
ketidakmampuan
dalam
mengakses sumber dan potensi kesejahteraan yang menjadi faktor dominan terjadinya kemiskinan.
Istilah kemiskinan selalu diidentikan
dengan kelompok yang tidak memiliki potensi dan sumber-sumber kesejahteraan, hal tersebut akan menjadi naif jika kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai miskin pada dasarnya bukan serta merta tidak memiliki potensi namun sebaliknya kelompok masyarakat miskin mempunyai tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses serta mengelola sumber-sumber dan potensi yang belum disadari mapun yang sudah disadarinya. Pemberdayaan kemudian hadir sebagai sebuah proses yang akan membantu kelompok rentan dan lemah dalam menjangkau sumber-sumber produktif.
Proses akan selalu ada di dalam membangun
dan memberdayakan masyarakat. Proses tersebut tidak akan muncul secara otomatis tanpa adanya pihak luar yang memberikan stimulus. Dalam konteks pendampingan program pemberdayaan fakir miskin seperti program KUBE, pihak luar yang memberikan stimulus adalah pendamping atau fasilitator dengan segala kompetensi yang dimilikinya.
Berbagai strategi dan pendekatan telah diterapkan yang pada intinya memberikan kemampuan kepada masyarakat miskin untuk lebih berdaya dan tidak semata-mata mengandalkan bantuan karitatif dari pihak luar ( pemerintah dan masyarakat ). Pada fase awal masyarakat miskin perlu mendapatkan bantuan dari pihak luar karena memang sumber daya yang
5
dimiliki oleh fakir miskin sangat terbatas. Dengan kata lain bagi masyarakat yang kurang beruntung , intervensi dari luar merupakan faktor yang sangat determinan. Salah satu program pemberdayaan fakir miskin yang dilaksanakan oleh kementerian sosial adalah melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial ( BLPS) dan lembaga keuangan mikro. Inti program tersebut adalah untuk menyediakan stimulus dan sumber daya bagi fakir miskin agar mampu berusaha dalam rangka memperoleh penghasilan dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kemiskinan yang terjadi di daerah pedesaan maupun sekitar perkotaan seperti daerah pemukiman padat penduduk menjadi hal yang urgen dan memerlukan penanganan yang serius, tidak terkecuali di kota Yogyakarta yang merupakan kota budaya sekaligus kota pelajar. Bahkandi daerah Yogyakarta sudah barang tentu masih terdapat ketimpangan sosial, permasalahan sosial yang begitu kompleks dan menjadi pekerjaan yang perlu diselesaikan.
6
Menurut data diatas dapat dipahami bahwa garis kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Presentase penduduk miskin, pendidikan ( khususnya angka buta huruf ), kesehatan ( antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi ), ketenagakerjaan, dan ekonomi ( konsumsi/kapital ), merupakan 5 sudut dalam meninjau masalah kemiskinan. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai sesuatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus
7
dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985). Dewasa ini konsepsi mengenai pemberdayaan telah sering muncul, baik dalam kalangan akademisi, pemerintah, maupun LSM. Pemberdayaan merupakan paradigma baru sebagai sebuah antitesis terhadap pendekatan sebelumnya yang
sentralistik dan top-down. Hadirnya paradigma ini
tentunya untuk mengubah kondisi dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk ikut serta secara aktif dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah ditentukan. Dengan kata lain bahwa adanya pemberian kewenangan kepada masyarakat miskin untuk secara mandiri mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Inilah
yang
membedakan
antara
partisipasi
masyarakat
dengan
pemberdayaan masyarakat. Merebaknya paradigma pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan good governance. Dalam tataran pemerintahan pendekatan yang paling relevan dalam menjalankan fungsi pembangunan adalah good governance. Pengertian yang berkembang tentang good governance, sebagaimana disampaikan oleh bank dunia dalam Mardiasmo adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah satu alokasi, investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal bagi tumbuhnya
8
aktivitas usaha. Dari pengertian ini dapat diambil pengertian mengenai good governance yaitu upaya untuk menjaga dan meningkatkan citra baik pemerintah khususnya dalam lingkup pengendalian sistem pembangunan ( Sulistiyani,2004:75-76) . Namun hal ini berbeda dengan pemikiran UNDP yang lebih menekankan adanya keberpihakan terhadap masyarakat sipil dalam penyelenggaraan negara. Dengan kata lain bahwa UNDP memiliki perspektif mengenai good governance yang menekankan kepada sharingkekuasaan dan daya kemampuan dalam penyelenggaraan negara. Dengan begitu, maka UNDP lebih memandang rakyat diposisikan sebagai pengatur ekonominya, dan sumber-sumber politiknya yang tidak hanya digunakan sebagai formalitas dan dalam tataran konsep semata namun juga dalam praksisnya menempatkan rakyat sebagai subyek dalam pembangunan. Dari kedua pemahaman tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa
langkah
yang
seharusnya
ditempuh
adalah
pembentukan keseimbangan peran dan fungsi dalam sistem pemerintahan dan pembangunan . pemerintah dalam hal ini juga dapat berfungsi sebagai fasilitator
pemberdayaan
masyarakat,
pemerintah
dengan
segala
kewenangannya dan kapasitasnya, selayaknya menjadi pihak pemberdaya yang mampu menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih kepada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan dalam
9
penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Jika kesadaran masyarakat akan kondisi yang dialaminya tumbuh, maka hal tersebut akan merangsang masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya untuk kemandirian di lingkungan sosialnya. Dengan begitu, diharapkan dapat mengantarkan masyarakat untuk sampai pada kesadaran dan kemauan untuk belajar. Namun di luar itu, hubungan sinergis antara masyarakat , pemerintah dan swasta menjadi bagian penting dalam good governance tersebut. Dalam hal ini pemerintah diposisikan sebagai fasilitator atau katalisator, sedangkan tugas untuk pembangunan menjadi tanggung jawab seluruh komponen negara termasuk dunia usaha dan masyarakat. Bentuk ideal relasi yang ingin diwujudkan adalah “kemitraan” antara pemerintah, masyarakat, swasta, organisasi massa, organisasi politik, organisasi profesi dan LSM. Pemerintah dalam perannya sebagai perumus kebijakan –kebijakan khususnhya dalam pemberdayaan fakir miskin, juga selayaknya mampu mengidentifikasi secara lebih jauh dan terintegralistik mengenai kebutuhan serta persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang akan diberdayakan. ( Sulistiyani,2004:76). Pemberdayaan terhadap masyarakat miskin merupakan sebuah upaya dalam meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka dalam mengakses potensi dan sumber daya yang sulit dijangkau, kemudian dimensi sosial-ekonomi menjadi bagian yang paling penting, dan yang
10
takkalahpentingnyaadalahperanpendamping dalam proses pemberdayaan, adapun pendampingan merupakan bagian dari strategi pemberdayaan. Program KUBE yang digulirkan oleh kementerian sosial RI dikemas dengan melibatkan pendampingan sosial dalam rangka mendayagunakan berbagai sumber dan potensi serta meningkatkan akses anggota KUBE dalam mendapatkan pelayanan publik. Pendampingan sosial dalam program KUBE akan bermakna dan bersifat representatif, ketika pendamping mampu
mengaktualisasikan
dirinya dengan kelompok KUBE yang menjadi klienya melalui sebuah kerangka kerja dan metode yang terarah dan terukur, karena dapat dipahami bahwa setiapkelompok KUBE memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda, hal tersebut kemudian dapat mempengaruhi kapabilitas pendamping dalam membangun relasi dengan Kelompok Usaha Bersama yang menjadi klienya. Pendekatan dan strategi khusus yang dimiliki oleh pendamping merupakan bagian dari kompetensi yang dimiliki oleh pendamping.
Kegiatan
pendampingan
seringkali
dilakukan
atau
melibatkan dua strategi utama, yakni pelatihan dan advokasi. Pelatihan dilakukan terutama untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat mengenai hak dan kewajibannya serta meningkatkan keterampilan keluarga dalam mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. sedangkan advokasi adalah bentuk keberpihakan pekerja sosial terhadap kelompok yang didampinginya. Terdapat lima aspek penting yang dapat dilakukan dalam melakukan
11
pendampingan sosial, khususnya melalui pelatihan dan advokasi terhadap masyarakat, yakni : 1) Motivasi. Masyarakat didorong agar dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat ; 2) peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan ; 3) Manajemen diri. Kelompok harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan. Pada
tahap
awal
pendamping
dapat
membantu
mereka
dalam
mengembangkan sebuah sistem. Kelompok juga dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut; 4) Mobilisasi sumber. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun sumber-sumber individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial; 5) pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu
disertai
dengan
peningkatan kemampuan
para
anggotanya
membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangakan kesempatan dan mengembangkan berbagai akses dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat. Pentingnya seorang pendamping atau fasilitator dalam mendapatkan porsi pelatihan dan pendidikan belum intensif dan terarah. Peran seorang pendamping dalam program pemberdayaan fakir miskin, diharapkan mampu
menstimulus
partisipasi
masyarakat
dalam
setiap
aspek
12
pembangunan. Pada hakekatnya pembangunan yang diprakarsai oleh masyarakat
sebenarnya
dapat
dijadikan
sebagai
referensi
untuk
menempatkan masyarakat pada posisi yang seimbang. Pada kenyataanya masyarakat dalam kondisi yang miskin juga memiliki peran penting dalam penggalian dana, menyumbangkan pikiran dan tenaga serta waktu. Dan hal tersebut merupaka wujud partisipasi yang nyata. Dengan kata lain bahwa, peran pendampingan sosial seharusnya juga mampu membangkitkan gairah masyarakat yang menjadi fokus dalam program pemberdayaan fakir miskin untuk merasa mempunyai kewenangan dalam mengembangkan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan yang akan dicapainya. Pendamping atau fasilitator juga diharapkan mampu menjalin relasi yang mutualistik antara pemberdaya dan yang diberdayakan, sehingga akan dapat mencapai tujuan yang lebih optimal. Selain itu , relasi yang sudah berjalan tersebut diharapkan mampu memudahkan masing-masing dalam mewujudkan visi dan misinya, dan sekaligus saling menunjang satu sama lain. Selanjutnya terjadi kesepahaman satu sama lain antara pemberdaya atau fasilitator dan yang diberdayakan. Sehingga pemerintah melalui program pemberdayaan fakir miskin perlu menempatkan pendampingan sosial sebagai aspek yang penting dan juga memposisikan pendamping sebagai mitra pemerintah dalam mencapai visi dan misi yang saling menguntungkan. Karena bagaimanapun juga seorang fasilitator juga harus mempunyai kompetensi dan ikatan emosional dengan yang akan diberdayakan.Ada beberapa program yang telah di implementasikan oleh
13
Dinas Sosial Propinsi Yogyakarta untuk mengurangi tingkat kemiskinan di kota Yogyakarta yakni program Kelompok Usaha Bersama ( KUBE). Program ini ditujukan kepada masyarakat yang tergolong miskin, namun program KUBE tidak menekankan pada aspek ekonomi semata, melainkan lebih menekankan pada
pengembangan
kapasitas
dengan tujuan
menanamkan nilai-nilai kewirausahaan dan kebersamaan relasi sosial para Keluarga Binaan Sosial (KBS). Para Keluarga Binaan Sosial ini bebas memilih dan menentukan jenis usaha sesuai skill, dan keterampilan kelompoknya masing-masing. Walaupun pada pelaksanakannya program KUBE-FM dengan penekanannya pada pemberdayaan fakir miskin sudah berjalan, namun pada kenyataannya pendekatan dan strategi serta bagaimana motif pendamping dalam melakukan pendamping sebagai upaya pengembangan potensi dan sumber daya lokal KUBE belum banyak dikaji oleh penelitian sebelumnya, maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
C. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pendekatan dan Strategi Pendampingan Sosial Yang Dilakukan Oleh PendampingKUBE Sejahtera Berhati Nyaman 013 Dalam Upaya Pengembangkan Potensi dan Sumber Daya Lokal
14
Kelompok Usaha Bersama Di Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta ? 2. Bagaimana Motif yang melatarbelakangi Pendamping Dalam Melakukan Pendampingan Sosial KUBE Sejahtera Berhati Nyaman 013 Di Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo,Yogyakarta ? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dijalankan dengan tujuan- tujuan yang telah ditetapkan. Secara spesifik penelitian ini dilakukan dalam dua jenis tujuan, yaitu tujuan operasional dan tujuan substansial. Tujuan operasional penelitian ini antara lain : 1. Sebagai prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial di
Jurusan Pembangunan Sosial
(Sosiatri),
Fakultas
Ilmu
Sosial
dan
Kesejahteraan
dan
Ilmu
Politik,
Universitas Gadjah Mada. 2. Untuk memperdalam dan mengembangkan ilmu di Jurusan Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan
(Sosiatri),
khususnya dalam ranah pengetahuan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pendampingan sosial Kelompok Usaha Bersama ( KUBE ) dalam upaya mengembangkan potensi dan tanggung jawab sosial Kelompok Usaha Bersama ( KUBE ).
15
3. Bagi diri sendiri yaitu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama berada di bangku kuliah dan membandingkan dengan praktek-praktek di lapangan. Tujuan substansial penelitian ini adalah : 1. Dalam
melakukan
penelitian
ini
penulis
ingin
mengungkapkan bagaimana pendekatan dan strategi serta motif pendampingan sosial KUBE Sejahtera Berhati Nyaman 013 terhadap upaya pengembangkan potensi dan sumber daya lokal kelompok usaha bersama ditengah intensitas pendampingan yang rendah. 2. Juga secara spesifik penulis ingin menelisik konsistensi dari pelaksanaan program Kelompok Usaha bersama melalui pendekatan dan strategi yang digunakan , pada gilirannya penulis ingin mengetahui motif
pendamping
KUBEdalam melakukanpendampingan sosial, sehingga dapat mengetahui secara lebih lanjut dampak dan pengaruh dari pelaksanaan pendampingan sosial Kelompok Usaha Bersama terhadap pengembangan potensi dan sumber daya lokal
Di
Kelurahan
Kricak,
Kecamatan
Tegalrejo,
Yogyakarta.
16
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi serta referensi terkait dengan pendekatan dan strategi pendampingan sosial dalam program pemberdayaan, khususnya terkait pendampingan sosial dalam program KUBE, kemudian lebih jauh penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi mengenai motif pendamping atau fasilitaor dalam pelaksanakan pendampingan sosial program KUBE. 2. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terkait dengan motif pendamping dan pendekatan serta strategi pendampingan sosial dalam mendorong perkembangan potensi dan sumber daya lokal kelompok usaha bersama ( KUBE) .
F. Tinjauan Pustaka
Istilah mengenai pendampingan sosial selalu dikaitkan dengan strategi pemberdayaan masyarakat, hal ini memang sesuai dengan diadopsinya konsep pendampingan sosial dalam program-program pemberdayaan fakir miskin. Mengingat bahwa masyarakat miskin bukan dipandang sebagai seseorang yang tidak mempunyai potensi dan sumber daya, melainkan seseorang yang mempunyai potensi dan sumber daya, hanya saja belum disadari dan masih mempunyai kendala untuk
17
mengakses potensi dan sumber daya tersebut. Kemudian, fasilitator atau pendamping hadir ditengah-tengah keterbasan masyarakat miskin dalam mengakses
sumber
dan
potensi
untuk
mencapai
kesejahteraan,
pendamping disini mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap kliennya untuk secara bersama-sama membuat visi dan misi dalam mencapai kesejahteraan. Pendamping tidak hanya bertugas sebagai pihak yang
melakukan pemberdayaan secara sepihak, namun pendamping
diharapkan mampu menjalin interaksi yang dinamis dengan kliennya dalam rangka memecahkan persoalan dan kebutuhan secara efektif dan representatif. Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995:118) dalam Edi Suharto (2009:296) , peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.
1. Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber. 2. Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan
positif
dan
direktif
berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman
masyarakat
yang
didampinginya.
Membangkitkan
18
kesadaran
masyarakat,
menyampaikan
informasi,
melakukan
konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik. 3. Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja. 4. Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
Pendamping sebagai fasilitator harus memahami konsep dan substansi mengenai kemiskinan sehingga harapannya adalah pendamping memiliki kompetensi atau kemampuan dalam menyusun, melaksanakan, maupun memonitor dan mengevaluasi program-program pemberdayaan masyarakat,
serta
mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
dalam
pemberdayaan dan strategi apa yang paling tepat. Dalam hal pemahaman pendamping sebagai agen pembaharu terhadap substansi kemiskinan
19
struktural diarahkan terlebih dahulu pada agen pembaharu atau pendamping yang mencakup :
(1). Wawasan pengetahuan mengenai
kemiskinan (2). Sikap , kesadaran, dan kepedulian untuk memecahkan permasalahan kemiskinan (3). Kecakapan dan keterampilan yang dimiliki sebagai pendukung melakukan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks penguasaan substansi kemiskinan akan memberikan gambaran yang baik atas kemampuan pendamping untuk melaksanakan tugasnya sebagai agen pemberdaya masyarakat miskin. Bagian penting dari sebuah kinerja pendamping yaitu berkaitan dengan kamampuan dalam melakukan manajemen program-program pemberdayaan masyarakat miskin. Apabila kinerja pendamping baik, maka akan mampu
secara produktif,
bertanggung jawab, efisien, responsif dan responsibel dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam konteks pemberdayaan secara tepat.
Dalam menstimulasi kinerja yang tinggi terhadap agen pembaharu atau pendamping sosial adalah melalui bagaimana efektivitas dalam pencapaian
tujuan
program-program
pemberdayaan
yang
telah
dicanangkan. Serta apakah program-program pemberdayaan tersebut cukup responsif terhadap kebutuhan masyarakat miskin. Disamping kelembagaan, manajemen, pemahaman substansi kemiskinan absolut maupun struktural, pendamping sosial atau agen pembaharu perlu diberdayakan juga, dalam hal mengembangkan konsep tri daya, yaitu daya manusia, daya lingkungan, dan daya usaha. Sehingga dengan bekal ini
20
pendamping sosial dapat secara maksimal melakukan pemberdayaan di lingkungan masyarakat miskin.
Untuk mengkerangkai penelitian yang dilaksanakan, maka peneliti menggunakan kerangka sebagai berikut : 1. Pendampingan Sosial Menurut (Suharto, 2005:93) pendampingan sosial merupakan suatu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni membantu orang agar membantu dirinnya sendiri. Dalam konteks ini peranan pekerja sosial seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyempuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Kegiatan serta proses pendampingan sosial berpusat pada empat bidang tugas atau fungsi yang dapat disingkat dalam akronim 4P (Suharto,2005:95),yakni: pemungkinan (enabling) atau fasilitasi,penguatan (empowering),perlindungan(protecting),&pendukungan(supporting), Pemungkinan atau Fasilitasi, merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. Beberapa tugas pekerja sosial yang berkaitan dengan fungsi ini antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber. Penguatan, fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building).
21
Pendamping
berperan
juga
sebagai
pendampingan positif dan direktif pengalamannya
serta bertukar
agen
yang
memberi
berdasarkan pengetahuan dan
gagasan dengan pengetahuan dan
pengalaman masyarakat yang didampinginya. Perlindungan, fungsi ini berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembagalembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja. Fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pekerja sosial sebagai konsultan, orang yang bisa diajak berkonsultasi
dalam
proses
pemecahan
masalah.
Pendukungan,
pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugastugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti melakukan analisis
sosial,
mengelola
dinamika
kelompok,
menjalin
relasi,
bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
Kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya selalu digambarkan sebagai masyarakat yang miskin. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama
22
menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat ( Suharto, 2005:94 )
2. Strategi dan Model Pemberdayaan Pendamping Sosial Sebelum pendamping sosial atau agen pembaharu melakukan pemberdayaan dalam program pemberdayaan fakir miskin, tentunya terlebih dahulu dilakukannya pemberdayaan terhadap agen pembaharu. Maka untuk memberdayakan organisasi di luar pemerintah perlu dipikirkan model pemberdayaannya. Sebagaimana sebuah organisasi, seharusnya memiliki kelembagaan yang kuat, kemampuan manajemen, sumber daya yang cukup, dan meningkatkan kinerja. Jika meminjam konsep good governance, maka dalam pemberdayaan organisasi non pemerintah atau pendamping sosial ini hendaknya bertolak dari capacity building seperti misalnya pelatihan atau pendidikan khusus bagi pendamping dalam memperkuat pengetahuannya . Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sulistiyani (2004:114-115) , model pemberdayaan yang dilakukan adalah menyangkut kelembagaan, yang meliputi efisiensi struktur, fungsi, gaya kepemimpinan yang visioner, adanya diskresi dalam pengambilan keputusan, fungsionalisasi hubungan
23
dan komunikasi interaktif dalam suatu kaitan cross department. Output dari pemberdayaan pada level I ini, yaitu berpijak pada permasalahan kelembagaan adalah berupa organisasi agen pembaharu yang dibentuk. Sehingga untuk memberikan input atas kinerja pemerintah dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Pada tahap inilah agen –agen pembaharu atau pendamping sosial mulai dapat diperhitungkan dan didengar suaranya. Selanjutnya, pada level II pemberdayaan dapat lebih diarahkan pada kemampuan manajerial. Hal ini, meliputi kemampuan dalam melakukan fungsi-fungsi manajemen. Menurut Garson & Overman orientasi manajemen adalah NPM ( New Public Management ) dalam organisai diarahkan kepada fungsi-fungsi PAFHIER yang meliputi Policy Analysis, Finance, Human Relations, Information,External Relations. Output dari proses pemberdayaan merupakan suatu sistem manajemen organisasi agen pembaharu yang efisien. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat miskin berkaitan dengan penguatan kemampuan manajemen yang mencakup
kemampuan untuk mengenali,
memahami dan
menganalisis kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kemiskinan. Dengan kata lain bahwa pendamping sosial atau agen pembaharu hendaknya memiliki sebuah kompetensi yang memadai dalam program pemberdayaan fakir miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Spencer & Spencer ( 1993) bahwa kompetensi seseorang menjadi ciri dasar individu dikaitkan dengan
24
standar kriteria kinerja yang efektif dan superior. Dari penjelasan diatas Spencer berpendapat bahwa kompetensi disamping menentukan perilaku dan kinerja seseorang juga menentukan apakah seseorang melakukan pekerjaannya dengan baik berdasarkan standar kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya jika dikaitkan dengan kompetensi pendamping sosial, sepatutnya pendamping sosial memiliki karakteristik kompetensi dalam memberdayakan masyarakat miskin sehingga apa yang menjadi tujuan dalam pemberdayaan tercapai dan bekerja secara maksimal. Spencer & Spencer ( 1993:9-11) dalam Tjutju Yuniarsih (2009:23) menyatakan bahwa ada lima karakteristik kompetensi, yaitu sebagai berikut : 1) Motif ( Motive ), apa yang secara konsisten dipikirkan atau keinginan-keinginan
yang
menyebabkan
melakukan
tindakan. Apa yang mendorong perilaku yang mengarah dan dipilih terhadap kegiatan atau tujuan tertentu. Contoh motif berprestasi akan memotivasi seseorang secara terus menerus untuk merancang tujuan yang cukup menantang serta mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya dan menggunakan umpan balik untuk menjadi lebih baik. 2) Sifat/ Ciri bawaan ( Trait ) , ciri fisik dan reaksi-reaksi yang bersifat konsisten terhadap situasi atau informasi. Contoh, reaksi waktu, luas pandangan yang baik merupakan kompetensi bagi seorang pilot.
25
3) Konsep diri ( Self Concept ), sikap ,nilai, atau self image dari orang-orang . Contoh, percaya diri, keyakinan bahwa ia akan efektif dalam berbagai situasi, merupakan bagian dari konsep dirinya. 4) Pengetahuan ( Knowledge), yaitu suatu informasi yang dimiliki seseorang khususnya pada bidang spesifik. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Biasanya tes pengetahuan mengukur kemampuan untuk memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya itu. 5) Keterampilan ( Skill ), kemampuan untuk mampu melaksanakan tugas-tugas fisik dan mental tertentu. Spencer & Spencer ( 1993) dalam Tjutju Yuniarsih (2009:26) secara umum mengelompokkan beberapa kompetensi untuk mencapai kinerja tinggi. Salah satunya adalah kompetensi mengelola ( Managerial ) yang merupakan bagian dari dampak dan pengaruh yang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan kekuatan yang berpengaruh secara positif untuk hal-hal yang spesifik. Keinginan yang spesifik ini ditunjukkan melalui keinginan untuk mengembangkan pihak lain, memimpin yang lain dan memperbaiki teamwork dan kerjasama. Sedangkan kompetensi mengelola terdiri dari : a.) kemampuan untuk mendorong pengembangan
26
atau proses belajar orang lain b.) kemampuan untuk memerintah dan mengarahkan orang lain baik karena kemampuan diri maupun karena kekuasaan jabatannya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan sasaran organisasi c.) kemampuan dan kemauan bekerjasama dengan orang lain dalam suatu kelompok kerja atau menjadi bagian dari suatu kelompok kerja d.) kemampuan dan kemauan untuk berperan sebagai pemimpin kelompok, biasanya ditujukan dalam otoritas formal. Dalam
meningkatkan
kompetensi
KUBE,
maka
dibutuhkan
pendidikan dan pelatihan. Menurut Tjutju Yuniarsih (2009:36-38) Secara konseptual, pendidikan dan pelatihan merupakan penciptaan suatu lingkungan dimana seseorang dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pegetahuan, perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Progam mengenai pendidikan dan pelatihan pada dasarnya dirancang untuk mendapatkan kualitas sumber daya manusia yang baik dan siap untuk berkompetensi di pasar. Dari hasil proses belajar, pelatihan adalah proses memberikan atau meningkatkan kemampuan dan keterampilan serta menanamkan atau menyesuaikan sikap kepada seseorang. Untuk memutuskan atau menetapkan cara yang tepat dalam melaksanakan pelatihan , perlu identifikasi penyebab-penyebab terjadinya penurunan kinerja seseorang. Ada tiga faktor seseorang mempunyai kinerja rendah atau kurang memuaskan, yaitu :
27
Kinerja
seseorang
rendah
dapat
disebabkan
oleh
kekurangmampuan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan. Kurang memuaskan juga disebabkan oleh kurangnya usaha dari seseorang yang bersangkutan. Kondisi yang kurang menguntungkan. Pada situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan, dapat saja kinerja seseorang menjadi tidak memuaskan, misalnya terlau banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas. Pelatihan merupakan salah satu faktor dalam mengembangkan sumber daya manusia.
Dengan pelatihan saja
tidak menambah
pengetahuan karyawan, tetapi juga meningkatkan keterampilan yang mengakibatkan peningkatan produktivitas kerja. Pengertian pendidikan menurut
Soekidjo
Notoatmodjo
(1992:96)
adalah
suatu
proses
pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi yang bersangkutan.Sedangkan menurut Heidjrachman R(1992:228), pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang, termasuk di dalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan dalam menapai suatu tujuan. Menurut Siagian (1983:92), pengertian pendidikan adalah keseluruhan proses, tekhnik dan metode belajar
28
mengajar dalam rangka mengalihkan suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan standart yang telah ditetapkan. Menurut Nitisemito (1983:62) pengertian pelatihan atau training adalah suatu kegiatan dari organisasi dalam mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari seseorang, sesuai dengan keinginan organisasi yang bersangkutan. Segala sesuatu yang berupa kegiatan, pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan sebuah organisasi, pasti mempunya tujuan-tujuan yang diaktualisasikan dalam tindakan-tindakan nyata. Tujuan tersebut berkaitan erat dengan jenis organisasi. Susilo Martoyo ( 1985:54) menyatakan bahwa tujuan pendidikan dan pelatihan adalah memperbaiki tingkat efektivitas kegiatan karyawan dalam mencapai hasilhasil yang telah ditetapkan. Menurut Nitisemito ( 1992:117), bahwa tujuan dari pendidikan dan pelatihan adalah : a. pekerjaan diharapkan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan baik. b. Tanggung jawab diharapkan lebih besar. c. Kekeliruan dalam pekerjaan diharapkan berkuran. d. Kelangsungan organisasi diharapkan lebih terjamin. Tujuan dalam pendidikan dan pelatihan juga terkait dengan proses dalam merancang pelatihan, sedangkan Noe ( 2005:6) mengemukakan
29
bahwa ada tujuh tahap dalam proses perancangan agar pelatihan efektif. Pada tahap pertama adalah mengadakan penilaian terhadap kebutuhan. Tahap kedua adalah memastikan bahwa seseorang memiliki motivasi dan keahlian dasar yang diperlukan dalam pelatihan. Tahap ketiga adalah menciptakan lingkungan belajar. Tahap keempat adalah memastikan bahwa peserta mengaplikasikan isi dari pelatihan dalam pekerjaannya. Tahap kelima adalah mengembangkan rencana evaluasi yang meliputi identifikasi hal yang mempengaruhi hasil yang diharapkan dari pelatihan ( seperti perilkau, pembelajaran, keahlian), memilih rancangan evaluasi yang memungkinkan untuk menentukan hal yang berpengaruh terhadap hasil dari pelatihan, dan perencanaan untuk menunjukkan bagaimana pelatihan mempengaruhi “ bottom line” ( menggunkan cost-benefit analysis untuk menetukan manfaat moneter yang dihasilkan dalam pelatihan ). Taha keenam adalah memilih metode pelatihan berdasarkan tujuan pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. Tahap terakhir adalah mengevaluasi program dan membuat perubahan atau revisi pada tahapan awal agar supaya dapat meningkatkan efektivitas dari pelatihan.
3. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam Pendampingan Sosial Topik ini menjadi menarik, ketika Pekerja sosial masyarakat (PSM) masih menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat, bahkan akademisi. Padahal pekerja sosial mempunyai definisi yang jelas yaitu seseorang yang mempunyai keahlian dan pengetahuan dalam bidang kesejahteraan sosial,
30
namun karena kurangya sosialisasi dan ketidaktahuan publik terhadap pekerjaan sosial yang sudah menjadi suatu disiplin ilmu , menjadi asing ketika PSM masih belum banyak dikenal. Kemudian daripada itu, peran pekerja sosial masyarakat menjadi suatu yang perlu dan penting, ketika banyak program-program kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tegas menyebutkan bahwa peran PSM sangat dibutuhkan dalam melakukan intervensi terhadap proses pemberdayaan kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat. Mengacu pada Ife ( 2006:559-578) tentang peran dan keterampilan pekerja sosial masyarakat dalam memfasilitasi, bahwa pada dasarnya pekerja masyarakat dapat menggunakan beragam teknik untuk memudahkan sebuah proses, yang secara efektif menjadi alat yang mempercepat aksi dan membantu kelancaran proses. Dalam kategori ini, sejumlah peran spesifik ditemukan. Hal tersebut adalah sebagai berikut: a) Semangat sosial Menjadi suatu komponen penting dari praktik yang dilakukan oleh pekerja
sosial
masyarakat
;
yaitu
kemampuan
menginpirasi,mengantusiasi, mengaktivasi, menstimulasi, menggerakkan dan memotivasi orang lain untuk melakukan tindakan. Dalam konteks ini, antusiasme juga menjadi salah satu komponen yang paling penting dalam mendorong terjadinya semangat sosial. Antusiasme yang dimiliki oleh pekerja sosial masyarakat sebagai sesuatu yang alami dan tidak dibuat-buat, maka hal ini memiliki tendensi untuk menular ke yang
31
lainnya, sedangkan antusiame yang palsu akan cenderung berlalu dan tidak akan menural kepada yang lainnya. Jika seorang pekerja sosial terlihat tulus, terpercaya, konsisten dan tidak menipu dalam melakukan kesepakatan dengan orang lain, maka hal tersebut akan banyak membantu dalam memainkan peran sukses sebagai semangat. b) Mediasi dan Negosiasi Keahlian mediasi dan negosiasi sangat dibutuhkan oleh pekerja sosial dalam melakukan pendampingan atau pemberdayaan pada masyarakat. Sebagai mediator berarti pekerja sosial harus mampu merefleksikan berbagai pandangan dari kedua belah pihak ( saat terjadi konflik ) , maka dalam kondisi seperti ini pekerja sosial masyarakat harus dalam posisi netral. Sedangkan negosiasi lebih kepada peran pekerja sosial masyarakat dalam mengintervensi sebuah isu tanpa harus berpihak pada satu sisi, untuk mengakui berbagai pandangan yang berbeda, dan pada akhirnya mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. c) Dukungan Salah satu peran penting bagi seorang pekerja sosial masyarakat adalah menyediakan dukungan bagi orang-orang yang terlibat dalam berbagai struktur dan aktivitas masyarakat. Menyediakan diri ketika mereka membutuhkan sesuatu untuk membicarakan suatu hal, atau menanyakan berbagai pertanyaan, dan lain sebagainya. Hal ini juga mencakup bagaimana pekerja masyarakat dalam menyediakan diri dan
32
dapat dihubungi dengan mudah oleh orang-orang, serta mempersiapkan diri untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang secara tidak formal. d) Membangun konsensus Membangun konsensus merupakan sebuah perluasan dari proses mediasi. Untuk membangun konsensus, seorang pekerja masyarakat perlu memiliki berbagai keterampilan dalam mendengarkan,empati, membingkai kembali dan berkomunikasi.
Lebih dari itu, sebuah
konsensus itu mewakili suatu persetujuan atas tujuan dari tindakan, yang setiap orang telah ditentukan akan menjadi bagian yang terbaik dengan memperhatikan dan menghormati perbedaan pandangan dalam sebuah kelompok. e) Fasilitasi Kelompok Berbagai kelompok, tempat seorang pekerja sosial masyarakat akan terlibat termasuk berbagai tindakan kelompok, rekreasi kelompok, selfhelp kelompok, dan bentuk-bentuk pengambilan keputusan lokal. Adapundalam memfasilitasi kelompo, seorang pekerja masyarakat agar dapat beroperasi dengan efektif, maka diperlukan keterampilan seperti halnya mendorong orang lain untuk mengambil peran leadership dan fasilitasi serta menafsirkan dan menggambarkan apa yang telah dikatakan sehingga semua anggota kelompok dapat memahaminya. f) Pemanfaatan berbagai keterampilan dan sumber daya Peran memfasilitasi lain yang penting bagi seorang pekerja sosial masyarakat adalah mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai
33
keterampilan dan sumber daya yang ada bersama masyarakat atau kelompok. Penting juga bagi seorang pekerja sosial masyarakat untuk memiliki sebuah pemahaman yang baik mengenai apa yang tersedia dalam masyarakat ( apakah itu keuangan, keahlian, bahan-bahan mentah,produk-produk yang dibuat ). Pada kenyataanya pekerja sosial masyarakat hanya menghubungkan orang dengan orang lain atau berbagai sumber daya atau fasilitas, namun tidak seorang pun yang berpikir untuk memanfaatkan kegunaannya secara konkret.
g) Mengorganisasi Mengorganisasi berarti peran pekerja sosial masyarakat dalam mengatur. Hal tersebut berarti bagaimana melibatkan kemampuan untuk berpikir melalui apa yang butuh diselesaikan tanpa harus melakukannya seorang diri untuk memastikan itu semua terjadi. h) Komunikasi Pribadi Seorang pekerja sosial masyarakat tidak hanya membutuhkan kemampuan dalam mengorganisasi atau dalam manajemen, kemampuan lain yang harus dimiliki oleh pekerja sosial masyarakat adalah kemampuan interpersonal. Kemampuan seorang pekerja masyarakat dalam berkomunikasi juga memelukan kapasitas, salah satunya adalah menganjurkan orang lain untuk bercermin pada berbagai implikasi dari apa yang telah didiskusikan, sadar terhadap berbagai desakan dan prioritas waktu pribadi orang lain.
34
Adapun untuk memperkuat pendamping diatas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Miftachul Huda ( 2009:15 ) menyebutkan bahwa The National Association Of Social Workers ( NASW ) pekerjaan sosial mempunyai empat
tujuan
yaitu
Pertama,
meningkatkan
kapasitas
masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya, menanggulangi dan secara efektif dapat menjalankan fungsi sosialnya. Kedua, menghubungkan klien dengan jaringan sumber yang dibutuhkan. Dalam hal ini pekerjaan sosial mempunyai fungsi strategis dalam advokasi sosial. Ketiga, meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial dalam pelayanannya agar berjalan secara efektif. Keempat
mendorong terciptanya keadilan sosial melalui
pengembangan kebijakan sosial yang berpihak. Maka pada penjelasan diatas, pekerjaan sosial juga mempunyai peran penting dalam pendampingan sosial yang dimana pada saat ini PSM banyak dilibatkan secara langsung pada proses pengembangan program-program pengentasan kemiskinan yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Pendampingan sosial juga erat kaitannya dengan tujuan PSM tersebut.
4. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Edi Suharto ( 2005:57) Pemberdayaan merupakan istilah yang sering muncul
terkait dengan pembangunan kesejahteraan sosial
masyarakat ,pengertian pemberdayaan mengacu kepada makna yaitu memberi kekuasaan dan daya, dalam konteks pendampingan maka fasilitator atau pendamping secara bersama-sama mengkonseptualisasi
35
permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi oleh anggota KUBE dengan memberikan kekuatan serta memberikan kewenangan kepada kelompok usaha bersama. Sedangkan dalam pengertian lain pemberdayaan diartikan sebagai upaya dalam memberi kemampuan atau keberdayaan. Sedangkan Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini menjelaskan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan
dapat
berubah.
Jika
kekuasaan
tidak
dapat
berubah,
pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. (SMERU dalam Suharto
36
dkk, 2004). Sementara itu, di dalam berbagai literatur pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki pengertian dan perspektif yang lebih luas. Andrew Pears dan Michael Stiefel, mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekosentrasi kekuasaan, dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Bertolak dari paparan diatas bahwa dapat disimpulkan pemberdayaan merupakan pemberian kewenangan, otoritas, kepada suatu kelompok masyarakat yang lemah dan rentan sebagai upaya meningkatkan kemandirian dan penguatan potensi lokal.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat ada beberapa hal yang perlu dilakukan, seperti pertama perlu meningkatkan kesadaran kritis atau posisi masyarakat dalam struktur sosial maupun politik. Hal ini berangkat dari pendamping bahwa sumber kemiskinan berasal dari konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat itu sendiri. selanjutnya kesadaran kritis yang muncul diharapkan dapat membuat suatu keputusan dan perspektif sendiri dalam memenuhi kebutuhannya. Kemudian, dalam peningkatan kapasitas juga perlu dipahami, bahwa masalah kemiskinan bukan sekedar persoalan kesejahteraan sosial, akan tetapi juga terkait oleh faktor politik, budaya, ekonomi. Kemudian, pemberdayaan juga perlu mengkaitkan dengan pembangunan sosial dan budaya masyarakat.
37
5. Potensi dan Sumber Daya Lokal
Menurut
Soetomo
(2012:117-120)
Potensi
dalam
konteks
pembangunan sosial, memiliki makna bahwa segala sesuatu baik dalam bentul laten maupun manifes yang mempunyai peranan nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan itu baik disadari maupun tidak, pada dasarnya masyarakat mempunyai sebuah sumbersumber dan potensi kesejahteraan, baik dalam bentuk potensi alam, sumber daya manusia, maupun lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini sumber daya sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai potensi memang tidak secara otomatis mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka diperlukan upaya untuk mengubah resources yang bersifat potensial menjadi aktual dalam bentuk pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya yang tersedia. Dengan kata lain bahwa makin banyaknya sumber daya yang mamupu dimanfaatkan dan diolah secara
maksimal dapat berkontribusi
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu agar dapat menjembatani antara potensi, sumber, daya dan peluang di satu pihak dengan kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan di lain pihak, diperlukan paling tidak tiga hal. Pertama, dilakukannya identifikasi kebutuhan masyarakat yang juga terus menerus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Disamping merupakan respons masyarakat tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, dengan adanya kemampuan dalam identifikasi kebutuhan diharapkan kompetensi
masyarakat
dapat
menjadi
meningkat
dalam
konteks
38
membandingkan kondisi terkini dengan kondisi ideal sesuai visi masyarakat. Dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan secara terus menerus masyarakat akan menjadi dinamis, karena dilakukan sejalan dengan tuntutan perkembangan yang terjadi. Sebaliknya, jika tidak dilakukannya identifikasi kebutuhan maka masyarakat akan menjadi statis, karena tidak adanya inisiatif dan kesadaran dalam melihat kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai penghidupan yang layak.
Menurut Soetomo (2012:119) tanpa adanya identifikasi terhadap potensi dan sumber daya, yang akan terjadi hanyalah potensi yang tidak teraktualisasikan
dalam
memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Dalam
mengidentifikasi potensi dan sumber daya perlu melihat secara komperehensif baik dari sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya sosial. Dalam pendekatan yang berbasis dinamika internal, identifikasi sumber daya sosial atau sering juga disebut modal sosial tidak kalah pentingnya dengan dua sumber daya yang lain, hal ini disebabkan karena pembangunan yang berbasis dinamika internal adalah suatu proses perubahan yang mengandalakan dorongan energi internal serta potensi dan sumber daya yang ada. Adapun untuk menjembatani antara potensi , sumber daya dan peluang di satu pihak dengan kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan di lain pihak, Menurut Soetomo (2012:118-119) diperlukan paling tidak tiga hal yaitu :
39
a) Identifikasi kebutuhan masyarakat masyarakat yang juga terus menerus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. b) Identifikasi potensi, sumber daya dan peluang yang juga selalu berkembang, karena tanpa adanya identifikasi maka kebutuhan masyarakat tidak akan dapat teraktualisasikan. c) Proses dan upaya untuk mencari cara
yang lebih
menguntungkan dalam memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada.
Adapun proses dalam upaya memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada adalah melalui proses belajar sosial dan proses adaptasi dengan lingkungannya, masyarakat menemukan cara dan pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya ini. Dengan demikian proses dan prosedur dalam upaya pemenuhan kebutuhan dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang ada, menggunakan pendekatan dan metode berdasarkan konstruksi masyarakat sendiri. identifikasi potensi dan sumber daya yang ada, pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah laten menjadi manifes maupun cara untuk memanfaatkan sumber daya sehingga lebih memberikan manfaat bagi peningkatan kondisi kehidupannya terjadi melalui proses belajar. Sehingga potensi yang pada awalnya belum didasari menjadi didasari sebagai pemenuhan kebutuhan. Proses tersebut terjadi seiring adanya interaksi dan adaptasi dengan lingkungannya baik sosial maupun alam. Pada dasarnya
40
kesadaran akan potensi dan sumber daya akan memberikan kontribusi dalam memelihara dan memupuk kebermanfaatan sumber daya itu sendiri. semakin merasakan dan menyadari kemanfaatannya semakin kuat dorongan
untuk
melestarikan
dan
mengembangkannya.
Sehingga
masyarakat tidak hanya sampai pada tahap menyadari dan memanfaatkan sumber daya saja, namun bagaimana masyarakat memupuk dan memeliharanya melalui konstruksinya sendiri. potensi sumber daya laten, pada dasarnya potensi yang ada, namun belum disadarinya dan diketahuinya. Oleh karena itu tujuan dari identifikasi potensi tersebut adalah untuk menjadikan potensi menjadi disadari dan dikembangkan melalui proses adapatsi terhadap sumber daya tersebut. Kesadaran akan keberadaan dapat didorong oleh adanya keinginan akan berbagai kebutuhan
yang
perlu
dipenuhi
serta
berbagai
persoalan
yang
membutuhkan pemecahan. Sehingga masyarakat menjadi aktif dalam mencari sumber dan potensi yang ada pada dalam dirinya. Kesadaran akan potensi juga tidak sepenuhnya berawal dari masyarakat itu sendiri, namun juga perlui distimulus oleh pihak eksternal dalam hal ini adalah fasilitator atau pendamping. Dengan adanya pendamping diharapkan masyarakat juga mampu merespons dengan baik akan tujuan dari hadirnya seorang fasilitator. Maka oleh sebab itu, potensi juga mampu menjadi media interaksi antara pendamping dan masyarakat dalam proses belajar antara yang satu dengan yang lainnya.
41
6. Pertukaran Sosial Mengacu pada Peter M. blau dalam teori pertukaran bahwa individu melakukan interaksi dengan terlibat banyak dalam kegiatan yang bersifat altruistik pada dasarnya tidak sepenuhnya dilandasi oleh ketulusan, melainkan terdapat maksud terselubung yang individu tersebut inginkan di dalamnya. Maksud ini dijelaskan dalam dua bagian motif ; pertama yang bersifat ekstrinsik seperti halnya keinginan untuk mendapatkan pujian. Kedua motif yang bersifat intrinsik, yaitu lebih kepada mendapatkan pengaruh sosial, penghargaan sosial, adanya sebuah rasa bahagia dan kepuasaan. Dengan demikian, ketika merujuk kepada tinjauan teoritis yang dijelaskan oleh Peter Blau maka interaksi sosial sarat akan hubungan timbal balik antara individu maupun kelompok. Proses pertukaran sosial terjadi berawal dari self interest, menumbuhkan kepercayaan dalam relasi sosial melalui pengembangan karakter yang bertahap dan berulang. Kekuatan utama yang mendorong individu bersama adalah social attraction. Blau berpendapat bahwa sebuah kelompok dapat menawarkan imbalan yang tinggi, dari imbalan tersebut akan memperkuat ikatan sosial. Dalam banyak hal pada tahap-tahap awal dalam hubungan intrinsik individu sering melakukan perbandingan antara satu teman dengan teman yang lainnya yang potensial untuk pertukaran. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap-tahap awal daya tarik untuk mengadakan pertukaran lebih bersifat ekstrinsik. Dengan kata lain bahwa reward yang diinginkan tidak secara intrinsik melekat pada seorang teman tertentu.
42
Proses dari social attraction menuju pada proses pertukaran sosial, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Individu atau kelompok yang menerima pelayanan dari orang lain merasa memiliki hutang dan berkewajiban untuk membayar kembali. 2.
Pelayanan yang bermanfaat yang diterima seseorang dari pihak lain adalah pelayanan yang membuatnya merasa berkewajiban untuk membalasnya.
3. Wujud penghormatan dari pihak yang menerima layanan adalah dalam bentuk pelayanan yang memiliki keuntungan sebagai ganti pada pihak pemberi layanan. 4. Kedua pihak masing-masing memberikan supplay layanan yang nilainya lebih dari yang diterima untuk menyediakan insentif dan menghindari dari kewajiban untuk membalas budi. 5. Sejumlah keuntungan besar yang diterima dari masing-masing pihak, maka mereka butuh upaya lebih jauh untuk mencegah pertukaran sosial tersebut berhenti. Pertukaran sosial yang dimaksudkan dalam teori blau adalah terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung dari reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan tersebut tidak kunjung muncul. Bentuk pertukaran sosial yang dimaksudkan oleh blau dapat bersifat pertukaran sosial langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks pertukaran sosial langung maka orang
43
melakukan pertukaran didasarkan pada transaksi-transaksi pertukaran sosial yang seimbang maupun tidak seimbang.
44
G. Kerangka Pemikiran
KUBE sejahtera berhati nyaman 013 kampung jatimulyo terbentuk pada tahun 2010
Masih banyak anggota KUBE 013 yang belum memiliki keterampilan dan pengetahuan terkait manajemen usaha.
Bertahan dan berkembangnya KUBE sejahtera berhati nyaman 013 ditengah KUBE lain dikelurahan kricak yang mengalami stagnasi
Adanya reward motif yang simetris antara pendampingdengan anggota KUBE sejahtera berhati nyaman 013 , adanya pendekatan secara personal dan adanya kecenderungan pendamping melakukan pendampingan untuk mendapatkan penghargaan sosial dari lingkungannya.
Keterangan : Fokus penelitian
Rendahnya Inisiatif anggota KUBE 013 dalam mendapatkan keterampilan dan pelatihan serta rendahnya kemampuan pendamping dalam hal manajemen usaha.
Masih kurangnya pelatihan terhadap pendamping KUBE yang hanya dilakukan selama 3 hari. Rendahnya intensitas pendampingan terhadap KUBE Sejahtera berhati nyaman 013.
Rangkap pekerjaan dari pendamping KUBE yang juga sebagai petugas TKSK ( tenaga kerja sosial kecamatan ) dan sebagai pendamping USEP ( usaha ekonomi produktif ) provinsi DIY.
Alur fokus penelitian
45