BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Menurut Anthony dan Govindarajan (2008:175), perusahaan merupakan
sebuah entitas bisnis yang menjalankan usahanya dengan tujuan memperoleh laba (profit oriented). Dalam era globalisasi dan perkembangan ekonomi yang semakin pesat, setiap perusahaan dituntut agar dapat berkompetisi dengan perusahaan lainnya. Informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan perlu diketahui oleh stakeholders maupun calon investor dalam mengetahui seberapa besar potensi keberlangsungan hidup perusahaan. Para pemegang saham (stakeholders) menggunakan laporan keuangan sebagai alat untuk membantu mereka dalam rangka membuat keputusan investasi. Sesuai dengan tujuan dari laporan keuangan yang tercantum dalam PSAK No. 1 Paragraf 9 (2015), tujuan laporan keuangan memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan menunjukan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Almilia dan Kristijadi (2003), laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja serta perubahan posisi keuangan perusahaan yang
1
2
sangat berguna untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Agar informasi yang tersaji menjadi lebih bermanfaat dalam pengambilan keputusan, data keuangan harus dikonversi menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan analisis laporan keuangan. Menurut Almilia dan Kristijadi (2003), untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka dilakukan penelitian mengenai manfaat laporan keuangan. Salah satu bentuk penelitian yang menggunakan rasio-rasio keuangan yaitu penelitian-penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk tujuan memprediksikan kinerja perusahaan seperti kebangkrutan dan financial distress. Financial distress merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tahap penurunan dalam kondisi keuangan perusahaan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi (Plat dan Plat, 2002, dalam Almilia, 2006). Menurut Darsono (2005:101), kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Ramadhani dan Lukviarman (2009) menyatakan kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvensi. Kebangkrutan sebagai kegagalan diartikan sebagai kegagalan keuangan (financial failure) dan kegagalan ekonomi (economic failure) yang terjadi pada perusahaan. Financial distress bisa didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajibankewajiban financial yang telah jatuh tempo (Beaver et aI, 2011). Financial
3
distress bisa dialami oleh semua perusahaan, terutama jika kondisi perekonomian di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi mengalami krisis ekonomi. Menurut Ramadhani dan Lukviarman (2009), untuk mengatasi atau meminimalisir terjadinya kebangkrutan di perusahaan, pihak manajemen harus melakukan
pengawasan
terhadap
kondisi
keuangan
perusahaan
dengan
menggunakan analisis laporan keuangan. Oleh karena itu, banyak dikembangkan metode atau cara untuk memprediksi terjadinya financial distress. Jika kondisi financial distress ini dapat diprediksi lebih dini, maka pihak manajemen perusahaan bisa melakukan tindakan-tindakan yang bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan. Prediksi ini sekaligus bisa digunakan oleh berbagai pihak untuk pengambilan keputusannya, seperti pihak kreditur. Kreditur yang mengetahui bahwa perusahaan sedang dalam kondisi financial distress, sebaiknya tidak memberikan pinjaman karena akan sangat berisiko, kecuali manajemen perusahaan sudah mempersiapkan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah financial distress tersebut. Pihak lain yang juga terkait dengan masalah financial distress adalah investor. Tentu saja investor tidak akan melakukan investasi pada perusahaan yang sedang mengalami financial distress. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 memberikan dampak terhadap penurunan harga jual batubara. Indonesia sebagai salah satu pengekspor batubara di dunia tentu terkena dampak penurunan harga ini. Kondisi harga batubara dunia saat ini belum mengalami tanda-tanda perbaikan. Sejak Februari 2011, harga tidak pernah kembali ke harga tertinggi pada bulan tersebut, yakni sebesar 129,7 USD per metrik ton. Per 1 Juli 2012, harga batubara dunia hanya berada di kisaran 83,3
4
USD per metrik ton yang berarti telah mengalami penurunan sebesar 36% selama kurang lebih 18 bulan. Hal ini diakibatkan oleh kondisi ketidakpastian ekonomi Eropa yang mengakibatkan pelambatan ekonomi dunia. Perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia merespon dengan cara meningkatkan penjualan batubara mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pendapatan mereka meningkat atau paling tidak sama di tahun ini dibandingkan tahun lalu, namun perusahaan tambang tersebut tetap mengalami kerugian (www.wordpress.com). Sejumlah perusahaan batubara di Kabupaten Sarolangun Jambi berhenti beroperasi akibat terkena dampak krisis ekonomi global yang menyebabkan turunnya harga jual batubara (www.jambi.tribunnews.com). Hampir 90 persen perusahaan tambang batubara di Jambi telah bangkrut akibat turunnya harga batubara dan naiknya biaya operasi. Hanya 5 dari 36 perusahaan tambang batubara yang masih beroperasi (www.voaindonesia.com). Di Bengkulu, salah satu perusahaan tambang batubara yaitu PT. Putra Maga Nanditama (PMN) pun bangkrut akibat terkena dampak krisis ekonomi global yang menyebabkan turunnya harga jual batubara. Perusahaan tersebut
bahkan
sudah
menjual
beberapa
asetnya
(www.harianrakyatbengkulu.com). Pada kasus CPDW, perusahaan batubara ini bangkrut karena biaya operasi produsen batubara di Indonesia naik drastis disaat harga batubara termal jatuh karena menurunnya permintaan dari konsumen. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), memperkirakan hasil produksi batubara di Indonesia akan turun 30% menjadi 340 juta tahun ini akibat kondisi pasar yang berat. Hal ini
5
mengakibatkan perusahaan batubara tidak dapat menutup biaya produksi dan biaya angkut, sehingga perusahaan mengalami kebangkrutan. CPDW resmi dikeluarkan dari bursa terhitung dari tanggal 12 September 2013. Perusahaan tambang batubara milik Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menderita rugi bersih US$ 344,32 juta atau setara dengan Rp 4,5 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu perseroan mampu mengantongi laba bersih hingga US$ 349,45 juta. Dalam laporan keuangan Bumi Resources yang dikutip Jumat (17/7), performa Bumi Resources berbanding terbalik dari tahun lalu karena pendapatan perseroan selama tiga bulan pertama tahun ini anjlok tajam. Pendapatan perseroan jeblok 44,96 persen menjadi US$ 10,59 juta pada kuartal I 2015 dari sebelumnya senilai US$ 19,24 juta. Hal itu membuat laba kotor yang diperoleh anjlok 47 persen jadi US$ 9,16 juta dari sebelumnya US$ 17,32 juta. Pelemahan tersebut tidak dapat tertolong kendati beban pokok ikut turun menjadi US$ 1,43 juta dari US$ 1,93 juta. Parahnya, beban usaha perseroan pada kuartal I tahun ini tercatat lebih tinggi dari laba kotor tersebut. Beban usaha tercatat sebesar US$ 11,30 juta, membuat perhitungan laba usaha pada kuartal I tahun lalu langsung berbalik menjadi rugi usaha senilai US$ 2,14 juta. Kondisi tersebut diperparah karena pada kuartal I tahun ini Bumi Resources mencetak beban lain-lain sebesar US$ 352,92 juta, berbalik dari penghasilan lain-lain senilai US$ 542,12 juta pada periode tiga bulan pertama tahun lalu. Namun, penghasilan tambahan tahun lalu tersebut diraup dari penjualan anak usaha senilai US$ 746,94 juta. Belum habis juga, Bumi
6
Resources masih harus menelan pil pahit adanya beban selisih kurs mencapai US$ 1,68 juta pada kuartal I tahun ini. Padahal, pada kuartal I tahun lalu perseroan mampu mencetak laba selisih kurs mencapai US$ 108,88 ribu. Lebih lanjut, per 31 Maret 2015, total aset Bumi mencapai US$ 4,62 miliar, naik tipis dari akhir tahun lalu US$ 4,61 miliar. Sementara liabilitas atau kewajiban perseroan naik menjadi senilai US$ 5,7 miliar dari US$ 5,34 miliar (www.cnnindonesia.com). Berdasarkan fenomena yang telah terjadi peneliti mempunyai keinginan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi financial distress perusahaan. Menurut Atika, Darminto, dan Handayani (2012) salah satu cara untuk memprediksi kesulitan keuangan adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan. Rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari suatu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (Harahap, 2006:297). Model prediksi kesulitan keuangan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi sebelum sampai pada tahap krisis. Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai acuan memprediksi financial distress adalah rasio likuiditas, profitabilitas, leverage, dan pengukuran tambahan non keuangan yaitu ukuran perusahaan. Likuiditas merupakan rasio yang menunjukkan hubungan antara kas dengan asset lancar perusahaan dengan kewajiban lainnya dan dapat diukur melalui current ratio (CR) yakni dengan membagi aset lancar dengan kewajiban lancar (Brigham dan Houston, 2010:134). Menurut Harahap (2006:301), semakin besar perbandingan aktiva lancar dengan hutang lancar semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya.
7
Profitabilitas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
dengan
menggunakan sumber-sumber
yang
dimiliki
perusahaan seperti aktiva, modal atau penjualan (Sudana, 2011:22). Pada penelitian ini profitabilitas diukur dengan menggunakan return on asset (ROA) yakni rasio yang menunjukkan seberapa mampu perusahaan menggunakan asset yang ada untuk menghasilkan laba atau keuntungan (Gumanti, 2011:15). Menurut Husnan (1998) dalam Prasetiono (2011), semakin besar return on asset menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalian (return) semakin besar. Apabila return on asset meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ROA maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan. Sebaliknya semakin rendah rasio ROA menunjukkan kinerja keuangan yang tidak baik dimana perusahaan tidak mampu mengoptimalkan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan sehingga profitabilitas menurun dan kemungkinan terjadinya financial distress semakin besar. Leverage adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar kebutuhan dana perusahaan dibelanjai dengan hutang (Sutrisno, 2012:217). Pada penelitian ini leverage diukur dengan debt asset ratio (DAR) dimana menurut Fahmi (2013:127) DAR disebut juga rasio yang melihat perbandingan hutang perusahaan, yaitu diperoleh dengan perbandingan total dan hutang dibagi total asset. Menurut Prihadi (2008:91), semakin besar jumlah hutang maka semakin besar potensi perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan kebangkrutan.
8
Menurut Hilmi dan Ali (2008), ukuran perusahaan dapat dinilai dari total nilai aktiva, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Jadi ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya aset yang dimiliki oleh perusahaan. Berdasarkan penelitian terdahulu faktor-faktor yang mempengaruhi financial distress antara lain, faktor pertama yaitu current ratio (CR) menurut hasil penelitian yang telah dilakukan Almilia (2003) CR bepengaruh negatif terhadap financial distress, namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2012) dan Widarjo dan Setiawan (2009) yang menyatakan bahwa CR tidak berpengaruh terhadap financial distress. Faktor yang kedua yaitu return on asset (ROA) menurut penelitian yang telah dilakukan Widarjo dan Setiawan (2009) dan Andre (2009) ROA memiliki pengaruh negatif terhadap financial distress, namun hasil penelitian ini berbeda dengan Almilia (2003) yang menyatakan adanya pengaruh positif antara ROA dengan financial distress. Faktor yang ketiga yaitu debt asset ratio (DAR) menurut hasil penelitian Orina (2009) DAR berpengaruh positif terhadap financial distress, namun hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarjo dan Setiawan (2009) yang didukung oleh Almilia (2003) bahwa tidak terdapat pengaruh antara DAR dengan financial distress. Faktor terakhir yaitu ukuran perusahaan menurut hasil penelitian yang telah dilakukan Putri (2014) ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap financial distress, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Gobenvy (2014) ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap financial distress.
9
Menurut Hapsari (2012), model prediksi kebangkrutan yang bermunculan merupakan antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap financial distress karena model tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan yang mana model tersebut merujuk pada laporan keuangan perusahaan. Namun sampai saat ini, masih banyak perusahaan yang mengalami kondisi financial distress apabila dilihat dari indikator financial distress itu sendiri yaitu mengalami rugi sebelum pajak dua tahun atau lebih secara berturut-turut. Berdasarkan fenomena dan penelitian terdahulu yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai CR, ROA, DAR, Ukuran Perusahaan, dan Financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di BEI. Dengan demikian penulis bermaksud untuk malakukan penelitian dengan judul: “PENGARUH UKURAN
LIKUIDITAS,
PERUSAHAAN
PROFITABILITAS, TERHADAP
LEVERAGE,
KONDISI
DAN
FINANCIAL
DISTRESS” (Studi Empiris Pada Perusahaan Sub Sektor Pertambangan Batubara yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011-2014)
1.2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang dibahas dari judul di atas, maka
diperlukan pembatasan masalah sesuai dengan metode, ruang lingkup, dan informasi yang dibutuhkan agar pembahasan masalah tidak meluas, penulis
10
mengidentifikasi masalah yang akan menjadi pokok pemikiran dan pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh likuiditas terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3. Bagaimana pengaruh leverage terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4. Bagaimana pengaruh ukuran perusahaan terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai: 1. Pengaruh
likuiditas
terhadap
kondisi
financial
distress
pada
perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Pengaruh profitabilitas terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
11
3. Pengaruh leverage terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: a. Kegunaan Operasional: 1. Perusahaan Diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan serta tindakantindakan selanjutnya. Kemudian bermanfaat pula bagi kemajuan perusahaan dan meningkatkan nilai perusahaan sehubungan dengan menganalisis atau memprediksi financial distress melalui analisis rasio keuangan. 2. Investor Diharapkan dapat mempunyai kontribusi yang lebih dalam praktik dimana investor selalu membutuhkan referensi dari waktu ke waktu guna membantu dalam pengambilan keputusan investasi.
12
b. Kegunaan Akademis: 1. Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang keuangan, khususnya
mengenai
pengaruh
perkembangan
Likuiditas,
Profitabilitas, Leverage, dan Ukuran Perusahaan terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Peneliti Untuk menambah wawasan dan dapat lebih memahami bagaimana cara menganalisis dan memecahkan masalah melalui teori yang didapatkan di bangku kuliah. Dalam hal ini menambah pengetahuan penulis dalam memahami faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi financial distress pada perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2014.
1.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian Peniliti melakukan penelitian pada perusahaan sub sektor pertambangan
batubara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Peneliti mengambil data yang diunduh pada www.idx.co.id dan situs lain yang dapat mendukung penelitian. Penelitian dilakukan sejak September 2015 sampai dengan Januari 2016.