BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan fondasi primer bagi perkembangan kemampuan sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian keluarganya. Keluarga menjadi model dan pembimbing dalam mengajarkan polapola perilaku yang dapat diterima secara sosial (Hurlock, 1999). Santrock (2002), menyatakan bahwa keluarga merupakan bagian yang penting dari ”jaringan sosial” setiap orang, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam perkembangan kehidupan. Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap orang lain, benda dan kehidupan secara umum. Semakin meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan tersebut mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan tersebut mempengaruhi pola sikap dan perilaku kemudian hari. Dinamika dalam keluarga meliputi pola disiplin, ukuran keluarga, kualitas hubungan keluarga, perhatian, pengabaian dan kasih sayang dalam interaksi antar anggota keluarga (Furman & Lanthier, 1996). Setiap anggota keluarga memiliki pengaruh yang berbeda pada diri individu. Besarnya pengaruh seorang anggota keluarga sebagian besar bergantung pada hubungan emosional yang terdapat antara seseorang dan salah satu anggota keluarga tersebut (Hurlock, 1999).
5
Universitas Sumatera Utara
Keluarga inti terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan sedikitnya satu anak. Hampir sebagian besar keluarga di Indonesia memiliki lebih dari satu anak. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2002-2003 oleh BKKBN, saat ini per wanita di Indonesia rata-rata melahirkan minimal dua orang anak (”Penduduk,”2007). Sebagian besar penelitian lebih menekankan pentingnya peran orang tua dalam perkembangan individu. Namun demikian, hubungan dengan anggota keluarga lain yaitu hubungan antar saudara kandung juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan individu (Cicirelli, 1996). Hubungan antar saudara kandung adalah fenomena alami yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sebuah keluarga, yang biasanya muncul dalam sebuah keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. Penelitian yang dilakukan oleh Gracia, dkk.(2000), menemukan bahwa hubungan antar saudara kandung dapat menjadi dasar untuk mengukur perkembangan kemampuan sosial seseorang. Berdasarkan ”attachment theory” yang dikemukakan oleh Bowlby (dalam Yeh & Lempers, 2004), kelekatan antar saudara kandung dan hubungan antar saudara kandung yang kuat memberikan sumbangan dalam kesuksesan perkembangan sosial dan penyesuaian diri yang sehat. Semenjak masa kanak-kanak, kehadiran saudara kandung merupakan bagian pokok dari kehidupan sosial individu. Memiliki saudara kandung dapat merupakan suatu kebahagiaan, dapat juga menjadi ancaman, atau bahkan keduanya. Hubungan antar saudara kandung dapat berubah-ubah, perasaan yang muncul dapat sangat positif, dapat juga sangat negatif (Furman & Lanthier, 1996).
6
Universitas Sumatera Utara
Observasi yang dilakukan oleh Basket dan Johnson (dalam Santrock, 2002), menunjukkan bahwa anak-anak berinteraksi lebih positif dan lebih bervariasi dengan orang tuanya daripada dengan saudara kandungnya. Contoh, seorang anak akan lebih mematuhi perintah orang tuanya meskipun terkadang menunjukkan ketidakpatuhan daripada perintah saudara kandungnya. Sebaliknya, anak-anak lebih berperilaku negatif dan menghukum terhadap saudara kandungnya daripada terhadap orang tuanya. Relasi hubungan antar saudara kandung meliputi menolong, berbagi, mengajarkan, berkelahi dan bermain. Hal ini diperkuat oleh Cicirelli (dalam Santrock, 2002) yang mengungkapkan, dalam banyak hal, pengaruh saudara kandung dalam proses sosialisasi dapat lebih kuat dibandingkan orang tua. Kehadiran saudara kandung dapat bertindak sebagai pendukung secara emosional, kawan berkomunikasi, bahkan sebagai saingan. Cicirelli (1996), menyatakan bahwa hubungan antat saudara kandung (sibling relationships) merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi verbal dan nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua biologis yang sama, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain sejak mereka menyadari keberadaan saudara kandung mereka. Furhman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005 ), mengkarakteristikan hubungan antar saudara kandung dalam empat dimensi, yaitu kedekatan (warmth/closeness), dominansi (relative status/power), konflik (conflict) dan persaingan (rivalry). Berdasarkan penelitian Criss dan Shaw (2005), ditemukan bahwa konflik dan kehangatan/kedekatan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perkembangan sosial seseorang dibandingkan kedua dimensi yang lainnya.
7
Universitas Sumatera Utara
Stormshak (dalam Volling & Blandon, 2003), menyatakan bahwa kedua dimensi hubungan saudara kandung kehangatan/kedekatan dan konflik sangat perlu dipertimbangkan secara bersama-sama untuk memahami pengaruhnya yang penuh terhadap perkembangan sosial seseorang. Konflik antar saudara kandung tanpa adanya kehangatan/kedekatan sedikitpun memiliki pengaruh yang berbeda, salah satunya membuat seseorang kesulitan dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, tetapi konflik dapat melatih kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Cicirelli (1996) mengemukakan ada lima karakteristik unik dari hubungan antar saudara kandung. Pertama, hubungan saudara kandung merupakan hubungan sosial yang paling lama dialami oleh individu sepanjang hidupnya. Kedua, hubungan antar saudara kandung lebih bersifat bawaan daripada proses dari lingkungan. Ketiga, hubungan antar saudara kandung tetap dipertahankan agar kedekatan dapat terjalin dengan melakukan komunikasi setiap hari di rumah, khususnya selama masa anak-anak dan remaja. Keempat, hubungan antar saudara kandung lebih bersifat sederajat. Kelima hubungan antar saudara kandung merupakan pengalaman individu dalam berbagi kasih sayang dan perhatian dari orangtua, serta sumber-sumber yang ada dalam keluarga dengan saudara kandungnya dalam jangka waktu yang lama. Hubungan antar saudara kandung memiliki peranan yang penting dalam perkembangan perilaku-perilaku prososial dan perkembangan perilaku antisosial. Rinaldi dan Howe (1998), meneliti mengenai strategi penyelesaian masalah dan hubungan saudara kandung, ditemukan bahwa frekuensi konflik yang tinggi
8
Universitas Sumatera Utara
berkorelasi positif dengan penyelesaian masalah secara destruktif, dan kehangatan berkorelasi positif dengan perilaku prososial dan kemampuan menyelesaikan masalah secara konstruktif. Kehangatan dan kedekatan dengan saudara kandung memiliki peranan yang penting dalam perkembangan kemampuan sosial seseorang dengan teman-temannya serta kemampuan memecahkan masalah yang bersifat konstruktif atau destruktif serta perkembangan emosionalnya (Dunn & Munn; Howe; Herrera & Dunn, dalam Volling & Blandon, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Ingoldsby, Shaw dan Gracia (dalam Criss & Shaw, 2005), tingkat konflik yang tinggi dan tingkat kehangatan/kedekatan yang rendah berhubungan secara signifikan dengan tingginya tingkat perilaku antisosial dan rendahnya kompetensi sosial. Patterson (dalam Volling & Blandon, 2003), menyatakan bahwa interaksi agresif antar saudara kandung di rumah melatih anak untuk agresif, dimana kemudian anak akan lebih sering berperilaku agresif di mana saja, seperti di sekolah. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara perkembangan perilaku agresifitas, sikap bermusuhan anak dengan interaksi ”coercive” atau sikap pemaksaan antar saudara kandung (MacKinnon-Bierman, Starnes, Volling, & Johnson; Stormshak, Bellanti, Bierman, The Conduct Problems Prevention Research Group, dalam Volling & Blandon, 2003). Patterson (dalam Sigelman & Rider, 2003), menjelaskan ”coercive cycles” terjadi bila anggota keluarga mengatur dengan kekuatan yang besar, mencoba mengontrol anak atau saudara yang lain melalui taktik pemaksaan, seperti mengancam, berteriak keras dan memukul. Proses pemaksaan dalam keluarga
9
Universitas Sumatera Utara
membuat orang tua dan anak belajar untuk melakukan taktik pemaksaan terusmenerus sepanjang hidup anak, sampai akhirnya kehilangan kontrol terhadap perilaku anak, dimana pemukulan dan teriakan tidak lagi memberikan efek dalam mengontrol perilaku nakal anak. Perbedaan perlakuan orang tua terhadap saudara kandung juga dapat mempengaruhi munculnya pertentangan dan permusuhan dalam hubungan antar saudara kandung. Jika pada usia anak-anak sering terjadi konflik maka dapat menimbulkan kurang berkembangnya pengendalian diri, berperilaku agresif dan pola pikir yang tidak matang dalam diri individu. Hal itu akan terus berkembang selama rentang kehidupannya, akan tetapi konflik tersebut juga dapat memberikan kesempatan pada individu untuk belajar menjadi fleksibel, bernegosiasi, dan bertindak adil (Bank, 1996). Anak-anak menunjukkan perilaku yang lebih konsisten ketika berinteraksi dengan saudara kandungnya, sedangkan hubungan antar saudara kandung pada remaja dilaporkan lebih bervariasi, sebagian ditemukan memiliki tingkat konflik yang lebih tinggi dengan saudara kandung mereka dibandingkan pada masa anak-anak (Furman & Buhrnester, dalam Santrock, 2003). Namun, remaja juga mulai berusaha dan belajar bagaimana saling berhubungan lebih sejajar dengan saudara kandungnya, dan dengan demikian lebih memecahkan perbedaan-perbedaan mereka dibandingkan di masa kanak-kanak. Hurlock (1999), menjelaskan saudara kandung merupakan dunia sosial pertama individu, maka bagaimana perasaan dan perlakuan diantara mereka merupakan faktor penting dalam pembentukkan konsep diri, yang merupakan inti pola kepribadian. Bahaya kepribadian yang paling serius adalah perkembangan
10
Universitas Sumatera Utara
konsep diri yang kurang baik, yang dapat disebabkan karena adanya pemikiran dan harapan-harapan yang tidak realistis sehingga muncul perasaan dan pandangan gagal terhadap diri sendiri. Pandangan individu tentang diri sendiri merupakan cerminan langsung dari apa yang dinilai dari cara individu tersebut diperlakukan. Perkembangan kepribadian yang buruk pada masa kanak-kanak akan lebih berbahaya pada masa remaja karena pada saat ini remaja mengalami masa puber, yang merupakan ”fase negatif”, dimana emosinya cenderung tidak stabil, khawatir, gelisah, cepat marah serta kehilangan rasa percaya diri (Hurlock, 1999). Data dari Annual Review of Psychology (dalam Scharf, Shulman & Spitz, 2005), menemukan bahwa kualitas hubungan dengan saudara kandung akan cenderung stabil dari masa kanak-kanak hingga remaja, yang dapat mempengaruhi perkembangan karakteristik kepribadian yang akan mengarahkan terbentuknya perilaku. Perkembangan karakteristik kepribadian yang buruk mengarah pada perilaku menyimpang dan tidak mampu berfungsi secara maksimal dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Perilaku delinkuensi merupakan perilaku yang mayoritas terjadi pada anak dan remaja di bawah usia 21 tahun. Usia remaja merupakan usia sekolah, yang cukup rentan dengan munculnya masalah perilaku (Sarwono, 2006). Perilaku kenakalan dapat diprediksi sejak masa kanak-kanak, berikut yang menjadi prediktor perilaku kenakalan pada remaja antara lain, agresi, karakteristik keluarga dan faktor biososial. Agresi didefinisikan sebagai perilaku yang tidak dapat diprediksi yang menimbulkan kerugian pada korbannya. Dinamika
11
Universitas Sumatera Utara
keluarga, khususnya pola hubungan antar anggota keluarga, saudara kandung, sanak saudara serta pola disiplin dan kekonsistenan orang tua dalam mendidik berkorelasi dengan perilaku delinkuensi. Faktor lingkungan tempat individu tinggal juga menjadi faktor yang menyebabkan munculnya perilaku menyimpang. Selain itu, pola kepribadian kriminal, bermusuhan atau psikopat yang sudah terbentuk
sejak
masa
kanak-kanak
merupakan
faktor
signifikan
yang
memunculkan perilaku delinkuensi pada usia remaja dan dewasa (Short, 1987). Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan adalah kenakalan remaja. Namun, istilah kenakalan remaja juga sering disalahtafsirkan secara sempit, sedangkan istilah perilaku delinkuensi mengandung makna yang lebih luas dalam menunjukkan perilaku kenakalan. Walgito (dalam Sudarsono, 1997) merumuskan bahwa istilah delinkuensi lebih ditekankan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dan remaja, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Bynum dan Thompson (1996), perilaku kenakalan atau juga dikenal dengan ”delinkuensi” sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran yang berat, perilaku pelanggaran dinilai oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan (deviant) yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan sebagai perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak atau merugikan orang lain. Selain itu, Bynum dan Thompson (1996), juga mengartikan perilaku delinkuensi berdasarkan pada ”role definition”, yaitu individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup panjang dan kehidupan serta identitasnya terbentuk dari perilaku
12
Universitas Sumatera Utara
menyimpang (deviant). Hal ini menunjukkan bagaimana konsep diri yang sudah menetap dalam diri seseorang akan tumbuh menjadi kepribadian yang menetap, dimana konsep diri serta kepribadian tersebut merupakan hasil dari pengalaman, yaitu berupa interaksi seseorang dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosial pada awal masa perkembangan seseorang (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 1999). Bynum dan Thompson (1996) berdasarkan laporan Federal Bureau of Investigation (FBI), mengkategorikan perilaku delinkuensi dalam dua bentuk, yaitu status offenses dan index offenses. Status offenses diberlakukan pada anakanak di bawah usia 18 tahun, atau anak-anak yang masih berada di bawah tanggung jawab orang tua, antara lain lari dari rumah, membolos, mengkonsumsi minuman keras dan pelanggaran jam malam. Index offenses merupakan bentuk pelanggaran lebih serius, yang terdiri dari dua kategori yaitu pelanggaran kekerasan terhadap orang dan pelanggaran kekerasan terhadap barang/properti. Antara lain pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penyerangan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, dan pembakaran. Berdasarkan hasil survei transisi moralitas survei yang berlangsung JuniAgustus 2003, yang diadakan di 10 kota besar di Indonesia, yaitu di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Ujung Pandang, menunjukkan 54 persen remaja mengaku pernah berkelahi, 87 persen berbohong, 8,9 persen pernah mencoba narkoba, dan 28 persen merasa kekerasan sebagai hal yang biasa. Hasil survei lain berkaitan dengan pendidikan, sebanyak 47 persen remaja mengaku nakal di sekolah dan 33
13
Universitas Sumatera Utara
persen tak mempedulikan peraturan sekolah (“Perilaku,”2003). Survei lain yang diadakan Indonesia bersama Global Youth Tobacco Suvey (GYTS), menemukan bahwa di Medan, sebanyak 34,9 persen murid sekolah usia SMP pernah merokok dan sebanyak 20,9 persen perilaku merokoknya masih berlanjut dan menetap hingga SMU (Waraou, 2006). Berdasarkan data statistik juga ditemukan bahwa jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuensi lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal prostitusi dan lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Kartono (1998), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuensi anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuensi dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresifitas. Anak perempuan lebih banyak melakukan pelanggaran seks dan lari dari rumah. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, dkk., 2000), menyatakan bahwa remaja, khususnya remaja laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku kenakalan. Namun, demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan. Berdasarkan beberapa fenomena yang telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa tingkat pelanggaran yang dilakukan remaja Indonesia saat ini semakin meningkat, mulai dari pelanggaran yang ringan hingga pelanggaran yang berat. Hingga saat ini faktor penyebab kenakalan yang sesungguhnya masih belum diketahui. Pada kenyataannya banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada umumnya (Sarwono, 2006).
14
Universitas Sumatera Utara
Melalui uraian di atas yang mengungkapkan mengenai perkembangan perilaku sosial remaja, khususnya kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja, sebagai salah satu bentuk perilaku sosial yang menyimpang, serta pengaruh pola hubungan antar saudara kandung, khususnya kehangatan/kedekatan (warmth/closeness) dan konflik (conflict) sebagai salah satu dasar untuk mengukur terbentuknya hubungan antar saudara kandung, dimana kedua pola tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap terbentuknya perilaku menyimpang. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh pola hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja di kota Medan. Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti, apakah pola hubungan antar saudara kandung dapat mempengaruhi kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja, khususnya di kota Medan. I.B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari pola hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja. I.C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat mengenai pengaruh
pola hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan
munculnya perilaku delinkuensi pada remaja, baik manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis.
15
Universitas Sumatera Utara
a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan wacana dalam pengetahuan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan. Hasil penelitian pengaruh dari pola hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja ini kiranya dapat memberikan informasi dalam kajian psikologi dan penelitianpenelitian sejenis di bidang psikologi perkembangan, khususnya mengenai peran anggota keluarga khususnya saudara kandung dalam perkembangan remaja. b. Manfaat Praktis Manfaat secara praktis, penelitian ini ditujukan pada perkembangan kehidupan manusia, khususnya dalam bidang perkembangan anak dan remaja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan menambah wawasan dalam mendidik anak dan remaja yang ditujukan dalam perkembangan sosialnya, baik emosi maupun perilakunya. Juga kiranya penelitian ini dapat menambah minat dalam melakukan riset mengenai hubungan antar saudara kandung dan pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku seseorang. I.D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang penelitian tentang pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja, serta tujuan dan manfaat penelitian ini. Bab II Landasan Teori
16
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai perilaku delinkuensi, definisi perilaku delinkuensi, tipe-tipe perilaku delinkuensi, dan wujud perilaku delinkuensi. Serta penjelasan mengenai hubungan antar saudara kandung, dimensi hubungan antar saudara kandung, faktor-faktor yang mempengaruhi, definisi remaja, pembagian masa remaja, ciri-ciri remaja, tugas-tugas remaja, serta mengenai dinamika pola hubungan antar saudara kandung dengan perilaku delinkuensi. Akan dijelaskan pula mengenai hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini. Bab III Metodologi Penelitian Dalam bab ini, akan membahas mengenai identifikasi variabel-variabel penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian, karakteristik sampel dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data serta metode analisis data. BAB IV
Analisis Data
Dalam bab ini akan menjelaskan hasil analisis data penelitian utama, dan hasil penelitian tambahan. BAB V
Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini, akan menjelaskan mengenai hasil diskusi, kesimpulan dan saran.
17
Universitas Sumatera Utara