BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan
konsentrasi obat yang efektif selama periode yang diperlukan, terutama untuk obat-obat yang memiliki waktu paruh yang singkat. Sediaan ini harus diberikan secara berulang-ulang supaya dapat mempertahankan konsentrasi obat yang efektif dalam plasma. Hal ini dapat mengurangi kepatuhan pasien sehingga efek pengobatan menjadi kurang berhasil. Sistem penyampaian obat terkontrol oral dapat mengatasi masalah yang terdapat pada sediaan konvensional dengan cara melepaskan obat perlahan-lahan dan mempertahankan konsentrasi obat yang efektif dalam sirkulasi sistemik untuk waktu yang lama (Hoffman, 1998). Namun, sistem penyampaian obat terkontrol oral konvensional juga mempunyai kekurangan terutama untuk obat-obat yang memiliki rentang absorpsi yang sempit di daerah lambung dan bagian atas usus halus. Sistem ini tidak mampu menahan dan melokalisasi sediaan obat dalam daerah yang dicapai di saluran pencernaan karena waktu transit dan waktu tinggal sediaan yang relatif singkat dalam segmen saluran pencernaan yaitu 2-3 jam. Hal ini dapat menghasilkan absorpsi obat yang tidak sempurna dari sediaan dalam lambung yang menyebabkan pengurangan efikasi dosis yang diberikan maupun bioavailabilitasnya (Rajput, et al., 2010). Permasalahan ini dapat diatasi dengan memformulasi suatu sistem penghantaran obat terkontrol dan dapat memperlama waktu tinggal sediaan obat
1
Universitas Sumatera Utara
di lokasi absorpsi sehingga terjadi kontak yang optimal antara sediaan dengan lokasi terjadinya absorpsi, contohnya lambung. Perpanjangan waktu tinggal sediaan obat dalam lambung dapat meningkatkan bioavailabilitas dan mengontrol lamanya pelepasan obat. Sistem penyampaian obat yang tertahan di lambung disebut dengan sistem penyampaian obat gastroretentif (Nayak, et al., 2010). Salah satu contoh desain dan pengembangan sistem gastroretentif adalah sistem pengapungan. Tujuan utama mendesain sistem mengapung sebagai sistem penghantaran adalah untuk mengontrol supaya obat dapat bertahan dalam lambung untuk waktu yang lama dan mencapai retensi lambung agar diperoleh bioavailabilitas obat yang dikehendaki. Sistem ini memiliki densitas yang rendah sehingga memiliki kemampuan mengapung dan tetap berada di lambung (Ami, et al., 2012; Nayak, et al., 2010). Helicobacter pylori merupakan bakteri yang dapat menginfeksi manusia pada saluran pencernaan bagian atas sehingga menyebabkan terjadinya gastritis kronis, penyakit ulkus peptikum, dan kanker lambung (Chey and Wong, 2007). Sejak penemuan bakteri H.pylori oleh Marshall dan Warren pada tahun 1983 terbukti bahwa infeksi H.pylori merupakan masalah global. Prevalensi infeksi H.pylori di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi pada populasi di negara maju sekitar 0,3-0,7% dan di negara berkembang sekitar 6-14% (Thaker, et al., 2016). Di Indonesia, studi seroepidemiologi menunjukkan prevalensi 11,5%. Prevalensi H.pylori di Sulawesi Utara menunjukkan 14,3% untuk usia remaja dan 3,8% untuk anak-anak. Asumsi ini perlu diamati lebih lanjut karena kenyataannya prevalensi kanker lambung di Indonesia relatif rendah, demikian pula dengan
2
Universitas Sumatera Utara
prevalensi tukak peptik. Data penelitian klinis di Indonesia juga menunjukkan prevalensi tukak lambung pada pasien dispepsia yang di endoskopi di Jakarta berkisar antara 44 orang (33,6%) yang terinfeksi H.pylori dari 131 pasien dan 17,5% di Medan (Miftahussurur, et al., 2015). Di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan Skandivania, prevalensi infeksi H.pylori lebih rendah yang diperkirakan dibawah 20% dari jumlah populasinya. Kurang dari 5% anak-anak yang terinfeksi H.pylori pada negara itu. Berdasarkan pengamatan dan fakta, tingkat infeksi H.pylori pada anakanak menurun dan ada kemungkinan bahwa prevalensi infeksi H.pylori pada populasi di Amerika Serikat akan terus turun dalam beberapa tahun mendatang (Robinson, 2015). Penyakit tukak lambung merupakan penyakit pada saluran pencernaan yang masih banyak ditemukan pada penduduk seluruh dunia. Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif yang dapat merusak mukosa (asam lambung, obat-obat antiinflamasi non steroid, alkohol, dan bakteri H.pylori) dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung misalnya mucin, bikarbonat, dan prostaglandin sehingga menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa. Gejala dari tukak lambung adalah nyeri dan ketidaknyaman pada perut seperti mual dan muntah (Sunil, et al., 2012). Pemberantasan bakteri H.pylori dapat digunakan antibiotik yang memiliki kerja lokal pada lambung, Antibiotik yang umum digunakan untuk memberantas H.pylori adalah metronidazol, klaritomisin, amoksisilin, dan tetrasiklin. Penggunaan tetrasiklin sebagai antibiotik dalam pengobatan tukak lambung yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori menjadi salah satu pilihan karena
3
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan strain Helicobacter pylori rentan terhadap tetrasiklin (Bharathi, et al., 2015; Gerrits, 2004; Hajiani, 2009). Tetrasiklin ditemukan pada tahun 1940 yang diperoleh dari streptomyces aureofaqciens dan streptomyces rimosus. Tetrasiklin merupakan antibiotik pilihan yang dapat mengganggu proses sintesis protein dan memiliki spektrum antibakteri yang luas terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, aerobik, dan anaerobik (Setiabudy, 2012; Zakeri and Wright, 2008). Pada pengobatan terapi kuadrupel selama 10 hari untuk memberantas infeksi Helicobacter pylori menggunakan proton pump inhibitor (omeprazol) + kalium bismut subsitrat + metronidazol + tetrasiklin melaporkan tingkat pemberantasan keseluruhan strain Helicobacter pylori lebih besar dari 90%. Namun, metronidazol pada pengobatan terapi kuadrupel memiliki tingkat resisten 80% terhadap strain Helicobacter pylori (Malfertheiner, et al., 2011). Polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk meningkatkan pelepasan obat yang sukar larut (Martin, dkk., 1993). Cangkang kapsul dengan menggunakan basis polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur (Tanady, dkk., 2014). Penelitian sebelumnya (Tanady, dkk., 2014) melakukan pengujian natrium diklofenak dalam cangkang kapsul alginat yang ditambahkan dengan PEG 6000 dapat memenuhi persyaratan pelepasan tertunda yang ditetapkan oleh USP XXXII karena penambahan PEG 6000 pada pembuatan cangkang kapsul alginat dapat meningkatkan laju disolusi natrium diklofenak dari cangkang kapsul alginat.
4
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang peningkatan kelarutan obat yang dilakukan sebelumnya (Anggono, dkk., 2015) memformulasi sediaan mengapung dari dispersi padat aspirin dengan menggunakan cangkang kapsul alginat yang dapat bertahan lama di medium lambung. Pada hasil uji pelepasan aspirin menunjukkan adanya peningkatan laju disolusi. Semakin tinggi konsentrasi polivinilpirolidon K30 maka semakin tinggi laju disolusinya. Sistem dispersi padat aspirin-PVP K30 dengan perbandingan berat 1:3 memenuhi persyaratan pelepasan lambat dan dapat bertahan di lambung buatan pH 1,2 selama 12 jam. Pada percobaan secara invivo, hasil uji efek iritasi menunjukkan bahwa sediaan dispersi padat dalam kapsul alginat secara makroskopik menunjukkan iritasi pada semua lambung kelinci, tetapi secara histologi tidak menunjukkan adanya iritasi pada semua lambung kelinci. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, maka peneliti tertarik untuk membuat sediaan floating dengan menggunakan kapsul yang dibuat dari natrium alginat dengan penambahan PEG 6000 yang berisi tetrasiklin (BM 444,43) untuk memberantas bakteri Helicobacter pylori dan dapat bertahan atau tidak pecah dalam lambung sebagai sediaan lepas lambat selama periode yang panjang dan dapat menghasilkan aktivitas antikbakteri. Kapsul ini dibuat dengan menggunakan natrium alginat yang merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut (alga coklat) yang tidak bersifat toksis (Draget, et al., 2005).
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
5
Universitas Sumatera Utara
a. Apakah cangkang kapsul alginat dapat diformulasi untuk sediaan floating tetrasiklin yang dapat bertahan di lambung? b. Apakah sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan pelepasan obat yang memenuhi persyaratan pelepasan dalam medium lambung buatan pH 1,2? c. Apakah sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan efek antibakteri?
1.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut: a. Cangkang kapsul alginat dapat diformulasi untuk sediaan floating tetrasiklin yang dapat bertahan di lambung. b. Sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan pelepasan obat yang memenuhi persyaratan sustained release dalam medium lambung buatan pH 1,2. c.
Sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan efek antibakteri.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah: a. Memformulasi sediaan floating tetrasiklin yang dapat bertahan di lambung dengan menggunakan cangkang kapsul alginat.
6
Universitas Sumatera Utara
b. Meneliti sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan pelepasan yang memenuhi persyaratan sustained release dalam medium lambung buatan pH 1,2. c.
Meneliti sediaan floating tetrasiklin dengan penambahan PEG 6000 pada cangkang kapsul alginat dapat memberikan efek antibakteri.
1.5
Manfaat Penelitian Pada hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pengembangan cangkang kapsul alginat dengan penambahan polimer PEG 6000 dapat digunakan sebagai sediaan floating yang bertahan lama di lambung, sehingga dapat menjadi salah satu bentuk penyampaian obat baru terutama dalam teknologi sediaan penyampaian obat di dalam lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System).
7
Universitas Sumatera Utara
1.6
Kerangka Pikir Penelitian Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Latar Belakang Penyelesaian
Variabel bebas
Variabel terikat
Spesifikasi cangkang kapsul
Sediaan konvensional Tetrasiklin memiliki waktu tinggal di lambung yang singkat menjadi masalah utama pada pengobatan tukak lambung yang disebabkan bakteri H. Pylori
Laju pelepasan tetrasiklin
Pembuatan sediaan Floating Tetrasiklin
Kinetika pelepasan tetrasiklin
Konsentrasi PEG 6000
Parameter
- panjang - diameter - tebal - berat - warna - volume - kerapuhan
% kumulatif
Orde reaksi Floating time dan Floating lag time
Waktu floating
Daerah hambat (mm) Aktivitas Antibakteri
Konsentrasi Hambat Minimum
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
8
Universitas Sumatera Utara