BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kebangkrutan dan kelangsungan hidup perusahaan merupakan dua sisi yang saling bertolak belakang. Selain profit yang tinggi salah satu yang menjadi tujuan perusahaan adalah dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Asumsi ini dinamakan going concern. Going concern berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sampai satu periode atau satu tahun kedepan Dengan demikian maka going concern diartikan sebagai kelangsungan hidup suatu badan usaha (Petronela, 2004). Namun selalu ada kemungkinan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kemungkinan untuk mengalami kebangkrutan itu sendiri. Besar kecilnya kondisi tersebut berbeda-beda untuk tiap perusahaan tergantung kondisi yang dialami perusahaan tersebut. Laporan keuangan merupakan salah satu media untuk mengkomunikasikan fakta-fakta
mengenai
perusahaan
serta
menjadi
dasar
untuk
menentukan/menilai posisi keuangan dan kegiatan keuangan dari suatu perusahaan. Laporan keuangan suatu perusahaan dibutuhkan oleh berbagai pihak diantaranya pemilik perusahaan itu sendiri, kreditur, lembaga
keuangan, investor, pemerintah, masyarakat umum dan pihak-pihak lainnya. Agar dapat menyajikan laporan keuangan yang dapat memenuhi kebutuhan informasi semua pihak yang berkepentingan, diperlukanlah satu pihak yang dapat independen untuk menyajikannya. Pihak yang dinilai independen dalam hal ini adalah auditor. Akuntan publik adalah pihak independen yang dianggap mampu menjembatani benturan kepentingan antara pihak prinsipal (pemegang saham) dengan pihak agen yaitu manajemen sebagai pengelola perusahaan. Untuk dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, auditor harus mampu menghasilkan opini audit yang berkualitas yang akan berguna tidak saja bagi dunia bisnis tetapi juga masyarakat luas. Pada saat ini, auditor mulai diminta pertanggungjawabannya untuk mengungkapkan informasi yang tidak sebatas hanya pada pada hal-hal yang ditampakkan dalam laporan keuangan tetapi juga harus mengungkapkan informasi seperti eksistensi dan kontinuitas entitas. Auditor diharapkan tidak hanya memeriksa laporan keuangan atau mendeteksi kecurangan tetapi juga sanggup memprediksi dan menilai kemampuan perusahaan dalam melangsungkan hidupnya. Oleh karena itu, American Institute of Certified Public Accounting (AICPA) mensyaratkan bahwa auditor harus mengungkapkan secara eksplisit apakah perusahaan klien akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan kliennya sampai setahun kemudian setelah pelaporan (Januarti, 2008)
Di Indonesia isu mengenai laporan auditor dan hubungannya dengan masalah kelangsungan hidup bagi perusahaan sudah timbul sejak 1995. Isu ini muncul ditandai dengan runtuhnya Bank Summa, meskipun bank tersebut telah mengeluarkan laporan audit yang disajikan secara wajar pada tahun sebelumnya ternyata tidak menjamin kelangsungan hidup entitas tersebut. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada 1997 di Indonesia, isu kelangsungan hidup perusahaan menjadi sorotan publik. Perekonomian mengalami keterpurukan sehingga banyak perusahaan yang mengalami keterpurukan, kebangkrutan
akibatnya karena
banyak
tidak
perusahaan
dapat
yang
mempertahankan
mengalami kelangsungan
hidupnya. Terdapat banyaknya kasus tentang manipulasi data keuangan yang tidak dapat dideteksi dan informasi mengenai kelangsungan hidup yang belum diungkapkan oleh auditor menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap auditor itu sendiri. Auditor sebagai pihak independen yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perusahaan secara menyeluruh dan mendeteksi
kecurangan
dalam
perusahaan
dinilai
tidak
dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal ini kemudian memicu kepercayaan terhadap auditor menjadi berkurang, selain itu hal ini secara signifikan dapat merugikan stakeholder maupun stockholder. Fenomena mengenai penurunan kepercayaan publik terhadap kantor akuntan penah terjadi di Indonesia pada tahun 2003. Beberapa perusahaan besar seperti
Bank Lippo, mendapat opini wajar tanpa pengecualian pada tahun 2002 namun gagal pada tahun 2003. Independensi auditor dalam memberikan opini atas laporan keuangan yang diaudit juga harus mempertimbangkan going concern dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Suatu perusahaan diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya (Standar Akuntansi Keuangan, 2001). Namun apabila perusahaan tidak mampu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya untuk satu periode kedepan maka going concern perusahaan diragukan. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), pertimbangan auditor atas kemampuan kesatuan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya harus berdasarkan pada kemampuan penilaian. Penilaian tersebut didasarkan pada kesangsian auditor dalam dirinya sendiri terhadap kemampuan
suatu entitas (Saefudin dan Pamudji, 2004). Meskipun
auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan datang dan kelangsungan hidup (going concern) sebuah perusahaan, tetapi dalam melakukan proses audit kelangsungan hidup perlu menjadi pertimbangan auditor dalam memberikan opini auditnya. Opini going concern merupakan suatu opini yang dikeluarkan oleh auditor untuk
memastikan
apakah
perusahaan
dapat
mempertahankan
kelangsungan hidupnya (SPAP, 2011). O’Reilly (2010) menyatakan opini going concern akan berguna untuk pemakai laporan keuangan
khususnya investor sebagai bad news
mengenai kelangsungan hidup perusahaan. Going concern suatu perusahaan merupakan tanggung jawab pihak manajemen seutuhnya, yang pada akhirnya tanggung jawab tersebut melebar ke auditor. Tanggung jawab auditor tersebut yakni, mengungkapkan kelangsungan usaha suatu entitas melalui laporan audit. Auditor bertanggung jawab untuk menilai apakah terdapat ketidakpastian terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode waktu yang pantas, tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan audit. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 17/PMK.01/2008 pasal 3 dapat disimpulkan bahwa tentang pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun berturut-turut,dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Akuntan publik dan kantor akuntan boleh menerima penugasan kembali setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit umum kepada klien yang sama (pasal 3 ayat 2 dan 3). Dengan adanya peraturan tersebut maka perusahaan diharuskan untuk melakukan pergantian auditor dan KAP mereka setelah jangka waktu tertentu. Penelitian ini dilakukan mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 359/KMK.06/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Pada tahun 2003 untuk pertama kalinya peraturan
mengenai pergantian KAP secara wajib, namun pada tahun 2008 perusahaan dengan masa penugasan KAP menjadi enam tahun karena adanya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Kemudian peraturan ini diperbaharui lagi dengan mengeluarkan Undang-Undang No.05 Tahun 2011 dimana jasa pemberian audit yang dilakukan oleh KAP menjadi lima tahun. Dalam memberikan opini going concern ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Auditor harus terlebih dahulu mengadakan evaluasi terhadap rencana-rencana manajemen, sebelum auditor mengeluarkan opini going concern. Mc Keinley et al (1958) dikutip Fanny dan Saputra KAP besar akan berusaha untuk menjaga nama dan menghindari tindakan yang dapat mengganggu nama besar mereka. Januarti dan Fitirianasari (2008) menyatakan ketika KAP sudah memiliki reputasi yang baik maka KAP akan berusaha untuk mempertahankan reputasi yang dimilikinya dan menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak reputasinya sehingga KAP akan selalu bersikap objektif terhadap pekerjaannya. Berdasarkan penelitian Fanny dan Saputra (2005), Komalasari (2004), Fitrianasari (2008) reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap pemberian opini going concern. Hal ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya seperti Santosa dan Wedari (2007), Setyarno (2007) dan Sudyawan dan Badera (2009). Namun penelitian mereka berbeda dengan hasil penelitian Rahayu
(2007) dan Junaidi dan Hartono (2010) yang menyebutkan bahwa reputasi auditor berpengaruh signifikan terhadap pemberian opini going concern. Faktor lain dalam perusahaan seperti financial distress akan berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern. Perusahaan yang cenderung menerima opini going concern adalah perusahaan yang mengalami financial distress Perusahaan mendapat status default karena mengalami kesulitan keuangan sekalipun perusahaan telah mendapat opini going concern tahun sebelumnya mengindikasikan adanya keraguan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Januarti, 2008) Penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan opini going concern. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kembali faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern karena ditemukan hasil yang berbeda-beda pada penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini menggunakan reputasi auditor, financial distress sebagai variabel independen dan menambahkan opinion shopping sebagai variable independenl penelitian karena variabel-variabel tersebut mempengaruhi penerimaan opini going concern. Dengan menggunakan variabel tersebut, apabila perusahaan diragukan dapat melanjutkan kelangsungan hidupnya maka perusahaan tersebut akan menerima opini going concern. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penulis menambahkan opinion shopping sebagai variabel independen. Tujuannya
adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh opinion shopping pada perusahaan manufaktur di Indonesia terhadap penerimaan opini going concern, serta mengkaji hubungannya dengan penerimaan opini going concern. Sampel penelitian ini adalah perusahaan manufaktur. Alasan penulis memilih perusahaan manufaktur karena perusahaan manufaktur memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu data keuangan perusahaan manufaktur lebih reliable dalam penyajian akun-akun laporan keuangan seperti cash flow, penjualan, dan lain-lain. Dari uraian diatas penulis tertarik untuk menganalisis pengaruh opinion shopping, reputasi auditor, dan financial distress tehadap penerimaan opini going concern. Oleh sebab itu peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan memilih judul ”Pengaruh Opinion Shopping, Reputasi Auditor, dan Financial Distress Perusahaan Terhadap Opini Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan,maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah opinion shopping, reputasi auditor, dan financial distress berpengaruh terhadap opini going cocern pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?”
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah opinion
shopping,
reputasi
auditor
dan
financial
distress
berpengaruh terhadap opini going cocern pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?”
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan serta pemahaman peneliti tentang pengaruh opinion shopping, reputasi auditor, dan financial distress terhadap penerimaan opini going concern dan dapat menganalisis suatu perusahaan apakah dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan atau tidak sehingga dapat memberikan sumbangsih saran. 2. Bagi investor, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan berinvestasi. 3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya dan menjadi tambahan wawasan.