BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap organisasi saat ini menghadapi lingkungan yang semakin dinamis dibandingkan waktu-waktu yang lalu sehingga kemampuan untuk berubah menjadi sebuah keharusan. Bahkan tidak jarang suatu organisasi dengan sengaja menciptakan perubahan untuk mendongkrak kembali kinerja organisasinya. Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik (birokrasi). Tuntutan agar organisasi birokrasi menjadi institusi yang adaptif terhadap perkembangan terjadi karena bagaimanapun birokrasi tidak berada pada ruang yang hampa. Pada tanggal 21 Desember 2010 pemerintah menetapkan Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dalam rangka mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik. Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) adalah bentuk operasionalisasi dari Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB). Ruang lingkup Road Map Reformasi Birokrasi mencakup program-program penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur meliputi peraturan perundangan, organisasi, tata laksana, sumber daya aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik dan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) baik pada tingkat makro, meso ataupun mikro. Secara bertahap kemudian ditetapkan Peraturan perundangan sebagai upaya melaksanakan reformasi birokrasi antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil sebagai pengganti Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3), dan yang terbaru dan fundamental adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
1
Sipil Negara (ASN) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sebenarnya reformasi birokrasi bukanlah hal yang baru, pasca krisis multidimensi tahun 1998 telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Namun demikian dalam perkembangannya, reformasi birokrasi selalu mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidangbidang lain. Pada tahun 2004 pemerintah kembali mendorong prioritas utama program pembangunan aparatur negara dan pada tahun 2009 Pemerintah bertekad melaksanakan reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi birokrasi. Selanjutnya pada tahun 2011 seluruh Kementrian/Lembaga dan Pemda ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi dan pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan K/L dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut. Namun demikian, sepertinya kondisi yang diharapkan dari adanya perubahan tersebut masih jauh dari harapan. Birokrasi dan PNS masih saja dicitrakan masyarakat sebagai institusi dan sosok yang kental dengan perpolitikan, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan pelayanan yang lamban. Hingga saat ini dari 9 program akselerasi MenPAN & RB, program yang paling gencar dilaksanakan hanyalah remunerasi (Kumorotomo, 2014)1. Padahal remunerasi yang tidak diimbangi dengan perbaikan kinerja pelayanan publik membuat PNS akan makin dinilai buruk oleh masyarakat. Susanto (dalam Mahasiswa Kelas Bappenas VIII MAP UGM, 2014) menyebut dalam perbaikan kinerja pemerintah, pembuatan peraturan perundangan tanpa disertai dengan
1
Wahyudi Kumorotomo, Profesionalisme Aparatur Sipil Negara dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat 15 Januari 2014 atau diakses melalui www.kumoro.staff.ugm.ac.id
2
perubahan perilaku dan mind set pegawai hanya akan berujung dengan kegagalan karena tantangan utama administrasi publik modern bukan lagi pada bagaimana merubah peraturan namun pada bagaimana merubah sikap, perilaku dan pola kerja pegawai2. Perubahan sebagaimana yang diinginkan reformasi birokrasi bukanlah proses sederhana, apalagi merubah sikap, perilaku dan pola kerja yang telah terbentuk bertahun-tahun dan menempatkan pegawai dalam posisi yang nyaman. Salah satu faktor penyebab kegagalan reformasi dan kemacetan implementasi peraturan adalah dikarenakan adanya penolakan baik yang bersifat tertutup maupun terbuka terhadap konsep perubahan. Bagaimanapun menerima gagasan perubahan dan bergerak ikut serta melakukan
perubahan
bukanlah
hal
yang
otomatis
dilakukan.
Kemapanan
(establishment) merupakan keadaan yang sudah berlangsung lama dan kadang-kadang mengeras. Posisi seperti ini bagi sebagian orang secara individu atau kelompok dalam organisasi dianggap harus dipertahankan dan tidak perlu diubah lagi sehingga kelompok ini dianggap sebagai kelompok pro status quo atau anti perubahan (Alwi, 2001). Penelitian Kotter (1995) mengenai perubahan di suatu organisasi menunjukkan bahwa pada langkah pertama para manajer banyak menemui kegagalan manakala mendorong pegawai untuk keluar dari zona aman. Hal ini sama seperti kondisi PNS yang sebelumnya telah terbiasa berada dalam zona aman. Namun demikian, pembaharuan adalah suatu keharusan untuk mencapai dan mempertahankan perubahan organisasi yang efektif, dan pegawai dapat menjadi kunci untuk mencapai perubahan efektif atau menjadi penghambat terbesar untuk suksesnya perubahan karena pegawai adalah orang
2
Ely Susanto, disampaikan dalam kata pengantar buku Menatap Masa Depan Aparatur Sipil Negara: Review UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, 2014, Mahasiswa Kelas Bappenas VIII MAP UGM
3
yang membentuk organisasi dan merekalah yang merupakan sumber daya nyata, serta menjadi kendaraan untuk perubahan (Smith, 2005). Adapun penyebab penolakan pegawai atas adanya perubahan dapat dikarenakan karena ketidaksiapan pegawai dalam melaksanakan perubahan dan penilaian negatif pegawai dalam mengevaluasi dampak dari perubahan untuk kemanfaatan dirinya dan organisasi. Smith (2005) mengatakan agar upaya perubahan organisasi berhasil maka organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya harus disiapkan untuk transformasi tersebut karena kesiapan perubahan tidak otomatis dan tidak dapat diasumsikan. Organisasi harus mengembangkan kesiapan dan komitmen untuk berubah untuk mengimplementasi perubahan agar menjadi benar-benar efektif (Turner dalam Holt, 2002). Amat penting bagi para pemimpin menilai kesiapan untuk perubahan sebelum mereka mencoba untuk memperkenalkan perubahan. Dengan menilai kesiapan, pemimpin bisa mengidentifikasi kesenjangan yang ada antara keyakinan mereka sendiri (manajemen organisasi) dengan keyakinan para pegawai mengenai perubahan yang akan dilakukan. Pemahaman tentang kesiapan pegawai untuk berubah dapat berfungsi sebagai panduan bagi para pemimpin organisasi ketika organisasi tengah mendekati perubahan dan menentukan cara dan langkah terbaik untuk menerapkan perubahan tersebut. Armenakis et al. (dalam Self & Schraeder, 2009) mendefinisikan kesiapan pegawai untuk berubah sebagai evaluasi kognitif yang dibuat oleh pegawai yang dapat mengarahkan pegawai untuk mendukung perubahan atau menolak inisiatif perubahan. Kesiapan untuk perubahan tercermin dalam keyakinan, sikap dan niat pegawai mengenai sejauh mana perubahan diperlukan dan bagaimana kemampuan organisasi untuk berhasil menyelesaikan perubahan dimaksud. Kesiapan merupakan langkah awal dari proses implementasi perubahan. Jika langkah pertama ini diabaikan, maka beberapa pegawai
4
dapat secara aktif maupun pasif menolak inisiatif perubahan dan memunculkan konflik dalam organisasi. Sejalan dengan uraian teori diatas, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan. Salah satu tahapan yang diamanatkan oleh Permenpan & RB Nomor 10 Tahun 2011 tersebut adalah asesmen terhadap kesiapan organisasi untuk berubah. Urgensi dilakukannya asesmen karena perlu diukur seberapa besar kesiapan organisasi untuk melaksanakan dan menerima perubahan. Hasil yang diperoleh akan menjadi masukan penting dan selanjutnya menjadi basis bagi pengembangan strategi perubahan dan strategi komunikasi. Telah disebutkan diatas bahwa kesiapan organisasi untuk berubah bukanlah sesuatu yang terbentuk secara otomatis. Holt et al. (2007) menyebutkan bahwa kesiapan untuk perubahan dalam organisasi dipengaruhi oleh 4 faktor, (1) faktor content, yaitu apa yang menjadi isi dari perubahan organisasi, misalnya administrasi, karakteristik prosedural, teknologi, atau struktur organisasi (2) faktor proses, yaitu bagaimana proses perubahan tersebut dilakukan, (3) faktor konteks, yaitu kondisi dan lingkungan organisasi, dan (4) faktor atribut individu, yaitu karakteristik psikologis individu (pegawai) yang menjadi anggota organisasi. Namun demikian, terkait dengan pegawai sebagai sumber daya penggerak sekaligus target dari perubahan, hingga saat ini para pegawai kurang mendapatkan kebebasan untuk berkreasi, turut serta terlibat dalam pembuatan keputusan organisasi apalagi membuat diskresi. Budaya kreatif dan proaktif dalam organisasi birokrasi kurang berkembang dan pegawai semata-mata hanya sebagai pelaksana teknis yang berada pada
5
struktur terendah birokrasi dan bekerja setelah ada perintah/disposisi dari atasan. Menurut Argyris (dalam Thoha, 2007) nilai piramidal birokrasi identik dengan asumsi teori X tentang hakikat manusia yang menyebabkan hubungan yang kaku dan dangkal serta menurunkan kompetensi pegawai karena tidak memberikan peluang untuk pengembangan diri. Padahal perubahan membawa dampak permasalahan dalam masyarakat yang butuh solusi serba cepat dan kreatif dari para pegawai sebagai aparatur negara. Oleh karena itu pegawai perlu untuk diberdayakan. Pemberdayaan merupakan bagian dari proses sekaligus konteks organisasi. Pemberdayaan (empowerment) bukan hanya meliputi peningkatan motivasi individu dan pendelegasian dari atas ke bawah. Liden et al. (dalam Abraiz et al., 2012) menjelaskan pemberdayaan sebagai motivasi intrinsik, desain pekerjaan, pengambilan keputusan kolaboratif, teori belajar sosial, dan manajemen diri. Pemberdayaan ini disebut sebagai pemberdayaan psikologis. Dengan demikian, dalam pemberdayaan dibutuhkan partisipasi kolaboratif antara pegawai sebagai individu dengan manajemen organisasi (pemimpin dan sistem organisasi). Partisipasi yang dimaksud bukan hanya keterlibatan dan kerja sama secara fisik, namun kerelaan pihak manajemen untuk mendelegasikan otoritas dan memberikan kesempatan pegawai untuk terlibat dalam pembuatan keputusan dan dari pihak pegawai adalah tanggung jawab, kompetensi dan kreativitas serta kerjasama tim dalam melaksanakan tugas yang diembankan. Kepercayaan kepada pemimpin mencerminkan iklim organisasi dan menjadi faktor yang sangat penting dalam organisasi. Dalam setting organisasi, kepercayaan memiliki efek moderat hingga efek langsung yang berpengaruh terhadap sikap, persepsi, perilaku dan kinerja pegawai (Dirks & Ferrin, 2001). Sebuah organisasi tidak dapat berjalan dengan baik manakala pegawainya sendiri tidak memiliki kepercayaan kepada
6
pemimpinnya. Griffin (dalam Armenakis et al., 1993) menyatakan bahwa pembentukan kesiapan individu untuk berubah dapat melibatkan fenomena sosial karena kesiapan tersebut dapat dibentuk oleh orang lain, dalam hal ini fenomena sosial yang diambil oleh peneliti adalah kepercayaan pegawai kepada pemimpinnya. Kepribadian adalah suatu set atribut psikologi yang stabil dan menetap yang menjadi dasar dalam memahami sikap dan perilaku manusia dan membedakan antara satu orang dengan yang lain. Memahami kepribadian pegawai adalah hal penting karena kepribadian mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi seperti bagaimana individu mempersepsi dan bersikap positif ataupun negatif terhadap apa yang terjadi dalam organisasi. Para peneliti bidang administrasi publik pun telah lama mengakui bahwa struktur kepribadian berpengaruh terhadap bagaimana pegawai sektor publik memahami dan melakukan pekerjaan mereka (Argyris dalam Cooper et al., 2012). Namun demikian, penelitian kepribadian dalam administrasi publik hingga saat ini masih amat terbatas dan lebih banyak dilakukan dalam kajian literatur psikologi dan literatur manajemen pada kasus organisasi privat. Hal ini merupakan kelalaian penting dalam literatur administrasi publik karena kepribadian mungkin memainkan peran yang berbeda dalam manajemen publik daripada manajemen swasta (Cooper et al., 2012). Keterbukaan pada pengalaman (openness to experience) adalah salah satu faktor dari model lima besar kepribadian. Openness to experience sering disebut sebagai openness atau intelectual merupakan kepribadian individu yang terbuka pada pengalaman, proaktif mencari dan mengapresiasi pengalaman baru, kreatif, memiliki banyak preferensi dan tidak menyukai hal-hal yang konvensional/konservatif (Goldberg, 1990; John & Srivastava, 1999). Perubahan sendiri selalu terkait dengan kebaruan, yaitu merubah sedikit atau banyak rutinitas yang sudah biasa dijalani oleh pegawai. Sering
7
kali perubahan juga membawa uncertainty dan unknown situation sehingga membuat banyak pertanyaan dan kebingungan bagi pegawai. Pegawai yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tidak akan mudah takut terhadap perubahan dan justru ingin selalu ingin tahu apa isi perubahan. Imajinasi dan daya kreativitasnya justru akan merasa tertantang oleh perubahan. Subyek dari penelitian ini adalah pegawai pada Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta adalah salah satu Pemda yang mengusulkan diri untuk menjadi pilot project reformasi birokrasi. Namun demikian, prestasi tersebut belum dapat menyimpulkan kesiapan pegawai untuk berubah pegawainya. Perubahan pola pikir dan budaya kerja menjadi area yang paling sulit dan membutuhkan komitmen semua pihak. Secara faktual pula, Pemerintah Kota Yogyakarta berdekatan dengan masyarakat dan sektor swasta yang kritis, intelek dan asertif dalam mengawal pelaksanaan pemerintahan. Kedekatan tersebut menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta untuk terus dapat mengimbangi kekuatan masyarakat dan sektor swasta jika tidak ingin kehilangan legitimasinya. Selain alasan tersebut, sepengetahuan peneliti sampai dengan saat ini belum ada penelitian dari luar Pemerintah Kota Yogyakarta yang melakukan asesmen kesiapan pegawai untuk berubah. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sekiranya dapat menjadi pembanding bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengukur kesiapan pegawai untuk berubah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, peneliti menganggap relevan diangkatnya penelitian mengenai pengaruh pemberdayaan psikologis, kepercayaan kepada pemimpin dan keterbukaan pada pengalaman terhadap kesiapan pegawai untuk berubah.
8
1.2
Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah pemberdayaan psikologis berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesiapan pegawai untuk berubah? 2. Apakah kepercayaan kepada pemimpin berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesiapan pegawai untuk berubah? 3. Apakah keterbukaan pada pengalaman berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesiapan pegawai untuk berubah?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1.
Mengetahui pengaruh pemberdayaan psikologis terhadap kesiapan pegawai untuk berubah.
2.
Mengetahui pengaruh kepercayaan kepada pemimpin terhadap kesiapan pegawai untuk berubah.
3.
Mengetahui pengaruh keterbukaan pada pengalaman terhadap kesiapan pegawai untuk berubah.
4.
Mengetahui pengaruh secara simultan pemberdayaan psikologis, kepercayaan kepada pemimpin, dan keterbukaan pada pengalaman terhadap kesiapan pegawai untuk berubah.
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat teoritis
9
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi organisasi publik dan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu administrasi publik pada khususnya terutama yang menyangkut faktor-faktor penting yang mempengaruhi kesiapan pegawai untuk berubah dengan variabel pemberdayaan psikologis, kepercayaan kepada pemimpin, dan kepribadian yang terbuka pada pengalaman. 2.
Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta pada khususnya dan tata kelola birokrasi Indonesia pada umumnya terutama terkait dengan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kesiapan pegawai untuk berubah untuk pengembangan SDM lebih lanjut.
10