BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan kejahatan yang sangat penting kiranya untuk dibahas yang menjadiperhatian terhadap nilai keamanan bagi masyarakat Indonesia.Banyak fenomena kejahatan yang muncul diberbagai daerah yang ada di Indonesia yang menjadi polemik bagi semua kalangan masyarakat.Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Setiap hari di media massa selalu kita temui bermacam-macam tindak pidana yang terjadi di negara ini. Faktor masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan efek yang negatif dengan banyaknya sebagian kalangan masyarakat yang melakukan perbuatan yang salah dengan semata-mata bertujuan ingin memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekarang ini demi memenuhi kebutuhan hidup, seseorang tidak memikirkan sebab dari perbuatannya itu. Hal ini telah bertentangan dengan nilainilai moral dalam pancasila. Bahkan bagi sebagian pelaku tindak pidana tidak takut kepada aparat hukum yang mengatur keamanan dan ketertiban umum. Hukum pidana pun yang bersifat “mengatur dan memaksa” seakan-akan sudah dikesampingkan dan tidak mampu untuk menanggulangi kejahatan yang semakin berkembang pada zaman ini. Dari aspek hukum dengan berkembangnya segala tindak kejahatan yang terjadi pada masa ini sepertinya sangat perlu dikaji
Universitas Sumatera Utara
sebuah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan dan menganalisis dari segi kriminologi tentang sebab- sebab terjadinya kejahatan tersebut. Selain itu juga ada sebab dari zaman yang semakin maju mengakibatkan melemahnya jaringan kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk fenomena baru seperti timbulnya kelompok-kelompok rawan. Hal ini terjadi karena zaman yang semakin maju maka makin bertambah pula kebutuhan- kebutuhan untuk melengkapi hidup seseorang. Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar undang- undang maka ia akan dihukum. Selain itu kejahatan juga merupakan suatu bentuk dari pelanggaran kaidah sosial. Pelanggaran ditentukan dalam batas nilai-nilai yang dijunjung tinggi pada suatu masyarakat. Pada hampir segenap masyarakat dimana hidup dan harta benda dinilai tinggi. 1 Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang merupakan kenyataan sosial yang masalah penyebabnya kurang dipahami karena studinya belum pada proporsi yang tepat secara dimensial. Perkembangan atau peningkatan kejahatan maupun penurunan kualitas atau kuantitas kejahatan, baik yang berada di kota-kota besar maupun di kampung-kampung adalah relatif dan intraktif sifatnya. Dapat dipahami bahwa kejahatan merupakan the shadow civilization, merupakan bayang-bayang dari
1
Soedjono Dirdjosiswoyo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remaja Karya, Bandung, 1984,
Hal 27
Universitas Sumatera Utara
peradapan dan bahkan ada teori yang mengatakan justru kejahatan itu adalah produk masyarakat. Lokasi kejahatan ada pada masyarakat, tidak pada individu. 2 Indonesia merupakan negara yang berkembang. Dalam negara yang berkembang, kendaraan bermotor khususnya mobil merupakan sarana yang sangat penting bagi masyarakatnya. Dengan semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap mobil sebagai alat transportasi, maka semakin tinggi pula resiko pelanggaran hukum oleh sekelompok pelaku kejahatan terhadap penyalahgunaan mobil. Salah satu tindak pidana mengenai penyalahgunaan kendaraan mobil adalah “Tindak Pidana Penggelapan Mobil Rental”. Begitu maraknya kejahatan ini di Indonesia. Tindak pidana penggelapan mobil rental ini diakibatkan dengan mudahnya seseorang untuk me-rentalkan mobilnya kepada pihak lain dengan hanya bermodalkan rasa percaya kepada orang tersebut, misalnya seseorang meminjam mobil milik temannya atau menyewanya dengan alasan tertentu sehingga sang pemilik tanpa ada rasa curiga meminjamkan mobil yang dimilikinya kepada temannya tersebut. Namun ternyata teman yang dipinjami tersebut tidak mengembalikan mobil itu, tetapi malah digadaikan. Adapun dua kasus lain seperti yang terjadi di Semarang dan di Solo, dimana di Semarang terdapat kasus penggelapan 22 mobil sewaan. Dua tersangka yang dibekuk yakni Sibeth (44), seorang karyawan jasa ekspedisi sebagai pelaku utama dan Zuhar (26) yang bertugas mengantarkan mobil. Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Elan Subilan mengatakan bahwa tersangka diketahui menyewa mobil di sejumlah 2
H.Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, Universitas Sumatera Utara Press, Medan, 1994, Hal 5.
Universitas Sumatera Utara
rental mobil di Semarang dengan alasan untuk operasional perusahaan ekspedisi tempatnya bekerja. Namun ternyata mobil tersebut justru digadaikan dengan harga sekitar Rp. 15 juta hingga Rp. 20 juta per unit, ujarnya dalam gelar perkara di Mapolsek Semarang Tengah, Selasa (11/6/2013). 3 Kasus yang terdapat di Solo, bahwa Danang Triyanto Putra (29), warga Cengklik RT 001/RW 020, Nusukan, Banjarsari, Solo, yang mengaku memiliki banyak hutang, nekat menjual mobil rental yang ia pinjam, Selasa (10/12/2013) lalu. Kasus penggelapan tersebut membuat karyawan perusahaan ekspedisi itu berurusan dengan polisi. Saat gelar tersangka di Mapolsek Banjarsari, akhir pekan lalu, Danang mengakui perbuatannya kepada wartawan. Ia berdalih terpaksa menjual Toyota Avanza bernomor polisi AD 8767 NU milik Sriyono (57), yang dititipkan di rental mobil Otoren di Bibis Luhur, Banjarsari, Solo. Mobil tersebut telah dijual seharga Rp. 20 juta kepada temannya. 4 Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan diatas menjadi sebuah judul “Analisis Kriminologi dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Mobil Rental (Analisis 4 Putusan Hakim).”
B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi latar belakang dan modus terjadinya tindak pidana penggelapan mobil rental?
3
Puji,http://regional.kompas.com/read/2013/06/11/20021451/Polisi.Bongkar.Kasus.Pengg elapan.22.Mobil.Sewaan, diakses pada 18 Januari 2014, pukul 17.40 WIB. 4 Rudi Hartono, http://www.solopos.com/2014/01/12/kasus-penggelapan-mobil-terlilitutang-pemuda-jual-mobil-rental-481525, diakses pada 18 Januari 2014, pukul 17.58 WIB.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penggelapan mobil rental? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini ialah : 1. Untuk mengetahui latar belakang dan modus terjadinya tindak pidana penggelapan mobil rental 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penggelapan mobil rental. Manfaat penelitian terdiri dari 2, yakni : 1. Manfaat teoritis : Dapat menambah pengetahuan, wawasan serta pengembangan ilmu pidana mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penggelapan mobil rental. 2. Manfaat praktis : Agar masyarakat dapat mempelajari gejala-gejala terjadinya kejahatan penggelapan mobil rental, selain itu pemerintah dan aparat penegak hukum harus melakukan metode-metode pendekatan kepada para pelaku kejahatan dan masyarakat agar terjadinya tindak pidana penggelapan mobil rental ini dapat di cegah. D. Tinjauan Kepustakaan Dalam tinjauan kepustakaan mengandung beberapa pengertian yang akan dipaparkan.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Kriminologi Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. 5 Dari sudut pengertian tata bahasa, kriminologi juga terdiri dari dua kata, yaitu : Crimen yang berarti penjahat dan logos yang berarti pengetahuan. Dengan demikian kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat. 6 Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah perangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
7
Menurut Hurwitz, kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai gejala masyarakat (social phenomenon- Sutherlan), sekarang ini dimasukkan kedalamnya, usaha-usaha untuk mengatasinya (menanggulangi), memperbaiki kelakuan jahat, memberantas, setidak-tidaknya mengusahakan mengurangi kejahatan atau mencegah kejahatan. 8 Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and delinquency
memberikan
definisi
kriminologi
sebagai
kumpulan
ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
5
Topo Santoso dan Eva Achjani Julfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal 9 6 Purnianti, Moh.Kemal Darmawan, Mashab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal 1. 7 I.S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, Hal 1. 8 H.Ridwan Hasibuan, Op.Cit, Hal 5.
Universitas Sumatera Utara
dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi obyek studi kriminologi melingkupi :
9
a. Perbuatan yang disebut kejahatan b. Pelaku kejahatan dan c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun pelakunya. W.A. Bonger memandang kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Bonger juga membagi kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup : 10 1. Antropologi Kriminil Ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya yang mempunyai tanda-tanda. 2. Sosiologi Kriminil Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan didalam masyarakat. 3. Psikologi Kriminil Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya. 9
Topo Santoso dan Eva Achjani Julfa,Op.Cit, Hal 12. Ibid, Hal 9-10.
10
Universitas Sumatera Utara
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf. 5. Penology Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman. Di dalam kaitan itu, Sutherland dan Cressey membagi kriminologi dalam tiga bagian utama yaitu : 11 a) Sosiologi hukum sebagai analisis sistematik atas kondisi-kondisi berkembangnya hukum pidana serta penjelasan mengenai kebijaksanaan dan prosedur administrasi peradilan pidana; b) Etiologi kejahatan sebagai usaha untuk melakukan analisis ilmiah atas musabab kejahatan; dan c) Penologi yang menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan. Menurut Martin L.Haskell dan Lewis Yablonsky, kriminologi sebagai studi ilmiah tentang kejahatan dan penjahat mencakup analisa tentang : 1) Sifat dan luas kejahatan 2) Sebab-sebab kejahatan 3) Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan pidana 4) Ciri-ciri penjahat 5) Pembinaan penjahat 6) Pola-pola kriminalitas 7) Akibat kejahatan atas perubahan sosial.
11
Soerjono Soekamto, Henkie Liklikuwata, Muliana W. Kusuma, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1986, Hal 8-10.
Universitas Sumatera Utara
Adapun pendapat para sarjana antara lain yang memberikan pengertian kriminologi ialah : 12 a) Wood : Kriminologi ialah ilmu yang meliputi segala pengetahuan yang diperoleh baik oleh pengalaman, maupun teori-teori tentang kejahatan dan penjahat serta pengetahuan yang meliputi reaksi-reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan itu. b) Michael dan Adler : Kriminologi adalah keseluruhan dari bahan-bahan keterangan mengenai perbuatan-perbuatan
lingkungan
mereka
dan
bagaimana
mereka
diberlakukan oleh badan-badan masyarakat dan oleh anggota masyarakat. c) Van Bemelen : Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, yaitu perbuatan yang merugikan dan kelakuan yang tidak sopan yang menyebabkan adanya teguran dan tantangan. d) Frij : Kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan, bentuk, sebab dan akibatnya. Dari definisi ahli-ahli tersebut kita melihat adanya persamaan pendapat dan pandangan dan sedikit banyaknya dapat mengambil kesimpulan bahwa kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta menyelidik maupun membahas masalah kejahatan, baik mengenai pengertiannya, bentuknya, 12
H.M Ridwan dan Ediwarman, Azas-Azas kriminologi, Universitas Sumatera Utara Press, Medan, 1994, Hal 1- 2.
Universitas Sumatera Utara
sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, dan penyelidikan terhadap sesuatu kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu. Dalam rangka mempelajari masalah kejahatan Hermann Mannheim mengemukakan tiga pendekatan yang dapat dilakukan : 13 A. Pendekatan Deskriptif Yang dimaksud dengan pendekatan deskriptif adalah suatu pendekatan dengan cara melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan faktafakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti : a. Bentuk tingkah laku kriminal, b. Bagaimana kejahatan dilakukan, c. Frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang berbeda, d. Ciri-ciri khas pelaku kejahatan, seperti usia, jenis kelamin dan sebagainya, e. Perkembangan karir seorang pelaku kejahatan. B. Pendekatan Sebab-Akibat Disamping pendekatan deskriptif, pemahaman terhadap kejahatan dapat dilakukan melalui pendekatan sebab-akibat.Hal ini ditafsirkan untuk mengetahui sebab-musabab kejahatan, baik dalam kasus-kasus yang bersifat individual maupun yang bersifat umum.Hubungan sebab-akibat dalam kriminologi dapat dicari yaitu dengan mencari jawaban atas pertanyaan mengapa orang tersebut melakukan kejahatan. Usaha untuk mengetahui kejahatan dengan menggunakan pendekatan sebab-akibat ini dikatakan sebagai etiologi kriminil (etiology of crime)
13
Made Darma Weda, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hal 2-5.
Universitas Sumatera Utara
C. Pendekatan Secara Normatif Kriminologi dikatakan sebagai idiographic-discipline dan nomotheticdiscipline. Dikatakan sebagai idiographic discipline, karena kriminologi mempelajari fakta-fakta, sebab-akibat, dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus yang bersifat individual. Sedangkan yang dimaksud dengan nomothetic discipline, adalah bertujuan untuk menemukan dan mengungkapkan hukumhukum yang bersifat ilmiah, yang diakui keseragaman dan kecenderungankecenderungannya. 2. Pengertian Tindak Pidana. Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana yang disebut juga dengan delik. 14 Ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna yang sama. Delict diterjemahkan dengan delik saja, sedangkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat diantara para sarjana Indonesia mengenai alih bahasa. Ada yang menggunakan terjemahan : perbuatan pidana (Moeljatno dan Roeslan Saleh), peritiwa pidana (konstitusi RIS, UUDS 1950 Tresna serta Utrecht), tindak pidana (Wirjono Projodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z Abidin dan Andi Hamzah). Namun dari berbagai salinan ke bahasa Indonesia tersebut yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut ialah strafbaar feit. 15
14
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara baru, Jakarta, 1983, Hal 13. 15 Martiman Prodjo Hamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, P.T Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, Hal 15.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Simon (Hazewinkel-Suringa), bahwa strafbaar feit (terjemahan harafiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simon ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). 16 Sedangkan Vos berpendapat bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang. 17 Tindak pidana atau delik ialah tindak pidana yang mengandung 5 unsur, unsur-unsuryakni : 18 a. Harus ada suatu kelakuan (gedraging); b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke omschrijving); c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. Beberapa pakar hukum pidana memberikan defenisi mengenai strafbaar feit antara lain : 19 Pompe menyatakan, strafbaar feititu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
16
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal 224. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, Hal 16 18 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, Hal 36. 19 PAF Lamintang, Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hal 181 17
Universitas Sumatera Utara
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya kepentingan umum. Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan : 20 a. Menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggaran dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatka kesejahteraan umum. b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Sejalan dengan defenisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E. Jonkers yang telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian : 21 a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian strafbaar feit aadalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada
20
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 72. 21 Bambang Purnomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hal 91
Universitas Sumatera Utara
dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. 22 Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa) b. Maksud atau voornomenpada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP. c. Macam-macam maksud atau oogmerkseperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP. Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 23 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “ keadaan sebagai seorang pegawai negeri” keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP 22
P.A.F. Lamintang, Op.Cit.,Hal 193 Ibid, Hal 194.
23
Universitas Sumatera Utara
c. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 3. Pengertian Penggelapan dalam Pasal 372 KUHP Istilah penggelapan sebagaimana yang sering dipergunakan orang untuk menyebut jenis kejahatan yang terdapat di dalam buku II Bab XXIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu merupakan salah satu kejahatan yang diatur didalam KUHP. Penggelapan dalam bahasa Belanda desebut “verduistering”. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 372-377 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengertian dalam pasal-pasal ini dirumuskan sebagai berikut : 24 “Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada didalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- (sembilan ratus rupiah).” Ini dinamakan “penggelapan biasa”. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada ditangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedang pada penggelapan waktu dimilikanya barang itu sudah ada di tangan sipembuat tidak dengan jalan kejahatan. Suatu penggelapan, misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri. Kadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemui uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) 24
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1988, Hal 258-
259.
Universitas Sumatera Utara
untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah : “Uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan benar diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A telah menggelapkan. Pasal-pasal lain yang mengatur tindak pidana penggelapan antara lain : Pasal 373 KUHP Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, jika yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari Rp.250,-, dihukum karena penggelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 900,Ini adalah penggelapan ringan, Unsur-unsur yang “meringankan” dalam pasal ini yaitu : 25 a. Bukan ternak b. Harga tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Pasal 374 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang,dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. Ini
dinamakan,
“penggelapan
dengan
pemberatan”.
Pemberatan-
pemberatan itu adalah : 26 a. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan
pekerjaannya(persoonlijke
dienstbetrekking),
misalnya
hubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau majikan dan buruh ; 25
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1980, Hal 40 26 R. Soesilo. Op.Cit, Hal 259
Universitas Sumatera Utara
b. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep), misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang jam, sepatu, sepeda dan sebagainya. Menggelapkan sepatu, jam dan sepeda yang diserahkan kepadanya untuk diperbaiki ; c. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya. Pasal 375 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu, atau wali, curator, pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau pengurus balai derma, tentang sesuatu barang yang ada di tangannya karena jabatannya yang tersebut ,dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. Pasal 374 dan 375 KUHP merupakan “penggelapan dengan pemberatan”. Dalam pasal 375 KUHP Unsur-unsur yang memberatkannya, yaitu : 27 a. Oleh orang yang kepadanya terpaksa barang itu diberikan atau disimpan. b. Terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan mereka sebagai wali, pengampu, pengurus yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan. Pasal 376 KUHP Ketentuan dalam pasal 367 berlaku bagi kejahatan yang diterangkan dalam bab ini. (Menurut pasal ini seperti halnya dengan pencurian, maka penggelapan pun apabila dilakukan dalam kalangan kekeluargaan, berlaku pula peraturan dalam pasal 367). Penggelapan dalam keluarga diatur dalam pasal ini. Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi : 28
27
H.A.K. Moch. Anwar, Op.Cit, Hal 38
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (pasal 376 ayat 1 KUHP) b. Tindak pidana aduan, tanpa adanya pengaduan baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya maka tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 376 ayat 2 KUHP) Pasal 377 KUHP I. Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 372, 374, dan 375, maka hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya diumumkan dan pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1-4. II. Jika si tersalah melakukan kejahatannya itu dalam jabatannya, ia dapat dipecat dari jabatanya itu. Penjelasannya terdapat pada pasal 35 KUHP pidana, karena hakim akan mencabut hak-hak sitersalah. Pasal 35 : Hak si tersalah, yang boleh dicabut dengan keputusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum yang lain adalah : 29 a. Hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan b. Hak masuk pada kekuasaan bersenjata (balatentara) c. Hak memilih dan hak boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut undang-undang umum. d. Hak menjadi penasehat atau penguasa alamat (wali yang diakui sah oleh Negara), dan menjadi wali, menjadi wali pengawas, menjadi kurator atau menjadi kurator pengawas, atas orang lain pada anaknya sendiri.
28 29
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, Hal 40 R. Soesilo, Op.Cit, Hal 55.
Universitas Sumatera Utara
4. Pengertian PertanggungJawaban Pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,”
“criminal
reponsibilty,”
“criminal
liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu. 30 Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat di kenakan tindak pidana karena perbuatannya. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya. 31 Menurut Van Hamel kemampuan untuk bertanggungjawab (secara hukum) adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya yakni : 32
30
E.Y. Kanter, S.R Sianturi .Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Jakarta, Alumni Ahaem-Peteheam, 1996, Hal 245. 31 Penjelasan Pasal 36 RUU KUHP 2013, Hal 224. 32 Jan Remmelink, Hukum Pidana-Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pedomannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hal 213.
Universitas Sumatera Utara
a. Memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri ; b. Kesadaran bahwa tindakan tersebut dilarang secara sosial ; c. Adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan itu. Kesalahan dalam pengertian seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) dapat juga dikatakan kesalahan dalam arti yuridis, yang berupa : 1) Kesengajaan 2) Kealpaan Unsur – unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah : 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat harus normal 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk kesalahan 3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf. 33 Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian,
33
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni,Bandung, 1985, Hal 89.
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut.Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya.Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana.Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban. 34 Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yakni sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan tersebut. 35Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat keadaan batin yang normal. Keadaan batin yang normal sebagai syarat kesalahan, terletak pada kenormalan “fungsi”.Jadi bukan terletak pada kehendaknya.Akan tetapi kenormalan “keadaan” batin itu sendiri, sehingga lebih merupakan keadaan akalnya. Fungsi batin akan dengan sendirinya normal jika keadaan akalnya adalah normal. Fungsi batin dapat saja tidak normal jika keadaan akalnya adalah normal.Fungsi batin dapat saja tidak normal jika ada
34
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 19. 35 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1987, Hal 76-77.
Universitas Sumatera Utara
unsur eksternal yang menekannya.Dengan demikian keadaan batinnya normal, tetapi tidak dapat befungsi secara normal. 36 Tindak
pidana
bertanggungjawab
yang
selalu
dilakukan
dianggap
oleh
dilakukan
orang-orang dengan
yang
mampu
kesengajaan
atau
kealpaan.Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan. 37 Di luar bentuk ini, KUHP kita (dan kira-kira juga lain-lain Negara) tidak mengenal kesalahan lain. 38 Dalam keadaan tertentu, pembuat tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Dalam kejadian tersebut, tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk tetap pada jalur yang telah ditetapkan hukum. Dengan kata lainnya, terjadinya tindak pidana ada kalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat
alasan-alasan
penghapus
kesalahan.
Dengan
demikian,
pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapus kesalahan pembuat.Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tersebut tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain, selain melakukan perbuatan tersebut. 39
36
Chairul Huda, Op.Cit., Hal 88. Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal 79. 38 Moeljatno, Azas - Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hal 161. 39 Chairul Huda, Op.Cit, Hal 119. 37
Universitas Sumatera Utara
Jadi jelas dari unsur-unsur dan teori-teori yang ada bahwa penjatuhan hukuman berdasarkan atas keinginan untuk memberikan sebuah sanksi kepada pelaku kejahatan haruslah mempunyai kriteria-kriteria atau ukuran-ukuran agar si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka kriteria-kriteria tersebut tidak berlaku baginya dan tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP. Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa mengerjakan
sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”. Menurut ketentuan pasal ini, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya karena dua alasan yaitu : 40 1) Kurang sempurna akalnya atau dengan kata lain jiwanya cacat dalam tumbuhnya. 2) Sakit berubah akal atau dengan kata lain jiwanya terganggu karena penyakit. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) ini maka apabila seseorang itu jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit sehingga karenanya dia tidak dapat membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk maka terhadap orang tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas alasan tidak ada kemampuan bertanggungjawab.
40
Moeljatno, Op.Cit, Hal 165-166.
Universitas Sumatera Utara
E. Metode Penelitian Suatu penelitian harus menggunakan metode yang tepat agar orang yang membaca dapat memahami tentang jenis penelitian,sumber penelitian, dan manfaat penelitiannya sehingga mengerti apa yang menjadi objek ilmu pengetahuan yang di teliti. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Dalam menyusun skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan lainnya. 2. Data dan Sumber Data Dalam menyusun skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder, yang diperoleh dari : a) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan di bidang materi yang diteliti, seperti Kitab Undang-Undang Pidana Pasal 372-377 yang mengatur tentang penggelapan dan peraturan perundang-undangan lainnya. b) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah pendapat para sarjana, buku-buku dari para ahli yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berkaitan tentang objek penelitian ini serta putusan hakim pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif yang pengumpulan
datanya
berdasarkan
penelitian
kepustakaan
(library
research).Pengumpulan data kepustakaan adalah mengumpulkan berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana maupun literatur dan hasil putusan untuk dikaitkan dengan objek penelitian ini. 4. Analisis Data Metode analisis data ada 2 (dua) yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif.Dalam penulisan skripsi ini yang digunakan adalah metode analisis kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secaara kualitatif.
F. Keaslian Penulisan Sebelum melakukan penelitian ini telah ada peninjauan terhadap perpustakaan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, apakah ada sebelumnya yang telah melakukan penelitian dengan objek yang sama dan setelah ditinjau tidak ada penelitian yang sama tentang objek penggelapan mobil rental ini. Oleh karena itu penelitian ini asli tanpa ada meniru dari skripsi lain. G. Sistematika Penulisan
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dan penulisan skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab yang terbagi kedalam empat bab. Empat bab yang terkandung dalam skripsi ini meliputi : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini terdapat uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka (kriminologi, tindak pidana
terhadap
penggelapan
dan
pertanggungjawaban
pidana),metode
penelitian,keaslian penulisan dan sistematika penulisan. BAB II LATAR BELAKANG DAN MODUS TERJADINYA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN MOBIL RENTAL Dalam bab ini mempunyai pembahasan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan, faktor-faktor terjadinya tindak pidana penggelapan mobil rental dan modus terjadinya tindak pidana mobil rental. BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PENGGELAPAN MOBIL RENTAL Dalam bab ini membahas tentang aspek hukum dalam perjanjian sewa menyewa mobil, disparitas pidana dalam putusan hakim dan penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana penggelapan mobil rental dalam 4 (empat) putusan hakum dan analisis putusannya. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran dari hasil penulisan.
Universitas Sumatera Utara