BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perbincangan mengenai kekuasaan Presiden tidak dapat dilepaskan dari perdebatan yang telah berlangsung sejak lama seputar negara, sistem pemerintahan dan diskursus mengenai kekuasaan itu sendiri. Hal ini disebabkan konsep kekuasaan Presiden tidak serta merta ada dan dipakai dalam suatu negara, melainkan muncul dari pergulatan pemikiran para filsuf serta berbagai percobaan-percobaan yang diadaptasi oleh negara-negara di dunia dalam kerangka mencari sistem pemerintahan yang ideal bagi negaranya.5 Dalam
perkembangannya,
kekuasaan
Presiden
telah
banyak
mengalami perubahan, salah satunya dengan membatasi kekuasaan Presiden agar segala urusan kenegaraan tidak bertumpuk pada Presiden. Penumpukan kekuasaan bisa memberikan peluang kepadanya untuk bertindak sewenangwenang, seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton:6 Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (orang yang berkuasa cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi orang yang memiliki kekuasaan yang absolut pasti menyalahgunakan kekuasaannya). Ide pembatasan kekuasaan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), yang memisahkan
5
Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 1. 6 Ibid, hlm. 3.
1
kekuasaan negara menjadi beberapa cabang. Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) dianggap berasal dari Montesquieu dengan Trias Politica-nya.7 Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga cabang yaitu, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undangundang dan kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.8 Konsep pemisahan dari Montesquieu ini mengehendaki kekuasaan yang satu terpisah dengan kekuasaan yang lain, baik mengenai tugas maupun alat perlengkapan yang melakukannya. Maksudnya adalah kekuasaan dipisahkan (separation des pouvoirs) menjadi tiga bidang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.9 Konsep pemisahan kekuasaan biasanya diasosiasikan pula dengan sistem presidensial. Namun demikian, pada dasarnya semua sistem politik menggunakan sistem pemisahan kekuasaan hingga batas-batas tertentu. Dijelaskan oleh Donald S. Lutz dalam Gunawan A. Tauda, bahwa:10 What we call today call separation of powers is actually a blending of the separation of governmental functions and the sharing of governmental powers by the multiple entities that result from the separation of functions. (apa yang saat ini kita sebut sebagai pemisahan kekuasaan sebenarnya merupakan sebuah perpaduan antara pemisahan fungsi-fungsi pemerintahan, dan pembagian dari kekuasaan-kekuasaan pemerintahan dalam berbagai bentuknya. Pemisahan kekuasaan merupakan manifestasi dari pemisahan fungsi-fungsi).
7
Jimly Asshiddiqie, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 284. Gunawan A. Tauda, 2012, Komisi Negara Independen; Eksistensi Independent Agencies Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta, hlm. 2-3. 9 Jazim Hamidi & Mustafa Luttfi, Op. Cit., hlm. 26. 10 Gunawan A. Tauda, Op. Cit., hlm. 29. 8
2
Pemisahan tugas dan fungsi pemerintahan dalam setiap negara juga sangatlah dipengaruhi oleh pilihan atas sistem pemerintahan yang dianut. Menurut Jimly, sistem pemerintahan berkait erat dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Dengan demkian, dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan tidak terlepas dari pemerintahan dalam artiannya sebagai fungsi kegiatan kenegaraan yang bersifat horizontal.11 Mahfud MD dalam Abdul Ghoffar mengatakan bahwa, cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudisial dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Sehingga yang dimaksud dengan sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembagalembaga negara.12 Dalam praktiknya, ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Menurut Bagir Manan, Selain tidak praktis, pemisahan secara absolut antara cabang-cabang kekuasaan yang tidak disertai atau meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut.13 Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa, diperlukan suatu mekanisme yang mengatur hubungan antara cabang-cabang kekuasaan itu baik dalam rangka menjalankan bersama suatu fungsi penyelenggaraan negara maupun untuk 11
JImly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 311. 12 Abdul Ghoffar, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, hlm. 48. 13 Bagir Manan, 2006, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 7-8
3
saling mengawasi antara cabang-cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain.14 Pemikiran mengenai mekanisme saling mengawasi dan kerja sama tersebut telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ, dan teori checks and balances.15 Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara tegas) tetapi hanya dibagi-bagi sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan.16 Pada prinsipnya, distribusi kekuasaan dibagi ke dalam dua cara, yaitu secara horizontal (horizontal-functional) dan secara vertikal (verticalspatial). Secara vertikal, distribusi kekuasaan dilakukan menurut tingkatnya dan dalam hal ini antara beberapa tingkat pemerintahan. Secara horizontal, distribusi kekuasaan dilakukan menurut fungsinya (pemisahan kekuasaan). Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.17 Sedangkan checks and balances, berdasarkan Black‟s Law Dictionary diartikan sebagai:18 “arrangement of governmental powers where by powers of one governmental branch checks or balances those of other branches”. Dari pengertian tersebut di atas, terlihat bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang 14
Ibid. Ibid 16 Gunawan A. Tauda, Op. Cit., hlm. 45. 17 Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 8. 18 Black‟s Law Dictionary dalam Irwansyah, 2015, Kedudukan Perpu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, The Phinisi Press, Yogyakarta, hlm. 37-38. 15
4
kekuasaan satu dengan cabang kekuasaan yang lain untuk menghindari penumpukan kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.19 Saldi Isra menjelaskan bahwa, checks and balances dalam upaya menciptakan
relasi
konstitusional
untuk
mencegah
penyalahgunaan
kekuasaan di antara cabang-cabang kekuasaan negara sehingga dapat membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara.20 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa checks and balances merupakan suatu konsep saling mengawasi dan mengimbangi hubungan antar cabang kekuasaan negara dalam melaksanakan fungsinya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Konsep pembagian kekuasaan juga diadopsi oleh Negara Republik Indonesia. Dalam UUD 1945, ada pembagian kekuasaan secara horizontal sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kekuasaan eksekutif, diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, kekuasaan legislatif diatur dalam Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, kemudian kekuasaan yudikatif diatur dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Berbeda dengan konsep trias politica ala Montesquieu, UUD 1945 tidak benar-benar memisahkan tiga cabang kekuasaan negara. Dapat dilihat misalnya dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tentang pembahasan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas suatu rancangan undang-undang. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, UUD 1945 dalam 19
Ibid. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78. 20
5
hal ini lebih condong pada pembagian kekuasaan (distribution of power) yang membagi kekuasaan negara berdasarkan fungsinya. Bila dilihat dari pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 di atas, Presiden di sisi lain memiliki kekuasaan di bidang legislatif. Terkait hal tersebut, oleh Jimly dikatakan bahwa ada kewenangan yang sesungguhnya berasal dari ranah kekuasaan non eksekutif, yaitu kewenangan-kewenangan yang bersifat legislatif dan atau yang bersifat yudikatif. Kewenangankewenangan seperti menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang (subordinate legislation), dan kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, pada dasarnya bukanlah kewenangan yang murni bersifat eksekutif, melainkan bersifat legislatif dan yudikatif.21 Pemerintahan
negara
memiliki
kewenangan-kewenangan
konstitusional yang terkait dengan fungsi legislatif atau regulatif dan bahkan fungsi yudikatif (yudisial).22 Dengan kata lain, kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif dapat dikatakan sebagai kewenangan yang pada dasarnya bukanlah kewenangan yang murni milik Presiden selaku eksekutif. Kewenangan ini merupakan bagian dari ruang lingkup kekuasaan legislatif dan yudikatif. Berdasarkan penjelasan di atas, kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif dalam penelitian ini diistilahkan sebagai kekuasaan Presiden yang terkait dengan fungsi legislatif dan yudikatif. Dalam konteks pembagian kekuasaan secara konvensional, kekuasaan ini merupakan kekuasaan 21 22
JImly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 338-339. Ibid.
6
Presiden di bidang legislatif dan yudkikatif. Namun, pemaknaan kekuasaan Presiden di bidang legislatif dalam penelitian ini dispesifikkan hanya pada kewenangan Presiden yang berkaitan dengan fungsi DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.23 Pembatasan tersebut ditujukan untuk menghindari kebingungan terkait istilah kekuasaan Presiden di bidang legislatif, kekuasaan Presiden di bidang perundang-undangan (reglementer) dan kekuasaan Presiden yang di dalamnya mengandung kekuasaan pengaturan. Mengingat dalam konteks Indonesia, ada pembedaan makna antara kekuasaan legislatif, kekuasaan reglementer dan kekuasaan pengaturan yang dimiliki oleh Presiden.24 Oleh karena itu, kewenangan menetapkan peraturan pelaksanaan sebagaimana yang dikemukakan Jimly di atas tidak termasuk dalam pengertian kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif. Berdasarkan hal tersebut, kategorisasi kekuasaan Presiden di bidang legislatif terdiri dari: 1. Kewenangan membentuk undang-undang, yang terdiri dari: a) Mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945; b) Keikutsertaan dalam pembahasan RUU di DPR, diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945; c) Tidak menyetujui RUU, diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945; d) Pengesahan dan Pemuatan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara, diatur dalam Pasal 20 ayat (4) UUD 1945;
23
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden sebagai kepala eksekutf mempunyai kekuasaan di bidang peraturan perundangundangan yang bervariasi, yaitu pertama, kekuasaan legislatif; kedua, kekuasaan reglementer, yaitu membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang atau untuk menjalankan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; dan ketiga, kekuasaan eksekutif yang di dalamnya mengandung kekuasaan pengaturan. Lihat Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Op. Cit., hlm. 88-89. 24
7
2. Kewenangan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945; 3. Kewenangan mengajukan dan membahas RUU Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945. Dalam bidang yudikatif, Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Menurut Bagir Manan bahwa, grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi merupakan tindakan yustisial karena tidak dapat dipisahkan, baik secara langsung atau tidak langsung dari proses yustisial, walaupun tidak termasuk ke dalam upaya hukum.25 Oleh karena itu, grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi merupakan kategorisasi kekuasaan Presiden di bidang yudikatif. Menariknya, adanya kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif sebagaimana yang diuraikan di atas, seakan tidak sejalan dengan agenda reformasi sebagai langkah untuk mereduksi kekuasaan Presiden dan pengoptimalan mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Sebelum amandemen, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), selain sebagai pemegang kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief executive), Presiden juga
25
memiliki
kewenangan
untuk
Ibid, hlm. 158.
8
membentuk
undang-undang
dan
kewenangan yang lazim disebut sebagai hak prerogratif (antara lain grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi).26 Reformasi konstitusi (amandemen UUD 1945) bertujuan untuk membentuk lembaga kepresidenan yang sinergis dengan lembaga negara yang lain, sehingga cerminan checks and balances dapat terwujud.27 Selain itu, amandemen UUD 1945 juga dimaksudkan untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial.28 Akan tetapi, bila melihat dari adanya kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, seolah Presiden tetap memiliki posisi yang dominan dalam penyelenggaraan negara. Menurut Ismail Sunny, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai pelaksanaan undang-undang. Dikatakan juga bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam satu negara demokrasi, kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang, 29 tentunya hal tersebut menjadi masalah ketika lembaga eksekutif dalam praktik ketatanegaraan juga termasuk ke dalam kategori badan pembentuk undangundang. Presiden juga berhak mengajukan RUU APBN sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan Pasal tersebut, ternyata fungsi anggaran tidak hanya dimonopoli oleh DPR, melainkan Presiden juga memiliki fungsi anggaran atau budget dalam kerangka kekuasaan legislatif 26
Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 187. 27 Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Op. Cit., hlm. 5. 28 Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 205-206. 29 Ismail Sunny, 1977, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 44.
9
Presiden.30 Selain itu, APBN ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Dalam konteks pembagian kekuasaan, kewenangan membentuk undangundang di pegang oleh lembaga legislatif. Akan tetapi, pengaturan yang terdapat dalam UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan serta membahas RUU APBN. Kekuasaan Presiden di bidang yudikatif pun tetap dipertahankan, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 14 UUD 1945 pasca amandemen. Pengaturan tersebut menimbulkan kekhawatiran perihal ikut campur Presiden dalam ranah penegakan hukum. Terlebih bila dipahami lebih lanjut, pemberian grasi, amneti, abolisi dan rehabilitasi memosisikan peran lembaga yudikatif dan legislatif hanya sebatas memberi pertimbangan yang tidak mengikat kepada Presiden dalam mengambil keputusan. Pengaturan tentang kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen tentunya juga tidak terlepas dari konfigurasi politik yang ada dalam proses perubahannya, sehingga melahirkan politik hukum sebagaimana adanya sekarang. Mahfud MD menjelaskan bahwa:31 Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah yang meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana 30 31
Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Op. Cit., hlm. 90. Mahfud MD, 2014, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 17.
10
politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dengan penegakan hukum itu.32 William Zevenbergen dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali mengutarakan bahwa politik hukum, mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum. Pengertian legal policy, mencakup
proses
pembuatan
dan
pelaksanan
hukum
yang
dapat
menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun. 33 Dengan kata lain, politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu: pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.34 Berdasarkan pengertian politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) di atas, dapatlah dikatakan bahwa politik hukum di sini hendak menganalisis konfigurasi politik yang terjadi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan empat kali selama tahun 1999 sampai dengan 2002 terkait alasan serta tujuan dari adanya pengaturan tentang kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif yang disandingkan dengan konsep checks and balances. Pembahasan mengenai politik hukum kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif menjadi sangat penting dalam melihat arah dan tujuan penyelenggaraan negara. Kewenangan non eksekutif yang dimiliki Presiden dalam rangka praktik checks and balances harus lebih mendapat perhatian, jangan sampai dengan adanya kewenangan non eksekutif yang dimiliki 32
H. Abdul Latif & H. Hasbi Ali, 2014, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11. Ibid, hlm. 19. 34 Ibid. 33
11
Presiden justru menimbulkan ketegangan dalam proses penyelenggaraan negara atau bahkan mereduksi fungsi, tugas dan kewenangan cabang kekuasaan lainnya, sehingga dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Adanya konsep checks and balances merupakan suatu jalan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaraan negara agar tidak bertumpuk pada satu cabang kekuasaan. Hal tersebut ditujukan agar adanya mekanisme pengawasan dalam penyelenggaraan negara sehingga dapat menghindari tindakan sewenang-wenang oleh penguasa (abuse of power). Menurut Lukman Hakim dalam Gunawan A. Tauda, pengaturan dan pembatasan kekuasaan
menjadi
karakteristik
konstitusi,
sehingga
kemungkinan
kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan. Akan tetapi di sisi lain, hubungan kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi, membuka ruang bagi munculnya sengketa antar lembaga negara, khususnya kewenangan konstitusional.35 Berdasarkan uraian tentang adanya kewenangan non eksekutif yang dimiliki Presiden sebagai pemegang kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief executive), kemudian penulis menjadi tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema “Politik Hukum Kekuasaan Presiden di Bidang Non Eksekutif Dalam Kaitannya Dengan Konsep checks and balances”.
35
Gunawan A. Tauda, Op. Cit., hlm. 8-9.
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah politik hukum kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif dalam kaitannya dengan konsep checks and balances? 2. Bagaimanakah implikasi kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif terhadap cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam upaya pelaksanaan konsep checks and balances? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan subjektif; Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat wajib dalam mendapatkan gelar akademik Magister Hukum (M.H.) dari Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2.
Tujuan objektif; a. Untuk mengetahui dan menganalisis politik hukum kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif
dalam kiatannya dengan
konsep checks and balances; dan b. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif terhadap cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam upaya pelaksanaan konsep checks and balances.
13
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diberikan melalui penelitian ini adalah: 1. Manfaat akademis, yakni untuk menambah kepustakaan ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara, agar dapat dijadikan sebagai bahan rujukan/referensi ilmiah bagi mahasiswa dan setiap orang atau siapa saja yang mendalami hukum khususnya tentang politik hukum kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif; 2. Manfaat praktis, yakni agar dapat dijadikan bahan rujukan atau masukan bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan peraturan agar terhindar dari melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, terkait penelitian yang penulis lakukan, yang berfokus pada politik hukum kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif dalam kaitannya dengan konsep checks and balances, sejauh yang penulis tahu, tidak ada penelitian yang sama dengan penelitian ini. Namun, peneliti menemukan beberapa penelitian yang mengulas tentang kekuasaan Presiden yang diantaranya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Dili Trisna Noviasari yang berjudul “Politik Hukum Kekuasaan Presiden Dalam Bidang Militer dan Menyatakan Perang Dengan Negara Lain”, dalam bentuk Tesis tahun 2013. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
14
1) Mengapa kekuasaan dalam bidang militer dan menyatakan perang terhadap negara lain berada pada Presiden? 2) Bagaimanakah kekuasaan Presiden dalam bidang militer dan menyatakan perang dengan negara lain? 3) Bagaimanakah mekanisme kontrol yang dapat diterapkan terhadap pergerakan kekuatan militer oleh Presiden dalam menyatakan perang dengan negara lain? Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuasaan dalam bidang militer dan menyatakan perang dengan negara lain berada pada Presiden karena untuk menunjukkan bahwa militer ada di bawah kendali pemerintahan sipil dan Presiden sebagai personifikasi negara dapat menyatakan perang dengan negara lain. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan yaitu fokus kajian pada politik hukum kekuasaan Presiden. Namun, yang menjadi pembeda yaitu pada lingkup kekuasaan Presiden yang menjadi pokok bahasan, dimana penelitian terdahulu membahas Kekuasaan Presiden dibidang militer, sedangkan dalam penelitian ini membahas kekuasaan Presiden dibidang non eksekutif yang mana kekuasaan militer tidak masuk di dalamnya. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Yuli Yuliah yang berjudul “Konstitusionalitas Kewenangan Presiden Dalam Pemberian Grasi Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
15
1945”, dalam bentuk Skripsi tahun 2013. Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1) Apakah kewenangan Presiden dalam memberikan Grasi sebagaimana Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merupakan hak prerogratif
Presiden
ataukah
bukan?
Dan
apa
makna
konstitusional dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tersebut? 2) Apakah pertimbangan Mahkamah Agung terhadap pemberian Grasi oleh Presiden sebagaimana Pasal 14 ayat (1) bersifat mengikat? 3) Dapatkah pemberian Grasi yang dilakukan oleh Presiden sebagaimana Pasal 14 ayat (1) dicabut dikemudian hari? Penelitian ini membahas tentang kewenangan Grasi yang dimiliki presiden, bahwa Grasi merupakan hak yang bersifat istimewa dibidang yudisial
yang diberikan oleh UUD 1945 yang
dilaksanakan berdsarkan pertimbangan Mahkamah Agung yang tidak mengikat serta grasi yang telah diberikan tidak dapat dicabut kembali. Persamaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini pada kajian tentang kekuasaan Presiden dalam memberikan grasi. Namun, yang menjadi pembeda ialah bahwa penelitian terdahulu berbicara mengenai konstitusionalitas Presiden dalam memberikan grasi, sedangkan dalam penelitian ini, fokus kajian lebih bersifat komprehensif tidak hanya sebatas pada grasi, tetapi juga mencakup
16
segala kewenangan Presiden yang bersifat yudikatif dan juga legislatif dengan mengkaji melalui sisi politik hukumnya. Selain dari penelitian sebagaimana yang disebutkan di atas, peneliti juga menemukan buku yang membahas tentang kekuasaan Presiden di bidang non eksekutif, yaitu buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqqie dengan judul “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi” yang diterbitkan PT Bhuana Ilmu Populer tahun 2008. Adapun kesamaan buku tersebut dengan penelitian ini ialah pada kajian tentang kewenangan non eksekutif Presiden. Namun, yang menjadi pembeda ialah bahwa buku tersebut mengkaji kewenangan non eksekutif secara umum berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi, sedangkan dalam penelitian ini, pengkajian lebih difokuskan pada kekuasaan non eksekutif Presiden dari perspektif politik hukum dalam kaitannya dengan konsep checks and balances.
17