BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Sentilan Sentilun (kemudian disingkat SS) adalah salah satu program
hiburan di Metro TV.1 Saat ini program SS telah menjadi program hiburan utama di Metro TV, di samping program hiburan utama lainnya seperti Stand Up Comedy2 yang belum lama ini populer3 di Indonesia. Penulis melihat kehadiran SS sebagai salah satu program hiburan di Metro TV sepertinya sejalan dengan tujuan Metro TV, yakni memberikan hiburan alternatif untuk khalayak televisi di Indonesia yang melulu dicekoki tayangan hiburan arus utama (mainstream) seperti sinema elektronik (sinetron), infotainment, dan tayangan berita. Selain itu 1
PT Media Televisi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Metro TV merupakan anak perusahaan dari Media Group, sebuah kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh yang juga merupakan pemilik Surat Kabar Media Indonesia, Lampung Post, dan lain-lain. Metro TV memperoleh ijin penyiaran pada 25 Oktober 1999, dan pada tanggal 25 November 2000 mengudara untuk pertama kalinya dalam bentuk siaran uji coba di tujuh kota. Awalnya Metro TV hanya siaran 12 jam dalam sehari, namun sejak 1 April 2001 mereka mulai tayang selama 24 jam. Setelah mengawali kiprah sebagai televisi berita, pada perkembangannya, Metro TV menawarkan banyak inovasi dalam metode penyiarannya yang melawan pakem pertelevisian yang umum di Indonesia. Inovasi ini merupakan bentuk adopsi dari model penyiaran televisi di Amerika seperti CNN, atau BBC London di Inggris. 2 Stand up comedy merupakan bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton, dengan bekal microphone. Biasanya dilakukan secara langsung (live) dan komedian (disebut comic) akan melakukan one man show. Dahulu stand up comedy diadopsi dari Amerika Serikat dan kembali populer di Indonesia sejak 2010. Umumnya materi yang disampaikan dalam stand up comedy di Indonesia berupa anekdot, sindiran, kritikan yang dituturkan dengan bahasa lisan maupun bahasa tubuh yang dikemas menjadi joke yang lucu sehingga membuat orang tertawa, dengan tema apapun yang populer dan dekat dengan khalayak. Selanjutnya baca di Affan (penyunting), 2012, Stand Up Comedy, Yogyakarta, terbitan Immortal Publisher. 3 Penulis mengamati bagaimana „menanjaknya‟ popularitas Stand Up Comedy melalui pemberitaan di media massa seperti televisi, radio, juga di media sosial seperti di Twitter dan Facebook. Seiring dengan meningkatnya popularitas stand up comedy, para comic-nya pun mulai sering bermunculan di layar televisi dan menjadi selebritis baru di Indonesia. Contohnya: Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, Ernest Prakasa, Cak Lontong, dll. Selain ditayangkan di Metro TV, stand up comedy juga rutin ditayangkan di Kompas TV dan dijadikan program kompetisi musiman: „Stand Up Comedy Kompas TV Season‟ 1, 2, dan memasuki ke-3 pada 2013 memasuki season 3.
12
peran penting Metro TV dalam industri media dan budaya yang berpengaruh di Indonesia, mau tak mau, tak dapat dihiraukan begitu saja. Metro TV adalah stasiun televisi berita swasta nasional pertama di Indonesia yang termasuk paling rajin melancarkan kritik terhadap Pemerintah Indonesia, dengan beragam isu dan wacana yang dikemas dalam berita (news), berbagai talk show, serta program hiburan lainnya seperti SS. Mengapa penulis mengatakan demikan sebab bisa jadi Metro TV berusaha „terlihat kritis‟ terhadap kinerja negara-pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini mungkin sejalan dengan slogannya, “Knowledge to Elevate”, yang mana bertujuan memberi informasi, pengetahuan, edukasi, serta menginspirasi khalayak televisi Indonesia – dengan gaya dan karakternya. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk melihat bagaimana pembacaan khalayak televisi Indonesia terhadap SS, sebagai representasi gaya kritis a lά Metro TV, dengan melakukan penelitian atau kajian terhadap khalayak yang menontonnya. Sampai dengan hari Senin terakhir bulan Desember 2013, SS telah ditayangkan Metro TV di layar televisi Indonesia selama hampir tiga tahun, termasuk dua kali perubahan jam tayang, dan enam kali tata panggung berbeda. Hingga episode terakhir SS yang ditayangkan di Metro TV, tempat mereka beraksi adalah studio televisi yang disulap menjadi mirip teras dan halaman depan rumah. Perubahan tersebut tidak terjadi kepada para pemeran utama program ini. Sejak saat pertama kali ditayangkan, SS memiliki dua tokoh/karakter utama yaitu Sentilan dan Sentilun, yang mana sesuai dengan nama programnya. 13
Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa. Mereka menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV, yang selalu mengkritik sambil menggelitik. Menurut penulis, keduanya merupakan „magnet‟ tersendiri bagi khalayak Indonesia, apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia. Begitu juga dengan sang penulis naskah, Agus Noor, yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek (cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan „pegiat pena budaya‟ (baca: sastrawan) se-Indonesia. Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS. Apa yang dilakukan SS setiap pekan, dengan episode-episode yang berbeda, ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum secara tegas, yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial) Metro TV. Misalnya, berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan yang tak pernah tuntas, juga Bank Century, Hambalang, Wisma Atlet, Melinda Dee, Nazzarudin, dan lain-lain. Lalu, sebagai bahan kritik lainnya, SS juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah. Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara) diplesetkan dengan sebutan „Perusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala; seolah-olah lilin lebih terang
14
dari pada listrik. Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS. Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program ini. Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012, “@agus_noor: #2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang: soal korupsi”. Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai „Raja Teater Monolog‟, sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para penonton di studio, bintang tamu, pemeran Sentilan, maupun para khalayak yang menonton televisi. Di program SS, Butet yang berperan sebagai batur, sesungguhnya, paling banyak memainkan peran usil dan jenaka. Hal ini cukup berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan, majikan dari Sentilun. Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai miskin yang berwibawa, bijaksana, sopan dan santun, tetapi sesekali juga mampu beraksi jail dan jenaka. Dalam berbagi peran, Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk tidak sembarangan nggeguyu, layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur, walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu
4
Muhammad Sobary, dalam buku Presiden Guyonan, mengatakan bahwa Butet dididik dalam lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang “Nggeguyu” alias menertawakan. Nggeguyu merupakan konsep campur aduk antara mengkritik, sekedar membuat lelucon, mengejek, atau mencemooh, sekaligus diam-diam membalas dendam. Hal ini serius dan sering mengandung beban/muatan politik. Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa, 2008, Presiden Guyonan, terbitan Titian Galang Printika, Yogyakarta.
15
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumber/bintang tamu. Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama. Aksi mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV) Indonesia. Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran Slamet dan Butet, serta kemudian SS „kecipratan‟ populer karena duet mereka. Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama 5 SS. Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia, yang mana secara tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY. Terdapat sindiran tegas yang ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada: nihil. Pada adegan tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya. Tamu itu adalah Eros Djarot, yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo. Melihat hal tersebut, Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya bimbang. Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya Presiden di Indonesia. Kata Tedjo, “Kamu pusing, tho, ndoromu dua? Nah kamu di Indonesia, kan?” Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu, “Iya”. Lanjut Tedjo, “Presidennya satu atau dua?” Mendengar itu, Sentilun memelaskan wajahnya dan membalas pertanyaannya, “Ada ya? Emangnya kita punya?” Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya, seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan. Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak, yang di studio maupun di rumah, untuk tertawa nyinyir. Berangkat dari cerita ini, 5
Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011. Episode ini dibagi menjadi dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama.
16
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa. Guyonan ini juga tidak muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu sedang hangat di media massa.
6
Di sisi lain, penulis menilai SS telah
„mewajahkan‟ (baca: mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut. Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah dalam konteks “Indonesia Negeri Autopilot”, yang menganggap Indonesia akan tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca: Presiden SBY). Perumpamaan negeri autopilot
7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas, kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan bakar minyak), ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri, lemahnya penegakan hukum, dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa negara-pemerintah yang dianggap tak hadir. Hal-hal tersebut diyakini dapat tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY. Walau demikian, di luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang. Prestasi negatif yang sering „ditelevisikan‟, biasanya diramaikan oleh narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik, senimanbudayawan, aktivis LSM/NGO, serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap 6
Metro TV, yang berkelindan dengan SS, muncul sebagai media massa yang paling ramai mewacanakan “Indonesia Negeri Autopilot”. Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut, salah satunya, juga dikemas dalam program SS episode „Pemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin, 26 Februari 2012. 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara), di mana pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke otomatis. Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual), hanya mengawasinya.
17
negara-pemerintah, sehingga lebih sering mencela daripada memuji. Situasi ini sering terlihat pada SS periode 2010-2011. Sebaliknya, jika prestasi positif mulai ditelevisikan maka jadi terkesan „biasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah. Namun hal ini sudah jarang terjadi, setidaknya, hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau menjelang akhir 2011, karena SS pada periode tersebut nampak belum atau „sedikit berimbang‟. Mengapa demikian karena, menurut penulis, antara prestasi positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif. Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga „wajah Indonesia‟8 yang ditampilkan adalah tidak utuh, sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk.9 Lucunya, inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia. Hal ini menjadi ironis karena khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan gaya semacam ini, padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi.
Materi yang „ditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang rusak, Indonesia yang penuh masalah. Dengan kata lain, SS menampilkan Indonesia dalam wajah buruk. Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif. Indonesia cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji. SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari kacamata positif (baca: berprestasi). Artinya, SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada khalayak bahwa “Indonesia adalah Negeri minim berprestasi, penuh masalah, dan sudah sepantasnya dicela (ditertawakan)”. Sebaliknya, mungkin, khalayak tidak akan mendapati sebentuk pesan bahwa “Indonesia adalah negeri berprestasi, tidak bermasalah, dan sudah selayaknya dipuji”. 9 Di dalam SS, konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori, yang nantinya akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut, serta bagaimana konstruksi itu dikonsumsi khalayak. Pertama, Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya, di mana digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama: Sentilan (pensiunan pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen). Kedua, ialah Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi. Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia, sebagai pesan yang selalu diproduksi di hampir setiap episode SS. 8
18
Oleh karena itu melalui SS, khalayak akan melihat bagaimana konstruksi „wajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri. Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita meresepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami (Barker, 2009: 275 via Hall, 1977: 140). Allen dalam Burton (2000: 26) mengatakan, “… Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisi?” Sehingga meneliti media televisi akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari kesatuan praktik sosial, di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu. Penelitian ini akan diberi judul, “Sentilan Sentilun: Resepsi Khalayak dan Identitas Keindonesiaan”. Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi, layaknya seseorang mengonsumsi makanan-minuman. Konsumsi, dalam hal ini, dapat terjadi berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need). Konsumsi sering dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan pembelian dan pertukaran ekonomis, dengan konotasinya yang cenderung negatif, yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous, “jor-joran” atau pamer (display) [Williams, 1985: 78-9; bdk. Veblen, 1899 dalam Douglas & Isherwood, 1996: vii; dalam Budiman, 2002: 18]. Pada ranah kajian media, konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan 19
mengawasandi (decoding),10 seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006: 2) dan Stuart Hall (1993: 99) dalam Kris Budiman (2002: 19). Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan pendekatan kajian khalayak (audience studies). Fokus dimulai dengan beberapa khalayak yang menonton, kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading) atau mengawasandi (decoding) – mengacu pada Encoding/Decoding11 (Hall, 1981) – sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan. Penulis kemudian akan melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kodepesan yang disajikan oleh Metro TV. Singkatnya ialah bagaimana resepsi khalayak terhadap SS. Kedua, yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang menonton program televisi yang membicarakan Indonesia, seperti SS, nantinya akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut. Penulis kemudian 10
Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton. Penonton dalam konteks ini dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama. Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan produsen/pengode/pemberi sandi, mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam kerangka kerja yang sama. Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda (seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda, maka penonton mampu mengawasandi program dengan cara alternatif. Selengkapnya baca Chris Barker, 2009, Cultural Studies, Teori & Praktik, Yogyakarta, hal. 288. 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen produksi, sirkulasi, distribusi, dan reproduksi, yang saling terhubung namun berbeda, yang masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak menjamin momen berikutnya. Meski makna melekat pada masing-masing level, ia tidak sertamerta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu. secara khusus, produksi makna tidak memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena pesan-pesan televisi, yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang beraneka ragam, dan bersifat polisemik (Barker, 2009: 287). Pada intinya teks akan distrukturkan dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki, yaitu makna yang dikehendaki teks dari kita. Selengkapnya baca Chris Barker, 2009, Cultural Studies, Teori & Praktik, Yogyakarta, hal. 287; atau James Procter, 2004, Stuart Hall, New York; atau Paul Marris & Sue Tornham (penyunting), 2006, Media Studies: A Reader, Chapter 5: Encoding/Decoding (Stuart Hall), Washington Square; Helen Davis, 2004, Understanding Stuart Hall, London.
20
menyebutnya sebagai “Identitas Keindonesiaan”.12 Saat khalayak membincangkan Indonesia, saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama Indonesia yang „berbicara‟, meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang beragam.13 Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991) dalam artikel berjudul “Narative Identity”, bahwa identitas – pada tingkat pertama – adalah sebagai kesamaan. Selain itu, penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS ialah masyarakat Indonesia yang heterogen, yang terdiri dari berbagai latar belakang dan identitas sosial-kultural. Maka yang menarik adalah bagaimana dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh khalayak Indonesia yang heterogen, yang bukan hanya Jawa. Jadi, ketika televisi mulai mengglobal, maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker, 2009: 291).
Di sini penulis melihat “identitas keindonesiaan” sebagai imajinasi dari „menjadi sebuah negarabangsa (nation-state) yang modern‟, yang dimiliki khalayak, dan seakan dipertentangkan dengan bagaimana media mengonstruksi „wajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan. 13 Sebagai catatan, di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun, bahwa bangsa Indonesia harus selalu “mempertahankan identitas”, identitas sebagai „orang miskin‟. Identitas merupakan bagian dari gagasan tentang representasi, di mana gagasan tentang pengelompokan sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok dalam masyarakat. Dalam arti luas, semua komunikasi mengonstruksikan representasi. Bahkan dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok, kita juga akan menggunakan dan memperkuat gagasan yang telah ada. Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi secara umum (Burton, 2011: 240), sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap orang. 12
21
1.2.
Rumusan Masalah Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya, penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia? (2) Secara umum, bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS? (3) Secara khusus, mengacu pada identitas keindonesian, bagaimana para khalayak meresepsi “wajah Indonesia” dalam SS? Terlebih ketika menonton persoalan negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV. Kedua, secara umum, untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca sekaligus meresepsi program televisi SS. Ketiga, yakni untuk mengetahui bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan persoalan negara dan korupsi. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV, sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia, berupaya memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia. Lalu, secara khusus penulis ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi, 22
khalayak, dan identitas keindonesiaan. Di samping itu, penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang kajian khalayak di Indonesia. Selain itu, sejalan dengan tujuan dari kajian budaya (cultural studies), penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat, yang mana secara khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS.
1.4.
Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan, terutama yang paling dekat dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Karya-karya tersebut ditemukan pada bukubuku, hasil penelitian, serta beberapa jurnal internasional. Pada bagian tinjauan pustaka ini, penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli, khususnya pada tema konsumsi televisi, identitas, serta media dan konstruksi identitas. Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience. Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang khalayak, termasuk penelitian yang penulis lakukan. Morley termasuk pelopor dalam kajian resepsi Generasi Kedua: etnografi khalayak (Alasuutari, 1999: 4-6), yang kemudian disusul oleh Ang (1985), Hobson (1982), Katz dan Liebes (1984), 23
Liebes (1984), dan Liebes dan Katz (1990). Etnografi khalayak, yang kemudian dikenal sebagai kajian resepsi khalayak, melakukan analisis sebuah program media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth interviews) terhadap khalayaknya. Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian khalayak yang dilakukan secara empiris, maka secara keseluruhan paradigma kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya. Jadi kita dapat mengatakan bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta. Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary Cultural Studies (BCCCS). Karya ini sendiri merupakan penerapan dan pengembangan kerangka teori Stuart Hall, yakni encoding/decoding. Teori Hall tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian diterjemahkan oleh khalayak, ditawarkan sebagai perkembangan model „uses and gratifications‟, yang mana Morley melihatnya kurang tepat. Menurut Morley teksteks tersebut tetap „terstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih baik, di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi diinginkan untuk diterima khalayak. Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program „majalah‟ berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial, usia, jenis kelamin, ras, etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural terkait. Kendati memiliki persoalan metodologis, seperti yang diakui Morley (1999), studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di 24
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas. Contohnya, decoding dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer bank, sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok pekerja serikat buruh. Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal yang buruk bagi Inggris. Menurut Morley, decoding oposisional dilakukan oleh sekelompok pelayan toko, yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk menolak keseluruhan diskursus Nationwide, dan oleh sekelompok mahasiswa berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka. Hal utama yang didapat Morley, terkait dengan pengonsepan respon khalayak, ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan, yang mana dilakukan secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn, 2007: 91-2; Barker, 2009: 289). Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat bagaimana konsumsi media televisi, persoalan identitas, dan terutama bagaimana proses decoding bekerja. Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural, sehingga membantu penulis dalam memilih informan. Penggunaan proses identifikasi informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan Morley, dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian. 25
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media), tetapi merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media. Setelah David Morley, pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah “Understanding Popular Culture” oleh John Fiske. Fiske, secara kontras, sesekali dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional) dari khalayak. Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya, sebuah kreasi individual, yang kemudian memperluas citra kepada pemahaman. Lalu kata „merobek‟ secara metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara simbolis, atau perlawanan simbolis. Seperti diakui oleh Fiske, industri jeans dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke dalam sistem; tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk membangun sistem mereka sendiri, menjadi asli budaya populer dari teks-teks yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn, 2007: 92 dan 112-6). Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks, simbol dan tanda, seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya. Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan budaya. Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
26
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi dilihat sebagai resistensi. Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku, “Di Depan Kotak Ajaib: Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi.” Budiman mengadaptasi pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang dilakukan oleh J.L. Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya: “How to do things with words?” ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi: “How to do things with television?” Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan menonton televisi, atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik konsumsi televisi. Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di rumah, melalui dua keluarga yang berbeda. Dalam tulisannya digambarkan bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi, sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti menyetrika, memperbaiki sepeda motor, makan-minum, mengerjakan tugas dari sekolah, mengobrol satu sama lain, serta kegiatan lainnya. Budiman, melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya, menjabarkan beberapa hal yang menjadi temuannya, yaitu bahwa menonton televisi adalah tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal. Kemudian menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman, juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara bersamaan
(multi-tasking).
Kegiatan
bersama
televisi
secara
auditoris 27
(mendengar), dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background noise), menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai “teman” yang setia, yang bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman, 2002: 129-131). Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang tersebut, tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian. Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia, khususnya apabila menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi. Kelebihan yang penulis catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak, dalam hal ini ialah etnografi khalayak. Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi khalayak, yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri. Pun ketika menyebutnya sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis, sedangkan penulis tidak melakukan itu. Secara teknis apabila melakukan etnografi khalayak, terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya, maka penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang efisien. Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga membutuhkan tambahan waktu lagi, sehingga jadi tidak efektif. Pada akhirnya 28
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa; misalnya dalam konteks ini adalah membuat karya etnografi khalayak. Hal yang perlu ditekankan bahwa generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri. Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media, yakni di komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari, 1999: 7). Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis, “The Export of Meaning: Cross-cultural reading of Dallas,” dalam Brooker dan Jermyn (2007: 287-304). Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis merupakan studi skala besar tentang identitas nasional/etnis kultural dan tontonan fiksi televisi. Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion) dari berbagai komunitas etnis. Khalayak terdiri dari orang-orang Arab, Yahudi Rusia, Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel, ditambah sekelompok orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka. Barker (2009) mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak. Asumsinya ialah bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
29
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural secara timbal balik (Barker, 2009: 291). Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007), secara singkat Penelitian Katz dan Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap serial Dallas. Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling disukai, kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai „Amerika‟ yang terdapat di dalam Dallas. Bahkan satu dari responden dengan bangga menyatakan, “Kau lihat, saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak, dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan „kebahagiaan adalah kepercayaan (personal) kami‟, bahwa kami adalah bangsa Yahudi.”14 Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk sebuah „forum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang. Sementara sebagian dari kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak familiar. Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada realitas yang mereka ketahui, sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika dan apapun yang dibawanya, setelah itu mencari tingkat perbedaan dari kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan. Rachmah Ida dalam Ariel Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun canggihnya analisis isi, masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton 14
Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor), 2007, The Audience Studies Reader, New York, hal. 294.
30
melihat, menafsirkan, juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto, 2008: 102). Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas kebudayaan. Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan Yahudi. Selain itu, bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam penelitian yang Liebes dan Katz lakukan, sepertinya dapat digunakan di proses analisis dalam penelitian penulis. Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa hubungan penting antara televisi dengan identitas nasional/kultural. Hal yang paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat mereka mengawasandi sejumlah program. Televisi Amerika bukan dikonsumsi tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural „asli‟ sebagai suatu akibat yang tak terelakkan. Barker pun menekankan bahwa sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui artikulasinya (Barker, 2009: 292). Jika membandingkan, kajian yang penulis lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz. Sederhananya, khalayak mereka adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya) yang menonton tentang Amerika: Dallas, sedangkan penelitian penulis hanya melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia: SS. Maka kajian dan analisanya juga berbeda. 31
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan bagaimana perempuan domestik/lokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global, melalui media televisi pada era kontemporer Indonesia. Menariknya di sini ialah bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di lingkungan masyarakat kampung-perkotaan. Selain itu, penulis dapat melihat bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron negeri sendiri (baca: Indonesia). Dari penelitian ini, kita dapat mengetahui bahwa popularitas program televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya, sekaligus menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton lokal/domestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme. Keberhasilan perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair, Jacka dan Cunningham (1996) dalam Ida, tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan geografis (lihat Heryanto, 2008: 109). Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai sebagai „sumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia, tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di Indonesia, melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia. Setidaknya sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik 32
dengan tayangan Asia, dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea Selatan. Pada tulisan Ida, kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002), yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga. Penulis yakin keduanya menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga. Aspek penting yang tidak terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan kota kelas bawah di kota Gubeng, Surabaya, terutama ketika menunjukkan bagaimana hubungan posisi kelas, gender, dan usia terhadap sikap khalayak saat menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut. Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang dilakukan Ida. Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya yang asing, bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya. Sementara itu, persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap khalayak yang mengonsumsi televisi. Selain itu tidak banyak.
1.5.
Kerangka Pemikiran Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun: Khalayak Televisi dan Identitas keindonesiaan, penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif, Encoding/Decoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep 33
decoding atau mendekode atau mengawasandi, yang mana Pierre Bourdieu (1984/2006: 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai „reading‟ atau „membaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Pun kedua kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja „read‟ atau „baca‟ yang melampaui praktiknya itu sendiri. Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media, khususnya dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam. Namun terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian (resepsi) khalayak dalam cultural studies, penulis kemudian melengkapinya dengan kajian resepsi generasi ketiga: pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari, 1999: 6-8). Penelitian ini juga akan berbicara mengenai „identitas keindonesiaan‟, maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait dengan penelitian ini.
1.5.1. Khalayak Aktif (Active Audience) Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang dikonsumsi. Dalam penelitian ini, penulis mengategorikan khalayak program televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton lewat televisi. Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca buku, dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading). Tak hanya itu saja, pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media. Sebagaimana tradisi 34
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian cultural studies, tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker, 2009: 285-6). Selain itu, sifat audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas, serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil, 2001: 12). Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan makna. Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi. Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual, dan mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker, 2009: 286). Di dalam buku lain, Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari menonton, mendengarkan, dan membaca materi media tertentu. Penelitian khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku khalayak terhadap media. Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik. Artinya teks adalah pembawa berbagai macam makna, dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para khalayak (Ross dan Nightingale, 2003). Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu khalayak 35
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas dan bukan produk dari teks yang distrukturkan, tetapi makna terikat oleh cara teks distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton. Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari, sehingga di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat. Terakhir ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama (Barker, 2009: 286-7). Kajian resepsi atau reception studies, yang merupakan generasi pertama (Alasuutari, 1999: 2) dari penelitian resepsi, adalah sebuah model analisis yang dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh media kepada khalayak. Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun dalam memilih suatu media tertentu. Kemudian juga berbeda apabila orang-orang tersebut berasal dari kelas sosial, usia, dan etnisitas yang berbeda. Kajian resepsi, misalnya, dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan kegiatan „ngrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life), artinya media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial.
36
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan. Secara praktis kajian ini dapat dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan media melalui teks media itu sendiri, misalnya berita. Khalayak dipandang sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media. Khalayak mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman subyektif realitas sosial yang dimilikinya. Dalam kajian resepsi dikenal istilah interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari, 1999: 195). Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi, posisi khalayak sebagai subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan metodologis. Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda.
1.5.2. Encoding/Decoding (Kajian Resepsi) Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini, Stuart Hall memaknai encoding/decoding sebagai serangkaian proses produksi pesan dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak. Hall memulai tulisan tentang encoding/decoding dari kritik terhadap riset komunikasi massa, yang secara tradisional, telah mengonsepsi proses komunikasi dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi. Model ini sudah banyak menerima kritik karena kelinierannya – pengirim/pesan/penerima (sender/ message/receiver) – juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan 37
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang „momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks‟. Meski demikian, mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) – produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, dan reproduksi. Hal tersebut akan mempertimbangkan serangkain proses tadi sebagai „struktur kompleks dominan‟, yang dimungkinkan melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan, namun masing-masingnya mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik, bentuk, serta kondisi keberadaannya sendiri. Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu, struktur penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk diskursus yang bermakna. Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat „direalisasikan‟. Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut, bagaimana aturan diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan. Sebelum pesan ini bisa memiliki efek, atau dengan kata lain, sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau digunakan, pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang bermakna dan didekodekan secara bermakna. Kumpulan makna yang akan didekodekan inilah yang memiliki efek, yang mempengaruhi, menghibur, mengajari, atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku, ideologis, emosional, kognitif, dan persepsi indrawi yang sangat kompleks. Dalam momen yang telah ditentukan batas-batasnya, suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan 38
pesan: pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya, pesan tersebut muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial, tentunya melalui proses dekodingnya.
Program sebagai Diskursus bermakna
enkoding
dekoding
struktur makna 1
struktur makna 2
kerangka
kerangka
pengetahuan
pengetahuan
------------------------
---------------------
hubungan produksi
hubungan produksi
------------------------
-----------------------
Infrastruktur teknis
infrastruktur teknis
Bagan 1: encoding/decoding
Jika membaca bagan di atas; sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai „struktur makna 1‟ dan „struktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama. Keduanya bukan merupakan „keidentikan langsung‟. Kode enkoding dan dekoding mungkin tidak simetris secara sempurna. Tingkat-tingkat kesimetrisan, atau tingkat „pemahaman‟ dan „kesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung pada tingkat simetri/asimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi „personifikasi‟, antara produser (encoder) dan penerima (decoder). Namun ini pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan, 39
menginterupsi, atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan. Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan relasi dan posisi struktural
antara penyiar dan khalayak, hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode „sumber‟ dan „penerima‟ pada momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif. Maka apa yang disebut „distorsi‟ atau „kesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi. Sekali lagi, ini menegaskan „otonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat Hall, Hobson, Lowe, dan Willis, 2011: 217-8). Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama. Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode, mereka akan mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama. Namun ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda, seperti kelas dan gender, dengan sumber daya kultural yang berbeda, dia mampu mendekode program dengan cara alternatif (Barker, 2009: 288). Mengapa bisa sampai tercapai kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding dan dekoding, sehingga enkoding dapat mencoba untuk „lebih memilih‟ namun tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding, yang memiliki kondisi eksistensinya sendiri, seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini. Jika keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar, maka enkoding akan memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri. Seandainya tidak 40
ada batasan tersebut, khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun yang mereka sukai menjadi pesan apa saja, menjadi alternatif yang muncul secara otonom. Maka tak diragukan lagi, berbagai kesalahpahaman total semacam ini benar-benar terjadi. Namun, rentangan praktik yang luas pastinya memuat beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding. Jika tidak, kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi yang efektif. Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi melainkan hasil konstruksi. Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara dua momen berbeda. Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah kode-kode dekoding mana yang akan digunakan. Jika tidak dengan cara demikian, komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna, dan setiap pesan akan menjadi satu peristiwa „komunikasi yang transparan secara sempurna‟. Oleh karena itu, kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda yang di dalamnya encoding/decoding dapat digabungkan. Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominanthegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki. Saat khalayak mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah dienkodekan, dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian dalam lingkup kode dominan. Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode, yang diambil oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai dengan cara yang hegemonik. 41
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading atau kode yang dinegosiasikan. Ia merupakan kode yang mengakui adanya legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker, 2009: 288). Mayoritas khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda. Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur yang bersifat adaptif dan oposisional: dekoding tersebut mengakui legitimasi definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak, sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional, dekoding membuat aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan terhadap aturan. Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang berbagai peristiwa, sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal, pada posisinya sendiri yang
lebih
bersifat
korporat.
Kode
yang
dinegosiasikan
melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau terkondisikan.
Dan
logika
ini
ditopang
oleh
relasi
perlawanan
dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika kekuasaan (Hall, Hobson, Lowe, dan Willis, 2011: 229). Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional reading). Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di mana orang (baca: khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya, atau 42
sesukanya. Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara keseluruhan. Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan alternatif. Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional. Dalam sebuah hemat berpikir, di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam diskursus digabungkan. Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan (reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat dikategorikan ke dalam tiga posisi/kategori membaca teks seperti yang sudah diuraikan di paragraf sebelumnya. Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi tema utama di hampir setiap episodenya. Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading. Konsep ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encoding/decoding. Mengacu pada konsep encoding, bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media untuk tujuan ini. Artinya, pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau preferred reading (Antoni, 2004: 192).
43
1.5.3. Identitas Keindonesiaan Pemaparan kerangka berpikir tentang „identitas keindonesiaan‟ ini akan dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama dari gerakan kajian budaya (cultural studies). Di sini, identitas bersifat kultural dalam segala aspeknya, bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Artinya, bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan kultural tertentu (Barker, 2009: 174). Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens (via Barker, 2009: 175), yaitu identitas-diri dan identitas sosial. Menurut Giddens identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri sehingga
membentuk
suatu
perasaan
terus-menerus
tentang
adanya
keberlangsungan biografis. Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bertindak, dan ingin menjadi siapa. Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Jadi, identitas-diri bukanlah sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu. Identitas adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya (Giddens, 1991: 53 dalam Barker, 2009: 175). Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas, karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri sebagai pribadi. Selain itu, Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk. Sepertinya, 44
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita, namun itu dapat berubah menurut ruang dan waktunya. Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan, selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini, bersama dengan apa yang dipikirkan, dan atau diinginkan, serta melintasi harapan ke depan. Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial. Di dalam identitas sosial, individu terbentuk dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial. Misalnya saja sosialisasi atau akulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker, 2009: 176). Yasraf Amir Piliang (2011) dalam bukunya, “Dunia Yang Dilipat”, menyebut identitas adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya dengan individu-individu lain secara sosial. Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural. Kemudian, sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Berbagai sumber daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam 45
konteks kultural tertentu. Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri melainkan juga soal label sosial (Barker, 2009: 176). “Identitas sosial . . . diasosiasikan dengan hak-hak normatif, kewajiban dan sanksi, yang pada kolektifitas tertentu, membentuk peran. Pemakaian tandatanda yang terstandarisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah umur dan gender, merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat, sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat (Giddens, 1984: 282-3 via Barker, 2009: 176).
Dalam hemat Barker, identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial. Identitas juga „tentang kesamaan Anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks, 1990: 89 via Barker, 2009: 176). Hampir senada dengan Giddens, Stuart Hall menyuarakan pendapat antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan soal kemiripan, identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan. Identitas (kultural) dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu dicari; namun, identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan. Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi yang terus-menerus berubah, dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker, 2009: 185). Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas, gender, seksualitas, umur, etnisitas, kebangsaan, posisi politik pada berbagai isu, moralitas, agama, dan lain-lain, dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak stabil. Identitas kemudian menjadi „potongan‟ atau kilatan makna yang terungkap; 46
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna. Pendapat antiesensialis ini, sebagaimana dikatakan Barker (ibid: 186), menunjukkan kepada kita sifat dasar politis dari identitas sebagai „produksi‟ dan kepada kemungkinan bagi identitas yang beragam, berubah, dan terfragmentasi yang mana dapat diartikulasikan bersama dengan berbagai cara. Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton (2011) dalam “Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian Televisi”. Menurut Burton, identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang, bermakna berbeda untuk orang yang berbeda, terutama mereka yang terlibat di dalam dan di luar kelompok – dan juga mempunyai makna bersama. Identitas adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran, diartikulasikan dalam komunikasi, dan juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya. Itulah mengapa identitas etnis dan rasial – yang mana merupakan identitas esensialisme – ada dalam benak kita, dalam benak orang lain, dalam artikulasi program televisi, dalam kehidupan keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton, 2011: 243-4). Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan, secara khusus penulis mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas Benedict Anderson (2008), seorang ahli Indonesia (Indonesianis), dalam karya klasiknya yakni “Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang”. Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang nasionalisme yang masih kurang memuaskan, di mana Anderson menawarkan 47
arah penafsiran lain tentang „anomali nasionalisme‟ (Anderson, 2008: 5). Titik keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality), atau mungkin lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an (nation-ness), sama halnya dengan nasionalisme, adalah artefak-artefak budaya jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis (Anderson, 2008: 6). Barker mengatakan bahwa identitas nasional – dalam komunitas terbayang – secara intrinsik terkait dengan, dan dibangun oleh, berbagai bentuk komunikasi (Barker, 2009: 208). Setidaknya
Anderson
telah
memetakan
kegusaran
para
teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut, yaitu: 1). Modernitas objektif bangsabangsa di mata para sejarawan vs. kepurbaan subjektifitasnya di mata para nasionalis; 2). Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosiokultural – dalam jagat modern semua orang bisa, musti, akan „punya‟ suatu kebangsaan tertentu – vs. kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak terelakan, misalnya, berdasarkan definisinya, kebangsaan Yunani bersifat sui generis, mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga; 3). Daya politis nasionalisme vs. kemelaratan filosofisnya, atau malah ketidak-koherenannya. Dengan kata lain, tidak seperti sebagian „isme‟ lain, nasionalisme belum pernah melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson, 2008: 7). Pada poin selanjutnya, Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf „N‟ kapital) kemudian
menggolongkannya
sebagai
sebuah
ideologi.
Anderson 48
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam Zaman. Artinya dalam contoh analogi tersebut, bahwa, setiap manusia memiliki age (umurnya sendiri yang nyata), tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan abstrak analitis saja (Anderson, 2008: 8). Ben Anderson, dengan gaya berpikir antropologis, mengusulkan definisi tentang bangsa atau nasion, yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain, tidak akan pernah bertatap muka dengan mereka, bahkan tidak pula pernah mendengar tentang mereka (Anderson, 2008: 8). Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.15 Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun, yang anggotanya semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis. Di luar perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa di dunia yang membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa. Bangsa
Bandingkan Seton-Watson (1977), Nations and States, hal. 5: “Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion, atau berperilaku seolah mereka telah membentuk sebuah bangsa.” Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa menerjemahkan frasa „menganggap diri mereka‟ menjadi „membayangkan diri mereka‟, dalam Ben Anderson, 2008, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta, hal. 8. 15
49
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar (Anderson, 2008: 10). Jadi, konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak maupun komunitas khalayak saja, namun dengan memakai logika tersebut untuk membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih besar seperti „identitas keindonesiaan‟.
1.6.
Metodologi Penelitian Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif. Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi oleh pendekatan kuantitatif. Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada produksi, teks, dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media; antara memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak). Oleh karena itu, khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997: 19). Analisis resepsi merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen, 2003: 139). 50
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik budaya khalayak. Masih menurut McQuail (1997), analisis resepsi menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi. Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality). Setiap individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities), yang secara sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara, termasuk didalamnya umur, ras, gender, kebangsaan, etnisitas, orientasi seksualitas, kepercayaan agama, dan kelas.
1.6.1. Jenis Data Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual), artinya data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan kualitas, bukan kuantitas. Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian. Objek material penelitian ini
adalah
hasil
wawancara,
atau
dialog
dan
bincang-bincang
yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis, yang akan diolah dan disajikan dalam karya penelitian ini. Maka dalam penelitian ini, FGD menjadi sebuah perangkat penelitian yang sangat penting. Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual, yang kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat. Arsip digital 51
berupa video hasil unduhan dari website http://www.metrotvnews.com terkait program SS, berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks. Metro TV setiap Senin malam pukul 22:30 WIB selalu menayangkan satu episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda, di mana juga terdapat tayangan iklan antara rentang waktu tersebut. Penulis memilih tiga episode dan membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun, yakni selama tahun 2012. Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut. Tayangan video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada selingan iklan atau pariwara di dalam video digital. Jadi di sini khalayak murni menonton SS tanpa iklan. Menurut penulis, penting untuk mengatakan bahwa khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki resepsi/tanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi.
1.6.2. Metode Pengumpulan Data Sebelum menuju tahap ini, penulis memilih serta mengumpulkan beberapa orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital. Metode pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah pemutaran video. Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer, sedangkan data utama ialah teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD. Sementara itu, data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak 52
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book). Langkah ini akan disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung penelitian ini dapat berupa buku, jurnal penelitian, artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitan ini. Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk memperoleh
resepsi
atau
tanggapan
(pembacaan/pengawasandian,
juga
interpretasi) khalayak atas teks media. Oleh karenanya penulis berharap akan memperoleh pembacaan yang lugas, jujur, dan terbuka dari khalayak. Analisisnya adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian. Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian. Oleh karena itu, wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian kualitatif yang berbasis kajian khalayak. Namun penulis juga tidak membatasi alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi khalayak. Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film; seperti aktor, penulis naskah, sutradara, atau pekerja produksi, suasana produksi/setting, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi. Maka bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media.
53
1.6.3. Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta video hasil unduhan, dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS. Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian, penulis khawatir akan terjadi kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak, terlebih lagi dalam penelitian ini. Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi, penonton undangan ini hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun), serta bintang tamu atau narasumber. Menurut penulis, alasan mengapa penonton di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif, sebagai bagian dari unsur hiburan dalam program televisi, terlepas dari bagaimana cara mereka dihadirkan. Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi, seperti bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca, juga bagaimana pengalaman seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek. Secara khusus adalah bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan kelompok umur, faktor agama, faktor kaum minoritas, faktor sejarah, faktor sosial dan budaya, faktor pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain. Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena penelitian ini bersifat kualitatif. Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya akan menentukan analisis keberagaman, atau justru keseragaman. Penulis dapat 54
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara. Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian, juga untuk menjalin hubungan yang lebih akrab dengan khalayak. Wawancara yang dilakukan terbagi menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincangbincang, yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview), serta wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang dilakukan dalam sebuah FGD. Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang sosial budaya. Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus Group Discussion/FGD) untuk menonton SS secara bersamaan, sambil penulis melakukan pengamatan, dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan. Teknik pengumpulan data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas data dalam wawancara, sehingga dapat diketahui alasan, argumentasi dari khalayak. Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD. Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk berbicara dalam sebuah FGD kecil. Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16 terkait bagaimana
16
Polyvocality atau suara yang beragam. Dalam penelitian cultural studies, selain refleksitas diri, peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya banyak (realitas). Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak. Bahkan, untuk berbuat adil, orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak.
55
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS; apakah mengalami dominasi-hegemoni, negosiasi, atau oposisional. Jumlah tersebut berhubungan dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya, sebetulnya, tidak jadi masalah. Namun penulis hendak mengefektif dan mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas dan dana yang terbatas. Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan Sosiologi, warga negara Indonesia (WNI), memiliki akses terhadap media dan informasi terutama televisi, dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya dan Malang). Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini akan membahas soal identitas keindonesiaan, untuk berbicara atas nama dirinya sebagai orang Indonesia. Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI. Namun, dalam pertimbangan lebih lanjut, fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya, sehingga penulis memilih khalayak yang berdomisili di Jawa Timur. Menurut penulis, kesamaan mereka menjadi penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar diskusi (Carey, 1993 via Herlina, 2012: 113) dalam FGD. Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan informan, karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-,masing informan akan berbeda satu sama lain. Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca, etnografer akan melihat kegunaan lain dari konsep polyvocality, yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya, serta untuk memahami pengalaman individu. Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni. Hal ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed), meskipun testimoni tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru. Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam bab New Etnography di Paula Saukko, 2003, Doing Research in Cultural Studies, London, hal. 64.
56
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh, fleksibel, dan mendalam. Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan lanjutan. Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka menjadi sama, tetapi justru akan tetap berbeda. kriteria khalayak ini tentu saja tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasi/beragam atau polyvocality.
1.6.4. Metode Analisis Data Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS, serta mengapa khalayak merespsi seperti itu. Maka, penelitian ini juga adalah tentang bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan. Dengan begitu penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS, yang telah di unduh dari website resmi Metro TV. Agar tidak bias, penulis telah memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung dari televisi atau media lain. Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam, sesuai dengan sifat penelitian kajian khalayak ini, informasi dan data-data yang sudah dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif. Menurut penulis, analisa data merupakan suatu upaya mencari, menjelaskan secara kritis, dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang 57
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini. Catatan-catatan yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai data rujukan untuk analisis data. Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang didapat dari hasil FGD dan atau wawancara. Untuk mengilustrasikan bahan-bahan tersebut dikodekan dan dianalisa, maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi bagaimana penulis mengerjakannya, kemudian menginterpretasikannya ke dalam posisi pembacaan dominan-hegemonik, bernegosiasi, atau beroposisi. Pandangan khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka membacanya demikian, juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan mendalam.
1.6.5. Skema Penulisan Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima bab, yaitu: Bab I: bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka penelitian, dan metodologi penelitian.
58
Bab II: bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS, yang diawali dari sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi. Setelah itu adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia. Bab III: bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di Metro TV, berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini. Akhir bagian bab ini adalah uraian tentang enkoding program SS, sebagai jawaban dari rumusan masalah pertama dalam penelitian ini. Bab IV: bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak, sebagai jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga. Bagian ini memaparkan tentang khalayak, resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah dipilih dan ditonton, serta resepsi khalayak – identitas keindonesiaan – terhadap konstruksi “wajah Indonesia” dalam SS. Bab ini tidak hanya menunjukkan bagaimana resepsi khalayak, tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian. Bab V: bagian terakhir merupakan catatan krits, kesimpulan, dan benang merah dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini.
59