BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab III ayat 5, yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pendidikan berhak didapatkan oleh semua individu, termasuk individu berkebutuhan khusus. Hal ini berarti bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk sukses seperti individu normal lainnya tanpa memandang keterbatasan individu tersebut. Salah satu bentuk nyata bahwa pendidikan diberlakukan untuk semua individu ditunjukkan dengan mulainya pemerintah menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pemerintah telah menyediakan tempat untuk menunjang proses akademis dengan cara mendirikan sekolah untuk menangani individu berkebutuhan khusus tersebut. Salah satu jenis sekolah yang bertanggung jawab melaksanakan pendidikan untuk individu yang berkebutuhan khusus adalah sekolah luar biasa (SLB). Dalam Undang-Undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003, sekolah luar biasa (SLB) adalah tempat pendidikan yang diberikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Phillips & Corn (2003) munculnya sekolah luar biasa (SLB) ini menjadi tempat alternatif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk berada dalam satu lingkungan dan bergaul dengan teman-teman senasib, namun secara tidak disadari sistem pendidikan sekolah luar biasa (SLB) telah membangun tembok eksklusivisme bagi siswa-siswa yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusivisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara siswa-siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal yang mengakibatkan dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok siswa berkebutuhan khusus menjadi komunitas yang terisolasi dari dinamika sosial di masyarakat, padahal seharusnya siswa berkebutuhan khusus berhak berada di lingkungan pergaulan yang lebih normal. Kondisi seperti ini memunculkan kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini untuk menyatukan antara siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama di sekolah yang dinamakan dengan sekolah inklusi. Menurut Purnama (2010), sekolah inklusi merupakan layanan pendidikan yang mengikutsertakan siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa normal lainnya. Sekolah inklusi merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Alimin (dalam Sunaryo, 2009) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam
Universitas Sumatera Utara
belajar, budaya dan masyarakat serta mengurangi eksklusifitas di dalam pendidikan. Pada saat ini walaupun pemerintah sudah mendirikan sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan bagi individu yang berkebutuhan khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi, namun ternyata tidak semua siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan dalam mendirikan sekolah tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi menunjang kelancaran akademis siswa berkebutuhan khusus tersebut. Selain masalah biaya, ternyata sumber daya manusia juga terbatas sehingga membuat terbatasnya akses pada siswa-siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan terutama untuk di daerah-daerah tingkat kabupaten maupun daerah lainnya (Kompas, 2010). Kondisi yang telah disebutkan seperti di atas mengharuskan anak berkebutuhan khusus untuk menuntut ilmu di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Sekolah umum merupakan tempat individu mendapatkan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Undang-Undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003). Berdasarkan Undang-Undang Dasar pasal 130 (2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Oleh sebab
Universitas Sumatera Utara
itu, pihak sekolah umum tidak dibenarkan untuk menolak siswa berkebutuhan khusus tersebut untuk bersekolah di sekolah umum. Salah satu sekolah umum yang menerima anak berkebutuhan khusus adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti yang berada di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Adapun siswa berkebutuhan khusus di sekolah ini adalah siswa tunanetra yang berjumlah tujuh siswa. Menurut Hallahan & Kauffman (1998), tunanetra adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual kurang lebih 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan, baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. SMA Trisakti menerima siswa tunanetra yang kebanyakan siswa tunanetra di SMA tersebut mengalami kebutaan total pada usia kanak-kanak, sehingga dapat dikatakan siswa tunanetra tersebut hanya sebentar memiliki pengalaman visual. SMA Trisakti tidak mengadaptasi kurikulum sekolah inklusi dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitas yang mendukung siswa berkebutuhan khusus, khususnya siswa tunanetra. Kondisi yang demikian mengharuskan siswa tunanetra mengikuti kurikulum sekolah secara umum. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Kepala Sekolah, yaitu sebagai berikut: “Di sekitar sini kan banyak anak tunanetra yang ingin sekolah, jadi sebagai pendidik kami merasa terpanggil untuk memberikan hak sekolah yang sama untuk mereka. Tapi kendala yang muncul di lapangan itu, kami tidak punya guru yang paham bagaimana mengajar anak-anak tunanetra ini, terus kami juga tidak punya fasilitas yang bisa mendukung mereka. Tapi kami tetap menerima mereka dengan pertimbangan menerima siswa tunanetra yang nilan UN nya di atas rata-rata 7,0. Dengan pertimbangan tersebut kami berharap mereka mampu mengikuti sistem pelajaran yang umum di sekolah ini.” (Komunikasi Personal, 25 Januari 2012)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan observasi di lapangan yaitu di SMA Trisakti, peneliti menemukan bahwa para siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum ternyata
memiliki
berbagai
masalah.
Masalah-masalah
tersebut
muncul
dikarenakan tuntutan yang diberikan oleh sekolah umum kepada siswa tunanetra sama dengan siswa normal lainnya. Dalam proses mengajar di SMA Trisakti, guru menerangkan materi pelajaran menggunakan media papan tulis sebagai alat bantu dalam metode pengajaran. Kondisi tersebut membuat para siswa tunanetra terkadang sulit untuk memahami materi pelajaran, terutama pada pelajaran berhitung maupun pelajaran yang menggunakan simbol atau gambar. Selain itu, buku-buku yang digunakan oleh siswa tunanetra tidak semua bertuliskan huruf Braille, sehingga membuat siswa tunanetra sulit untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan. Akibat keterbatasan fisiknya, siswa tunanetra jarang mengikuti praktek mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sehingga mereka hanya dapat mempelajari teorinya saja. Selain itu, hambatan yang paling besar yang bagi siswa tunanetra tersebut adalah masalah yang berhubungan dengan tugas-tugas dari sekolah yang selalu berhubungan dengan media online, seperti yang dikemukakan oleh siswa dalam komunikasi personal berikut: “…Hambatan terbesar kalau mengerjakan tugas, karena sekarang biasanya guru menyuruh untuk mengambil bahan dari internet, jadi agak sulit, selain itu teman kita tidak selalu mau membantu, karena mereka juga pasti ada merasa malas untuk menolong, tidak sama seperti kita, kita ingin tugasnya di kumpul, kalau mereka selalu mengulur, jadi bertentanagan. Jadi susah, selain itu kami mana bisa ngambil di internet karena kami tidak bisa melihat…” (Komunikasi Personal, 14 Oktober 2011) Kutipan komunikasi personal tersebut menggambarkan bahwa siswa tunanetra mengalamai hambatan dalam hal akademis yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
media visual. Siswa tunanetra tersebut mengalami kebutaan sejak usia balita dan mengalami kebutaan total. Menurut Pradopo (1977), penderita tunanetra pada usia kecil adalah yang sudah memiliki kesan – kesan mengenai pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. Selain itu, penderita yang mengalami buta total adalah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Kesulitan yang dialami siswa yang berkaitan dengan media tersebut terjadi karena perkembangan zaman yang sudah mulai maju, sehingga membuat guru untuk meminta siswa tunanetra mencari tambahan materi pelajaran melalui internet. Heinrich (1999) menyatakan bahwa tidak mustahil bagi siswa tunanetra untuk dapat mengakses internet walaupun dengan cara yang berbeda dan cukup silit. Hal ini juga di dukung oleh pernyataan seorang guru yang mengajar di kelas siswa tunanetra dalam kutipan wawancara berikut ini: “…..sebenarnya mereka itu pintar, bahkan melebihi anak-anak normal. Tapi mereka itu bisanya di pelajaran yang sifatnya mengahafal. Kalau yang namanya pelajaran menghapal nilai 7, 8, 9 uda di tangan mereka memuaskan lah kalau dibilang. Tapi kalau pelajaran yang uda ada gambargambarnya kayak simbol-simbol, nah itu mereka nggak bisa. Karna mereka kan ngak bisa lihat materi yang kami ajarkan di papan tulis, jadinya orang itu sering kesulitan makanya nilainya kurang memuaskan…” (Komunikasi personal, 13 Oktober 2011)
Kondisi yang telah disebutkan di atas akan terasa sangat berat bagi siswa tunanetra, karena seluruh kegiatan akademis di sekolah umum menggunakan media visual, seperti papan tulis. Siswa tunanetra tentu saja tidak dapat melihat simbol-simbol atau gambar yang terdapat di papan tulis, sehingga mereka akan sulit memahaminya dan berpengaruh pada pengerjaan tugas siswa tunanetra
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dalam melaksanakan proses kegiatan akademis di sekolah yang seluruhnya menggunakan media visual, tentu alat utama yang berperan penting dalam melaksanakan aktivitas tersebut adalah mata. Mata merupakan saluran utama dalam proses informasi maupun alat penginterpretasian dunia selain pendengaran. Hal ini disebabkan karena delapan puluh persen pengalaman manusia diperoleh melalui penglihatan (Geisler & Super dalam Matlin, 2006). Kesulitan yang dialami oleh siswa yang berkaitan dengan media visual termasuk dalam masalah akademis. Menurut Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar untuk memahami materi. Dengan munculnya masalah akademis tersebut, maka siswa tunanetra membutuhkan suatu strategi pemecahan masalah akademis yang muncul akibat keterbatasan mereka dalam hal yang berkaitan dengan visual. Strategi pemecahan masalah akademis ini digunakan agar proses belajar siswa tunanetra dalam menimba ilmu di sekolah dapat berjalan dengan lancar.Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam strategi pemecahan masalah akademis, tentunya bagi setiap siswa tunanetra tidaklah sama dalam menyelesaikan masalah akademisnya. Hal ini dikarenakan keahlian setiap siswa berbeda satu sama lain. Dalam menyelesaikan masalah akademis yang terjadi terkadang siswa tunanetra gagal untuk mengatasinya, namun di sisi lain ternyata terdapat siswa tunanetra yang mampu
Universitas Sumatera Utara
dan selalu penuh semangat untuk menghadapi hambatan yang dihadapi karena kemampuan siswa tunanetra dalam menyelesaikan masalah berhubungan dengan perilaku belajar siswa tersebut (Salami & Aremu, 2006). Ada beberapa strategi pemecahan masalah yang umumnya digunakan, antara lain algoritma dan heuristik (Matlin, 2006). Algoritma merupakan strategi yang menjamin solusi atas satu persoalan, karena memiliki susunan baku dalam memecahkan masalah. Strategi pemecahan masalah yang kedua adalah heuristik. Heuristik suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk suatu solusi, sehingga tidak ada susunan baku dalam memecahkan masalah. Menurut Matlin (2005) dalam strategi pemecahan masalah heuristik, terdapat tiga heuristik yang sering digunakan yaitu heuristik hill-climbing, heuristik means-ends, dan pendekatan analogi. Penyelesaian masalah akademis yang berbeda pada setiap siswa tunanetra membuat peneliti merasa perlu memahami siswa tunanetra per individu dengan keunikannya masing-masing dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran strategi pemecahan masalah pada siswa tunanetra di sekolah umum dalam hal akademis, khususnya dalam hal proses belajar.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra di SMA Trisakti Lubuk Pakam.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra di sekolah umum.
D. Manfaat Penelitian Apabila identifikasi penelitian dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan penelitian sudah tercapai, maka penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan akan dapat memberikan wawasan dan khasanah ilmiah dalam bidang Psikologi Pendidikan, terutama mengenai masalah strategi pemecahan masalah pada siswa tunanetra dalam hal akademis.
2.
Manfaat praktis
a.
Bagi siswa tunanetra Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi siswa tunanetra mengenai strategi pemecahan masalah akademis yang dilakukan oleh siswa tunanetra, sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan kemampuan akademis siswa tunanetra dan dapat meningkatkan prestasi belajar
Universitas Sumatera Utara
b.
Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak sekolah dalam hal strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra, sehingga dapat memberikan dukungan kepada siswa tunanetra.
c.
Bagi guru Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada guru mengenai strategi pemecahan akademis pada siswa tunanetra, sehingga diharapkan dapat membantu dan memotivasi siswa tunanetra dalam menyelesaikan masalah akademis yang dihadapai oleh siswa tunanetra.
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam beberapa BAB dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan Pada bab ini akan digambarkan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II :
Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah, masalah akademis, tunanetra, dan sekolah Trisakti.
Universitas Sumatera Utara
Bab III :
Metode Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang
metode
penelitian
kualitatif,
partisipan,
metode
pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data. Bab IV :
Analisa Data dan Pembahasan Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi data wawancara dan pembahasan yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.
Bab V :
Kesimpulan dan Saran Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan saran peneliti terhadap penelitian.
Universitas Sumatera Utara