BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian Proses produksi barang dan/atau jasa melibatkan dua pelaku utama yaitu pengusaha dan pekerja. Dua pemeran utama dalam produksi barang dan/atau jasa, sama-sama saling membutuhkan. Pengusaha tanpa pekerja tidak dapat memproduksi barang dan/atau jasa. Pekerja tanpa adanya pekerjaan akan hanya sebatas sebagai tenaga kerja saja. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha dan pekerja, namun tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan dengan seperti yang diharapkan. 1 Pada prakteknya, hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak selamanya berjalan harmonis. Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang terkadang bersinggungan dengan hak dari pihak yang lainnya. Namun terkadang tidak semua pihak dapat memperoleh keadilan tersebut. Selama ini, secara umum banyak orang berpandangan bahwa pihak yang sering dirugikan adalah pihak pekerja/buruh, sedangkan faktanya tidak menutup kemungkinan pihak pengusaha juga dapat mengalami ketidakadilan. Berangkat dari 1
Makalah seminar diskusi panel “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Pemberian Pesangon Bagi Buruh Yang Melakukan Kesalahan Berat Dan Tentang Kadaluwarsa Pembayaran Upah Dihubungkan Dengan Kepastian Hukum Bagi Iklim Usaha” Januari 2014.
1
pemahaman di atas tentang peran pengusaha dan pekerja dalam produksi barang dan/atau jasa yang sama-sama penting, menjadikan pertanyaan karena pada bagian Menimbang dari Undang-Undang No 13 Tahun 2003, pada huruf b berbunyi : “Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan”. Ini berarti fokus perhatian pembuat undang-undang hanya memberikan perlindungan kepada pekerja saja. Dampak dari pola pikir pembuat undangundang yang demikian, maka pantaslah bila sekitar 95% dari isi undangundang tersebut hanya berupa perlindungan bagi pekerja, sedangkan perlindungan bagi pengusaha sangat sedikit. Padahal pengusaha juga amat memerlukan perlindungan hukum dalam hubungan kerja untuk keberhasilan investasinya. Pengusaha saat ini merasa diberatkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang pada dasarnya mencabut ketentuan yang ada dalam Pasal 96 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) melalui putusan Putusan MK No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013. Dengan dicabutnya keberlakuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini menyebabkan tidak ada lagi masa daluwarsa dalam hal penuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja.
2
Dicabutnya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini dilatarbelakangi oleh Permohonan Uji Materi yang didaftarkan oleh Marten Boiliu selaku Pemohon. Marten Boiliu sebelumnya bekerja sebagai Satuan Pengaman (“Satpam”) di Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) PT Sandy Putra Makmur (“PT SPM”), sejak 15 Mei 2002 hingga 30 Juni 2009. Pada 2 Juli 2009, Marten Boiliu terkena Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) oleh PT SPM, dan tiga tahun sejak PHK, Marten Boiliu menagih pemenuhan pembayaran pesangon kepada PT SPM. Sengketa ini sempat dicoba diselesaikan melalui upaya bipartit hingga tripartit (melibatkan Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan sebagai Mediator), namun upaya ini tidak membuahkan hasil. PT SPM tetap menyatakan, Marten Boiliu tidak dapat mendapatkan hak atas pesangon karena batas waktu yang ditetapkan oleh Pasal 96 UU Ketenagakerjaan telah terlewati. Akhirnya sengketa antara Marten Boiliu dan PT SPM didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”). Sadar akan posisinya yang lemah dalam melawan perusahaan yang bersikukuh dengan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan akhirnya Marten Boiliu mengajukan gugatan uji materiil atas Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tersebut. Dalam putusannya Majelis Hakim MK berpendapat bahwa upah dan hak pesangon yang lahir dari hubungan industrial harus dilindungi selama pekerja tidak melakukan hal yang merugikan perusahaan. Maka dari itu, hak pekerja untuk mendapatkan pesangon tidak dapat dirampas oleh ketentuan
3
batas waktu 2. Lebih jauh, Hakim menilai ketentuan mengenai batas waktu menempatkan pekerja pada posisi yang riskan karena tidak adanya kepastian hukum dalam menagih hak-hak mereka. Ketentuan mengenai batas waktu ini bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menjamin setiap orang berhak atas kepastian hukum dan hak atas upah/gaji yang lahir dari hubungan industrial 3. Sehingga, Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hakim membatalkan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dan menjamin pekerja dapat menagih pembayaran pesangon mereka kepada perusahaan tanpa ada batas waktu. Sesungguhnya, dengan dicabutnya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini memberikan ketidakpastian hukum bagi para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Dengan tidak adanya masa daluwarsa dalam mengajukan tuntutan, khususnya dalam hubungan kerja, mengakibatkan hilangnya kepastian hukum bagi pengusaha terkait jangka waktu dalam menghadapi tuntutan hak dari pekerjanya. Berdasarkan latar belakang diatas, diketahui bahwa posisi karyawan yang mengalami PHK sangat bertolak belakang dengan Pengusaha. Karyawan berupaya keras memperjuangkan hak-haknya, namun di sisi berseberangan perusahaan berusaha menekan beban keuangan yang harus dibayarkan. Dengan adanya kepentingan yang bertolak belakang tersebut, sejatinya 2
Lihat Halaman 62 Paragraf 3, Putusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013 3 Ibid
4
Negara
dapat
mewujudkan
menjembatani kualitas
tenaga
kepentingan kerja
kedua
yang
baik,
belah
pihak
hubungan
guna saling
menguntungkan yang harmonis dan berkeadilan. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap permasalahan yang ada melalui tulisan hukum yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 Tanggal 19 September 2013 Terkait Pembayaran Upah Yang Telah daluwarsa Oleh Pengusaha”. B.
Perumusan Masalah Permasalahan hukum yang akan dibahas pada penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Apakah dampak Putusan MK No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013 terhadap pengusaha terkait pemberian upah yang telah daluwarsa? 2. Bagaimanakah kepastian hukum bagi pengusaha dalam menghadapi tuntutan pembayaran upah oleh karyawan yang dilakukan setelah melewati periode timbulnya hak upah tersebut?
C.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, dan penelusuran melalui internet, belum pernah ada dilakukan penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012
5
Tanggal 19 September 2013 Terkait Pembayaran Upah Yang Telah Daluwarsa Oleh Pengusaha”. D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis : 1. Manfaat teoritis, yaitu memberikan masukan dan perluasan khasanah ilmu hukum pada umumnya, dan hukum ketenagakerjaan pada khususnya. 2. Manfaat praktis, yaitu diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang, penegak hukum, praktisi hukum, dan pelaku usaha untuk menyelesaikan permasalahan atau perkara yang berkaitan dengan tuntutan pemberian upah/pesangon yang telah daluwarsa oleh pekerja/buruh kepada pengusaha.
E.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dampak Putusan MK No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013 terhadap pemberian pembayaran upah yang telah daluwarsa oleh pengusaha. 2. Untuk memberikan gambaran mengenai hukum ketenagakerjaan guna menjembatani kepentingan pekerja dan pengusaha, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum bagi pengusaha setelah dihapuskannya ketentuan mengenai tenggang waktu kadaluarsa dalam mengajukan tuntutan upah dan/pembayaran lainnya selama masa kerja karyawan.
6
F.
Tinjauan Pustaka 1. Pengertian PHK PHK memiliki berbagai pengertian, diantaranya: 1. Menurut Mutiara S. Panggabean, PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka. 4 2. Kemudian menurut Malayu S.P. Hasibuan Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumberdaya manusia. Dan istilah ini mempunyai sinonim dengan separation, pemisahan atau PHK. 5 3. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian PHK adalah ketika ikatan formal antara organisasi selaku pemakai tenaga kerja dan karyawannya terputus. 6 4. Menurut Suwatno PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 7 5. Dan terakhir menurut Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 25, PHK adalah
4
Mutiara S. Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indah, Bogor Selatan, Agustus, 2004, Cet. 2, hal.121 5 Malayu S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi aksara, Jakarta, Juli 2012, Cet. 12, hal. 208 6 Sondang P Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 2012 hal.175 7 Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam OPrganisasi public dan bisnis, Alfabeta, Bandung, September 2012. Cet.2, hal. 286
7
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. 8 2. Fungsi dan Tujuan PHK Fungsi dilakukannya PHK adalah sebagai berikut: 1. Mengurangi biaya tenaga kerja 2. Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen adalah mengidentifikasi kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan kinerjanya. 3. Meningkatkan inovasi. PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan , yaitu : 1. Pemberian
penghargaan
melalui
promosi
atas
kinerja
individual yang tinggi. 2. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk 3. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebgai
sumber
daya
yang
dapat
memberikan
inovasi/menawarkan pandangan baru. 4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan untuk mempekerjakan karyawan dari latar
8
Danang Sunyoto, Manajemen Sumber Daya Manusia, CAPS Yogyakarta, 2012, Cet. 1 hal.
130
8
belakang yang berbeda-beda dan mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga kerja. 9 Tujuan PHK memiliki kaitan yang erat dengan alasan PHK, namun tujuan lebih menitikberatkan pada jalannya perusahaan (pihak pengusaha). Maka tujuan PHK diantaranya: 1. Perusahaan/ pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan dengan baik dan efektif salah satunya dengan PHK. 2. Pengurangan buruh dapat diakibatkan karena faktor dari luar seperti kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya
pesanan,
tidak
adanya
bahan
baku
produktif,
menurunnya permintaan, kekurangan bahan bakar atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan. Tujuan lain PHK yakni agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan dan tidak menimbulkan masalah baru dengan memperhatikan tiga faktor penting, yaitu faktor kontradiktif, faktor kebutuhan, dan faktor sosial. 10 3. Alasan PHK Alasan PHK antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang
9
Mutiara S. Panggabean, Op.cit, hal.122 Suwatno, Op.Cit, hal.289
10
9
Undang-undang dapat menyebabkan seseorang harus berhenti dari pekerjaannya, contohnya seperti karyawan warga negara asing yang sudah habis izin bekerjanya. 2. Keinginan Perusahaan Perusahaan dapat memberhentikan karyawannya secara hormat ataupun tidak hormat, apabila karyawan perusahaan tersebut telah melakukan kesalahan besar 3. Keinginan Karyawan Karyawan/buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktuwaktu
karena
alasan
mendesak
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. 4. Pensiun Ketika seseorang telah mencapai batas usia maksimal tertentu untuk bekerja sesuai dengan peraturan perusahaan yang disepakati. 5. Kontrak kerja berakhir 6. Kesehatan Karyawan Kesehatan karyawan dapat dijadikan alasan pemberhentian karyawan. Ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan atau keinginan karyawan yang juga telah diatur berdasarkan perundangundangan ketenagakerjaan yang berlaku. 7. Meninggal dunia 8. Perusahaan dilikuidisasi
10
9. Karyawan dilepas jika perusahaan dilikuidisasi atau ditutup karena bangkrut. 11 4. Jenis-Jenis PHK Menurut Mangkuprawira PHK ada 2 (dua) jenis, yaitu 12: 1. PHK Sementara PHK sementara terbagi menjadi dua yaitu sementara tidak bekerja dan pemberhentian sementara. Dalam hal ini, ilustrasi dari sementara tidak bekerja adalah terkadang para karyawan butuh untuk meningglakan pekerjaan mereka sementara. Alasannya bermacam-macam, dapat berupa kesehatan, keluarga, melanjutkan pendidikan, rekreasi dan lain sebagainya. Keadaan ini disebut juga dengan cuti pendek atau cuti panjang namun karyawan tersebut masih memiliki ikatan dengan perusahaan dan memiliki aturan masing-masing. Sedangkan ilustrasi dari pemberhentian sementara adalah dalam pembertihan sementara perusahaan memiliki alasan internal, yaitu karena alasan ekonomi dan bisnis, misalnya kondisi moneter
dan
krisis
mengalami chaos atau
ekonomi karena
menyebabkan
siklus
bisnis.
perusahaan
Pemberhentian
sementara dapat meminimumkan di beberapa perusahaan melalui perencanaan sumber daya manusia yang hati-hati dan teliti. 2. PHK Permanen 11 12
Ibid, hal.287 Mutiara S. Panggabean, Op.Cit, hal.122
11
PHK permanen ada 3 (tiga) jenis yaitu atrisi, terminasi dan kematian. Atrisi adalah pemberhentian tetap seseorang dari perusahaan karena alasan pengunduran diri, pensiun, atau meninggal. Fenomena ini diawali oleh pekerja individual, bukan oleh perusahaan. Dalam perencanaan sumber daya manusia, perusahaan lebih menekannkan pada atrisi daripada pemberhentian sementara
karena
proses
perencanaan
ini
mencoba
memproyeksikan kebutuhan karyawan di masa depan. Terminasi adalah istilah luas yang mencakup perpisahan permanen karyawan dari perusahaan karena alasan tertentu. Biasnya istilah ini mengandung arti orang yang dipecat dari perusahaan karena faktor kedisiplinan. Ketika orang dipecat karena alasan bisnis dan ekonomi. Untuk mengurangi terminasi karena kinerja yang buruk maka pelatihan dan pengembangan karyawan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh karena dapat mengajari karyawan bagaimana adapat bekerja dengan sukses. Kematian dalam pengertian pada karyawan usia muda berarti kehilangan besar bagi perusahaan, karena terkait dengan investasi yang dikeluarkan dalam bentuk penarikan tenaga kerja, seleksi, orientasi, dan pelatihan. Menurut Sedarmayanti Jenis PHK ada 2 (dua) jenis, yaitu 13:
13
Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Mandar Maju, Jakarta, 2009.
12
1. Permberhentian Sementara biasanya terjadi pada karyawan tidak tetap yang hubungan kerjanya bersifat tidak tetap, perusahaan yang bergerak pada produk musiman, Karyawan yang dikenakan tahanan sementara oleh yang berwajibkarena disangkatelah berbuat tindak pidana kejahatan. 2. Pemberhentian Permanen sering disebut pemberhentian, yaitu terputusnya ikatan kerja antara karyawan dengan perusahaan tempat bekerja. Menurut Mutiara S. Panggabean Jenis PHK ada 4 (empat) Jenis, yaitu 14: 1. PHK atas kehendak sendiri (Voluntary turnover) hal ini terjadi jika karyawan yang memutuskan untuk berhenti dengan alasan pribadi. 2. Pemberhentian Karyawan karena habis masa kontrak atau karena tidak dibutuhkan lagi oleh organisasi (Lay Off). 3. Pemberhentian
karena
sudah
mencapai
umur
pensiun
(Retirement). Saat berhenti biasanya antara usia 60 sampai 65 tahun. 4. PHK yang dilakukan atas kehendak pengusaha. Dalam hal ini pengusaha mmutuskan hubungan kerja dengan pekerja mungkin disebabkan adanya pengurangan aktivitas atau kelalian pegawai atau pelanggaran disiplin yang dilakukan pekerja. Olehkarenanya dapat disimpulkan bahwa jenis PHK adalah: 14
Mutiara S. Panggabean, Op.Cit, hal.121.
13
1. PHK Sementara. PHK sementara dapat disebabkan karena keinginan sendiri ataupun karena perusahaan dengan tujuan yang jelas. 2. PHK Permanen. PHK permanen dapat disebabkan empat hal, yaitu: a. Keinginan sendiri b. Kontrak yang Habis c. Pensiun d. Kehendak Perusahaan 5. Penyelesaian Perselisihan PHK Mekanisme perselisihan PHK sangat beragam dan berjenjang sebagaimana dijelaskan dibawah ini: 1. Perundingan Bipartit Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para pihak. Isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Apabila tercapai kesepakatan maka para
14
pihak membuat PB yang mereka tandatangani. Kemudian PB ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat PB dilakukan. Perlkunya menddaftarkan PB, ialah untuk menghindari kemungkinanslah satu pihak ingkar.Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit. 2. Perundingan Tripartit Dalam pengaturan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak,yaitu: a. Mediasi Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan.Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta PB dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran. b. Konsiliasi Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya.Bila tidak
15
dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran. c. Arbitrase Berbeda dengan mediasi dan konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satusatunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer. 3. PHI Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke PHI. Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap PB yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, PHI mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. 4. Kasasi (Mahkamah Agung)
16
Pihak yang menolak Putusan PHI atas persoalan Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
G.
Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian deskriptif analisis yang menguraikan atau menggambarkan secara rinci, sistematis, menyeluruh dan mendalam tentang landasan pemikiran tentang Putusan MK Nomor No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum /atau kaedah normatif yang berupa asas-asas hukum dan sistem hukum 15. 2. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka. Data-data tersebut, antara lain adalah: 1. Bahan Hukum Primer, bersumber bahan hukum yang diperoleh langsung, berupa bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu: a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm 10.
17
b.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c.
Undang-undang
Nomor
2
Tahun
2004
tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; d.
Putusan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
100/PUU-X/2012 Tanggal 19 September 2013; e.
Peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian, yaitu: a.
Literatur-literatur yang berkaitan dengan Perburuhan, PHK,Upah dan Pesangon; serta
b.
Makalah
dan
Artikel
yang
berkaitan
dengan
Perburuhan, PHK,Upah dan Pesangon. 3. Cara dan Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research). Hal ini bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri data-data berupa: 1. Bahan Hukum Primer, bersumber bahan hukum yang diperoleh langsung, yaitu: a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
18
b.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c.
Undang-undang
Nomor
2
Tahun
2004
tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; d.
Putusan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
100/PUU-X/2012 Tanggal 19 September 2013; e.
Peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian; Cara yang digunakan dalam melaksanakan studi kepustakaan (library research) tersebut, adalah dengan melakukan kompilasi data, klasifikasi data yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun sekunder untuk selanjutnya dilakukan analisis data serta penyusunan kerangka simpulan. 4. Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara analisis deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer maupun sekunder akan diedit (editing), kemudian diuraikan dalam bentuk uraikan yang logis dan sistematis. Data yang telah diuraikan tersebut, deskriptif dengan
dianalisis secara
metode deduktif untuk memperoleh
kejelasan
penyelesaian masalah dan ditarik kesimpulan, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus untuk menggambarkan
19
mengenai perlindungan hukum yang diberikan oleh Putusan MK Nomor 100/PUU-X/2012 Tanggal 19 September 2013 terhadap pengusaha.
H.
Jalannya Penelitian Penelitian untuk penyusunan tesis ini, akan dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain: 1.
Persiapan Penelitian Pada tahap ini, diawali dengan pengajuan judul penelitiann dan penyusunan proposal penelitian.
2.
Pelaksanaan Penelitian a)
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) terhadap bahan penelitian primer maupun sekunder.
b)
Pengelompokkan Data Data yang telah dikumpulkan, kemudian akan dikelompokkan sesuai
dengan
variabel-variabel
yang
telah
ditentukan
sebelumnya. c)
Pengolahan Data Data yang telah dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan mengenai perlindungan hukum bagi pengusaha.
20
d)
Penyusunan Hasil Penelitian Hasil analisis data kemudian disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran mengenai perlindungan hukum bagi pengusaha atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 Tanggal 19 September 2013.
I.
Jadwal Penelitian Jadwal penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini, dapat dijelaskan melalui matrik berikut ini:
No
Kegiatan Januari 2014
1
2
3
J.
Waktu Pelaksanaan Febuari 2014 Maret 2014
April 2014
Persiapan Penelitian Pengajuan Judul Bimbingan Proposal Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan dan Pengelompokkan Data Pengolahan Data Penyusunan Tesis
Sistematika Tesis Penulisan Tesis ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan
21
Pada bab ini, Penulis akan menyampaikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II
Tinjauan Pustaka Pada bab ini, Penulis akan menyampaikan teori yang digunakan
untuk
membahas
permasalahan
yang
telah
dirumuskan sebelumnya. Teori-teori tersebut berupa teori mengenai perburuhan serta konsep-konsep mengenai upah dan masa kadaluwarsanya. Bab III
Metodologi Penelitian Pada bab ini, Penulis akan menjelaskan mengenai jenis penelitian, bahan penelitian, teknik penelitian dan analisis data.
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan perlindungan hukum yang diberikan oleh lembaga hukum bagi pengusaha dan pelaksanaan perlindungan hukum bagi para pihak (pengusaha dan buruh) terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013.
Bab V
Penutup Bab ini akan memberikan kesimpulan dan saran.
22