1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pasar keuangan atau pasar modal merupakan tempat bertemunya pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana (Hanafi 2008: 61). Di pasar ini terdapat aktifitas transaksi, yaitu pihak defisit dana memperoleh dana dari pihak surplus dana dengan kata lain di dalam pasar ini terjadi perpindahan atau aliran dana dari satu pihak ke pihak lainnya. Meskipun ada dua pihak utama yang terlibat dalam pasar keuangan, untuk memfasilitasi aliran dana tersebut, ada banyak pihak yang terlibat, khususnya lembaga perantara yang kemudian disebut sebagai lembaga keuangan. Perantara keuangan ini muncul sebagai penyedia jasa yang membantu mengefektifkan aliran dana dari pihak surplus kepada pihak defisit dana. Dalam pasar keuangan, aliran dana diperlancar dengan adanya instrumen keuangan. Instrumen keuangan bisa berupa sekuritas atau surat berharga yang digunakan sebagai surat perjanjian yang melibatkan pihak surplus dengan pihak defisit dana. Untuk bisa mendapatkan dana dari pihak surplus, pihak defisit dana harus menerbitkan atau menjual sekuritas atau surat berharga (saham) kepada pihak surplus. Dalam prakteknya, pihak defisit adalah perusahaan yang membutuhkan dana untuk melakukan ekspansi bisnisnya sedangkan pihak surplus dana adalah masyarakat (perorangan atau kelompok) yang
1
bersedia memberikan kelebihan dananya untuk digunakan sebagai investasi di perusahaan yang membutuhkan dana tersebut. Syarat yang harus dipenuhi sebuah perusahaan untuk bisa menjual sekuritas (sahamnya) kepada masyarakat adalah go-public yang diawali dengan penawaran umum perdana yang lebih dikenal dengan Initial Public Offerings (IPO). IPO merupakan suatu kegiatan perusahaan dimana perusahaan tersebut menawarkan saham untuk pertama kalinya di pasar modal. Kegiatan ini merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan yang bertujuan untuk mendapatkan sumber dana tambahan. Menurut UndangUndang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 dalam Bandono dkk. (2010), penawaran umum perdana didefinisikan sebagai kegiatan penawaran efek untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh perusahaan kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan dan pelaksanaannya. Penawaran umum perdana merupakan kegiatan dimana perusahaan menawarkan sahamnya kepada pihak surplus atau yang disebut dengan investor. Investor yang dalam hal ini merupakan pembeli maupun calon pembeli harus memperhatikan secara baik mengenai perusahaan yang melakukan IPO. Hal ini bisa dilihat melalui prospektus yang diterbitkan oleh emiten. Prospektus adalah sebuah benda cetak yang berisi informasi mengenai perusahaan emisi. Menurut Sartono (2008), prospektus adalah sebuah informasi yang disusun pada suatu penerbitan surat berharga baru untuk menyajikan suatu gambaran atau catatan oleh pihak penerbit kepada
2
pembeli yang prospektif. Dari prospektus tersebut, investor dapat mengetahui prospek dan risiko yang dihadapi perusahaan, hal ini yang akan mempengaruhi pada imbal hasil yang diharapkan oleh investor (expected return). Salah satu pendekatan yang sering digunakan investor untuk mengukur ekspektasi return saham adalah analisis fundamental (Husnan 2008). Analisis fundamental merupakan salah satu metode penilaian sekuritas yang bertujuan untuk melihat nilai intrinsik suatu sekuritas. Pendekatan analisis fundamental merupakan analisis yang memfokuskan pada laporan keuangan perusahaan emiten. Data yang dipakai dalam analisis fundamental meliputi analisis tentang kekuatan dan kelemahan dari perusahaan, operasional, dan bagaimana prospeknya di masa yang akan datang. Analisis fundamental ini bertujuan untuk menilai apakah harga pasar saham yang berlaku saat itu sesuai dengan harga intrinsiknya. Namun, pada kenyataannya pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak memiliki informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak tertentu memiliki informasi yang lebih banyak dan pihak lainnya memiliki informasi yang sedikit. Pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak adalah manajer perusahaan sedangkan pihak yang memiliki sedikit informasi mengenai perusahaan adalah pihak-pihak di luar perusahaan (investor). Perbedaaan ketersediaan informasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat asimetri informasi antara manajer dengan investor. Oleh karena itu, investor yang percaya bahwa dia memiliki informasi yang sedikit akan berusaha untuk menginterpretasikan perilaku
3
manajer yang melakukan kebijakan pada suatu perusahaan. Disisi lain, manajer sebagai pihak yang memiliki informasi yang lebih akan berusaha untuk memberikan sinyal kepada investor mengenai risiko dan prospek perusahaan dimasa mendatang. Harga saham pada pasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan perusahaan emiten dan penjamin emisi (underwriter), selanjutnya harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar. Dalam penentuan harga tersebut sering kali terjadi underpricing. Underpricing ini merupakan fenomena dimana harga saham yang ditawarkan di pasar perdana lebih rendah atau terlalu murah dibandingkan dengan harga saham ketika diperdagangkan di pasar sekunder. Underpricing ini merupakan fenomena global yang sering dibahas pada literatur-literatur mengenai IPO. Ghosh (2005) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan underpricing pada pasar modal India. Tinic (1988), dengan penelitian yang dilakukan pada NYSE juga melakukan penelitian mengenai underpricing dengan menjelaskan mengenai
hipotesis-hipotesis
mengenai
alasan
underpricing
yang
dilakukan perusahaan yang melakukan IPO. Underpricing juga terjadi di pasar modal Indonesia. Akhabani (2007) dengan penelitiannya pada Bursa Efek Indonesia yang mengamati IPO periode 1999-2006 menunjukkan bahwa dari 119 penawaran pedana yang dilakukan pada periode tersebut, 88% atau 105 IPO tersebut mengalami underpricing.
4
Fenomena underpricing ini bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, underpricing dilakukan secara sengaja oleh perusahaan yang melakukan IPO. Hal ini dilakukan untuk memberikan sinyal kepada pasar bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan yang berkualitas dan memiliki keberanian untuk menekan harga sahamnya sehingga harga penawaran saham tersebut di bawah harga yang seharusnya. Perusahaan yang berani menekan harga penawaran sahamnya adalah perusahaan yang yakin bahwa kinerja perusahaan dimasa depan bisa menutupi kerugian karena menekan atau memberikan diskon pada harga penawaran sahamnya. Sinyal tersebut meyakinkan para investor bawa hanya perusahaan yang berkualitas dan yakin akan prospeknya dimasa depan yang bisa memberikan harga penawaran di bawah harga yang seharusnya (Allen dan Faulhaber, 1988). Oleh karena itu, penawaran umum perdana dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menunjukkan prospek perusahaannya dengan cara menetapkan harga penawaran di bawah harga yang seharusnya. Kedua, menurut Aggarwal dan Rivoli (1990) dan Ritter (1991), kecenderungan terjadinya underpricing disebabkan oleh penilaian yang berlebihan dari investor pada suatu saham yang sudah diberikan harga yang sesuai oleh emiten (Fads). Dengan kata lain, perusahaan sudah memberikan harga penawaran yang sesuai, namun investor menilai secara berlebihan sehingga memiliki kemauan untuk membayar lebih tinggi. Dalam pasar yang efisien, penilaian yang berlebihan tersebut akan terkoreksi yang menyebabkan harga saham perusahaan IPO tersebut mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan harga saham yang
5
kembali kepada harga wajarnya setelah investor kembali melihat pada faktor fundamental perusahaan IPO tersebut. Fenomena underpricing mengenai teori sinyal dan hipotesis fads tersebut lalu memuncul pertanyaan tentang apakah underpricing merupakan sinyal yang diberikan oleh perusahaan untuk menggambarkan kualitas perusahaan atau apakah terjadi fads pada penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah Fenomena underpricing ini terjadi di berbagai bursa saham di negara-negara di dunia salah satunya di Indonesia. Akhabani (2007) dengan penelitiannya pada Bursa Efek Indonesia yang mengamati IPO periode 1999-2006 menunjukkan bahwa dari 119 penawaran pedana yang dilakukan pada periode tersebut, 88% atau 105 IPO tersebut mengalami underpricing.
Allen dan Faulhaber
(1988),
menjawab fenomena
underpricing dengan teori signaling. Disisi lain, Aggarwal dan Rivoli (1990) dan Ritter (1991) menunjukkan bahwa fenomena underpricing dikarenakan oleh fads pada awal perdagangan di bursa. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah dalam pertanyaan berikut ini: 1. Apakah underpricing merupakan sinyal yang diberikan perusahaan kepada pasar untuk menggambarkan prospek dan risiko perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia?
6
2. Apakah underpricing disebabkan oleh penilaian yang berlebihan dari investor pada harga saham IPO pada perdagangan hari pertama di Bursa Efek Indonesia? 3. Apakah kinerja return saham jangka panjang perusahaan emisi ditentukan oleh faktor-faktor fundamentalnya?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji dan menganalisis apakah teori signaling atau hipotesis fads dapat menjelaskan fenomena underpricing pada penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia. 2. Menganaisis apakah kinerja return saham jangka panjang perusahaan emisi ditentukan oleh faktor-faktor fundamentalnya.
1.4
Lingkup Penelitian Batasan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). 2. Perusahaan-perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada periode Januari 1990 sampai dengan Desember 2010.
1.5
Manfaat Penelitian 1. Bagi emiten Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu perusahaan (emiten) untuk mengetahui penyebab terjadinya underpricing di Bursa Efek
7
Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa dimanfaatkan emiten untuk mengetahui faktor-faktor fundamental yang menjadi dasar penilaian bagi para analis dan investor untuk menilai saham – saham IPO jangka panjang. 2. Investor dan calon investor Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu investor maupun calon investor untuk mengetahui penyebab terjadinya underpricing di Bursa Efek Indonesia dan faktor-faktor fundamental yang perlu diperhatikan untuk menilai saham-saham IPO jangka panjang. 3. Bagi akademisi Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan dan menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya tentang penyebab underpricing terkait dengan teori signaling dan hipotesis fads serta faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi kinerja return jangka panjang saham-saham IPO.
1.6
Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab yaitu: BAB I: Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang yang mendorong dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. BAB II: Tinjauan Pustaka dan Perumusan Hipotesis Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang menjadi dasar dalam perumusan hipotesis.
8
BAB III: Metode Penelitian Bab ini menjelaskan tentang metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Didalamnya terdapat uraian mengenai metode penelitian, desain penelitian, definisi operasional variabel, dan prosedur analisis. BAB IV: Hasil dan Pembahasan Bab ini membahas tentang analisis terhadap temuan empiris dari hasil pengolahan data. BAB V: Kesimpulan dan Saran Bab ini membahas kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan.
9