BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan teknologi, jenis warna di dunia modern ini semakin bertambah. Menurut Sampson (1980:95), minimal ada 7.500.000 jenis rangsangan warna di dunia ini, tetapi jumlah kosakata warna yang dikenal oleh setiap kelompok masyarakat berbeda-beda. Dengan kata lain, hampir semua bahasa memiliki kosakata warna walaupun setiap bahasa mengenal istilah warna yang berbeda. Sebagai contoh, bahasa Inggris mengenal sebelas istilah warna dasar, yaitu black, white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Adapun bahasa suku Dhani di Papua hanya mengenal konsep hitam dan putih atau terang dan gelap. Salah satu fungsi bahasa adalah mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan benda-benda. Hubungannya dengan benda yang diidentifikasikan dengan bentuk bahasa. Bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasikannya merupakan kesepakatan dari masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan fungsi tersebut, untuk membedakan dan membatasi spektrum warna, setiap masyarakat mempunyai cara masing-masing. Di samping itu, dunia warna tidak seperti dunia nyata sebagaimana mempunyai perbatasan alam yang jelas. Di dunia nyata, gunung dan sungai dapat berfungsi sebagai pembatas wilayah. Akan tetapi, warna merupakan sesuatu yang berkelanjutan dan batasannya tidak begitu jelas. Oleh karena itu, warna merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Sebagai contoh, bahasa Welsh mengelompokkan konsep biru dan hijau hanya dengan kata glas, tetapi bahasa Rusia
menggunakan dua kata yang berbeda, yaitu sinij dan goluboj untuk warna biru terang dan biru dalam. H.A. Gleason (1969) mengemukakan contoh warna pada buku terkenalnya Introduction to Descriptive Linguistics sebagai berikut. Bahasa Inggris purple
blue
green
yellow
orange
red
Shona (bahasa di Rhodesia) cipswuka
citema
cicena
cipswuka
Bassa (bahasa di Liberia) Hui
ziza
Dari contoh tersebut, bahasa Shona hanya menggunakan tiga istilah untuk mendeskripsi warna. Warna orange, red, dan purple dalam bahasa Inggris hanya diidentifikasikan oleh kata cipswuka dalam bahasa Shona; warna citema termasuk warna black, bule, dan blue-green, dan cicena tergolong white, yellow, dan some greens. Perbedaan pengklasifikasian warna dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya ini tampaknya berkaitan dengan cara pandang penutur bahasa yang bersangkutan terhadap dunia warna. Hipotesis Sapir-Whorf mengatakan bahwa bahasa merupakan pencerminan cara pandang penuturnya terhadap dunia luar (Sapir, 1964). Artinya, pola kebahasaan seseorang mencerminkan cara pandang orang itu dalam mendeskripsikan dunia, kehidupan, dan realitas sosial. Selain itu, salah satu sifat bahasa adalah manusiawi. Dalam hal ini setiap bahasa mempunyai
cara atau aturan tersendiri untuk digunakan penuturnya. Boas seperti dikutip oleh Sampson (1980:57-59) mengungkapkan bahwa bahasa tidak hanya merupakan kunci memahami bahasa dan penutur seringkali tidak sadar menggunakan bahasa tersebut secara kultural, yang biasanya penutur peroleh dari pengalaman sosial. Adapun Saeed (2002) mengatakan bahwa setiap kosakata yang dimiliki oleh bahasa satu dan bahasa lain berbeda tergantung kepada faktor lingkungan, kebudayaan, atau pemerintahan, begitu juga dengan warna. Setiap bahasa memandang variasi warna dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Perbedaan cara pandang suatu penutur bahasa dalam melihat suatu warna ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Terkadang setiap orang pun memiliki sudut pandangnya sendiri ketika harus mengidentifikasi konsep suatu warna. Seperti yang telah dikemukakan di atas, kelompok masyarakat tertentu mampu mengklasifikasikan warna yang berbeda-beda. Akan tetapi, dengan keterbatasan manusia mengenal intensitas sinar dan kejenuhan warna yang relatif stabil, apakah warna dasar yang dikenal oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut bersifat universal? Hal ini menjadi perhatian Berlin dan Kay (1969). Mereka meneliti istilah-istilah warna pada bahasa yang berbeda dan merumuskan kata dasar warna dan prinsipnya secara universal. Dikatakan oleh Berlin dan Kay, jika suatu kelompok masyarakat hanya mengenal dua warna, warna tersebut adalah hitam dan putih atau gelap dan terang; jika suatu kelompok mengenal tiga warna, warna tersebut adalah hitam, putih, dan merah, dan seterusnya. Tidak hanya jumlah istilah warna dan cara pengklasifikasian yang dikenal berbagai kelompok masyarakat dapat dibandingkan, makna warna dan cara
penggunaan warna oleh kelompok tertentu pun dapat dibandingkan. Dalam pembelajaran bahasa asing, misalnya, penting kiranya untuk memahami konotasi pada warna-warna yang terdapat dalam bahasa yang dipelajari. Sebagai contoh, warna merah dianggap warna yang terpenting dan simbol keberuntungan di Tiongkok. Akan tetapi, warna merah di Eropa diklasifikasikan sebagai warna nafsu (hot color) sehingga terbentuk kata red light district. Contoh lain, frase 戴绿帽子 dài lǜ màozi (bertopi warna hijau) dalam bahasa Mandarin bermakna ‘suami yang istrinya berselingkuh’ tidak dikenali oleh masyarakat Indonesia; sedangkan meja hijau yang bermakna ‘tempat pengadilan’ tidak diketahui oleh penutur bahasa Mandarin. Berdasarkan contoh-contoh di atas, istilah warna, makna warna, serta cara penggunaan kata warna terlihat berbeda antarbahasa. Peneliti tertarik untuk membandingkan warna dalam bahasa Indonesia dan Mandarin karena beberapa alasan berikut. Pertama, warna sebagai salah satu unsur budaya, tentu saja penting diperhatikan. Tiongkok dan Indonesia sama-sama terletak di Asia, tetapi memiliki kebudayaan yang berbeda. Namun, apakah kebudayaan yang berbeda itu akan mempengaruhi warna? Kedua, perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa tidak hanya terlihat jelas pada kosakata saja, tetapi dari bagaimana seorang penutur mengungkapkan perasaan dan ide, terlebih lagi dalam ungkapan yang berupa kiasan. Oleh sebab itu, dengan meneliti warna akan terlihat perbedaan cara mengklasifikasi warna serta pandangan penutur bahasa Mandarin dan Indonesia terhadap dunia warna. Ketiga, Berlin dan Kay (1969) telah merumuskan prinsip dan kata warna dasar pada warna di dunia. Apakah prinsip tersebut cocok bagi bahasa
Indonesia dan juga bahasa Mandarin itu perlu diteliti. Sayangnya, walaupun telah terdapat beberapa telaah tentang bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu, perihal istilah warna dalam bahasa Indonesia ini untuk sekian lama luput dari perhatian para linguis. Lebih lanjut, penelitian tentang perbandingan warna antara bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin dari sudut linguistik antropologis selama ini belum ditemukan. Sebab itu, persoalan ini dianggap perlu juga mendapat perhatian dan dikaji secara lebih mendalam. Perlu dijelaskan bahwa dalam kajian ini tidak sepenuhnya mengikuti Keputusan Presiden1 yang dikeluarkan pada Maret 2014, karena mengingat istilah "Negara Tiongkok", "Orang Tiongkok", dan "Budaya Tiongkok" lebih lazim digunakan dalam dunia karangan dan dapat membedakan etnik tertentu, yaitu ketiga kata tersebut untuk menunjuk kepada identitas dan kebudayaan warga Negara Tiongkok, tidak menunjuk kepada keturunan orang Tiongkok di luar wilayah Tiongkok. Di samping itu, bahasa Mandarin yang berasal dari bahasa Suku Han tidak disebut dengan "Bahasa Han" karena menurut penulis Negera Tiongkok telah mengalamai percampuran dan keharmonisan luar biasa antara Suku Han dengan suku-suku minoritas sehingga bahasa Han telah menerima kata-kata dari bahasa suku lain. Demi tidak dipermasalahkan tentang hal ini lebih baik digunakan kata "Bahasa Mandarin" untuk menunjuk bahasa yang digunakan di wilayah Tiongkok. Data warna yang dimanfaatkan dalam kajian ini berasal dari bahasa Mandarin Modern dan bahasa Indonesia. Untuk menjelaskan bahasa Mandarin Modern, perlu
Menurut Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, istilah "China" diganti dengan "Tionghoa" karena telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa. 1
dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu. Menurut Jiǎn2 (2006), Sejarah Negara Tiongkok secara garis besar dapat dibagi menjadi 中国古代史Zhōngguó Gǔdài shǐ ‘Sejarah Tiongkok Kuno’ (sebelum tahun 1840) dan中国近代史Zhōngguó Jìndài shǐ ‘Sejarah Tiongkok Modern’ (setelah tahun 1840). Di samping itu, bahasa Mandarin secara garis besar dapat dibagi menjadi 古代汉语 Gǔdài Hànyǔ ‘Bahasa Mandarin Kuno’, 近代汉语Jìndài hànyǔ ‘Bahasa Mandarin Modern’. Bahasa Mandarin kuno dimaksudkan bahasa yang digunakan sebelum tahun 1919, bahasa yang digunakan setelah peristiwa Gerakkan tanggal 4 Mei tahun 1919 (disebut五
四运动wǔsìyùndòng dalam bahasa Mandarin) hingga kini disebut bahasa Mandarin Modern. Untuk tulisan dalam bahasa Mandarin, disertasi ini menggunakan aksara bahasa Mandarin Modern yang berbeda dengan aksara bahasa Mandarin trandisional yang digunakan di wilayah Tiongkok, seperti Makau, Taiwan, dan Hongkong. Adapun bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan di Indonesia sebagai bahasa ilmiah sehingga digunakan sebagai bahasa pengantar disertasi.
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana dikemukakan di atas, pengklasifikasian warna dalam bahasa berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Cara pengklasifikasian warna dalam bahasa Mandarin berbeda dengan bahasa Inggris, dan berbeda pula dengan bahasa Indonesia. Bahasa Mandarin menggunakan satuan kebahasaan untuk
2
翦伯赞. 2006. 中国史纲要. (Jiǎn B.Z. 2006. “ Ringkasan Sejarah Tiongkok”)
menandai warna, begitu pula dengan bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, diharapkan dapat mendeskripsikan satuan kebahasaan yang digunakan pada kedua bahasa serta mengetahui persamaan dan perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Berlin dan Kay secara universal merumuskan urutan serta pengklasifikasian warna dasar. Apakah prinsip-prinsip umum tersebut sesuai dengan fakta yang ada dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Di samping itu, penelitian ini dimulai dari fakta bahasa melihat sosial budaya yang lebih luas. Dari deskripsi ini diharapkan dapat diketahui makna-makna konotasi warna yang terdapat dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia serta mencari faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Satuan kebahasaan apa sajakah yang digunakan untuk menandai warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia? Bagaimanakah kaitan satuan kebahasaan tersebut dengan warna yang ditandai? 2. Bagaimanakah makna konotasi warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia? 3. Mengapa terdapat persamaan dan perbedaan warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan satuan-satuan kebahasaan yang digunakan untuk menandai warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Selain itu, mendeskripsikan kaitan-kaitan satuan kebahasaan tersebut dengan warna yang ditandai. 2. Mendeskripsikan makna-makna konotasi warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. 3. Menjelaskan penyebab terdapatnya persamaan dan perbedaan tentang pemakaian istilah warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Studi mengenai fenomena dan klasifikasi warna dalam bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin dapat dimasukkan ke dalam kelompok etnosains (ethnoscience). Menurut Malinowski tujuan akhir seorang peneliti etnosains atau penulis etnografi ialah “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world” (Malinowski, 1961 [1922]:25). Sejalan dengan pernyataan ini, tujuan studi mengenai warna ini secara umum untuk memahami dan mengungkapkan bagaimana dunia warna dipandang dari sudut pandang penutur bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin sebagaimana tercermin dalam bahasa mereka. Lebih lanjut, hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, pertama penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan bagi kajian linguistik antropologis. Dokumen tertulis mengenai warna
terutama perbandingan antara bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia belum banyak ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan akan menambah dokumentasi tentang warna antara dua negara tersebut. Kedua, penelitian ini akan menguji coba teori Berlin dan Kay (1969) mengenai warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, dari aspek teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam penyusunan teori tentang warna yang lebih komprehensif melalui pengujian dan penyempurnaan teori tersebut. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan yang bermanfaat bagi peneliti yang ingin meneliti tentang kata warna secara lebih mendalam.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi para mahasiswa dan akademisi untuk lebih mengenal budaya yang terlihat dalam bahasa, khususnya tentang warna. Selain itu, membantu para pelajar Indonesia dan pelajar Tiongkok mengurangi kesulitan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin.
1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian ini berada dalam ranah antropolinguistik. Adapun bahasa yang dikontraskan adalah bahasa Indonesia dan Mandarin Modern. Yang dijadikan telaah adalah unit lingual berupa kata, frase, peribahasa, kiasan, dan sebagainya yang berkaitan dengan warna dalam kedua bahasa. Warna turunan yang dibahas hanya warna-warna yang diturunkan dari warna dasar kedua bahasa tersebut. Warna turunan bersifat umum, tidak
ditunjukkan kepada warna-warna spesifik, seperti penamaan binatang yang ditentukan dari warna bulunya. Karena ada perbedaan pengertian idiom antara bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia, penelitian ini mengambil pengertian secara linguistik umum. Sumber yang merupakan idiom dalam bahasa Mandarin tetapi tidak terdapat makna konotasinya tidak dianalisis dalam penelitian ini.
1.6 Tinjauan Pustaka Karena perihal warna ini merupakan suatu hal yang menarik, dalam linguistik telah dilakukan beberapa telaah yang berkaitan dengan warna, di antaranya Berlin dan Kay (1969), Mien A. Rifai (1984), Darmojuwono (1989), Huáng (2006), dan Yú (2007). Selanjutnya peneliti akan memaparkan tulisantulisan tersebut berdasarkan paradigma yang berbeda. Harold C. C (1955) dalam artikelnya yang berjudul “Hanunoo Color Categories”, menjabarkan penelitiannya terhadap penamaan warna pada bahasa Hanunoo (Filipina). Dalam artikel tersebut, Harold C. C menjelaskan bahwa penamaan warna pada bahasa Hanunoo terbagi atas dua level. Pada level pertama, sistem warna bahasa Hanunoo dapat diklasifikasikan secara umum ke dalam empat kelompok besar dengan menambahkan prefix ma- ‘exhibiting, having’ sebagai berikut. 1. (ma)bi:ru ‘warna-warna yang cenderung gelap (darkness) dan cenderung hitam (blackness)’; 2. (ma)lagti? ‘warna-warna yang cenderung cerah (lightness) dan mendekati putih (whiteness)’; 3. (ma)rara? ‘warna-warna yang mendekati atau cenderung pada warna merah (redness)’; 4. (ma)latuy ‘warna-warna yang cenderung pada hijau (greenness)’. Sementara itu, pada level kedua, nama-nama
warna dibentuk dengan cara mengkhususkan nama warna pada level pertama. Salah satu contoh nama warna dengan pola tersebut adalah mabirubiru ‘agak mabi:ru’, yaitu warna yang satu kelas dengan mabi:ru pada level pertama, tetapi warna tersebut hanya “mendekati” warna dalam kelompok mabi:ru. Selain itu, cara pembentukan nama warna pada level kedua pun dapat dilakukan dengan cara menyebutkan nama objek yang kemudian dimaknai sebagai “warna”, seperti misalnya (ma)dilaw ‘kuning’ (< dilaw ‘kunyit’). Berlin dan Kay (1969) mengkaji dari segi psikolinguistik pada hampir 100 bahasa, tetapi yang diteliti secara lebih terperinci adalah 20 bahasa. Mereka menyatakan bahwa hanya ada delapan kategori warna yang bersifat semesta. Dari sejumlah warna itu semua bahasa cenderung mempunyai tujuh atau lebih sedikit lagi istilah warna dasar. Kecuali bahasa Inggris, misalnya, mempunyai sebelas warna dasar, yakni white ‘putih’, black ‘hitam’, red ‘merah’, green ‘hijau’, yellow ’kuning’, blue ‘biru’, brown ‘cokelat’, purple ‘ungu’, pink ‘merah muda’, orange ‘jingga’, dan grey ‘abu-abu’. Selain itu, mereka menegaskan bahwa jika suatu bahasa memiliki istilah warna tertentu, bahasa itu juga akan mempunyai warna lainnya. Kajian Berlin dan Kay ini merupakan penelitian tentang warna yang relatif lengkap. Akan tetapi, data-data yang diambil itu cenderung merupakan bahasa-bahasa yang digunakan di sekitar San Francisco yang bahasanya telah dipengaruhi bahasa Inggris. Jika melihat kata warna pada bahasa Rusia dan Hungaria, misalnya, hasilnya bisa berbeda: bahasa Rusia mempunyai dua istilah untuk warna biru, dan bahasa Hungaria mempunyai dua istilah untuk warna merah. Sebab itu, apakah prinsip istilah warna yang ditemukan Berlin dan Kay itu berguna
pada bahasa-bahasa lain di muka bumi itu, perlu diteliti lebih mendalam. Penelitian perihal warna dalam bahasa Indonesia belum banyak dilakukan. Ada satu karya yang layak disebutkan di sini yang memuat istilah warna yang relatif lengkap, yaitu Daftar Istilah Warna tulisan Mien A. Rifai (1984). Dewasa ini karya itu (tersebut) dipandang paling lengkap dalam hal istilah warna di dalam bahasa Indonesia. Namun, karya tersebut hanya membuat daftar istilah warna, bukan kajian linguistik seperti kajian ilmiah yang lain. Penelitian Darmojuwono (1989) yang berjudul Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna kepada Persepsi Manusia merupakan tulisan yang membahas masalah warna di dalam bahasa Indonesia yang ditinjau dari segi psikolinguistik. Darmojuwono berupaya memaparkan hasil penelitian empirisnya tentang pengaruh klasifikasi semantik terhadap persepsi warna penutur bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Hasil penelitian tersebut sebagai berikut. Pertama, pertalian antara bahasa, persepsi manusia, dan dunia luar bahasa merupakan masalah yang diperdebatkan manusia sejak berabab-abad dan selalu menarik perhatian para linguis dan psikolog. Kedua, referen istilah warna mempunyai sifatsifat fisik yang dapat ditemukan dengan kriteria panjang gelombang warna, intensitas sinar, dan intensitas/kejenuhan warna. Ketiga, pada hasil penelitian tersebut, responden mengelompokkan kartu-kartu warna adalah delapan kelompok warna. Responden Indonesia mengelompokkan kartu-kartu dalam bidang warna merah, hijau, hijau lumut, biru, ungu, abu-abu, hitam dan cokelat, sedangkan responden Jerman mengelompokkan kartu-kartu yang sama ke dalam warna Rot, Grun, Olivgrun, Grasgrun, Turkis, Blau, Violett, dan Braun. Di sini, menurutnya,
jelas bahwa bahasa mempunyai peranan penting dalam persepsi manusia karena rangsangan luar yang diterima oleh manusia dikoordinasi oleh manusia dengan bantuan bahasa. Yang terakhir, dalam penelitiannya terdapat kaitan antara latar belakang sosial budaya, pengalaman seseorang, dan khazanah kosakata. Semantik mempengaruhi persepsi penutur bahasa yang bersangkutan karena koordinasi pengelompokan warna erat kaitannya dengan bahasa. Identifikasi gelombanggelombang warna yang serupa lebih mudah jika dalam bahasa seorang penutur bahasa membedakan secara fisik, baik secara konsepsional dan direalisasi secara leksikal. Sementara itu, penelitiannya Darmojuwono (1994) yang berjudul Kosakata Warna di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa warna biru dan nuansa biru mencerminkan kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seorang nelayan yang berkaitan dengan kelautan. Hal ini dapat dilihat dari nuansa warna biru yang memiliki istilah warna paling banyak variasinya. Kemudian, intensitas sinar dibedakan dengan istilah tua dan muda, sedangkan warna inti yang memiliki kejenuhan paling tinggi disebut dengan nama warna + biasa. Sementara itu, nuansa warna diklasifikasikan secara semantis dengan nama warna + nama benda. Penamaan nuansa warna ini menunjukkan bahwa benda yang disebutkan merupakan benda yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan pendapat Sapir yang mengatakan bahwa kosakata suatu bahasa mencerminkan lingkungan penuturnya. Hingga kini, karya Alwi, dkk. (1998) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia adalah karya di dalam bahasa Indonesia yang telah berupaya mengupas perihal
adjektiva warna. Di dalam BAB V Adjektiva, terdapat satu subbab khusus, yakni subbab 5.2.1.4 Adjektiva warna yang membicarakan ihwal adjektiva warna di dalam bahasa Indonesia. Menurut Alwi, adjektiva warna mengacu ke berbagai warna, seperti merah, kuning, hijau, biru, hitam, putih, jingga, dan lembayung. Akan tetapi, Alwi juga menyinggung nama warna lain, selain delapan warna itu, yang banyak diambil dari nama buah atau tumbuhan, seperti cokelat, sawo (matang), dan kopi (susu). Di samping itu, ada juga beberapa warna yang berasal dari unsur serapan dari bahasa asing, seperti warna oranye dan krem. Pelbagai corak warna merah, kuning, hitam, hijau, biru dan putih juga dinyatakan di dalam karya itu. Mereka juga menyatakan bahwa jika warna hendak diberi nuansa secara umum dapat diberi pewatas seperti muda dan tua di sisi kanan adjektiva warna atau pewatas semu di sebelah kirinya. Dalam frase adjektiva itu muda bermakna “agak pucat” atau “kurang gelap”, tua berarti “agak kehitam-hitaman” atau “sangat”, semu berarti “agak” atau “sedikit”, dan jika suatu warna tidak mempunyai nama khusus, ada peluang lain yang dapat dimanfaatkan untuk diperoleh, yaitu dengan penggabungan dua adjektiva warna, seperti “biru kehijau-hijauan”. Artikel jurnal berjudul “Lùn Yánsè jí Yánsècí de Wénhuà Chāyì” ’perbedaan kebudayaan antara warna dan kata warna’ ditulis oleh Jiǎng Dòngyún (2002). Penelitian ini membahas makna dan penggunaannya konsep merah, hijau dan kuning dari segi linguistik antropologis. Dinyatakan perbedaan penggunaan kata warna terkait dengan (1) persepsi estetis masyarakat yang berbeda, misalnya orang Tiongkok menyukai kulit putih, akan tetapi orang barat suka berjemur supaya berkulit hitam, (2) adat-istiadat yang berbeda, misalnya orang Irak suka berpakaian
warna biru tua, orang Korea Utara suka berpakaian putih, (3) faktor keagamaan dan faktor politik, misalnya di Paraguay warna merah, biru tua dan hijau masingmasing merupakan simbol partai yang berbeda, dan (4) faktor perdagangan. Tiap negara mempunyai seragam khusus yang berkaitan dengan profesi, misalnya polisi dan tentara pada umumnya berseragam warna hijau, atau putih dan biru, orang Arab tidak berdasi warna hijau, dan lain-lain. Nadra (2004) dari hasil penelitiannya yang berjudul Perbandingan Konsep Warna dalam Bahasa Minangkabau Isolek Selayo dengan Isolek Kamang Hilir dapat disimpulkan bahwa antara Isolek Selayo (ISEL) dan Isolek Kamang Hilir (IKAM) terdapat perbedaan dalam penamaan warna, yaitu kata biru tidak terdapat dalam ISEL, sedangkan kata biru maupun kata ijaw tidak terdapat dalam IKAM (hanya ada kulabu). Untuk menunjukkan perbedaan masing-masing warna dalam kedua isolek, dilakukan dengan cara menunjuk langsung pada bentuk-bentuk yang ada di alam. Di samping itu, ISEL membedakan warna dilakukan dengan cara menambah bentuk tertentu dengan bentuk tuo, manangah, atau lamah, sedangkan IKAM hanya menggunakan bentuk tuo atau mudo. Adanya perbedaan konsep warna tersebut disebabkan oleh perbedaan cara pandang penuturnya terhadap bentuk dan kehidupan alam. Seorang mahasiswa Korea yang bernama Huáng Yǒuqīng (2006) menulis tesis “Hànyǔ Yánsècí de Wénhuà Hányì” ‘Makna Kebudayaan pada Kata Warna Bahasa Mandarin’. Pada tesis tersebut, dari segi linguistik antropologis peneliti membandingkan makna kebudayaan Tiongkok dan Korea berdasarkan kata-kata pada konsep merah, kuning, hijau, putih dan hitam. Pada karya tersebut dilampirkan
265 contoh bahasa Mandarin dan 48 contoh bahasa Korea yang berbentuk frase atau peribahasa yang mengandung unsur warna. Walaupun makna kata warna sudah dijelaskan satu per satu pada penelitian tersebut, namun asal-unsur penggunaan kata warna serta bagaimanakah kata warna tecermin dalam kebudayaan Tiongkok dan Korea tampaknya belum begitu jelas. Tesis Hán Qiūjú (2006) berjudul“Hànyǔ Chéngyǔ Sècǎicí Yánjiū” ‘Studi Idiom Warna dalam Bahasa Mandarin’ membahas idiom-idiom warna dari segi linguistik antropologis. Kata青 qīng pada zaman kuno bisa bermakna ‘biru’, ‘hijau’, atau ‘hitam’. Adapun kata 蓝lán hanya menandai warna biru. Menurut Hán Qiūjú (2006), dalam idiom lebih banyak terdapat kata青 qīng ‘biru/hijau/hitam’ daripada kata蓝 lán ‘biru’, itu disebabkan orang Tiongkok kuno tidak mampu membedakan warna biru dan hijau sehingga menggunakan suatu kata, yaitu 青qīng ‘biru/hijau/hitam’ untuk menandainya. Artikel jurnal yang berjudul “Lùn Yánsè Cíhuì de Wénhuà Nèihán” ‘Makna Budaya dalam Kata Warna Dasar’ tulisan Gāo Fāng (2006) membandingkan makna kebudayaan antara bahasa Mandarin dengan bahasa Inggris dari segi linguistik antropologis. Dikatakan Gāo hubungan antara warna dengan kebudayaan sekurangkurangnya telah bersejarah 2500 tahun. Warna merupakan sesuatu yang objektif, tetapi karena perspektif kelompok masyarakat yang berbeda, warna pun berbedabeda. Perbedaan itu terlihat pada komunikasi sehari-hari, termasuk dalam bisnis. Sebagai contoh, gajah putih (white elephant) sangat disukai masyarakat Tiongkok, hewan tersebut merupakan simbol kesucian dan kemakmuran, tetapi gajah putih (white elephant) bermakna negatif di dunia Barat. Jika baterai kering Tiongkok
yang bermerek gajah putih diterjemahkan ke white elephant dalam bahasa Inggris, akan sulit dijual di pasar Eropa. Contoh-contoh yang seperti itu terdapat banyak pada karya ini, karena white elephant bermakna ‘tidak berguna’. Selanjutnya, ia menerangkan perbedaan kata warna antara dua bahasa itu karena (1) kosakata berbeda antara kedua negara tersebut dipengaruhi latar belakang budaya yang berbeda, (2) kosakata berbeda antara kedua negara tersebut dipengaruhi adatistiadat dan kebiasaan penduduk setempat, dan (3) kosakata berbeda antara kedua negara tersebut dipengaruhi pengalaman masyarakat yang berbeda. Lǐ Yíngyíng (2006) menulis artikel “Jīběn Yánsè Cíyǔ Yǐnyù Yìyì de Xiànshí Láiyuán” ‘Sumber Nyata Makna Metafora Kata Warna Dasar’. Dalam penelitian tersebut dinyatakan teori Berlin dan Kay memiliki kekurangan karena penelitiannya tidak berkaitan dengan kebudayaan, padahal makna simbolis warna sangat dipengaruhi kebudayaan setempat. Lebih lanjut, dijelaskan sumber makna metafora kata warna berasal dari sumber kenyataan berikut. Pertama, sumber makna metafora didapatkan dari ibadah primitif kepada matahari dan api., misalnya kata
朱 zhū ‘merah api’ menandai warna api, kata 赤 chì ‘merah matahari’ menandai warna matahari. Kedua, bersumber dari kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya warna merah adalah warna pigmen pertama di Tiongkok, dengan memakainya pada baju, dinding, lampion, atau keramik sehingga masyarakat Tiongkok pun memberi makna positif kepada warna tersebut. Ketiga, bersumber dari peristiwa tertentu, misalnya warna kuning pada awalnya mempunyai makna yang positif, tetapi karena dipengaruhi perubahan budaya pada abab ke-19 kata tersebut mengalami perubahan makna.
Tesis yang ditulis Yú Huìqiàn (2007) yang berjudul “Xiàndài Hànyǔ Jīběn Yánsècí Yánjiū” ‘Penelitian Kata Warna Dasar dalam Bahasa Mandarin Modern’ didasarkan atas hasil penelitian Berlin dan Kay yang mengklasifikasikan kata dasar bahasa Mandarin Modern ke delapan jenis, yaitu putih, hitam, merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan abu-abu. Di samping itu, penelitian ini mengklasifikasikan warnawarna generik dan spesifik pada bagian kata warna dasar masing-masing, misalnya, kata dasar hijau mempunyai kata generiknya, yakni hijau tua dan hijau muda, dan kata generik dapat diturunkan ke kata spesifik, yaitu hijau pisang, hijau teh, hijau danau, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mendeskripsikan makna kebudayaan istilahistilah warna dalam bahasa Mandarin. Pada akhirnya, ia menjelaskan penyebab perbedaan pengungkapan warna, yakni dipengaruhi oleh budaya Barat, ibadah yang primitif, adat istiadat, dan mitos. Chén Tiānlái (2009) melaporkan penelitian berjudul Hànyǔ hé Mǎláiyǔ Yánsècí Gòucí Lèixíng de Duìbǐ Yánjiū” ‘perbandingan tipe pembentukan kata warna dasar antara bahasa Mandarin dan bahasa Melayu Malaysia’. Menurutnya, berdasarkan prinsip pengidentifikasian kata warna dasar, bahasa Mandarin memiliki delapan kata warna dasar, yaitu 黑hēi ‘hitam’, 白bái ‘putih’, 红hóng ‘merah’, 绿lǜ ‘hijau’, 黄huáng ‘kuning’, 蓝lán ‘biru’, 紫zǐ ‘ungu’, dan 灰huī ‘abuabu’. Namun, untuk kata warna dasar dalam bahasa Melayu Malaysia tidak dijelaskan pada artikel tersebut. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa untuk membentuk kata pada warna generik, bahasa Melayu Malaysia menggunakan kata tua dan muda, sedangkan bahasa Mandarin dapat digunakan dengan 深shēn ‘dalam’, 浅qiǎn ‘dangkal’, 浓nóng ‘pekat’, 淡 dàn ‘tawar’, 暗àn ‘gelap’, 明míng
‘terang’, 嫩 nèn ‘muda’, 鲜xiān ‘segar’, 大dà ‘besar’, dan 纯chún ‘murni’. Untuk membentuk kata warna spesifik, pembentukan bahasa Melayu Malaysia menggunakan “ke-an”, sedangkan bahasa Mandarin menggunakan kata majemuk. Muis Muhammad (2010) menulis artikel yang berjudul “Adjektiva Warna Di Dalam Bahasa Melayu Bangka”. Penelitian ini menjelaskan kata-kata warna dasar, penggunaannya serta penyebabnya dalam bahasa Melayu Bangka. Penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut. terdapat delapan warna dasar di dalam bahasa Melayu Bangka, yakni mirah ‘merah‘, kuning ‘kuning’, ijau ‘hijau’, biru ‘biru’, item ‘hitam’, puteh ‘putih’, abu-abu ‘abu-abu’, dan coklat ‘cokelat’. Warna yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing seperti oranye dan krem, tidak dikenal di dalam bahasa Melayu Bangka. Lila dan Jingga juga tidak dikenal di dalam bahasa ini. Di dalam bahasa Melayu Bangka nuansa dengan pewatas mudek ‘muda’ dan tue ‘tua’ terletak di sisi kanan adjektiva. Beberapa corak warna yang merupakan perkembangan dari warna dasar, dalam bahasa Melayu Bangka berbeda dengan yang ada di dalam bahasa yang lain, misalnya dalam bahasa Indonesia. Kendatipun kedua bahasa tersebut dianggap berasal dari satu rumpun yang sama. Tulisan itu masih merupakan penelitian pendahuluan sehingga ihwal warna dalam bahasa Melayu Bangka masih berpeluang untuk diteliti lebih lanjut. Tesis yang berjudul“Kuà Wénhuà Shìjué xià de Duìwái Hànyǔ Yánsècí Jiàoxué Yánjiū” ‘studi pengajaran kata warna bahasa Mandarin kepada orang asing: tinjauan perbandingan kebudayaan‘ ditulis oleh Wáng jié (2010). Penelitian tersebut berdasarkan tiga puluh teks yang telah dikerjakan oleh mahasiswa asing dan bertujuan mencari satuan lingual tentang warna yang salah pemakaiannya serta
sebab akibatnya. Dikatakan oleh Wáng bahwa penyebab kesalahan penggunaan satuan lingual tentang warna adalah sebagai berikut. Pertama, kata warna dalam bahasa Mandarin mempunyai makna masing-masing, namun dengan berjalannya waktu, makna-maknanya mengalami perubahan. Jika mahasiswa tidak mampu menganalisis makna kata warna tersebut, ia akan menghadapi kesulitan ketika mengisi teks. Kedua, bahasa ibu masing-masing akan mempengaruhi pemilihan kata warna, misalnya black tea dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin adalah 红茶hóng chá ‘teh merah’. Ketiga, karena dipengaruhi keagamaan serta kebudayaan negara asal, mahasiswa asing sulit untuk menerima makna kebudayaan kata warna dalam bahasa Mandarin. Seperti yang telah dipaparkan di atas, telah terdapat penelitian-penelitian tentang warna, baik yang hanya meneliti dalam satu bahasa saja atau membandingkan antara dua bahasa. Namun, penelitian tentang kata warna dalam bahasa Indonesia belum dibahas tuntas. Pendapat para linguis tentang satuan lingual yang mengungkapkan warna dalam bahasa Mandarin pun beraneka ragam dan butuh diteliti lebih mendalam. Adapun perbandingan warna antara bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin belum dilakukan. Oleh sebab itu, kajian warna dalam bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin ini sangat diperlukan.
1.7 Landasan Teori Yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah satuan kebahasaan. Oleh karena itu, pada awal bagian ini, peneliti akan mengemukakan pengertian tentang satuan kebahasaan. Di samping itu, penelitian ini melihat dua aspek penting dalam
linguistik antropologis, yaitu universalisme dan relativisme. Universalisme adalah hal yang berlaku pada semua bahasa dan budaya. Adapun relativisme bersifat spesifik pada bahasa dan budaya tertentu. Berkaitan dengan warna, teori yang bersifat universalisme adalah hipotesis Berlin dan Kay tentang terminologi warna, sedangkan relativisme yang bersifat relatif itu mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tentang hubungan bahasa dan pikiran manusia. Lebih lanjut, penelitian ini berkaitan dengan semantik dan semiotik, maka bagian ini juga menjelaskan pengertianpengertian tersebut.
1.7.1 Pengertian Satuan Kebahasaan Wijana (2010: 29) mendefinisikan leksem adalah satuan bahasa yang memiliki kemampuan untuk mengacu dan mempredikasi, misalnya ayah, tidur, lantai. Lebih lanjut, Wijana (2010: 30) berpendapat leksem dapat terbentuk dari dua atau lebih unit semantik, misalnya kambing hitam (yang dipersalahkan), meja hujau (pengadilan), nona makan sirih (nama tumbuh-tumbuhan). Tiga contoh tersebut masing-masing merupakan sebuah leksem karena maknanya tidak dapat dicari dari unsur-unsur yang membentuknya. Leksem adalah satuan terkecil dalam leksikon. Hubungan leksem dan leksikon sebagai berikut. Leksikon adalah leksem, baik leksem tunggal maupun gabungan leksem yang sudah mengalami proses morfologis, sedangkan morfem adalah satuan yang terwujud setelah kata terbentuk. Misalnya, kata rumah berasal dari leksem tunggal yang telah mengalami proses derivasi zero, yaitu proses morfologis yang mengubah leksem menjadi kata tanpa penambahan atau
pengurangan apa pun (Harimurti 1993). Kata berjuang berasal dari leksem juang yang sudah mengalami proses afiksasi dengan ber-. Jadi, kata rumah adalah kata yang terdiri atas morfem tunggal rumah, sedangkan kata berjuang terjadi dari morfem afiks ber- dan morfem dasar juang. Dalam dunia warna, bentuk linguistik yang digunakan untuk melabeli karegori warna bermacam-macam: ada yang dilabeli dengan satu kata seperti红 hóng ‘merah’ , hitam, kuning, ada yang dilabeli dengan gabungan dua kata seperti茶红 chá hóng ‘merah seperti air teh’, hitam manggis, ada yang dilabeli dengan gabungan tiga kata seperti象牙黄 xiàng yá huáng ‘kuning gigi gajah’, kuning telur ganda. Berlin dkk. (via Suhandano, 2004:54) membedakan berbagai bentuk linguistik yang digunakan untuk melabeli kategori etnobiologi menjadi dua, yaitu leksem primer dan leksem sekunder. Leksem primer adalah leksem yang berupa kata tunggal yang merupakan satu kesatuan semantis, seperti merah, hijau, ungu, abu-abu. Perlu dijelaskan bahwa leksem primer tidak sama dengan morfem tunggal, seperti contoh terakhir abu-abu. Leksem sekunder adalah leksem primer yang diatributi dengan kata tertentu seperti merah jambu, biru langit. Menurut Berlin dkk. (1973) secara psikologis leksem primer lebih mendasar, lebih menonjol daripada leksem sekunder. Hal ini sama dengan sifat peristilahan dalam bidang warna bahwa warna merah, kuning, dan hijau, misalnya, berturut-turut lebih menonjol daripada merah muda, kuning tua, dan hijau muda. Pada disertasi ini, leksem primer ditunjukkan kepada warna dasar, sedangkan leksem sekunder ditunjukkan kepada warna turunan.
Menurut Ramlan (1987:32—34), kata adalah bentuk bebas yang paling kecil. Adapun Matthews (1990:50) menyatakan bentuk yang secara tradisi disebut kata sebagai minimal unit (unit terkecil). Menurut Alwi, dkk. (2003:36) dalam bahasa Indonesia terdapat lima kategori, yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, adverbial atau kata keterangan, dan kata tugas. Di atas kata terdapat satuan sintaksis yang lazim disebut kelompok kata atau frasa. Frasa adalah satuan gramatika yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melewati batas fungsi (Ramlan, 1983:137-138). Senada dengan Ramlan, Alwi, dkk. (2003: 312) menyatakan bahwa frasa adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak mengandung unsur predikasi. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa frasa selalu hanya terdapat dalam satu fungsi, yaitu fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap atau keterangan. Alwi, dkk. (2003:151; 241) menjelaskan idiom adalah perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung dipahami dari makna masing-masing kata yang tergabung. Adapun Chear (2003:296) menyatakan idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsurunsurnya. Dalam bukunya yang lain, Chear (2002:74) menyatakan bahwa satuan bahasa yang merupakan idiom itu dapat berupa kata, frasa, maupun kalimat. KBBI (2005:858) menjelaskan definisi peribahasa sebagai berikut. Pertama, peribahasa dikatakan sebagai kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu, termasuk di dalamnya adalah bidal, ungkapan, dan perumpamaan. Kedua, peribahasa dikatakan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup
atau aturan tingkah laku. Di sisi lain, pengertian serta bentuk idiom dan peribahasa dalam bahasa Mandarin terlihat lebih baku. Dalam bahasa Mandarin, idiom mayoritas berasal dari bahasa Mandarin kuno dan mencerminkan inti dari suatu cerita3. Idiom dalam bahasa Mandarin mempunyai bentuk yang tetap, yaitu terdiri atas empat morfem, tidak berbentuk kalimat. Di samping itu, peribahasa dalam bahasa Mandarin merupakan kalimat yang diciptakan masyarakat, yang berdasarkan pengalaman leluhur. Misalnya 明日黄花míng rì huáng huā ‘besok hari bunga kuning’ adalah idiom dalam bahasa Mandarin. Pada tanggal sembilan bulan sembilan kalender Tiongkok, bunga krisan bermekaran baik. Pada hari itu, para penyair berkumpul dan menulis puisi, yaitu: Seorang penyair yang bernama Shū Shì menulis sebuah pusis, yaitu: 相逢不用忙归去,明日黄花碟也愁xiāng féng bú yòng máng guī qù, míng rì huáng huā dié yě chóu ‘Berkumpul dengan teman merupakan peristiwa yang menyenangkan.’ Oleh sebab itu, Tak perlu pulang terburu-buru. Jika sudah lewat hari ini, teman-teman kembali ke tempat asalnya, kupu-kupu pun akan merasa sepi menghadapi bunga krisan ini’. Dari situlah, idiom 明日黄花míng rì huáng huā digunakan untuk menunjuk orang, benda atau peristiwa yang sudah tidak populer lagi. Kridalaksana (2001:136) menyatakan bahwa metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan, misalnya kaki gunung, kaki meja yang dianalogikan dengan kaki
3http://baike.baidu.com/link?url=u65RwSl3qxMQhhBGMztMiedBNuL5yXXyjBhiPBn1R7JXoQUyJEkYQd
NuZkKKCtxJjPPv9ZOnzg-XwPAd8P1IF8igQJgIJaq1WP6Wza0SF-_
manusia. Wijana (2000:20) berpendapat penggunaan bahasa kiasan itu tidak bersifat semena-mena, tetapi berdasarkan atas kesamaan tertentu, seperti kesamaan sifat, bentuk, fungsi, tempat atau kombinasi di antaranya. Pada prinsipnya, tuturan kiasan selalu menunjukan adanya bentuk penerapan model ungkapan dan media yang selanjutnya dapat dimengerti karena nilai penggunaannya. Ketika seseorang berbicara secara kias, maka ia tidak akan terfokus pada masalah yang dituju secara langsung. Mitra tuturlah yang diharapkan mampu menyikapi apa isi dari ungkapan tersebut (Michael, 1989). Richard (1965:97) menyatakan bahwa pada sebuah ungkapan metafora, harus memiliki tiga elemen, yaitu 1. pebanding (tenor atau target domain), yaitu konsep atau objek yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, dan dibandingkan, 2. pembanding (vehicle atau source domain), yaitu kata-kata kias itu sendiri, dan 3. persamaan antara pebanding dan pembanding (ground atau sense) yang merupakan relasi persamaan antara target domain dan vehicle atau source domain.
1.7.2 Pengertian Semantik dan Semiotika 1.7.2.1 Segitiga Semantik dalam Semiotika Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign). Teori semiotika yang dikembangkan oleh C.S. Peirce (via Zaimar, 2008) menunjukkan bahwa tanda merupakan sesuatu yang dapat ditangkap, representatif, dan interpretatif. Peirce menggunakan segitiga tanda yang menunjukkan hubungan antara ground, denotatum, dan interpretant. Ground adalah dasar dari tanda yang
umumnya berwujud kata, denotatum merupakan unsur kenyataan tanda, dan interpretant merupakan interpretasi terhadap kenyataan yang ada dalam tanda. Selain itu, Peirce menjelaskan tiga unsur dalam tanda, yakni representamen, objek, dan interpretan. Ketiga unsur tersebut saling berhubungan (Zaimar, 2008:4). Dalam konsep ground dikenal istilah qualisign yang merupakan penanda yang berhubungan dengan kualitas. Qualisign adalah tanda yang dapat ditandai berdasarkan sifat yang ada dalam tanda tersebut. Dalam kata hitam terdapat qualisign yang menunjukkan keterkaitan makna dengan keburukan, kejahatan, maupun kejelekan yang lain dalam suatu budaya masyarakat. Leksem hitam yang dimaknai sebagai ‘keburukan dalam suatu masyarakat’ merupakan interpretasi atas tanda. Interpretasi tanda sangat berhubungan dengan budaya masyarakat. Budaya dipahami sebagai sistem tanda-tanda yang memiliki makna. Leksem merah dalam budaya
Tiongkok
mengandung
makna
‘kemakmuran’,
‘keberuntungan’,
kesejahteraan, dan sebagainya, tetapi leksem merah di Indonesia dimaknai sebagai ‘keberanian’. Lebih lanjut, pada pembahasan tentang hubungan tanda dan acuannya, Pierce (dalam Cobley, 2001: 8) membagi dalam tiga hal, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Penrnyataannya sebagai berikut. An icon is a sign that interrelates with its semiotic object by virtue of some resemblance or similarity with it, such as a map and the territory it maps (a photograph of Churchill is an icon of the original item). An index is a sign that interrelates with its semiotic object through some actual or physical or imagined causal connection. A weathervane obediently moves around to point (indicate, index) the direction of the wind due to the action of the wind on the object (smoke was for the Ranger an index of fire). A symbol is somewhat more complicated. The series of signs in the above paragraph highlights with a symbol, ‘Coke’, a sign whose interpretation is a matter of social convention.
‘Ikon adalah tanda yang berhubungan dengan objek semiotik dengan didasarkan pada kemiripan atau kesamaannya, misalnya sebuah peta dengan wilayahnya ( foto Churchill adalah ikon dari item aslinya). Indeks adalah tanda yang berhubungan dengan objek semiotik melalui beberapa hubungan sebab-akibat yang nyata atau bersifat fisik, atau imajinatif. Sebuah baling-baling cuaca bergerak di sekitar titik (menunjukkan, indeks) arah angin karena hembusan angin pada objek (asap adalah indeks api untuk Ranger/penjaga hutan). Simbol agak lebih rumit. Serangkaian tanda-tanda pada paragrap di atas dengan simbol, 'Coke', suatu tanda yang interpretasinya terkait dengan konvensi sosial.’ Di samping itu, hubungan antara konsep, lambang, dan acuan digambarkan dengan segitiga semantik Ogden dan Richards (Ogden, 1923:11)yang digambarkan sebagai berikut. Thought or Reference
_________________ Symbol
Referent
Simbol atau lambang adalah unsur linguitik berupa kata atau kalimat, acuan adalah objek, peristiwa, fakta atau proses yang berkaitan dengan dunia pengalaman manusia, sedangkan konsep thought atau reference, atau meaning adalah apa yang ada di dalam pikiran tentang objek yang ditunjukkan oleh lambang. Menurut teori ini tidak ada hubungan langsung antara lambang (symbol) dengan acuan (referent), tidak ada hubungan antara bahasa dengan dunia fisik, hubungannya selamanya melalui pikiran dalam wujud konsep-konsep yang bersemayam dalam otak. Hubungan antara lambang dan acuan ini bersifat arbitrer. Mengenai segitiga semiotik yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards, Korzybski yang dikutip oleh George (1964:65) menganalisis dari segi perbedaan struktural yang menurut dia hubungan antara peristiwa, benda dan struktur lambang
berubah atau berdiferensiasi sesuai dengan perkembangan budaya manusia. Kalau diperhatikan segitiga semiotik itu terlihat pada puncaknya adalah konsep dunia pengalaman manusia yang kemudian akan diwujudkan dalam bentuk kata dan kalimat yang berdiferensiasi. Wijana (2010:24-25) sejalan dengan pendapat di atas. Menurutnya hubungan antara kata dan sesuatu yang ditunjuknya itulah yang disebut makna. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi sehubungan dengan teori mentalistik ini . Pertama, gambaran mental yang dimiliki oleh seseorang sangat banyak, bukannya satu gambaran mental yang tertentu saja. Kedua, tidak semua kata dapat dihubungkan dengan gambaran mental. Ketiga, satuan semantik bukan hanya kata, tetapi juga satuan-satuan gramatikal yang lebih kecil, seperti morfem, dan satuan yang lebih besar. Akhirnya, makna kata tidak hanya bersangkutan dengan hal-hal yang ditunjuknya (denotasinya) saja, tetapi ada pula berbagai berbagai nilai rasa (harus, kasar), sebagai bagian dari pencerminan kebudayaannya. (Wijana ,2010:24-25) 1.7.2.2 Makna Denotatif dan Makna Konotatif Menurut Wijana (2010: 25), makna denotatif adalah makna sentral dari sebuah kata yang disepakati oleh setiap penutur bahasa. Makna denotatif (denotative meaning) adalah makna kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas, polos, dan apa adanya (Suwandi, 2006:80). Makna denotatif didasarkan pada penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu. Chear mengatakan (1985:22) bahwa makna denotatif (denotasional) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman alamiah. Dengan kata lain, makna denotatif adalah makna yang sebenarnya. Makna denotasi juga disebut
dengan makna dasar, yaitu makna kata yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Makna dasar juga dapat dinyatakan mengenai hubungan antara kata dan pengertiannya secara objektif. Lyons (1977:208) mengatakan bahwa “… Denotation is a relation that applies in the first instance to lexemes and hold independently of particular occasions of utterance” ‘Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah ujaran.’. Di samping itu, Wijana (2010: 82) menyatakan makna konotatif adalah makna emotif yang dapat dibangkitkan oleh sebuah kata. Walaupun makna emotif ini bersifat personal, menurut Wijana, karena setiap individu dimungkinkan memiliki pengalaman yang sama, dimungkinkan pula setiap orang, khususnya yang merupakan anggota komunitas bahasa yang sama, memiliki konatasi-konotasi yang sama. Di sisi lain, Kridalaksana (1984: 106) berpendapat makna konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi yang biasanya bersifat emosional dan subjektif. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan terhadap leksem yang digunakan.
1.7.2.3 Analisis Komponensial secara Teoretis Semantik leksikal telah muncul pada abad ke-19, tetapi baru berkembang mulai abad ke-20, yaitu setelah de Saussure memperkenalkan strukturalisme di dalam mengkaji bahasa. Jost Trier (1894-1970), ahli bahasa berkebangsaan Jerman,
mengadaposi strukturalisme de Saussure dalam mengkaji makna leksikal. Dia dianggap sebagai pelopor dalam pengembangan teori medan makna (Wortfeld). Trier mengungkapkan bahwa, “Nilai sebuah kata hanya dapat diidentifikasi jika nilai itu dihadapkan pada nilai kata yang bertetangga dan berlawanan. Hanya sebagai unsur dari keutuhannya sebuah kata mempunyai makna sebab hanya di dalam medan makna kita jumpai makna” (Wedhawati, 2002:36-37). Teori Terier mempunyai kelemahan, yaitu tidak mengupayakan identifikasi fitur, ciri, atau komponen makna butir-butir di dalam sebuah medan makna. Oleh karena itu, muncullah istilah analisis komponen makna sebagai jawaban dar kelemahan
teori
Trier.
Analisis
komponen
makna
diperlukan
untuk
mendeskripsikan hubungan antarbutir leksikal di dalam sebuah medan atau mendeskripsikan sistem dan struktur medan makna (Wedhawati, 2002:39). Linguis yang menjadi pelopor dalam analisis komponen makna adalah Eugene A.Nida. Dalam komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker), setiap kata atau unsur leksikal terdiri atas satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Menurut Nida (1975:32-67), komponen makna dibagi menjadi tiga, yaitu komponen bersama (common component), komponen diagnostik (diagnostik component), dan komponen suplemen (supplement component). Komponen bersama adalah komponen yang terkandung dalam sebuah medan makna dan berfungsi membentuk dan menentukan batas medan makna. Komponen diagnostik adalah komponen makna yang gunanya memisahkan satu makna dari makna lain, baik makna-makna itu kepunyaan satu kata atau beberapa kata, atau
komponen yang berfungsi membedakan makna anggota medan makna. Komponen suplemen merupakan komponen yang keberadaannya disebutkan oleh perluasan maka satuan leksikal. Dalam praktiknya, komponen bersama yang didefinisikan sebagai komponen bersama yang terkandung di dalam sebuah medan makna dan berfungsi membentuk dan menentukan batas medan makna mempunyai fungsi sebagai komponen diagnostik. Nida membedakan komponen diagnostik dengan komponen suplemen. Perbedaannya terletak pada analisis komponen suplemen yang diperlukan untuk definisi makna yang lebih luas tetapi tidak membedakannya dari komponen diagnostik dasar yang telah dianalisis. Nida (1975:38) membedakan komponen diagnostik menjadi tiga, yaitu implikasi, inti, dan inferensi. Komponen implikasi dikaitkan dengan penggunaan kata bermakna utama meskipun komponen implikasi adalah komponen makna yang menyertai pembicaraan meskipun tidak dianggap wajib. Nida (1975:54-61) menguraikan prosedur analisis komponen diagnostik yang meliputi enam langkah sebagai berikut. 1. Menyeleksi sejumlah makna yang diasumsikan berelasi atau sesuai dan membentuk medan makna tertentu berdasarkan komponen makna umum yang sama. 2. Mendaftar semua jenis referen spesifik tiap makna dalam medan makna tertentu. 3. Menentukan komponen yang cocok untuk makna sebutir leksikal atau lebih, tatapi tidak untuk semua butir leksikal yang sedang dianalisis. 4. Menentukan komponen diagnostik yang cocok bagi tiap makna sehingga
makna yang bersangkutan dapat diidentifikasikan sebagai komponennya. 5. Melakukan cross checking, yaitu mengecek data yang diperoleh dari prosedur pertama. Pada tahap ini, dilakukan koreksi ulang terhadap langkahlangkah analisis data yang telah dilakukan dari tahap pertama hingga keempat sehingga apabila terjadi kesalahan dapat dilakukan perbaikan kembali.
1.7.3 Terminologi Warna: Hipotesis Berlin dan Kay Warna merupakan suatu dukungan domain semantik dan menyelidiki isu-isu tentang hubungan antara bahasa dengan pemikiran manusia. Tradisi ini yang diawali oleh Berlin dan Kay (1969), tetapi yang krusial adalah kemudian mereka mencoba
menunjukkan
kendala
universal
pada
domain
ini
daripada
menghubungkan efek relatif dengan bahasa-bahasa yang berbeda. Seperti yang dikatakan Kay dan McDaniel (1978:130) bahwa kategori warna dasar dapat diturunkan langsung dari pola respons saraf yang mendasari persepsi warna. Selanjutnya Kay, Berlin, dan Merrifield (1991:18) menyataan bahwa Predicting the composite color categories of the world’s languages from properties of color vision that are independent of culture and of language, biological properties which are in fact independent of human experience ‘perse’ being widespread in general other than ‘Homo’.
‘Memperkirakan berbagai kategori warna yang berbeda-beda pada bahasa dunia dari sifat visi warna yang terlepas dari budaya dan bahasa, sifat biologis yang sebenarnya terlepas dari pengalaman manusia tentang “kebiru-biruan4” yang secara umum tersebar luas dibandingkan “sejenis”.’ (Kay, Berlin, dan Merrifield, 1991:18) Berlin dan Kay pada buku mereka, yaitu Basic Color Terms (1969) memaparkan beberapa simpulan atas studi mereka terhadap kesemestaan tema
4
per se (dipisah) artinya dengan sendirinya atau perse berarti kebiru-biruan
warna di setiap bahasa, yakni: 1. Terdapat kesemestaan kategori warna pada setiap bahasa di dunia, mencakup sebelas kategori, yaitu hitam, putih, merah, hijau, kuning, biru, cokelat, ungu, merah jambu, jingga, dan abu-abu. Temuan mereka ini merupakan bukti adanya konsep utama pada setiap manusia. 2. Secara khusus, kategori warna pada setiap bahasa bervariasi jumlahnya, tapi kesebelas kategori tadi seluruhnya tercakup dalam variasi kategori yang bervariasi jumlahnya itu, berdasarkan dimensi corak, keterangan, dan kejenuhan. 3. Terdapat enam tingkatan warna, yang menunjukkan kesebelas kategori warna tadi, yaitu hitam dan putih pada tingkat pertama, merah pada tingkat kedua, hijau dan kuning pada tingkat ketiga, biru pada tingkat keempat, cokelat pada tingkat kelima, ungu, merah jambu, jingga dan abu-abu pada tingkat keenam. Berlin dan Kay pun menunjukkan sebelas kategori organisasi warna menurut hierarki implikasional yang menggambarkan “a
Dengan demikian, jika sebuah bahasa memiliki istilah warna red, bahasa
tersebut pun harus memiliki istilah warna white dan black, sedangkan warna white dan black dapat muncul dalam bahasa yang tidak memiliki istilah warna red. Di samping itu, warna pada satu tingkatan tidak bersifat prioritas, dengan kata lain pada dua warna yang terletak di satu tingkat, warna yang terletak di atas bisa muncul mendahului warna yang terletak di bawah, atau bisa sebaliknya. Misalnya, pada tingkat ketiga, warna hijau mungkin muncul mendahului kuning, atau warna kuning yang muncul mendahului hijau. Jika suatu bahasa memiliki empat kata warna dasar, warna dasar tersebut mungkin adalah hitam, putih, merah, dan hijau; atau hitam, putih, merah, dan kuning. Lebih lanjut, Berlin dan Kay (1969: 8) menyatakan warna dasar harus dapat memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut. 1. The term is monolexemic, that is, the meaning is not derived from the meaning of its parts. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang pertama ini menjelaskan bahwa makna warna dasar tidak berasal dari makna bagiannya. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah bluish dalam bahasa Inggris (Foley, 1997:153). Dengan demikian, makna kata bluish tidak memenuhi kriteria warna dasar pertama karena makna bluish berasal dari makna bagiannya, yaitu blue, sehingga bluish tidak dapat disebut sebagai warna dasar. 2. Its meaning is not included in any other kind of color term. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang kedua ini menjelaskan bahwa makna nama warna tidak termasuk ke dalam nama warna lain. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah scarlet dalam bahasa Inggris. Scarlet, merupakan salah satu jenis nama warna dari warna red ‘merah’ (Foley, 1997:153). Dengan
demikian, scarlet tidak dapat dikategorikan sebagai warna dasar karena tidak memenuhi kriteria warna dasar Berlin dan Kay, yaitu nama warna terkandung dalam nama warna lain. 3. Its application should not be restricted to a narrow class of object. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang ketiga ini menjelaskan bahwa nama warna harus dapat digunakan pada objek yang luas. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah blond. Blond, merupakan nama warna yang digunakan untuk menunjukkan nama warna kayu dan rambut (Foley, 1997:153) sehingga tidak dapat digunakan untuk menyebutkan warna pada pakaian atau benda lain. Dengan demikian, blond tidak dapat dikategorikan sebagai warna dasar karena tidak memenuhi kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang ketiga, yaitu nama warna seharusnya tidak digunakan pada objek yang terbatas. 4. It must be psychologically ‘salient’ for informants. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang keempat ini menjelaskan bahwa nama warna harus “menonjol dan penting” bagi informan. Contoh pemenuhan kriteria terakhir ini adalah nama warna dasar akan disebutkan pertama kali di antara nama-nama yang lain dan nama tersebut pun dikenal secara luas oleh informan (Foley, 1997:153), misalnya, adanya nama warna beureum bata, beureum getih, beureum cabe, dan beureum ngora dalam bahasa Sunda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda menganggap warna beureum ‘merah’ sebagai warna yang “menonjol dan penting” sehingga warna beureum dijadikan sebagai dasar dalam memperluas nama warna dalam bahasa Sunda.
1.7.4 Bahasa dan Pikiran Manusia: Hipotesis Sapir-Whorf5 Menurut Sapir- Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pencerminan kenyataan sosial. Hipotesis Sapir – Whorf berpendapat tentang kaitan bahasa dengan pandangan dunia penuturnya, yaitu bahasa mencerminkan persepsi manusia terhadap realitas dunia. Jika seseorang ingin mengetahui bagaimana suatu bahasa tertanam pada penuturnya lebih baik bila hal itu dinyatakan pada penuturnya (Sapir dalam Sampson, 1980:82). Hanya bahasa ibu sajalah yang dapat memberikan seperangkat “lubang-lubang ” yang arbiter, tapi menyenangkan untuk menangkap pengalaman kita (Sapir dalam Sampson, 1980:102). Lebih lanjut, hipotesis SapirWhorf mempunyai implikasi dari pada kebudayaan saat ini (1931), di antaranya: 1. Jika suatu komunitas budaya menggunakan banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas, maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunikasi budaya tersebut (Sampson: 1980:85-86). Ini sejalan dengan Boas (1964b) yang menyatakan bahwa perbedaan kosakata dalam bahasa sedikit banyak bergantung pada “the chief interest of the people”. Sebagai contoh, kata “salju” untuk bahasa Inggris hanya dilambangi dengan satu kata snow, tetapi dalam bahasa Eskimo benda tersebut dilambangi dengan empat kata, yaitu aput ‘salju yang ada di tanah’, qana ‘salju yang turun’, piqsirpoq ‘salju melayang’, dan qimuqsuq ‘tumpukan salju yang ditiup angin’. Berkaitan dengan persoalan kosakata dalam kaitannya dengan
Tentang hubungan bahasa dan pikiran manusia, Sapir-Whorf mempunyai dua versi yang disebut versi kuat dan versi lemah. Versi kuat menyatakan bahasa menentukan cara pikir manusia, sedangkan versi lemah menyatakan bahasa mencerminkan cara pandang penutur terhadap dunia luar. Pada disertasi ini hipotesis SapirWhorf yang diterapkan adalah versi lemah. 5
pandangan dunia penuturnya ini, Sapir (Wierbicka, 1997) mengatakan bahwa “Language differ widely in the nature of their vocabulary. Distinctions which seem inevitable to us may be utterly ignored in languages which reflect an entirely different type of culture.“ (Bahasa sangat berbeda dalam ragam kosakatanya. Perbedaan yang tampaknya tak terelakkan bagi kita mungkin diabaikan dalam berbagai bahasa yang mencerminkan keragaman budaya) . 2. Lebih dari cara mempunyai mempersepsi objek dan lingkungan kita, bahasa dan pikiran juga mempengaruhi tindakan kita. Karena bahasa mencerminkan persepsi penuturnya terhadap realitas dunia, dari arah yang sebaliknya, dapat dikatakan bahwa bagaimana penutur suatu bahasa memandang realitas dunia dapat dilihat dari bahasanya. Bahasa mencerminkan konseptualisasi manusia, penafsiran manusia terhadap dunia (Wierzbicka, 1997), misalnya orang Inggris menekankan waktu dan jumlah sedangkan pembicara orang Navaho menekankan ciri-ciri bentuk. 3.
Adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran adalah sebenarnya
bahasa (lewat penciptaan kata-kata, istilah-istilah, dan julukan-julukan baru) dapat digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang untuk merendahkan, mendiskriminasi dan menguasai kelompok orang lainnya. Misalnya, orang Amerika menggunakan kata Negro untuk kelompok yang berkulit hitam. Bahasa mencerminkan pikiran suatu kelompok. Dalam bidang warna, walaupun warna yang ditunjukkan sama, tetapi kosakata warna yang digunakan setiap kelompok berbeda-beda. Orang Inggris misalnya, mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey; tetapi penutur bahasa Hunaco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mabiru, hitam
dan warna gelap lain’, melangit ‘putih dan warna merah cerah’, meramar kelompok warna merah’, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan cokelat muda’. Sampson (1980:95-96) mengatakan sebagai berikut. Colour is in fact a particularly favourable arena for the Whorf’ hypothesis, possibly the most favourable of all. It is an immediate property of observed sense data: to find out whether vekti meant “tax” or “charity” we had not only to observe but also to investigate speakers’ beliefs about vekti, but a red patch is a red patch irrespective of the beliefs of the man who sees it. And, among perceptual variables, that of colour is one in which we are physically capable of making a very large number of distinctions (there are estimated to be at least 7,500,000 discriminable shades of colour), so the question how these are grouped into classes in any given language is very far from trivial. Furthermore, physics provides us with a neutral, objective standard against which to compare the terminologies of different languages; and, most important, the world of colour appears to have no natural boundaries—it seems a featureless steppe on which colonists must draw their frontiers where they will, rather than a continent which Nature has already parcelled up by means of mountain ranges and wide rivers. So, is Whorf’s hypothesis applies anywhere, it should certainly apply to colour, and linguists have long taken it for granted that it dose. (Warna merupakan bidang yang sesuai dengan hipotesis Whorf, dan mungkin yang paling sesuai. Warna merupakan sifat yang cepat diamati dari data-data inderawi: untuk mengetahui apakah vekti berarti “pajak”, atau “amal”, kita tidak hanya mengamati tetapi harus mencari apa maksud kata vekti dari penuturnya, tetapi suatu bintik merah adalah bintik merah tanpa memperdulikan siapa yang melihatnya. Dan di antara variabel persepsi, makna warnalah yang secara fisik mampu kita bedakan dalam jumlah yang banyak (diperkirakan paling tidak ada 7.500.000 warna yang berbeda), sehingga pertanyaan bagaimana warna-warna tersebut dikelompokkan ke dalam golongan data bahasa masih dianggap penting. Selain itu, fisika menyediakan kita bentuk netral, suatu standar objektif untuk membandingkan istilah-istilah dari bahasa yang berbeda; dan yang paling penting, dunia warna tampak tidak memiliki batas —seperti padang rumput luas yang tidak mempunyai batas tempat sekelompok orang harus membuat garis batas menurut kemauannya, dan bukan merupakan benua tempat alam telah melengkapinya dengan puncak gunung dan sungai lebar sebagai batas. Dengan demikian, apabila hipotesis Whorf diterapkan di mana saja, hipotesis tersebut dapat juga diterapkan untuk warna dan para ahli bahasa memang menganggapnya demikian.) 1.8 Metode Penelitian Metode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara dan prosedur yang
dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian data. 1.8.1 Pendekatan Penelitian Pendakatan penelitian ini adalah linguistik antropologis. Foley (2001:3-5) menjelaskan bahwa linguistik antropologis merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Linguistik antropologis mempunyai penekanan bahwa bahasa itu sebagai rangkaian praktikpraktik kultural yang memainkan peranan esensial dalam memediasi ide-ide, dan aspek-aspek material dari keberadaan dunia . Berkaitan dengan metodologi dalam penelitian bahasa dan budaya, Mathiot (1964:154--163) mengemukakan ada dua kemungkinan arah metodologi yang dapat ditempuh oleh peneliti. Arah yang pertama adalah peneliti berangkat dari bahasa ke budaya, yakni memeriksa kandungan budaya yang ada dalam kelas-kelas linguistik. Adapun arah yang kedua adalah peneliti berangkat dari budaya ke bahasa, yaitu memeriksa kandungan linguistik yang ada dalam kelas-kelas budaya. Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan dimulai dari meneliti unsur-unsur warna dalam bahasa Indonesia dan Mandarin untuk mencari kebudayaan yang tersembunyi di balik pemakaian dua bahasa tersebut. Karena data-data dalam penelitian ini berasal dari dua rumpun bahasa yang berbeda, penelitian ini bersifat tipologis. Di sisi lain, karena penelitian ini juga bersifat didaktis, digunakan juga metode kontrastif, khususnya perbandingan warna untuk mengnal budaya yang tersembunyi di belakangnya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975), penelitian kualitatif dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa katakata tertulis lisan, dan orang-orang atau pelaku yang diamati. Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau konfisien tentang hubungan antarvariabel. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Subroto (2007: 33) bahwa tujuan dari linguistik deskriptif adalah untuk memberikan segi-segi tertentu mengenai sistem suatu bahasa sebagaimana wujud kenyataannya. Metode dalam penelitian linguistik mencakup kesatuan dari serangkaian proses, yaitu: penentuan kerangka pikiran, perumusan hipotesis atau perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sampel, data, teknik pemerolehan data, dan analisis data (Subroto, 2007: 33). Sehingga dalam penelitian linguistik, diperlukan langkah-langkah untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan., yaitu (1) Pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian analisis data.
1.8.2 Pengumpulan Data James P. Spradley dalam Metode Etnografi (1997) menjelaskan bahwa metode etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan sebuah kebudayaan. Tujuan utamanya adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view). Sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar berbagai hal dari mereka (Spradlay, 1997:3). Hal ini juga
dikuatkan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (dalam Spradley, 1922:25). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara teknik simak dan catat berdasarkan obsertasi pustaka, yaitu sumber sekunder dari buku, disertasi, jurnal dan sumber-sumber tertulis lainnya, serta melengkapi dengan wawancara informan untuk data yang tidak tertulis. I Informan yang dipilih adalah para dosen dan teman-teman S-3 jurusan Humaniora di Universitas Gadjah Mada sebagai penutur bahasa Indonesia asli (native speakers) dan aktif. Para informan akan menerima lembaran catatan warna yang oleh peneliti. Pertanyaan yang ditanya adalah “Apakah Anda mengenal warna-warna di bawah ini?”; “Apakah warna berikut ini dapat digabung dengan kata ‘tua’, ‘muda’, ‘terang’, ‘gelap’, ‘pekat’, ‘besar’, dan sebagainya?”; “Apakah Anda mengetahui arti idiom berikut?”, dan “Jika ada warna dan idiom yang belum tertulis, silakan menambahnya di bawah ini.”, dan sebagainya. Para informan memeriksa data tersebut, menambah warna sekunder yang belum terkumpul, menjelaskan makna konotasi dalam idiom dan peribahasa, serta menyampaikan pendapat tentang data-data itu. Untuk data yang diragukan oleh informan, akan dicari lagi sumber datanya oleh peneliti. Data yang terpilih berbentuk kata, frase, idiom, peribahasa, kiasan, ungkapan, metafora, dan sebagainya yang memuat warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Karena terjadi perbedaan pengertian antara beberapa istilah tersebut pada kedua bahasa tersebut, perlu dijelaskan bahwa dalam penelitian ini menggunakan pengertian istilah dalam pengertian linguistik secara umum. Di
samping itu, data pada bagian perbandingan makna konotasi warna dalam penelitian ini tidak terlalu membedakan pengertian istilah-istilah satu dengan lainnya, semua contoh yang makna konotasinya tidak menunjuk kepada warna lagi tergolong data penelitian ini. Sumber tulisan dalam penelitian ini meliputi kamus Idiom Bahasa Indonesia (KI) karya Abdul Chear (1993), Kamus Ungkapan (KU) karya J.S. Badudu (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karya Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005), Kamus Lengkap Indonesia-Tionghoa karya Tim Perkamusan IndonesiaTionghoa Universitas Peking (2000), Kamus Idiom dalam Bahasa Mandarin karya Lǐ Sōng, (2009), Daftar Istilah Warna tulisan Mein A. Rifai (1984), Idiom dalam Bahasa Indonesia disertasi Muhammad Suyato (2012), dan Hànyǔ Chéngyǔ Sècǎicí Yánjiū (Studi Idiom Warna dalam Bahasa Mandarin) karya Hán Qiǖjú (2006) .
1.8.3 Analisis Data Penelitian ini berada dalam ranah kajian lingusitik antropologis. Dengan demikian, penelitian dimulai dari analisis bahasa guna menunjukkan budaya yang melatarbelakanginya. Adapun penelitian ini merupakan kajian kontrastif, yaitu perbandingan antara bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam penelitian ini termasuk kedua bahasa dan yang dapat mencerminkan budaya kedua negara tersebut. Dalam analisis komponen makna, Nida (1975:54-61) mengatakan diperlukan notasi semantis untuk menandai nilai semantis komponen makna tertentu dalam kaitannya dengan butir leksikal tertentu dalam sebuah medan makna. Notasi
semantis tersebut berupa (+) untuk menandai komponen makna yang relevan atau berfungsi membentuk satuan makna butir leksikal, (-) menandai penegasan komponen di dalam definisi satuan makna butir leksikal, (0) menandai komponen yang tidak relevan atau tidak berfungsi pada tataran sistem tetapi berfungsi pada tataran ujaran, (+/-) menandai kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan penegasan komponen tertentu, dan (*) menandai penolakan kehadiran komponen tertentu baik pada tataran sistem maupun tataran ujaran. Pada penelitian ini, BAB П bertujuan untuk menguji kembali pendapat Berlin dan Kay tentang prinsip warna dasar serta urutan warna dasar secara universal. Tahap analisis yang pertama adalah pengelompokan data bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Mandarin, data yang diperlukan adalah calon warna dasar dan warna turunan. Kemudian calon warna dasar tersebut dianalisis satu per satu dengan teori warna dasar yang ditemukan Berlin dan Kay, serta mendapatkan warna dasar dalam bahasa Mandarin. Demikian pula dilakukan dalam bahasa Indonesia. Berikut warna dasar yang terdapat pada kedua bahasa tersebut akan dicocokkan dengan urutan warna dasar yang ditemukan Berlin dan Kay, mendapatkan urutan warna dasar terbaru, khususnya untuk bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia, dan menyempurnakan karakteria warna dasar Berlin dan Kay. Lebih lanjut, penelitian ini dilakukan dengan menganalisis warna turunan. Warna turunan di sini dimaksudkan leksikon warna dalam bahasa Mandarin baku dan bahasa Indonesia baku. Data-data yang terkumpul dalam bahasa Indonesia banyak dipengaruhi bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Bali, dan
sebagainya. Perlu dijelaskan data yang terpilih dalam bagian ini adalah bahasa Indonesia baku atau bahasa serapan yang sudah diakui sebagai bahasa Indonesia. Kemudian warna-warna turunan tersebut dikelompokkan dan dideskripsikan berdasarkan warna dasar., misalnya dalam bahasa Mandarin pengelompokan warna adalah kelompok warna putih, hitam, kuning, dan kelompok warna dasar lainnya. Pada setiap kelompok warna, akan dianalisis atribut yang diikutinya. Sebagai contoh, atribut warna turunan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi ke beberapa kelompok, yaitu atribut produktif seperti tua dan muda, atau gelap dan terang, atribut yang berupa ke-warna-warna-an, atribut yang berupa alam, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya, dan atribut yang berupa kata sifat. Cara analisis yang sama dilakukan juga pada bahasa Mandarin. Pada BAB III, data yang digunakan adalah idiom, peribahasa, kiasan, dan sebagainya yang maknanya tidak menunjuk kepada warna lagi. Dengan kata lain, pada BAB itu yang diteliti adalah makna konotasi warna. Seperti yang telah dilakukan di BAB sebelumnya, yaitu pada tahap pertama perlu dibedakan data bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Pada kedua bahasa masing-masing dikelompokkan lagi berdasarkan warna dasar. Kemudian akan dianalisis maknamakna konotasi yang terdapat pada setiap kelompok warna, misalnya warna putih ditemukan makna konotasi suci dan baik, menyerah, dan lain-lain. Lebih lanjut, ditemukan data yang merupakan gabungan dari dua warna, misalnya hitam di atas putih, putih di luar kuning di dalam, dan sebagainya. Data sejenis ini dikelompokkan sendiri kemudian dianalisis makna konotasi pada setiap warna. Dengan munculnya berbagai makna konotasi akan dikaji pula latar belakang yang
tersembunyi di belakang makna tersebut. Pada bahasa Mandarin ataupun bahasa Indonesia dianalisis dengan cara yang sama. Pada BAB IV akan dibandingkan persamaan dan perbedaan warna dasar, warna turunan serta makna konotasi yang terdapat dalam kedua bahasa. Kemudian dicari sebab akibat persamaan dan perbedaan kepada kedua bahasa tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti faktor internal bahasa, faktor sejarah, faktor politik, faktor kebiasaan serta kebudayaan lainnya. Tujuannya addalah menafsirkan perbedaan dan persamaan mengenal warna, serta menafsirkan sistem pengetahuan dan pola pikir masyarakat Tiongkok dan Indonesia.
1.8.4 Penyajian Hasil Analisis Data Sudaryanto (1993:36) mengemukakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan dalam penyajian analisis data. Metode tersebut adalah secara formal dan informal. Metode penyajian hasil analisis data secara formal adalah dengan menggunakan tanda-tanda dan lambang-lambang. Adapun penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan perumusan dengan kata-kata biasa. Data yang telah dianalisis akan disajikan sebagai contoh dan dijelaskan melalui kata-kata sederhana. Selain itu, hasil analisis data juga disampaikan dalam tabel agar pembaca dapat memahami dengan cepat dan jelas.
1.9 Sistematika Penyajian
Pembicaraan warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia ini dibagi ke dalam lima BAB . Pada BAB I dibicarakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Pada BAB II, dimaksudkan untuk menguji kembali teori Berlin dan Kay tentang warna dasar: apakah berlaku untuk bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia, serta mengetahui satuan-satuan kebahasaan apa saja yang digunakan untuk menandai warna pada kedua bahasa tersebut. Lebih lanjut pada BAB III dibicarakan tentang makna-makna konotasi warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia, serta melihat budaya-budaya yang melatarbalakangi maknamakna konotasi tersebut. Pada BAB IV dipaparkan penyebab terdapatnya persamaan dan perbedaan warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Pada BAB V dibicarakan simpulan dan saran terhadap penelitian ini.