HASIL PENYADAPAN KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah melahirkan beragam jasa dengan berbagai fasilitasnya di bidang telekomunikasi, seiring dengan kecanggihan produk-produk teknologi informasi sehingga mampu mengintegrasikan semua media informasi. Munculnya internet yang mengiringi globalisasi komunikasi (global communication network) telah membuat dunia menjadi tanpa batas (borderless) serta menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung cepat. Namun demikian, kondisi di Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Hal ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat di dunia, antara lain memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain. Kenyataan lain saat ini, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi sering kali disalahgunakan oleh masyarakat, termasuk di Indonesia untuk atau menimbulkan suatu perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu, diperlukan regulasi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang dapat menindaklanjuti semua permasalahan hukum yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di atas. Saat ini telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang tersebut, diantaranya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia. Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi ini telah muncul dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam transaksi secara elektronik (e-commerce) maupun tindak pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime), tidak terkecuali dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi yang semakin meluas di berbagai bidang telah menjadikan
Universitas Sumatera Utara
korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) 1. Selain itu, korupsi juga telah merugikan keuangan negara dan berdasarkan hasil penelitian, Bank Dunia menyatakan bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45%. 2 Pesatnya fasilitas telekomunikasi di Indonesia selain memberi manfaat bagi masyarakat namun juga banyak terjadi penyalahgunaan yang menimbulkan kejahatan baru. Kemudahan yang diberikan dalam berkomunikasi telah menimbulkan realitas bahwa banyak pihak yang menyalahgunakan kesempatan termaksud untuk melakukan perbuatan melawan hukum melalui fasilitas komunikasi ini. Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada perkembangannya, KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia, dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi ini untuk melakukan kejahatan. Ada beberapa kasus yang mengindikasikan penyalahgunaan fasilitas komunikasi tersebut yang berhasil disadap oleh KPK, antara lain kasus Artalyta Suryani sebagai Tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim
1
http://www.kpk.go.id, Diakses pada 14 Januari 2011. Junaedi, Komisi Anti Korupsi di Negeri Sarat Korupsi dan Birokrasi yang Serba “Komisi”, http://www.pemantauperadilan.com, Diakses pada 14 Januari 2011. 2
Universitas Sumatera Utara
sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti percakapan antara Artalyta Suryani dengan
pejabat
Kejaksaan
Agung
melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti. Beberapa pihak berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privacy individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah tangganya dan surat-menyuratnya. Catatan: Sumbernya cantumkan Selanjutnya Kovenan Internasional Tentang hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya. 3 Namun demikian dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang
3
Pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.
Universitas Sumatera Utara
Dasar 1945 ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama. Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atu dokumen elektronik dalam suatu computer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyadapan sah dilakukan dengan mendasakan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan
di
atas,
terlihat
bahwa
adanya
ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan, sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada proses peradilan pidana. Pada praktik hukum di Indonesia, terdapat ketentuan hukum mengenai alat bukti, yakni diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).
Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditetapkan mengenai alat bukti yang sah adalah : 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa (dwingen recht), artinya semua jenis alat bukti
Universitas Sumatera Utara
yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi. 4 Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 184 ayat (1) di atas, hasil penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui sah secara hukum. Sementara itu, pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ditegaskan bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti petunjuk. Di samping itu, Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, terdapat berbagai ketentuan hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda diantara para penegak hukum di Indonesia mengenai keabsahan hasil penyadapan oleh KPK menjadi suatu alat bukti pada proses peradilan pidana, termasuk dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan seperti kasus Artalyta yang telah diuraikan di atas, sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary cases), di satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan KPK terhadap percakapan Artalyta dianggap melanggar hak individu seseorang, namun di sisi lain dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi sangat diperlukan upaya pembuktian yang mendukung diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana tersebut, sehingga adanya kesenjangan
4
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Perdata dan Pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006, hal. 181. (Halaman ini kalimat panjang)
Universitas Sumatera Utara
antara ketentuan hukum yang ada (das sollen) dengan kenyataan di masyarakat (das sein) Sampai saat ini, belum ada tulisan ilmiah (skripsi) yang secara khusus membahas mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti pada proses peradilan, oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Hasil Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif KUHAP Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan hukum tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan sebagai alat bukti? 2. Apakah rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan sebagai alat bukti. b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian hasil penyadapan KPK
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat a. Secara Teoritis Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana umumnya. b. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang kekuatan pembuktian hasil penyadapan KPK yang diatur melalui peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”
belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
Universitas Sumatera Utara
rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Bila di kemudian hari ternyata telah ada skripsi yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Sistem atau Teori Pembuktian Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut :5 1. Sistem
Pembuktian
Semata-mata
Berdasar
Keyakinan
Hakim
(Convictim in Time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah
yang
menentukan
keterbuktian
kesalahan
terdakwa.
Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari
5
M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 103-106.
Universitas Sumatera Utara
keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 6 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 7 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 8
6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798. 7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 260. 8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis (La Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee) Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 9 3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum,
9
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal. 231.
Universitas Sumatera Utara
artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 10
4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 11 D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda 10
Ibid., hal. 799. Ibid., hal. 188.
11
Universitas Sumatera Utara
(dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang. 12 Wirjono
Prodjodikoro
berpendapat,
bahwa
sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. 13 Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. 14
2. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Bagaimanapun
diubah-ubah,
alat-alat
bukti
dan
kekuatan
pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam
12
Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 234. Perhatikan cara pengutipannya Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 77. 14 Lihat juga Pasal 152 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 13
Universitas Sumatera Utara
Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental. Apabila dibandingkan dengan KUHAP, maka di sini tampak tidak semua pembaharuan ini ditiru oleh KUHAP. 15 Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah : a. Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 16 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penututan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. 17 Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurangkurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Catatan Peharikan pengetikan awal paragraf 15
Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241. 16 Pasal 1 butir (27) KUHAP; juga Pasal 1 butir 28 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 17 Pasal 1 butir (26) KUHAP; juga Pasal 1 butir (27) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Universitas Sumatera Utara
Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka : a. saksi harus mengucapkan sumpah; b. keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya; c. keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan; d. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya; e. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau kealpaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. f. Adanya: (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; (c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; (d) cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Catatan untuk no (e) perhatikan kembali penyusunan kalimatnya
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Penjelasan Pasal 185 ayat (5) dikaitkan dengan HIR disebut juga kesaksian persetujuan dan berhubungan, atau dikenal juga dengan istilah kesaksian berantai. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam : 1. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; 2. Beberapa kesaksian
oleh
beberapa
saksi
dalam
beberapa
perbuatan. 18 b. Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 19 Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 20 Penjelasan Pasal ini mengatakan, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau 18
S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 112-113. 19 Pasal 1 butir 28 KUHAP; juga Pasal 1 butir 29 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 20 Pasal 186 KUHAP. Catatan : Perhatikan pengetikan awal paragraf
Universitas Sumatera Utara
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenal apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. 21 c. Surat Surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 22 Menurut A. Pitlo surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. 23
21
Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 87-88. Andi Hamzah., Op.Cit, 253. 23 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 138. 22
Universitas Sumatera Utara
Suatu alat bukti yang berupa surat yang dalam hal ini harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam bentuk surat resmi. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 187 KUHAP, mengatakan : a. berita acara surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut pada Pasal 187 adalah alat bukti yang sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut huruf d bukan merupakan alat bukti yang sempurna. d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 24 M. Yahya Harahap memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai 24
Pasal 188 ayat (1) KUHAP. Catatan : kata kita sebaiknya digunakan pada kata pengantar saja
Universitas Sumatera Utara
persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. 25 Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2), petunjuk dapat diperoleh dari : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut, terlihat bahwa alat bukti petunjuk bentuknya sebagai alat bukti yang asesor (tergantung) pada alat bukti lain. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak ada alat bukti petunjuk. Berbeda dengan alat bukti saksi misalnya bisa hadir tanpa hadirnya alat bukti petunjuk. Dengan demikian, alat bukti petunjuk selamanya tergantung dari alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti lain belum dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. 26 e. Keterangan Terdakwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama, yaitu HIR yang menyebut “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa
25
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal. 893. M. Taufik Makarao., Op.Cit, hal. 130. Catan: Perhatikan penulisan awal paragraf dan cek kembali Pasal 184 huruf c yg sdr 26
maksud.
Universitas Sumatera Utara
perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. 27 Mengenai keterangan terdakwa ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yakni sebagai berikut : 1. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 2. keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; 3. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; 4. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. 28 Apabila di saat dibutuhkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan ternyata terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP, yakni sebagai berikut : 1. jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya (ayat 3) 2. jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi (ayat 4) 3. hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua 27 28
Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 286. Pasal 175 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (ayat 6). Ketidakhadiran, ketidakbenaran untuk memberikan keterangan sebagai alat bukti ini, pada umumnya manusia merasa takut dalam menerima pidana,
Sehingga
ia
menghindari
dari
tujuan
keterangan
yang
dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum khususnya para hakim yang bersangkutan yang memimpin sidang. Juga ketidakbenaran keterangan yang diharapkan, walaupun dalam hati terdakwa tersebut tertanam rasa ingin mengungkapkan keterangan yang sebenarnya, namun karena ia merasa takut untuk menerima pidana atas perbuatan yang dilakukan, maka dari rasa ketakutan tersebut menimbulkan dorongan kuat untuk memberikan keterangan yang tidak sesungguhnya, dimana dalam hal ini memang dapat diterima oleh nalar. Maka di sini benar-benar dituntut adanya psikologi yang benar-benar berperan dalam kasus-kasus semacam ini. 29
3. Pengertian Penyadapan (Wiretapping) Penyadapan memiliki banyak istilah, ada yang menyebut dengan wire tapping dan ada juga yang menyebut dengan lawful interception. Istilah lawful interception dipakai oleh Panca Pria Budi dalam artikelnya
29
Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
“Lawful interception, Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum”. Penyadapan adalah salah satu perluasan alat bukti petunjuk yang khusus diberlakukan dalam penanganan korupsi. Penyadapan (wire tapping) adalah mendengarkan, merekam, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi transaksi elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun nirkabel. 30 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan tentang penyadapan, namun tidak disebutkan tentang pengertian penyadapan, yang disebutkan hanya pelanggaran penyadapan yaitu pada Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Namun dalam Pasal 42 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ada pengecualian terhadap keperluan proses peradilan pidana yaitu diperbolehkannya penyelenggaraan jasa telekomunikasi untuk merekam dan memberikan informasi yang diperlukan atas : a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
30
Erwan, Penyadapan Sebagai Alat Bukti (Artikel), http/erwan29680.wordpress.com/2009/0622
Universitas Sumatera Utara
Pasal 43 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga menyebutkan bahwa pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40. Berdasarkan hal di atas maka pada penyadapan terdapat pengecualian dengan persyaratan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara implisit terhadap perluasan alat bukti petunjuk yang berupa alat bukti yang diperoleh melalui usaha penyadapan yaitu pada Pasal 26 A “alat bukti yang sah dalam petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
Universitas Sumatera Utara
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Menurut Black Law Dictionary, wiretapping diartikan sebagai berikut : Wiretapping, A from of electronic equesdropping, where, upon court order, enforcement officials surreptitiously, listen to phone calls.31 Penyadapan, adalah suatu bentuk dari cara menguping secara elektronik, dimana, berdasarkan perintah pengadilan, yang dilakukan secara rahasia dan resmi, dengan mendengarkan pembicaraan melalui telepon. 32 Kamus tersebut juga mencantumkan wiretapping memiliki persamaan istilah dengan “eaves dropping”. Eaves dropping is knowingly and without lawful authority.33 a. Entering into a private place intent to listen surreptitiously to private conversations or to observe the personal conduct of any other person or person therein or b. Installing or using outside a privat place any device for hearing, recording, amplifying, or broadcasting sounds originating in such place,
which
sounds
would
not
ordinarity
be
audible
or
comprehensible out side, without the consent of the person or person entitled to privacy therein or 31
Henry Campbell Black, M.A, 1996. Black’s Law Dictionary With Pronunciations, Abridged Fifth Edition, ST Paul, Minn, West Publishing Co, hal. 825 32 Terjemahan bebas oleh penulis 33 Henry Campbell Black, Op.Cit, hal. 268
Universitas Sumatera Utara
c. Installing or using any device or equipment for the interception of any telephone, telegraph, or other wire communication without the consent of the person in possession or control of the facilities for such wire communications such activities are regulated by state and federal statutes, and commonly require a court order Eaves dropping adalah perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa izin atau tanpa otoritas hukum : 34 a. Masuk ke dalam wilayah privat seseorang untuk mendengar secara diam-diam pembicaraan yang pribadi atau untuk mengamati tingkah laku seseorang b. Memasang alat untuk mendengar pembicaraan pribadi untuk mendengar, merekam, mengeraskan atau menyiarkan suara asli di beberapa tempat dengan suara yang biasanya tidak akan kedengaran atau diselidiki dari luar, tanpa sepengetahuan yang dipasang peralatan tersebut. c. Memasang peralatan untuk menyadap telepon, telegram atau jaringan komunikasi kabel tanpa izin dari seseorang atau tanpa izin yang berotoritas dari penyedia
layanan
jaringan komunikasi kabel
sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah atau perintah pengadilan seperti biasanya. Selain wiretapping, penyadapan juga menggunakan istilah lain yaitu Lawful interception. Lawful Interception (LI) is a service that is legally authorized for monitoring or recording telephone calls in
34
Terjemahan bebas oleh penulis
Universitas Sumatera Utara
accordance with a court order or authorization of legal bodies.35 Dalam kamus.net, intercept diartikan sebagai menahan, menangkap, mencegat atau memintas. Sedangkan di dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai to cut off from access or communication. 36 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyadap adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. 37 Sementara itu, penyadapan menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Pengertian lain dari Penyadapan secara sah yaitu Lawful Interception adalah suatu cara penyadapan dengan menempatkan posisi penyadap di dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikian rupa sehingga penyadapan memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah secara hukum. 35
Monitoring Architecture for Lawful Interception in VoIP Networks. http:/hal. Archives.ouvertes.fr/docs/00/16/44/20/PDF/Monitoring Architecture for Lawful Interception in VoIP Netswork.pdf. Diakses tanggal 21 Desember 2009 36 Intercept. The Free Dictionary, http://www.thefreedictionary.com/intercept diakses tanggal 21 Desember 2009 37 http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 21 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
Syarat-syarat dalam hal ini diatur secara yuridis oleh negara yang bersangkutan, sehingga dimungkinkan terdapat perbedaan aturan serta standar antara suatu negara dengan negara lainnya. 38 Definisi interception menurut ETSI yang dikutip dari blog Panca Lawful Interception merupakan kegiatan penyadapan yang sah menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum. 39 Mengutip dari definisi Newport-Networks bahwa Lawful Interception (LI) is a requirement placed upon service providers to provide legally sanctioned official access to private communications. With the existing Public Switched Telephone Network (PSTN), Lawful Interception is performed by applying a physical ‘tap’ on the telephone line of the target in response to a warrant from a Lau Enforcement Agency (LEA).40 Jika ditinjau dari keberadaan aturan Lawful Interception di Indonesia, negara kita telah mengeluarkan Peraturan Menkominfo Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi yang berisi pedoman-pedoman dalam melakukan penyadapan secara sah. Dari definisi sesuai peraturan tersebut disebutkan bahwa 38
Penyadapan Secara Sah untuk Telekomunikasi Bergerak Seluler (Lawful Interception for Cellular Telecommunication), http:/www.rizaazmi.net. Diakses tanggal 21 Desember 2009. 39 Lawful Interception, Penyadapan Secara Sah menurut Hukum, http://panca.wordpress.com/2006/07/17/lawfull-interception/ Diakses tanggal 21 Desember 2009. 40 Lawful Interception Overview, Netport-Network, 6 May 2009, http://www.netport-networks.com/cust-docs/87-Lawful-Intercept.pdf. Diakes tanggal 21 Desembeer 2009.
Universitas Sumatera Utara
Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.
4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi berasal dari perkataan corruptio yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia, corruptio berarti penyogokan. 41 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Beberapa pengertian korupsi berdasarkan beberapa undang-undang yaitu : a. Barang
siapa
dengan
melawan
hukum
melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara dan perekonomian Negara
41
S. Adiwinata, 1977, Kamus Istilah Hukum Latin-Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan I, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
(Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). c. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
5. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK Sesuai dengan Undang-undang Nomor.30 tahun 2002 tentang KPK, maka KPK mempunyai tugas sebagai berikut : a. Koordinasi dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi d. Melakukan pencegahan-pencegahan tindak pidana korupsi e. Melakukan
monitor
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan
Negara Dalam menjalankan tugas koordinasi, KPK mempunyai wewenang sebagai berikut : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan pelaporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi b. Memberikan
informasi
kepada
masyarakat
yang
memerlukan
atau
memberikan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya c. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan d. Menegakkan sumpah jabatan F. Metode Penelitian Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
Universitas Sumatera Utara
secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. 42
2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer
42
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 43 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
43
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988,
hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :44 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian. b. Melakukan
penelusuran
kepustakaan
melalui,
artikel-artikel
media
cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
44
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Catatan: dalam analisa data sdr ada mencantumkan data primer, sdg kan pada uraian sebelumnya sdr tidak menyinggung data primer G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang aspek hukum tentang penyadapan sebagai alat bukti dalam peradilan kasus korupsi, yang mengulas tentang aspek hukum tindakan penyadapan, mekanisme penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus-kasus terkait tindakan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) BAB III : Bab ini akan dibahas tentang analisis hukum mengenai hasil penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alat bukti dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Universitas Sumatera Utara
Transaksi Elektronik, yang akan mendiskripsikan kekuatan pembuktian hasil penyadapan sebagai alat bukti berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan tindakan penyadapan oleh KPK menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara