BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan perempuan. iPad, Macbook, dan Smartphone merupakan sebuah alat yang menawarkan suatu kecanggihan dan kebaruan. Unsur-unsur kecanggihan dan kebaruan dalam teknologi inilah yang dikenal sebagai gadget1. Tren teknologi terus bergulir dan berinovasi dari masa ke masa, termasuk teknologi telepon genggam. Berbagai teknologi komunikasi yang bermunculan, ponsel adalah salah satu teknologi yang perkembangan jumlahnya paling pesat. Kemajuan dunia komunikasi ditandai pula dengan munculnya beragam varian telepon genggam dan salah satu fenomena teknologi mobile yang sedang tren beberapa tahun belakangan yakni hadirnya smartphone di Indonesia. Smartphone atau juga dikenal dengan sebutan ponsel pintar merupakan sebuah perangkat atau produk teknologi berupa telepon genggam atau mobile versi modern terbaru. Menurut Gary B. Thomas J. dan Misty E (2007:19), smartphone mempunyai fungsi yang menyerupai komputer. Berangkat dari isu bahwa perempuan tidak bisa terlepas dari telepon genggam, peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan perempuan dan teknologi. Objek material penelitian ini adalah iklan audio visual (televisi) dua produk mobile phone; Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. Kedua iklan dipilih karena 1
Online: http://www.macmillandictionary.com/dictionary/american/gadget (diakses pada 7 Januari 2013, jam 20:35)
menawarkan cara pandang yang menarik untuk mengamati bagaimana kepentingan komoditas mengkonseptualisasikan relasi sosial. Iklan memiliki efekefek persuasif melalui visualisasi dan audio yang ditampilkan. Iklan menurut Williamson (2007:2) dalam memasarkan produknya menciptakan struktur-struktur makna yang secara samar-samar mempengaruhi cara berpikir, gaya hidup, serta perilaku masyarakat. Iklan juga menawarkan ideologinya sendiri dari berbagai nilai sosial dan ide dikonstruksi dalam kemasan yang begitu menarik. Iklan menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji (Wernick, 1991:32). Wernick melihat iklan sebagai media promosi budaya, dan iklan sebenarnya merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. Imaji menjadi mimpi yang ingin ditawarkan. Sama halnya dengan imaji, representasi perempuan melek teknologi dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 dilakukan dengan menggunakan dunia tanda dan bahasa. Ketika melihat iklan, sengaja ataupun tidak, audiens akan secara otomatis menjadi bagian dari objek tawaran citra yang ditampilkan oleh iklan tersebut. Iklan melakukan proses pemanggilan (hailing) kepada audiens lewat citra yang ditampilkan oleh para perempuan dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 melalui atribut yang melekat pada diri mereka. Iklan memiliki kuasa untuk mengkonstruksi identitas. Jika dibandingkan pada tampilan iklan teknologi lain, khususnya ponsel yang memposisikan perempuan sebagai sasaran, iklan-Pada iklan teknologi lain, khususnya telepon genggam yang memposisikan perempuan sebagai sasaran, tidak spesifik memunculkan citra perempuan sebagai bagian dari produknya
iklan-iklan tersebut2 secara spesifik tidak memunculkan citra perempuan sebagai bagian dari produknya, namun lebih menonjolkan pada keunggulan produk melalui fitur sehingga menjadi tidak memiliki spesifikasi khusus untuk perempuan. Sementara itu, pemilihan kedua iklan tersebut didasarkan atas perbedaan konsep yang ditampilkan dalam masing-masing iklan sehingga menimbulkan citra perempuan melek teknologi yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut muncul disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi latar belakang konstruksi iklan. Kedua iklan dipilih sebagai pintu masuk untuk menganalisis praktik negosiasi tawaran identitas perempuan melek teknologi yang dikonstruksi oleh media, dalam hal ini oleh Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. Samsung Galaxy SIII hadir di Indonesia sebagai salah satu produk artefak smartphone mempromosikan produknya dengan mengusung tagline yang sangat menarik yakni “Designed for Humans” dan “Inspired by Nature”, di mana teknologi dirancang untuk manusia (humans) dan terinspirasi dari alam (nature). Begitu pula, pada Mito 680, adapun “Everything is in your touch” dan “Feel the Flip” menjadi tagline yang mewarnai iklan Mito 680, ‘segalanya ada dalam sentuhan anda’ dan ‘rasakan desain lipat yang elegan’ begitulah kiranya maksud yang hendak disampaikan. Mobile phone Samsung Galaxy SIII dikenal sebagai sebuah teknologi canggih dengan harga penjualan relatif tinggi, dibanderol
2
Nokia Lumia, Sony Xperia, Blackberry, iPhone
seharga Rp. 6.799.0003 dan menawarkan aplikasi fitur inovatif dalam ponsel. Harga penjualan yang tinggi tentunya membutuhkan modal yang tinggi pula untuk membeli produk tersebut. Sementara itu, pada produk Mito 680, ponsel ini dibanderol seharga Rp. 550.0004. Gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa harga jual merepresentasi kelas, di mana kepemilikan modal ekonomi mempunyai nilai tertentu yang dimiliki seseorang dan merepresentasikan diri sebagai distinction untuk mengidentifikasikan pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik dan hubungannya dengan posisi kelas sosial dan mengapresiasi praktek-praktek dan produk yang disebut sebagai selera (taste). Selera adalah suatu praktek yang di antaranya berfungsi memberi individu maupun orang lain pemahaman akan posisinya di dalam tatanan sosial. Selera menyatukan mereka yang memiliki preferensi serupa dan membedakannya dari mereka yang mempunyai selera berbeda. Pierre Bourdieu (1984) dalam bukunya yang berjudul Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, berargumen bahwa penilaian-penilaian selera berhubungan dengan posisi sosial. Berangkat dari argumen Bourdieu, melalui proses tersebut, individu dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri dan menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial. Menurut Ihde (2008) dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Teknologi, Tentang Dunia, Manusia, dan Alat” pada hakikatnya, manusia menggunakan
3
Lihat pada http://www.lazada.co.id/beli-smartphone/samsung/ (diakses pada 5 Februari 2013, jam 00:01) 4 Tabloid pulsa, Online: http://www.tabloidpulsa.co.id/phones/mito/item/3117-680 (diakses pada 5 Februari 2013, jam 09:00)
teknologi sebagai sarana kekuasaan untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu. Manusia juga menggunakan teknologi sebagai mediasi antara manusia dengan dunia. Teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia dalam berkomunikasi dan mobilisasi. Teknologi dirancang sedemikian inovatif untuk membantu manusia melakukan aktivitas dan bahkan digunakan untuk membantu
menyelesaikan
masalah.
Adanya
kecanggihan
aplikasi
yang
ditawarkan oleh Samsung Galaxy SIII dan Mito 680, maka kebutuhan-kebutuhan manusia dirasionalisasikan oleh teknologi tersebut. Merujuk pada George Ritzer (1993), rasionalisasi kemudian menciptakan keseragaman pada pemilihan sebagai suatu bentuk yang optimal. Iklan Samsung Galaxy SIII mengkonstruksi identitas citra ideal perempuan melek teknologi dengan mengejawantahkannya ke dalam aplikasi yang terdapat di produk. Begitu pula halnya dalam iklan Mito 680, pemilihan model iklan Olla Ramlan sebagai ‘brand ambassador’ tentu bukan tanpa alasan. Sosok cantik, sosialita, pekerjaan sebagai model, pembawa acara, dan bintang iklan tentu membuatnya menjadi inspirasi bagi banyak perempuan. Mereka inilah yang dibidik oleh Mito 680 untuk nantinya menjadi calon konsumen. Penggambaran iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 kepada khalayak tidak bisa dilepaskan dari campurtangan wacana-wacana yang menyusunnya. Teknologi dapat menciptakan ‘monopoli pengetahuan’ oleh kelompok dominan di dalam masyarakat, dengan kekuasaannya dapat mengucilkan kelompok-kelompok marjinal yang tidak mempunyai akses ke dalamnya, misalnya kelompok perempuan atau anak-anak. Konspirasi semacam ini sangat terbuka lebar pada
teknologi tinggi - seperti teknologi informasi, teknologi digital - yang berdasarkan pandangan Anthony Giddens (1984) selalu berbentuk ‘sistem ahli’ (expert system), yaitu sebuah sistem yang hanya dapat dipahami oleh sekelompok elit ahli – dalam banyak kasus didominasi oleh laki-laki. Menurut John Naisbit (1994:4) dalam High-Tech Hi-Touch: Technology and Our Search for Meaning, teknologi tidak hanya sekedar sarana pemenuhan fungsi utilitas tertentu, melainkan merupakan ruang tempat kita mencari ‘makna’ (meaning). Upaya untuk menciptakan politik teknologi yang demokratis dengan menempatkan teknologi dalam kerangka ‘praktek wacana’ (discourse practice), sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
Michael
Foucault
(1980)
dalam
Power/Knowledge. Menurut Foucault di dalam discourse practice harus terdapat kesaling-berkaitan antara teknologi, pengetahuan, kekuasaan dan tubuh sebagai sebuah kesatuan wacana. Kemampuan ‘teks/bahasa’ untuk membentuk realitas juga dikukuhkan oleh Norman Fairclough (1992 dalam Purbani, 1999) yang menyatakan bahwa semua ‘teks/bahasa’ memiliki power atau kuasa untuk mengkonstruksi. Hal ini juga ditegaskan baik oleh Hollindale maupun Stephens yang menyatakan bahwa “ideology is inherent within language”, dan karena ‘teks/bahasa’ memuat ideologi maka ia berpotensi membentuk subjektivitas seseorang. Demikian juga teks/bahasa yang sifatnya non verbal, dalam artian berwujud gambar-gambar atau lambang-lambang visual, juga memiliki kekuatan untuk menginstruksi kita, meskipun secara lebih samar atau diam-diam.
“the implied author is a disembodied voice or even a set of implicit norm rather than a speaker or a voice. He or has no voice, no direct means of communicating, but instructs us silently, though the design of the whole, with all the voices, by all means it has chosen to let us learn’ (Chatman dan Kress, 1996 dalam Purbani,1999). Berkaitan dengan power ‘teks/bahasa’ baik verbal (audio) maupun visual lebih lanjut juga dinyatakan oleh Christ Weedon dalam Purbani (1999) bahwa bahasa merupakan wilayah dimana ‘actual and possible form of social organization and their likely social and political consequences are defined and constested’. Bahasa merupakan wilayah di mana rasa tentang diri, subjektivitas, termasuk dalam hal ini adalah definisi tentang perempuan melek teknologi ini dibentuk. Ideologi dalam wacana iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 menggulirkan suatu definisi bagaimana perempuan melek teknologi dibentuk melalui wacana dominan beserta fantasi citra ideal dan kelas sosial yang dikonstruksi. Penulis tertarik untuk meneliti isu perempuan dan teknologi. Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 merupakan produk telepon selular diklaim sebagai teknologi yang mengusung modernitas. Perempuan sebagai bagian dari modernitas, untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dan informasi membutuhkan teknologi ponsel. Mengacu pada hal tersebut, iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 memunculkan permasalahan mengenai adanya konstruksi perempuan melek teknologi. Perbedaan teknologi pada iklan Samsung Galaxy SIII dan iklan Mito 680 tidak hanya pada konstruksi citra ideal perempuan semata, namun ada
hal lain yang kemudian muncul yakni persoalan kelas. Posisi kelas sosial juga turut andil dalam mengkonstruksi citra perempuan melek teknologi. Kehadiran teknologi mobile phone di satu sisi merupakan hal positif untuk mendukung berbagai aspek kebutuhan perempuan dalam ranah domestik, sosial, personal dan pekerjaan. Mulai dari berbisnis, hiburan hingga berbagai gaya hidup; termasuk fashion dan perempuan tidak lagi mengalami masalah dengan teknologi sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bahwa perempuan tidak menguasai teknologi atau ‘gaptek’, namun di sisi lain ada permasalahan ideologi yang secara halus ditanamkan dalam kedua iklan. Berdasarkan pada paparan di atas, maka dibutuhkan suatu keseriusan dalam memahami konstruksi wacana yang dikemas dalam sebuah iklan. Iklan hadir ke tengah masyarakat mengingat perannya menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji (Wernick, 1991:32) dan sebagai media pembentuk identitas dengan cara melekatkan nilai-nilai mana yang ideal dan tidak ideal atas subjek tertentu. iklan tidak dapat berbicara dengan bahasa yang tidak sesuai dengan konteks wacana yang sedang berkembang. Adanya tuntutan akan kebaruan, membuat iklan berada dalam ranah kontestasi; menghadirkan suatu konstruksi sekaligus melanggengkan konstruksi. Hal itulah yang menjadi pondasi pertanyaan penelitian ini, yakni bagaimana representasi perempuan melek teknologi dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. Apakah ada tawaran-tawaran baru yang diusung media, ataukah produsen kedua iklan ini hanya menghadirkan kembali wacana-wacana lama dengan memperbaharui kemasannya. Kemudian, menjadi penting untuk mengetahui intertekstualitas antara wacana dalam iklan dengan
konteks sosial, kultural, dan historis masyarakat Indonesia dalam teks-teks lain terkait isu perempuan dan teknologi. pertanyaan ini diharapkan dapat memotret isu perempuan melek teknologi tersebut di media. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas muncul permasalahan pada konstruksi perempuan melek teknologi yang diinklusikan dalam produk teknologi, maka penelitian ini akan berusaha menjawab pertanyaan mengenai 1. Bagaimana
Bagaimana
wacana
perempuan
melek
teknologi
dikonstruksi oleh iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 2. Bagaimana kelas social dikonstruksi dalam wacana perempuan melek teknologi pada iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi identitas
perempuan melek teknologi dan kelas sosial dalam iklan. Kemasan iklan yang berbeda antara Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 memiliki citraan perempuan berbeda pula yang diusung oleh keduanya. Hal tersebut diharapkan dapat memotret representasi perempuan melek teknologi dalam iklan dan melihat apakah media menawarkan suatu kebaruan atau justru mengusung hal lama dalam kemasan yang baru. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk melihat intertekstualitas antara wacana dalam kedua iklan tersebut dengan konteks sosial, kultural, historis masyarakat Indonesia. Menghadirkan intertekstualitas wacana
perempuan melek teknologi dengan konteks sosial dan historis bertujuan untuk memotret isu representasi perempuan melek teknologi di media.
1.4. Tinjauan Pustaka Penelitian pertama adalah “Young People’s Adoption and Consumption of a Cultural Commodity – iPhone” yang dilakukan oleh Hui Jiang (2011) dalam disertasinya, Jiang meneliti bagaimana remaja mengadopsi dan mengkonsumsi iPhone. Berangkat dari ketertarikan ia pada iPhone yang mempunyai simbol status sosial tertentu sehingga membedakannya dari produk-produk yang lain, dalam hal ini merupakan sebuah signifikan ‘komoditas budaya’ dari masyarakat modern. iPhone menjadi obyek yang menarik untuk diteliti, selain karena popularitasnya, namun juga dapat dianggap sebagai artefak budaya baru dan media terbaru dari budaya modern, seperti Sony Walkman yang pernah dianalisis oleh Paul du Gay (1997). Fokus utama dari studi ini adalah bagaimana pengguna iPhone memahami dan memetakan ponsel mereka dalam kaitannya dengan teknologi yang menjadi rujukan lainnya. Dari penelitian yang dilakukan Hui Jiang dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak bisa dipungkiri manusia tidak bisa terlepas dari teknologi dan iPhone muncul sebagai produk yang memposisikan dirinya sebagai distingsi. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Flis Henwood (2000) yang berjudul “From the Woman Question in Technology to the Technology Question in Feminism” menganalisis keterlibatan perempuan dalam dunia teknologi yang jamak kita ketahui bahwa teknologi didominasi atau dimiliki oleh laki-laki.
Bahwa ada hierarki gender intersection (persimpangan) atau negosiasi yang ada di mindseat perempuan sehingga perempuan merasa tidak mampu untuk menguasai teknologi dan perempuan dikonstruksi tidak menguasai sesuatu yang rumit yang membutuhkan banyak pikiran melainkan hanya sebagai pengguna atau konsumsi. Sedangkan laki-laki sebagai pencipta. Padahal sebenarnya laki-laki itu juga hanya membicarakan teknologi itu sendiri, namun mereka belum tentu menguasainya. Penelitian ketiga adalah yang dilakukan oleh Jane Vincent (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Emotional Attachment and Mobile Phones”, mengeksplor bahasan mengenai relasi sentuhan emosional dan mobile phone. Bagaimana mobile phone digunakan dalam berhubungan dengan keluarga, teman, kerabat maupun rekan bisnis di London, UK, dan Jerman dalam rentan tahun 2002 dan 2003. Mobile phone menjadi ikon dari ‘saya, handphone saya dan identitas saya’. Penelitian yang berkaitan dengan representasi perempuan di dalam iklan teknologi, seperti yang dilakukan oleh Evi Septiani Dewi (2010) berjudul “Kajian Pemaknaan Bahasa Tubuh Perempuan dalam Iklan Produk Blinken”. Penelitian ini menggunakan metode Analisis Semiotika Roland Barthes yang mencakup makna denotasi dan konotasi. Iklan Blinken dalam kemunculannya menggunakan daya tarik perempuan nudity, dimana pada narasi visualnya perempuan tersebut memakai pakaian sangat minim atau bahkan dalam keadaan tidak berpakaian, tetapi dalam hal ini masih ada elemen lain yaitu tali tambang yang dililitkan pada tubuhnya, untuk menutupi bagian tubuh yang dianggap sensitif. Iklan Blinken merupakan salah satu produk otomotif untuk cat mobil, maka dari itu Blinken
dalam tampilan iklannya pendekatan nudity bertujuan untuk mendapatkan perhatian dari konsumen khususnya pria dimana dunia otomotif merupakan “dunianya lelaki”. Dengan mengacu pada penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, belum ada yang membahas mengenai representasi perempuan di dalam kaitannya dengan wacana mengenai melek teknologi pada iklan telepon selular. Sehingga, penelitian ini akan menjadi sesuatu yang berbeda khususnya dalam memaparkan bagaimana konstruksi identitas perempuan dibangun di dalam iklan teknologi ponsel, wacana apa saja yang berkembang di sana, adakah perubahan dalam proses pembentukan wacana identitas perempuan di dalamnya, serta bagaimana pemosisian perempuan dalam status kelas sosial yang muncul dan dikonstruksi di dalam iklan teknologi. Penelitian yang akan penulis lakukan lebih menekankan pada bagaimana gender ditampilkan dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680, kemudian fantasi-fantasi kedirian perempuan melek teknologi seperti apakah yang ditawarkan dalam iklan tersebut. Karena persoalan fantasi-fantasi kedirian perempuan melek teknologi ternyata belum dikaji secara spesifik oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ini merupakan sebuah analisis teks iklan di media elektronik (televisi) yang berupaya menjawab permasalahan terkait dengan isu teknologi dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa konsep dalam penelitian
ini yakni: representasi, wacana dan ideologi iklan, gender dalam iklan, dan kelas sosial dalam iklan. 1.5.1. Representasi Dalam kajian budaya dan media, representasi merupakan konsep kunci. Representasi (Barker, 2008) didefinisikan sebagai bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Hal ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual. Ia juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Menurut Sturken dan Cartwright (2001:66), representasi tidak hanya diyakini
senantiasa
melekat
pada konstruksi tetapi
juga pada proses
pemaknaannya sebagaimana tercermin dalam penjelasan dalam bukunya Practice of Looking bahwa “representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan makna tentang dunia sekitar kita” Selanjutnya, menurut Branston dan Stafford (1996:78) representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di mana media menghadirkan kembali (represent) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya, di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi
(a construction), atau tak pernah ada ‘jendela’ realitas yang benar-benar transparan. Menurut
Norman
Fairclough
(1995:104)
dalam
sebuah
analisis
representasi terhadap isi media sebenarnya kita mencoba menentukan apa yang dicakupkan atau tidak, yang eksplisit ataupun implisit, yang menjadi foreground ataupun background, dan yang menjadi tematik atau pun tidak serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tertentu. Konsep Fairclough ini secara implisit juga menyinggung keterkaitan antara praktek representasi dengan realitas yang di representasikan oleh media. Bedanya, dalam pendapat Fairclough mengisyaratkan bahwa suatu media bisa jadi memang secara sadar hendak mengedepankan suatu realitas bentukan tertentu dan karenanya menegaskan kembali betapa representasi memang tak sekedar menyajikan cermin realitas semata, namun disebabkan adanya kontrol dari produser dalam memproduksi realitas di media sesuai dengan kepentingannya. Tanpa sadar media mengkonstruksi gagasan kita mengenai realitas. Lebih lanjut, Fairclough (1995) mengatakan bahwa representasi dalam teks media boleh dikata berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi (Burton, 2007:285). Fairclough memusatkan wacana pada bahasa. Ia menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial. Implikasi dari asumsi
tersebut, bahwa wacana adalah bentuk dari tindakan. Seseorang dalam hal ini menggunakan bahasa sebagai tindakan dan representasi ketika melihat dunia. Melalui wacana-wacana yang diangkat, media bukan hanya memaparkan apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, tetapi ia juga bisa membentuk dunia seperti yang mereka inginkan. Hal ini seperti yang ditulis oleh Norman Fairclough (1995:65), “I have suggested in this paper that the representation of discourse in news media can be seen as an ideological process of considerable social importance,... it is I believe important both for linguists to be sensitive to how discourse is shaped by and helps to shape social structure and relations,...” Salah satu cara membentuk dunia lewat wacana adalah dengan mengarahkan pemikiran audiens sesuai dengan cara pandang mereka, dengan begitu, khalayak juga akan membaca dengan cara pandang yang sama. Selain itu, wacana dalam media juga bisa membentuk kesadaran khalayak sehingga secara sadar atau tidak, khalayak akan melakukan hal yang diinginkan oleh media. Media dalam hal ini, iklan, membentuk kesadaran perempuan untuk melihat konsep melek teknologi. Para perempuan yang termasuk dalam kategori khalayak dominan, cenderung untuk menerima saja semua hal yang ditawarkan oleh iklan tersebut, kemudian menjadikannya sebagai common sense. Menyimpulkan konsepsi representasi dari penjabaraan di atas, bisa dipahami bahwa konsep representasi tidak sekedar proses penyajian kembali suatu
obyek dalam sebuah media, tetapi juga menjadi suatu positioning tertentu terhadap objek yang dicitrakan dalam suatu media. Dari beberapa konsep mengenai representasi di atas, pendekatan yang dipakai adalah yang ditawarkan oleh Norman Fairclough menjadi konsep representasi dan dianggap mampu secara komprehensif untuk melihat teks dan konteks sekaligus dalam mengkaji representasi perempuan melek teknologi pada iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. 1.5.2. Ideologi dan Wacana Iklan Wacana dibentuk oleh kuasa atau Foucault menyebutnya sebagai power. Power dapat menentukan wacana yang selanjutnya menentukan subyek dan obyek-obyek
pengetahuan.
Sebagai kuasa/pengetahuan
(power/knowledge)
wacana disebut juga sebagai pengetahuan yang diciptakan dengan menentukan subyek-subyek yang dianggap memiliki kemampuan akademis atau intelektual. Pemahaman ini dapat dicontohkan dengan bagaimana produsen teknologi menjadi subyek yang dapat menentukan trend mobile phone terbaru sebagai obyek, berikut identitas yang dilekatkan pada sebuah mobile phone yang diwacanakan melalui media. Periklanan sebagai salah satu media, menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika kita mengamati bentuk-bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visualisasi iklan terkadang jauh lebih baik dan apik dari realitasnya, atau disebut sebagai hiperrealitas. Menurut Giaccardi (1995), iklan adalah acuan. Artinya, iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan,
memproyeksikan, dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Apa yang nampak hadir dalam repetoir iklan tidak lebih sebuah ilusi belaka atau rayuan terapetis yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Iklan tidak bercerita bohong, tapi juga tidak bercerita sesuatu yang benar. Dewasa ini, iklan sudah menjadi wacana yang menyihir kesadaran orang untuk mengikuti citra yang ditawarkannya (Jefkins, 1994). Individu sudah tidak lagi sadar terhadap nilai guna suatu produk. Seseorang mengkonsumsi produk tidak pada pertimbangan terhadap nilai guna, akan tetapi pada mimpi terhadap citra seperti yang digambarkan dalam iklan. Begitu halnya pada iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 yang menawarkan suatu konstruksi citra perempuan melek teknologi yang berbeda satu dengan lainnya. Iklan sebagai sebuah wacana (Noviani, 2002:79) merupakan sistem tanda yang terstruktur menurut kode kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap, dan keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yakni makna yang dikemukakan secara eksplisit di permukaan makna dan makna implisit di balik permukaan tampilan makna. Wacana iklan cenderung ekspresif dan impresif. Sifat ekspresif dalam iklan mendorong pengungkapan pesan secara benar dan tepat hal-hal yang istimewa dari produk atau ide yang akan disampaikan. Sifat impresif dimaksudkan agar pesan yang disampaikan dapat selalu diingat oleh khalayak dan berkesan simpatik.
Sebagai model wacana, iklan (Tofler, 1987:152) merupakan sebuah model komunikasi yang khas. Wacana iklan berbeda dari wacana lisan dan tulisan. Salah satu kekhasan dalam wacana iklan yang paling menonjol adalah mencoba mengkomunikasikan citra secara maksimum dalam waktu minimum, sehingga dapat mencapai sasaran dan memberi keuntungan produsen. Lebih dari itu, seperti ditulis oleh trio Leiss, Klein dan Jally dalam karya klasiknya Social Communication in Advertising (1990), “Iklan bukan sekadar urusan pembelanjaan yang dilakukan dengan harapan menguras barang-barang dari raknya di toko, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari kultur modern. Kreasi iklan mengapropriasi dan mentransformasi pelbagai simbol dan gagasan; melampaui kekuatan komunikasi dalam mendaur-ulang model-model dan acuan budaya melalui jaringan interaksi sosial. Semua itu dirangkum dalam diskursus tentang objek yang menenun citra, pribadi, produk dan hidup sejahtera.” Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan kondisi budaya atau sosial yang ideal dan menjadikan seseorang seperti yang diinginkan. Diri seseorang dibentuk ulang atau diubah oleh periklanan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner tentang kenyataan. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek dalam masyarakat. Awalnya, barangbarang ditampilkan berdasarkan kualitas material dan fungsinya. Kemudian secara bertahap, iklan akan menciptakan ”cara” untuk membuat asosiasi dari tanda yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan dalam iklan adalah, asosiasi objek dengan sesuatu yang diinginkan atau hasrat-hasrat dari masyarakat. Oleh karena itu, iklan
sangat persuasif karena seringkali secara langsung mampu membidik hasrat-hasrat dari manusia. Williamson (1978) dalam studinya tentang periklanan menerapkan konsep ideologi yang umumnya dipahami sebagai “imaginary relationship of individual to their real condition of existence”. Menurutnya, ideologi dalam periklanan menyempurnakan
makna-makna
dan
gagasan
dari
pengalaman,
seperti
kecantikan, kebahagiaan, ilmu pengetahuan terhadap produk-produk komersial yang ditujukan untuk konsumen. Iklan berusaha untuk mempengaruhi perhatian, menciptakan hasrat, dan menstimulasi kegiatan yang berujung pada pembelian produk dan jasa seperti yang diiklankan. Iklan bukan hanya menawarkan barang, namun juga seksualitas, keindahan, kemudaan, kemodernan, kebahagiaan, kesuksesan, status, dan kemewahan (Wilson, 1989:264) yang kesemuanya ini pada dasarnya sekedar harapan, mimpi, atau khayalan. Iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah media yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji. Wernick (1991:32) melihat iklan sebagai media promosi budaya, dan iklan sebetulnya merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. Imaji menjadi mimpi yang ingin ditawarkan. Sama halnya dengan imaji, representasi perempuan melek teknologi dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 dilakukan dengan menggunakan dunia tanda dan bahasa. Penanda dan bahasa untuk mengungkap isu feminitas dan teknologi bisa dipahami dalam
kerangka berpikir ideologis dominan yang patriarki. Pada konteks ini, ideologi menjadi alat bantu kepentingan material dan budaya para penciptanya. 1.5.3. Gender dalam Iklan Para feminis menganalisa bahwa kesenjangan antara perempuan dan teknologi terjadi ketika adanya konstruksi culture/nature (budaya/alam), di mana laki-laki dianggap masuk dalam kategori culture sedangkan perempuan masuk dalam kategori nature. Oleh karena itu, sejak awal laki-laki lebih dekat dengan teknologi daripada perempuan. Laki-laki dikatakan sebagai makhluk yang “melahirkan” teknologi sedangkan perempuan adalah makhluk melahirkan anak saja. Pendikotomian pemikiran ini jelas mempengaruhi perkembangan teknologi selanjutnya. Itu sebabnya, awal-awal perkembangan teknologi sarat dengan identifikasi gender yang melekat. Misalnya saja mobil, senapan, peralatan bangunan (ace hardware) semua ini identik dengan laki-laki. Sedangkan perempuan
dianggap “cocok” dengan alat setrika, mesin jahit, kompor, dan
lainnya yang sejenis. Perempuan sering dilekatkan pada posisi inferior dan peran-peran sekunder (secondary creation) dalam berbagai segi kehidupan dibanding dengan kaum laki-laki. Kemudian, nilai-nilai dan kualitas-kualitas feminin diidentikkan dengan sifat kasih sayang, cinta, kelembutan, pengasuh, dan sebagainya. Paradigma ini melahirkan suatu gerakan feminis yang dikenal dengan ecofeminisme. Eco-feminisme memandang alam atau kosmos yang disebut bumi pertiwi (mother nature) adalah sumber segala sesuatu. Berangkat dari adanya
gerakan tersebut, kaum perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis. Menurut seorang ekofeminis, Karen J.Warren (1983) hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku, yang menggunakan kerangka kerja patriarki, di mana ada justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Berangkat dari adanya pemahaman bahwa perempuan dikonstruksi sebagai individu yang melahirkan sifat-sifat yang dimiliki alam, menjadi suatu masalah ketika isu tersebut diadopsi di dalam wacana iklan. Joan W. Scott (1986) dalam penelitiannya yang berjudul “Gender: A Useful Category of Historical Analysis” menyatakan bahwa gender merupakan sebuah cara untuk mengukuhkan konstruksi sosial mengenai pembagian peran yang dianggap sudah semestinya karena berbedanya jenis kelamin. Gender, seperti juga kelas sosial dan ras menjadi sebuah sistem baku untuk melakukan pembedaan dalam konteks kekuasaan. Konsep gender terkait pada relasi kekuasaan, sehingga gender merupakan sebuah konstruksi yang menjadi alamiah dalam konteks relasi kuasa dan dengan demikian menjadi sebuah ideologi. Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, budaya gender dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol keanggunan, kelembutan, kelincahan, keibuan, kemanjaan, dan lain-lain. Iklan berupaya merepresentasikan kenyataan hidup dalam masyarakat melalui tanda-tanda tertentu, sehingga mampu menghidupkan impresi dalam bentuk konsumen bahwa
citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya; meskipun yang terjadi hanya ilusi belaka. Posisi perempuan dalam suatu media sering ditampilkan sebagai erotic object dalam dua level (Mulvey, 1975). Pertama, perempuan adalah erotic object di dalam narasi media, di mana karakter perempuan yang dihadirkan oleh narasi tersebut ditransformasikan sebagai obyek hasrat dari karakter atau tokoh laki-laki. Kedua, perempuan adalah obyek erotik bagi spectator atau penonton. Laura Mulvey (1992:347) menjelaskan bagaimana citra perempuan ditampilkan dalam film-film mainstream yang mengkondisikan kamera sebagai cara pandang lakilaki dan ideologi patriarkinya: “In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active male and passive female. The determining male gaze projects its phantasy on to the female figure which is styled accordingly.” Kenikmatan menonton, telah memposisikan perempuan sebagai yang ditonton (pasif) dan laki-laki sebagai yang menonton (aktif). Determinasi cara pandang laki-laki dengan fantasinya diproyeksikan melalui figur perempuan (dilayar) yang telah diatur sedemikian rupa. Selanjutnya, Mulvey (1990) memperkenalkan konsep male gaze dalam sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai subyek yang punya kuasa atas dirinya sendiri (self-possessiveness) melainkan sebagai object of male gaze.
Pemosisian gender yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak terlepas dari konsep identitas. Sehubungan dengan identitas, Giddens (1991) mendefinisikan dunia modern sebagai “dunia refleksi yang meluas hingga ke inti diri... kedirian menjadi sebuah proyek refleksif”. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah dan dibentuk, tanggung jawab individu bukan hanya pada menciptakan dan memelihara kedirian tetapi mencakup semua hal. Diri juga merupakan produk eksplorasi dan produk hubungan sosial intim. Dalam hidup modern, tubuh ditarik organisasi refleksi kehidupan sosial. Identitas merupakan bagian dari konsepsi tentang siapa “saya”, bagaimana “saya” melihat diri sendiri dan bagaimana “orang lain” melihat “saya”, karena itu identitas sudah melibatkan orang lain untuk melihat. Kathryn Woodward (1997:15) mengatakan bahwa, identitas akan dapat selalu berubah dari waktu ke waktu yang melibatkan lingkungan maupun konteks sosial. Sebagai produk sistem penandaan atau representasi, identitas dikonstruksi secara sosial (socially constructed). Lebih lanjut Woodward (1997) mengatakan bahwa, kekuasaan dapat sangat menentukan identitas apa yang dianggap included dan excluded. Wacana juga dapat berarti kekuasaan yang menciptakan, membentuk, dan menentukan konstruksi sosial tentang apa yang disebut identitas ideal. Identitas juga tidak hanya yang mengenai individu namun praktek interaksi, termasuk cara menggunakan bahasa pada sebuah konteks. Merujuk pada Fina, Schiffrin dan Bambang
(2006:22)
menjelaskan
bagaimana
identitas
diproduksi
dan
direproduksi, disketsakan dan didesain, dan sering juga dikonstruksi berupa ‘self’
dan ‘other’ melalui bahasa maupun media lain yang juga hadir karena interaksi sosial sehingga disebut wacana. Ernesto Laclau (dikutip dalam Du Gay, 1997:289) mengemukakan bahwa identitas selalu ‘tergantung pada apa yang berada di luar dirinya, yang menyangkali sekaligus memberinya kemungkinan untuk mengada’. Contohnya, buruh industri modern bukanlah seorang individu yang universal dan bebas gender melainkan seorang laki-laki pencari nafkah yang memiliki seorang istri yang tergantung kepadanya untuk mengurusi kebutuhannya sehari-hari, anaknya dan rumah tangganya. Oleh karenanya, identitas buruh industri modern itu sebagian besar dibangun di atas kekuasaan dan status yang diberikan kepada lakilaki dan suami, serta konstruksi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang secara ekonomi hidup dalam ketergantungan pada suami dan diberi peran domestik di rumah. Artinya, identitas publik yang stabil buruh industri modern didirikan di atas positioning perempuan sebagai “yang liyan” pada wilayah domestic (dikutip dalam Manneke Budiman, 2003). Iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 memberikan tawaran identitas tersendiri perempuan melek teknologi. Masing-masing dari kedua iklan memotret isu gender dalam representasi yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis akan mengkaji permasalahan tawaran identitas perempuan pada masing-masing iklan. 1.5.4. Kelas Sosial dalam Iklan Pada masyarakat modern terdapat dua sistem hierarkisasi yang berbeda. Pertama adalah sistem ekonomi, di mana posisi dan kuasa ditentukan oleh oleh
uang dan harta – modal yang dimiliki seseorang. Sistem kedua adalah budaya atau simbolik, status seseorang ditentukan dari seberapa banyak ‘modal simbolik’ atau modal budaya yang ia miliki. Budaya juga merupakan sumber dominasi, di mana para intelektual memegang peranan kunci sebagai spesialis produksi budaya dan pencipta kuasa simbolik. Kelas sosial tidak didefinisikan sebagai sebuah barang milik...tidak pula didefinisikan oleh sekumpulan barang milik...bahkan tidak pula oleh serangkaian barang-barang milik...melainkan oleh struktur hubungan di antara semua barang milik bersangkutan yang memberikan nilai spesifiknya kepada masing-masing mereka dan kepada dampak-dampak yang mereka desakkan pada praktik-praktik (Bourdieu,1984:106). Gagasan Bourdieu mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki posisi ruang sosial yang multi dimensional, ia tidak dikategorikan oleh keanggotaan dalam kelas sosial, tetapi dengan setiap jenis modal yang dia peroleh melalui hubungan sosial. Modal yang dimaksud termasuk nilai dan jaringan sosial, yang ditunjukkan Bourdieu bahwa ia dapat digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi ketidakseimbangan. Modal kemudian mempengaruhi selera (taste), di mana taste adalah petanda (signified) dari kelas sosial. Taste erat kaitannya dengan uang. Dengan demikian, uang menjadi salah satu indikator dalam kelas sosial. Bourdieu menjelaskan modal sebagai “kerja yang terakumulasi (dalam bentuk terbendakan atau menubuh) jika dimiliki secara privat (eksklusif) oleh
agen atau sekelompok agen, memungkinkan mereka memiliki energi sosial dalam bentuk kerja yang direifikasi maupun gaya hidup” (Bourdieu 1986:241) atau dengan kata lain “sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan” (Bourdieu 1996:114). Modal yang dimiliki seseorang akan menentukan posisinya dalam struktur ranah dan juga kekuasaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, modal adalah “prinsip differensiasi” dan “prinsip hierarkisasi” yang berlaku dalam setiap ranah (Bourdieu 1995a: 245). Secara umum, Bourdieu membedakan empat jenis modal yakni economic capital, cultural capital, social capital, dan symbolic capital. Economic capital (modal ekonomi) adalah modal yang secara langsung bisa dikonversi dalam bentuk uang dan bisa diobjektifkan dalam bentuk hak milik. Modal ekonomi merupakan jenis modal yang relatif paling independen. Jika modal lain lebih terikat pada ranah tertentu, modal ekonomi lebih leluasa ditransfer antar ranah, juga paling mudah diwariskan pada orang lain (Bourdieu 1986:243). Cultural capital (modal budaya) berakar pada penjelasan mengenai kuasa, modal dan posisi: “In analytic term, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present or potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possesion commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as
by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, ect.)” (Bourdieu and Loic J.D. Wacquant, 1992). Modal budaya adalah sebuah hubungan sosial di dalam suatu sistem pertukaran makna-makna termasuk di dalamnya akumulasi pengetahuan dan estetika yang dikonversikan dengan kuasa dan status. Modal budaya dapat diklasifikasikan dan dibedakan (distinction) berdasarkan garis kuasa yang berakar pada pemilikan modal. Pendidikan misalnya adalah refleksi dari modal budaya, bukan karena dengan pendidikan orang bisa mencari kerja, akan tetapi pendidikan mencerminkan kuasa dalam kelas-kelas sosial. Perbedaan, strata dalam pendidikan merefleksikan strata kelas sosial (Barker,2004:37). Menurut Bourdieu (1986), modal sosial (social capital) adalah: “the aggregate of the actual or potential resources which linked to possesion of durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquintance and recognition...which provides each of its members with the backing of the collectivity-owned capital, a ‘credential’ which entitles them to credit in the various senses of the world”. Maksudnya di sini adalah modal sosial merupakan hal yang bersumber dari adanya perbedaan potensi-potensi dari sumber daya yang terikat dengan kepemilikan terhadap jaringan yang ada. Hubungan ini kemudian dilembagakan kepada anggotanya dengan tujuan untuk saling mengenalkan baik itu sumber daya, jaringan, modal yang dimiliki oleh jaringan agar dapat diakui keberadaannya. Modal yang terakhir yakni, modal simbolik (symbolic capital).
Bourdieu melihat modal simbolik sebagai sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal dipandang melalui skema klasifikasi yang ditanamkan secara sosial. Meski berbeda, keempat bentuk modal ini bisa saling dikonversikan dan diwariskan pada orang lain dengan nilai tukar dan tingkat kesulitan
yang
berbeda.
Masing-masing
jenis
modal
ini didapat
dan
diakumulasikan dengan saling diinvestasikan dalam bentuk-bentuk modal lain (Boudieu 1986:243). Berada dalam posisi kelas sosial tertentu di dalam tatanan sosial masyarakat, mereka mendapat pengakuan atas diri dan identitas mereka. Impian untuk mencapai kelas atas inilah yang banyak dijual sebagai mimpi oleh pengiklan dan produsen, tak terkecuali pada iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. Kedua iklan memberikan tawaran identitas perempuan melek teknologi dan posisi kelas sosial yang berbeda-beda. 1.6.Metode Penelitian 1.6.1. Korpus Penelitian Kajian ini bukan merupakan studi holistik tentang wacana perempuan melek teknologi, namun merupakan studi kasus. Penelitian ini hanya dibatasi pada dua iklan yang menampilkan perempuan dalam beragam penyajian. Iklan pertama, Samsung Galaxy SIII dipilih karena Samsung merupakan salah satu produsen teknologi terbesar yang hadir di Indonesia dengan mengusung teknologi didesain untuk ramah terhadap manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian latar belakang. Iklan kedua, Mito 680 dipilih karena sosok perempuan ditampilkan
dalam konsep modern, fashionable, glamorous dan gaya hidup sosialita. Untuk lebih mempertajam analisis, penelitian ini akan memotret bagaimana pemosisian perempuan melek teknologi dalam kelas sosial berdasarkan analisis representasi di dalam wacana kedua iklan. 1.6.2. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan jenis dan sumber data penelitian, jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan menentukan iklan yang akan dianalisis dan memilah-milah elemen yang terkait dengan wacana perempuan melek teknologi. Elemen-elemen tersebut terdiri atas elemen naratif tekstual iklan dan elemen audio visual. Untuk menghadirkan wacana intertekstualitas, peneliti juga mengaitkannya dengan konteks sosial di Indonesia yang memungkinkan sebuah proyeksi lebih meluas tentang bagaimana wacana perempuan melek teknologi dipandang dan disikapi oleh masyarakat. 1.6.3. Metode Analisis Data Peneliti melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan metode Critical Discourse Analysis. Analisis wacana dalam studi linguistik berfokus pada kata, frase yang digunakan dalam kalimat-kalimat. Sedangkan analisis wacana kritis menurut Teun A. Van djik, Faiclough (1995:60) dan Wodak yakni tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Analisis Wacana Kritis merupakan sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang
dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecendrungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari adanya kepentingan. Bahasa yang dianalisis bukan menggambarkan aspek bahasa saja, melainkan juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks dalam hal ini berarti bahasa dipakai untuk tujuan tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. (Darma, 2009: 49-51) Penelitian ini akan menggunakan analisis wacana kritis gagasan Norman Fairclough (1995:56) yang menyebutkan: “A discourse is the language used in representing a given social practice from a particular point of view”. Titik perhatian analisis ini terletak pada bagaimana iklan menawarkan suatu wacana perempuan melek teknologi melalui representasi elemen tekstual dan visual dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680. Setelah menentukan citra visual dan tekstual yang terkait dan melakukan pengamatan, peneliti menganalisis teks berdasarkan konteks produksi teks tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara menganalisis tekstual dan visual iklan dengan menggunakan konsep Norman Fairclough yang akan terbagi menjadi tiga tahapan, yakni: teks, praktik wacana dan praktik sosiokultural. Dimensi teks berisi mengenai bagaimana bahasa digunakan dalam kalimat untuk menyatakan gagasan oleh media yang memproduksi teks. Jalinan antar kata baik pilihan kata maupun frase yang digunakan oleh produsen suatu produk dapat dianalisis sebagai bagian dari “kekuasaan” ketika memproduksi gagasan. Dengan
memahami makna bahasa akan didapatkan bagaimana gender, identitas dan kelas sosial dibentuk dalam iklan. Deskripsi teks visual juga penulis lihat sebagai bagian dari bahasa iklan dalam mewacanakan ide-idenya. Sehingga yang dimaksud bahasa di sini tidak hanya teks kalimat namun teks visual yang menyertainya. Kedua, praktik wacana adalah ketika aspek produksi dan konsumsi teks dilakukan secara bersamaan. Seperti yang dituliskan Fairclough (1995:59), “The discourse practice dimension of the communicative event involves various aspects of the processes of text production dan text consumption”. Maksudnya di sini adalah ketika sebuah teks baik tulisan maupun visual (gambar) ditampilkan dalam sebuah media, maka akan terlihat tujuan mengapa teks tersebut dipilih untuk ditampilkan. Begitu pula dengan teks-teks yang muncul bersamaan di dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 akan berelasi dengan
wacana
tertentu
yang
ingin
dihadirkan
atau
disebut
sebagai
intertekstualitas. Intertekstualitas adalah proses yang ingin melihat bagaimana hubungan teks dengan kode-kode sosial ikut serta menjadi penyebab teks tersebut hadir. Elemen ketiga yaitu praktik sosiokultural melihat bagaimana teks dibuat berdasarkan konteks masyarakat dan budaya di mana teks tersebut dibuat dan dikonsumsi. Tahapan terakhir ini memberikan jawaban dan penjelasan mengapa sampai bahasa atau pilihan kata tertentu dipilih, kemudian makna yang muncul menghadirkan konsekuensi atas interpretasi teks seperti apa. Tahap ketiga ini akan
memunculkan analisis yang dapat melihat ideologi apa yang terdapat dalam iklan Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 terkait isu perempuan dan teknologi. Dengan menyatukan ketiga tahapan tersebut, maka penulis akan melihat secara komprehensif bagaimana teks yang terdapat dalam iklan mobile phone Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 diproduksi. Penelitian ini diharapkan mampu mengupas permasalahan identitas dan kelas sosial yang ditampilkan dalam wacana iklan. Melalui bahasa dan praktik wacana dapat dilihat bagaimana konstruksi perempuan melek teknologi melalui produk Samsung Galaxy SIII dan Mito 680 muncul pada khalayak. Dengan demikian, kedua iklan akan diamati untuk memotret isu wacana perempuan melek teknologi yang hadir dalam media. 1.6.4. Struktur Penelitian Penulisan penelitian akan terstruktur ke dalam lima bab. Bab I memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. Bab II menjabarkan isu realitas perempuan melek teknologi yang diwacanakan dalam bingkai media. Bab III memuat analisis elemen dua video iklan teknologi pada produk ponsel Samsung Galaxy SIII dan Mito 680, yakni dengan menggunakan konsep analisis wacana kritis gagasan Fairclough dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana representasi wacana perempuan melek teknologi yang dimunculkan dalam iklan. Selanjutnya, bab ini juga akan menganalisis intertekstualitas wacana perempuan melek teknologi dengan konteks sosial teks-teks lain yang memberikan gambaran lebih jelas dan bagaimana media iklan sebagai arena pemaknaan dan konstruksi
terhadap definisi perempuan melek teknologi beserta kelas sosial yang dikonstruksi. Bab IV akan menjelaskan ideologi-ideologi apa saja yang terkandung dalam kedua iklan. Terakhir, Bab V merupakan kesimpulan dan temuan yang didasarkan atas serangkaian analisis penelitian.