BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rumah
sakit
adalah
institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit diakui merupakan institusi yang sangat kompleks dan berisiko tinggi (high risk), terlebih dalam kondisi lingkungan regional dan global yang sangat dinamis perubahannya. Direktur rumah sakit bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien sesuai dengan pasal 13 ayat 3 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
1
2
Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia, teregister dan diberi kewenangan untuk melaksanakan praktik keperawatan sesuai dengan peraturan perundangundangan (Permenkes, 2010). Sebagaimana disebutkan dalam pasal 63 ayat 4 UU No. 36 th 2009 tentang Kesehatan bahwa pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Oleh sebab itu perawat juga mempunyai kewenangan tersendiri dalam menjalankan asuhan keperawatannya. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatannya dituntut untuk memahami dan berperilaku sesuai dengan etika keperawatan. Agar seorang perawat dapat bertanggung jawab dan bertanggung gugat maka ia harus memegang teguh nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri (CNA, 2001 dalam Potter & Perry, 2005). Rumah sakit harus mengatur seluruh pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sedemikian rupa agar aman bagi pasien. Untuk itu rumah sakit perlu menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik untuk melindungi pasien. Kemampuan yang harus dimiliki perawat yang mendapat pengakuan keahlian yaitu kognitif, psikomotor, afektif, komunikasi, kepemimpinan, enterpreneur, pengambilan keputusan dan berani mengambil resiko.
3
Dalam model tersebut setiap tenaga kesehatan termasuk perawat dikendalikan dengan mengatur kewenangan klinisnya (clinical privilege) untuk melakukan pelayanan kesehatan. Hanya tenaga kesehatan yang memenuhi syarat-syarat kompetensi dan perilaku tertentu sajalah yang boleh melakukan pelayanan kesehatan. Pengaturan kewenangan klinis tersebut dilakukan dengan mekanisme pemberian izin untuk melakukan pelayanan medis (entering to the profession), kewajiban memenuhi syarat-syarat kompetensi dan perilaku tertentu untuk mempertahankan kewenangan klinis tersebut (maintaining professionalism) dan pencabutan izin (expelling from the profession). Berdasarkan rancangan Permenkes tentang komite keperawatan rumah sakit, kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga keperawatan adalah kewenangan yang diberikan oleh kepala rumah sakit kepada tenaga keperawatan untuk melakukan asuhan keperawatan atau asuhan kebidanan dalam lingkungan rumah sakit untuk suatu periode tertentu yang dilaksanakan berdasarkan
penugasan
klinis.
Penugasan
klinis
adalah
penugasan
kepala/direktur rumah sakit kepada tenaga keperawatan untuk melakukan asuhan keperawatan atau asuhan kebidanan di rumah sakit tersebut berdasarkan daftar kewenangan klinis yang telah ditetapkan baginya. Dengan diaturnya kewenangan klinis tersebut maka setiap perawat akan mempunyai batas yang jelas dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Pemberian kewenangan klinis juga bertujuan untuk melindungi keselamatan pasien dengan menjamin bahwa tenaga keperawatan
4
yang memberikan asuhan keperawatan dan kebidanan memiliki kompetensi dan kewenangan klinis yang jelas (Permenkes, 2011). Pemberian kewenangan klinis (clinical privilege) kepada seorang perawat dilakukan dengan melakukan suatu proses yang disebut kredensial. Kelemahan rumah sakit dalam menjalankan fungsi kredensial akan menimbulkan tanggung jawab hukum bagi rumah sakit dalam hal terjadi kecelakaan pelayanan kesehatan. Rumah sakit wajib mengetahui dan menjaga keamanan setiap pelayanan kesehatan yang dilakukan dalam lingkungannya demi keselamatan semua pasien yang dilayaninya sebagai bagian dari the duty of due care. Kewenangan klinis (clinical privilege) seorang perawat dapat saja dicabut
sehingga
tidak
diperkenankan
untuk
melakukan
pelayanan
keperawatan tertentu di lingkungan rumah sakit tersebut. Pencabutan kewenangan klinis (clinical privilege) tersebut dilakukan melalui prosedur tertentu yang melibatkan komite keperawatan. Pertumbuhan tenaga keperawatan di rumah sakit masih belum optimal, karena kurangnya komitmen terhadap pertumbuhan profesi, kurangnya keinginan belajar terus menerus dan pengembangan diri belum menjadi perhatian utama bagi individu tenaga keperawatan dan rumah sakit. Tenaga keperawatan di rumah sakit cenderung melakukan tugas rutin dalam memberikan pelayanan keperawatan. Hal ini digambarkan dengan berbagai kondisi antara lain : tidak jelasnya uraian tugas dan cenderung melakukan tugas rutin, selalu mengalami
5
konflik dan frustasi karena berbagai masalah etik dan disiplin tidak diselesaikan dengan baik, jarang dilakukan pembinaan etika profesi. Tenaga keperawatan juga memiliki motivasi yang rendah serta kesempatan yang terbatas untuk meningkatkan kemampuan profesinya melalui kegiatan kegiatan audit keperawatan serta kegiatan pendidikan berkelanjutan. Begitu pula dalam hal kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga keperawatan yang masih belum mempunyai aturan serta batas – batas yang jelas. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis dengan memberikan kuesioner kepada 30 orang perawat di BRSU Tabanan ditemukan bahwa 60 % perawat di rumah sakit tersebut belum mengetahui tentang kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga perawat. Perawat belum mengetahui dengan jelas batas-batas tindakan yang dapat dilakukannya dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Selain itu, penetapan kewenangan klinis perawat yang disusun untuk memenuhi kebutuhan akreditasi rumah sakit juga baru dilaksanakan sejak tahun 2012 sehingga dirasa penerapannya saat ini belum optimal. Hal tersebut tentunya akan dapat menimbulkan konflik di antara tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan lain dapat merasa bahwa lahan pekerjaan yang dimilikinya dicampuri atau diambil alih oleh pihak lain. Konflik yang timbul tentunya akan mempengaruhi kualitas pelayanan dari perawat dan rumah sakit yang bersangkutan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dan untuk mendapatkan data yang lebih obyektif mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi
6
penerapan kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga perawat, maka penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Komunikasi, Sumber Daya, Sikap dan Struktur Birokrasi Terhadap Penerapan Clinical Privilege Perawat di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Gawat Darurat BRSU Tabanan”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat diuraikan masalah sebagai berikut, “Bagaimana hubungan komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi terhadap penerapan clinical privilege perawat di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Gawat Darurat BRSU Tabanan?”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan clinical privilege perawat di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Gawat Darurat BRSU Tabanan.
1.3.2
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : a.
Mengetahui karakteristik responden penelitian.
7
b.
Menganalisis hubungan komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi terhadap penerapan clinical privilege perawat.
c.
Mengetahui faktor yang paling signifikan pengaruhnya terhadap penerapan clinical privilege perawat.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1
Praktis a. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai faktor – faktor yang memperngaruhi penerapan clinical privilege perawat di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Gawat Darurat BRSU Tabanan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan di rumah sakit.
1.4.2
Teoritis a. Manfaat Bagi IPTEK Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan
penelitian
lebih
lanjut
tentang
pentingnya
penerapan clinical privilege perawat yang baik sehingga akan meningkatkan kinerja dari perawat itu sendiri. b. Manfaat Bagi Profesi Keperawatan
8
Dapat digunakan bagi profesi keperawatan untuk mengembangkan dan menambah wawasan mengenai penerapan kewenangan klinis (clinical
privilege)
sehingga
tenaga
keperawatan
dapat
menjalankan kewenangan klinis yang diberikan kepadanya dengan baik yang akan meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien.