1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Desain kemasan adalah suatu media yang mengalami perkembangan baik secara teknologi, material, bentuk dan produksi. Konsumen yang berubah dan semakin dijejali oleh berbagai komoditas membuat masyarakat mulai selektif dalam memilih produk, mendorong kebutuhan agar desain kemasan mudah dikenali. Hal ini mengakibatkan perlunya peningkatan fungsi kemasan yang awalnya hanya membungkus, melindungi, menyimpan, dan mengirimkan, menjadi berfungsi membedakan produk di pasar, memberi identitas sampai menjual produk itu sendiri (Klimchuck dan Krasovec, 2007; Roth, 1990; Wirya, 1999). Masyarakat cenderung memilih produk bukan hanya karena isinya tetapi karena desain kemasannya. Kemasan juga dipahami sebagai ujung tombak penjualan (pemasaran) atau seringkali disebut sebagai “the silent sales-man/girl’ karena mewakili ketidakhadiran pelayan dalam menunjukkan kualitas produk. Untuk itu kemasan harus mampu menyampaikan pesan lewat komunikasi informatif, seperti halnya komunikasi antara penjual dengan pembeli. Bahkan para pakar pemasaran menyebut desain kemasan sebagai pesona produk (the product charm), sebab kemasan memang berada di tingkat akhir suatu proses alur produksi yang tidak saja untuk memikat mata (eye-catching) tetapi juga untuk memikat pemakaian (usage attractiveness) (Kertajaya, 1996). Pada akhirnya desain kemasan berlaku sebagai pemasaran produk dengan mengomunikasikan kepribadian atau fungsi produk konsumsi secara unik. Sejalan dengan hal itu
2
peran desain grafis semakin penting. Desain kemasan menjadi sarana untuk mengomunikasikan isi produk secara visual (Klimchuck dan Krasovec, 2007:1). Ditegaskan oleh Yasraf Amir Piliang bahwa untuk tetap ada (eksis) sebagai sebuah cara kerja, desain harus terus-menerus mencari kebaruan dan perbedaan-perbedaan. Desain harus berbeda dari desain-desain lainnya di dalam ruang, tetapi sekaligus ia harus berbeda dari dirinya sendiri di dalam waktu (Piliang, 2008: 383-385). Nilai-nilai yang berlaku dan dianut selalu bergeser, tidak pernah menjadi sesuatu yang baku. Sesuatu yang dianggap berharga pada suatu masa, bisa saja dinilai tidak berharga sama sekali di masa lain. Demikian juga dengan kualitas ‘karya’ desain, baik berupa produk artefak maupun karya murni. Adanya pergeseran terhadap nilai inilah yang menyebabkan setiap produk atau karya desain perlu senantiasa didesain ulang (redesign) (Masri, 2010: 4). Menurut Danger tak satupun desain kemasan bertahan terus-menerus, dan kemasan yang paling menjual memperoleh keuntungan dari perubahan gradual yang akan membuatnya mutakhir. Kemasan yang suatu ketika kelihatan segar dan menarik bisa menjadi pudar, dan terlihat sedikit ketinggalan mungkin bukan sesuatu yang jelek, tetapi citra usang bisa mematikan penjualan (Danger, 1992: 35). Ternyata di antara berbagai desain kemasan yang berkembang, terdapat suatu produk yang tidak mengalami perubahan yang signifikan khususnya aspek visual pada desain kemasannya pada jangka waktu yang cukup lama, yaitu produk jamu1 khususnya yang berbentuk bubuk/serbuk. Padahal menurut Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (GPJI) Charles Saerang kemasan jamu 1
Secara singkat definisi jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dibuat dari bahan alam sepeti akarakaran atau daun-daunan dan sebagainya yang dipercaya berkhasiat berdasarkan pengalaman (Kompas.com, 2011; Badan POM, 2012; KBBI, 2012).
3
tradisional masih membutuhkan banyak kreativitas agar tampil lebih menarik dan sesuai dengan selera masa kini, sehingga mampu menembus pangsa pasar baru yang masih terbuka lebar (Noeltrg, 2012). Jenis bubuk/serbuk ini adalah jamu yang dapat dikatakan masih tradisional dalam pengolahannya karena harus diseduh atau diracik terlebih dahulu sebelum dikonsumsi dan belum tergolong produk instan. Produk ini dapat dikatakan sebagai awal mula jamu diproduksi secara massal oleh industri dan dikemas. Secara visual, desain kemasan jamu bubuk/serbuk ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Produk jamu bubuk/serbuk tersebut diproduksi oleh pabrik besar seperti Air Mancur, Sido Muncul, Nyonya Meneer, Jamu Jago dan Jamu Iboe. Kelima produsen jamu tersebut dapat dikatakan sebagai pionir industri jamu yang masih eksis sampai saat ini dan telah diwariskan sampai tiga atau empat generasi. 2 Selain itu kelima produsen jamu tersebut adalah pemimpin merek jamu yang dapat dikatakan memiliki modal untuk meredesain kemasan jamu khususnya yang berbentuk bubuk/serbuk, tetapi hal tersebut seolah tidak mereka lakukan. Padahal pencapaian tujuan strategis dan target pemasaran secara kreatif melalui solusi desain yang tepat adalah fungsi utama desain kemasan, tetapi desain kemasan jamu ini tidak mengakomodir teori-teori mutakhir tentang kajian ilmu desain dan pemasaran pada umumnya. Selain berlawanan dengan konsep desain dan pemasaran, di mana seharusnya dalam pasar baru yang kompetitif seperti sekarang ini desain kemasan bertanggung jawab sebagai sarana promosi sebuah merek dan memposisikan produk secara menonjol di rak ritel (Klimchuck dan Krasovec,
2
Sebagian besar perusahaan jamu di Indonesia merupakan perusahaan keluarga yang saat ini sudah mencapai generasi ketiga dan beberapa sudah melibatkan generasi keempat (Susanto, 2006).
4
2007: 22), desain kemasan jamu justru tidak mengalami perubahan signifikan, khususnya karena memakai imajinya dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya perubahan signifikan pada desain kemasan jamu dari sudut pandang teori desain juga dapat dijelaskan bahwa pengemasan mungkin tidak membutuhkan revolusi, tetapi evolusi mungkin malah menguntungkan. Pemimpin merek tua tidak pernah mati, mereka sekedar membutuhkan pengemasan ulang, tetapi tidak boleh menimbulkan kesan bahwa produk telah berubah (kecuali bila produk tersebut memang diubah, atau menggunakan formula baru, dan sebuah kemasan akan menolong menciptakan citra baru). Perombakan yang drastis bisa menjauhkan loyalitas konsumen pada merek, dan memberi konsumen kesan bahwa perubahan radikal bisa membahayakan citra merek secara keseluruhan (Danger, 1992: 35). Sebuah kemasan baru bisa menarik para pelanggan baru, tetapi bagian penting yang masih tersisa sebagaimana tadinya, akan menolong mempertahankan loyalitas para pelanggan lama (Danger, 1992: 36). Peneliti meyakini bahwa persoalan revolusi maupun evolusi desain kemasan juga tidak hanya berhubungan dengan persoalan desain dan pemasaran. Revolusi maupun evolusi tidak terjadi begitu saja tetapi tergantung pada konteksnya, produsen tidak hanya berhubungan dengan konsumen. Dalam dekade pertama abad ke-21, pemahaman masyarakat terhadap desain, bukan lagi sekedar barang fungsional (form follows function) atau sebagai alat pemasaran tetapi telah lebih jauh melampaui cita-cita para tokoh desain modern abad ke-20. Pandanganpandangan bahwa desain adalah wujud sistem nilai yang teraga secara visual yang memiliki aspek kemanfaatan dan mampu meningkatkan kualitas hidup
5
masyarakatnya kini telah mengalami pergeseran menjadi sistem politik ideologi dan wacana kebudayaan baru, terutama sejak perannya semakin meluas dan bermakna (form follows meaning) (Sachari, 2007: 4). Maka peneliti melihat bahwa desain kemasan jamu ini ingin menandakan sesuatu yang tidak ingin ditinggalkan begitu saja, seolah-olah ingin mengomunikasikan produk jamu tersebut dengan caranya. Salah satu cara mengomunikasikan produk jamu adalah melalui aspek visual desain kemasannya. Menarik untuk mengkaji aspek visual mengingat aspek visual adalah aspek pertama yang berhubungan dengan manusia ketika ia harus berinteraksi dengan sebuah produk pakai, baik dalam waktu sekejap ataupun relatif lama (Masri, 2010: 2). Berbicara tentang aspek visual desain kemasan, tentunya tidak dapat dilepaskan dengan produk jamu yang dikemasnya. Terdapat berbagai macam jenis jamu yang beredar di masyarakat sampai saat ini. Di dalam primbon Sarat disebutkan ada empat penggolongan jamu berdasar kegunaan antara lain: jalu usada, wanita usada, rarya usada, dan triguna usada. Jalu usada adalah jamu untuk kesehatan dan keperkasaan pria, di dalamnya termasuk ramuan afrodisiak. 3 Wanita usada digunakan untuk merawat kesehatan dan kecantikan wanita (kesehatan reproduksi, kecantikan, dan perawatan pasca melahirkan). Rarya usada adalah jamu untuk anak-anak meliputi ramuan untuk menanggulangi cacingan, batuk, diare. Terakhir adalah triguna usada, jamu untuk semua kalangan, meliputi penyakit-penyakit yang umum diderita orang seperti pusing, batuk, flu, atau muntaber (Trubus, Juni 2010: 6). Peneliti melihat adanya karakteristik yang
3
Afrodisiak adalah zat kimia yg digunakan untuk merangsang daya seksual atau obat perangsang kegiatan seksual (KBBI, 2012).
6
berbeda dari keempat jenis jamu tersebut khususnya yang berhubungan dengan aspek visual. penelitian,
Oleh karena itu peneliti memilih wanita usada sebagai objek
karena varian jamu untuk wanita jauh lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan yang lain. Diharapkan peneliti dapat mengungkap aspek visual secara lebih bervariasi. Produksi jamu Nyonya Meneer hampir 70%-nya diperuntukkan bagi wanita dan sisanya mengisi pasar lelaki dan anak-anak (Sumardono, dkk., 2002: 126). Peneliti melakukan perhitungan dan perbandingan produksi jamu berbentuk bubuk khusus pria dan wanita dan ditemukan bahwa: jamu Air Mancur memproduksi 5 varian jamu untuk pria (Kuat Manjun, Sehat Lelaki, Kolosom, Becak, Benkwat) dan 14 jamu khusus wanita. Jamu Sido Muncul memproduksi 6 jamu untuk pria (Kuku Bima, Kuku Bima Ginseng, Pa’ Tani Kuat, Perokok, Pria Perkasa, Sehat Pria) dan 21 jamu khusus wanita. Jamu Nyonya Meneer memproduksi 3 jamu untuk pria (Pria Sehat, Bina Tenaga, Langsing) dan 25 untuk wanita. Jamu Iboe memproduksi 2 jamu untuk pria (Pria Anom, Sehat Pria) dan 24 jamu untuk wanita. Peneliti tidak menemukan jumlah pasti jamu yang diproduksi oleh Jamu Jago di website, data yang diperoleh di lapangan adalah 1 jamu untuk pria (Purwoceng), dan 12 jamu khusus wanita. Peneliti meyakini bahwa aspek visual pada desain kemasan jamu khusus wanita dapat berperan lebih dan memperkaya penelitian disertasi ini, sesuai dengan banyaknya varian produknya. Selain itu peneliti melihat bahwa visualisasi desain kemasan jamu khusus wanita dengan warna kusam dan foto wanita yang pada umumnya digambarkan memakai model pakaian, tatanan rambut, riasan wajah yang sudah
7
tidak lagi tren, demikian juga penggambaran wanita melalui ilustrasi, tidak hanya menarik untuk dikaji tetapi juga memperkuat pendapat peneliti tentang aspek visual desain kemasan jamu yang tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam jangka waktu yang lama. Fenomena desain kemasan yang demikian tidak bisa hanya diteliti dengan pendekatan desain belaka, melainkan dengan kajian budaya dan media, dengan pendekatan yang lebih komprehensif meliputi, semiotik dan diskursif. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, desain kemasan tidak hanya berhubungan dengan desain dan pemasaran tetapi juga tentang persoalan makna. Selain persoalan makna, peneliti juga meyakini bahwa terdapat wacana-wacana yang mengkonstruksi makna desain kemasan jamu. Pertanyaan selanjutnya adalah wacana apa yang turut mengkonstruksi desain kemasan jamu khusus wanita, serta bagaimana dan mengapa? Peneliti melihat bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam konstruksi wacana yang nantinya turut membentuk desain kemasan jamu khusus wanita. Maka peneliti meyakini kehadiran regime of truth dengan berbagai kepentingannya dalam konstruksi wacana tersebut. Penelitian disertasi ini mencoba mengungkap apa makna yang mau disampaikan oleh desain kemasan jamu khusus wanita yang tidak dapat dibaca secara taken for granted dan wacana apa saja yang mengkonstruksi makna tersebut. Sesuai dengan apa yang ingin dibahas secara komperhensif dari desain kemasan jamu, maka judul penelitian disertasi ini adalah “Makna Desain Kemasan Jamu Khusus Wanita dan Wacana yang Mengkonstruksinya”
8
1.2. PERMASALAHAN PENELITIAN Penelitian ini berangkat dari adanya berbagai pertanyaan seputar desain kemasan jamu khusus wanita. Melalui berbagai informasi sebagai latar belakang yang telah peneliti sebutkan di atas, maka rumusan masalah yang hendak dipertanyakan adalah: 1.
Apa makna pada desain kemasan jamu khusus wanita?
2.
Apa ideologi dari desain kemasan jamu khusus wanita?
3.
Apa saja wacana yang mengkonstruksi desain kemasan jamu khusus wanita?
4.
Bagaimana wacana tersebut mengkonstruksi desain kemasan jamu khusus wanita?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Melalui penelitian disertasi ini, peneliti mencoba menganalisis dan memahami persoalan-persoalan dalam hal: 1.
Membaca tanda dari desain kemasan jamu khusus wanita. Mengungkap apa saja makna pada desain kemasan jamu khusus wanita.
2.
Mengungkap ideologi dari desain kemasan jamu khusus wanita. Bagaimana relasi antara makna-makna yang dikonstruksi dan implikasi ideologisnya.
3.
Mengungkap apa saja wacana yang mengkonstruksi desain kemasan jamu khusus wanita.
4.
Mengungkap bagaimana wacana mengkonstruksi makna desain kemasan jamu sehingga desain kemasan jamu khusus wanita tersebut mempunyai tampilan sebagaimana adanya.
9
1.4. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain: Secara teoritis: 1. Diharapkan menjadi referensi penting bagi para akademisi di bidang media, budaya, linguistik dan desain di Indonesia tentang makna dari suatu media desain kemasan. 2. Secara kritis mengetahui bagaimana ideologi dari desain kemasan jamu khusus wanita, sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan di bidang kajian budaya dan media. 3. Mengetahui adanya ideologi dan konstruksi makna pada media desain kemasan yang selama ini tidak disadari. 4. Mengetahui bagaimana wacana mengkonstruksi desain kemasan jamu khusus wanita.
Secara Praktis: 1. Bagi dunia industri, penelitian ini dapat menjelaskan bahwa suatu desain kemasan tidak hanya berfungsi sebagai alat pemasaran produk saja. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran khususnya yang menyangkut berbagai kebijakan tentang produk-produk Indonesia seperti jamu. 3. Bagi peneliti di bidang kajian media dan budaya, diharapkan topik penelitian ini dapat memperkaya kajian dengan media desain kemasan.
10
4. Bagi pendidik di bidang desain kemasan di jurusan Desain Komunikasi Visual UK. Petra, penelitian ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa untuk memahami bagaimana desain kemasan dibaca secara kritis dalam kajian budaya dan tidak hanya diterima dan dikaji dengan teori desain dan pemasaran. Kajian budaya dan media dapat memperkaya proses belajarmengajar dalam mata kuliah desain kemasan.
1.5. TINJAUAN PUSTAKA Ada banyak sisi tradisi yang bisa menjadi nilai jual jamu tradisional disamping
khasiat
yang
ditawarkan.
Misalnya,
keunikan
racikannya,
ketradisionalan proses produksinya, nilai-nilai mitos atau legenda dari sebuah produk dan lain sebagainya (Noeltrg, 2012). Pembahasan jamu banyak mengulas dari sisi tradisinya, tetapi belum banyak yang menyentuh dari desain kemasannya. Sampai saat ini peneliti masih belum menemukan penelitian yang membahas secara spesifik tentang desain kemasan dalam kajian budaya dan media, lebih khusus lagi untuk produk jamu khusus wanita. Penelitian yang menyangkut desain kemasan biasanya akan dikaitkan dengan persoalan pemasaran khususnya bagaimana sebuah desain kemasan tersebut dapat menjual. Pada sebuah Journal of Brand Management terdapat artikel yang ditulis oleh L van den Berg-Weitzel, G van de Laar berjudul ”Relation between Culture and Communication in Packaging Design” menjelaskan bagaimana budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap penjualan suatu produk. Produsen perlu memutuskan antara global atau lokal
11
desain produk, global atau lokal komunikasi dan juga global atau lokal desain kemasan (Weitzel & de Laar, 2001: 171). Penelitian ini mencoba membantu produsen produk untuk mengomunikasikan produknya dengan melihat budayabudaya lokal dimana produk tersebut akan dipasarkan. Penelitian ini melihat budaya sebagai sesuatu yang memengaruhi penjualan produk di berbagai wilayah. Buku ”Packaging Design: A Cultural Sign” karya Edwin Visser mengulas bahwa di supermarket Amerika Serikat, konsumen tidak hanya memperhatikan kebiasaan makan atau pilihan rasa. Pembedaan pilihan kategori dan percampuran merek lokal dan internasional mencerminkan sebuah pola konsumsi. Desain kemasan dapat mengungkap budaya suatu negara. Dalam buku tersebut digambarkan bagaimana desain kemasan mempresentasikan budaya dari negara yang berbeda dari hampir semua benua. Dalam tulisannya, Edwin Visser hanya mengungkapkan bahwa sebuah kemasan dapat menjadi sebuah representasi budaya. Bahwa produsen harus memperhatikan budaya konsumen dan pola konsumsinya agar sebuah desain kemasan dapat diterima dan dipasarkan. Dalam lingkup jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Kristen Petra, di dalam jurnal Nirmana terdapat artikel dengan judul ”Peranan Desain Kemasan dalam Dunia Pemasaran.” Artikel tersebut mengulas bahwa peran desain kemasan sangatlah penting seiring dengan situasi persaingan yang semakin tajam, estetika merupakan suatu nilai tambah yang dapat berfungsi sebagai "perangkap emosional" yang sangat ampuh untuk menjaring konsumen. Tulisan ini membahas teori-teori tentang bagaimana desain kemasan dapat memaksimalkan daya jual suatu produk dalam pasar (Suharto, 2000: 92-103).
12
Analisis semotika pun saat ini banyak dipergunakan oleh para desainer untuk mengetahui karakter konsumen sehingga produk yang dipasarkan dengan desain kemasan buatannya dapat laku. J. Duncan Berry dalam artikelnya yang berjudul ”Semiotic Analysis for Package Design”, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, generasi baru desainer, peneliti, dan spesialis wawasan konsumen melihat semiotika dan menemukan nilai yang sangat besar, karena ahli semiotik menawarkan kerangka yang jelas dan kosakata langsung untuk menggambarkan bagaimana desain bermakna dan bagaimana masyarakat mengkonstruksi makna. Dalam artikel ini praktik semiotik dilakukan dengan sejumlah merek Consumer Packaged Good (CPG) yang dianalisis menggunakan sebuah high-altitude semiotic of the ”sensory image” dimana desain secara khusus digunakan untuk menyampaikan makna kepada konsumen individu. Hasilnya cukup mengejutkan bahwa satu jenis desain mampu membawa banyak makna dan pesan. Setiap rasa menawarkan spektrum yang luas, membuka kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh pemasar dan desainer dalam rangka memperluas makna dari suatu inovasi yang dihasilkan (Berry, 2007). Pada tulisan ini analisis semiotika dipakai untuk tujuan penjualan produk, penting bagi desainer untuk memiliki pengetahuan tentang semiotika. Semiotika digunakan untuk menjelaskan makna dan pesan hanya demi kepentingan pemasaran. Dalam tulisannya “Doing Cultural Studies”, du Gay, Stuart Hall dan kawan-kawan mengemukakan teori yang disebut The Circuit of Culture (du Gay, dkk. 1997: 3). Terdapat lima proses cultural yang diidentifikasi dalam buku ini, yaitu Representation, Identity, Production, Consumption dan Regulation. Teori
13
tersebut digunakan untuk mengulas produk Sony Walkman dan kajiannya lebih diarahkan pada semantik produk dan iklan (advertising) produk. Wacana dipakai untuk melihat budaya yang berkembang akibat adanya produk walkman ini. Representasi menjadi sebuah elemen bagaimana identitas dikonstruksi (du Gay, dkk. 1997: 4). Di dalam buku ini dijelaskan bahwa iklan bersifat ekonomi dan juga merupakan praktik representasi. Tujuannya adalah membuat orang membeli produk, meningkatkan penjualan dan memaksimalkan keuntungan. Iklan juga merupakan praktik kultural karena untuk menjual, haruslah menarik, dan untuk menarik haruslah berhubungan dengan makna dan harus mengkonstruksi identitas antara kita-konsumen dan makna (du Gay, dkk. 1997: 25). Tulisan dalam buku ini membantu peneliti untuk mengerti lebih mendalam bagaimana menjelaskan analisis suatu produk melalui cultural studies, namun metode penelitian ini bukanlah sebuah penelitian tekstual yang akan dilakukan peneliti tetapi lebih ke arah etnografi yang masih menyentuh konsumen-konsumen produk sony walkman. Tulisan ini mencoba menjelaskan hubungan antara produsen, konsumen dan produk, bagaimana produk walkman yang dihasilkan oleh produsen dapat diimplikasikan secara berbeda oleh konsumennya. Penelitian dalam tulisan ini masih dalam kerangka meningkatkan penjualan dan keuntungan. Hasil tinjauan pustaka dari dalam negeri, yaitu buku ”Strategi Visual” karya Andry Masri menawarkan dua pendekatan yang dinilai mampu mengantarkan desainer untuk memanfaatkan kreativitasnya dalam menghasilkan karya yang tepat, sanggup digunakan untuk menganalisis keputusan perupaan yang telah dihasilkan. Pendekatan pertama disebut sebagai pendekatan
14
formalistik, yaitu pendekatan yang menekankan bagaimana desainer dengan kepekaan yang dimilikinya memilih unsur visual dan perseptual mana yang akan dilekatkan pada sebuah karya desain, kemudian mengolahnya menjadi komposisi yang dinilai ”menguntungkan.” Pendekatan kedua disebut dengan pendekatan semiotik. Proses yang ditekankan pada pendekatan ini adalah bagaimana seorang desainer dengan kepekaan yang dimilikinya memilih tanda-tanda yang ada atau menciptakan tanda baru yang akan diletakkan pada sebuah karya desain, mengolahnya menjadi komposisi yang dinilai ”menguntungkan.” Tulisan pada buku ini memberikan sumbangan bagi para desainer dalam menghasilkan karya desain yang bisa memecahkan masalah visual (Masri, 2010). Tulisan ini lebih memberi gambaran kepada peneliti tentang bagaimana sebuah teori semiotika dapat dipergunakan oleh desainer dalam mendesain suatu karya visual. Buku ini tidak mengupas bagaimana mengkaji secara semiotik tetapi bagaimana sebaiknya desainer memasukkan unsur semiotik untuk mengkonstruksi makna yang dapat ditangkap oleh konsumen dan menguntungkan produsen. Terdapat satu penelitian dari jurusan DKV yang menggunakan media kemasan yang dikaji secara semiotis berjudul Representation of Beauty in Packaging Illustrations of Madurese Traditional Herbal Medicine for Beauty Care yang diterbitkan pada proceeding The 5th International Conference on Indonesian Studies 2013. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik dari desain kemasan jamu Madura untuk kecantikan dan mengungkap konsep kecantikan yang berlaku dalam budaya Madura dengan menginterpretasikan ilustrasi dalam kemasan. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada budaya Madura. Penelitian
15
yang menggunakan analisis kultural semiotik ini melihat bagaimana konsep kecantikan pada masyarakat Madura dan juga makna kecantikan fisik yang direpresentasikan pada ilustrasi di kemasan jamu Madura (The 5th International, 2013). Penelitian ini hanya mengungkap retorika imaji pada desain kemasan jamu tanpa mengulas secara detail pesan linguistiknya. Data etnografi dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan beberapa narasumber yang dianggap kompeten mengenai budaya Madura. Penggunaan semiotika dan etnografi membuat penelitian ini seolah hanya mengkonfirmasi ulang temuan makna yang diungkap dari analisis semiotik desain kemasan jamu. Ternyata konsep kecantikan dalam budaya Madura tidak banyak direpresentasikan pada imaji desain kemasan jamu Madura. Berbicara tentang desain kemasan jamu tentunya tidak terlepas dari produk jamu. Demikian pula bagaimana negara dan juga otoritas-otoritas yang dominan khususnya medis melalui berbagai wacana juga turut memposisikan jamu. Sebuah buku Medical Nimesis karya Ivan Illich (1976) menyajikan suatu uraian tentang bagaimana praktik medis menggeser yang tradisional. Kajian yang mengambil sebagian besar datanya dari kasus-kasus yang terjadi di Amerika Serikat ini mengungkapkan bagaimana pasien yang terpinggirkan harus menghadapi kuasa dokter dengan praktik yang resmi berlisensi dan resep obat modernnya, bagaimana rezim medis menguat sehingga terjadi monopoli dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Industri farmasi yang dominan akhirnya merusak pengobatan tradisional yang sebenarnya memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan obat medis. Masyarakat akhirnya sangat tergantung pada medis dari mulai awal
16
sampai akhir hidupnya, manusia yang tadinya sehat menjadi sakit. Fenomena ini disebut Illich sebagai iatrogenesis, sebuah epidemi yang berasal dari “omongan” para dokter. Padahal dari generasi ke generasi, masyarakat yang melanjutkan kepercayaan tradisional tahu bagaimana berurusan dengan kematian, sakratul maut dan kedukaan. Peneliti melihat dalam pembahasan Illich pengobat dan obat tradisional akhirnya kalah oleh medis melalui proses medikalisasi. Di sisi lain Ivan Illich meyakini bahwa masyarakat awam dan bukan dokter yang mempunyai perspektif yang potensial untuk menghentikan epidemik iatrogenesis. Lingkungan adalah penentu utama tingkat kesehatan suatu populasi. Secara geografis, antropologi medis dan sejarah menunjukkan bahwa makanan, air dan udara dalam hubungannya dengan kesetaraan secara sosial politik dan mekanisme budaya berperan penting dalam kestabilan kesehatan suatu masyarakat. Penelitian ini banyak menggali data-data dan mengulas perihal medis, meskipun dalam pembahasannya banyak memberi perhatian kepada budaya tradisional. Sedangkan peneliti dalam penelitian disertasi ini lebih melihat jamu menjadi subjek yang aktif yang melawan obat dan herbal. Bahwa sebenarnya obat tradisional tidak begitu saja tersingkirkan oleh obat modern. Selanjutnya peneliti mencoba mengkaji berbagai literatur terkait dengan jamu. Sebagian besar buku mengulas jamu dari sisi sejarahnya, pengetahuan tentang tanaman jamu, bagaimana mengolah bahan-bahan tersebut menjadi sebuah ramuan yang juga disertai penjelasan tentang berbagai manfaatnya (Trubus, 2010; Trubus, 2013). Terdapat sebuah buku tentang jamu yang ditulis oleh penulis asing dari Irlandia Susan-Jane Beers (2001) berjudul Jamu: The
17
Ancient Art of Herbal Healing yang membantu peneliti melihat bagaimana jamu digunakan sebagai pengobatan di Indonesia selama bertahun-tahun di masyarakat mulai dari ibu rumah tangga, bakul jamu sampai kepada sebuah industri jamu. Buku tersebut mencoba menggambarkan bagaimana, kapan, dimana dan mengapa praktik-praktik pengobatan dengan jamu dapat berkembang. Penelitian etnografi ini, memang membantu peneliti dalam melihat praktik-praktik produksi dan konsumsi jamu di masyarakat, tetapi penelitian ini tidak mengkaji tentang desain kemasan jamu. Terdapat penelitian disertasi tentang ”Masuk Angin dalam Budaya Jawa” yang ditulis oleh Atik Trisnawati. Disertasi ini cukup menarik dalam membahas bagaimana budaya para nelayan dan komunitas di pantai utara Jawa mengkonsumsi jamu sebagai salah satu cara untuk mengobati masuk angin. Pengobatan melalui jamu tradisional di kalangan nelayan juga berfungsi melancarkan peredaran darah, selain memunculkan interaksi dan dialog antara penjual jamu dan penderita, meski sifatnya tidak personal namun tersirat bahwa ada ungkapan yang dilontarkan penjual jamu agar si pasien cepat sehat kembali. Mereka percaya bahwa fungsi jamu mampu mengembalikan kelelahan tubuh lebih cepat daripada cara lain. Disertasi ini memberikan sumbangan dari sisi antropologi kesehatan (Trisnawati, 2011). Pendekatan etnografi banyak dipakai pada penelitian tentang jamu, namun metode ini belum bisa menjawab permasalahan penelitian yang lebih ke arah semiotik dan wacana. Peneliti meyakini masih banyak penelitian yang senada dengan penelitian di atas yang belum sempat dikaji, tetapi belum ada yang serupa dengan penelitian disertasi ini.
18
Dalam penelitian yang terdahulu, peneliti juga banyak menulis tentang desain kemasan dari sisi teori desain maupun teori ekonomi khususnya pemasaran untuk menjelaskan berbagai masalah dalam desain kemasan, mulai dari kemasan pasta gigi, kemasan mie instan, kemasan biskuit, baik produk lokal maupun ekspor (International, 2009; Natadjaja, 2002; Natadjaja, 2003; Natadjaja, 2006a; Natadjaja, 2007; Natadjaja 2009a). Selain itu peneliti juga menulis tentang implementasi proyek-proyek desain kemasan makanan ringan dan minuman instan hasil karya Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kotamadya Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, PKK Kabupaten Kediri, dan Kecamatan Rungkut pada program Service-Learning, yaitu suatu program yang mengkombinasikan pembelajaran dan pelayanan pada masyarakat yang diimplementasikan pada mata kuliah desain kemasan. (Improving, 2007; International, 2010; Natadjaja, 2006b; Natadjaja, 2009b; Third Asia-Pasific, 2011). Penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya kebanyakan bersifat aplikatif. Ada beberapa yang mengkaji dari sisi semiotik, namun belum ada penelitian yang menggunakan analisis wacana. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, sampai saat ini peneliti melihat bahwa: 1) kontribusi teoritis terhadap persoalan desain kemasan tidak pernah menyinggung masalah dengan pasar yang lebih luas atau negara, hanya mengungkap masalah merek (brand), dan sering terjebak pada hubungan produsen dan konsumen demi kepentingan pemasaran; 2) penelitian tentang jamu hanya berkisar pada bidang ilmu farmasi, antropologi, komunikasi, desain, ekonomi, maupun sosial politik dan budaya yang dari segi metode lebih banyak menggunakan pendekatan etnografi maupun wawancara; 3) belum ada penelitian
19
yang mengungkap desain kemasan dari sisi tekstual secara semiotik sekaligus kontekstual melalui analisis wacana, kajian semiotik seringkali lepas dari konteks yang ada; 4) baru ada satu penelitian karya Ivan Illich yang mengungkapkan obat tradisional dari sisi pertarungan dengan produk lain khususnya obat, dimana negara turut berperan, tetapi penelitian tersebut tidak mengulas secara khusus produk jamu; 5) belum ada penelitian tentang konstruksi wacana-wacana pada suatu media khususnya desain kemasan. Sehingga penelitian disertasi desain kemasan jamu khusus wanita dalam kajian budaya dan media ini perlu dilakukan karena mempunyai tingkat kebaharuan dan originalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
1.6. LANDASAN TEORI Dalam upaya meneliti objek kajian, yaitu desain kemasan jamu, peneliti menggunakan sejumlah konsep teoritis yang dapat menjawab rumusan permasalahan penelitian disertasi ini.
Desain kemasan dilihat dari kacamata
cultural studies adalah produk budaya. Salah satu cara berpikir tentang “budaya” adalah bahwa istilah budaya merupakan peta konseptual bersama, sistem bahasa bersama
dan
kode-kode
yang
mengendalikan
hubungan
pemaknaan.
Pemaknaannya adalah hasil dari konvensi sosial, ditetapkan secara sosial dan ditetapkan oleh budaya. Sebagai sebuah produk budaya tentunya terdapat makna yang ditempelkan pada desain kemasan ini. Makna tidak pernah selamanya tetap (finally fix), makna dapat bergeser, konvensi sosial dan linguistik dapat berubah seiring waktu, tetapi harus ada ketetapan dari bahasa untuk mengerti satu sama
20
lain, karena makna dikonstruksi. Makna adalah hasil dari praktik penandaan (signifying practice), yaitu sebuah praktik yang memproduksi makna, yang membuat sesuatu berarti (Hall, 1997: 24). Peneliti meyakini bahwa desain kemasan yang tampaknya biasa, yang sudah diterima umum adalah sebuah praktik penandaan, sesuatu yang bermakna. Maka peneliti melihat bahwa pendekatan semiotik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari sistem tanda, yang juga menekankan sifat khas karya baik itu karya sastra, karya seni mapun karya desain sangat cocok untuk digunakan sebagai alat untuk menganalisis media kemasan ini.
1.6.1. Semiotika Visual Tujuan penelitian semiotik adalah untuk menyusun kembali fungsi sistem penandaan selain bahasa sesuai dengan proses khas dari setiap aktivitas strukturalis, yang adalah untuk membangun sebuah simulakra dari objek yang diamati (Barthes, 1983: 152-153). Menurut Chandler (2007: 82), semiotika dapat membantu pembaca untuk tidak begitu saja menerima apa yang terlihat. “Semiotika membantu kita untuk tidak menerima representasi begitu saja sebagai refleksi dari realitas, tetapi memungkinkan kita untuk memisahkan dan mempertimbangkan realitas yang mereka wakili.” Di antara teori semiotika4, peneliti melihat teori Roland Barthes khususnya semiotika visual5, dapat digunakan untuk melihat segala jenis makna yang
4
Sebuah perkembangan pesat dari strukturalis yang berhubungan tetapi merupakan sebuah disiplin yang berbeda yaitu semiologi (atau semeologi, atau semiotik) adalah studi umum sistem penandaan (general study of signifying system) (Scholes, 1982: x). Semiotika biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs) atau lebih tepatnya relasi tanda-tanda (Budiman: 2011: viii), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes dalam Budiman, 2011: 4).
21
disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Semiotika visual tidak lagi terbatas pada pengkajian seni rupa (seni lukis, patung, dan seterusnya) dan arsitektur semata-mata, melainkan juga segala macam tanda visual yang kerap kali atau biasanya dianggap bukan karya seni (Budiman, 2011: 9). Desain kemasan merupakan tanda visual yang seringkali dianggap bukan karya seni, apalagi media tersebut diproduksi secara massal dalam sebuah industri besar, tetapi sebagai tanda visual, desain kemasan ditempeli makna. Oleh karena itu pendekatan semiotika dibutuhkan dan diyakini dapat memberikan kontribusi dalam penelitian disertasi ini. Pembahasan Roland Barthes tentang pesan fotografis (Photographic Message) dalam bukunya Image Music Text dapat membantu peneliti untuk memahami media foto dan gambar yang merupakan tanda visual yang paling jelas terbaca pada desain kemasan jamu. Meskipun karakter fotografis dan desain kemasan berbeda, tetapi keduanya mempunyai karakteristik yang sama dimana desain kemasan jamu seperti halnya foto adalah media penyampai pesan yang bermakna. Pesan ini dibangun oleh beberapa elemen, yakni sumber pemancar pesan, saluran transmisi, dan pihak penerima. Yang disebut sumber pemancar pesan dalam desain kemasan adalah fotografer yang bertugas memfoto, desainer yang bertugas mendesain, me-lay out dan juga memberi informasi serta tim kreatif lainnya. Saluran transmisi adalah desain kemasan jamu itu sendiri, atau tepatnya, kompleksitas pesan-pesan yang berkelindan bersama dengan gambar (fotografi atau ilustrasi), dan elemen-elemen desain yang termasuk dalam teks seperti: nama 5
Semiotika visual (visual semiotics) pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses) (Budiman, 2011: 9).
22
produk, tagline6, slogan7, logo8 perusahaan, logo jamu, cap halal, warna, jenis tipografi9, tata letak (lay out), nama dan alamat industri, barcode10, kode produksi, tanggal kedaluwarsa, ukuran kemasan (berat/isi bersih), nomor Pendaftaran (Depkes RI TR/ POM RI TR 9). Informasi yang berada di balik desain kemasan juga termasuk dalam saluran transmisi pesan antara lain: komposisi (nama latin bahan baku dan persentase), khasiat (kegunaan), cara penggunaan saran/cara penyimpanan, peringatan/kontra indikasi. Sedangkan pihak penerima dalam penelitian ini umumnya adalah wanita yang menjadi konsumen produk jamu. Ketiga elemen yang memediasi pesan menggunakan metode investigasi yang berbeda, dalam penelitian disertasi ini pesan dibangun oleh saluran transmisi.
1.6.2. Retorika Imaji Dari sekian banyak buku yang ditulis Roland Barthes misalnya Element of Semiology, Mythologies, Camera Lucida, dan lain-lain, peneliti melihat bahwa tulisan Barthes tentang retorika imaji (Rethoric of Image) dalam Image, Music, 6
Sebuah tagline adalah kalimat singkat yang membantu perusahaan menjadi dikenal pada dunia industri selama bertahun-tahun atau identifikasi jangka panjang. Tujuan utama tagline adalah membantu untuk memasarkan produk atau layanan pada demografis tertentu. Tagline menentukan manfaat merek pada pasar, dan menjadi batu loncatan yang konsisten dimana audience secara otomatis akan mengasosiasikan dengan produk. Tagline secara jelas menyatakan tujuan organisasi adalah untuk produk (King, 2010; Mr.3, 2012). 7 Slogan hanya digunakan pada iklan tertentu dan pada kampanye penjualan dimana suatu organisasi memutuskan untuk terlibat di dalamnya. Slogan berubah setiap waktu, jadi slogan berlaku saat ini dan beresonansi baik dengan konsumen. Slogan digunakan untuk mengidentifikasi kampanye iklan saat ini dan untuk membuatnya menonjol dengan cara yang tak terlupakan dan kreatif. Slogan akan berubah secara teratur untuk memperkaya sebuah kampanye tertentu (King, 2010; Mr.3, 2012). 8 Logo adalah representasi perusahaan dalam usahanya merefleksikan budaya organisasi dan citra perusahaan berupa simbolis dan pola grafis atau karakter tertentu (Lip, 1996: 5). 9 Dalam desain kemasan, tipografi adalah medium utama untuk mengomunikasikan nama, fungsi dan fakta produk bagi konsumen luas. Tipografi diturunkan dari kata-kata Yunani typos (“impresi”) dan graphein (“menulis”). Tipografi adalah penggunaan bentuk huruf untuk mengomunikasikan secara visual suatu bahasa lisan. Bentuk tipografi bisa berupa huruf atau karakter individual, kata-kata, bentuk-bentuk, atau simbolsimbol (Klimchuk, 2007: 87). 10 Pengertian Barcode dapat diartikan sebagai kumpulan kode yang berbentuk garis, dimana masing-masing ketebalan setiap garis berbeda sesuai dengan isi kodenya. Barcode adalah informasi terbacakan mesin ( machine readable ) dalam format visual yang tercetak. Barcode dibaca dengan menggunakan sebuah alat baca barcode atau lebih dikenal dengan Barcode Scanner (Rumahbarcode.com)
23
Text cocok untuk mengungkap pesan-pesan baik pesan linguistik maupun makna denotatif dan retorika imaji pada desain kemasan jamu. Retorika imaji penting karena gagasan tentang hubungan antara gambar dan wacana telah menjadi pusat pemahaman seni rupa yang berorientasi pada aspek visual. Menurut Rampley, alasan menggunakan retorika imaji sebagai metode analisis karena pertama, retorika bukanlah tipe komunikasi tertentu tetapi semua komunikasi adalah retorika apalagi desain kemasan tentunya dibuat untuk membujuk audience agar mengkonsumsi produk tertentu dan, kedua, bahwa retorika terjerat dalam struktur sosial, ekonomi, dan relasi kultural dan kekuasaan. Kedua hal ini tentunya sangat erat hubungannya dengan cultural studies (Rampley, 2005: 134, 137). Retorika dalam komunikasi visual menurut Walker dan Chaplin bekerja dengan mengarahkan audiens pada suatu potensi makna dan mengabaikan makna yang lain. Sehingga dengan demikian, retorika memiliki peran penting saat ideologi, diskursus, struktur-struktur kuasa dan hirarki-hirarki dipancangkan, suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik retorika untuk menata kesadaran (Walker & Chaplin, 1997: 119-120). Dalam menganalisa desain kemasan jamu, peneliti pada awalnya akan memberi perhatian pada pesan linguistik. Dalam desain kemasan, foto pada desain kemasan sekurang-kurangnya, bersatu dengan bangunan struktural yang lain, yakni teks. Pada teks, substansi pesan dibangun oleh kata-kata, sementara foto, substansi pesan dibangun oleh garis, tekstur dan warna. Meskipun foto disertai oleh teks, analisis terhadap keduanya harus dipisahkan. Hanya jika kedua bangunan struktural ini dibedah terpisah, kita dapat lebih mudah memahami
24
bagaimana keduanya saling menopang. Hanya dengan adanya pesan linguistik, imaji dapat diartikan. Fungsi pesan linguistik di dalam desain kemasan jamu ini adalah sebagai penambat (anchorage).11 Semua imaji bersifat polisemi (multitafsir). Imaji-imaji ini, dengan tetap berakar pada petanda-petandanya, berada dalam posisi bebas atau siap dipinang oleh “jejaring” petanda-petanda yang “mengambang bebas” (a floating chain of signifieds), sehingga pembaca bebas memilih petanda yang satu dan menolak yang lain. Di sini, teks semata-mata membantu mengidentifikasi elemen-elemen yang ditampilkan pada scene serta scene itu sendiri, ia hanya melakukan deskripsi denotatif terhadap imaji, tidak sampai pada aktivitas konotasi. Fungsi denominasi (mengidentifikasi dan menamai suatu objek sehingga bisa dibedakan dengan objek lain) sangat tepat mengartikan fungsi penambat, yakni mengungkapkan kemungkinan makna (denotatif) suatu objek lewat aktivitas penamaan. Ketika dicantelkan pada “pesan simbolis”, pesan linguistik tidak lagi sekedar membantu proses identifikasi tetapi juga interpretasi. Teks mengontrol dan menggiring pembaca menuju sebuah makna yang sudah dipersiapkan di depan. Teks merupakan senjata yang dipakai pengarang untuk mengontrol imaji; teks sebagai penambat adalah sebuah kontrol, teks bertanggung jawab melawan kekuatan proyektif yang dimiliki gambar terhadap penafsiran pesan. Untuk mengontrol 11
Terdapat dua fungsi peran pesan linguistik berkaitan dengan pesan ikonik yaitu sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) (Barthes, 1990: 38, 40-41). Denotasi akan berkorespondensi secara tepat dengan sebuah fungsi yang dapat menambat atau “mengunci” pelbagai kemungkinan makna-maknanya. Dalam fungsinya sebagai penambat, amanat lingual dapat membentu kita dalam memilih tataran persepsi yang tepat, memungkinkan kita untuk bukan saja memfokuskan pandangan, melainkan juga pemahaman. Di tengah-tengah amanat ikonik, kehadiran sebuah amanat lingual bukan saja sekadar memandu proses identifikasi, melainkan juga interpretasi. Teks akan menuntun pembaca dalam menelusuri petanda-petanda citrawi sehingga dia mampu memilih petanda yang satu dan mengabaikan petanda-petanda yang lain. Fungsi teks seolah-olah sebagai kontrol jarak-jauh (remote control) bagi pembaca agar dia dapat memilih dan menentukan makna sebuah citra (Budiman, 2011: 180-181). Meskipun fungsi pemancar jarang ditemukan, fungsi ini masih bisa dilacak pada cerita bergambar (comic strip) dan kartun (Barthes, 1990: 38, 40-41).
25
kebebasan yang terkandung dalam petanda-petanda imaji, teks melakukan represi (repressive value). Penambat merupakan fungsi yang paling sering diperlihatkan oleh pesan linguistik serta paling sering ditemukan di dalam foto berita dan iklan (Barthes, 1990). Pesan denotatif adalah analogon itu sendiri. Ketika berhadapan dengan foto, “bau denotasi” sangat kuat sehingga agak susah melakukan deskripsi atau penguraian yang bersifat literal terhadapnya. Untuk mendeskripsikannya dibutuhkan kesepakatan kerja sama antara penghubung atau pesan lapis kedua (yang berasal dari sebuah kode yang adalah bahasa) dengan pesan denotatif, sehingga kedua pesan ini, pada analog fotografis, dapat secara bersama-sama membentuk konotasi: sehingga proses deskripsi bukan semata-mata aktivitas bongkar pasang, tetapi usaha untuk merombak bangunan struktural, mengurai apa yang tersebunyi di balik yang tampak. Pesan konotatif adalah pandangan atau pendirian masyarakat tentang apa yang disodorkan kepadanya. Dalam bab terakhir Mythologies, Myth Today dan Elements of Semiology, Barthes mengelaborasikan istilah
“connotation”
(sebuah tanda
yang
maknanya
interpretatif)
dan
“denotation” (sebuah tanda yang maknanya literal). Pada level denotatif terdapat persetujuan umum tentang makna sebuah tanda. Pada level konotatif, sebuah “bahasa” yang ditampilkan mengungkapkan asosiasi yang ditandai oleh kelas dan ideologi dimana kita dapat menyetujuinya ataupun tidak (Barthes, 1981, 1983; Procter, 2004: 66; Gripsrud, 2002: 127). Kandungan konotasi tidak mesti langsung terlihat pada foto, tetapi dapat dicerap dari beberapa aktivitas yang tersebar atau terjadi sepanjang proses
26
penciptaan (produksi) dan penerimaan pesan: di satu sisi, foto adalah sesuatu yang didaur ulang, dipilih, disusun, dan dikonstruksi berdasarkan kriteria profesionalisme, ideologi, atau estetika tertentu yang dapat disebut sebagai syarat konotasi; sementara di sisi lain, foto yang sama tidak diterima mentah, tetapi dibaca atau dibedah menggunakan stok tanda tradisional yang dimiliki publik yang mengkonsumsinya. Karena setiap tanda menuntut kode, maka kode (konotasi) inilah yang mesti dibangun. Pesan denotatif bersifat murni analogis, kontinyu (polos, telanjang), tanpa kode (tanpa perantara) sehingga tidak perlu mencari unit-unit penandaan pada pesan lapis pertama ini. Sebaliknya karena pesan konotatif adalah wilayah ekspresi yang sarat muatan, maka penguraian harus sampai ke unit-unit terkecil. (Barthes, 1990: 19-20). Menurut Barthes terdapat tahap-tahap konotasi. Tiga tahap pertama (efek tiruan, sikap atau pose, dan objek) mesti dibedakan dengan tiga tahap terakhir (fotogenia, estetisme dan sintaksis). Material yang dihasilkan oleh ketiga tahap pertama ini, tidak tertutup kemungkinan, akan sangat berguna pada tahap-tahap selanjutnya (Barthes, 1990: 20-25 ; Budiman, 2011: 43-44). Demikianlah tahap utama proses konotasi terhadap imaji fotografis (tahap ini hanya dibahas sebagai persoalan teknis, tidak menggeledah sampai persoalan terdalam). 1. Efek tipuan (trick effect). Kepentingan metodologis yang ingin dicapai efek tipuan adalah menghalangi denotasi. Efek tipuan memanfaatkan kredibilitas istimewa yang dimiliki foto, merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, padahal sarat dengan muatan konotatif. Lalu, secara langsung konotasi mengganti
27
secara sempurna selubung ‘objektif’ denotasi. Pertandaan (signification) terjadi hanya bila ada persediaan tanda (stock of signs) yang merupakan cikal bakal dari kode. Kode konotasi tidak bersifat artifisial maupun natural, melainkan bersifat historis. Trick effect ini dilakukan dengan misalnya memadukan dua gambar sekaligus secara artifisial. 2. Pose atau sikap (Pose). Sikap badan bukanlah tahap khas fotografis. Namun susah untuk tidak menobatkannya sebagai salah satu tahap fotografis karena efeknya diperoleh melalui prinsip analogis yang menjadi tulang punggung produksi foto. Seperti misalnya pose mengatur arah pandangan mata atau cara duduk seorang subjek. 3. Objek (Objects). Daya tarik akan semakin besar apabila objek foto bisa merujuk pada jejaring ide tertentu. Objek-objek foto merupakan elemenelemen luar biasa bagi proses pertandaan: di satu sisi, objek-objek ini bersifat diskontinyu (sarat muatan) dan padat, sementara di sisi lain foto-foto tersebut merujuk pada petanda-petanda yang sudah jelas. Teks membuat konotasi lebih eksplisit. Objek-objek dengan demikian kehilangan daya, namun memiliki makna. Objek diterima sebagai asosiasi ide-ide (buku-buku atau rak buku, misalnya, dapat menunjuk kepada makna ‘intelektualitas’). 4. Fotogenia (Photogenia). Dalam fotogenia, pesan konotatif adalah imaji itu sendiri, yang “diperhalus” dengan teknik-teknik pencahayaan, pengurangan bias cahaya, dan pencetakan hasil. Fotogenia baik untuk membedakan efek estetis dengan efek penandaan. Tidak semua elemen desain merujuk pada
28
elemen penandaan. Fotogenia, dilakukan dengan cara mengatur eksposure, pencahayaan (lighting), manipulasi teknik cetak, dan sebagainya. 5. Estetisisme (Aestheticism).
Sefasih
apapun orang berbicara tentang
estetisisme dalam foto, penjelasan-penjelasannya pasti masih ambigu: ketika imaji desain kemasan dibuat dengan teknik fotografi, dengan komposisi atau substansi visualnya, imaji dibuat dengan pertimbangan matang, pemilihan dengan foto dilakukan entah untuk menonjolkan bahwa imaji wanita adalah suatu “karya seni” maupun memudahkan proses penyusupan tanda yang bersifat kompleks dan hampir tak terjamah. Apa yang disebut sebagai “piktorialisme” menerapkan teknik “posterisasi” sehingga sebuah foto seolaholah menyerupai lukisan. 6. Sintaksis (Syntax). Ketika beberapa foto membentuk suatu rangkaian yang saling bersambung dengan foto lain, penanda konotasi tidak terdapat lagi pada masing-masing foto tetapi pada keseluruhan rangkaian yang membentuk satu-kesatuan atau disebut dengan lapisan supra-segmental oleh para ahli linguistik. Sintaksis dilakukan dengan merangkaikan beberapa foto ke dalam sebuah sekuens (sequences) sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak dapat ditemukan pada fragmen-fragmen yang lepas satu sama lain, melainkan pada keseluruhan rangkaian. Imaji pada desain kemasan jamu tidak hanya terdiri dari foto tetapi juga gambar. Selanjutnya peneliti melihat bahwa retorika imaji membedakan analisa imaji berupa foto dan ilustrasi/gambar, meskipun keduanya mempunyai kesamaan substansi pesan yang berdasarkan pada garis, permukaan dan nuansa (line,
29
surface, shades). Torehan warna, goresan garis, serta segenap unsur visual lain di dalam sebuah gambar bekerja sama membentuk gugusan ikon yang bisa dikenali sebagai sesuatu, entah benda-benda, manusia, peristiwa bentuk-bentuk geometris dan sebagainya (Budiman, 2011: 117). Fotografi sebagai pesan tanpa kode pasti berbeda dengan gambar, karena gambar bahkan jika bersifat denotatif, selalu merupakan pesan yang dikodekan. Kandungan kode pada gambar dapat ditelusuri melalui tiga tahapan berikut. Pertama, ketika mereproduksi sebuah objek atau scene pada gambar dibutuhkan seperangkat kaidah pengatur (rule-governed) transposisi karena salinan gambar tidak mempunyai pijakan dan kode transposisi yang bersifat historis. Kedua, aktivitas menggambar, dengan serta merta, menuntut pemisahan antara yang signifikan (yang bisa dikodekan) dengan yang insignifikan (liar, tak terjamah): gambar tidak mereproduksi semua hal (bahkan sering hanya merekam sedikit) namun, sedikit demi sedikit menjadi pesan yang sangat kuat; sementara foto meskipun dapat memilih objek yang mau difoto, sudut pandang, dan angle tidak dapat mengintervensi atau memodifikasi objek (kecuali lewat efek tiruan). Denotasi pada aktivitas menggambar tidak semurni pada foto karena tidak ada gambar yang tidak dimodifikasi menggunakan gaya tertentu. Ketiga, seperti dalam semua proses pengkodean, aktivitas menggambar menuntut latihan terus menerus (Barthes, 1981: 43). Kaidah yang berlaku pada gambar tidak sama dengan yang berlaku pada foto, oleh karena itu dalam penelitian disertasi ini peneliti membedakan analisa desain kemasan jamu yang menggunakan foto dan yang menggunakan gambar.
30
1.6.3. Ideologi Semiotika tidak hanya mengungkapkan makna secara denotatif maupun konotatif dan menemukan pesan linguistik maupun imaji, tetapi dapat digunakan untuk melakukan kritik ideologi melalui analisis proses pemaknaan. Kekuatan ideologi menurut Heck (1980) dapat menjadikan sesuatu seakan-akan natural: “Nilai ideologi sangatlah kuat karenanya makna menjadi seakan-akan universal dan “alami.” Istilah “denotasi” dan “konotasi” kemudian menjadi alat analisis untuk membedakan, dalam konteks tertentu, bukan antara kehadiran/ketidakhadiran ideologi dalam bahasa.” Menurut Barthes, kesamaan atau ketaktertentuan petanda-petanda konotasi merupakan cikal-bakal ideologi. Penanda-penanda konotasi kemudian dijadikan satu berdasarkan substansi tertentu. Pada ideologi yang berlaku umum, penandapenanda seperti ini disebut dengan konotator dan sekumpulan konotator membentuk retorika. Retorika merupakan bagian dalam proses penandaan yang berurusan dengan penciptaan ideologi (the signifying aspect of ideology) (Barthes, 1990: 49). Petanda-petanda dalam konotasi adalah fragmen-fragmen ideologi, yang menjalin hubungan komunikasi yang sangat erat dengan kebudayaan, pengetahuan, dan sejarah. Dapat dikatakan juga ideologi merupakan forma (istilah Hjemslev) dari petanda-petanda konotasi, sementara retorik adalah forma dari penanda dari penanda-penanda konotasi yang disebut sebagai konotator (Budiman, 2011: 156). Ideologi beroperasi pada level konotasi, yang oleh Roland Barthes dikenal sebagai mitos, yaitu mengacu pada perjuangan hegemoni untuk membatasi konotasi, menentukan konotasi tertentu, dan untuk menghasilkan konotasi baru (Storey, 1993). Menurut Procter, ideologi yang dikemukakan oleh
31
Barthes kebanyakan beroperasi pada level konotatif (Procter. 2004: 66). Penelitian ini juga ingin menunjukkan bagaimana ideologi diproduksi dalam praktik nyata. Untuk itu peneliti perlu melihat relasi dari makna-makna yang dikonstruksi oleh pesan linguistik maupun retorika imaji pada desain kemasan jamu khusus wanita. Pada kenyataannya interpretasi tidak pernah memproduksi momen yang final, atau sebuah kebenaran absolut. Interpretasi selalu diikuti oleh interpretasi lainnya, dalam sebuah rangkaian yang tiada akhir (Hall, 1997: 42). Selanjutnya, peneliti merasa perlu mengungkap wacana yang mengkonstruksi makna desain kemasan jamu khusus wanita tersebut. Semiotika membuka jalan bagi pergeseran bidang kajian dari bahasa ke wacana. Pembedaan antara bahasa dan wicara menggeser perhatian orang pada pentingnya analisis wacana, bahasa sebagaimana dipakai (Sunardi, 2004: 66). Dalam teorinya tentang mitos, Barthes mengatakan bahwa mitos adalah “a type of speech”, sebuah sistem komunikasi yaitu sebuah pesan. Mitos adalah sebuah sistem penandaan, sebuah bentuk. Sejak mitos dikatakan sebagai sebuah type of speech, maka apa saja dapat menjadi mitos di dalam sebuah wacana. Mitos dapat berupa cara menulis atau cara merepresentasikan sesuatu yang tidak hanya terbatas pada wacana yang tertulis tetapi juga termasuk fotografi, sinema, laporan, berita olah raga, pertunjukan, dan publikasi. Menurut Barthes, sepanjang persepsi menjadi sebuah perhatian, sebuah gambar misalnya dapat mempunyai berbagai macam pembacaan dimana pembaca tidak lagi berhubungan dengan representasi secara teoritis tetapi sudah berhubungan dengan imaji tertentu yang diberikan penandaan tertentu. Gambar
32
dapat menjadi semacam tulisan yang bermakna, seperti tulisan, mereka membutuhkan sebuah kosakata (lexis). Oleh karena itu, kita dapat mengambil bahasa, wacana, speech dan lain-lain, baik secara verbal maupun visual, sebagai sebuah unit penandaan. Sebuah foto dapat menjadi sebuah speech seperti halnya artikel di koran, bahkan sebuah objek dapat menjadi sebuah speech jika objek tersebut memaknakan sesuatu (Barthes, 1983: 107-109). Jika menurut Barthes (1983: 109) sebuah objek dapat menjadi sebuah speech, maka objek desain kemasan jamu dapat berfungsi juga sebagai sebuah speech. Lebih jauh lagi peneliti melihat bahwa dalam teori semiotika Roland Barthes, konteks yang dibicarakan oleh semiotika meliputi struktur sosial, yaitu mitos dan ideologi, yang belum dibicarakan adalah konteks wacananya. Langue diperlukan untuk memahami speech dan speech diperlukan untuk melihat lebih jauh ideologi, subjek yang berbicara dan yang diajak bicara. Desain kemasan sebagai langue berfungsi sebagai sistem bahasa. Desain kemasan berfungsi sebagai speech ketika ia diproduksi dan disebarluaskan. Maka desain kemasan jamu dan produknya tidak hanya merupakan representasi dalam arti produksi makna melalui bahasa tetapi juga bagian dari produksi pengetahuan melalui wacana yang berhubungan dengan praktik sosial dan kekuasaan. Maka peneliti melihat perlunya menganalisis wacana-wacana dalam konsep speech yang mengkonstruksi makna dan implikasi ideologisnya secara diakronik dalam hal evolusi dari waktu ke waktu. Apalagi desain kemasan jamu tentunya tidak terlepas dari produk yang dikemasnya, yaitu jamu yang mengklaim dirinya sebagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
33
1.6.4. Wacana Wacana menurut Foucault tidak hanya berhubungan dengan apa yang dikatakan atau tentang apa yang ditulis, tetapi juga meliputi apa yang tidak pernah dikatakan, yang didiamkan. Wacana melampaui segala yang jelas karena selalu ada rahasia yang begitu mendasar yang tidak pernah cukup untuk dipahami. Terdapat dua manifestasi wacana, yang pertama menekankan tentang sumber pencarian asal wacana yang berada di luar jangkauan sejarah; yang kedua melihatnya sebagai sebuah interpretasi dari ‘apa yang didengar’ dari ‘apa yang dikatakan’ dimana pada saat yang sama ‘tidak dikatakan’ (Foucault, 1972: 27-28). Foucault tidak menyangkal bahwa hal-hal dapat memiliki keberadaan materi di dunia nyata. Apa yang ia maksudkan adalah bahwa 'tidak ada yang berarti di luar wacana' (Foucault, 1972). Konsep wacana bukan tentang apakah hal ada tetapi tentang dari mana makna berasal. Menurut Hall (1992: 291), Foucault mengartikan wacana sebagai: “sekelompok pernyataan yang menyediakan bahasa untuk berbicara, cara merepresentasikan pengetahuan, topik tertentu pada saat sejarah tertentu ... Wacana adalah tentang produksi pengetahuan melalui bahasa. Tapi karena semua praktik-praktik sosial memerlukan makna, dan membentuk makna dan mempengaruhi apa yang kita lakukan, perilaku kita, semua praktik memiliki aspek diskursif.“
Pada analisis aspek diskursif, peneliti harus memahami pernyataan dalam suatu kejadian; menemukan asal pernyataan, menentukan batas-batasnya, membangun korelasi dengan pernyataan lain yang dapat dihubungkan dengan pernyataan itu, dan menunjukkan apa bentuk lain dari pernyataan yang tidak termasuk di dalamnya. Pemahaman yang tepat untuk analisis tersebut dapat
34
dirumuskan dengan menanyakan: apa keadaan spesifik yang muncul dari apa yang dikatakan yang tidak dikatakan di manapun juga? (Foucault, 1972: 30-31).
1.6.5. Formasi Diskursif (Discursive Formation) Foucault berpendapat, wacana tidak pernah terdiri dari satu pernyataan, satu teks, satu tindakan atau satu sumber. Wacana yang sama, karakteristik dari cara berpikir atau susunan pengetahuan pada satu waktu (apa yang disebut Foucault episteme), akan muncul di berbagai teks sebagai bentuk perilaku di sejumlah situs lembaga yang berbeda dalam masyarakat. Namun, setiap kali peristiwa diskursif 'mengacu pada objek yang sama, berbagi gaya yang sama dan mendukung strategi, lembaga umum, administrasi dan pergeseran politik dan polanya' (Causins dan Hussain dalam Hall, 1997: 44), maka dikatakan oleh Foucault bahwa mereka miliki formasi diskursif yang sama. Secara lebih detail Foucault (1972: 41-42)
menggambarkan formasi
diskursif adalah kondisi dimana “Setiap kali seseorang dapat menggambarkan sejumlah pernyataan, seperti sistem penyebaran, kapanpun, antara objek, tipe pernyatan, konsep, atau pilihan tematik, sebuah keteraturan dapat didefinisikan (urutan, korelasi, posisi dan kegunaan, transformasi), maka kita berhadapan dengan formasi diskursif. Kondisi dimana unsur pembagian ini (objek, modus pernyataan, konsep, pilihan tematik) yang dialami disebut sebagai aturan pembentukan (rules of formation). Aturan pembentukan dikondisikan dari keberadaan (tetapi juga koeksistensi, pemeliharaan, modifikasi, dan penghilangan) dalam pembagian diskursif.”
Foucault menggambarkan pernyataan dalam wacana dan hubungannya, dimana terdapat empat hipotesis dalam formasi diskursif. Hipotesis Pertama: pernyataan yang berbeda dalam bentuk, dan tersebar dalam waktu akan
35
membentuk kelompok jika mereka mengacu pada satu dan objek yang sama. Hipotesis kedua: menentukan kelompok hubungan antara pernyataan-pernyataan, bentuk dan jenis hubungan mereka. Hipotesis ketiga: kemungkinan membentuk kelompok-kelompok pernyataan, dengan menentukan sistem konsep permanen dan koheren yang terlibat. Hipotesis keempat: mengelompokkan kembali pernyataan-pernyataan, menggambarkan hubungan mereka dan menjelaskan bentuk-bentuk kesatuan di mana mereka dihadirkan: identitas dan keberlanjutan tema (Foucault, 1972: 35-39). Sejalan dengan hipotesis di atas, Foucault dalam The Archeology of Knowledge, mengatakan bahwa formasi diskursif dibentuk oleh empat formasi/pembentukan, yaitu: formasi objek, dimana memperlakukan objek sebagai wacana (treating object of discourse), formasi modalitas-modalitas enunsiasi (enunciative modalities) dengan mengatur bentuk-bentuk enunsiasi (arranging forms of enunciation), formasi konsep yaitu dengan memainkan konsep (manipulating concept), formasi strategi dengan membentuk bangunan konseptual (constituting conceptual architecture).
1.6.5.1. Formasi Objek (The Formation of Object) Apa yang menentukan keberadaan objek sebagai wacana adalah penting. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh peneliti adalah pertama-tama memetakan kemunculan dari wacana. Selanjutnya, otoritas-otoritas apa saja yang bermain dalam wacana tersebut termasuk yang membatasi hadirnya wacana lain harus digambarkan. Ketiga, jaringan-jaringan yang membentuk wacana-wacana tersebut secara spesifik harus dianalisis (Foucault, 1972: 45-46).
36
1.6.5.2. Formasi Modalitas-Modalitas Enunsiasi (The Formation of Enunciative Modalities) Dalam pembentukan modalitas-modalitas enunsiasi, pertama-tama harus ditemukan kaidah yang beroperasi di balik berbagai macam pernyataan dan kaidah di mana mereka berasal, di sini Foucault menekankan (Foucault, 1972: 5558) beberapa aspek yaitu: 1) Siapa yang berbicara? Siapa yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Di sini Foucault menekankan pentingnya mengetahui subjek-subjek yang berbicara; 2)
Situs institusional di belakang subjek yang
berbicara harus digambarkan, termasuk di mana subjek membuat wacana-nya, dan dari mana wacana tersebut memperoleh sumber legitimasinya dan batas penggunaannya (objeknya yang spesifik dan alat pembuktiannya); 3) Posisi subjek, dimana menurut Faucault posisi subjek juga ditentukan oleh situasi yang memungkinkan untuknya berbicara, menempati hubungan dengan berbagai domain kekuasaan atau kelompok objek. Seseorang dapat menjadi subjek yang mempertanyakan, subjek yang mendengar, subjek yang melihat, subjek yang mengobservasi. Maka dapat dipahami, wacana bukanlah perwujudan sebuah pemikiran besar, pengetahuan, subjek yang berbicara, tetapi kebalikannya, sebuah totalitas, dimana penyebaran subjek dan diskontinuitas dengan dirinya dapat ditentukan. Ini adalah ruang bagian luar dimana sebuah jaringan situs disebarkan. Melihat apa yang dikatakan Foucault tentang formasi diskursif dan formasi modalitasmodalitas enunsiasi maka dapat dikatakan bahwa penentuan sebuah wacana tidak
37
dilakukan dengan ‘kata-kata’ ataupun ‘hal-hal’ tetapi dengan mendefiniskan objek yang tepat untuk formasi diskursif; dengan cara yang sama, subjek-subjek yang berbicara seharusnya juga didefinisikan (Foucault, 1972: 60-61).
1.6.5.3. Formasi Konsep (The Formation of Concept) Seperangkat pernyataan bukanlah suatu yang berurutan, berkelanjutan dalam sebuah kondisi yang kaku. Maka pernyataan harus diorganisasikan di mana mereka muncul dan beredar di dalam formasi konsep (Foucault, 1972: 62-66). Pertama-tama pengorganisasian ini melibatkan bentuk rangkaian, yang terdiri dari berbagai urutan dari rangkaian enunsiasi disusun dalam suatu cara di mana suatu peristiwa didistribusikan dalam rangkaian laporan yang
linear.
Dalam
pengorganisasian ini diatur pula berbagai jenis pernyataan yang saling tergantung satu sama lain. Selanjutnya perlu dilakukan pengaturan berbagai skema retorika yang dapat dikombinasikan menurut kelompok laporan, dimana perubahan susunan teks terhubung satu sama lain. Kedua, formasi konsep mengatur konfigurasi bidang enunsiasi juga melibatkan bentuk yang berdampingan. Hal ini pertama-tama menggarisbawahi bidang nyata (field of presence). Bidang nyata ini dipahami sebagai semua pernyataan yang diciptakan di tempat lain dan diangkat dalam sebuah wacana, diakui sebagai kejujuran, yang melibatkan deskripsi yang sesuai, alasan yang cukup mendasar, atau perkiraan yang diperlukan; konfigurasi ini harus memberikan perhatian kepada mereka yang dikritik, didiskusikan, dan dinilai, serta mereka yang ditolak atau dikecualikan. Formasi ini juga dapat
38
menggambarkan
bidang
yang
seiring/terjadi
bersama-sama
(field
of
concomitance). Hal ini termasuk pernyataan yang ada di domain yang cukup berbeda dari objek, dan termasuk dalam wacana yang berbeda, namun muncul terus-menerus di antara pernyataan, baik karena mereka dianggap sebagai penegasan atas dasar kesamaan, atau karena mereka berfungsi sebagai prinsip umum dan diterima sebagai penalaran, atau karena mereka berfungsi sebagai model yang dapat ditransfer ke konten lainnya, atau karena mereka berfungsi sebagai otoritas yang lebih tinggi dari setidaknya dalam beberapa proposisi yang dipaparkan. Terakhir, bidang enunsiasi melibatkan apa yang disebut bidang memori (field of memory). Dalam bidang memori ini pernyataan tidak lagi diterima atau dibahas, dan tidak lagi menentukan kebenaran atau domain validitas, tetapi dapat dikaitkan dengan pembentukan hubungan keturunan, genesis, transformasi, kontinuitas, dan diskontinuitas sejarah. Terakhir, formasi konsep mendefinisikan prosedur intervensi yang sekiranya sah diterapkan pada suatu pernyataan. Prosedur ini bisa jadi tidak sama pada tiap-tiap formasi diskursif, baik yang digunakan untuk mengeksklusi, menghubungkan
formasi
diskursif
dan
menyatukannya.
Prosedur
ini
dimungkinkan muncul dalam: teknik penulisan ulang (technique of rewritting); metode menyalin pernyataan (methods of transcribing statements) yang diartikulasikan dalam bahasa sehari-hari; cara menerjemahkan pernyataan kuantitatif ke dalam formulasi kualitatif dan sebaliknya (methods of translating) termasuk pembentukan hubungan antara pengukuran persepsi dan deskripsi. Selain itu prosedur intervensi dapat digunakan pada cara-cara untuk meningkatkan
39
ketepatan dalam memperkirakan suatu pernyataan, seperti analisis struktural yang terkait dengan bentuk, jumlah, susunan, dan ukuran elemen yang memungkinkan pernyataan deskriptif mencapai lebih dekat dan lebih akurat di antara semua pendekatan; cara di mana satu pembatasan diperlukan untuk mengukur validitas pernyataan; cara di mana salah satu pernyataan diperlukan untuk mentransfer jenis pernyataan dari satu bidang aplikasi ke aplikasi lainnya. Prosedur intervensi ini dapat dijadikan sebagai metode sistematisasi untuk proposisi yang sudah ada karena mereka telah dirumuskan sebelumnya, tetapi dalam keadaan terpisah; atau sebagai metode distribusi pernyataan yang sudah saling berhubungan tapi harus ditata kembali dalam keseluruhan sistematika yang baru. Unsur-unsur yang Foucault usulkan untuk menganalisis formasi diskursif berbeda. Apa yang sebenarnya milik formasi diskursif dan apa yang memungkinkan untuk membatasi kelompok konsep, berbeda karena mereka adalah cara di mana unsur-unsur yang berbeda terkait satu sama lain, misalnya, urutan deskripsi atau catatan terkait dengan teknik menulis ulang; cara di mana bidang memori terkait dengan bentuk hirarki dan subordinasi yang mengatur teks pernyataan; cara di mana cara-cara pendekatan dan pengembangan pernyataan terkait dengan mode kritik, komentar dan interpretasi pernyataan yang dirumuskan sebelumnya, dan lain-lain. Ini adalah hubungan kelompok yang merupakan sistem pembentukan konseptual. Dalam rangka untuk menentukan dengan lebih tepat apa yang dimaksud dengan 'prakonseptual', Foucault mengambil contoh dari empat 'schemata teoritis', dalam buku The Order of
40
Things. Keempat skema atribusi, artikulasi, penandaan, dan penggalian, memungkinkan untuk menggambarkan (Foucault, 1972: 66-68): 1) Bagaimana analisis gramatikal yang berbeda dapat diatur dan disebarkan; dan apa bentuk rangkaian yang memungkinkan antara analisis kata benda, kata kerja , dan kata sifat, yang menyangkut bahasa asli (langue), dan yang memproyeksikan bahasa buatan (langue). 2) Bagaimana tata bahasa umum mendefinisikan domain validitas untuk dirinya sendiri (menurut kriteria yang dapat membahas kebenaran atau kepalsuan dari sebuah proposisi); bagaimana hal itu merupakan domain normatif untuk dirinya sendiri (menurut kriteria yang memungkinkan untuk mengecualikan pernyataan tertentu sebagai yang tidak relevan dengan wacana, atau sebagai yang tidak esensial atau marginal atau sebagai non-ilmiah; bagaimana tata bahasa umum mendasari domain aktualitas untuk dirinya sendiri (meliputi bagaimana memperoleh solusi, mendefinisikan masalah, menempatkan konsep dan pernyataan yang tidak digunakan). 3) Cara di mana sirkulasi, transfer dan modifikasi konsep, perubahan bentuk atau perubahan di bidang aplikasi mereka, dimungkinkan antara satu bidang domain dan lainnya. 4) Bagaimana dari berbagai konsepsi kata kerja 'to be', dari kata kerja penghubung, verbal yang radikal dan akhir flexional secara bersamaan atau mungkin berturut-turut; berbagai konsepsi dari unsur-unsur fonetik, alfabet, nama, dari nominal-nominal dan kata sifat; berbagai konsep kata benda dan
41
kata benda umum, demonstratif, akar nominal, suku kata; berbagai konsep asli dan bahasa asal (langage), metafora dan angka, bahasa puisi. Dalam menganalisis formasi objek, formasi jenis enunsiasi dan formasi konsep dimungkinkan adanya konsep yang heterogen, tidak terikat pada satu tema, keyakinan dan representasi (Foucault, 1972: 70). “Untuk menganalisis aturan formasi objek, seseorang tidak harus, mewujudkan mereka dalam hal-hal, atau mengaitkannya dengan domain kata-kata; untuk menganalisis formasi jenis enunsiasi, seseorang tidak harus menghubungkannya baik dengan subjek yang mengetahui, atau individu secara psikologis. Demikian pula, untuk menganalisis pembentukan konsep, seseorang tidak harus menghubungkannya dengan baik ke ranah yang idealistis, atau kemajuan empiris dari sebuah ide.”
1.6.5.4. Formasi Strategi-Strategi (The Formation of Strategies) Selanjutnya
Foucault
(1972:
72-78)
menjelaskan
bahwa
untuk
menunjukkan arah di mana penelitian akan dilanjutkan, formasi strategi-strategi penting untuk pertama-tama menentukan kemungkinan titik difraksi wacana. Titik-titik ini dicirikan sebagai titik ketidakcocokan: dua benda, atau dua jenis enunsiasi, atau dua konsep yang mungkin muncul, dalam formasi diskursif yang sama, tanpa bisa masuk di dalam kontradiksi yang jelas pada serangkaian pernyataan yang sama. “Mereka ditandai sebagai titik kesetaraan: dua elemen yang tidak kompatibel terbentuk dengan cara yang sama dan atas dasar aturan yang sama; kondisi penampilan mereka identik; mereka terletak pada tingkat yang sama; dan bukan hanya merupakan cacat koherensi, mereka membentuk alternatif. Terakhir, mereka ditandai sebagai titik hubungan sistematisasi: atas dasar kesetaraan masing-masing, namun terdiri dari unsur-unsur yang tidak kompatibel, serangkaian objek koheren, bentuk pernyataan, dan konsep yang telah diturunkan.”
42
Kedua, formasi strategi ini dapat menggambarkan otoritas tertentu yang dipandu satu pilihan. Wacana yang diteliti mungkin juga dalam hubungan analogi, oposisi, atau saling melengkapi dengan wacana tertentu lainnya. “Sebuah formasi diskursif yang diberikan dapat mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru; tapi tidak berurusan dengan konten diam yang tetap implisit, yang telah dikatakan dan namun tidak mengatakan, dan yang berada di bawah pernyataan pendek yang nyata dari subdiscourse yang lebih mendasar, dan yang sekarang muncul akhirnya menjadi terang; apa yang dihadapi adalah modifikasi dalam prinsip eksklusi dan prinsip kemungkinan pilihan; modifikasi yang disebabkan oleh penyisipan dalam konstelasi diskursif baru.” Ketiga, melalui formasi strategi penentuan pilihan teoritis yang dibuat juga tergantung pada otoritas lain. Otoritas ini ditandai pertama dengan fungsi bahwa wacana yang diteliti harus dilakukan dalam bidang praktik non diskursif. Otoritas ini juga melibatkan aturan dan memproses apropriasi wacana. Terakhir, otoritas ini ditandai dengan kemungkinan hasrat posisi dalam kaitannya dengan wacana. Sebuah formasi diskursif akan berbeda dari yang lain jika seseorang dapat menentukan sistem pembentukan strategi yang berbeda yang dikerahkan di dalamnya; dengan kata lain, jika seseorang dapat menunjukkan bagaimana semua berasal dari perangkat yang sama dari relasi. Foucault mengatakan dalam The Archeology of Knowledge bahwa ia telah menggunakan 'wacana' untuk merujuk kepada 'domain umum dari semua pernyataan, kadang-kadang sebagai praktik yang diatur yang menyumbang sejumlah pernyataan' (Foucault, 1972: 90). Dari berbagai macam definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, dan juga pembahasan tentang formasi apa saja yang membentuk formasi diskursif, maka menurut Foucault:
43
“Formasi diskursif adalah sistem enunsiasi umum yang mengatur sekelompok pernyataan verbal, sebuah sistem yang tidak sendirian dalam mengaturnya, karena formasi diskursif juga mematuhi, dan sesuai dengan dimensi lainnya, logis, linguistik, dan sistem psikologis. Apa yang telah disebut 'formasi diskursif' membagi bidang umum hal-hal yang dikatakan pada tingkat pernyataan tertentu. Empat arah di mana ia dianalisis (formasi objek, formasi posisi subjektif, formasi konsep, formasi pilihan strategis) sesuai empat domain di mana fungsi enunsiasi beroperasi.” Sebuah pernyataan adalah kepunyaan formasi diskursif sebagaimana sebuah kalimat adalah milik teks. Formasi diskursif adalah sistem enunsiasi yang mengatur sekelompok pernyataan, sedangkan wacana menurut Foucault: “Wacana disebut sebagai sekelompok pernyataan sejauh mereka termasuk dalam formasi diskursif yang sama; tidak membentuk satu kesatuan retoris atau formal, tanpa henti berulang, yang penampilannya atau penggunaannya dalam sejarah memungkinkan untuk diindikasikan (dan, jika perlu, menjelaskan); terdiri dari sejumlah pernyataan kelompok yang kondisi keberadaannya dapat didefinisikan.” Wacana dalam pengertian Foucault bukan merupakan bentuk ideal, abadi yang juga memiliki sejarah; bukan karena bagaimana menjadi satu-satunya dan mengapa hal itu dapat muncul dan diwujudkan pada saat ini. Wacana sangat berhubungan dengan dimensi historis, dari awal sampai akhir terdiri dari sejarahfragmen sejarah, kesatuan dan diskontinuitas dalam sejarah itu sendiri, menghadapi
masalah
dengan
batas-batasnya
sendiri,
pembagiannya,
transformasinya, mode yang bersifat khusus dan sementara, dan bukan muncul tiba-tiba pada suatu waktu (Foucault, 1972: 130-131). Berdasarkan teori-teori yang telah diulas di atas, peneliti mencoba membuat bagan yang telah disempurnakan yang akan menjadi konsep dalam penelitian disertasi “Makna Desain Kemasan Jamu Khusus Wanita dan Wacana yang Mengkonstruksinya.”
44
DESAIN KEMASAN JAMU KHUSUS WANITA
MAKNA IDEOLOGI Analisis
Semiotik
FORMASI DISKURSIF
Analisis Wacana
Gambar 1.1. Implementasi Teori dalam Konsep Penelitian Disertasi
1.7. METODE PENELITIAN Penelitian disertasi ini adalah penelitian kualitatif melalui pendekatan tekstual/literatur dengan menggunakan dua metode analisis, yaitu semiotika dan wacana.12
Kombinasi
metode
penelitian
diharapkan
mampu
menjawab
permasalahan dalam penelitian disertasi ini. Sebagaimana disampaikan oleh Paula Saukko, di mana penelitian kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik, wacana, lived experience (pengalaman yang hidup), text(teks) dan social context (konteks sosial). (Sauko, 2003), penelitian disertasi ini akan memprioritaskan analisanya secara tekstual pada pertama-tama semiotik sebagai pintu masuk untuk menganalisis desain kemasan jamu khusus wanita
12
Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality (Saukko, 2003).
45
yang menjadi lokus penelitian. Kedua adalah wacana dari produk jamu dengan melihat formasi diskursif pada masing-masing periode. Sumber datanya akan menggunakan data dari dokumen-dokumen utama, data observasi lapangan serta beberapa media pendukung lainnya.
1.8. METODE PENGUMPULAN DATA Penelitian dilakukan pertama-tama dengan mengumpulkan data berupa produk-produk jamu baik lewat internet maupun survei ke agen-agen jamu yang menjual jamu berbentuk bubuk khusus wanita 13 dalam kemasan. Sebagai data pelengkap, peneliti juga melakukan survei dan observasi 14 lapangan di kios-kios jamu sambil melakukan wawancara secara informal. Adapun desain kemasan jamu yang diteliti adalah produk yang dihasilkan oleh produsen yang berada di Jawa Tengah yaitu kota Solo, Semarang, dan di Jawa Timur yaitu kota Surabaya. Pusat jamu yang besar berada di kota Solo, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya (Beers, 2001: 162). Penelitian terhadap desain kemasan jamu dilakukan dengan menggunakan seluruh produk jamu khusus wanita yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti, dimana jamu yang dikemas oleh desain kemasan jamu telah bertahan selama
13
Alasan peneliti menggunakan kata wanita dan bukan perempuan adalah lebih banyak produk jamu yang menggunakan kata wanita seperti sehat wanita dibandingkan sehat perempuan, dalam primbon digunakan kata wanita usodo dan kata wanita lebih dekat dengan kesadaran praktis sehari-hari masyarakat Jawa. Kata wanita berasal dari kata “wani” (berani) dan “ditata” (diatur). Wanita Jawa adalah orang yang berani diatur tetapi bukan berarti pasif dan tergantung kepada orang yang mengaturnya. Kata wanita konon berasal dari kata “wani” (berani) dan “tapa” (menderita). Artinya adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Sedangkan akar kata “perempuan” adalah “empu” yang berarti guru. Makna kata ini lebih menggambarkan kenyataan normatif daripada kenyataan praktis sehari-hari. (Hadayani, 2004: vi-vii). 14 Pengamatan (observation) adalah pengamatan sistematis dan terencana untuk mengamati masalah yang diteliti. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data primer mengenai gejala-gejala yang berkaitan dengan obyek penelitian dan data sekunder untuk mempertajam analisis, dengan cara: mengamati secara langsung aktivitas tempat-tempat yang dikunjungi (Singarimbun, 2006). Dalam hal ini, teknik pemotretan juga digunakan untuk memperjelas situasi empirik dilapangan (Singarimbun, 2006).
46
puluhan tahun dengan menggunakan gambar wanita, foto artis maupun foto pendirinya. Dari sekian banyak desain kemasan dan data15 yang dikumpulkan di lapangan, peneliti memutuskan untuk mengambil desain kemasan jamu yang diproduksi oleh lima pabrik jamu: Air Mancur, Sido Muncul, Nyonya Meneer, Jamu Jago dan Jamu Iboe. Selain bertahan selama lebih dari 45 tahun dan menggunakan gambar dan foto wanita, beberapa indikator yang menunjang pemilihan desain kemasan yaitu: 1. Desain kemasan merupakan produk industri jamu pabrikan besar yang produknya dijual di agen/kios/depot jamu16, hampir di seluruh pulau Jawa. 2. Industri jamu dibatasi yang ada di pulau Jawa 17, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur.18 Industri jamu tersebut juga memproduksi jamu dalam bentuk yang lebih modern seperti pil, kapsul, tablet dan cair, tetapi masih mempertahan produknya yang berbentuk bubuk/serbuk dalam kemasan 3. Industri jamu yang dipilih adalah yang terbukti dapat bertahan selama paling tidak tiga atau empat generasi sampai saat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri jamu telah ada sejak lama, demikian juga desain kemasan yang mereka gunakan.
15
Peneliti mengumpulkan desain kemasan jamu dan beberapa data tentang jamu melalui survei ke agen-agen jamu, observasi, wawancara informal dan browsing di internet, sekaligus memastikan bahwa desain kemasan jamu tersebut sesuai dengan kriteria indikator pemilihan desain kemasan. 16 Industri jamu tersebut mempunyai agen/kios/depot jamu sendiri, paling tidak pada agen tertera papan nama atau neon box produsen tersebut, meskipun produk yang dijual beraneka merek. 17 Peta penyebaran dokumentasi tertulis kekayaan tumbuhan obat di Nusantara paling banyak terdapat di Pulau Jawa (Trubus, Juni 2010: 5). 18 Peneliti membatasi penelitian pada jamu yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena produsen jamu yang terbesar, terlama, dan terkenal berada di kedua wilayah tersebut.
47
4. Desain kemasan jamu yang diteliti difokuskan pada produk jamu bubuk/serbuk yang diminum dengan cara diseduh untuk kesehatan dan kecantikan wanita. 5. Desain kemasan jamu khusus wanita adalah desain yang telah lama dipakai, dapat dilihat secara visual melalui: artis/pendiri, model pakaian, rambut, make up, dan lain-lain. dan dapat dibuktikan melalui survei di agen-agen jamu dan website perusahaan jamu. 6. Desain kemasan jamu yang dipilih menggunakan material kertas atau aluminium foil berbentuk persegi panjang dengan ukuran ± 7 x 10 cm. Total desain kemasan yang diteliti adalah 92 desain kemasan jamu khusus wanita, yang terdiri dari 14 desain kemasan jamu Air Mancur, 19 desain kemasan jamu Sido Muncul, 12 desain kemasan Jamu Jago, 24 desain kemasan jamu Nyonya Meneer, dan 23 desain kemasan Jamu Iboe. Diskusi tentang analisis ideologi pada teks membuat para peneliti menjadi sadar pada pentingnya sejarah dan politik untuk menyokong teori dan metode mereka (Saukko, 2003: 115). Untuk data analisis wacana, peneliti mengumpulkan data lain di luar desain kemasan jamu. Data tersebut diambil baik dari Peraturan Pemerintah, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan jamu dan obat-obatan dan tidak dibatasi oleh media tertentu. Sebagaimana dinyatakan Foucault, penelitian “arkeologi” yang membentuk dasar dari analisis genealogi fokus pada apa yang dikatakan oleh dokumen historis (Foucault, 1972: 7). Dengan demikian diharapkan pengumpulan dokumen-dokumen, studi literatur yang dilakukan peneliti sejalan dengan rekonstruksi sejarah Foucault yang bergantung pada setiap
48
sumber yang mungkin: catatan, biografi, arsip nasional, surat-surat yang tidak dipublikasikan ditemukan di loteng, novel, puisi, dan lain-lain (Wuthnow, dkk., 1987: 142). Disinilah peneliti melihat bahwa genealogi diperlukan sebagai metode yang dapat mengungkap yang taken for granted, seperti ilmu pengetahuan, kebenaran yang adalah konstruk historis yang berakar dari agenda sosial dan politik tertentu. Menurut beberapa pakar (Rose, 1996), genealogi adalah metode yang membantu untuk membongkar bentuk-bentuk otoritas pengetahuan, dengan demikian memberikan peluang kepada orang-orang untuk melakukan re-imajinasi mereka sendiri dan hidup mereka dengan cara yang baru. Menurut Saukko, genealogi adalah metode analisis yang terutama didesain untuk mempertanyakan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang mapan. Genealogi sebagai metode fokus pada kompleksitas wacana, tujuannya tidak hanya secara sederhana menyatakan “buruk” atau “baik”, tetapi dapat membuat kita melihat bahwa mereka selalu “berbahaya.” Genealogi adalah sebuah perkembangan dari analisis arkeologi
yang
lebih
peduli
pada
bekerjanya
kekuasaan
dan dengan
menggambarkan ‘sejarah masa kini’ (history of the present) (Mills, 2003: 25). Smart membedakan antara analisis arkelogikal dan genealogikal. Dia berpendapat bahwa investigasi arkeologis ditujukan pada analisis formasi aturanaturan yang tidak disadari, yang mengatur munculnya wacana dalam ilmu pengetahuan manusia. Sebaliknya, analisis genealogi mengungkap munculnya ilmu pengetahuan manusia, kondisi keberadaannya, yang tidak memungkinkan untuk diasosiasikan dengan teknologi kekuasaan tertentu yang menyatu dalam
49
praktik sosial (Smart 1985: 48). Inilah yang Foucault sebut genealogi, sebuah bentuk sejarah yang dapat membangun pengetahuan, wacana, bidang-bidang objek, dan lain sebagainya, tanpa mengacu pada subjek yang bersifat transendental dalam relasinya dengan arena peristiwa (Foucault, 1980: 117). Sebelum masuk pada analisis desain kemasan jamu, peneliti melihat perlunya menyajikan data tentang perusahaan jamu beserta desain kemasan jamu khusus wanita yang digunakan pada penelitian disertasi ini. Data tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.
1.9. METODE ANALISIS DATA Dalam penelitian ini analisis semiotik dibutuhkan dan penting untuk mengungkap teks sebagai yang ideologis guna mengungkap yang seakan-akan alamiah. Desain kemasan jamu akan dianalisis
pertama-tama menggunakan
tahap-tahap konotasi yang terdiri dari tiga tahap pertama yaitu: efek tipuan (trick effect), pose atau sikap (pose), objek (objects) dan satu dari tiga tahap selanjutnya yaitu:
fotogenia
(photogenia).
Analisis
desain kemasan
jamu
tersebut
menghubungkan satuan-satuan tekstual satu sama lain dengan bantuan kode semiotik19 untuk menemukan makna-makna konotatif. Kedua, menghubungkan makna-makna denotatif dan konotatif untuk menemukan naturalisasi. Salah satu unit universal yang digambarkan semiotik adalah tanda (sign), terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Apa yang penting dari sudut pandang cultural
19
Semiotika membutuhkan analisis detail tentang image dan bergantung pada studi kasus dan mengelaborasikan terminologi analitis yang menghasilkan perhitungan yang teliti dan tepat tentang bagaimana image tertentu dibuat. Semiotika peduli dengan konstruksi perbedaan sosial melalui tanda. Semiotika fokus pada ideologi, dominant code dan apa saja yang resistan terhadapnya (Rose, 2002: 96).
50
studies adalah hubungan penanda dan petanda yang dipahami sebagai arbitrary, masalah konvensi atau sebagai masalah politis. Lebih jauh, rangkaian antara penanda dan petanda tertentu terbuka untuk negosiasi atau tanda-tanda dipahami sebagai banyak makna (polysemic atau multiaccentual) (Volosinov, 1973). Jadi, tanda dapat diinterprestasikan berbeda pada konteks yang berbeda oleh kelompokkelompok yang berbeda. Pada istilah teoritis yang lebih luas, teori dan metode semiotik membantu cultural studies untuk mereformulasikan ideologi dominan yang sering diinterprestasikan sebagai ide dominan atau borjuis, yang “mengaburkan” pemahaman masyarakat akan realitas sosial dan ketidakadilan (Saukko, 2003: 101). Ciri khas cultural studies baik bentuk yang klasik maupun kontemporer adalah analisis teks atau wacana, tetapi paradigma ini dicurigai bertendensi untuk mempersempit fenomena sosial ke dalam teks (Ferguson & Golding, 1977). Bagaimanapun juga bentuk yang spesifik dari pendekatan cultural studies pada teks tidak hanya menguji bentuk formal dan estetis, pola-polanya meneliti bagaimana teks-teks budaya muncul dan berperan mengubah sejarah, politik dan konteks sosial. Jadi, karakteristik pendekatan cultural studies pada budaya bukan “tekstual” tetapi “kontekstual” (Grossberg, 1997). Selanjutnya peneliti menganalisis data-data wacana seputar jamu. Peneliti pada awalnya melihat secara diakronik, wacana-wacana apa saja yang bermain. Kemudian data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan formasi diskursif Foucault. Pertama-tama, peneliti menentukan formasi objek yang terdiri dari objek wacana, otoritas yang bermain dan jaringan-jaringan yang membentuk
51
wacana. Kedua adalah pembentukan modalitas-modalitas enunsiasi, dimana peneliti akan melihat siapa yang berbicara, institusi di belakang subjek yang berbicara dan bagaimana posisi subjek. Ketiga adalah menentukan formasi konsep, formasi ini melibatkan pengorganisasian bentuk rangkaian enunsiasi, konfigurasi bidang enunsiasi dan prosedur intervensi. Keempat adalah menentukan formasi-formasi strategi yang penting untuk menentukan difraksi wacana, menggambarkan otoritas tertentu dan menentukan pilihan teoritis.
1.10. SISTEMATIKA PENULISAN DISERTASI Bab I. Pendahuluan Bab pendahuluan ini berisikan tentang latar belakang mengapa penelitian ini diperlukan. Latar belakang masalah tersebut dijelaskan dengan lebih ringkas pada permasalahan penelitian, dilengkapi dengan penjelasan tujuan dan manfaat penelitian. Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang menelaah penelitian-penelitian sebelumnya yang dibandingkan dengan penelitian disertasi ini. Landasan teori diulas dengan mengambil dua teori besar, yaitu teori semiotika Roland Barthes dan teori wacana dari Michel Foucault. Bab ini juga memuat tentang metode penelitian termasuk di dalamnya metode pengumpulan data dan analisis data. Bab II. Ideologi pada Desain Kemasan Jamu Khusus Wanita Melalui
analisis
semiotik
terungkap
serangkaian penanda
yaitu:
‘femininitas’ dan ‘maskulinitas, ‘etnisitas’ dan ‘nasionalitas’, ‘lokal’ dan ‘global’, ‘tradisionalitas’ dan ‘modernitas’, ‘alamiah’ dan ‘ilmiah’, ‘natural’ dan ‘kultural.’ Secara umum, dapat dikatakan femininitas wanita pada desain kemasan jamu
52
menggambarkan sensualitas wanita secara tradisional dan modern, natural dan kultural. Di balik ideologi femininitas, terdapat kekuasaan yang lebih besar yaitu kekuasaan patriarkal. Bab III. Oposisi Desain Kemasan Jamu, Obat dan Herbal Implikasi ideologis femininitas yang tradisional, femininitas yang modern, dan tubuh wanita yang digambarkan secara natural dan kultural, seolah menggambarkan hubungan jamu dengan obat yang tradisional dan modern, alamiah dan ilmiah, natural dan kultural. Teks-teks pada desain kemasan jamu yang dinamis seolah bertentangan dengan imaji wanita yang statis. Melalui serangkaian analisis yang membandingkan antara desain kemasan jamu, obat dan herbal diketahui bahwa desain kemasan jamu di satu sisi ingin sama dengan obat dan herbal, di sisi lain menjadikan dirinya berbeda dengan obat dan herbal. Bab IV. Jamu dalam Wacana Wacana nasionalisme menyuarakan jamu sebagai obat asli, wacana tradisi mengatakan jamu sebagai obat tradisional dan wacana medis membuat jamu menjadi herbal. Jamu terus mencoba bernegosiasi dengan apa yang disebut saintifikasi. Rezim medis saat ini menjadi regime of truth yang dikonstruksi oleh negara. Pembentukan objek menggambarkan bahwa jamu berada di bawah obat dan herbal. Demikian pula dalam posisi subjektifitas, pengobat tradisional berada di bawah semua otoritas baik negara, medis dan pemilik modal. Namun jamu mempunyai formasi konsep yang tidak ingin dikalahkan oleh obat dan herbal. Di satu sisi jamu ingin membedakan diri dengan obat dan herbal, tetapi di sisi lain
53
jamu berusaha setara dengan obat. Melalui desain kemasanya, yaitu nama produk dan imaji wanita, jamu memiliki strategi untuk bersaing dengan obat dan herbal. Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini secara rinci telah menunjukkan bahwa ternyata keputusan mendesain maupun meredesain, revolusi maupun evolusi desain tidak hanya berhubungan dengan kepentingan pemasaran saja, atau hubungan antara produsen dan konsumen, tetapi juga dengan produk lain seperti tampak dalam pertarungan antara jamu, obat dan herbal. Kontribusi penelitian disertasi ini bersifat metodologis. Pemanfaatan berbagai perspektif mampu mengungkap banyak hal yang tak akan terungkap jika kajian dibatasi dalam teori atau metodologi kajian desain semata. Demikian pula desain kemasan jamu dapat memperkaya objek penelitian dalam kajian budaya.