BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Sebuah keluarga dimanapun berada dapat dipastikan ada keinginan untuk mendapatkan buah hati (anak) dari hasil pernikahannya. Keinginan memiliki keturunan adalah sifat kodrati bagi siapa saja karena merupakan salah satu hukum alam yang terjadi bagi seluruh makhluk hidup termasuk manusia. Andira (2010) menyatakan bahwa setiap makhluk hidup memiliki tujuan untuk melestarikan jenisnya. Hadi (2009) menambahkan, setelah mengikatkan hati dan raga dalam wadah pernikahan, yang sangat didambakan berikutnya oleh pasangan suami isteri adalah memiliki “momongan” atau anak. Al-Amin (2011) mengemukakan arti pentingnya kehadiran seorang anak. Anak adalah titipan Tuhan dan merupakan kebahagiaan hidup dalam rumah tangga. Anak merupakan anugerah terindah bagi pasangan suami isteri, yang kelak akan meneruskan perjuangan dan kehormatan keluarga. Bahkan, anak yang shalih akan menjadi pelita bagi keluarga. Masyarakat Indonesia memiliki gambaran ideal dalam sebuah keluarga yaitu dengan adanya ayah, ibu, dan anak. Keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar, karena anak sebagai simbol kesuburan dan keberhasilan (Hadi, 2009). Berdasarkan sensus penduduk di Indonesia, diperoleh angka ketidaksuburan suami istri yang berkisar sekitar 12-25 persen, jadi 1 dari 10 pasangan suami istri usia subur mengalami infertilitas atau gangguan tidak bisa memperoleh keturunan (Wiweko, 2010). Sejalan dengan program Keluarga Berencana (KB) yang menjadi program dunia dengan pemakaian kontrasepsi yang lebih luas, data statistik menunjukkan 1
2 penurunan angka kelahiran pada penduduk kota. Namun, di balik itu tanpa ikut KB pun sekarang ini banyak pasangan muda yang sulit mendapatkan anak. Peningkatan angka ketidaksuburan yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini disebabkan oleh banyak hal, selain penurunan faktor kesuburan (produksi sel telur yang sehat) itu sendiri. Semakin banyak wanita yang menunda memiliki anak karena berbagai alasan, diantaranya karena pertimbangan kondisi ekonomi yang belum memungkinkan, peraturan perusahaan untuk menunda kehamilan, takut kehilangan keindahan tubuhnya, dan karena perubahan sikap terhadap fungsi keibuan yang menganggap kehamilan sebagai beban perkembangan karir (Nene, Coyaji, & Apte, 2005). Kesulitan memiliki keturunan disebut juga dengan istilah infertilitas. Infertilitas dapat dikategorikan kepada suatu gangguan sistem reproduksi yang didefinisikan sebagai kegagalan reproduktif untuk mencapai kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan intim tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers-Hochschild, Adamson, de Mouzon, Ishihara, Mansour, & Nygren, 2009). Menurut
Muryanta (2012) infertilitas adalah ketidakmampuan seorang
wanita untuk hamil meskipun aktivitas seksual normal dilakukan selama 1 tahun berturut-turut. Menjadi infertil bisa dialami oleh pria atau wanita, atau mungkin juga kedua-duanya sekaligus. Infertilitas biasanya di diagnosis setelah sepasang pria dan wanita telah mencoba menghasilkan pembuahan tanpa hasil selama 12 bulan atau lebih. Infertilitas dapat terjadi bahkan meskipun pernah mempunyai anak. Menurut Muryanta (2012) Infertilitas dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Infertilitas Primer, merupakan suatu keadaan Pasangan Usia Subur (PUS) yang sudah melakukan hubungan intim secara teratur (2‐3 kali seminggu) satu minggu sebelum ovulasi terjadi tanpa menggunakan kontrasepsi selama satu tahun, tetapi
3 masih belum juga terjadi kehamilan. Dengan kata lain, kondisi isteri yang belum pernah hamil walaupun pasangan suami isteri tersebut melakukan hubungan seksual secara tetap atau berkesinambungan selama lebih dari 12 bulan. b. Infertilitas sekunder, merupakan suatu keadaan dimana Pasangan Usia Subur (PUS) yang sudah mempunyai anak dan sudah tidak menggunakan kontrasepsi serta melakukan hubungan intim secara teratur (2‐3 kali seminggu) tetapi tetap belum bisa hamil. Disebutkan bahwa infertilitas sekunder adalah kondisi isteri yang pernah hamil akan tetapi tidak terjadi kehamilan lagi walaupun pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara tetap selama lebih dari 12 bulan. Ada beberapa penyebab yang perlu diperhatikan, mulai dari penyakit menahun, kurang sering berhubungan, dan gangguan pada alat reproduksi. Penyakit menahun, terutama kelainan hormon dan infeksi yang cukup parah, dapat
mempengaruhi
kesuburan.
Kurang
seringnya
berhubungan
seks
merupakan penyebab umum kegagalan pembuahan. Dengan hubungan seks kurang dari 3 kali seminggu, sperma kurang mendapat kesempatan untuk bertemu dengan sel telur di saluran falopi, saluran yang menuju ke rahim, diketahui bahwa sel telur hanya bertahan selama 2 hari menunggu sperma, sedangkan sperma bertahan sampai 3 hari saja (Alshahrani, McGill, & Agarwal, 2013). Halim (2011) mengemukakan banyak faktor penyebab kasus infertilitas itu dapat meningkat, pertama karena usia menikah yang semakin lanjut. Selain itu, waktu intensif untuk hubungan intim suami isteri (senggama) semakin berkurang karena tingkat mobilitas mereka yang semakin tinggi. Juga dapat disebabkan rusaknya sistem reproduksi akibat semakin meningkatnya pula angka infeksi penyakit menular seksual.
4 Sebagaimana yang dikemukakan pada keterangan di atas mengenai infertilitas primer, ditujukan bagi pasangan yang sudah berhubungan intim secara teratur, tidak menggunakan alat kontrasepsi, dan telah menikah selama minimal satu tahun tetapi isteri tidak pernah hamil. Diperolehnya keturunan sangat didambakan oleh tiap pasangan suami isteri, seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (2009) bahwa peran anak mempengaruhi stabilitas perkawinan. Lebih banyak perceraian terjadi karena pasangan tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada karena pasangan mempunyai banyak anak. Ketika norma yang berlaku di lingkungan sosial dan nilai-nilai di masyarakat mendukung kehadiran anak dan sangat menghargai peran sebagai orangtua, ketiadaan anak dapat menjadi status yang dianggap memalukan (stigmatizing status) (Sugiarti, 2008) Santrock (2002) menjelaskan kebutuhan dan harapan orangtua telah menstimulasi banyak anggapan tentang menjadi orangtua; (a) Kelahiran seorang anak akan menyelamatkan pernikahan yang gagal,
(b) Sebagai milik atau
perluasan dari orangtua, anak akan berpikir, merasa, dan berperilaku seperti orangtuanya semasa menjadi anak-anak, (c) Anak-anak akan merawat orangtua dimasa tuanya, (d) Orangtua dapat mengharapkan penghormatan dan mendapatkan kepatuhan dari anak-anak mereka, (e) Memiliki anak berarti orangtua akan selalu memiliki seseorang yang mencintai mereka dan menjadi teman terbaik mereka, (f) Memiliki anak memberikan “kesempatan kedua “ kepada orangtua untuk mencapai apa yang seharusnya mereka capai. (g) Jika orangtua mempelajari teknik yang benar, mereka dapat membentuk anak sesuai dengan keinginan mereka, (h) Adalah kesalahan orangtua jika anak gagal, (i) Ibu secara
5 alami adalah orangtua yang lebih baik daripada ayah, (j) Menjadi orangtua adalah naluri. (Santrock, 2002) Payne (dalam Covington dan Burns, 2006) menegaskan anggapan kultural yang sangat kuat bahwa masyarakat sering menanyakan “berapa jumlah anak yang dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada pasangan suami isteri daripada menanyakan “apakah mereka ingin memiliki anak”. Dalam realisasinya tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di tengah gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (keluarga berencana) di berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami isteri yang justru mengalami infertilitas atau kesulitan untuk memperoleh anak. Bagi banyak orang fenomena kemandulan sama dengan bencana. Salah satu aspek utama yang membuat seorang wanita merasa sempurna adalah kemampuannya untuk hamil dan melahirkan (memiliki anak). Bagi seorang wanita, tidak ada yang lebih meremukkan perasaan selain menghadapi kenyataan bahwa la tidak mampu dibuahi. Erikson menyatakan bahwa tanpa anak seorang wanita akan mengalami kekosongan dan ketidakpuasan, bahkan wanita yang tidak memiliki anakpun di dalam dirinya terkandung keterikatan (attachment) yang kuat dengan anak-anak secara umum (infants) (Donelson, 1999). Masalah kesuburan sangatlah melekat pada identitas yang dimiliki oleh seorang wanita sehingga masyarakat awam sering menyimpulkan persoalan infertilitas berdasarkan sudut pandang yang keliru. Pihak wanita atau isteri sering dicurigai sebagai penyebab tidak adanya keturunan. Istilah “mandul” dalam masyarakat kita sering ditujukan pada wanita yang tidak kunjung hamil dan memiliki anak secara biologis. Hal ini merupakan anggapan yang keliru. Secara
6 realita, padahal suami juga berpeluang mengalami infertilitas. Sugiharto (2003) menyatakan, anggapan masyarakat yang menuduh pihak wanita sebagai penyebab belum hadirnya anak dalam sebuah rumah tangga merupakan anggapan yang keliru, sebab kemungkinan ketidaksuburan bisa berasal dari suami, isteri atau suami isteri secara bersamaan. Akan tetapi Kasdu (2002) menyebutkan bagaimana keadaannya jika secara medis atau faktor-faktor penyebabnya dikarenakan oleh pihak isteri, hal ini tentu mengakibatkan wanita infertil rentan untuk mengalami kecemasan, depresi, dan kelelahan yang berkepanjangan. Menurut Buhler (Mönks, Knoers, & Haditono, 2006) ada beberapa tingkat perkembangan psikis seseorang memasuki dunia; sampai ± 25 tahun disebut tingkat permulaan dan penanjakan, kemudian usia 25-50 tahun disebut tingkat puncak masa hidup, dan terakhir tingkat penurunan dan akhir kehidupan, menarik diri dari kehidupan sesudah 50 tahun. Buhler menambahkan, dalam perkembangan fisik ada empat titik balik yang menentukan: a) Permulaan kemasakan seksual: pada anak laki-laki ± 15 tahun, pada anak wanita ± 13 tahun. b) Penghentian pertumbuhan jasmani: wanita ± 18 tahun, laki-laki ± 25 tahun. c) Akhir masa subur: wanita ± 40-46 tahun, lakilaki masih tanda tanya. d) Permulaan kemunduran biologis: ± 50 tahun. Pada hal ini Santrock (2002) mengemukakan dalam psikologi, tugas perkembangan individu dalam tiap-tiap rentang usia (bayi hingga lansia/dewasa akhir), telah digariskan. Khususnya mengenai perkawinan dan memiliki anak, ini merupakan bagian dari tugas perkembangan individu yang semestinya sudah dicapai pada masa dewasa awal (berkisar 21-35 tahun), sebelum masuk usia tengah baya.
7 Pemaparan Buhler terkait masa subur pada perkembangan fisik wanita disebutkan bahwa usia ± 40-46 tahun termasuk kategori akhir masa subur. Terkait hal ini dipahami bahwa sebelum usia 40-46 kecendrungan wanita menikah ingin memperoleh anak dalam pernikahannya, sehingga munculnya rasa gagal rentan dialami oleh wanita yang berusia hampir memasuki 40 tahun apabila belum mampu hamil dan melahirkan. Pengalaman Stacie Crimm (Haris, 2007) seorang ibu yang demi buah hati, kanker otak dibiarkan menggerogoti tubuhnya. Stace Crimm adalah seorang ibu yang tinggal bersama suaminya di Oklahoma City, Amerika Serikat, sudah bertahun-tahun menikah, namun tidak kunjung memperoleh ‘momongan’. Awalnya, ia mengira bahwa dirinya tidak subur. Namun, ternyata perkiraannya tersebut salah besar. Di usianya yang ke-41 tahun, Stacie dinyatakan positif hamil. Namun, setelah beberapa minggu kehamilan ia mulai merasakan sakit kepala parah, penglihatan ganda, serta tremor yang melanda setiap inci tubuhnya, karena khawatir terhadap kandungannya, pada juni 2012 Stacie memeriksakan kandungannya ke dokter. Setelah dilakukan CT scan, hasilnya menunjukkan bahwa ia menderita kanker kepala dan leher stadium lanjut. Saat itu, dokter mengharuskan ia untuk memilih antara hidupnya atau bayi yang dikandungnya. Ia pun menolak melakukan perawatan kemoterapi dan lebih memilih janinnya tetap hidup, karena khawatir efek negatif kemoterapi dapat berimbas pada janin yang dikandungnya. Namun, akibat keputusan itu tubuh Stacie menjadi sangat lemah selama masa kehamilan. Sampai ia berpesan pada Ray Phillips, kakak kandungnya, jika terjadi sesuatu padanya, ia disuruh untuk merawat anak itu. (Haris, 2007)
8 Semakin hari, kondisi badan Stacie semakin lemah, karena kankernya semakin menjalar dengan cepat. Akan tetapi, ia tetap dalam pendiriannya untuk memilih menyelamatkan bayi yang dikandungnya. Satu bulan setelah diagnosis kanker, pada 16 Agustus 2011, Stacie ambruk tidak sadarkan diri. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, bahwa tumornya telah membungkus sekitar batang otak, karena khawatir terhadap keselamatan nyawa sang bayi, dokter dan para perawat pun melakukan operasi cesar. Meski pada akhirnya Stacie meninggal setelah beberapa waktu pasca-melahirkan, namun bayinya dapat dilahirkan dengan selamat, dan ia pun sempat melihat bayinya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Pengalaman ibu Stacie ini menggambarkan betapa berharganya kehadiran seorang anak. Mengenai
fenomena
infertilitas
di
Indonesia,
penulis
membaca
pengalaman nyata suami isteri yang terangkum dalam buku ‘Akhirnya, aku bisa punya anak’ oleh Hamidin (2012) dengan wawancara langsung terhadap beberapa pasangan yang sulit memiliki keturunan. Di antara inti sari pengalaman tersebut yaitu pengalaman pasangan suami isteri ibu (F) dan bapak (A) yang selama 13 tahun menanti kehadiran anak. Berbeda dengan pengalaman Stacie, setelah melakukan pemeriksaan pada dokter melalui tes Ultrasonografi (USG) pasangan suami isteri ini sulit memperoleh keturunan dikarenakan indung telur pada rahim ibu (F) sedikit turun, sementara sperma bapak (A) mempunyai volume yang kurang, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan anak, kecuali atas izin Tuhan yang Maha Esa. Fenomena ini, menjelaskan bahwa infertilitas tidak disebabkan hanya oleh isteri saja, namun dapat juga disebabkan oleh suami, atau bahkan keduanya. Hal
9 ini mengharuskan pasangan suami isteri untuk mencari pengobatan atau melakukan pemeriksaan secara rutin. Begitu pula dengan pengalaman pasangan suami isteri, sebut saja ibu (RI) dan pak (BS) yang selama sepuluh tahun sulit memiliki anak. Namun, menurut dokter kandungan yang memeriksa, infertilitas ini disebabkan oleh ibu (RI) yang sel indung telurnya sulit pecah. Keadaan infertilitas yang disebabkan oleh ibu (RI) ini ternyata berdampak permasalahan pada rumah tangga mereka, pak (BS) diketahui melakukan perselingkuhan karena merasa hampa dan tidak bahagia dalam rumah tangganya (Hamidin, 2012). Banyak pasangan dengan alasan infertilitas ini yang memilih untuk bercerai atau berpoligami, bahkan mengadopsi anak. Menurut hasil penelitian Qu, Weston, & Kilmartin (2000) mengenai pengaruh infertilitas bagi perubahan dalam hubungan berkeluarga menemukan bahwa perempuan infertil lebih berkemungkinan untuk dicerai atau dimadu, distigmatisasi, menjadikan infertilitas sebagai sumber “rasa malu” menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk mengatasi infertilitas yang dialami, serta sulit untuk menemukan peran yang penuh di dalam komunitasnya. Walaupun demikian, Penelitian yang dilakukan Hamidin (2012) menyebutkan banyak juga yang mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan pasangannya sampai maut memisahkan mereka, meskipun tidak ada anak di tengah keluarga mereka. Salah satunya seperti yang dialami oleh ibu (D) dan pak (S), yang selalu memegang komitmen dalam sebuah ikatan pernikahan, meski sulit dan penuh perjuangan untuk memiliki keturunan. Beberapa fenomena di atas menggambarkan betapa pentingnya kehadiran seorang anak, sehingga banyak perjuangan yang dilakukan baik dari segi materi, tenaga, pikiran, dan waktu. Banyak masalah yang dihadapi oleh setiap pasangan
10 yang susah memiliki anak, diantaranya karena salah satu pasangan tidak subur atau adanya penyakit di salah satu pasangan tersebut, atau bahkan kedua pasangan tidak subur atau memiliki penyakit. Kodrat wanita pada hakikatnya ingin memiliki keturunan atau menjadi seorang ibu. Di beberapa kebudayaan seperti di Indonesia, seorang wanita menikah dianggap belum sempurna apabila tidak dapat mengandung atau melahirkan (tidak dapat memiliki anak). Pont dan Albrecht (1997) menyatakan bahwa norma budaya masih menghendaki wanita harus menjadi ibu. Dikatakan tidak sempurna kebahagiaan rumah tangga seseorang jika belum memiliki anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa memiliki anak adalah suatu “kewajiban” dan harapan dari setiap pasangan ataupun lingkungan di sekitarnya. Mengingat salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan. Kehadirannya begitu dinantikan, bukan hanya oleh pasangan yang menikah tetapi juga merupakan suatu tuntutan dari keluarga dan masyarakat. Hal tersebut dapat dipahami, karena memiliki keturunan yang meneruskan generasi keluarga menjadi salah satu tujuan utama pernikahan. Oleh sebab itu, realitas wanita yang mengalami infertilitas rentan mendapatkan cemoohan atau tekanan dari orang-orang di sekelilingnya. Pada realita kehidupan penulis menemukan terdapat pasangan suami isteri yang sudah bertahun-tahun menikah namun belum memperoleh anak, padahal mereka sangat mendambakannya. Terutama dalam hal ini isteri, sebagai wanita yang memiliki kodrat untuk hamil dan melahirkan, dan justru cenderung disalahkan apabila terjadi infertilitas dalam rumah tangga. Kartono (2002) menyatakan bahwa pihak wanita, dalam hal ini isteri, kerapkali disudutkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab bila dalam suatu pernikahan belum juga dikaruniai anak. Oleh
11 karena itu, penulis tertarik untuk menyoroti permasalahan ini terfokus pada wanita yang mengalami infertilitas, bagaimana dinamika psikologis-nya pada situasi yang begitu menekan dan sulit ini. Sebagaimana pernyataan subjek penelitian mengenai infertilitas yang di alaminya: “Sempet stres, nangis…kemarin-kemarin aku gitu mbak…tahun-tahun kemarin itu...dipikiriin banget…koq aku belum punya anak, kenapa ini lho…sekarang udah delapan tahun….ya udah….” YN “Ya kadang kalo liat teman-teman sayakan sudah punya anak..tapi pas liat itu kadang-kadang iri gitu lo…cemburu…terus lagi..apane…kalo ada yang hamil gitu..saya juga iri, gimana ini kok belum hamil-hamil…kadang muncul perasaan kayak gitu..iri itu pasti ada lo...” RN “Pernah ya ono sek ngomong,.sama suamiku ya,.eh yxxxx, nama suamiku yxxxx ya,. Eh yxxxx kamu itu rugi lo kalo nanti meninggal gitu kamu rugi lo, belum dapat untung,. artine kan suami ku itu kan punya istri aku, tapi belum punya anak, artinya rugi kasarnya itu ngomongnya begitu....wah langsung, pusing aku mbak, kakiku ngga bisa berdiri lagi,.aduuh...ya allah....ada yang ngomong tetangga sebelah almarhumah ngomong kayak begitu,.untuk itu ya allah,. koq sakit banget yo,.dia ngomong kayak begitu...aku ngga bisa ngomong opo-opo ya sudah biarlah wes,.rasane aku koq ra ikhlas sih aku...” MD “Aku dulu memang merasa ini banget ya merasa apa, kenapa sih aku ngga punya anak, udah sekian tahun, terus merasa aku lihat temen-temen gini, ada rasa tekanan juga kan,” WT “Yo…kalo rasa kecewa ya, susah, tapi, pingin juga pingin tapi mau gimana lagi, gitukan, pasrah, terus ya apa boleh buat pokoknya, hidup itu harus diterima
12 apa adanya,.soalnyakan kita sudah usaha, tapi Allah yang menentukan, gitu, kalo kecewa dan susah itu pasti,yo dulu angan-angan ada, adik gitu kalo punya tapi, adiknya udah meninggal, udah gitu, putus asa toh,..ya udah,..” SP Beberapa ungkapan tersebut menyiratkan bagaimana wanita di suatu masyarakat memandang tentang kehadiran anak dalam pernikahan. Tidak hanya sebagai penerus keturunan atau makna lainnya yang dipegang oleh kebudayaan, namun juga simbol kelengkapan suatu keluarga. Telah menjadi kodrat dan salah satu fungsi dari hidup manusia untuk berkembang biak. Oleh karena itu, fenomena tidak kunjung memiliki anak tersebut seringkali menjadi beban pikiran dan muncul kekhawatiran yang secara lambat laun juga akan berdampak pada keadaan emosi maupun sosial. Dengan pemahaman bahwa sebagian masyarakat sangat menghargai peran sebagai orangtua, ketiadaan anak dapat menjadi status yang dianggap memalukan, atau kondisi infertil yang dapat dianggap bencana oleh sebagian orang, penulis mengangkat dinamika psikologis sebagai representatif dari penelitian yang akan penulis lakukan pada wanita yang mengalami infertilitas. Beberapa penjelasan ini mendasari penulis untuk melakukan penelitian tentang Bagaimana dinamika psikologis pada wanita yang mengalami infertilitas khususnya infertilitas primer, dengan kata lain pada wanita menikah usia subur yang menginginkan keturunan namun belum mampu hamil. B. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini di desain dengan menggunakan pendekatan kualitatif perspektif fenomenologi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan yang terkait dalam penelitian ini yaitu : bagaimana dinamika psikologis pada wanita yang mengalami infertilitas primer
13 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai dinamika psikologis wanita yang mengalami infertilitas primer. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dalam penelitian ini yakni dapat memperkaya referensi tentang dinamika psikologis, dan memberikan sumbangan positif terhadap khasanah ilmu psikologi, yang secara khusus psikologi perkembangan yaitu memberikan deskripsi dinamika psikologis pada wanita yang mengalami infertilitas primer.
2.
Manfaat praktis a. Bagi Peneliti Merangsang peneliti untuk menambah wawasan serta pengalaman dalam wacana pengetahuan dan melaksanakan penelitian. b. Bagi responden penelitian ini Memberikan tambahan informasi tentang infertilitas pada pasutri (pasangan suami isteri), serta pengetahuan bahwa infertilitas tidak hanya disebabkan oleh isteri, tetapi dapat juga dapat disebabkan oleh suami, sehingga bagi suami yang tidak bersedia memeriksakan diri tidak sepenuhnya menyalahkan isteri. c. Bagi Ilmu Pengetahuan Melalui penelitian ini diharapkan adanya suatu manfaat yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan.
14 d. Bagi Masyarakat Menambah wacana pengetahuan tentang infertilitas agar bijak dan memberi respon positif dalam menyikapi fenomena infertilitas, sehingga dapat memberikan dukungan pada individu yang mengalami infertilitas untuk tidak disudutkan dalam komunitas. E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Idrus (2007) mengatakan, paparan penelitian terdahulu (telaah pustaka) sangat penting dilakukan untuk mengetahui sampai dimana penelitian dengan tema yang sama telah dilaksanakan oleh orang lain. Dengan mencantumkan hasil penelitian terdahulu peneliti akan mengetahui posisi dirinya dalam wacana tema yang akan ditelitinya sebagai sebuah replikasi tema, pembaharuan atau konstruk baru dari rangkaian tema yang sama. Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis mengajukan beberapa penelitian psikologi sebagai bahan pembanding setiap hasil penelitian terhadap penelitian penulis yang ada di Fakultas Psikologi, karena penulis menilai beberapa penelitian ini relevan dengan tema penelitian yang diangkat penulis, antara lain ialah: Penelitian tentang perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita yang mengalami Infertilitas primer dengan infertilitas sekunder oleh Hidayah (2005), penelitian ini bersifat kuantitatif, jumlah subjek penelitian ini ada 50 orang wanita infertil yang menjadi pasien di tempat praktek dokter Kasirun Kasim Putranto, Sp. OG. yang terdiri dari 34 wanita infertil primer dan 16 wanita infertil sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kepuasan perkawinan antara wanita yang mengalami infertilitas primer dengan wanita yang mengalami infertilitas sekunder.
15 Selanjutnya pada penelitian dinamika psikologis, tentang
dinamika
psikologis pelaku carok pada suku Madura oleh Cholily (2011). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik berawal dari terusiknya pemenuhan kebutuhankebutuhan dasar dalam diri pelaku, seperti: need of love & belonging, need of freedom, need of fun dan lain sebagainya. Namun, apapun kebutuhan dasar yang terancam, pada akhirnya ia akan bermuara pada pemenuhan need of power pelaku. Ketidaknyamanan kondisi ini termanifestasi dalam kelelahan psikis, marah, sedih, kecewa, kekalutan hingga frustasi yang dirasakan oleh pelaku. Saat persepsi keterancaman ini secara konstan memenuhi pikiran sadar individu, maka semakin lama ia akan semakin kuat dan akan merasuk kedalam pikiran bawah sadarnya dalam bentuk keputusan untuk melakukan tindakan pembalasan melalui carok (adu kekuatan dengan benda tajam). Kemarahan yang kuat dan telah begitu lama tersimpan, mampu menurunkan kesadaran pelaku, hingga momen carok terjadi dibawah kendali pikiran bawah sadarnya. Kelegaan jelas dirasakan oleh pelaku karena ia mampu mewujudkan keinginannya. Kebanggaan juga dirasakan saat mereka dipandang sebagai pahlawan bagi keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Apapun dampak positif maupun negatif yang dirasakan dan dialami langsung oleh pelaku, memunculkan prognosis beragam dari diri pelaku hingga terbentuklah sikap waspada dalam menghadapi kemungkinan carok balasan, sikap tahu diri dalam menjalin hubungan interpersonal dan tetap optimis dalam menatap masa depan. Penelitian lainnya oleh
Fu’ady (2011) tentang
dampak psikologis
kekerasan yang menimpa anak-anak dan remaja. Hasil dari penelitian ini
16 menunjukkan bahwa dampak psikologis dari subjek yang menjadi korban kekerasan seksual adalah adanya stress pasca trauma. Ada empat proses dalam pendekatan fenomenologi yaitu epoche, phenomenological reduction, imaginative variation dan synthesis of meaning. Proses analisis data meliputi bracketing, horizonalizing, dan meaning units untuk mendapatkan deskripsi textural. Peneliti melakukan penelitian dinamika psikologis dalam konstruk psikologi perkembangan. Pemaparan tentang beberapa hasil penelitian di atas menguatkan referensi penulis bahwa penelitian tentang dinamika psikologis pada wanita yang mengalami infertilitas primer belum pernah dilakukan dan menjadi pembeda antara penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu.