BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan profesi yang
sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Karena dari profesi inilah banyak sekali digantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan dari pasien serta keluarganya yang sedang menderita sakit. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh resiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat Allah, karena kemungkinan pasien cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja terjadi, walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau Standart Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi kedokteran sebagai medical malpractice. Sebagaimana profesi pada umumnya, pelayanan kesehatan merupakan suatu profesi yang didasarkan kerahasiaan dan kepercayaan seperti halnya profesi pengacara. Menurut Van der Mijn, ciri-ciri pokok dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :
1 Universitas Sumatera Utara
2
1. Setiap orang yang meminta pertolongan professional, pada umumnya berada pada posisi ketergantungan, artinya bahwa ia harus meminta semacam pertolongan tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan khusus. Misalnya, untuk tujuan peningkatan kesehatannya seseorang minta pertolongan pada profesi dokter, kalau seseorang mempunyai tujuan melakukan suatu tuntutan hukum datang kepada profesi pengacara, sedang untuk tujuan menyatakan kehendaknya (membuat wasiat) minta pertolongan pada profesi notaris. 2. Setiap orang yang meminta pertolongan dari orang yang tidak mempunyai profesi yang bersifat rahasia, pada umumnya tidak dapat menilai keahlian profesional itu. 3. Hubungan antara orang yang meminta pertolongan dan orang yang memberi pertolongan bersifat rahasia dalam arti bahwa pihak yang pertama bersedia memberi keterangan-keterangan yang tidak akan ia ungkapkan kepada orang lain, dan pihak profesi harus bisa menjaga kerahasiaan tersebut. 4. Setiap orang yang menjalankan suatu profesi yang bersifat rahasia, hampir selalu memegang posisi yang tidak bergantung (bebas), juga apabila ia berpraktek swasta. Malah dalam kasus demikian, ada otonomi profesi dan hanya ada beberapa kemungkinan saja bagi pihak majikan untuk melakukan tindakan-tindakan korektif. 5. Sifat pekerjaan ini membawa konsekuensi pula bahwa hasilnya tidak selalu dapat dijamin, melainkan hanya ada kewajiban untuk melakukan yang terbaik. Kewajiban itu tidak mudah untuk diuji. 2 Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanya manusia biasa yang suatu saat bisa lalai dan salah, sehingga pelanggaran kode etik bisa saja terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum. 3 Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat pembentuk undang-undang, ketaatan asas hukum tersebut dapat dipaksakan dari luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung
2
D. Veronika Komalasari, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal 14-15. 3 Harjo Wisnoewardono, Fungsi Medical Record sebagai Alat Pertanggungjawaban Pidana Dokter terhadap Tuntutan Malpraktek, Malang, Arena Hukum No. 17, FH Unbraw, 2002, hal 161.
Universitas Sumatera Utara
3
sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing. Namun demikian menurut Safitri Hariyanti, bahwa pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah etikolegal. 4 Demikian pula menurut Dedy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik kedokteran semata dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu sebagai berikut : 5 1. Pelanggaran etik kedokteran : a) Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal 17 Kodeki). b) Tidak
mengutamakan/mendahulukan
kepentingan
masyarakat
(melanggar Pasal 8 Kodeki). 2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana a) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki sekaligus Pasal 267 KUHP).
4
Safitri Hariyani, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta Diadit Media, 2005, hal 48. 5 Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktek Dokter Dalam Persfektif Hukum Pidana Di Indonesia, Tesis UI.
Universitas Sumatera Utara
4
b) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13 Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP). Sekalipun pasien dan keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasaannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya menghambat kesembuhan sang pasien. Walaupun demikian, tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya maupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap pola hubungan antara dokter dan pasiennya. Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung kepada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi), kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan, termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter, pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberi ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Kemajuan teknologi bidang biomedis disertai dengan kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada era globalisasi ini memudahkan
Universitas Sumatera Utara
5
pasien untuk mendapatkan “second opinion” dari berbagai pihak baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam memberikan penjelasan kepada pasien akan berakibat kurangnya kepercayaan pasien kepada para dokter tersebut. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum, menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum di dalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut menunjukkan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul bisa diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik. Maraknya kasus dugaan malpraktek yang dimuat di media massa maupun elektronik, berita yang menyudutkan kalangan kedokteran karena salahnya praktik atau yang dikenal luas istilah “malapraktek” semakin banyak bermunculan. Menurut pandangan Endang Kusuma Astuti perubahan karateristik masyarakat dimana dokter sebagai pemberi dan perubahan masyarakat sebagai pengguna jasa kedokteran tersebut jika tidak didukung oleh peningkatan komunikasi antara dokter dan pasien, dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik antara keduanya. Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan suatu pertanda untuk menunjukkan, bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi dokter kepada masyarakat pada umumnya atau pasien khususnya sebagai pengguna jasa dokter.
Universitas Sumatera Utara
6
Pada umumnya, ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter. Dengan perkataan lain, terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan kenyataan yang didapat oleh pasien. 6 Selain dokter, rumah sakit juga dapat dijadikan sebagai subyek hukum karena badan hukum juga dapat berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Rumah sakit sebagai organisasi yang melaksanakan tugas pelayanan kesehatan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit tersebut, yang secara umum dibebankan kepada Kepala Rumah Sakit yang bersangkutan. 7 Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dapat dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menurut Azwar pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraanya sesuai dengan standart dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. 8 Semakin berkembangnya dunia medis maka peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya
6
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hal 238. 7 Danny Whiradharmaidharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 1999, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 16-17. 8 Ridwan Azwar, Kiat Sukses Di Bidang Jasa, 1996, Jakarta, Andi Offset
Universitas Sumatera Utara
7
rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya dalam hal ini adalah pasien secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang serta menghindari terjadinya kelalaian-kelalaian medis yang ditimbulkan. Menurut Bambang Purnomo kedudukan rumah sakit sebagai lembaga tempat asalnya masih memegang dasar “implied waiver” (yang relatif tidak bertanggung jawab secara hukum). Oleh karena itu, dianggap kebal terhadap hukum karena pada masa yang lalu rumah sakit merupakan suatu “charitable corporation” yang diartikan sekadar sebagai naungan tempat penyelenggaraan pengobatan. Namun perkembangan rumah sakit sudah berubah menjadi “health care center”, yang berubah fungsinya dalam arti “the hospital in action”, yang menghimpun segala arti organisasi pelayanan kesehatan sehingga menjadi subjek hukum. 9 Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia rumah sakit di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek baik secara pidana dan perdata dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler. Tudingan-tudingan yang bernada miring seringkali terlontar dari mulut pasien dan keluarganya terhadap pelayan kesehatan (dokter dan perawat) dan bahkan terhadap rumah sakit karena kurang puas atas layanan kesehatan yang mereka terima.
9
Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Program Pendidikan Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran, Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
8
Hal yang perlu juga diketahui adalah, karena penyakit yang serius pada umumnya ditangani di rumah sakit, maka dapat dipahami bahwa 80% kasus malpraktek terjadi di rumah sakit, sedang sisanya terjadi di praktek pribadi dokter. Oleh karena itu dapat pula dimengerti, tuntutan terhadap malpraktek tidak saja ditujukan kepada dokter, tetapi sering pula melibatkan rumah sakit atau institusi tempat pelayanan tersebut berlangsung dan bisa pula melibatkan paramedis yang mendampingi dokter. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba untuk mengangkat topik Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek untuk membahas seberapa jauhnya rumah sakit sebagai badan hukum dapat dimintai tanggung jawab pidana terhadap tindak pidana malpraktek.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka merasa perlu
dilakukan
sebuah
pembahasan
yang
membahas
bagaimana
bentuk
pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek. Untuk membatasi pokok kajian yang akan dibahas dalam penulisan ini, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana malpraktek dalam hukum positif di Indonesia ?
Universitas Sumatera Utara
9
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit sebagai badan hukum (korporasi) terhadap tindak pidana malpraktek ?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur mengenai PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
RUMAH
SAKIT
TERHADAP
TINDAK PIDANA MALPRAKTEK dan yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui bagaimana pengaturan hukum tentang terhadap tindak pidana malpraktek dalam hukum positif di Indonesia. 2. Mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit sebagai suatu badan hukum (korporasi) terhadap tindak pidana malpraktek ? Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas yaitu : 1. Manfaat Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan bidang ilmu hukum pidana, khususnya dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta memberikan kontribusi pemikiran kepada mahasiswa, masyarakat, lembaga pemerintah dan aparat penegak hukum yang menyoroti dan membahas tentang pertanggung jawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Manfaat Praktis a. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek oleh rumah sakit sudah tepat pemberlakuannya. b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek yang banyak terjadi dewasa ini. c. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana yang tepat dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek yang dilakukan rumah sakit.
D. Keaslian Penulisan Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka
penulis
menuangkannya
dalam
judul
skripsi
yang
berjudul:
“Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek” Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari hasil orang lain.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Malpraktek Malpratek berasal dari kata “mal” yang berarti “buruk” dan “practice” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”. Sehingga malpraktek dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku (benar). Dalam bidang kesehatan, malpraktek adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi penderita pasien. Sebelum membahas pengertian tentang malpraktek, ada beberapa pendapat para sarjana tentang terminologi malpraktek. Masing-masing pendapat tersebut antara lain : a) Veronica menyatakan bahwa istilah malpraktek berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya. 10 b) Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek, maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”. 11
10
D. Veronica Komalwati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal 87. 11 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Study tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, hal 124.
Universitas Sumatera Utara
12
c) Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter melakukan praktek buruk. 12 d) Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai “pelaksanaan atau tindakan yang salah”, dengan demikian arti malpraktek medik sebagai tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi dibidang kedokteran (profesional misconduct) baik dipandang dari sudut norma etika maupun norma hukum. e) Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh HM Soedjatmiko merumuskan malpraktek sebagai berikut : “any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct……..” (perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di bawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajiban secara hukum, praktek yang jelek atau illegal atau perbuatan yang tidak bermoral). f) J.Guwandi dengan mengutip beberapa pendapat atau kamus-kamus mengutarakan sebagai berikut : 13 1) Dalam kasus Valentine v Society se Bienfaisance de Los Angeles, California, 1956 dirumuskan : Malpraktek adalah, kelalaian seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah lingkungan yang sama. “malpractice is the neglect of a physician or to apply that degree of skill and learning on treating and nurshing a patient which is customary applied in treating and caring for the sick or wounded similary in the same community”. 12
Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1996, hal 87. 13 J.Guswandi, Hukum Medik (Medical Law), FK-UI, Jakarta, 2004, hal 22-24, 44.
Universitas Sumatera Utara
13
2) Steadman’s Medical Dictionary Malpraktek adalah salah satu cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminal. “Malpractice is mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness of criminal intent”. 3) Coughlin’s Dictionary of Law : Malpraktek adalah, sikap tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi seperti dokter, ahli hukum akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tak pedulian, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kehatihatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. “profesional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skillor fidelity in the performance of professional duties, intentional wrongdoing, or unethchical practice”. 4) The Oxford Illustrated Dictionary, 2 nd ed, 1975 Malpraktek sama dengan sikap tindak yang salah (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis, tindakan illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan. “Malpractice = wrongdoing (law) improper treatment of patient by medical attendant, illegal action for one’s own benefit while in positionof trust. Dari beberapa defenisi malpraktek diatas dan kandungan hukum yang berlaku di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktek yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada
Universitas Sumatera Utara
14
pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut. 14 Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yudicial malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum. 15 Setiap malpraktek yuridik sudah pasti malpraktek etik, tetapi tidak semua malpraktek etik merupakan malpraktek yuridik. 16 Berikut akan dijelaskan mengenai malpraktek etik dan malpraktek yuridik. a) Malpraktek Etik Yang dimaksud malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku bagi dokter. 17 Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
14
http:/Malpraktik sejauh Mana Kita Sebagai Seorang Dokter Memahaminya Orthopaedia & Traumathology.html., diakses tanggal 20 April 2013, Pukul 15.30 WIB 15 H.M Soedjatmiko, Masalah Hukum Medik dalam Malpraktek Yuridik, Kumpulan Makalah Seminar tentang : “Etika dan Hukum Kedokteran” RSUD dr. Syaiful Anwar, Malang, 2001, hal 4. 16 Ibid. 17 M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
15
Efek samping ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain: 18 1. Kontak komunikasi pasien dengan dokter semakin berkurang. 2. Etika kedokteran semakin terkontaminasi dengan kepentingan bisnis. 3. Harga pelayanan medis semakin tinggi dan sebagainya. b) Malpraktek Yuridik Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi 3 bentuk, yaitu: malpraktek
perdata
(civil
malpractice),
pidana
(criminal
malpractice),
administratif (administrative malpractice). 19 1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain: 20 a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukannya tetapi terlambat melakukannya. c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukannya tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya. d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. 18
Ibid. H.M. Soedjatmiko, Op.Cit, hal 10. 20 Ibid. 19
Universitas Sumatera Utara
16
2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice) Malpraktek Pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hatihati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal atau cacat tersebut. 21 a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis (Pasal 299 KUHP), melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (Pasal 332 KUHP). b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien (imformed consent) c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem pada perut pasien saat melakukan operasi. 3. Malpraktek Administratif ((Administrative Malpractice) Malpraktek Administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai lisensi atau ijinnya, menjalankan praktek dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
21
Ibid, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
17
2. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari straafbaar feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit, yaitu sebagai berikut: 22 1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan perundangundangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro, S.H; 2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr.R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana Mr.Drs.H.J van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof.A.Zainal Abidin,SH dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);
22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 67
Universitas Sumatera Utara
18
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof.Drs.E.Utrecht,SH, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof.A.Zainal
Abidin
dalam
buku
beliau
“Hukum
Pidana
I”.
Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana; 4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr.M.H.Tirtaatmidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana; 5. Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3); 6. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof.Mr.Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana. Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit di dalam KUHP maupun, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Barda Nawawi Arif menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
Universitas Sumatera Utara
19
(straafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian /batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. 23 Pengertian dari kata straafbaarfeit : 1) Simons 24 Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; a. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang. b. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling. Jadi sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. 2) Wirjono Prodjodikoro menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana.
23 24
Barda Nawawi Arief , Op. Cit., hal 80. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
20
3) J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 25 4) E. Utrecht, menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab. 5) Pompe menerjemahkan, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”. 3. Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik Luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien seringkali dikaitkan dengan malpraktek, sehingga menjadi masalah pidana. Kasus Dr. Setianingrum yang pasien meninggal setelah dilakukan tindakan medik, kasus Muhidin di RSU Syamsuddin di Sukabumi (tahun 1986) yang mengakibatkan dokternya dituntut di pengadilan menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengerti akan hak-hak
25
Sudarto, Op.Cit, hal 42
Universitas Sumatera Utara
21
kesehatannya, sehingga menganggap kasus diatas sebagai kesalahan atau kelalaian dokter. 26 Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan atas Dr. Setianingrum, Mahkamah Agung memutuskan bebas karena tidak ada bentuk kelalaian dan kealpaan yang dilakukan Dr. Setianingrum, meski pasien telah meninggal dunia. Berdasarkan hal tersebut diatas, diperlukan suatu pemikiran dan langkahlangkah yang bijaksana dalam menyikapi masalah akibat tindakan medik yang membahayakan nyawa karena di samping dapat dianggap sebagai malpraktek dapat pula merupakan resiko medik dari tindakan medik tersebut. Di dalam menegakkan diagnosa, memberi terapi, sampai dengan melakukan tindakan medik, dokter harus melakukannya dengan secara lege artis, agar dokter selamat dari tuduhan malpraktek. Semua perlakuan yang diberikan kepada pasien harus selalu berpedoman kepada prosedur yang telah ditetapkan oleh ikatan profesinya, yang tertuang di dalam standar pelayanan medik. Niat seorang dokter adalah menolong pasiennya dan berupaya untuk memberikan kesembuhan bagi pasien yang memohon bantuannya. Namun kadang-kadang yang didapat justru sebaliknya dari niat tersebut. Pasien tidak mendapatkan kesembuhan, malahan mendapat cacat atau bahkan kematian. Bila hal itu terjadi dan dimuat di media massa maka biasanya orang akan beranggapan bahwa dokter tersebut telah melakukan malpraktek.
26
Harjo Wisnoewardono, Fungsi Medical Record sebagai Alat Pertanggungjawaban Pidana Dokter terhadap Tuntutan Malpraktek, 2002, Malang, Arena Hukum No. 17, FH Unbraw, hal 106.
Universitas Sumatera Utara
22
Menentukan suatu kelalaian seorang dokter bukanlah hal yang mudah, karena dalam ilmu kedokteran, tidak ada dua kasus yang sama persis. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari kasus-kasus yang terjadi tersebut, baik dari pihak dokter maupun pihak pasien pasien antara lain : 1. Dari pihak dokter : a. Penatalaksanaannya b. Cara pemeriksaan c. Kecermatan dan ketelitian 2. Dari pihak pasien : a. Tingkat keseriusan pasien b. Daya taya tubuh pasien c. Usia d. Kemauan pasien untuk sembuh e. Komplikasi dan penyakitnya, dan sebagainya. Walaupun untuk menentukan kelalaian adalah hal yang tidak mudah, tetapi sebagai manusia biasa yang mempunyai banyak kepentingan , kelalaian dokter pasti dapat saja terjadi. Karena itu kelalaian ini tetap harus dapat dibuktikan, agar dokter tidak mengulangi kesalahan yang sama dan masyarakat dapat terlindungi haknya dalam mencari kesembuhan. Di dalam ilmu hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
23
”Kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.” Sedangkan M. Jusuf Hanafiah, merumuskan kelalaian sebagai melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik. 27 Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sebagai kelalaian berat (culpa lata), yang dapat dilihat berdasarkan tolak ukur sebagai berikut: 28 1. Bertentangan dengan hukum 2. Akibatnya dapat dibayangkan 3. Akibatnya dapat dihindarkan 4. Perbuatannya dapat dipersalahkan Jadi, meskipun ada unsur ketidakpastian dari pihak dokter dalam menyembuhkan pasiennya, tetapi dokter tidak bisa bersembunyi di balik ketidakpastian tersebut. Dokter dapat dituduh melakukan malpraktek bila pasien mengalami cedera atau kematian sebagai akibat sang dokter melakukan kelalaian yang berat dan memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar.
27
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta,1999, hal 67. 28 Ibid
Universitas Sumatera Utara
24
Seperti pendapat yang diungkapkan Danny, beliau menjelaskan bahwa ada 3 aspek hukum yang dapat dipakai untuk menentukan malpraktek, yaitu: 29 1. Penyimpangan dari standar profesi medis. 2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian. 3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun non materiil, atau fisik (luka atau kematian) atau mental.
Sedangkan Jusuf menyebutkan bahwa dokter dikatakan melakukan malpraktek jika: 1. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum di kalangan profesi kedokteran. 2. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi (tidak lege artis) 3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati 4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat dituntut secara hukum). Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi itu sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung 29
Danny Wiradharmairadharma, Op.Cit, hal 92.
Universitas Sumatera Utara
25
unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah (vermijtbaarheid)
dan
terjadinya
tidak
dapat
diduga
sebelumnya
(verzienbaarheid). 30 Sebagaimana yang telah diuraikan didepan bahwa dalam melakukan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bentuknya adalah inspanning verbintenis (perjanjian upaya) karena dokter atau dokter gigi tidak memberikan jaminan akan penyembuhan pasien. Dalam pengertian ini yang dapat dipertanggungjawabkan adalah upaya atau usaha maksimal dokter atau dokter gigi dalam upayanya melakukan pelayanan medis, jadi bukan terletak pada hasilnya. Oleh karena itu apabila seorang dokter telah berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan pelayanan medis dengan memenuhi persyaratan standar yang telah ditetapkan, namun juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti meninggalnya pasien atau gagal dalam upaya penyembuhan sakit pasien atau tidak sepenuhnya sembuh dari penyakit semula, maka untuk kasus semacam ini dokter atau dokter gigi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin dengan segenap ilmu, kepandaian, keterampilan serta pengalaman yang dimilikinya disertai sikap hati-hati dan teliti menyembuhkan pasiennya. Dengan demikian, agar suatu tindakan medis tidak bersifat melawan hukum, maka tindakan hukum tersebut harus :
30
Machmud Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Malpraktek, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 165.
Universitas Sumatera Utara
26
1. Dilakukan sesuai dengan standar profesi kedokteran atau dilakukan secara lege artis, yang tercermin dari: 31 a. Adanya indikasi medis yang sesuai dengan tujuan perawatan yang konkrit. b. Dilakukannya sesuai dengan prosedur ilmu kedokteran yang baku. 2. Dipenuhinya hak pasien mengenai imformed consent. Dari uraian yang telah dikemukakan tersebut, dapat dipakai bahwa standar kedua yang dapat dipakai untuk membedakan antara malpraktek dengan resiko adalah kemampuan dan kemauan dokter untuk dapat melaksanakan pofesinya dengan selalu berpedoman kepada standar pelayanan medis yang telah digariskan oleh ikatan profesi dalam bidang keahliannya. Bila pelayanan medis telah dilakukan sesuai dengan standar yang telah digariskan oleh profesi, namun kematian atau cedera tetap terjadi juga, ini merupakan resiko medis dan bukan malpraktek medis.
F. Metode Penelitian Penelitian ini di fokuskan pada penelitian terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan bentuk pertanggung jawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek terhadap hukum positif yang berlaku sekarang (ius constitutum). 32 1. Metode Penelitian
31
Danny Wiradharma, Op.Cit, hal 106-107. Ronny Hanitijo Soemitro, Meteodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hal 12. 32
Universitas Sumatera Utara
27
Penelitian tentang Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit terhadap Tindak Pidana Malpraktek dalam persfektif hukum pidana di Indonesia menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif didalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang menjadi
pokok
permasalahan.
Suatu
penelitian
hukum
normatif
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang tindak pidana malpraktek, pengaturan hukum, atau gejala-gejala lainnya. 3. Sumber Data Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitik-beratkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut: 33
33
Ibid, hal 15.
Universitas Sumatera Utara
28
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan seperti peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang berkaitan dengan permasalahan pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer,
seperti
makalah-makalah
hukum
tentang
pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek, jurnal hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek, pendapat dari para ahli hukum pidana dan lain-lain. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Bahasa
Indonesia,
Kamus
Inggris-Indonesia,
Kamus
Hukum
Kesehatan dan Kamus Hukum. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian. Menurut Rony Hanitijo Soemitro teknik pengumpulan data terdiri dari studi kepustakaan, pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan penggunaan daftar pertanyaan (kuisioner). Berdasarkan ruang lingkup,
Universitas Sumatera Utara
29
tujuan dan pendekatan dalam penelitian, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan di bahas dalam bentuk sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek”, kemudian menyebutkan apa yang menjadi rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penulisan, tinjauan pustaka, serta bagaimana metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini. BAB
II
PENGATURAN
HUKUM
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Pada bagian ini akan membahas mengenai aturan hukum terhadap tindak pidana malpraktek dalam Hukum Positip di Indonesia, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun yang diatur diluar KUHP, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTEK Pada bagian ini akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak
Universitas Sumatera Utara
30
pidana malpraktek serta bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek oleh rumah sakit. BAB IV PENUTUP Pada akhir penulisan skripsi ini berisi kumpulan mengenai bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara