1
BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG Tujuan utama didirikannya perusahaan adalah untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham (Maximization shareholder wealth) dalam bentuk peningkatan nilai saham perusahaan (Scott, Jr. ,1999). Tugas ini dibebankan kepada para direktur dan manajer yang bekerja di dalam perusahaan. Mereka melakukannya dengan cara meningkatkan modal, mendapatkan faktor input produksi, menjual output, mempekerjakan karyawan, menyewakan asset, membeli dan menjual asset, dll. Pada prakteknya direktur dan manajer seringkali melakukan hal tersebut dengan melibatkan pihak terafiliasi (kenalan, pemegang saham mayoritas, atau perusahaan lain yang memiliki hubungan dengan mereka). Aktivitas ini kita kenal dengan istilah transaksi dengan pihak terafiliasi (Related Party Transactions (RPT)). Pihak terafiliasi, khususnya pemegang saham mayoritas, dapat mempengaruhi bentuk dan syarat (term and condition) dari transaksi yang akan memberikan keuntungan bagi pihak mereka saja. Hal ini tentu saja akan bertentangan dengan konsep Maximization shareholder wealth dan prinsip The Equitable Treatment of Shareholder dari OECD1. Ryngaert dan Thomas, (2007) menunjukkan RPT seringkali dipersepsikan sebagai transaksi yang merugikan outside atau minority shareholder. Ehrhardt dan Nowack (2001) dalam Utama (2006) menjelaskan bahwa keuntungan yang diambil majority shareholders dari perusahaan dapat dibagi dua jenis, yaitu pecuniary (tunneling) dan non-pecuniary. Johnson et al (2000a) mendefinisikan
tunneling sebagai pengalihan asset keluar dari perusahaan
sehingga menguntungkan pemilik modal yang memiliki kendali terhadap perusahaan. Sementara itu non-pecuniary dikaitkan dengan transferability, yaitu
1
Prinsip ini menyatakan bahwa seluruh pemegang saham berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Universitas Indonesia
2
pengalihan sumber daya keluar dari perusahaan kepada pemilik modal lain (pesaing). Tunneling
dapat dilakukan dengan cara menjual produk perusahaan kepada
perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar, mempertahankan posisi/jabatan pekerjaanya meskipun mereka sudah tidak kompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya atau menjual asset perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer (pihak terafiliasi). Penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. (2000), Nenova (2002), Lemmon and Lins (2003), Dyck and Zingales (2004), Atanasov (2005), dan Cheung, Rau, dan Stouraitis (2006) membuktikan bahwa pemilik saham mayoritas terlibat dalam praktek ekspropriasi atau tunneling yang dilakukan terhadap pemegang saham minoritas, khususnya di pasar negara berkembang . Lebih jauh lagi, tunneling dapat diwujudkan dalam kegiatan merger / akuisisi dengan pihak terafiliasi. Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1970, yang dilakukan oleh bank-bank dengan harapan dapat memperkuat struktur modal dan memperoleh keringanan pajak (Sutrisno & Sumiarsih, 2004). Transaksi akuisisi pertama yang terjadi di pasar modal Indonesia adalah transaksi akuisisi yang dilakukan oleh PT Jakarta International Hotel Development melalui pembelian 100% saham PT Danayasa Arthatama pada tahun 1990 (I Made B. Tirthayatra, 2005). Tujuan dari kegiatan merger dan akuisisi yaitu untuk menghasilkan sinergi, memperoleh keringanan pajak, membeli asset dibawah biaya penggantian, diversifikasi, insentif bagi manajer dan breakup value.2 (Brigham, et.al, 1999). Brigham juga menekankan dari semua alasan di atas, yang menjadi motivasi dominan adalah alasan sinergi. Walaupun akuisisi/merger diyakini akan memberikan sinergi namun menurut Sutrisno dan Sumiarsih (2004), untuk akuisisi/merger internal (akuisisi yang dilakukan dalam satu grup usaha) biasanya tidak diikuti dengan reaksi pasar yang 2
Breakup value merupakan nilai dari unit/anak perusahaan jika dijual secara terpisah. Jika nilainya lebih besar dibandingkan nilai perusahaan secara keseluruhan, maka investor dapat membeli perusahaan tersebut, menjual unit/anak perusahaan secara terpisah, dan mendapatkan keuntungan (Brigham,et.al 1999) Universitas Indonesia
3
positif dibandingkan dengan akuisisi eksternal. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa motif akuisisi internal bukanlah sinergi karena sinergi pada perusahaan dalam satu grup biasanya dilaksanakan dengan mudah tanpa proses akuisisi. Peristiwa akuisisi internal ini biasanya disertai asimetri informasi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Oleh karena pemegang saham mayoritas mempunyai informasi yang lebih lengkap terhadap target company (karena berasal dari grup yang sama) dan pemegang saham pengendali memegang kontrol atas dua perusahaan yang bertransaksi maka dapat diduga transaksi tersebut didasarkan pada kepentingan pemegang saham mayoritas, yang dapat mendatangkan kerugian (ekspropriasi) bagi pemegang saham minoritas (Utama, 2006). Akuisisi internal tidak selamanya mendatangkan kerugian. Hasil penelitian Samphantharak (2002) menunjukkan bahwa kendali perusahaan, ukuran kelompok usaha, dan transaksi internal kelompok usaha cenderung memberikan alokasi sumber daya yang efisien. Hal ini dipertegas oleh Utama, (2006) yang menyatakan bahwa untuk negara dengan pasar modal yang masih berkembang seperti Indonesia, akan lebih murah bagi perusahaan untuk membiayai ekspansinya dengan menggunakan internal capital market (melakukan akuisisi internal) dibandingkan dengan external capital market. Ryngaert dan Thomas (2007) juga menemukan bahwa transaksi dengan pihak terafiliasi, seperti akuisisi internal, dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan pada kondisi tertentu seperti pada situasi yang melibatkan informasi yang tidak sempurna (Incomplete information). Di balik potensi keuntungan dan kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh akuisisi internal, kita perlu mewaspadai potensi kerugian yang muncul, khususnya di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki banyak perusahaan dengan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi. Di tahun 1996 kapitalisasi pasar dari saham yang dikuasai oleh 10 perusahaan keluarga di Indonesia mencapai 57,7%. (Claessens, et.al,1999). Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi ini akan merugikan pemegang saham minoritas.
Utama, (2006) menyatakan bahwa
semakin terkonsentrasi kendali perusahaan pada pemegang saham mayoritas akan mengakibatkan
posisinya
dalam
perusahan menjadi semakin kuat dan Universitas Indonesia
4
memungkinkan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi yang akan menurunkan nilai perusahaan dan merugikan pemegang saham minoritas. Hal ini dipertegas lagi oleh Herdinata, (2008) yang mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang, perilaku usaha di Indonesia telah tercemar dengan berbagai tindakan, kegiatan, dan modus usaha yang tidak sehat akibat dari pola dan kepemilikan usaha yang hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok dan menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Untuk meningkatkan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dari resiko ekspropriasi yang ditimbulkan oleh transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan seperti di atas, pada tahun 1996 BAPEPAM mengeluarkan Peraturan BAPEPAM No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Inti dari peraturan ini adalah bahwa setiap transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat persetujuan pemegang saham independen. Konsekuensi dari aturan ini adalah meskipun pemegang saham sudah setuju dengan suatu transaksi yang mengandung benturan kepentingan, namun apabila pemegang saham independen tidak setuju maka transaksi tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pada Mei 2004, sebanyak delapan perusahaan di bawah bendera Grup Lippo yang bergerak dalam bisnis properti dan rumah sakit mengumumkan akan melakukan penggabungan usaha atau merger ke dalam satu perusahaan yakni PT Lippo Karawaci Tbk. Kedelapan perusahaan itu terdiri atas empat perusahaan terbuka yakni PT Lippo Land Development Tbk (LPLD), PT Siloam Healthcare Tbk (BGMT), PT Aryaduta Hotels Tbk (HPSB) dan Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Empat perusahaan lainnya adalah PT Kartika Abadi Sejahtera, PT Sumber Waluyo, PT Ananggadipa Berkat Mulia, dan PT Metropolitan Tatanugraha. Merger yang dilakukan oleh ke delapan perusahaan tersebut merupakan suatu transaksi internal. Berbagai perusahaan ini membentuk suatu konglomerasi dan struktur kepemilikannya piramid, dengan control rights dan cash flow rights yang berbeda. Detil benturan kepentingan dalam transaksi merger tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1.
Universitas Indonesia
5
Tabel 1.1 Benturan Kepentingan Transaksi Siloam Health Care dan Lippo Land Pengumuman Penyampaian pemberitahuan rencana untuk melakukan penggabungan usaha antara PT Lippo Land Development, PT Arya duta Hotels, PT Kartika Abadi Sejahtera, PT Sumber Waluyo, PT Ananggadipa Berkat Mulia, dan PT Metropolitan Tatanugraha ke dalam PT Lippo Karawaci. Ringkasan rencana penggabungan telah diumumkan di Bisnis Indonesia dan Media Indonesia tanggal 15 Mei 2004
Perihal Benturan Kepentingan Benturan kepentingan : i) Pacific Asia Holding Trusted Ltd memiliki Lippo Karawaci, Lippo Land, dan Aryaduta; ii) Preskom Lippo Karawaci juga menjabat Preskom Lippo Land; iii) Preskom Lippo Karawaci juga menjabat Preskom Siloam; iv) Salah satu komisaris Lippo juga menjabat Komisaris pada Siloam; v) Preskom pada Lippo Land juga menjabat sebagai PresDir pada Siloam; vi) Siloam memiliki saham pada Sumber Waluyo
Keterangan LIPPO LAND merupakan perusahaan dengan controlling share terbesar (70.48%) sedangkan SILOAM merupakan perusahaan dengan kepemilikan publik terbesar (85.5%)
Sumber: Utama (2006)
Merger semacam ini rawan ditumpangi usaha untuk menggelembungkan nilai perusahaan. Meskipun perusahaan yang terlibat dalam proses merger telah dinilai konsultan independen, kita patut meragukan kewajaran nilai tersebut. Keraguan ini diperkuat lagi karena merger yang dilakukan oleh kedelapan perusahaan di atas tergolong transaksi yang mengandung benturan kepentingan dimana patut diduga ada pihak yang mendapatkan keuntungan dengan merugikan pemegang saham lain. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan prospektus yang dikeluarkan oleh pihak manajemen, merger yang dilakukan oleh ke delapan perusahaan di atas menghasilkan perubahan struktur kepemilikan saham dari perusahaan. Idealnya, perubahan struktur ini tidak boleh merugikan pemegang saham minoritas. Perubahan struktur kepemilikan ini terkait dengan nilai saham perusahaan sebelum merger guna menentukan besarnya faktor konversi yang akan digunakan. Nilai saham tersebut harus mencerminkan nilai perusahaan yang sesungguhnya agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam proses merger ini. Dengan demikian yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana melihat bahwa merger dilakukan oleh pihak terafiliasi (memiliki benturan Universitas Indonesia
6
kepentingan). Oleh karena itu maka perlu dianalisis apakah nilai appraisal value yang diberikan auditor independent sesuai dengan nilai intrinsiknya. Nilai intrinsic saham perusahaan tersebut akan dihitung dengan menggunakan metode discounted cash flow valuation. III. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti apakah ada pihak yang dirugikan dalam proses merger dengan cara mengevaluasi kewajaran nilai saham perusahaan yang diberikan
oleh
auditor
independen.
Evaluasi
dilakukan
dengan
cara
membandingkan nilai saham dari auditor independen yang terdapat di dalam prospektus dengan hasil perhitungan dalam tesis yang menggunakan metode Discounted Cashflow. IV. PEMBATASAN MASALAH Dari ke delapan perusahaan yang terlibat dalam proses merger, perusahaan yang akan dievaluasi nilai sahamnya adalah Lippo Land dan Siloam. Hal ini dilakukaan dengan pertimbangan karena Lippo Land adalah perusahaan dengan share controlling terbesar dan Siloam adalah perusahaan dengan kepemilikan publik terbesar sebelum merger. V. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Studi Pustaka Penelitian literatur seperti buku-buku, Jurnal ilmiah, artikel, berita internet, dan berbagai sumber lainnya. 2. Pengolahan Data Melakukan pengolahan terhadap data akuntansi untuk mendukung penggunaan metode Discounted Cash Flow dalam penelitian ini 3. Analisis dan pembahasan VI. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Pembatasan Masalah, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. Universitas Indonesia
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk menentukan harga wajar saham dalam proses merger dan teori yang mendukung asumsi yang digunakan. BAB III PROFIL PERUSAHAAN Bab ini berisi uraian tentang latar belakang perusahaan yang dijadikan sebagai obyek penelitian dan informasi terkait yang relevan. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi tentang tahapan langkah-langkah perhitungan dengan menggunakan metode Discounted Cash Flow yang digunakan dalam melakukan analisa. BAB V PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Bab ini berisi tentang pembahasan hasil pengolahan data dengan menggunakan langkah-langkah yang terdapat di BAB IV. BAB VI KESIMPULAN Berisi tentang kesimpulan dari analisis yang dilakukan.
Universitas Indonesia
8
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Merger dan Akuisisi
Para Direktur dan Manajer di perusahaan pada dasarnya bertugas untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham (Maximize shareholder wealth). Tugas ini dilakukan dengan cara meningkatkan modal, mendapatkan faktor input produksi, menjual output, mempekerjakan karyawan, menyewakan asset, membeli dan menjual asset, dll. Seperti dikemukakan oleh Ilya (1994:3) dalam Muktiyanto (2005), setidaknya terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Maximize shareholder wealth) yaitu: 1.
Mengadakan ekspansi dari usaha yang telah ada (internal business expansion), tanpa melihat unit-unit usaha di luar organisasi perusahaan.
2.
Membuat perusahaan atau proyek baru.
3.
Mengadakan penggabungan badan usaha (eksternal business expansion), yang dapat berbentuk konsolidasi, merger dan akuisisi (MKA).
Abdul Moin (2003) mengatakan bahwa Merger dan Akuisisi diharapkan menciptakan “nilai tambah“. Kehadiran nilai tambah ini merupakan indikasi dari keberhasilan proses merger dan akuisisi itu sendiri. Di satu sisi, banyak penelitian yang mengatakan sebaliknya. Havinson (1966) menemukan dari sisi perusahaan yang mengakuisisi tahun 1990-1992, bahwa merger dan akuisisi tidak dapat meningkatkan nilai bagi shareholders dan manajemen apabila ditinjau dari return saham. Hal ini seirama dengan pernyataan bahwa merger dan akuisisi menghasilkan negative returns (Dodd(1980) dalam Jensen and Ruback (1983)) dan sesuai pula dengan hipotesa bahwa merger bagi pengakuisisi merupakan investasi net present value (NPV) negatif (Muktiyanto, 2005) Ilya (1984), menemukan bahwa kinerja perusahaan setelah akuisisi ternyata lebih baik dibandingkan sebelum akuisisi. Hal ini sejalan dengan penelitian Asquith and Eckbo (1983) dalam Jensen and Ruback (1983) yang menemukan bahwa untuk satu hari sebelum dan saat pengumuman merger dan akuisisi, menyimpulkan Universitas Indonesia
9
adanya kecenderungan abnormal return yang positif meskipun tidak signifikan. Dengan kata lain, dapat kita simpulkan bahwa dampak akuisisi menghasilkan sinergi bagi perusahaan-perusahaan go public yang melakukan akuisisi.
2.1.1. Definisi Merger dan Akuisisi Abdul Moin (2003) mendefinisikan merger sebagai “Penggabungan dua atau lebih perusahaan yang kemudian hanya ada satu perusahaan yang tetap hidup sebagai badan hukum, sementara yang lainnya menghentikan aktivitasnya atau bubar”. Sementara konsep akuntansi dari penggabungan usaha direfleksikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha. Pada paragraf 08 disebutkan bahwa Penggabungan Usaha (Businesss Combination) adalah “Penyatuan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan (uniting with) perusahaan lain atau memperoleh kendali (control) atas aktiva dan operasi perusahaan lain. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), pada dasarnya dalam semua penggabungan usaha, salah satu perusahaan yang bergabung memperoleh kendali atas perusahaan lain. Pengendalian diasumsikan diperoleh apabila salah satu perusahaan yang bergabung memmperoleh lebih dari 50% hak suara pada perusahaan lain, kecuali apabila dapat dibuktikan sebaliknya bahwa tidak terdapat pengendalian walaupun pemilikan lebih dari 50%. Lebih lanjut, IAI menegaskan kemungkinan pengakuisisi mungkin tetap dapat diidentifikasikan meskipun salah satu dari perusahaan yang bergabung tidak memiliki lebih dari 50% hak suara pada perusahaan lain, yaitu apabila salah satu perusahaan yang bergabung memperoleh: a. Kekuasaan (power) lebih dari 50% hak suara atas perusahaan yang lain tersebut berdasarkan perjanjian dengan investor lain. b. Kekuasan (power) untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasi perusahaan lain tersebut berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian. c. Kekuasan untuk mengangkat dan memberhentikan sebagian besar anggota pengurus perusahaan yang lain tersebut.
Universitas Indonesia
10
d. Kekuasaan untuk mendapatkan hak suara mayoritas dalam rapat direksi perusahaan yang lain tersebut. Usaha-usaha yang sebelumnya terpisah bersama-sama membentuk satu entitas ketika sumber daya dan operasinya berada di bawah pengendalian kelompok manajemen tunggal. Floyd A. Beams (1998) menjelaskan tentang pengendalian terhadap suatu entitas usaha yang terbentuk dalam penggabungan usaha dengan cara: a. Satu entitas atau lebih perusahaan menjadi perusahaan anak. b. Satu perusahaan mentransfer aktiva bersihnya kepada perusahaan lain. c. Setiap perusahaan mentransfer aktiva bersihnya kepada perusahaan yang baru dibentuk. Sementara itu, Coyle (2000) menjelaskan bahwa suatu penggabungan usaha disebut merger jika: 1. Tidak ada salah satu perusahaan yang bergabung dapat disebut sebagai perusahaan pengambil alih atau perusahaan yang diambil alih. 2. Kedua perusahaan berpartisipasi dalam membentuk struktur manajemen perusahaan hasil penggabungan tersebut. 3. Kedua perusahaan yang bergabung pada umumnya memiliki ukuran yang hampir sama, yang artinya tidak ada dominasi aset antara satu perusahaan atas perusahaan yang lain. 4. Hampir semua atau sebagian besar melibatkan “share swap”, di mana tidak terjadi pembayaran tunai, melainkan yang terjadi adalah penerbitan saham baru yang ditukar dengan kepemilikan saham dalam perusahaan yang lain. Jika dua perusahaan, A dan B, melakukan merger, maka hanya akan ada satu perusahaan saja, yaitu A atau B. Pada sebagian besar kasus merger, perusahaan yang memiliki ukuran lebih besar yang dipertahankan hidup dan tetap mempertahankan nama dan status hukumnya, sedangkan perusahaan yang ukurannya lebih kecil (perusahaan yang dimerger) akan menghentikan aktivitasnya atau dibubarkan sebagai badan hukum. Pihak yang masih hidup atau yang menerima merger dinamakan surviving firm atau pihak yang mengeluarkan saham (issuing firm). Sementara itu, perusahaan yang berhenti dan bubar setelah terjadinya merger dinamakan merged firm. Universitas Indonesia
11
Surviving firm dengan sendirinya memiliki ukuran yang semakin besar karena seluruh aset dan kewajiban dari merged firm dialihkan ke surviving firm. Perusahaan yang dimerger akan menanggalkan status hukumnya sebagai entitas yang terpisah, dan setelah merger statusnya berubah menjadi bagian (unit bisnis) di bawah surviving firm. Dengan demikian ia tidak lagi bisa bertindak hukum atas namanya sendiri (Abdul Moin, 2003). 2.1.2. Benefit Merger dan Akuisisi Terdapat beberapa motivasi merger dan akuisisi yang dikemukakan oleh para ahli yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham karena adanya peningkatan ketidaksempurnaan dalam External Capital Market, meningkatkan Net Present Value dan menciptakan Internal Capital Market, serta mengurangi variabilitas earning. Selain itu beberapa alasan merger dan akuisisi yang juga sering dimunculkan adalah: sinergi, pertimbangan pajak, membeli asset dibawah biaya penggantian, diversifikasi, insentif bagi manajer dan break up value (Brigham dan Houston, 1998), dari keenam alasan tersebut yang menjadi alasan paling dominan adalah alasan sinergi. Hogarty (1972) dalam Havinson (1996) dalam Muktiyanto (2005) mengemukakan bahwa aktivitas merger dan akuisisi dinyatakan sukses (menghasilkan sinergi) apabila terjadi peningkatan nilai bagi pemegang kepentingan perusahaan. Hal ini sesuai dengan konsep maximization wealth of stakeholders, yang dicerminkan oleh laba per lembar saham. Bagi manajemen hal ini diasosiasikan dengan terjadinya perubahan kinerja yang positif. Perubahan ini diukur melalui pengamatan terhadap reaksi pasar yang diukur dengan abnormal return saham perusahaan. Pengamatan terhadap abnormal return dilakukan dengan melihat data saham harian dalam rentang waktu sekitar pengumuman akuisisi. Penelitian mengenai hal ini dilakukan antara lain oleh Jensen and Ruback (1983) dengan mengukur abnormal return sebagai efek ekonomi dari merger dan akuisisi. Lebih lanjut Jensen and Ruback (1983) mengatakan ”abnormal return are measured by differences between actual and expected stock return. The expected stock return is measured conditional on the realized return on a market index to Universitas Indonesia
12
take account of the influence of market wide events on the returns of individual securities”.
2.1.3. Merger dan Akuisisi di Indonesia Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1970, yang dilakukan oleh bank-bank dengan harapan agar dapat memperkuat struktur modal dan memperoleh keringanan pajak (Sutrisno & Sumiarsih, 2004). Perkembangan merger dan akuisisi tersebut terus berlangsung sampai sekarang. Penulis berhasil mengidentifikasi perusahaan di Indonesia yang melakukan merger pada periode 2001 – 2007 pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perusahaan yang Melakukan Merger di Indonesia No
Pengakuisisi
Perusahaan Target
1
Sumitomo
Jatis
2007
2
Nokia
Siemens
2006
3
Trans TV
TV7
2006
4
StarTV
ANTV
2005
5
Astra Internasional
Bank Permata
2004
6
Telkom Malaysia
Excelcom
2004
7
SCS
Astragraphia
2004
8
Grup Djarum
Bank Central Asia
2002
9
Astra Agro Lestari
Sinar Tabiora
2002
10
Sarasa Nugraha
Sarasa Miratama
2002
11
Gudang Garam
Karyadibya Mahar Dika
2002
12
Agis
Arta Citra Galery
2002
13
Siantar Top
Saritama Tunggal
2001
14
Surya Intrindo Makmur
Anglo Sama Permata Motor
2001
15
Indofood Sukses Makmur
Asia Food Property
2001
Intergalaxi Delta Fisheries
2001
16
Bahtera Admina Samudra
Tahun Akuisisi
Mega Galaxy 17
Indocement Tunggal Perkasa
Dian Abadi Perkasa
2001
Roda Maju Perkasa 18
Timah
Gemah Ripah Pertiwi
2001
Indotambang Raya Mega 19
Astra Internasional
Cycle & Carriage Limited
2001
20
Telkom
Multimedia Nusantara
2000
Sumber : Data diolah Universitas Indonesia
13
Berbagai penelitian tentang merger dan akuisisi telah banyak dilakukan di Indonesia dan dengan melihat dampak jangka pendek serta dampak jangka panjang. Tjandra (1995) meneliti emiten-emiten yang ada di BEJ, memperoleh 5 perusahaan yang melakukan akuisisi eksternal dan 11 akuisisi internal, periode pengamatannya 1990-1993. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuisisi internal tidak ada yang memberikan return yang positif pada periode pengamatan, sedangkan untuk akuisisi eksternal banyak yang memberikan yang positif. Kesimpulan akuisisi eksternal lebih mampu memberikan kemakmuran bagi pemegang saham.
2.1.4. Akuisisi Internal Perspektif akuntansi mengenai akuisisi dalam PSAK No. 22 paragraf 08 menjelaskan bahwa akuisisi adalah suatu bentuk penggabungan usaha di mana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi, dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham (IAI, 2004:22). Walaupun akuisisi/merger diyakini akan memberikan sinergi seperti sudah dijelaskan di atas namun untuk akuisisi/merger internal yaitu akuisisi dalam satu grup usaha biasanya tidak memberikan cumulative abnormal return yang lebih tinggi dibandingkan akuisisi eksternal. (Sutrisno dan Sumiarsih, 2004). Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa motif akuisisi internal bukanlah sinergi karena sinergi pada perusahaan dalam satu grup biasanya dilaksanakan dengan mudah tanpa proses akuisisi. Motif yang mungkin adalah penghematan pajak. Seperti pada kasus akuisisi Bogasari oleh Indofood. Oleh karena itu bentuk akuisisi ini diyakini tidak memberikan manfaat yang besar bagi pemegang saham jangka panjang. Sedangkan sebaliknya untuk akuisisi eksternal, karena tidak dilakukan dalam satu grup maka ada kemungkinan pertimbangan yang digunakan benar-benar pertimbangan bisnis misalnya peningkatan effisiensi. Efisiensi biasanya diperoleh melalui hal efisien, mengganti manajemen yang tidak kompeten maupun adanya operating strategy antara perusahaan-perusahaan tersebut.
Universitas Indonesia
14
Akuisisi internal pertama di pasar modal Indonesia dilakukan oleh Japfa Comfeed Indonesia pada 1989 dengan nilai Rp 83 miliar. Bagaikan mode pakaian, akuisisi internal menjadi tren yang digandrungi oleh pemilik kelompok usaha besar hingga mencapai puncaknya pada 1992. Selanjutnya, akuisisi merupakan barang biasa dan para pemegang saham pun sudah pasrah dengan akuisisi internal ini. Menurut data Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), hingga 1995, setidaknya sudah tercatat 29 perusahaan publik yang telah melakukan akuisisi internal dengan nilai mencapai lebih dari Rp4,168 triliun.
2.1.5. Proses Akuisisi dan Nilai Perusahaan/Reaksi Harga Saham Pada kegiatan merger dan akuisisi ada dua hal yang patut dipertimbangkan yaitu nilai yang dihasilkan dari kegiatan akuisisi dan siapakah pihak-pihak yang paling diuntungkan dari kegiatan tersebut. Dengan adanya akuisisi diharapkan akan menghasilkan sinergi sehingga nilai perusahaan akan meningkat. Akan tetapi jika menyangkut siapa pihak yang paling diuntungkan dari kegiatan merger tersebut, para peneliti belum saling sepakat. Ada sebagian yang berpendapat, pemegang saham perusahaan target selalu diuntungkan dan pemegang saham perusahaan yang melakukan akuisisi (Acquiring Firm) selalu dirugikan. Keuntungan pemegang saham dapat diketahui melalui abnormal return yang mereka terima (Sutrisno dan Sumiarsih, 2004) Croci (2006) fokus pada 459 perusahaan target yang terlibat dalam proses Merger dan Akuisisi yang gagal selama tahun 1990-2001 di Spanyol. Shareholder perusahaan target melaporkan kerugian besar ketika usaha akuisisi gagal dan kerugian yang dialami tidak hanya sebatas pada premium yang ditawarkan oleh bidder. Pada saat pengumuman kegagalan, harga saham perusahaan target lebih rendah dibandingkan sebelum proses penawaran akuisisi. Bahkan, selama dari pengumuman akuisisi sampai dengan kegagalan, harga saham perusahaan target mengalami penurunan sebesar -10.61%. Wibowo & Pakereng (2001) menemukan bahwa dalam jangka pendek, perusahaan pengakuisisi di Indonesia memperoleh abnormal return yang negatif di sekitar tanggal pengumuman merger dan akuisisi.
Universitas Indonesia
15
Sedangkan bila dilihat dari dampak jangka panjang akuisisi bagi pemegang saham. Wibowo (1996) meneliti Kinerja Saham Akuisitor Jangka Panjang Setelah Akuisisi (Perbandingan antara Akuisisi Konglomerasi dan Nonkonglomerasi di BEJ). Diperoleh 6 sampel akuisisi konglomerasi dan 14 akuisisi nonkonglomerasi. Hasilnya dalam waktu tiga tahun setelah akuisisi, kinerja saham perusahaan yang melakukan akuisisi tidak mengalami underperformance dan kinerja saham perusahaan yang melakukan akuisisi nonkonglomerasi lebih baik dari perusahaan konglomerasi. Swandari (1999) melakukan penelitian dampak jangka panjang pemegang saham pengakuisisi dan membandingkan kemakmuran yang diperoleh antara akuisisi internal dan akuisisi eksternal selama periode 1990 hingga 1994. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemegang saham perusahaan yang melakukan akuisisi tidak memperoleh kemakmuran yang lebih tinggi dari peristiwa akuisisi. Hasil tersebut disimpulkan dari nilai AAR dan CAAR yang positif tidak signifikan untuk periode 24 bulan setelah peristiwa. Sedangkan kemakmuran yang diterima pemegang saham jangka panjang pada perusahaan yang melakukan akuisisi eksternal terbukti lebih tinggi dibandingkan pada pemegang saham perusahaan yang melakukan akuisisi internal. Retno W. (2002) melakukan penelitian dampak jangka panjang pemegang saham pengakuisisi dan membandingkan kemakmuran yang diperoleh antara akuisisi internal dan akuisisi eksternal selama periode 1997 hingga 1999. hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemegang saham pengakuisisi tidak memperoleh kemakmuran/abnormal return yang memadai setelah pengumuman merger dan akuisisi. 2.2
Struktur Kepemilikan Perusahaan
2.2.1. Struktur Kepemilikan Perusahaan Publik di Indonesia Secara Umum, perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan perusahaan di Asia pada umumnya. Ditilik dari segi historis dan sosiologis, perusahaan-perusahaan di Asia adalah perusahaan yang dimiliki dan dikontrol oleh keluarga. Meskipun perusahaan tersebut tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun kontrol tetap dipegang oleh keluarga masih signifikan (Herdinata, 2008). Universitas Indonesia
16
Purba (2004) mengatakan bahwa pasar modal indonesia digerakkan oleh investor dengan jumlah terbatas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pasar modal kita hanya didukung oleh 60.000-an pemegang rekening. Hal ini menunjukkan bahwa pasar modal di Indonesia belum mengakar dan ketidakmerataan kepemilikan kekayaan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Claessens, Stijin, Simeon Djankov dan Larry H.P dalam Hedinata (2008) ditemukan bahwa dalam tahun 1996 kapitalisasi pasar dari saham yang dikuasai oleh 10 perusahaan keluarga di Indonesia mencapai 57,7%. Untuk Filipina dan Thailand mencapai 52,5% dan 46,2%. Sementara untuk Korea dan Malaysia dikuasai oleh 15 perusahaan keluarga sebesar 38,4% dan 28,3%. Berdasarkan data dari Indonesian Capital Market Directory 2009, secara umum rata-rata kepemilikan investor publik di BEJ adalah 27,6% dengan sebagian besar (94,4%) kepemilikan investor publik di bawah 60%.
Detail dari distribusi
persentase kepemilikan investor publik pada perusahaan di Indonesia dapat kita lihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1. Proporsi Kepemilikan Saham publik di BEI, 2009 (n=395) Sumber : ICMD 2009, data diolah
Berdasarkan grafik tersebut diperoleh gambaran, bahwa 37,5% perusahaan memiliki proporsi saham publik yang tergolong rendah (kepemilikan investor publik sebesar 0-20%), 40,3% termasuk dalam kategori cukup rendah (20-40%), 16,7% termasuk dalam kategori sedang (40-60%), 4,3% termasuk dalam kategori Universitas Indonesia
17
tinggi (60-80%), dan 1,3% termasuk dalam kategori sangat tinggi (80-100%). Data di atas juga mengungkapkan bahwa hanya sekitar 5,6% dari 385 perusahaan yang memiliki saham publik di atas 60%. Keadaan ini mencerminkan bahwa kepemilikan investor publik di perusahaan di Indonesia masih sangat rendah. Di satu sisi hal ini berarti struktur kepemilikan sebagian besar perusahaan di Indonesia terkonsentrasi pada sedikit orang/institusi. Purba (2004) melakukan penelitian tehadap 281 perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta per tahun 2003 dan meneliti hubungan antara struktur kepemilikan
dengan
kinerja
perusahaan.
Kinerja
perusahaan
didekati
menggunakan Return on Investment (RoI). Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepemilikan saham publik dengan kinerja perusahaan. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa semakin tinggi persentase kepemilikan saham publik maka semakin baik pula kinerja perusahaan tersebut. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa semakin tinggi persentase kepemilikan saham publik akan semakin memotivasi pihak manajemen untuk melakukan praktek Good Corporate Governance sebagai wujud akuntabilitas manajemen terhadap publik. 2.2.2. Struktur Kepemilikan dan Jenis Investasi Struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks dikenal dengan istilah grup atau konglomerasi dan melembaga di negara dengan kategori emerging economies seperti hasil penelitian oleh Majluf et al. (1998), Gonzalez (1999), Khanna dan Palepu (1997) dan Lefort and Walker (1999). Hal ini juga berlaku di negara Brazil (Valadares dan Leal (1999)), Mexico (Castaneda (1999)), India (Khanna dan Palepu (1997)), dan mayoritas negara di Asia Timur (Claessens et al. (1999)). Selain kepemilikan oleh sekelompok perusahaan, karakteristik konglomerasi juga dapat diidentifikasi dari mekanisme yang kompleks untuk memperoleh kontrol perusahaan termasuk skema piramidal, kepemilikan silang, dan saham dual-class. Amihud and Lev(1981; 1999) menjelaskan bahwa perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi yang lebih tinggi akan lebih tidak terdiversifikasi karena eksekutif perusahaan akan mencoba mengurangi resiko pemecatan melalui merger dan tindakan diversifikasi yang tidak ada hubungan dengan bisnis perusahaan. Universitas Indonesia
18
Hubungan positif
antara diversifikasi dan konsentrasi kepemilikan dapat
dijelaskan sebgai berikut : Strategi korporasi secara de facto dirumuskan oleh controlling shareholder ( pada struktur kepemilikan terkonsentrasi Board of Directors di awasi dan di kontrol secara ketat oleh controlling shareholder). Di lain pihak minority shareholder dapat mendiversifikasi portofolionya, sedangkan controlling shareholder hanya terfokus pada satu perusahaan, sehingga controlling shareholder akan berusaha untuk mengurangi resiko melalui merger dan diversifikasi. Sehingga semakin tinggi konsentrasi kepemilikian dalam satu perusahaan, semakin besar resiko yang ditanggung, dan semakin sedikit yang mengawasi controlling shareholder, controlling shareholder akan semakin leluasa dalam melakukan diversifikasi. Konsep konglomerasi (kepemilikan terkonsentrasi) tetap mendapatkan kritik dari berbagai paper akademis tentang corporate governance. Dengan menggunakan agency theory konglomerasi diduga menjadi penyebab inefisiensi investasi dan ekspropriasi terhadap minority shareholder. Hal ini terjadi, khususnya ketika kontrol konglomerasi diperoleh melalui mekanisme seperti struktur piramidal, kepemilikan silang, dan saham dual-class. Kondisi ini juga memperburuk agency problem.
2.2.2.1. Investasi Related Party dan Non Related Party Para Direktur dan Manajer di perusahaan bertugas untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham (Maximize shareholder wealth). Tugas ini dilakukan dengan cara meningkatkan modal, mendapatkan faktor input produksi, menjual output, mempekerjakan karyawan, menyewakan asset, membeli dan menjual asset, dll. Pada prakteknya Direktur dan Manajer seringkali melakukan hal tersebut dengan melibatkan kenalan, pemegang saham mayoritas, perusahaan lain yang memiliki hubungan dengan mereka, atau bahkan dengan diri mereka sendiri. Praktek tersebut kita kenal dengan istilah Transaksi dengan Pihak yang memiliki hubungan Istimewa (Related PartyTransactions (RPT)). Chhaochharia dan Grinstein (2005) dalam Utama (2006) mendefinisikan Related Party Transaction (RPT) adalah transaksi antara perusahaan dan insiders-nya atau Universitas Indonesia
19
afiliasinya. Transaksi seperti pembelian atau penjualan barang atau jasa dari atau pada insiders, pemberian pinjaman pada eksekutif, seluruhnya merupakan RPT. Karena pihak istimewa ini dapat mempengaruhi bentuk dan syarat (term and condition) yang menguntungkan mereka dalam sebuah transaksi, ini akan bertentangan dengan konsep Shareholder Wealth Maximization. Ryngaert dan Thomas (2007) membagi RPT ke dalam dua kategori yaitu transaksi ex-ante dan ex-post. Transaksi ex-ante didefinisikan sebagai transaksi dimana suatu perusahaan dan related party melakakukan transaksi sebelum perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik atau sebelum tertentu menjadi related party dengan perusahaan. Dalam kasus transaksi ex-ante, kita sulit untuk membuktikan bahwa inside investor melakukan transaksi yang merugikan outside investor. Namun demikian transaksi tersebut dapat terlihat pada pengungkapan perusahaan (corporate disclosure). Transaksi ex-post adalah transaksi yang munculk setelah perusahaan go public dan setelah suatu pihak memiliki hubungan khusus dengan perusahaan. Jenis transaksi ini cenderung merugikan outside shareholder.
2.2.2.2. Jenis Investasi dan Nilai Perusahaan Transaksi ex-post memiliki hubungan dengan berkurangnya kekayaan pemegang saham sedangkan transaksi ex-ante tidak berhubungan dengan berkurangnya kekayaan pemegang saham. Jian dan Wong (2004) meneliti bahwa perusahaan di Cina seringkali melakukan RPT dan volume aktivitas RPT tersebut berkorelasi negatif dengan value perusahaan. Lebih jauh lagi, Jiang, Lee, dan Yue (2005) menemukan bahwa perusahaan Cina yang memberikan pinjaman kepada related parties memiliki nilai perusahaan yang lebih rendah. Cheung, Rau, dan Stouraitis (2006) menemukan bahwa untuk perusahaan yang terdaftar di bursa Hongkong mengalami abnormal stock return yang negatif ketika mereka mengumumkan untuk melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan khusus. Ryngaert dan Thomas (2007) melakukan penelitian dengan melihat frekuensi, asal, dan konsekuensi valuasi RPT dari 234 Perusahaan Kecil dan Menengah di Universitas Indonesia
20
Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa faktor timing mempengaruhi efek dari RPT terhadap kekayaan shareholder. RPT cenderung dilakukan apabila Direktur dan Manajer memiliki kepemilikan saham yang besar. Besarnya proporsi kepemilikan saham ini memberikan “hak” kepada
manajemen
untuk
menemukan korelasi positif
mengendalikan
jalannya
perusahaan.
Mereka
yang signifikan antara transaksi ex-post dengan
kecenderungan perusahaan mengalami financial distress atau bangkrut. RPT dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan pada kondisi tertentu misalnya pada situasi yang melibatkan informasi yang tidak komplit (Incomplete information). Contohnya, perusahaan melakukan penunjukan mitra langsung yang memiliki hubungan khusus dikarenakan deadline proyek yang sempit. Potensi keuntungan dari RPT yang lain adalah pencegahan penundaan pada proses kontrak. Jika pihak yang terlibat kontrak memiliki hubungan keluarga masalah penundaan kontrak akan lebih berkurang.
2.2.3. Struktur Kepemilikan dan Teori Keagenan Zhu dan Ma (2009), mengungkapkan bahwa penelitian terdahulu tentang corporate governance terfokus pada permasalahan antara principal-agent akibat asimetri informasi antara dewan direksi dan manajemen perusahaan (Eisenhardt, 1989; Finkelstein and Daveni, 1994; Mallette and Fowler, 1992). Corporate governance
menjadi
mekanisme
control
internal
dan
eksternal
dalam
menyelaraskan kepentingan antara dewan direksi dengan manajemen perusahaan atau melalui pengawasan langsung (Boyd, 1994; Gibbs, 1993; Hillet al., 1988; Walsh et al., 1990; Zajac and Westphal, 1994). Di satu sisi, penelitian yang dilakukan di wilayah eropa dan Jepang, dengan karakteristik kepemilikan perusahaan yang terkonsentrasi, menemukan bahwa terdapat konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas, dan bahwa pemegang saham mayoritas dapat melakukan ekspropriasi terhadap kekayaan pemegang saham minoritas (Aguilera and Jackson, 2003; de Miguel, Pindado, and de la Torre, 2004;
Universitas Indonesia
21
Weinstein and Yafeh, 1994). Studi lainnya menemukan bukti yang lebih kuat tentang keberadaan ekspropriasi di negara berkembang (Chang, 2003), atau yang kita kenal dengan istilah “tunneling” (Johnson et al., 2000). Jadi terdapat hubungan segitiga antara principal dan agent dalam perusahaan publik dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi. Hubungan antara ketiganya digambarkan pada gambar 1.1. Pertama hubungan principal-agent antara pemegang saham minoritas dan dewan direksi, yang juga merupakan konflik mendasar di dalam pasar dengan struktur kepemilikan tersebar. Dewan direksi memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan pemegang saham minoritas karena pemegang saham minoritas tidak dapat mengawasi direksi secara langsung terkait masalah biaya. Kedua adalah permasalahan principal-agent antara pemegang saham mayoritas dan dewan direksi. Pemegang saham mayoritas memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan dewan direksi karena biaya untuk mengawasi dewan direksi relatif rendah. Sehingga terdapat dua permasalahan bagi dewan direksi apabila pemegang saham mayoritas dan minoritas memiliki kepentingan yang berbeda (Dharwadkar et al., 2000; Su, Xu, and Phan, 2008; Young et al., 2003). Ketiga adalah hubungan principal-agent antara pemegang saham minoritas dan mayoritas. Pemegang saham mayoritas memiliki posisi yang lebih baik karena mereka dapat mengawasi dan memiliki akses informasi yang lebih baik dibandingkan pemegang saham minoritas.
Hal ini menyebabkan pemegang
saham minoritas berada di dalam posisi yang paling lemah dalam hubungan segitiga ini. Pemegang saham minoritas sebenarnya bisa saja diuntungkan dari pengawasan terhadap kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan oleh pemegang saham mayoritas. Dengan demikian dapat kita simpulkan : Pemegang saham minoritas mempercayakan pemegang saham mayoritas untuk mengawasi manajemen dengan konsekuensi adanya ekspropriasi yang dilakukan pemegang saham mayoritas.
Universitas Indonesia
22
Kita dapat simpulkan bahwa semakin efektif pengawasan yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas, akan semakin tinggi motivasi mereka untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas.
Gambar 2.2 Hubungan Segitiga Principal-Agent Sumber (Zhu dan Ma, 2009)
2.2.3.1. Teori Keagenan dan Ekspropriasi terhadap Pemegang Saham Teori keagenan (Agency Theory) muncul dalam hubungan keagenan (agent relationship) antara principal (investor) dan agent (manajer) yang terikat dalam suatu kontrak. Inti dari hubungan ini adalah adanya pemisahan kepemilikan (di pihak investor) dan pengendalian (di pihak manajer). Investor memiliki harapan bahwa manajer akan menghasilkan return dari uang yang mereka investasikan. Oleh karena itu, kontrak yang baik antara investor dan manajer adalah kontrak yang mampu menjelaskan spesifikasi apa saja yang harus dilakukan oleh manajer dalam mengelola dana para investor dan spesifikasi tentang pembagian return antara manajer dan investor.
Universitas Indonesia
23
Namun demikian, sebagian besar faktor kontingensi sulit untuk dilihat atau diramal sebelumnya, sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk diwujudkan. Dengan demikian, investor diharuskan untuk memberikan hak pengendalian residual (residual control rights) kepada manajer, yaitu hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat dalam kontrak. Hak pengendalian residual di atas sangat mungkin untuk diselewengkan dan akan menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka tanamkan tidak dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor. Kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya adalah bahwa manajer akan melakukan ekspropriasi (perampasan) kekayaan investor. Perampasan ini dapat dilakukan melalui penggelapan dana investor, menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar, hingga menjual asset perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer atau bahkan mempertahankan posisi/jabatan pekerjaanya meskipun mereka sudah tidak kompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya. Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika pihak-pihak yang bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Teori keagenan secara khusus membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agen) yang melakukan pekerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang mungkin terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan yang timbul pada saat: 1. Keinginan atau tujuan dari principal dan agent berlawanan 2. Biaya untuk mengawasi pekerjaan agen terlalu mahal. Kedua, masalah pembagian resiko yang timbul pada saat principal dan agent memiliki sikap yang berbeda terhasap resiko.
Universitas Indonesia
24
Teori keagenan didasari oleh beberapa asumsi, yaitu : 1. Asumsi
sifat
manusia,
menekankan
bahwa
manusia
memiliki
sifat
mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasional dan tidak menyukai resiko (risk aversion). 2. Asumsi organisasi, adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. 3. Asumsi informasi, adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Menurut Jensen dan Meckling (1976) adanya tiga unsur tambahan yang dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen, yaitu: 1. Bekerjanya pasar tenaga manajerial, akan menghapus kesempatan pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan pemegang saham perusahaan yang dikelolanya. 2. Bekerjanya pasar modal, secara efisien bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya. 3. Bekerjanya market for corporate control, bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya mempunyai kinerja rendah yang memungkinkan pemegang saham baru menggantikannya dengan pengelola lain setelah perusahaan di ambil alih. Penjelasan di atas meyakinkan bahwa teori keagenan diharapkan dapat berfungsi untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan dan keyakinan bahwa para manajer akan memerikan keuntungan bagi paara investor 2.3 Pengaruh struktur kepemilikan terhadap merger 2.3.1. Hubungan antara Struktur kepemilikan dan Nilai Perusahaan Atanasov, Boone, Haushalter (2008) mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi kepemilikan dalam satu perusahaan, semakin besar resiko yang ditanggung, dan semakin sedikit minority shareholder yang mengawasi
Universitas Indonesia
25
controlling shareholder, controlling shareholder akan semakin leluasa dalam melakukan diversifikasi. Sementara, Gilberto dan Guedes (2006) melakukan penelitian terhadap 204 perusahaan di Eropa dan sekitarnya dan menemukan terdapat hubungan yang negatif antara insentif untuk melakukan ekpropriasi dengan nilai perusahaan. Semakin tinggi insentif untuk melakukan ekpropriasi terhadap kekayaan outside investor semakin rendah nilai perusahaan. Utama, (2006) mengatakan bahwa di Indonesia, semakin terkonsentrasi kendali perusahaan pada pemegang saham mayoritas akan mengakibatkan posisinya dalam perusahan menjadi semakin kuat dan memungkinkan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi yang akan menurunkan nilai perusahaan dan merugikan pemegang saham minoritas. Dilain pihak, Jensen and Meckling (1976) menegaskan bahwa investor besar, melalui
pengawasan
melekat,
dapat
menggunakan
kekuatannya
untuk
mengurangi resiko ekspropriasi yang akan berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan untuk semua pemegang saham. Di satu sisi, menurut Schleifer dand Vishn (1997) keuatan yang sama dapat juga dipergunakan untuk mengambil keuntungan pribadi yang merugikan pemegang saham lainnya.
2.3.2. Struktur Kepemilikan dan Ekspropriasi Minority Shareholder Kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan ciri khas dari struktur kepemilikan perusahaan di negara dengan kategori emerging economies. Umumnya, sebuah perusahaan merupakan bagian dari struktur kepemilikan yang kompleks yang dimiliki oleh individu, atau keluarga. Struktur yang kompleks ini dikenal dengan istilah grup atau konglomerasi. Struktur ini melembaga di negara dengan kategori emerging economies seperti hasil penelitian oleh Majluf et al. (1998), Gonzalez (1999), Khanna dan Palepu (1997) dan Lefort and Walker (1999). Hal ini juga berlaku di negara Brazil (Valadares dan Leal (1999)), Mexico (Castaneda (1999)), India (Khanna dan Palepu (1997)), dan mayoritas negara di Asia Timur (Claessens et al. (1999)). Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi ini akan merugikan pemegang saham minoritas.
Utama, (2006) menyatakan bahwa di Indonesia, semakin Universitas Indonesia
26
terkonsentrasi kendali perusahaan pada pemegang saham mayoritas akan mengakibatkan
posisinya
dalam
perusahan menjadi semakin kuat
dan
memungkinkan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi yang akan menurunkan nilai perusahaan dan merugikan pemegang saham minoritas. Miguel, Pindado dan de la Torre (2003) menemukan bukti bahwa shareholder mayoritas melakukan perampasan (ekspropriasi) terhadap kekayaan shareholder minoritas di Spanyol. Selain itu mereka juga menemukan bahwa perbedaan sistem pengelolaan perusahaan (corporate governance) di setiap negara mempengaruhi hubungan antara struktur kepemilikan saham dengan nilai perusahaan. Claessens et al. (2000) membuktikan terjadinya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas berdasarkan penelitian terhadap 2.980 perusahaan dari 9 negara Asia (Hongkong, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Thailand), dimana ditemukan bahwa konsentrasi control right3 yang melebihi cash flow right4
berdampak
positif
pada
tingkat
ekspropriasi
terhadap pemegang saham minoritas. Claessens et al. (2000) juga menemukan bahwa ketika terjadi kesenjangan yang besar antara control right dan cash flow rights dan sekaligus ketika pemegang saham pengendali akhir adalah keluarga, maka tingkat ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas lebih tinggi. Sementara itu, Wolfenzon (1999) menginterpretasikan adanya sistem piramidal sebagai cara ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Struktur yang ditemukan oleh Classens et al. (1999b dan 2000) menunjukkan struktur piramidal banyak dipakai oleh pemegang saham pengendali Indonesia. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa di Indonesia ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas dapat terjadi secara kuat. Hal ini dipertegas lagi oleh Herdinata, (2008) yang mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang, perilaku usaha di Indonesia telah tercemar dengan berbagai tindakan, kegiatan, dan modus usaha yang tidak sehat akibat dari pola dan kepemilikan usaha yang hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok dan menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 3
Control right merupakan hak pengontrol yang berasal dari kepemilikan saham Cash flow rights merupakan bagian kepemilikan pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders) 4
Universitas Indonesia
27
2.3.3. Ekspropriasi Minority Shareholder dan Perlindungan Hukum La Porta et al. (1998) meneliti pengaruh sistem hukum negara pada proteksi terhadap outside investor dan kreditor dengan data dari 49 negara. Hasilnya menyatakan
bahwa
negara-negara
yang
mengikuti
sistem
common-law
memproteksi investor paling kuat, sedangkan negara-negara yang mengikuti sistem French-civil-law paling lemah dalam hal proteksi investor. Selain itu juga ditemukan bahwa struktur kepemilikan yang terkonsentrasi berhubungan negative pada proteksi investor. Proteksi terhadap investor pada negara-negara yang mengikuti French-civil-law berkaitan erat dengan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi. Dalam penelitian La porta et al. (1998), sistem hukum Indonesia tergolong dalam French-civil-law bersama Belanda. Jadi sistem hukum Indonesia lemah dalam hal proteksi hak investor, padahal konsentrasi kepemilikan terhadap perusahaan di Indonesia sangat tinggi. Hal ini dipertegas lagi oleh Herdinata, (2008) yang mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang, perilaku usaha di Indonesia telah tercemar dengan berbagai tindakan, kegiatan, dan modus usaha yang tidak sehat akibat dari pola dan kepemilikan usaha yang hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok dan menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). La porta et al (2002) meneliti 539 perusahaan yang terdiri dari 27 negara yang terkaya. Variabel utama yang dipakai dalam penelitian mereka antara lain adalah proksi proteksi investor yakni common law, anti-director right dan cash-flow right. Hasil regresi dengan metode random effects menyatakan bahwa negaranegara yang menerapkan common law lebih tinggi nilai perusahaannya. Hasil penelitian ini mendukung secara tidak langsung bahwa masalah ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas merupakan masalah yang penting dan hokum berperan penting dalam membatasi ekspropriasi itu. Webber dan Goo (2003) melaporkan kurangnya penegakan hukum memberikan keleluasaan bagi controlling shareholders untuk melakukan ekspropriasi terhadap asset perusahaan dengan menggunakan struktur kepemilikan yang rumit dengan merugikan minority shareholder. Mereka merekomendasikan penegakan sistem
Universitas Indonesia
28
hukum dan regulasi yang memberikan perlindungan memadai bagi minority shareholder.
2.3.4. Contoh Ekspropriasi pemegang saham minoritas di Indonesia Di tahun 1988, bankir senior Djaja Ramli mengajak 12 orang dokter senior di Jakarta untuk berkongsi mendirikan Rumah Sakit Graha Medika. Kemudian disepakati, kepemilikan PT Baligraha Medikatama, perusahaan yang mengelola Graha Medika, adalah 50% untuk 12 orang dokter dan 50% sisanya untuk PT Pramudhya Barutama yang dimiliki keluarga Ramli. Pada 13 Agustus 1991, diresmikanlah RS Graha Medika dengan modal Rp 24,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 3 miliar berupa modal disetor dan Rp 21,5 miliar sisanya berasal dari pinjaman. Baiknya kinerja Graha Medika membuat Laporan keuangan Baligraha selalu baik. Pada Januari 1998, Baligraha melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Jakarta. 55 juta saham ditawarkan pada harga Rp 500. Akibat penawaran saham perdana (IPO) ini, saham para dokter dan PT Pramudhya Barutama sama-sama menciut masing-masing tinggal 35,79%. Sisanya, 28,42% berada di tangan publik. Dari IPO ini, PT Baligraha Medikatama berhasil mendapat Rp 27.5 miliar. 50% dana itu digunakan membayar utang ke Bank Lippo dan sisanya untuk membeli peralatan baru. Di lantai bursa, saham BGMT menjadi rebutan dan nilainya naik hingga kisaran Rp 1.700. Bahkan pada April 1998 harga sahamnya sempat melambung ke Rp 4.925. Melalui berbagai anak perusahaan, kelompok bisnis Lippo berhasil mendapatkan 30% saham PT Baligraha Medikatama.Di tangan Lippo, kinerja Graha Medika masih baik. Harga saham BGMT bergerak stabil pada kisaran Rp 700-Rp 1.000. Harga saham tersebut baru mengalami kemunduran ketika pada April 2000 Lippo memutuskan PT Baligraha Medikatama merger dengan Siloam Gleneagles, RS di Tangerang, yang didirikan oleh grup Lippo. Akibat merger ini Gleneagles membebani keuangan Graha Medika. Per September 1999, tercatat Gleneagles mengalami kerugian bersih sebesar Rp 35,7 miliar. Pada 1998 kerugian rumah sakit mencapai Rp 119.7 miliar.Di lain pihak
Universitas Indonesia
29
kinerja Baligraha sangatlah baik. Pada 1999, rumah sakit itu mencatat laba bersih Rp 15,7 miliar dan tahun sebelumnya Rp 21.7 miliar. Manajemen Lippo sempat menenangkan para dokter yang sudah menunjukkan kekhawatiran akan masa depan Graha Medika pasca-merger. Manajemen Lippo berupaya meyakinkan mereka bahwa langkah ini adalah yang terbaik dan ada kemungkinan harga saham BGMT akan naik. Meski tidak memuaskan, para dokter tidak bisa apa-apa karena mereka saat itu hanya menjadi pemegang saham minoritas perusahaan. Walaupun kinerja Graha Medika lebih baik, saham mereka malah dihargai lebih rendah dibandingkan saham Gleneagles. Dalam perusahaan baru Siloam Health Care, keseluruhan saham Baligraha hanya mencakup 15% kepemilikan. Sedangkan eks saham Gleneagles menguasai 85%. Pasca-merger ini, kepemilikan para dokter, secara keseluruhan, tinggal 1,3%. Karena kinerjanya lebih baik, Lippo memutuskan Baligraha menjadi induk perusahaan hasil merger. Karena itu, kode saham Siloam Health Care tetap BGMT. Namun ternyata, kondisi perusahaan tidak membaik, keadaan justru memburuk. Pada 2000, perusahaan hasil merger ini mengalami kerugian sebesar Rp 33 miliar. Menurut laporan keuangan 2003, laba operasional Siloam Health Care Rp 14 miliar. Dari jumlah itu, Graha Medika menyumbang laba terbesar, Rp 13 miliar (hampir 92,9% dari total laba operasional). Sementara itu, RS Sumber Waluyo (anak perusahaan Health Care lainnya) menyumbang Rp 5 miliar dan Gleneagles Rp 2,4 miliar. Sayangnya, tiga rumah sakit itu tak bisa mendatangkan untung yang lebih besar karena harus menomboki kerugian yang dialami anak usaha yang lain lagi, yakni RS Siloam Gleneagles Cikarang, sebesar Rp 6,5 miliar. Sepanjang rumah sakit itu dimiliki Lippo, kata seorang dokter, ia tidak lagi pernah menerima pembagian dividen. Selalu saja dikatakan perusahaan rugi meskipun rumah sakit Graha Medika selalu penuh, Tak berlebihan bila kemudian para dokter Graha Medika merasa sekadar dijadikan sapi perah dalam kelompok usaha Siloam Health Care.
Universitas Indonesia
30
2.4 Perhitungan nilai kewajaran saham perusahaan yang diakuisisi Baik merger maupun akuisisi sendiri sering melibatkan pembelian satu perusahaan atas perusahaan lain. Dalam kasus ini, tentu saja investor yang menjadi pemegang saham harus mengukur apakah pembelian itu akan menguntungkan bagi dirinya. Untuk itu, investor juga harus mengukur apakah harga pembelian itu cukup wajar jika dibandingkan dengan prospek perusahaan yang dibeli. Masalahnya, perusahaan target dan perusahaan pengakuisisi dalam merger dan akuisisi bisanya memiliki pendapat yang berbeda tentang nilai perusahaan. Perusahaan target tentu akan cenderung memasang harga yang setinggi mungkin, sementara perusahaan pengakuisisi akan berusaha memperoleh harga semurah mungkin. Terdapat banyak cara untuk mengukur apakah suatu pembelian perusahaan layak atau tidak. Metode Perbandingan ratio, Replacement Cost, dan Discounted Cash Flow adalah sebagian metode yang umum digunakan untuk untuk menghitung kelayakan nilai suatu perusahaan. 2.4.1. Menghitung Nilai Perusahaan Permasalahan utama dalam menganalisa proses merger adalah bagaimana menentukan nilai perusahaan yang akan diakuisisi. Hal ini tidaklah mudah. Nilai sebuah perusahaan tidak hanya tergantung pada kemampuan menghasilkan cash flow, tapi juga karakteristik finansial dan operasional perusahaan pengakuisisi. Hal ini menyebabkan tidak adanya nilai pasti dari sebuah perusahaan. Yang ada hanyalah rentang nilai sebuah perusahaan yang kemudian dilakukan negosiasi antara perusahaan pengakusisi dengan perusahaan target. Banyak faktor yang harus kita pertimbangkan dalam menentukan harga yang “wajar” bagi sebuah perusahaan. Seperti kita ketahui tujuan dari perusahaan pengakuisisi adalah memaksimalkan kekayaan pemegang saham (harga saham). Pada kenyataan bagaimana kita mengkuantifisir tujuan ini dalam bentuk variabel amatlah sulit. Scott, Jr (1999) menggunakan empat pendekatan untuk menentukan nilai perusahaan target yaitu : (1) Book Value, (2) Appraisal Value, (3) Break-up Value, (4) Cash Flow Value. Universitas Indonesia
31
2.4.1.1 Book Value Nilai buku dari kekayaan bersih sebuah perusahaan adalah nilai yang tertera pada akun ekuitas di dalam neraca, yaitu nilai keseluruhan neraca dikurang jumlah hutang. Sebagai contoh, jika nilai historis asset perusahaan dikurang akumulasi depresiasinya adalah 10 Milyar rupiah dan jumlah hutang perusahaan 4 Milyar rupiah, maka nilai buku perusahaan adalah 6 Milyar rupiah. Kemudian, jika jumlah saham yang diperdagangkan (outstanding stock) adalah 100.000 lembar, maka nilai buku per saham adalah 60.000 (6 Milyar dibagi 100 ribu). Nilai buku tidak mencerminkan nilai pasar kekayaan bersih perusahaan karena menggunakan harga perolehan dari suatu asset. Nilai ini sangat jarang mencerminkan
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan
pendapatan.
Walaupun demikian kita dapat menggunakan nilai ini sebagai pembanding dengan nilai yang dihasilkan dengan metode lainnya.
2.4.1.2 Appraisal Value Appraisal value dari sebuah perusahaan dapat diperoleh dari perusahaan penilai independen. Teknik yang digunakan bermacam-macam, namun nilai ini terkait dengan biaya penggantian (replacement cost) dari aset perusahaan. Metode ini kurang memadai karena nilai sebuah aset tidak mencerminkan seluruh kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan. Namun appraisal value perusahaan dapat digunakan ketika digunakan bersama dengan metode valuasi lain. Metode ini juga berguna disituasi khusus seperti perusahaan keuangan, perusahaan sumber daya alam, atau perusahaan yang merugi Penggunaan appraisal value mendatangkan berbagai keuntungan. Nilai yang dikeluarkan oleh penilai independen dapat mengurangi nilai goodwill dengan cara meningkatkan nilai asset yang ditentukan. Goodwill muncul ketika harga pembelian perusahaan melebihi nilai bukunya. Misal sebuah perusahaan dengan nilai buku 60 Milyar dijual dengan harga 100 Milyar, maka nilai Goodwill adalah 40 Milyar. Misalkan nilai buku 60 Milyar terdiri dari 20 Milyar modal kerja dan 40 Milyar asset tetap. Pada prakteknya perusahaan penilai mungkin saja menilai kedua asset ini dengan 25 Milyar dan 55 Milyar. Selisih 15 Milyar untuk nilai asset tetap memungkinkan perusahaan pengakuisisi untuk mencatatkan nilai Universitas Indonesia
32
depresiasi yang lebih besar sehingga dapat menghemat pajak. Selain itu penilai independen bisa saja menemukan kekuatan dan kelemahan perusahaan yang tersembunyi seperti nilai paten, resep rahasia, dan biaya R&D.
2.4.1.3 Break-up Value Break-up value pertama kali diperkenalkan oleh Dean lebaron dan Lawrence Speidell. Metode ini mencoba untuk mengidentifikasi perusahaan yang bergerak di multi sektor yang dihargai rendah dan akan bernilai tinggi jika beroperasi secara terpisah. Metode ini mencoba untuk menilai perusahaan berdasarkan segmen bisnisnya. Pertama kita harus mencari contoh perusahaan “murni”, yaitu perusahaan yang bergerak hanya di satu bidang industry tertentu. Kemudian kita menghitung rasio kapitalisasi pasar untuk insdustri tersebut. Rasio ini biasanya membandingkan total kapitalisasi (hutang dan ekuitas) dengan total sales, asset, dan pendapatan. Dengan demikian rasio tersebut melambangkan nilai rata-rata dollar per asset, perasset, dan pendapatan per dollar dari industri tertentu berdasarkan average dari perusahaan “murni.” Dengan mengasumsikan rasio ini dapat diaplikasikan ke berbagai segmen bisnis lainnya maka kita dapat membagi nilai perusahaan ke dalam bagian kecil. Kekurangan yang utama dari model ini adalah bahwa model ini tidak didasarkan pada teori keuangan. Yang dilakukan oleh model ini hanyalah mengasumsikan hubungan kapitalisasi dalam industri adalah sama untuk seluruh perusahaan di dalam industri. Pada prakteknya hal ini tidaklah benar. Kita dapat dengan mudah menemukan perusahaan tertentu yang dapat memproduksi produk berkualitas tinggi sehingga pertumbuhan pendapatan dimasa yang akan datang menjadi tinggi. Karena itu perusahaan ini harus memiliki nilai sales, asset, dan pendapatan operasi yang tinggi.
2.4.1.4 Cashflow atau Going concern Value Menggunakan metode ini untuk melakukan valuasi merger mengharuskan kita untuk mengestimasi incremental net cash flow yang tersedia untuk terhadap perusahaan pengakuisisi sebagai konsekuensi kegiatan merger. Kemudian kita Universitas Indonesia
33
menentukan nilai present value dari cashflow ini. Jumlah inilah yang harus dibayarkan kepada perusahaan target. Kemudian kita dapat mengurangkan pembayaran awal untuk memperoleh net present value dari merger. Tahapan dalam menghitung cashflow adalah sebagai berikut : Langkah 1 : Estimasi incremental cash flow setelah pajak yang tersedia untuk perusahaan
target. Perhatikan bahwa beban bunga tidak diiutsertakan
dalam cash flow ini, karena sudah dihitung dalam required rate of return perusahaan. Langkah 2 : Estimasi discount rate sesudah pajak yang sudah disesuaikan untuk cash flow dari perusahaan target. Langkah 3 : Hitung Net Present Value dari incremental Cash flow untuk perusahaan target. Langkah 4 : Estimasi pembayaran awal untuk akuisisi. Pembayaran awal ini didefinisikan sebagai nilai pasar dari seluruh sekuritas dan uang kas yang dikeluarkan ditambah nilai pasar dari seluruh kewajiban perusahaan. Langkah 5 : Hitung Net Present Value akuisisi dengan mengurangkan initial outlay dari present value incremental cash flow dari perusahaan target. Pada kenyataannya , menghitung incremental cashflow setelah pajak sebagai konsekuensi proses merger cukup sulit. Hal ini dikarenakan sulitnya mengkuantifikasi
nilai
sinergi
akibat
penggabungan
kedua
perusahaan.
Contohnya, kita akan kesulitan mengestimasi berapa nilai yang timbul akibat meningkatkan daya saing, efisiensi karyawan, atau berkurangnya resiko kepailitan perusahaan.
2.4.2. Metode Discounted Cash Flow Metode Discounted Cash Flow merupakan penajaman dari metode cash flow atau going concern. Langkah yang dilakukan tetap dengan mengestimasi incremental net cash flow yang tersedia untuk terhadap perusahaan pengakuisisi sebagai konsekuensi kegiatan merger. Kemudian kita menentukan nilai present value dari cashflow ini. Jumlah inilah yang harus dibayarkan kepada perusahaan target. Pada prateknya terdapat banyak sekali variasi model perhitungan DCF. Namun yang
Universitas Indonesia
34
paling populer untuk digunakan adalah model Free Cash Flow to Firm (FCFF) dan Free Cash Flow to Equity (FCFE). Menurut Damodaran (2002) Metode DCF sendiri terdiri dari tiga aliran: 1.
Menghitung nilai equity perusahaan
Nilai ekuitas dihitung dengan mendiskonto arus kas ekuitas di masa depan (contohnya adalah arus kas sisa setelah menunaikan semua kewajiban, kebutuhan reinvestasi, kewajiban pajak, pembayaran bunga dan pokoknya) dengan menggunakan cost of equity (tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor ekuitas perusahaan).
(2.1)
Dimana : n
= masa guna asset
CF to equityt = Expected Cash Flow to equity pada periode t ke 2.
= Cost to equity
Menghitung nilai keseluruhan perusahaan (termasuk hak pemegang obligasi,
saham preferren, dsb) Nilai perusahaan didapat dengan cara mendiskonto expected cash flow to the firm (Aliran kas sisa setelah memenuhi semua kewajiban operasional, kebutuhan reinvestasi, pajak, namun sebelum menunaikan kewajiban terhadap pemegang obligasi atau saham) dengan weighted average cost of capital (WACC), yaitu cost dari kombinasi komponen pembiayaan perusahaan, dibobotkan sesuai dengan proporsinya.
(2.2)
Dimana : n
= masa guna aset
CF to firmt
= Expected Cash Flow to firm pada periode t Universitas Indonesia
35
WACC 3.
= Weighted average cost of capital.
Menghitung nilai perusahaan secara terpisah, mulai dari nilai operasional
perusahaan, dan menambahkan efek dari nilai hutang dan klaim yang berbentuk non equity. Nilai perusahaan dapat juga dihitung dengan cara menghitung nilai masingmasing klaim terhadap perusahaan secara terpisah. Pendekatan ini juga dikenal dengan nama adjusted present value (APV). Langkah pertama adalah menghitung nilai ekuitas perusahaan, dengan asumsi perusahaan dibiayai hanya dengan ekuitas. Lalu kita menghitung nilai tambah atau pengurangan yang diakibatkan oleh hutang perusahaan dengan cara menghitung nilai present value dari benefit pajak akibat hutang dan expected bankruptcy cost. Nilai perusahaan = Nilai perusahaan dengan pembiayaan ekuitas saja + PV dari benefit pajak + expected Bankruptcy cost Walaupun ketiga metode di atas menggunakan jenis aliran kas perusahaan dan faktor diskonto yang berbeda, namun akan menghasilkan nilai yang konsisten selama masih menggunakan asumsi yang sama. Kita perlu berhati-hati dalam menggunakan faktor diskonto dalam perhitungan mengingat apabila kita mendiskonto cash flow to equity dengan cost of capital akan menghasilkan estimasi berlebih
atas nilai ekuitas, dan apabila kita
mendiskonto cash flow to firm dengan cost of equity akan menyebabkan kekurangan estimasi nilai ekuitas.
2.4.3. Capital Asset Pricing Model Model hubungan antara return dan resiko yang paling sering digunakan dan menjadi standar dalam melakukan analisis di dunia nyata adalah capital asset pricing model (CAPM). CAPM menggunakan asumsi bahwa tidak ada biaya transaksi di pasar, semua asset dapat diperdagangkan, dan investor dapat membeli asset berapapun jumlahnya. Asumsi lain yang digunakan adalah bahwa investor memiliki akses yang sama terhadap suatu informasi sehingga tidak ada satupun investor yang dapat menemukan aset yang over atau under value. Asumsi –asumsi yang digunakan dalam CAPM akan berujung pada dua hal : Universitas Indonesia
36
1. Terdapat asset yang beresiko, dimana expected return dari asset tersebut dapat diketahui dengan pasti. 2. Investor dapat membeli atau meminjam suatu asset tanpa resiko untuk mengoptimalkan portofolio. Membeli suatu asset tanpa resiko (risk-free asset) dapat kita lakukan dengan cara membeli obligasi pemerintah, Sertifikat SBI, dll. Di dunia nyata, perusahaan memperoleh dana untuk membiayai investasi dari investor saham dan debitur. Kedua jenis investor ini mengharapkan hasil dari investasi mereka (expected return). Expected return untuk investor saham sudah mengandung premium dari resiko ekuitas dalam investasinya dan kita sebut dengan cost of equity. Sementara expected return untuk debitur sudah mengandung premium untuk resiko default dan kita sebut dengan cost of debt. Selain kedua instrumen di atas, terdapat pula saham preferen yang memiliki gabungan karakteristik antara hutang (besarnya dividen ditentukan sebelumnya dan memiliki prioritas klaim sebelum saham biasa) dan saham (tidak mengurangi pajak). Jika ketiga biaya ini digabungkan maka cost of financing suatu perusahaan adalah rata-rata tertimbang (weighted average) dari cost of equity, cost of debt dan cost of preferred stock yang kita sebut dengan cost of capital.
2.4.3.1. Beta Resiko yang melekat pada suatu aset terhadap investor adalah resiko yang ditambahkan ke dalam portofolio investor dan biasanya melekat pada perusahaan (firm-spesific) dan dapat diminimalisasi dengan melakukan diversifikasi portofolio. Resiko ini lebih dikenal dengan nama beta. Beta suatu perusahaan adalah ukuran sejauh apa variasi return saham perusahaan dihubungkan dengan variasi return pasar secara keseluruhan. Return pasar secara keseluruhan (return pasar) yang sering digunakan adalah return dari pasar saham seperti S&P 500, IDX, NIKKEI, dll. Jadi jika return pasar naik sebesar 10%, maka perusahaan dengan beta 1.2 akan mengalami peningkatan return sebesar 12% dan berlaku sebaliknya. Dapat kita simpulkan bahwa saham dengan beta yang tinggi memiliki volatilitas terhadap perubahan return pasar yang lebih besar di bandingkan saham dengan beta yang rendah. Universitas Indonesia
37
Terdapat tiga cara untuk mengestimasi nilai beta yaitu : 1. Menggunakan data historis dari harga saham di pasar Metode ini kita lakukan dengan melakukan regresi terhadap return saham perusahaan terhadap return pasar. Secara teori, untuk perusahaan yang sudah lama terdaftar di bursa, return sahamnya akan memiliki korelasi dengan return pasar. Contoh dari return pasar yang umum digunakan adalah indeks S&P 500, IHSG, NIKKEI, dll. Prosedur standar untuk mengestimasi beta adalah melakukan regressi return saham (Rj) terhadap return pasar (Rm) : Rj = a + b Rm
(2.3)
Dimana a = Intercept dari hasil regresi b = Kemiringan (Slope) dari regresi = Kovarian (Rj, Rj)/ Kemiringan dari regresi adalah beta dari saham yang mencerminkan resiko dari saham tersebut, sedangkan intercept menunjukkan performansi dari saham selama periode regresi. 2. Menggunakan karakteristik fundamental dari suatu investasi Menurut metode ini beta suatu saham ditentukan oleh tiga hal yaitu jenis usaha perusahaan, tingkat operating leverage, dan Financial leverage perusahaan. 3. Menggunakan data akuntansi Metode ini menggunakan perubahan pendapatan perusahaan per kwartal atau tahunan sebagai estimator untuk menentukan beta perusahaan.
2.4.3.2. Cost of Equity Setelah kita mengetahui Risk-Free dan beta, kita dapat mendefinisikan Expected return dari sebuah asset dan menuangkan ke dalam fungsi risk-free rate dan beta aset tersebut : E(Ri) = Rf + βi [E(Rm) - Rf]
(2.4)
Dimana E(Ri) = Expected Return dari asset i Rf
= Risk-free rate
E(Rm) = Expected Return dari portofolio pasar βi
= Beta dari asset i Universitas Indonesia
38
Risk-Free rate adalah tingkat pengembalian obligasi jangka panjang dari pemerintah seperti ORI dan SUKRI. Sementara beta adalah sensitivitas return saham terhadap return pasar. Dari sudut pandang investor, E(Ri) adalah return yang diharapkan oleh pemegang saham, sedangkan untuk perusahaan, E(Ri) adalah return yang harus dihasilkan untuk tetap menjaga agar investor tidak melepas saham perusahaan yang akan berujung pada turunnya nilai perusahaan. Sehingga dapat kita katakan bahwa E(Ri) adalah cost of equity perusahaan.
2.4.3.3. Country Risk Damodaran (2002) mengatakan bahwa historical risk premium untuk pasar di luar Amerika Serikat harus disesuaikan dengan cara menambahkan risk premium dari pasar yang sudah mature dengan country spread suatu negara. Country spread suatu negara dihitung dengan menggunakan peringkat obligasi suatu negara yang dikeluarkan oleh lembaga rating seperti Moody’s atau Ibbotson. Kemudian kita mengalikan dengan rasio standar deviasi pasar saham dengan pasar obligasi suatu negara.
2.4.4. Perhitungan Growth Perusahaan Damodaran (2002) mengatakan bahwa input yang paling penting dalam melakukan valuasi nilai perusahaan adalah tingkat pertumbuhan yang digunakan untuk memprediksi arus kas di masa yang akan datang. Pada dasarnya terdapat tiga cara untuk menentukan growth perusahaan yaitu : 1. Tingkat pertumbuhan perusahaan di masa lalu Estimasi ini dilakukan dengan melihat data pertumbuhan earning perusahaan di masa lalu dan menggunakan ukutan statistik untuk memprediksi pertumbuhan perusahaan. Ukuran yang umum digunakan adalah rerata aritmatik dan rerata geometrik: (2.5) Dimana gt = tingkat pertumbuhan di tahun t
Universitas Indonesia
39
(2.6) Dimana Earningst = Earning di tahun t Pada aplikasinya rerata geometrik memberikan hasil yang lebih akurat dalam mengestimasi tingkat pertumbuhan. 2. Menggunakan estimasi para analis pasar Para analis, selain menggunakan data tingkat pertumbuhan historis juga menggunakan informasi yang relevan untuk mengestimasi tingkat pertumbuhan di masa depan seperti informasi termutakhir dari perusahaan, kondisi makro ekonomi, informasi dari kompetitor, informasi rahasia tentang perusahaan, informasi lain terkait perusahaan. 3. Fundamental perusahaan Mengestimasi tingkat pertumbuhan berdasarkan data fundamental perusahaan akan memberikan hasil yang mendekati kenyataan karena menggunakan data yang terkait dengan operasional perusahaan sehari-hari. Ketika kita mengestimasi cash flow to equity, umumnya kita mulai dengan mengestimasi net income untuk menentukan nilai agregat ekuitas, atau earnings per share untuk menentukan nilai saham per lembar.
2.4.5. Free Cash Flow to Equity FCFE didefinisikan sebagai arus kas yang tersisa setelah perusahaan menunaikan kewajiban keuangan, termasuk pembayaran utang, dan setelah memenuhi kebutuhan pembiayaaan modal (Capital Expenditure) dan kebutuhan modal kerja (Working Capital Need). Untuk
mengestimasi berapa besar jumlah kas yang dapat dikembalikan
perusahaan kepada pemegang saham, kita mulai dengan net income, dan mengurangi dengan kebutuhan re-investasi perusahaan. Pertama, semua pengeluaran modal yang melibatkan keluarnya kas, termasuk akuisisi dikurangkan dari net income, sementara biaya depresiasi dan amortisasi ditambahkan karena bukan merupakan kas. Selisih antara capital expenditure dan depresiasi (net capital expenditure) biasanya
merupakan
fungsi
dari
karakteristik
pertumbuhan
perusahaan.
Universitas Indonesia
40
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi biasanya memiliki net capital expenditure yang tinggi dibandingkan earning perusahaan, dan sebaliknya. Kedua, peningkatan modal kerja perusahaan berarti mengurangi aliran kas perusahaan, begitupun sebaliknya. Perusahaan yang tumbuh dengan cepat dengan kebutuhan modal kerja yang tinggi akan mengalami peningkatan modal kerja yang besar. Ketiga, investor ekuitas harus juga mempertimbangkan efek dari perubahan jumlah utang perusahaan terhadap arus kas perusahaan. Pembayaran pokok hutang berarti kas keluar, namun sumber pembayaran utang ini dapat berasal dari penerbitan utang baru yang berarti kas masuk. Dengan demikian kita harus menghitung selisih bersih dari pembayaran utang dan penerbitan utang baru terhadap arus kas perusahaan. Dari penjelasan di atas kita dapat mendefinisikan Free Cash Flow to Equity (FCFE) sebagai :
FCFE = Net Income - (Capital expenditures-Depreciation) - Perubahan modal kerja noncash + (Utang baru – pembayaran utang) Ini adalah arus kas yang dapat dibayarkan sebagai dividen. Dalam FCFE terdapat tiga asumsi pertumbuhan growth yang sering digunakan untuk melakukan perhitungan yaitu : 1. FCFE dengan Constant Growth Model ini diperuntukkan bagi perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan stabil dan berada dalam tahapan stabil. Nilai ekuitas merupakan fungsi dari expected FCFE periode berikutnya, tingkat pertumbuhan yang stabil, dan required rate of return. Value =
(2.7)
Dimana : Value = Nilai saham saat ini FCFE1 = Expected FCFE tahun depan ke
= Cost of equity perusahaan
gn
= Tingkat pertumbuhan FCFE perusahaan selamanya Universitas Indonesia
41
Umumnya, nilai gn tidak boleh melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tempat perusahaan beroperasi. Selain itu Capital Expenditure tidak boleh terlalu besar dibandingkan depresiasi dan perusahaan tidak terlalu beresiko (beta perusahaan mendekati 1) Model ini paling sesuai untuk perusahaan dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi negara.
2.
FCFE 2 tahap
Model ini didesain untuk menghitung nilai perusahaan yang diharapkan pertumbuhan pada periode awal lebih besar dari perusahaan yang stabil dan setelah itu tumbuh stabil.
Value = PV of FCFE + PV of terminal price (2.8)
Dimana : FCFEt = Free cash flow to equity di tahun t Pn
= Harga pada akhir periode pertumbuhan yang tinggi
ke
= cost of equity periode growth tinggi (hg) dan stabil (st)
Terminal Price (Pn) dihitung dengan model pertumbuhan selamanya : (2.9) Dimana gn = tingkat pertumbuhan setelah tahun terminal selamanya
3. FCFE 3 tahap Model ini diciptakan untuk perusahaan yang mengalami tiga tahap pertumbuhan, tahap pertumbuhan awal yang tinggi, pertumbuhan menurun di masa transisi dan tahapan pertumbuhan stabil.
Universitas Indonesia
42
(2.10) Dimana : P0
= Nilai saham saat ini
FCFEt
= FCFE di tahun ke t
Ke
= Cost of equity
Pn2
= Harga terminal di akhir periode transisi = FCFEn2+1/(ke-gn)
n1
= Akhir dari periode pertumbuhan yang tinggi
n2
= Akhir periode transisi
Universitas Indonesia
43
BAB III PROFIL PERUSAHAAN
3.1. LATAR BELAKANG Pada Tanggal 15 Mei 2004, sebanyak delapan perusahaan di bawah bendera Grup Lippo yang bergerak dalam bisnis properti dan rumah sakit mengumumkan akan melakukan penggabungan usaha atau merger ke dalam satu perusahaan yakni PT Lippo Karawaci Tbk. Kedelapan perusahaan itu terdiri atas empat perusahaan terbuka yakni PT Lippo Land Development Tbk (LPLD), PT Siloam Healthcare Tbk (BGMT), PT Aryaduta Hotels Tbk (HPSB) dan Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Empat perusahaan lainnya adalah PT Kartika Abadi Sejahtera, PT Sumber Waluyo, PT Ananggadipa Berkat Mulia, dan PT Metropolitan Tatanugraha. Merger yang dilakukan oleh ke delapan perusahaan di atas merupakan suatu transaksi internal karena melibatkan pihak terafiliasi dan adanya kepemilikan silang. Konsentrasi kepemilikan saham terbesar ada pada Lippo Land (70.48%), sedangkan konsentrasi kepemilikan saham terkecil ada pada Siloam (14.5%). Hal inilah yang menjadi dasar mengapa kedua perusahaan ini yang menjadi focus penelitian di dalam tesis ini. Detail persentase kepemilikan saham ke delapan perusahaan dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Porsi Kepemilikan Saham Publik dan Non-publik Peserta Merger Pemegang Saham
Controlling (%)
Non-Controlling (%)
Lippo Karawaci
23.16
76.84
Lippo Land
70.48
29.52
Aryaduta
46.33
53.67 Universitas Indonesia
44
Siloam
14.5
85.5
Kartika Abadi
Perusahaan tertutup
Sumber Waluyo
Perusahaan tertutup
Ananggadipa
Perusahaan tertutup
Metropolitan Tatanugraha
Perusahaan tertutup
Sumber : Data diolah
3.2. PT Lippo Land Development Tbk. Riwayat Singkat Pada tanggal 15 Juli 1991, PT. Lippo Land Development Tbk (“Lippo Land”) mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya sebanyak 45.000.000 saham dengan jumlah saham yang ditawarkan ke publik sebanyak 15.000.000 saham. Pada tahun 1996, pemegang saham Lippo Land menyetujui pemecahan nilai nominal saham dari Rp 1000 per saham menjadi Rp 500. Pada tanggal 31 Desember 2003, seluruh saham Lippo Land telah dicatatkan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Kegiatan Usaha Sesuai dengan pasal 3 Anggaran dasar terakhir berdasarkan akta notaris Saifuddin Arief, SH, MH No. 6 tanggal 19 Juli 2000, ruang lingkuo kegiatan usaha Lippo Land adalah dalam pembangunan/property, dan jasa dimana untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut Lippo Land dapat menjalankan usaha di bidang pembangunan, penjualan, pengusahaan dan jasa gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kawasan industri, bangunan hotel, bangunan apartemen, rumah sakit pemukiman, dll. Struktur Pemodalan Berdasarkan akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Lippo Land No. 6 tanggal 19 Juli 2000, dibuat di hadapan Saifuddin Arief, SH, Notaris di Tangerang, struktur permodalan dan ringkasan susunan pemegang saham Lippo per tanggal 31 Desember 2003 adalah : Tabel 3.2 Struktur Permodalan PT Lippo Land Development Tbk Universitas Indonesia
45
Modal Dasar Modal Ditempatkan dan disetor penuh : - Pacific Asia Holding Trustnet Ltd (Cook Island) - PT Lippo E-Net Tbk - Masyarakat Lainnya (kepemilikan di bawah 5%) Jumlah Modal Ditempatkan dan disetor penuh Jumlah Saham dalam Portepel
Jumlah Saham 1,244,134,230
Jumlah Nominal (Rp) 622,067,115,000
255,835,262
127,917,631,000
51.41
94,908,100
47,454,050,000
19.07
146,910,330
73,455,165,000
29.52
497,653,692
248,826,846,000
100.00
746,480,538
373,240,269,000
-
(%) -
*Sumber : Prospektus penggabungan perusahaan, 2004
Pengurusan dan Pengawasan Sesuai Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham yang diselenggarakan pada tanggal 31 Maret 2004, yang dinyatakan dengan akta notaris Saifuddin Arief, S.H., M.H., No., 24 tanggal 31 Maret 2004, susunan anggota Komisaris dan Direksi Lippo Land adalah sebagai berikut : Komisaris Presiden Komisaris Komisaris Independen Komisaris
: Eddy Sindoro : Herman Latief : Maria Regina Eswytha Mulia
Direksi Presiden Direktur Direktur Direktur Direktur
: Lucyanna Pandjaitan : Ichsan Soelistio : Yuke Elia Susiloputro : Budianto Andreas Nawawi
3.3. PT Siloam HealthCare Tbk. Riwayat Singkat Siloam didirikan dengan nama PT Baligraha Medikatama pada tahun 1988. Pada tahun 2000 PT Siloam Gleanagles Health Care Tbk bergabung ke dalam Siloam. Pada tahun 2002, Siloam mengalami perubahan nama dari PT Siloam Health Care Tbk, menjadi PT Siloam HealthCare Tbk. Kegiatan Usaha Dalam melaksankan kegiatan usahanya sebagai penyelenggara jasa pelayanan kesehatan, pada tahun 2004 Siloam didukung oleh empat yeng terdiri dari dua Universitas Indonesia
46
rumah sakit dimiliki dan dijalankan langsung oleh Siloam yaitu Rumah Sakit Graha Medika yang terletak di Kebon Jeruk Jakarta Barat (‘Graha Medika”) dan Rumah Sakit Siloam Gleanagles Karawaci yang terletak di Lippo Karawaci Tangerang (“Gleanagles Karawaci”), dan dua rumah sakit yang dimiliki dan dijalankan oleh Anak Perusahaan yaitu PT East Jakarta Medika dengan nama Rumah Sakit Siloam Gleanagles Cikarang yang terletak di Lippo Cikarang, Bekasi (“Gleanagles Cikarang”) dan PT Sumber Waluyo dengan nama Rumah Sakit Budi Mulia (“Budi Mulia”) yang terletak di Surabaya, Jawa Timur. Siloam memiliki kapasitas sebanyak 565 tempat tidur yang terdiri dari 205 tempat tidur di Graha Medika, 160 tempat tidur di Gleanagles Karawaci, 40 tempat tidur di Gleanagles Cikarang, dan 160 tempat tidur di Budi Mulia. Struktur Permodalan Struktur Permodalan dan Kepemilikan Saham berdasarkan Daftar Pemegang Saham per tanggal 31 Desember 2003 adalah sebagai berikut : Tabel 3.3 Struktur Permodalan PT Siloam HealthCare Tbk
Modal Dasar
Jumlah Nilai Saham Biasa
Jumlah Nominal (Rp)
8,873,562,071
1,946,781,035,500
Saham Seri A @Rp 500/saham
573,562,071
286,781,035,500
Saham Seri B @Rp 200/saham
8,300,000,000
1,660,000,000,000
(%)
Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh Seri A Rp 500/saham 1. Gleanagles Development Pte. Ltd
49,399,069,500
6.26
29,938,830
14,969,415,000
1.90
3. Masyarakat
444,825,102
222,412,551,000
28.21
Sub Jumlah Saham Seri A
573,562,071
286,781,035,500
36.37
1. PT Lippo General Insurance Tbk
146,425,500
29,285,100,000
9.28
2. PT Sentra Goldhill Businesspark
52,392,952
10,478,590,400
3.32
2. PT Sentra Goldhill Businesspark
98,798,139
Seri B Rp 200/saham
3. Masyarakat Sub Jumlah Saham Seri B Jumlah Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh Jumlah Saham dalam Portepel
804,915,172
160,983,034,400
51.03
1,003,733,624
200,746,724,800
63.63
1,577,295,695
487,527,760,300
100
7,296,266,376
1,459,253,275,200
*Sumber : Prospektus penggabungan perusahaan, 2004
Universitas Indonesia
47
Pengurusan dan Pengawasan Susunan Pengurus dan Pengawas berdasarkan akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan No 3 tanggal 8 April 2004 adalah sebagai berikut : Komisaris Presiden Komisaris Komisaris Komisaris Komisaris Komisaris
: Johannes Oentoro : Tan Kai Seng : Jonathan Limbong Parapak : Ganesh Chander Grover (Independen) : Sonny Kalona (Independen)
Direksi Presiden Direktur Direktur Direktur Direktur Direktur Direktur Direktur Direktur
: Eddy Sindoro : Tahir : Dr. Lim Cheok Peng : Patricia Jean Martin : Dr. Grace Frelita : Dr. Sugiman Chandra Rahardja : Jessy Quantero : Walter Terrence Gilmore
Universitas Indonesia
48
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 DATA PENELITIAN Data yang diperlukan untuk melakukan analisis dan perhitungan nilai wajar saham Lippo Land dan Siloam Healthcare diperoleh dengan melakukan : 1. Studi Pustaka Data diperoleh dengan cara meneliti dokumen, laporan, artikel, jurnal ilmiah, berita
internet dan hasil penelitian literatur kepustakaan.
Berdasarkan sumber datanya, studi pustaka ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : - Sumber internal : Prospektus merger perusahaan, Laporan keuangan perusahaan - Sumber eksternal Buku teks, data yang sudah dipublikasikan (Bursa Efek Indonesia, Indonesian Capital Market Directory), tesis, artikel internet, jurnal ilmiah, dan majalah. 2. Pengolahan Data Sumber pengolahan data akuntansi yang digunakan untuk mendukung penggunaan metode Discounted Cash Flow dalam penelitian ini berasal dari laporan keuangan yang sudah di audit PT Lippo Land Development, Tbk dan PT Siloam Healthcare, Tbk dari tahun 2000 sampai tahun 2003 (4 tahun). 3. Analisis dan Pembahasan Universitas Indonesia
49
4.2 METODE ANALISIS Dalam membuat analisis prospek nilai perusahaan, terlebih dahulu dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan prospek perusahaan seperti tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar, dan inflasi. Hasil dari analisis ini akan menjadi dasar bagi penyusunan asumsi - asumsi yang akan digunakan dalam memprediksi prospek perusahaan ke depan. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut kita dapat melakukan proyeksi terhadap laporan keuangan perusahaan, dan melakukan peramalan pendapatan perusahaan di masa mendatang. Setelah proyeksi terhadap earning perusahaan untuk masa yang akan datang telah diperoleh, maka proses valuasi terhadap kedua perusahaan dapat dilakukan. Metode yang digunakan untuk melakukan valuasi dalam penulisan ini adalah Discounted Cashflow Valuation, dimana metode ini menghubungkan nilai suatu asset dengan nilai sekarang atau present value dari arus kas masa depan yang diharapkan akan dihasilkan oleh asset tersebut. Aliran Discounted Cash Flow yang digunakan adalah Free Cash Flow to Equity (FCFE) dimana nilai ekuitas perusahaan dihitung dengan mendiskonto arus kas ekuitas di masa depan (contohnya adalah arus kas sisa setelah menunaikan semua kewajiban, kebutuhan reinvestasi, kewajiban pajak, pembayaran bunga dan pokoknya) dengan menggunakan cost of equity (tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor ekuitas perusahaan). Hasil dari valuasi ini lalu akan dibandingkan dengan nilai saham perusahaan yang diberikan oleh auditor independen pada saat proses merger dilakukan untuk melihat pihak mana yang dirugikan dengan adanya proses merger ini. Analisis juga dipertajam dengan menggunakan hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menggunakan perbandingan Appraisal Value versus Market Value, pendekatan Cumulative Abnormal Return, dan Struktur Kepemilikan. Hasil analisis akan dijadikan dasar untuk pengambilan kesimpulan apakah terjadi ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas atau sebaliknya.
Universitas Indonesia
50
4.3 SKEMA ALUR PIKIR PENULISAN Skema alur berpikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.1
Gambar 4.1. Skema Alur Pikir Penulisan
Universitas Indonesia
51
Sumber : Data diolah
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Universitas Indonesia
52
5.1 Analisis ekonomi makro Bodie, Kane, dan Marcus (2008), mengatakan bahwa langkah pertama dalam memprediksi pertumbuhan perusahaan adalah dengan memprediksi kondisi makro ekonomi negara di mana perusahaan tersebut beroperasi. Ukuran statistik ekonomi yang umum digunakan untuk memprediksi kondisi makro ekonomi suatu negara antara lain tingkat inflasi, suku bunga, dan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk
melakukan
analisis
kondisi
ekonomi
makro
Indonesia,
penulis
menggunakan data dari Biro Pusat Statistik, Departemen perindustrian, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. 5.1.1 Tingkat inflasi Tingkat inflasi di Indonesia pada periode tahun 2000-2003 dapat dilihat pada Gambar 5.1 Dapat kita lihat, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2001 (12.55%). Tingkat Inflasi pertahunnya cenderung menurun dan pada tahun 2003 tingkat inflasi mencapai 5,06%. Gambar 5.1 Tingkat Inflasi Indonesia periode 2000-2003
*Sumber : BPS
Menurut Bodie, Kane, Marcus (2008), inflasi dapat menyebabkan distorsi pada inventori dan biaya depresiasi perusahaan. Namun efek inflasi terhadap perusahaan akan lebih terasa pada real interest rate. Sebagai contoh, perusahaan yang memiliki hutang USD 10 juta dengan tingkat suku bunga 10% pertahun akan membayar biaya bunga sebesar USD 1 juta pertahun. Jika tingkat inflasi pada Universitas Indonesia
53
tahun itu sebesar 6%, maka real interest rate adalah sebesar 4%. Dengan demikian, USD 0.6 juta pada neraca perusahaan sebenarnya adalah inflation premium. Dengan demikian real income perusahaan ter-understate USD 0.6 juta. Selain itu tingkat inflasi yang tinggi dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Hal ini akan berujung pada penurunan penjualan atau penurunan marjin keuntungan perusahaan. Secara luas, tingkat inflasi yang tinggi akan memperlamban laju ekonomi suatu negara yang akan direfleksikan pada rendahnya tingkat pertumbuhan negara tersebut. Untuk selanjutnya kita akan menggunakan rata2 inflasi dari tahun 2000 sampai dengan 2003 yang sudah disesuaikan sebesar 7.8 % / tahun. 5.1.2 Tingkat suku bunga Tingkat suku bunga SBI pada periode tahun 2000-2003 disajikan pada Gambar 5.2. Dari gambar tersebut terlihat selama periode tersebut tingkat suku bunga SBI cenderung turun. Penurunan ini dapat kita artikan bahwa secara makro, perkonomian Indonesia dalam keadaan terjaga. Fluktuasi tingkat suku bunga Bank Indonesia ini akan memberi dampak terhadap kinerja kedua perusahaan ke depannya. Jika tingkat suku bunga cenderung bergerak naik, maka kedua perusahaan akan terbebani dengan pembayaran bunga pinjaman yang tinggi yang tentunya dapat mengurangi laba bersih perusahaan. Selain itu, Bodie, Kane, Markus (2008) menjelaskan tingkat suku bunga yang tinggi akan akan mereduksi present value dari future cash flow. Demand untuk produk property –yang umumnya dibiayai dengan kredit - sangat sensitive terhadap suku bunga, karena suku bunga akan berpengaruh pada besarnya jumlah cicilan. Hal ini akan memiliki pengaruh yang besar bagi Lippoland yang bergerak di bidang property. Dengan kondisi perekonomian dunia yang masih tidak menentu yang dimulai dengan banyaknya kredit macet pada sektor property maka dikhawatirkan pihak pemerintah Indonesia akan terkena dampak dari peristiwa tersebut, untuk jangka panjang tingkat suku bunga di Indonesia diperkirakan pada kisaran 6.5-7.5% Gambar 5.2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia 2000-2003
Universitas Indonesia
54
Sumber : Bank Indonesia
5.1.3 Produk Domestic Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi suatu negara diindikasikan dari pertumbuhan PDB (Bodie, Kane, Markus (2008)). Peningkatan pertumbuhan GDP mengindikasikan pertumbuhan perekonomian dan merupakan kesempatan yang besar untuk meningkatkan penjualan perusahaan. Data pertumbuhan PDB dapat kita lihat pada Gambar 5.3. Dari gambar tersebut,
terlihat bahwa pertumbuhan Indonesia
menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini memberikan kesempatan kepada kedua perusahaan untuk meningkatkan penjualan perusahaan. Untuk jangka panjang, pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan diprediksikan akan berkisar 4,5% per tahun. Gambar 5.3 Pertumbuhan PDB Indonesia 2000-2003
Sumber : Depperin, data diolah
Universitas Indonesia
55
5.2 Analisis Kinerja Keuangan Siloam dan Lippoland 5.2.1 Pertumbuhan pendapatan dan laba Kinerja keuangan kedua perusahaan dapat dilihat pada laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2000, 31 Desember 2001, 31 Desember 2002, 31 Desember 2003. 5.2.1.1 Pendapatan Pendapatan kedua perusahaan pada awalnya terpaut jauh (Siloam memilki pendapatan Rp 144 Milyar, sedangkan Lippoland hanya memiliki Rp 10 Milyar). Namun seiring dengan membaiknya kinerja dari Lippoland, pada akhir tahun 2003 selisih pendapatan kedua perusahaan menjadi semakin tipis (Rp 21 Milyar). Peningkatan pendapatan Lippoland ini dikarenakan Lippo berhasil memasarkan proyek Metropolis Town Square di Tangerang dan berhasil menyelesaikan dan memasarkan proyek Mall GTC Makasar di tahun 2003. Hal ini tentunya didukung dengan membaiknya kondisi perekonomian dan keamanan Indonesia sepanjang tahun 2003. Gambar 5.4 Pendapatan Siloam dan Lippoland (Juta)
Sumber : Data di olah
5.2.1.2 Laba Usaha dan laba bersih Universitas Indonesia
56
Siloam Pertumbuhan operating profit
Siloam di tahun 2000 mengalami penurunan
dikarenakan antara lain adanya penyisihan piutang ragu-ragu sebesar Rp 6 Milyar. Sedangkan pada tahun 2001 terjadi peningkatan yang signifikan dikarenakan meningkatnya pendapatan dari jasa farmasi dan layanan kesehatan. Sementara itu Net Income untuk tahun 2000 dan 2002 adalah negatif dikarenakan besarnya beban pendanaan dan kerugian selisih kurs. Hal ini merupakan bukti yang dijelaskan oleh Ross, et.al dalam Modern Financial Management (2008) bahwa Financial Leverage walaupun di satu sisi dapat meningkatkan nilai perusahaan berupa potongan pajak, namun juga membawa resiko Financial Distress. Dalam kasus Siloam, besarnya hutang berakibat pada besarnya beban pendanaan yang harus dibayar sehingga mengakibatkan Net Income perusahaan menjadi negative. Ross juga menjelaskan bahwa terdapat struktur modal yang optimal yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Gambar 5.5 Pertumbuhan laba 1999-2003 Siloam (dalam Juta)
Sumber : data diolah
Lippoland Untuk tahun 2000-2001 Operating Profit perusahaan yang positif di offset oleh beban pendanaan dan rugi dari selisih kurs. Sementara itu dari tahun 2001 ke 2002 terjadi pertumbuhan Net Income yang cukup besar yang berasal dari antara lain kenaikan penjualan sebesar Rp 18 Milyar. Gambar 5.6 Pertumbuhan laba 1999-2003 Lippoland (dalam Juta) Universitas Indonesia
57
Sumber : data diolah
5.2.2 Pertumbuhan aktiva, kewajiban dan ekuitas 5.2.2.1 Aktiva Perusahaan Siloam Selama periode 1999-2003 terjadi fluktuasi pada aktiva lancar yang berasal dari fluktuasi jumlah kas dan setara kas di tahun 1999 dan tahun 2001 karena adanya penempatan kas pada PT Ciptadana Sekuritas sebesar Rp 117 Milyar di tahun 2001. Namun untuk aktiva tidak lancar mengalami peningkatan yang stabil. Gambar 5.7 Pertumbuhan Aktiva Siloam Tahun 1999-2003 (dalam Juta)
Sumber : Data diolah
Lippoland Universitas Indonesia
58
Selama periode 1999-2002 terjadi penurunan pada aktiva lancar. Penurunan paling signifikan terjadi di tahun 2001 yang diakibatkan dari penurunan pada akun Piutang Hubungan Istimewa (Turun Rp 239 Milyar dari tahun sebelumnya). Pada akhir tahun 2002, terjadi peningkatan pada akun Aktiva Tidak Lancar (Tanah untuk Pengembangan) sebesar Rp 57 Milyar. Gambar 5.8 Pertumbuhan Aktiva Lippoland Tahun 1999-2003 (dalam Juta)
Sumber : Data diolah
5.2.2.2 Kewajiban Siloam Pada tahun 2000 terjadi peningkatan pada kewajiban lancar yang berasal dari pelunasan pinjaman jangka panjang. Pada tahun 2001 terjadi penurunan pada bagian pinjaman yang jatuh tempo dalam 1 tahun sehingga penurunan pada Kewajiban Lancar perusahaan. Ross, et.al (2008) menjelaskan bahwa secara ratarata Financial Deficit (Total Firm Spending – Internally Generated Cashflow) perusahaan adalah 20%. Financial Deficit ini dapat dibiayai melalui External Financing berupa hutang maupun ekuitas. Artinya secara umum idealnya, 20% dari total pembiayaan perusahaan dibiayai melalui hutang ataupun ekuitas. Financial Deficit dari Siloam berada di atas 20%. Hal ini mengindikasikan keuangan Siloam yang kurang baik.
Universitas Indonesia
59
Gambar 5.9 Data pertumbuhan kewajiban Siloam 1999-2003 (dalam juta)
Sumber : Data diolah
Lippoland Selama periode 2000-2003 terjadi peningkatan pertumbuhan kewajiban lancar yang berasal dari hutang jangka pendek perusahaan. Sementara untuk kewajiban tidak lancarnya mengalami penurunan jumlah. Hal ini mengindikasikan kebijakan perusahaan untuk mengurang porsi hutang jangka panjang. Financial Deficit Siloam juga berada di atas 20%, yang mengindikasikan kurang baiknya kondisi keuangan perusahaan. Tingginya Financial Deficit akan menciptakan Financial Distress yang akan meningkatkan
Bankruptcy
Cost
kedua
perusahaan.
Ross,
et.al
(2008)
menunjukkan bukti bahwa Bankruptcy Cost akan meng-offset keuntungan yang diperoleh dari hutang. Oleh karena itu baik Siloam maupun Lippoland harus berhati-hati terhadap besarnya hutang perusahaan agar tidak terjebak ke dalam kebangkrutan.
Universitas Indonesia
60
Gambar 5.10 Data pertumbuhan kewajiban Lippoland 1999-2003 (dalam juta)
Sumber : Data diolah
5.3 Asumsi Proyeksi Kondisi ekonomi makro Indonesia diperkirakan akan mengalami sedikit penurunan. Hal ini akan tercermin dalam tingkat inflasi jangka panjang pada kisaran 7.8%, tingkat suku bunga pada kisaran 6,5 – 7,5%, dan tingkat pertumbuhan riil PDB jangka panjang sebesar 4-5% per tahun. Dari asumsi tersebut maka dapat dihitung tingkat pertumbuhan PDB nominal adalah sebagai berikut : Nominal growth = (1+real growth)(1+inflation) - 1 Nominal growth = (1+4%)(1+7,8%) – 1 Nominal growth = 12 % Dari perhitungan nominal growth tersebut penulis melakukan proyeksi pertumbuhan industry property dan kesehatan disesuaikan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk jangka panjang yaitu sebesar 6% untuk pertumbuhan jangka panjang industri layanan kesehatan dan 5% untuk industry properti. Perbedaan ini disebabkan karena industry property merupakan industry yang cukup rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi global, sedangkan Universitas Indonesia
61
industri pelayanan kesehatan merupakan industry yang akan tumbuh seiring dengan membaiknya kesadaran akan kesehatan ke depan. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa resiko industry layanan kesehatan lebih rendah dibandingkan industry property. Angka ini akan menjadi dasar pertumbuhan selamanya setelah tahun ke 5. Net Income : Penulis mengasumsikan terjadi kenaikan net income sebesar 50% untuk Siloam (tingkat pertumbuhan laba tahun terakhir dengan mengeluarkan data outlier) dan 11% untuk Lippoland (tingkat pertumbuhan laba rata-rata selama periode 20002003). Kenaikan tarif yang dipicu oleh tragedi bom di Bali tahun 2002, menyusul kenaikan tarif BBM, listrik dan telepon akan sangat mempengaruhi perkembangan sektor industri property. REI memprediksi akan terjadi kenaikan nilai properti, sebesar 10 -15 persen dan penurunan daya beli masyarakat di tahun 2003. Depresiasi : Untuk angka depresiasi yang digunakan adalah data depresiasi tahun terakhir (2003) untuk kedua perusahaan. Capital Expenditure : Untuk Capital Expenditure, yang digunakan adalah angka rata-rata Capital Expenditure kedua perusahaan selama periode 2000-2003 dengan mengeluarkan data outlier. Changes in Non-Cash Working Capital : Changes in non-cash working capital yang digunakan diasumsikan stabil sesuai dengan rata-rata nilai Changes in non-cash working capital pada periode 20002003. New Debt Issued : Jumlah hutang baru yang diterbitkan oleh kedua perusahaan diasumsikan stabil sesuai dengan angka hutang baru pada tahun 2003 dengan pembayaran pokok sebesar 25 % untuk Siloam dan 20% untuk Lippoland. Asumsi ini didasarkan pada pendapat analis pasar bahwa memasuki tahun 2003, industri properti akan menemui berbagai hambatan untuk dapat melakukan peningkatan, karena selain tragedi bom di Bali tahun 2002, menyusul kenaikan tarif BBM, listrik dan telepon akan mempengaruhi perkembangan properti di Indonesia. Universitas Indonesia
62
5.4 Perhitungan Free Cash Flow Nilai intrinsik saham Lippoland dan Siloam dapat dihitung dengan menggunakan model Free Cash Flow to Equity (FCFE) dimana perhitungan ini merupakan asumsi present value dari arus kas yang berasal dari kegiatan operasi perusahaan setelah pajak dikurangi dengan kebutuhan untuk modal kerja (working capitaI), pengeluaran untuk investasi agar perusahaan terus berkembang dan pembayaran hutang. Untuk memperoleh nilai arus kas di masa yang akan datang dapat diperoleh dengan mengestimasi besarnya pendapatan dan biaya yang akan terjadi di masa yang akan datang yang dapat diambil dari proyeksi pada bagian 5.3 serta dari laporan pendukung lainnya pertumbuhan ekonomi ke depan. Beberapa faktor yang harus dihitung untuk mendapatkan arus kas baik untuk pemegang ekuitas maupun untuk keseluruhan perusahaan (seluruh pemegang saham dan penyedia hutang) adalah : Capital expenditure
merupakan pengeluaran perusahaan yang digunakan
untuk memperbaiki kinerja perusahaan dengan cara pencapaian tingkat pertumbuhan yang telah direncanakan sebelumnya. Pembelian atau penjualan investasi pada asset tetap perusahaan dapat dikategorikan ke dalam Capital Expenditure. Nilai Capital Expenditure yang digunakan untuk perhitungan FCFE untuk Lippoland diasumsikan tetap mengingat di tahun-tahun sebelumnya perusahaan sudah banyak melakukan upaya ekspansif yang tercermin dari tingginya angka kewajiban perusahaan.
Sementara Capital
Expenditure untuk Siloam relative lebih rendah karena skala bisnis perusahaan yang lebih kecil dibandingkan Lippoland. Sedangkan untuk depresiasi yang digunakan dalam perhitungan adalah depresiasi asset tetap baik asset lama maupun penambahan asset baru yang dibebankan setiap tahun dan jumlahnya tetap sebesar depresiasi untuk tahun 2003 bagi kedua perusahaan. Kebutuhan modal kerja (Working Capital) untuk perhitungan merupakan selisih antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Sedangkan perubahan modal kerja adalah perbedaan antara modal kerja tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Perubahan modal kerja yang digunakan dalam perhitungan adalah perubahan modal kerja di tahun terakhir dan tetap untuk tahun berikutnya. Universitas Indonesia
63
Di dalam aliran FCFE, arus kas yang tersedia untuk pemegang saham di dalam perusahaan di diskonto dengan cost of equity untuk mendapatkan nilai dari ekuitas. 5.4.1 Perhitungan Biaya Ekuitas (Cost of Equity) Tingkat bebas resiko (risk free rate) yang digunakan adalah rata-rata tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia berjangka waktu satu bulan dalam jangka waktu setahun sebelum proses merger yaitu sebesar 7,5% yang diambil dari website Bank Indonesia (www.bi.go.id). Sedangkan Beta yang merupakan indikator volatilitas resiko perusahaan relatif terhadap industri dimana perusahaan beroperasi yaitu property untuk Lippoland dan Healthcare untuk Siloam (asumsi tidak berubah untuk tahun berikutnya). Beta yang digunakan dalam perhitungan merupakan historical beta yang dihitung oleh Utama (2006) yaitu sebesar -0.187 untuk Lippoland dan 0.315 untuk Siloam. Hal ini merupakan suatu hasil yang menarik. Bodie, Kane, Marcus (2008) menjelaskan bahwa perubahan / variansi dari return suatu saham berasal dari systematic risk dan unsystematic risk (firm specific) yang terdapat pada suatu saham. Systematic risk umumnya berasal dari perubahan kondisi makroekonomi dan akan berdampak pada seluruh saham di pasar sedangkan Unsystematic risk hanya berdampak pada saham tersebut. Besarnya dampak dari Systematic risk yang terjadi pada suatu saham diukur dari koefisien beta suatu saham. Saham dengan koefisien beta yang besar akan menyerap sebagian besar dari systematic risk yang terjadi. Jika kondisi perekonomian bagus, maka saham dengan beta positif akan memberikan return yang positif dan sebaliknya. Lippoland merupakan perusahaan yang bergerak di sektor property yang merupakan
industry
yang
sangat
sensitif
terhadap
perubahan
kondisi
makroekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara logika, beta dari Lippoland seharusnya tidak negatif. Lebih jauh lagi, beta dari Lippoland seharusnya lebih besar dari beta Siloam karena Siloam merupakan perusahaan yang beroperasi di sector pelayanan kesehatan yang merupakan sector dengan tingkat sensitifitas yang rendah terhadap kondisi makroekonomi dibandingkan sector property. Universitas Indonesia
64
Sebagai alternative perhitungan, penulis akan menggunakan beta dari industry property untuk menggantikan beta perusahaan. Hal ini lumrah dilakukan di dunia investasi. Ross, et.al (2008) mengatakan bahwa jika kita yakin bahwa suatu kegiatan operasional perusahaan serupa dengan perusahaan lain di dalam suatu industry, maka kita dapat menggunakan beta dari industri tersebut untuk meminimalisasi kesalahan perkiraan. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh penulis dengan melakukan regresi dari return indeks industry properti terhadap return pasar, didapat beta untuk industry property adalah 1.284. Adapun Market Risk Premium (rm-rf) sebagai faktor tambahan resiko perusahaan di dapat dari www.damodaran.com sebesar 12.88%. Berdasarkan data yang ada pada tabel 5.1 maka biaya ekuitas perusahaan untuk Lippoland adalah 6.5% dan Siloam adalah 9.2%. Tabel 5.1 Perhitungan Ke Item Risk Premium (Rm) Risk Free rate (Rf) Beta (β) Cost of Equity (Ke)
Lippoland 12.88% 7.50% 1.284 14.4%
Siloam 12.88% 7.50% 0.315 9.2%
Sumber : Data diolah
5.4.2 Perhitungan Free Cash Flow to Equity Siloam dan Lippoland Pada umumnya perhitungan dan analisis harga saham menggunakan asumsi tiga kondisi perekonomian yaitu Pesimis, Normal, dan Optimis. Dalam melakukan perhitungan Free Cash Flow to Equity penulis menggunakan asumsi pendekatan Normal. Penulis memprediksikan tidak akan terjadi gejolak ekonomi yang besar yang memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kedua perusahaan. Perhitungan
FCFE
untuk
kedua
perusahaan
menggunakan
pendekatan
pertumbuhan dua tahap. Model ini didesain untuk menghitung nilai perusahaan yang diharapkan pertumbuhan pada periode awal lebih besar dari perusahaan yang stabil dan setelah itu tumbuh stabil. Universitas Indonesia
65
Pertama kita menghitung Present Value dari FCFE untuk periode pertumbuhan yang tinggi (5 tahun pertama) kemudian kita hitung Present Value dari nilai terminal dengan cara
Dimana gn = tingkat pertumbuhan setelah tahun terminal selamanya sebesar 6%. Hasil dari penjumlahan dari kedua periode ini berupa Equity Value (Equity Value = PV of FCFE + PV of terminal price). Dengan membagi nilai Equity Value dengan jumlah saham yang beredar kita akan mendapatkan nilai dari saham perusahaan.
Siloam Healthcare Free Cash Flow to Equity per share diperoleh dengan membagi FCFE dengan jumlah seluruh saham perusahaan yang beredar pada tahun 2003 sejumlah 1.577,3 Juta lembar saham. Perhitungan FCFE untuk mendapatkan nilai intrinsik saham Siloam dengan metode FCFE dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.2 Perhitungan FCFE PT Siloam Healthcare (dalam Juta) 2003
2004F
2005F
2006F
2007F
2008F
2009F
3,390
5,085
7,628
11,441
17,162
25,743
38,614
35,941
35,941
35,941
35,941
35,941
35,941
35,941
(39,643)
(39,643)
(39,643)
(39,643)
(39,643)
(39,643)
(39,643)
(2,397)
(2,397)
(2,397)
(2,397)
(2,397)
(2,397)
(2,397)
2,085
3,780
6,322
10,136
15,857
24,438
37,309
New Debt Issues
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000
Principal repayment Free Cash Flow to Equity (FCFE) Annuity (Stable Growth)
2,000
2,000
2,000
2,000
2,000
2,000
2,000
10,085
11,780
14,322
18,136
23,857
32,438
45,309
1.09
1.19
1.30
1.42
1.55
Net Income Depreciation and amortization Capital Expenditures Changes in working capital Free Cash Flow to the Firm (FCFF)
Discount Factor
913,582 1
PV FCFE (5 year)
84,490
Equity value Sumber : Data di olah
998,073
Universitas Indonesia
66
Lippoland Free Cash Flow to Equity per share diperoleh dengan membagi FCFE dengan jumlah seluruh saham perusahaan yang beredar pada tahun 2003 sejumlah 497,6 Juta lembar saham. Perhitungan FCFE untuk mendapatkan nilai intrinsik saham Siloam dengan metode FCFE dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.3 Perhitungan FCFE PT Lippoland (dalam Juta) Net Income Depreciation and amortization Capital Expenditures Changes in working capital Free Cash Flow to the Firm (FCFF) New Debt Issues Principal repayment Free Cash Flow to the Firm (FCFE) Annuity (Stable Growth) Discount Factor
2003
2004F
2005F
2006F
2007F
2008F
2009F
86,358
95,857
106,402
118,106
131,098
145,518
161,525
319
319
319
319
319
319
319
(60,932)
(60,932)
(60,932)
(60,932)
(60,932)
(60,932)
(60,932)
65,000
65,000
65,000
65,000
65,000
65,000
65,000
509,021
(125,613)
(125,613)
(125,613)
(125,613)
(125,613)
(125,613)
37,500
37,500
37,500
37,500
37,500
37,500
37,500
7,500
7,500
7,500
7,500
7,500
7,500
7,500
(9,255)
244
10,788
22,492
35,484
49,905
65,912
1.14
1.31
1.50
1.71
1.96
357,428 1
PV FCFE (5 year)
132,750
Equity value
490,179
Sumber : Data di olah
Untuk mencari nilai intrinsik saham Siloam dan Lippoland dapat dicari dengan membagi value perusahaan (equity value) dengan jumlah saham yang beredar pada tahun 2003, maka hasil yang didapat adalah sebesar : Siloam = Rp. 998,073,000,000 / 1,577,300,000 = Rp. 632.77 Lippoland = Rp. 490,179,000,000 / 497,600,000 = Rp. 985.09 Dari hasil perhitungan di dapat nilai intrinsik saham Siloam dan Lippoland terdapat pada kisaran harga Rp 632.77 per lembar saham dan Rp 985.09 per lembar saham.
Universitas Indonesia
67
5.5 Komparasi Nilai Intrinsik Saham Penilaian atas nilai wajar saham Peserta Penggabungan dilakukan oleh pihak independen yaitu PT Siddartha Consulting, anggota dari KPMG Internasional (“KPMG”), yang telah ditunjuk oleh Lippo Karawaci untuk melakukan penilaian saham atas seluruh Peserta Penggabungan. Harga Penilaian saham yang dilakukan oleh KPMG atas nilai wajar saham peserta penggabungan dapat dilihat pada tabel 5.4 : Tabel 5.4 Nilai Wajar Perusahaan Peserta Penggabungan Perusahaan
Nilai Wajar Saham (Rp Milliar)
Lippo Karawaci
2.740,42
Lippo Land
1475,31
Aryaduta
75,78 - 362,44
Siloam*
417,80 - 531,26
Kartika
251,63
Ananggadipa
455,06
Metropolitan 30,29 - 120,08 * Termasuk penilaian atas saham Sumber waluyo * Sumber : Penulis, 2009
Mempertimbangkan hasil penilaian saham oleh KPMG tersebut, Direksi Peserta Penggabungan telah menyepakati penilaian saham yang digunakan untuk dasar perhitungan konversi saham dalam penggabungan yaitu :
Tabel 5.5 Nilai Wajar Perusahaan Peserta Penggabungan Hasil Kesepakatan Perusahaan
Penilaian Saham yang disepakati dalam penggabungan (Rp Milliar)
Lippo Karawaci
2.740,42
Lippo Land
1475,31
Aryaduta
219,11
Siloam*
474,53
Kartika
251,63
Ananggadipa
455,06
Metropolitan 75,19 * Termasuk penilaian atas saham Sumber Waluyo * Sumber : Penulis, 2009 Universitas Indonesia
68
Dapat kita lihat bahwa hasil penilaian saham perusahaan yang dilakukan oleh Independent Appraisal pada prospektus penggabungan perusahaan dilakukan secara terpisah dan tidak mempertimbangkan efek dari sinergi ataupun manfaat dari merger lainnya. Seperti dijelaskan pada landasan teori bahwa manfaat dari merger yang paling sering dikemukakan adalah sinergi. Ross, et.al (2008) mengemukakan dua alasan yang “buruk” untuk melakukan merger yaitu Pertumbuhan pendapatan dan Diversifikasi. Ross mengatakan seringkali perusahaan melakukan merger dengan harapan dapat mengelabui investor bahwa akan terjadi peningkatan pada nilai perusahaan. Investor yang cerdik akan menyadari bahwa seringkali nilai hasil penggabungan kedua perusahaan adalah penjumlahan dari nilai kedua perusahaan secara terpisah. Pada prospektus penggabungan kedua perusahaan dikatakan bahwa salah satu tujuan merger adalah adanya potensi pertumbuhan usaha yang didukung oleh peningkatan efisiensi dengan skala ekonomi yang tinggi serta sumber pendapatan yang terdiversifikasi. Hal ini seharusnya didukung oleh penjelasan mengenai potensi dan asumsi yang menunjukkan adanya potensi tersebut di dalam prospectus. Investor harus lebih berhati-hati dalam menyerap informasi seperti ini agar tidak terjebak dalam melakukan investasi. Amihud dan Lev (1981,1999) mengatakan bahwa terdapat hubungan positif antara konsentrasi kepemilikan perusahaan dengan diversifikasi. Hubungan positif antara diversifikasi dan konsentrasi kepemilikan dapat dijelaskan sebagai berikut : Strategi korporasi secara de facto dirumuskan oleh controlling shareholder ( pada struktur kepemilikan terkonsentrasi Board of Directors di awasi dan di kontrol secara ketat oleh controlling shareholder). Di lain pihak minority shareholder dapat mendiversifikasi portofolionya, sedangkan
controlling
shareholder hanya terfokus pada satu perusahaan, sehingga controlling shareholder akan berusaha untuk mengurangi resiko melalui merger dan diversifikasi. Sehingga semakin tinggi konsentrasi kepemilikian dalam satu perusahaan, semakin besar resiko yang ditanggung, dan semakin sedikit yang mengawasi controlling shareholder, controlling shareholder akan semakin leluasa dalam melakukan diversifikasi. Universitas Indonesia
69
Konsep konglomerasi (kepemilikan terkonsentrasi) tetap mendapatkan kritik dari berbagai paper akademis tentang corporate governance. Dengan menggunakan agency theory konglomerasi diduga menjadi penyebab inefisiensi investasi dan ekspropriasi terhadap minority shareholder. Hal ini terjadi, khususnya ketika kontrol konglomerasi diperoleh melalui mekanisme seperti struktur piramidal, kepemilikan silang, dan saham dual-class. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5.6 bahwa terdapat kepemilikan silang antara kedelapan perusahaan yang terlibat dalam merger. Kepemilikan silang ini akan menimbulkan benturan kepentingan dan seperti dijelaskan sebelumnya berujung pada ekspropriasi minority shareholder. Tabel 5.6 Konflik Kepentingan Peserta Penggabungan Merger Peserta Kepemilikan Penggabungan Terhadap Lippo Land : - Pacific Asia Holding Trustnet Ltd (Cook Islands) memiliki 118.800.000 saham yang merupakan 12.03% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Lippo Karawaci, dan meruapakan pemilik dari 255.835.262 saham yang merupakan 51,41% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Lippo Land Lippo Karawaci
- PT Lippo E-Net memiliki 49.119.600 saham yang merupakan 4,97% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Lippo Karawaci, dan merupakan pemilik dari 94.908.100 saham yang merupakan 19,07% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Lippo Land
Pengurusan dan Pengawasan Terhadap Lippo Land : -Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris pada Lippo Karawaci yang juga menjabat sebagai Presiden Komisaris pada Lippo Land -Ganesh Chander Grover adalah Komisaris pada Lippo Karawaci yang juga menjabat sebagai Presiden Komisaris pada PT Lippo E-Net Tbk
Terhadap Aryaduta : - Pacifif Asia Holding Trustnet Ltd (Cook Islands) juga memiliki 31.024.500 saham yang merupakan 7,83% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh dalam Aryaduta
Tidak Ada
Universitas Indonesia
70
-PT Lippo E-Net Tbk memiliki 31.024.500 saham yang merupakan 7,83% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Lippo Karawaci, dan merupakan pemilik dari 92.608.000 saham yang merupakan 23,36% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Aryaduta
Terhadap Siloam : - PT Lippo E-Net Tbk memiliki 49.119.600 saham yang merupakan 4,97% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Lippo Karawaci dan merupakan pemilik dari 67.154.000 saham yang merupakan 4,26% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Aryaduta.
Terhadap Aryaduta : -PT Lippo E-Net Tbk memiliki 94.908.100 saham yang merupakan 19,07% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Lippo Land, dan merupakan pemilik dari 92.608.000 saham yang merupakan 23,36% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Aryaduta
Terhadap Siloam : -Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris pada Lippo Karawaci yang juga menjabat Presiden Direktur pada Sioam -Ganesh Chander Grover adalah Komisaris pada Lippo Karawaci yang juga menjabat sebagai Presiden Komisaris pada Lippo E-Net Tbk dan Komisaris pada Siloam Tidak Ada
Lippo Land
Sumber Waluyo
Terhadap Siloam : -PT Lippo E-Net Tbk memiliki 94.908.100 saham yang merupakan 19,07% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh dalam Land, dan merupakan pemilik dari 67.154.000 saham yang merupakan 4,26% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Aryaduta
Terhadap Siloam : -Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris pada Lippo Land yang juga sebagai Presiden Direktur dalam Siloam
Terhadap Siloam :
Terhadap Siloam : Tidak Ada
-Siloam memiliki 10.999 saham yang merupakan 99,99% dari modal yang telah ditempatkan dan disetor dalam Sumber Waluyo
Universitas Indonesia
71
Kita dapat melihat perbandingan harga saham yang digunakan oleh perusahaan pada saat merger (hasil appraisal konsultan independen) dengan harga saham hasil perhitungan menggunakan metode FCFE pada table 5.6 Tabel 5.7 Komparasi Harga Saham Perusahaan
Harga saat penggabungan
Harga hasil Perhitungan
Ket
Lippoland
1,475.31
985.09
Overvalued
Siloam*
474.53 632.77 * Termasuk penilaian atas saham Sumber Waluyo * Sumber : Penulis, 2009
Undervalued
Dari hasil perbanding di atas, dapat kita lihat bahwa nilai appraisal yang diberikan oleh independen appraisal untuk Lippoland overvalued sedangkan untuk Siloam undervalued.
5.6 Analisis Market Value, Cumulative Abnormal Return dan Struktur Kepemilikan Penelitian yang dilakukan oleh Utama (2006) membandingkan antara Appraisal Value dengan Market Value untuk Lippo Karawaci, Lippo Land, Aryaduta, dan Siloam. Detail perhitungan dapat kita lihat pada Tabel 5.8. Hasil perhitungan untuk Lippoland dan Siloam menunjukkan bahwa nilai perbandingan Appraisal Value dengan Market Value berada di atas 1 (4,24 untuk Lippo Land dan 2,31 untuk Siloam). Hasil ini menunjukkan kepada kita bahwa harga saham hasil perhitungan independent auditor masih jauh dari nilai intrinsik saham yang tercermin dari harga saham pada saat merger. Tabel 5.8 Perbandingan Appraisal Value dan Market Value Firms
Outstanding Shares (million)
Price on Merger Announce
MV on Announcmt
Appraisal Value (AV)
Rp (bill)
%
Rp (bill)
%
AV/ MV
Lippo Karawaci
987.7
825
814.9
56.6%
2740.4
55.8%
3.36
Lippo Land
497.6
700
348.3
24.2%
1475.3
30.1%
4.24
Aryaduta
396.4
180
71.4
5.0%
219.1
4.5%
3.07
Siloam
1577.3
130
205.0
14.2%
474.5
9.7%
2.31
1439.6
4909.4
3.41
Sumber : Utama (2006) Universitas Indonesia
72
Selain melakukan perbandingan Appraisal Value dengan Market Value, Utama (2006) juga menghitung Cumulative Abnormal Return untuk keempat perusahaan dan distribusinya terhadap pemegang saham. MacKinlay (1997) mendefinisikan CAR sebagai akumulasi dari return abnormal suatu saham . Ukuran CAR digunakan dalam metodologi event study untuk mengukur efek dari suatu kejadian terhadap harga saham perusahaan. Efek positif dari suatu berita atau kejadian ditunjukkan dengan CAR yang positif dan sebaliknya. Hasil perhitungan pada table 5.9 menunjukkan bahwa CAR untuk Lippo Land sebesar 37,90% dan sebagian besar terdistribusi ke pemegang saham pengendali. Sedangkan CAR untuk Siloam sebesar -12,40% dan sebagian besar terdistribusi kepada pemegang saham minoritas. Hasil perhitungan ini memberikan indikasi kuat terjadinya ekspropriasi terhadap kekayaan pemegang saham minoritas untuk kedua perusahaan tersebut.
Tabel 5.9 Distribusi CAR terhadap Pemegang Saham
Lippo Karawaci Lippo Land Aryaduta Siloam Weighted CAR Sumber : Utama (2006)
CAR (-1,+1)
Controlling
NonControlling
22.10% 37.90% 24% -12.40%
5.12% 26.71% 11.12% -1.80% 9.66% 27.97%
16.98% 11.19% 12.88% -10.60% 11.45% 17.48%
21.10%
Struktur kepemilikan untuk kedua perusahaan sebelum dan sesudah merger mengalami perubahan. Perhitungan yang dilakukan oleh Utama (2006) menunjukkan peningkatan untuk kedua perusahaan. Walaupun peningkatan terjadi untuk kedua perusahaan, namun peningkatan lebih besar di alami oleh pemegang saham mayoritas (controlling). Selain itu, dapat kita lihat pada Weighted Ownership untuk Controlling dan NonControlling Shareholder sebelum dan sesudah merger mengalami perubahan. Kepemilikan pemegang saham mayoritas setelah merger mengalami peningkatan yang signifikan (dari 34.52% menjadi 37.58%), sedangkan kepemilikan pemegang Universitas Indonesia
73
saham minoritas setelah merger mengalami penurunan (dari 65.48% menjadi 62.42%). Hasil ini semakin memperlengkap bukti adanya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas di kedua perusahaan.
Tabel 5.10 Struktur Kepemilikan Sebelum dan Sesudah Merger Pemegang Saham Lippo Karawaci Lippo Land Aryaduta Siloam Lippo Karawaci Lippo Land Aryaduta Siloam Weighted Ownrship
Before Merger After Merger NonNonControlling Controlling Controlling Controlling
% Dillution NonControlling
23.16 70.48 46.33 14.5
76.84 29.52 53.67 85.5
23.16 70.48 46.33 14.5
76.84 29.52 53.67 85.5
13.11 17.05 2.30 2.07
43.49 7.14 2.66 12.18
12.93 21.18 2.07 1.40
42.89 8.87 2.40 8.26
-1.38 24.20 -9.95 -32.14
34.52
65.48
37.58
62.42
-4.66
Sumber : Utama (2006)
Universitas Indonesia
74
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Perbandingan harga saham berdasarkan hasil perhitungan penulis (FCFE Value) dengan hasil penilaian independent appraisal (Appraisal Value) seperti ditunjukkan pada tabel 5.7 memberikan hasil Undervalued untuk Siloam dan Overvalued untuk Lippo Land. Jadi, Appraisal Value tidak mencerminkan nilai intrinsik saham. Selain itu, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Utama (2006) dengan tiga metode yang berbeda memberikan hasil sebagai berikut : Market Value versus Appraisal Value Nilai perbandingan Appraisal Value dengan Market Value di atas 1 (4,24 untuk Lippo Land dan 2,31 untuk Siloam). Appraisal Value tidak mencerminkan nilai intrinsik saham. Cumulative Abnormal Return Distribusi CAR yang tidak merata terhadap pemegang saham mayoritas dan minoritas. CAR
positif sebagian besar terdistribusi di pemegang saham
mayoritas, sementara CAR negatif sebagian besar terdistribusi di pemegang saham minoritas. Struktur Kepemilikan Kepemilikan pemegang saham mayoritas setelah merger mengalami peningkatan yang signifikan (dari 34.52% menjadi 37.58%), sedangkan kepemilikan pemegang saham minoritas setelah merger mengalami penurunan (dari 65.48% menjadi 62.42%).
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa terdapat ekspropriasi terhadap kekayaan Minority Shareholder dalam proses tender yang melibatkan 8 perusahaan di bawah bendera Lippo Grup pada tahun 2004.
Universitas Indonesia
75
6.2. Saran Berdasarkan pada kesimpulan di atas penulis bermaksud untuk memberikan saran kepada : Pemerintah (BAPEPAM-LK) : Melakukan review terhadap peraturan BAPEPAM-LK No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu agar ke depannya tidak lagi terjadi ekpropriasi terhadap kekayaan pemegang saham minoritas. Penelitian selanjutnya : Melakukan perhitungan dengan menggunakanmetode yang berbeda seperti Free Cash Flow to Firm, Adjusted Present Value, dll, untuk mendapatkan alternatif hasil penilaian.
Daftar Referensi Universitas Indonesia
76
Almeida, Heitor dan Wolfenzon, Daniel, (2005),”A Theory of Pyramidal Ownership and Family Business Groups”, Working Paper, Stern School of Business Atanasov, Boone, Haushalter, (2008), ”Is there shareholder expropriation in the United States? An analysis of publicly-traded subsidiaries”, Working Paper. Atanasov, et. al, (2006),” How Does Law Affect Finance? An Examination of Equity Tunneling in Bulgaria”, European Corporate Governance Institute Finance Working Paper No. 123 Bebchuk, et.al, (2002), “Stock Pyramids, Cross-Ownership and Dual Class Equity: The Mechanisms and Agency Costs of Separating Control From CashFlow Rights”, Concentrated Corporate Ownership (R. Morck, ed.), pp. 445-460 Bhuiyan, Md. Hamid Ullah dan Biswas, Pallab Kumar, (2008),” Agency Problem and the Role of Corporate Governance, SSRN Working Paper (1250842) Brigham, Gapenski, Ehrhardt, (1999),”Financial Management : Theory and Practice 9th Edition”, Dryden Press. Cheung, et. al, (2008),” Tunneling and propping up: An analysis of related party transactions by Chinese listed companies”, Working Paper, City University of Hong Kong. Cheung, et.al, (2004), “Tunneling, Propping and Expropriation Evidence from Connected Party Transactions in Hong Kong”, Working Paper, Hong Kong Institute for Monetary Research. Claessens et.al, (2002),” Disentangling the Incentive and Entrenchment Effects of Large Shareholdings”, The Journal of Finance Vol.LVII, No. 6. Croci, Ettore, (2006) “Stock Price Performance of Target Firms in Unsuccessful Merger and Acquisition”, SSRN Working Paper, 766304. Croci, Ettore dan Petmeza, Dimitris, (2009),” Minority Shareholders’ Wealth Effects and Stock Market Development: Evidence from Increase-in-Ownership M&As” SSRN Working Paper (960971). Darmawati, Khomsiyah, Rahayu, (2005),”Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan”, Working Paper, Indonesian Institute for Corporate Governance. Duan, Shaoheng, (2009), ” A Study on the Effect Brought by Different Types of Ownership Control—Based on the Evidence from China’s Listed Companies”, International Journal of Business and Management, Vol.4, no 1. Universitas Indonesia
77
Estrin, et.al, (2009),” Effects of Privatization and Ownership in Transition Economies”, Policy Research Working Paper, The World Bank Development Economics Department Research Support Unit Francis, et.al, (2003),”Earnings and Dividend Informativeness When Cash Flow Rights are Separated from Voting Rights” Working Paper. Gianetti, Mariassunta dan Simonov, Andrei, (2003) “Which Investor Fear Expropriation, evidence from investor’s stock picking”, Working paper, Stockholm School of Economics and CEPR.
Guedes, Jose and Loureiro,Gilberto, (2006), “Estimating the Expropriation of Minority Shareholders: Results from a New Empirical Approach”, The European Journal of Finance, Vol. 12, no 5, pp. 421–448. Herdinata, Christian, (2008) ” Good Corporate Governance Vs Bad Corporate Governance : Pemenuhan Kepentingan Antara Para Pemegang SahamMayoritas dan Pemegang Saham Minoritas”, Working Paper. Jae-Seung Baek, Kee-Hong Bae, dan Jun-Koo Kang, (2007), “Do Controlling Shareholders’ Expropriation Incentives Imply a Link Between Corporate Governance and Firm Value? Evidence from the Aftermath of Korean Financial Crisis, Kohlbeck, Mark dan Mayhew, Brian , (2004), “Agency Costs, Contracting, and Related Party Transactions” Working Paper, University of Wisconsin La Porta et al, (1999), “Investor protection and corporate valuation” Discussion Paper no 1882. Ryngaert, Michael and Thomas, Shawn, 2007 “Related Party Transactions: Their Origin and Wealth Effect” Wall Street Journal. Leechor, Chad, (1999),” Protecting Minority Shareholders in Closely Held Firms”, Working paper, Public Policy for the Private Sector. The World Bank Group ▪ Finance, Private Sector, and Infrastructure Network Lefort, Fernando dan Walker, Eduardo, (2000), “Ownership and Capital Structure of Chilean Conglomerates: Facts and Hypotheses for Governance”, Revista ABANTE, Vol.3, No 1, pp 3-27 Lefort, Fernando dan Walker, Eduardo, (2007),” Do Markets Penalize Agency Conflicts Between Controlling and Minority Shareholders? Evidence From Chile”, The Developing Economies Journal, XLV-3: p 283–314
Universitas Indonesia
78
Miguel, Pindado, de la Torre , (2003), “Ownership Structure and Firm Value: New Evidence from the Spanish Corporate Governance System”, SSRN Working Paper, 393464. Muktiyanto, Ali, (2005) “Pengaruh Faktor-faktor Akuisisi Terhadap Abnormal Return (studi Pada Perusahaan Akuisitor di BEJ antara Tahun 1992 Sampai 1997), Jurnal Siasat Bisnis No. 10 Vol.1, Hal 57-72. Scott, Jr., et.al, (1999), “Basic Financial Management, 8th Edition”, Prentice Hall International. Sutrisno dan Sumiarsih, (2004), “Dampak Jangka Panjang Merger dan Akuisisi terhadap Pemegang Saham di BEJ Perbandingan Akuisisi Internal dan Eksternal”, JAAI Volume 8 No. 2 Van der Molen, Remco, (2005),” Capital allocation in Indian business groups. Who benefits, who loses?”, Working Paper, Dutch Ministry of Finance. Weber, Rolf H. dan Goo, S.H., (2003), ”The Expropriation Game: Minority Shareholders' Protection”, Hong Kong Law Journal, Vol. 33, p. 71. Zhu, Zhiwen dan Ma, Hao, (2009), “Multiple Principal-Agent Relationships, Corporate-Control Mechanisms and Expropriation Through Related Party Transactions: Evidence from China”, International Research Journal of Finance and Economics.
Universitas Indonesia