1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Salah seorang pemikir terkemuka (filosof), bangsa Yunani bernama Aristoteles menyatakan, bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk bermasyarakat, “Zoon Politicon”. Tidaklah keliru apa yang dikemukakan pemikir terkemuka tersebut. Sebab tidak ada satu masyarakat manusia, yang hidup menyepi sendiri di dalam gua-gua atau di dalam hutan belantara. Manusia hidup, beraktifitas dalam pergaulan masyarakat, berkembang dan beranak cucu dalam pergaulan masyarakat, manusia hidup dan meninggal dalam lingkungan masyarakat. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan manusia hidup dalam kelompok masyarakat manusia, bergaul dengan masyarakat manusia yang lain. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor kebutuhan biologis. Untuk
memperoleh keturunan dari sepasang manusia, yakni laki-laki
dengan perempuan melalui lembaga perkawinan. 2. Faktor kebutuhan pangan, sandang, papan adalah lebih mudah diperoleh dengan mengadakan kerja sama antara manusia yang satu dengan yang lainnya, baik melalui kerjasama perdagangan, jual beli dan lain-lain sebagainya.
2
3. Faktor pertahanan diri dari serangan musuh. Adalah lebih mudah, lebih kuat melakukan pertahanan diri berkelompok, bersama-sama dari pada melakukan pertahanan diri secara sendiri-sendiri. Agar pergaulan dalam masyarakat berjalan baik, tertib, aman dan tenteram, diperlukan petunjuk-petunjuk hidup, yang merupakan barometer untuk bergaul dalam masyarakat. Sebab ada deviasi perilaku, ada penyimpang perilaku anggota masyarakat lainnya yang menimbulkan kegoncangan, ketidak tertiban. Tanpa ada kedamaian dan keharmonisan dalam masyarakat, maka kebutuhan, keperluan hidup manusia sukar untuk di peroleh. Ibi societas, ibi crimen dan agar masyarakat hidup dalam keadaan tertib dan damai, diperlukan hukum. Jadi Ibi societas, ibi crimen, ibi ius, artinya dimana ada masyarakat, ada kejahatan dan ada hukum. Salah satu petunjuk hidup tersebut adalah kaedah hukum, disamping kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan. Kaedah hukum memuat perintah-perintah dan larangan-larangan dan bilamana perintah dan larangan itu tidak ditaati, dilanggar, maka pelakunya akan dikenakan sanksi yang tegas dan nyata dan dapat dipaksakan. Sanksi kaedah hukum inilah yang membedakan dengan kaedah–kaedah lainnya tersebut. Kaedah hukum antara lain menyatakan:1 janganlah kamu membunuh, melanggar Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana), janganlah kamu mencuri (melanggar Pasal 362 KUHPidana), jangan kamu 1
P. A. F. Lamintang Dan C. Djisman Somasir, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung 1984, hlm. 141, 148.
3
memperkosa (melanggar Pasal 285 KUHPidana), janganlah kamu menipu (melanggar Pasal 378 KUHPidana), janganlah melakukan makar saparatis). Semua ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan antara lain untuk ketertiban, kedamaian, keamanan dalam masyarakat (dalam negeri). Tanpa ada keamanan, kedamaian dalam masyarakat, tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia, yakni masyarakat adil dan makmur sulit akan terwujud. Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan :2 1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. 2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Nasional Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. 3. Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan
Angkatan
mempertahankan,
Udara
melindungi,
sebagai dan
alat
memelihara
negara
bertugas
keutuhan
dan
kedaulatan negara. Keamanan didalam negeri merupakan tanggungjawab Angkatan Bersenjata Republlik Indonesia (ABRI); dipundak ABRI inilah keamanan dalam negeri dipercayakan terutama dari serangan-serangan musuh dari luar. Keamanan teritorial republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke dibebankan pada ABRI. Lembaga ini ujung tombak pertahanan dan keamanan
2
Memahami Undang-Undang. Menumbuhkan Kesadaran UUD 1945, Visi Media 2007, hlm. 74.
4
negara. ABRI adalah militer, yang dipersenjatai untuk berperang, bertempur melawan musuh. Militer berasal dari bahasa Yunani, “Millies”3, yang bermakna “seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan pertempuran atau peperangan, terutama dalam rangka pertahanan keamanan”. Kaedah-kaedah hukum yang mengatur militer diatur dalam Hukum Pidana Militer, yang “merupakan hukum pidana khusus”4 (bijzondere strafrecht). Disebut hukum pidana khusus, karena mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu: subjek hukumnya adalah anggota militer dan perbuatannya pun perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan anggota militer. Contoh: tindak pidana desersi (melanggar Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer). Hukum pidana militer tersebut ada yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yang merupakan hukum pidana materiil dan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1997 Tentang Acara Peradilan Militer (HAPMIL) yang merupakan hukum pidana formil dan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). S. 1934-168. Juncto Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947. Hukum Pidana Militer dalam arti materiil memuat tentang : a. Perbuatan apa yang dapat di hukum. b. Siapa yang dapat di hukum. c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan pada sipelaku (sipelanggar). 3
. Buchari. Said. H. Sekilas Pandangan Tentang Hukum Pidana Militer, F. H. Unpas, Bandung 2010. hlm 1. 4 . E. Utrecht. Hukum Pidana I, Penerbit Universitas 1960, hlm. 71
5
Kendatipun ketentuan-ketentuan tersebut telah ada dan bertujuan baik (demi ketertiban, kedamaian, keamanan), tidak berarti ketentuan baik tersebut ditaati. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan didalam KUHPM tersebut disebut dengan tindak pidana militer. Untuk mempertahankan eksistensi KUHPM tersebut diberlakukan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer (HAPMIL). HAPMIL memuat sistem peradilan pidana bagi anggota militer yang diduga melakukan tindak pidana. Suatu sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sistem peradilan pidana (SPP), yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).5 Sejalan dengan asas-asas yang terhadap didalam HAPMIL, maka salah satu asas yang mengedepan dan mengemuka adalah asas komandan yang bertanggung atau responsibility of command terhadap lingkungan kesatuan dan anak buahnya. Bilamana diduga terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, maka pihak-pihak yang berkompeten menurut HAPMIL melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang telah ditetapkan dalam HAPMIL.
5
Buchari Said H. Hukum Acara Pidana, FH. Unpas, Bandung, 2010, hlm. 21
6
Menurut Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang HAPMIL, maka penyidik adalah:6 a. Atasan yang berhak menghukum (ANKUM). b. Polisi Militer (POM) c. Oditur Militer Pemeriksaan oleh penyidik harus didalam koridor hukum yang berlaku dengan memperhatiakan azas-azas hukum yang melandasi berlakunya HAPMIL. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap tersangkanya, yang diduga melakukan tindak pidana desersi, saksi-saksi dan berdasarkan alat-alat bukti yang cukup, benar-benar telah terjadi tindak pidana desersi serta adanya sangkaan kuat yang bersangkutan pelakunya (perkara pidananya sudah lengkap alat-alat buktinya), apakah berarti
secara serta merta perkara
pidananya dilimpahkan ke Pengadilan Militer. Oditur militer selaku penuntut perkara pidana militer apakah dapat langsung melimpahkan perkara pidana tersebut ke Pengadilan Militer kendatipun bukti-bukti sudah cukup dan lengkap. Minimal ada dua alat bukti. Kewenangan untuk melimpahkan, penyerahan perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer adalah : Perwira Penyerah Perkara (PEPERA). Menurut Pasal 122 ayat (1) HAPMIL maka PEPERA adalah :7 a. Panglima
6
. Buchari Said H. Op.cit, FH. Unpas, Bandung, 2010, hlm. 21 . A. Mulya Sumaperwata. Hukum Acara Peradilan Militer, Pasundan Law Faculty, Alumnus PRESS Bandung, 2007, hlm, 157. 7
7
b. Kepada staf TNI Angkatan Darat, kepada staf TNI Angkatan Laut, kepada staf TNI Angkatan Udara dan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “Peranan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA). Dalam Penegakan Hukum Terhadap Terjadinya Tindak Pidana Desersi”
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apakah setiap tindak pidana desersi yang bukti-buktinya sudah lengkap yang dilakukan oleh anggota militer harus segera dilimpahkan ke Pengadilan Militer. 2. Sikap apakah yang dapat dilakukan oleh PEPERA terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana deseri walaupun bukti-bukti sudah lengkap.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang setiap tindak pidana desersi yang bukti-buktinya sudah lengkap yang dilakukan oleh anggota militer boleh atau tidak segera dilimpahkan ke Pengadilan Militer.
8
2. Untuk mengetahui dan mengkaji sikap yang dapat dilakukan oleh PEPERA terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana desersi walaupun bukti-bukti sudah cukup.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis, diharapkan dapat meberikan sembangan pemikiran dalam upaya turut berperan serta dalam menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya hukum pidana khususnya. Memberikan sumbangan informasi dalam rangka melengkapi referensi mengenai apa yang menyebabkan tidak setiap tindak pidana dilakukan oleh militer, walaupun bukti sudah lengkap, oditur militer tidak dapat melimpahkannya ke pengadilan militer dan bagaimana peranan PEPERA terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh anggota militer, kendatipun bukti sudah cukup. 2. Secara Praktis a. Bagi penulis Dapat memperluas cakrawala pemikiran tentang pembahasan yang diteliti, sehingga diperoleh gambaran tentang kesesuaian teori-teori dengan fakta dilapangan. b. Bagi Instansi dan Masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam lingkungan militer, law enforcement
9
(penegakan hukum), dan kepada anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan dengan masalah tersebut diatas. c. Bagi Pembaca Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat berguna sebagai informasi tambahan yang dapat memperluas horizon pemikiran khususnya tentang tindak pidana militer.
E. Kerangka Pemikiran Tujuan Negara Republik Indonesia ini dengan jelas tercantum dalam alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan :8 “Kemudian dari pada itu untuk membentuk Pemerintah Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulat rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang makmur, adil, tertib, damai itu diberlakukan berbagai ketentuan yang menyangkut segala aspek kehidupan. Aturan disandarkan pada asas-asas hukum, antara lain asas taat hukum, asas legalitas, asas ketertiban, asas deponering dan lain-lain.
8
. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan ke I, II, III dan IV Dalam Satu Naskah, penerbit Media Presindo Yogyakarta 2004, hlm, 4
10
Salah satu ketentuan guna ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, khususnya dilingkungan militer adalah dikeluarkan KUHP, KUHAP, KUHPM, HAPMIL dan KUHDM. Walaupun telah ada berbagai ketentuan tersebut tidaklah berarti kejahatan tidak terjadi dalam masyarakat. Pasal 64 KUHPM menyebutkan:9 1. Militer, yang dalam waktu perang dengan sengaja memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh, diancam karena pengkhianatan militer, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum dua puluh tahun. 2. Diancam dengan pidana yang sama, militer yang dalam waktu perang mengadakan permufakatan jahat untuk melakukan pengkhianatan militer. Pasal 87 KUHPM menyebutkan:10 1. Diancam karena desersi, militer : ke-1 Yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindar bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasukin dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. ke-2 Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. ke-3 Yang dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dan karenannya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2. 2. Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. 3. Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. Untuk ketertiban, keamanan dalam lingkungan militer, terhadap kejahatan-kejahatan tersebut harus diambil tindakan hukum oleh pihak-pihak yang berkompeten sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas. 9
. Moch. Faisal Salam. Hukum Pidana Militer di Indonesia, CV. Manda Maju, Bandung, 2006, hlm 187 10 . Ibid, hlm. 222
11
F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian Spesifikasi peneitian yang digunakan peneliti adalah deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan tentang masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukum.11 Masalah tersebut diantaranya : 1. Apakah setiap tindak pidana yang pelakunya militer harus segera di tuntut oleh oditur militer ke pengadilan militer. 2. Sikap apakah yang diambil PEPERA terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana. 2. Metode Pendekatan. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yudiris normatif,12 yaitu hukum dikondisikan sebagai norma, kaidah, asas ataupun dogma. Adapun pendekatan masalah yang dipergunakan peneliti dalam membahas masalah yang berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan anggota militer, dan penyelesaiannya, penelitian yuridis normatif adalah suatu metode yang digunakan untuk untuk mengolah data sekunder, yaitu data dokumen yang terdiri sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu pelengkap dari bahan sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UndangUndang Dasar 1945. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Tentang KUHAP, KUHPM, HAPMIL, dan KUHDM. 11
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press Jakarta 2001, hlm 9. . Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimeter, Ghalia Indonesia. Jakarta 1990, hlm. 34. 12
12
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer yaitu buku buku yang berisi asas-asas dan teori-teori yang berhubungan dengan penegakan hukum di bidang militer, yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. c. Bahan hukum tersier,yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum perimer dan bahan hukum sekunder berupa makalah, seminar, internat, surat kabar, majalah dan lain sebagainya 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam
mengumpulkan
data
dan
bahan-bahan,penulisan
menggunakan teknik pengumpulan data sebagi berikut: a. Studi Kepustakaan (Library research), yaitu : Teknik pengumpulan data melalui, yaitu kepustakaan dengan menelaah data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier yaitu data yang diperoleh dalam peraturan perundang-undang, buku teks, jurnal hasil penelitian, ensiklopedi, biografi dan indeks kumulatif lainnya yang dapat membantu dalam penulis skripsi ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu : Untuk melengkapi dan menunjang data sekunder diperlukan data primer dengan melalui penelitian lapangan, penulis terjun langsung ke
13
lapangan untuk melakukan pengumpulan data melalui pengamatan, maupun wawancara dengan instansi dan lembaga-lembaga terkait. 4. Analisis Data. Setelah data dan informasi penulis kumpulkan semua, kemudian dianalisis dan diolah secara analisis yuridis kualitatif dengan studi perbandingan antara data kepustakaan dengan data dari lapangan yang disajikan yaitu: a) Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lebih tinggi. Dengan memperhatikan tata urutan perundang-undangan, maka ketentuan perundang-undangan yang satu dengan dengan yang lainnya tidak boleh bertentangan. b) Kapastian hukum, yaitu perundang-undangan yang diteliti telah dilaksanakan dengan didukung oleh penegak hukum dan pemerintah berwenang. 5. Lokasi Penelitian Untuk melengkapi data penyusunan skripsi ini, maka penulis mengadakan penelitian di berbagai tempat, antara lain: a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, yang beralamat di Jln. Lengkong Dalam No. 68 Bandung. b. Perpustakaan Universitas Pasundan, yang beralamat di Jln. Tamansari No. 6-8 Bandung. c. Perpustakaan Universitas Padjajaran, Jln. Dipatiukur No. 37 Bandung.
14
d. Perpustakaan Universitas Islam Bandung, Jln. Tamansari No. 1 Bandung
15
BAB II Tindak Pidana Dan Sistem Peradilan Pidana
A. Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Militer Perkataan tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit”, Criminal Act dalam Bahasa Inggris, Actus Reus
dalam
Bahasa Latin. Didalam menterjemahkan perkataan Strafbaar Feit itu terdapat beraneka macam istilah yang dipergunakan oleh beberapa sarjana dan juga didalam berbagai per-undang-undangan. Prof. Moeljatno, Guru Besar Universitas Gajah Mada dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada, Tanggal 19 Desember 1995 dengan judul “perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, mengatakan “tidak terdapatnya istilah yang sama didalam menterjemahkan Strafbaar Feit di Indonesia”. Untuk Strafbaar Feit ini ada 4 istilah yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia, yakni : 13 1. Peristiwa pidana (Pasal 14 ayat (1) UUDS 1950). 2. Perbuatan pidana atau perbuataan yang dapat/boleh dihukum UndangUndang No. 1 Tahun 1951. Tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan
Susunan,
Kekuasaan
Dan
Acara
Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Darurat Tentang Mengubah Ordonansi Tijdelijk Bilzondere Bepalingen Strafecht. L. N
13
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Bineka Cipta 2000, hlm. 54,55
16
1951 No. 78 dan dalam buku Mr. Karni : Tentang Ringkasan Hukum Pidana 1950. 3. Tindak pidana (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR) 4. Pelanggaran pidana dalam bukunya Mr. Tirtaamidaja : Pokok-Pokok Hukum Pidana 1955. Prof. Moeljatno mempergunakan istilah “perbuatan pidana”, dengan alasan-alasan sebagai berikut : a. Perkataan peristiwa, tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau kekuatan alam. b. Perkataan tindak, berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku. c. Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti: perbuatan tindak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya, juga istilah tekhnis seperti perbuataan melawan hukum (onrechtmatige daad) Perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan juga lebih praktis dari pada istilah-istilah lainnya. Istilah tindak yang acapkali diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindakan pidana, akan tetapi sudah berarti dilakukan oleh seseorang serta menunjukkan terhadap sipelaku maupun akibatnya. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mempergunakan istilah tindak pidana.
17
Ada beberapa batasan mengenai tindak pidana yang dikemukakan para sarjana antara lain: a. Vos. Mengatakan tindak pidana adalah : “suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan undang-undang diberi pidana, jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana”14 b. Pompe mengatakan tindak pidana adalah “sesuatu pelanggaran kaedah (pelanggaran tata hukum, Normovertreding) yang diadakan karena kesalahan
pelanggar,
yang
harus
diberikan
pidana
untuk
mempertahankan tata hukum dan penyelamatan kesejahteraan”15 c. Simons mengatakan tindak pidana itu adalah suatu perbuatan: 1. Oleh hukum diancam dengan pidana. 2. Bertentangan dengan hukum. 3. Dilakukan oleh seseorang yang bersalah. 4. Orang itu boleh dianggap bertangjungjawab atas perbuatannya. d. Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”16 e. R. Tresna mengatakan tindak pidana adalah “suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-
14
E. Utrecht, Op.cit, hlm 253 Ibid, hlm. 257 16 Moeljatno, Op.cit, Penerbit, Bineka Cipta. 2000, hlm 54. 15
18
undang atau aturan undang-undang lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan hukum”.17 Jadi setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tidak mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangan dalam undang-undang pidana disebut dengan tindak pidana. Dari batasan-batasan tentang tindak pidana itu kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk terwujudnya suatu tindak pidana seseorang
atau agar
dapat dikatakan melakukan tindak pidana, haruslah mematuhi
unsur-unsur sebagai berikut: a. Harus ada perbuatan manusia. Jadi perbuatan manusia yang dapat mewujudkan tindak pidana. Dengan demikian pelaku atau subjek tindak pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari perkataan “barangsiapa”. Di dalam ketentuan undang-undang pidana ada perkataan “seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nahkoda” dan lain sebagainya. Juga dari ancaman pidana dalam Pasal 10 KUHPidana tentang macam-macam pidana, seperti adanya pidana mati, pidana penjara dan sebagainya itu hanya ditujukan kepada manusia. Sedangkan diluar KUHPidana subjek tindak pidana itu tidak hanya manusia juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi, seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, UndangUndang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana
17
R. Tresna. Asas-asas Hukum Pidana, PT. Tiara Bandung, 1959, hlm.27.
19
Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagainya). b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan undang-undang. Maksudnya adalah kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu, misalnya melanggar ketentuan Pasal 362 KUHPidana, maka unsurunsur pasal tersebut haruslah seluruhnya terpenuhi. Salah satu unsurnya tidak terpenuhi maka perbuatan tersebut bukanlah melanggar Pasal 362 KUHPidana (tentang pencurian). Pasal 362 KUHPidana berbunyi : “barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900”. Unsur-unsur Pasal 362 KUHPidana tersebut adalah : 1. Barang siapa. Disini menunjukkan adanya pelaku tindak pidana (dader, offender), dalam hal ini adalah manusia. 2. Mengambil, berarti adanya perbuatan aktif dari pelaku mengambil. Artinya berpindahnya barang dari sipemilik kepada sipelaku pencurian. 3. Barang sesuatu baik seluruh atau sebagain milik orang lain. Disini yang menjadi objek adalah sesuatu barang (harta benda, yang baik seluruh atau sebagian milik orang lain (milik korban).
20
4. Adanya maksud untuk memilikinya. Disini pelaku mengetahui dan menginsafi perbuatannya. 5. Perbuatan tersebut dilakukan secara melawan hukum. Artinya perbuatannya tersebut tanpa hak, tanpa kewenangan, melanggar hak subjektif orang lain in casu pemilik. 6. Adanya ancaman pidana, adanya nestapa dan penderitaan terhadap pelaku. Dengan demikian seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana, kalau unsur-unsur pasal tersebut terpenuhi semuanya. Kalau tidak terpenuhi semua unsur Pasal 362 KUHPidana, maka perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana pencurian. Inilah yang disebut bahwa perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan undang-undang. Kalau seseorang didakwa melakukan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain (pembunuhan), maka perbuatan yang dilukiskan disini adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain (Pasal 338 KUHPidana), dan lain-lain sebagainya. c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, artinya orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidaklah cukup dengan dilakukannya suatu tindak pidana, akan tetapi harus pula adanya “kesalahan” atau “sikap batin” yang dapat dicela, tidak patut untuk dilakukan. “Asas kesalahan” merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Kesalahan atau schuld, fault berarti
21
suatu perilaku yang tidak patut yang secara objektif dapat di cela kepada pelakunya. Kesalahan merupakan dasar yang mensahkan dipidannya seorang pelaku.”18 Kesalahan adalah alasan pemidanaan yang sah menurut undang-undang. “Sifat hubungan antara kesalahan dengan dipidana menjadi nyata dengan melihat kesalahan sebagai dasar pidana. Karena kesalahan, pidana menjadi sah untuk dapat dipidananya suatu kejahatan dan inilah inti sesungguhnya dari hukum pidana.19 Adanya kesengajaan atau kealpaan menjadi keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan”. Haruslah difahami bahwa kesalahan berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak patut dan tercela, artinya melakukan sesuatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan berarti mengetahui dan menghendaki. Pengertian kesalahan disini adalah syarat utama untuk dapat dipidananya suatu perbuatan disamping adanya sifat melawan hukum. Jadi kesalahan disini sebagai sifat yang dapat di cela (can be blamed) dan tidak patut. d. Perbuatan tersebut melawan hukum. Mengenai hal ini terdapat dua pandangan, yaitu : 1. Sifat melawan hukum formil dan, 2. Sifat melawan hukum materil. Sub. 1. Sifat melawan hukum formil.
18 19
D. Schaffmeister dkk. Hukum Pidana. Penerbit Liberty, Yogyakarta 1995,hlm. 83 Ibid, hlm. 83
22
Suatu perbuatan melawan hukum formil adalah suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang pidana, sesuai dengan rumusan tindak pidana dan adanya pengecualian, seperti : daya paksa, pembelaan terpaksa hanyalah karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sub. 2. Sifat melawan hukum materil. Tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum adalah baik bertentangan dengan undangundang maupun dapat disalahkan kepadanya atau tidak. Dalam ilmu hukum pidana pertanggungjawaban seperti ini disebut dengan “absolute liability” (pertanggungjawaban mutlak) atau “strict liability” (pertanggungjawaban ketat). Namun pada tahun 1961
itu pula Hoge Raad berpendirian baru, yaitu
berpegang pada azas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau no punshment without fault hal mana terlihat dalam putusan Hoge Raad tahun 1916. Dalam putusan Hoge Raad menjatuhkan pidana kepada pengusaha susu, karena ternyata pengusaha tersebut telah mencampuri susu murni itu dengan air. Pengusaha
tersebut
mendasarkan
pembelaannya
dengan
mengacu kepada ketentuan undang-undang, yang melarang
23
mengantar susu yang dicampuri. Kesalahan tersebut hendak dilemparkannya kepada pengantar susu, namun pengantar susu itu
sama
sekali
tidak
mengetahui
bahwa
susu
yang
diantarkannya kepada langganan itu adalah susu yang oleh majikannya telah dicampur dengan air. Hoge Raad berpendapat bahwa pengantar susu tidak bersalah dan karenanya dibebaskan dari pidana. Dengan demikian tampaklah pergeseran pendapat Hoge Raad dari ajaran perbuatan materiil menjadi “tiada pidana tanpa kesalahan”. Sub. 3. Sifat Melawan Hukum Formil Menurut Vos bahwa perbuatan melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan
dengan hukum positif
(tertulis)
sedangkan perbuatan melawan hukum materiil adalah perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum, norma-norma tidak tertulis. Tidaklah ada alasan untuk menolak ajaran perbuatan melawan hukum materiil
ini dalam pengertian: bahwa perbuatan
melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan undangundang, asas-asas umum dan norma-norma hukum tidak tertulis. Ada 3 pandangan mengenai arti melawan hukum (obstruction of justice) ini, yaitu: 1. Simons. Melawan hukum artinya bertentangan dengan hukum, bukan hanya dengan hak orang lain (hukum subjektif) akan tetapi
24
juga bertentangan dengan hukum objektif, seperti hukum perdata atau hukum administrasi. 2. Noyon. Melawan hukum artinya bertentangan dengan hak orang lain (hukum subjektif). 3. Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 18 Desember 1911. W. 9263, maka arti melawan hukum adalah: tanpa atau tanpa hak. Disamping itu ada pula pendapat pendapat Vos, Moeljatno dan BPHN, yang mengatakan bahwa melawan hukum itu artinya: bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat atau yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. e. Terhadap perbuatan itu haruslah tersedia ancaman pidananya didalam undang-undang. Oleh karena pidana itu merupakan istilah yang lebih tekhnis maka perlu adanya pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifat yang khas. Istilah tekhnis adalah istilah yang dipergunakan didalam praktek dunia peradilan, misalnya dipidana penjara dan sebagainya, sedangkan istilah hukuman dipergunakan dalam percakapan masyarakat sehari-hari, seperti: seorang ibu menghukum anaknya yang nakal, tidaklah dikatakan dipidana tetapi dihukum atau dijatuhi hukuman. Perlu dikemukakan beberapa pendapat mengenai pidana ini dari beberapa cerdik pandai:
25
1. Soedarto. Yang dimaksud dengan pidana ialah: penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2. Roeslan Saleh mengatakan pidana adalah: reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. 3. Fitzgerald mengatakan bahwa punishment is the authoritative infliction (hukuman) of suffering (penderitaan) for offence. 4. Ted Honderich mengatakan: punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation = pencabutan atau perampasan) or distress) on an offender for an offence.20 Setelah
dikemukakan pengertian tindak pidana dan unsur-
unsur tindak pidana, maka dikemukakan pula pengertian tindak pidana militer. Tindak pidana militer, adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anggota militer yang melanggar ketentuan buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Ada beberapa macam kejahatan militer yang diatur dalam buku II KUHPM tersebut, yaitu: Bab I
Kejahatan terhadap keamanan negara, yang terdiri dari Pasal 64 sampai dengan Pasal 72 KUHPM
20
Muladi dan Barda Nawawi. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hlm
26
Bab II
Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang tanpa maksud untuk memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh: Pasal 72 sampai dengan Pasal 84 KUHPM
Bab III
Kejahatan-kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seseorang militer menarik diri dari pelaksanaan kewajibankewajiban dinas. Pasal 85 sampai dengan Pasal 96 KUHPM
Bab IV
Kejahatan-kejahatan terhadap pengabdian. Pasal 97 sampai dengan Pasal 117 KUHPM.
Bab V
Kehahatan-kejahatan terhadap perbagai keharusan dinas. Pasal 118 sampai dengan pasal Pasal 139 KUHPM.
Bab VI
Pencurian dan peradilan. Pasal 140 sampai dengan Pasal 146 KUHPM.
Bab VII Merusakkan, membinasakan atau menghilangkan barangbarang keperluan angkatan perang. Pasal 147 sampai dengan Pasal 150 KUHPM. Kejahatan-kejahatan tersebut hanya dapat dilakukan oelh anggota militer. Mengenai anggota militer ini di atur dalam pasal 45, 46, 47, 48, 49, 50 KUHPM. Pasal 45 KUHPM menyebutkan:
27
Diubah dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1947. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 66 Tahun 1958, Perpem No. 51 Tahun 1963, Undang-Undang No. 14 Tahun 1962. Yang dimaksud dengan Angkatan Perang adalah : a. Angkatan darat dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangan (nasional). b. Angkatan Laut dan Militer wajib
yang termasuk dalam
lingkungannya, terhitung juga personil cadangan (nasional). c. Angkatan Udara dan Militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya terhitung juga personil cadangan (nasional). d. Dalam waktu perang, mereka yang dipanggil menurut undangundang
untuk
turut
serta
melaksanakan
pertahanan
atau
pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Pasal 46 KUHPM Menyebutkan: Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947, diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor. 66 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1962 dan Perpem Nomor 51 Tahun 1963. 1) Yang dimaksud dengan militer adalah: ke-1
mereka, yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yaitu wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut
28
ke-2
semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139 Kitab Undang-undang ini.
2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk kepada tata tertib militer. Pasal 47 KUHPM menyebutkan: Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947. Barang siapa, yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan dalam pasal di atas Pasal 48 KUHPM menyebutkan: Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 dan harus dipandang sebagai diubah dengan Undang-Undang Nomor 66 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor Tahun 1962 dan Perpem Nomor 51 Tahun 1963, Sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang atau militer wajib yang tersebut pada Pasal 46 ayat pertama nomor ke 2 dipandang sebagai dalam dinas. ke-1
sejak ia dipanggil untuk penggabungan atau untuk masuk dalam dinas, atau dengan sukarela masuk dalam dinas, pada
29
suatu tempat yang ditentukan baginya, ataupun sejak ia melaporkan diri dalam dinas tersebut satu dan lain hal sampai ia dinyatakan di luar dinas (dibebaskan), ke-2
selama dia mengkuti latihan militer atau pekerjaan militer ataupun melakukan suatu karya militer lainnya.
ke-3
selama dia sebagai sukarelawan atau militer wajib atau sebagai tertuduh atau yang diadukan dalam suatu perkara pidana atau terperiksa dalam suatu pemeriksaan.
ke-4
selama dia memakai pakaian seragam atau tanda pengenal yang ditetapkan baginya atau tanda-tanda pembedaan lainnya
ke-5
selama dia menjalani pidana pada suatu bangunan militer atau tempat lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13, ataupun di perahu (laut) Angkatan Perang.
Pasal 49 KUHPM menyebutkan: 1) termasuk juga dalam pengertian militer ke-1
(diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947, Perpem Nomor 51 Tahun 1963) bekas militer yang digunakan dalam suatu dinas militer.
ke-2
komisaris-komisaris
militer
wajib
yang
berpakaian
seragam, setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu.
30
ke-3
(diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) pensiunan perwira anggota dari suatu peradilan militer (luar biasa), setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu.
ke-4
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947, Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Jo. Nomor 23/PRP/1959 mereka yang memakai pangkat tituler militer yang ditetapkan dengan atau berdasarkan undang-undang, atau yang dalam keadaan bahaya kepada mereka yang di panggil oleh penguasa perang berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Keadaan Bahaya (Undang-Undang Nomor 23/PRP/1959)
diberikan
pangkat
tituler,
selama
menjalankan pekerjaan-pekerjaan militer. ke-5
mereka, anggota dari suatu organisasi, yang dipersamakan dengan Angkatan Darat, Laut atau Udara atau dipandang sedemikian itu. a. dengan atau berdasarkan undang-undang. b. selama
keadaan
bahaya
oleh
penguasa
perang
ditetapkan dengan atas berdasarkan Pasal 42 undangundang keadaan bahaya. 2) Para militer yang dimaksud pada ayat yang pertama ditetapkan dalam pangkat mereka yang semula atau setingkat lebih tinggi dari pangkatnya ketika meninggalkan dinas militer sebelumnya. 3) Pasal 46 ayat kedua diterapkan.
31
Pasal 50 KUHPM menyebutkan: Para bekas militer dipersamakan dengan militer, jika dalam waktu satu tahun setelah mereka meninggalkan dinas militer, melakukan penghinaan atau tindakan nyata (feitelijkheden) terhadap atasan mereka yang dulu yang masih dalam dinas mengenai masalah dinas yang dulu. Bilamana diatas telah dikemukakan siapa yang disebut militer, maka dibawah ini dikemukakan tindak pidana militer. Ada 2 macam tindak pidana militer, yakni : a. Tindak pidana murni, yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang militer, karena sifatnya yang khusus militer. Contoh : Pasal 73 KUHPM “Diancam dengan hukuman mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu, maksimum dua puluh tahun, militer yang diwaktu perang sengaja: Ke-1
menyerahkan
kepada
musuh
atau
membuat
atau
membiarkan berpindah ke dalam kekuasaan musuh, suatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki yang berada dibawah perintahnya, ataupun angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara atau suatu bagian dari padanya, tanpa melakukan segala sesuatu untuk itu sebagaimana yang dipersyaratkan atau dituntut oleh kewajiban dari dia dalam keadaan itu” Pasal 87 KUHPM menyebutkan:
32
Ayat (1) Ke-1
yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya dari kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
ke-2
yang karena salahnya atau sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dalam waktu damai atau lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang dalam empat hari.
ke-3
yang dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagaian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2.
Ayat (2) Disersi
yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan
pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. Ayat (3) Disersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. Pasal 118 KUHPM, atau lihat Buku II KUHPM b. Tindak pidana campuran, adalah tindak pidana yang telah diatur di dalam
perundang-undangan
lain,
namun
karena
ancaman
pidananya dirasakan relatif ringan apabila dilakukan oleh seorang
33
militer, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundangundangan lainnya itu diatur kembali di dalam KUHPM dengan ancaman lebih berat. Adanya ketentuan-ketentuan khusus di dalam KUHPM merupakan penambahan dari aturan-aturan yang terdapat dalam KUHPidana. Alasanalasan penambahan tersebut antara lain: a. adanya perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh militer, contoh: desersi (Pasal 87 KUHPM), menolak perintah dinas (Pasal 78 KUHPM), insubordinasi; c. adanya beberapa perbuatan yang bersifat berat, sehingga apabila dilakukan militer didalam keadaan tertentu, ancaman pidana dalam KUHPidana dirasakan relatif ringan. Hubungan KUHPM dengan KUHAP KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari KUHPidana. KUHPM berlaku khusus untuk anggota tentara/militer dan orang-orang lainnya yang tunduk kepada kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer. Jadi orang-orang ini selain tunduk kepada KUHPM juga masih juga tunduk kepada KUHPidana selama tidak ada ketentuan-ketentuan lainnya yang mengecualikannya.
B. Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana menurut: 1. Hukum acara pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) dalam KUHAP
34
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tata cara berperkara pidana sejak diduga terjadinya suatu tindak pidana sampai dengan adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde, legal binding force). Didalam tata cara berperkara pidana ini, terlibat beberapa komponen aparat penegak hukum, yakni : a) Pihak kepolisian selaku penyidik, inklusif Pegawai Negeri Sipil Tertentu (Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 1. Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. b) Pihak kejaksaan selaku Penuntut Umum (Pasal 13 KUHAP). “penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum”. c) Hakim yang memeriksa, mengadili suatu perkara pidana (Pengadilan, Pasal 1 butir 8 KUHAP). “hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”.
35
d) Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa (Pasal 270 KUHAP) dan Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 278 KUHAP). Pasal 270 “pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya” Pasal 278 “jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan Pengadilan
yang
ditandatangani
olehnya,
Kepala
Lembaga
Permasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan ” Pembagian tugas dan wewenang komponen-komponen penegak hukum yang terdapat didalam KUHAP tersebut, dikenal dengan criminal justice system. KUHAP ini berlaku bagi pemeriksaan-pemeriksaan perkara tindak pidana bagi orang-orang sipil. Bagi anggota militer ketentuan beracara, berperkara pidana terdapat didalam Undang-Undang Peradilan Militer. (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer (HAPMIL) Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer (HAPMIL) melakukan pula sistim peradilan pidana untuk anggota militer. Sistim peradilan pidana tersebut sebagai berikut:
36
1. Mengenai penyidikan Pasal 69 menyebutkan: 1) Penyidik adalah: a. Atasan yang berhak menghukum; b. Polisi militer; dan c. Oditur. 2) Penyidik Pembantu adalah: a. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat b. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut c. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 74 menyebutkan: Atasan yang berhak menghukum mempunyai wewenang: a. Melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahanya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c. b. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c. c. Menerima berkas hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c, dan d. Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.
37
2. Penuntutan Pasal 64 menyebutkan: 1) Oditur Militer mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya: 1. Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah. 2. Mereka sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya: termasuk tingkat kepangkatan kapten ke bawah. 3. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer. b. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan pradilan umum c. Melakukan pemeriksaan tambahan 2) Selaian mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), Oditur Militer dapat melakukan penydikan. 3. Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) Pasal 122 menyebutkan: 1) Perwira Penyerah Perkara adalah: a. Panglima b. Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasioanal Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf
38
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 2) Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat menunjukkan komandan, kepala kesatuan bawahan masingmasing paling rendah setingkat dengan Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara. Pasal 123 menyebutkan: 1) Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang: a. memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa d. memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 78 e. menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara f. menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit, dan h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.
39
2) Kewenangan penuntutan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) huruf a. 3) Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya. 4. Pemeriksaan oleh Pengadilan Militer Pasal 40 menyebutkan: Pengadilan Militer memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah: a. Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah, dan c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
40
BAB III PELIMPAHAN PERKARA PIDANA KE PENGADILAN MILITER
A. Wewenang Melakukan Penuntutan Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer, telah diadakan pembagian tugas dan wewenang komponen-komponen aparat penegak hukum dalam dalam proses perkara pidana yang pelakunya anggota militer. Pembagian tugas dan wewenang tersebut untuk menentukan tanggungjawab komponen-komponen penegak hukum tersebut dalam setiap pemeriksaan suatu perkara pidana yang pelakunya anggota militer. Bilamana suatu pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer (tahap penyidikan) dianggap cukup, telah sempurna (ditunjang oleh alat-alat bukti), maka berkas perkara pidana tersebut dan tersangkanya dilimpahkan ke oditur militer, oditur milliter yang berwenang untuk melakukan suatu penuntutan. Pasal 1 butir 7 KUHAP disebutkan, bahwa penuntutan adalah: “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”21 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan: 21
Soenarto Soerodibrato. KUHP Dan KUHAP Di Lengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hogi Raad. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta 1994, hlm. 350
41
1. Oditur
melaksanakan
kekuasaan
pemerintah
negara
penuntutan dan penyidikan dilingkungan Angkatan
dibidang Bersenjata
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 2. Oditur adalah satu dan tidak terpisah pisahkan dalam melakukan penuntutan. Berkas perkara pidana yang telah lengkap tersebut, sekalian dengan alat-alat buktinya, maka Oditur Militer membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada perwira penyerah perkara (PEPERA); pendapat Oditur Militer tersebut dapat berupa: 1. Agar perkara pidana tersebut dilimpahkan ke pengadilan. 2. Diselesaikan hukum disiplin 3. Ditutup demi hukum, kepentingan umum atau kepentingan militer, hal ini tercantum dalam Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer. Menurut Pasal 126 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer, maka PEPERA dapat memutuskan: 1. Berdasarkan pendapat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Perwira Penyerah Perkara mengeluarkan: a. Surat Keputusan Penyerahan Perkara b. Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit c. Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
42
2. Dalam perkara tertentu apabila kepentingan umum atau kepentingan militer menghendakinya, Panglima dapat mempertimbangkan suatu penutupan perkara dengan mengeluarkan surat keputusan penutupan perkara demi kepentingan umum atau kepentingan militer. 3. Sebelum mengambil pendapat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panglima mendengar pendapat dari Oditur Jenderal dan apabila dipandang perlu juga dari pejabat lain. Dalam penjelasan Pasal 126 ayat (1) disebutkan: Huruf a: Surat Keputusan Penyerahan Perkara diserahkan kepada Pengadilan yang berwenang melalui Oditur sebagai dasar pelimpahan dan penuntutan perkara yang bersangkutan di persidangan Pengadilan dan tembusannya diserahkan kepada Tersangka. Huruf b: Surat Keputusan tentang penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit diserahkan kepada atasan yang berhak menghukum menjatuhkan hukuman disiplin prajurit Huruf c: Surat Keputusan Penutupan Perkara diserahkan kepada oditur sebagai dasar penyelesaian perkara yang tembusannya disampaikan kepada atasan yang
Berhak
Hukumnya.
Menghukum,
Penyidik,
Tersangka,
atau
Penasihat
43
Dalam hal Tersangka ditahan, Oditur wajib segera membebaskannya dan apabila terdapat barang bukti, oditur wajib segera mengembalikannya kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak. Dari uraian diatas, maka jelas dan nyata bahwa wewenang penuntutan berada pada Oditur Militer. (Pasal 47 ayat (1, 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997), akan tetapi Oditur Militer tidak dapat secara serta melimpahkan perkara pidana tersebut ke pengadilan militer, kecuali setelah adanya surat keputusan dari PEPERA yang menyatakan pelimpahan perkara pidana ke pengadilan militer. (Pasal 126 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer). Jadi didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer dikenal asas opportunitas, artinya tidak setiap perkara pidana diajukan ke peradilan militer. Dengan perkataan lain adanya pengenyampingan perkara (Pasal 126 ayat (1) huruf b). Surat Keputusan tentang penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit diserahkan kepada atasan yang berhak menghukum menjatuhkan hukuman disiplin prajurit. (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer).
B. Peranan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) Berdasarkan pemaparan pada halaman terdahulu bahwa meskipun wewenang melakukan penuntutan berada pada tangan Oditur Militer, akan
44
tetapi tidaklah berarti dengan telah lengkapnya berkas perkara (adanya alatalat bukti), Oditur Militer langsung menyusun surat dakwaan dan melimpahkan perkara pidana tersebut ke pengadilan militer. Oditur Militer memberikan pendapat hukum tentang perkara pidana tersebut ke PEPERA. Dengan perkataan lain, ini berarti “kewenangan untuk menyerahkan perkara pidana militer ke pengadilan militer tidak pada oditur militer, akan tetapi pada Panglima Angkatan (PEPERA)”22 Pasal 122 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer menyebutkan: 1. Perwira Penyerah Perkara adalah: a. Panglima b. Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara 2. Perwira Penyerah Perkara dapat menunjuk Komandan atau Kepala Satuan Bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Militer untuk bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara Kewenangan Perwira Penyerah Perkara ini diatur dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Juncto Pasal 123 ayat (1, 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Pasal 1 butir 10 tersebut menyebutkan: “perwira penyerah perkara adalah perwira yang oleh atau dasar undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu 22
Moch Faisal Salam. Hukum Acara Peradilan Militer Di Indonesia, Mandar Maju Bandung 1996, hlm. 170
45
perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada dibawah wewenang komandonya, diserahkan kepada atau diselesaikan diluar Pengadilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum” Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan: 1. Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang: a. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan b. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan c. Memerintahkan dilakukannya upaya paksa d. Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 e. Menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara f.
Menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili
g. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit h. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer. 2. Kewenangan penuntupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a. Pasal 126 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan:
46
Perwira Penyerah Perkara dapat memutuskan: 1. Surat keputusan penyerah perkara 2. Surat keputusan tentang penyelesaian menurut hukum disiplin atau 3. Surat keputusan penutupan perkara demi kepentingan hukum, kepentingan umum, kepentingan militer. Kiranya dapat disimpulkan dilimpahkan perkara pidana militer ke Pengadilan Militer tergantung pada PEPERA, hal disandarkan kepada kepentingan umum, kepentingan militer, dititik beratkan pada aspek militernya. Dan yang lebih mengetahui dan memahami, aspek militernya adalah komandannya sendiri, kesatuan komandonya (Unity Of Command). Jadi terlihat dianutnya asas opportunitas, artinya tidak setiap tindak pidana harus diajukan ke pengadilan (militer) Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara pidana di pengadilan baik umum maupun militer. Hakim, Oditur, Pembela/terdakwa semuanya berpijak pada surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan “Litis Contestio”23, artinya surat dakwaan merupakan batas pemeriksaan perkara pidana. Apa yang didasarkan dalam surat dakwaan, hanya itulah yang diperiksa. Oditur militerlah yang harus membuktikan surat dakwaan tersebut. Pembuktian tersebut dilakukan dengan menyampaikan alat-alat bukti, sebagaimana tercantum dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yaitu:
23
Buchari Said H. Hukum Acara Pidana, F. H Unpas 2010, hlm, 44.
47
1. Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Keterangan terdakwa d. Surat dan e. Petunjuk 2. Hal yang secara umum suda diketehui tidak pernah dibuktikan.
C. Pelimpahan Perkara Pidana Ke Pengadilan Militer Bilamana menurut pendapat PEPERA perkara pidana trsebut dilimpahkan ke pengadilan militer (mengeluarkan surat keputusan), maka oditur militer membuat dan menyusun surat dakwaan (acte van verwijzing, letter of accusation). Ini berarti perkara pidana tersebut dilimpahkan ke pengadilan militer untuk dilakukan penuntutan, sesuai surat keputusan PEPERA. Surat dakwaan yang dibuat oleh oditur militer haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat (2) sub a dan b. UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 Pasal 130 ayat (2) sub a undang-undang tersebut memuat: 1. Syarat fomil. Memuat identitas terdakwa secara lengkap, yaitu:
48
Nama lengkap, pangkat, nomor registrasi, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, agama, kewarganegaraannya dan tempat tinggal warga negara. 2. Syarat materil (Pasal 130 ayat (2) sub b memuat: memuat fakta secara cermat, jelas dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Pasal 130 ayat (3) menyebutkan: “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 130 ayat (2) huruf b, batal demi hukum”. Pasal 131 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan: 1. Oditur dapat mengubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pengadilan pada tingkat pertama/Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dimulai dengan tujuan untuk menyempurnakan surat dakwaan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. 2. Salinan perubahan surat dakwaan disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Perwira Penyerah Perkara. Berbicara mengenai
alat-alat
bukti,
berarti
berbicara tentang
pembuktian. Pembuktian adalah upaya Oditur Militer (jaksa) atau pengacara, atau terdakwa untuk meyakinkan hakim bahwa apa-apa yang dikemukakan mereka adalah benar. Oditur Militer menurut pandangannya, bahwa apa-apa yang didakwakannya kepada terdakwa adalah benar tetapi sebaliknya bagi pembela atau terdakwa dakwaan tersebut tidak benar.
49
Berbicara tentang pembuktian, berarti berbicara tentang pokok perkara, berbicara tentang perbuatan apa yang dilakukan oleh terdakwa, kejahatan apa yang dilakukan oleh terdakwa. Kejahatan inilah yang harus dibuktikan oleh Oditur Militer (jaksa), dengan alat-alat bukti yang tersebut dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer. a. Keterangan saksi (Pasal 173 ayat (1)) Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan saksi mengenai apa yang saksi lihat, apa yang saksi dengar dan apa yang saksi alami. Keterangan sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang diberikan di muka
persidangan,
dimuka
hakim.
Sebelum
saksi
memberikan
kesaksiannya maka saksi tersebut harus disumpah saksi tidaklah boleh memberikan pendapat dan kesimpulan. b. Keterangan ahli (Pasal 174) “Keterangan ahli adalah keterangan seorang ahli yang diberikan dimuka persidangan (hakim) sesuai dibidang keahliannya, sesuai dengan disiplin ilmu yang ia kuasai”. Seorang ahli dapat memberikan kesimpulan atau pendapat sesuai dengan bidang keahliannya24. Sebelum seseorang ahli memberikan kesaksian, maka saksi ahli tersebut harus disumpah. c. Keterangan terdakwa (Pasal 175) Keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah keterangan yang diberikan terdakwa dimuka umum persidangan (hakim) tentang perbuatan ia
24
Buchari Said H. Op.cit, FH Unpas 2010. hlm 74.
50
lakukan, yang terdakwa ketahui dan yang terdakwa alami, keterangan terdakwa hanya berlaku bagi terdakwa sendiri (Pasal 175 ayat (3)) d. Surat (Pasal 176) Surat merupakan rangkaian kata-kata atau kalimat yang mempunyai arti atau makna. Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. e. Petunjuk (Pasal 177) Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara satu dan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan sudah terjadi suatu tindak dan siapa pelakunya Disamping Oditur Militer mengajukan alat-alat bukti, maka terdakwa atau pembela terdakwapun berhak untuk mengajukan alat-alat bukti. Bilamana
Oditur
Militer
mengajukan
alat-alat
bukti
untuk
membuktikan dakwaannya atau yang membuktikan terdakwa Setelah pemeriksaan alat-alat bukti dianggap cukup oleh hakim, maka acara berikutnya adalah: 1. Pembacaan surat tuntutan hukum oleh Oditur Militer, yang dikenal dengan nama “requisitoir”. 2. Setelah itu tanggapan dari terdakwa/pembela yang disebut dengan “pledoi” (mata pembelaan). 3. Tanggapan Oditur Militer terhadap pledoi, yang disebut dengan “replik”.
51
4. Tanggapan terdakwa/pembela terhadap replik dinamakan “duplik”. 5. Diakhiri dengan vonis (putusan hakim).
52
BAB IV Peranan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) Dalam Tindak Pidana Disersi
A. Setiap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota Militer Tidak Harus Dilimpahkan Ke Pengadilan Oleh Oditur Militer Dimana ada masyarakat manusia (ibi societas) disitu ada kejahatan (ibi crimen), sebab kejahatan adalah gejala masyarakat, dan terdapat dimana ada masyarakat manusia. Kejahatan adalah patologi sosial, penyakit masyarakat, kendati kejahatan dibenci oleh masyarakat, tokoh anggota masyarakat yang perlakuannya menyimpang melakukan suatu kejahatan. Kejahatan merupakan “rechts delict”, artinya: suatu perbuatan merupakan rechts delict (delik hukum), apabila perbuatan merupakan itu bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas dari hal apakah asas-asas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang.25 Bilamana dilihat sistematika KUHPM, yang terdiri 2 (dua) buku, yaitu: Buku I Ketentuan umum, Pendahuluan Penerapan, Hukum Pidana Umum, dimulai dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 63. Buku II Tentang Kejahatn, dimulai dari Pasal 64 sampai dengan Pasal 150. Dari sistematka KUHPM tersebut, terlihatlah bahwa ketentuanketentuan dalam Buku II merupakan suatu kejahatan. Kejahatan merupakan
25
E. Utrcht. Op.cit. 1960, hlm. 86.
53
suatu perbuatan tercela, perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan, suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam sanubari masyarkat
dan
pada
tempatnya
perbuatan
tersebut
dimintakan
pertanggungjawaban kepada sipelaku, sipelanggar. Kejahatan Militer adalah kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer dan orang-orang yang dipersamakan dengan anggota militer (Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 KUHPM). Menurut ketentuan hukum, maka bilamana anggota militer tersebut terbukti melakukan kejahatan yang tercantum dalam buku II KUHPM, maka sipelakunya harus dituntut di depan Pengadilan Militer, sesuai dengan asas legelitas. Akan tetapi didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer yang berfungsi mempertahankan eksistensi KUHPM, disamping mengakomodir asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, antara lain: asas presumption of innocence asas kelangsungan, asas sidang terbuka untuk umum, maka Hukum Acara Peradilan Militer, mempunyai asas-asas khusus, seperti asas unity of command (kesatuan komando), asas komando bertanggung dan asas kepentingan militer. Dalam hal terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer, maka bilamana pemeriksaan perkara pidanannya (kejahatannya) telah diperiksa, telah dianggap cukup pemeriksaan tersebut (telah terpenuhinya alatalat bukti, bukti-bukti sudah lengkap), maka Oditur Militer yang mempunyai kewenangan untuk menuntut
tidak dapat secara langsung melimpahkan
perkara pidana itu ke pengadilan militer sesuai dengan prosedur yang telah
54
digariskan, maka Oditur Militer terlebih diatur dalam memberikan pendapat hukum kepada PEPERA, apakah perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Militer, diselesaikan dengan hukum disiplin militer, atau dituntut demi kepentingan. Dengan demikian terlihat betapa besar peranan PEPERA dalam hal dituntut
atau tidaknya suatu perkara pidana yang dilakukan anggota
militer ke Pengadilan Militer. Hal ini sesuai dengan asas khusus yang merupakan roh, fundamen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yakni komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggungjawab terhadap kesatuan dan anak buahnya. Seorang komandan berfungsi sebagai pimpinan guna, bapak da pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggungjawab terhadap kesatuan dan anak buahnya. Seorang komandan berfungsi harus bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Disamping itu kepentingan militer lebih diutamakan dari pada kepentingan golongan dan perorangan. Dapatlah disimpulkan tidak setiap tindak pidana militer diajukan ke Pengadilan Militer, semuanya tergantung pada PEPERA.
B. Sikap-sikap Yang Dapat Dilakukan Oleh Perwira Penyerah Perkara Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Walaupun Bukti-bukti Sudah Cukup Indonesia
sebagai suatu negara hukum, berarti siapapun yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum, harus dimintakan
55
pertanggungjawaban hukum. Dengan perkataan lain hukum harus ditegakkan, bilamana terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan (law inforcement) Berkenaan dengan penegakan hukum ini, Sudarto mengatakan: “perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan, yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguhsungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie) dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegak hukum”.26 Soerjono Soekanto mengatakan, bahwa “secara konsepsional maka inti dan arti penegak hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilainilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah
yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.27 Hukum bukan hanya urusan undang-undang, akan tetapi menyangkut pula perilaku. Berhubung dengan hal itu maka Anthon F. Susanto mengatakan: “tampaknya pemahaman aparatur penegak hukum masih kurang dalam persoalan etika penegak hukum; harus disadari bahwa penegakan hukum adalah layanan publik yang dibuat oleh hukum, kekuasaan dan wewenang yang diperlukan untuk pelaksanaan tanggungjawab penegakan 26
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung 1986, hlm 111. Soerjono Soekanto. Penegak Hukum, BPHN Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1983. hlm 10. 27
56
hukum yang efektif adalah adanya jaminan praktek penegakan hukum yang sah dan tidak sewenang-wenang”.28 1. Teori-Teori Penegak Hukum. Telah disinggung diatas bahwa penegakan hukum erat kaitannya dengan perilaku khususnya perilaku dari aparat penegak hukum itu sendiri (polisi, jaksa, hakim, permasyarakatan dan termauk pua advokat). Untuk itu dikemukakan beberapa teori tentang penegakan hukum.29 a. Teori Kesadaran Hukum Tidak ada hukum yang mengikat anggota masyarakat, kecuali atas dasar kesadaran hukumnya dan inilah yang merupakan dasar sahnya suatu hukum (ajaran kesadaran hukum). Hukum itu mengikat tergantung pada keyakinan seseorang (rechtsbewustzijn) “Kesadaran
hukum sebenarnya diartikan sebagai suatu
penilaian terhadap hukum yang ada atau hukum yang diharapkan”. Ojte Salman mengemukakan ada yang disebut dengan “kesadaran hukum” dan ada yang disebut dengan “perasaan hukum”. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan”. Sedangkan kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut”. Dari titik tolak pandangannya diatas, maka beliau menandaskan bahwa kesadaran hukum itu sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai 28
Anthon F. Susanto, Membangun Sistem Peradilan, Legalitas Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1 Bandung, 2002, hlm. 27. 29 R. Otje Salman. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni Bandung, 1989. hlm. 50.
57
yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada”.30 Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori tentang kesadaran hukum, yang seharusnya merupakan penerapan teori-teori yang awal mulanya ditampilkan oleh Sadam Podgorecky. Pokokpokok dari teori yang dikemukakan oleh Berl Kutchinky itu adalah: “kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Pokok-pokok teori tentang kesadaran hukum Berl Kutchinky itu dipengaruhi oleh empat faktor”31 1. Pengetahuan tentang hukum yang berlaku. Pengetahuan tentang hukum yang berlaku, tidak mempengaruhi secara positif maupun negatif pada kepatuhan warga masyarakat. 2. Pengetahuan tentang isi hukum. Pengetahuan tentang isi hukum. Sukar sekali secara pasti untuk menetapkan derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum (yang berlaku) itu; karena teladan dari pejabat hukum dan mekanisme pengawasan pun turut menentukan pula. 3. Sikap hukum. Sikap hukum ditentukan oleh: a) Derajat pengetahuan dan pemahaman terhadap isi hukum
30 31
R. Otje Salman, Op.Cit. 51. R. Otje Salman. Sosiologi Suatu Pengantar, Armico Bandung 1992. hlm. 42-43.
58
b) Sikap instrumental timbul karena adanya pengetahuan tentang isi peraturan dan menonjolnya kepentingan pribadi. Sikap fundamental ditentukan dengan adanya pemahaman atau pengertian tentang isi peraturan tersebut. c) Proses pelembagaan dan internalisasi d) Kepatuhan disebabkan karena sikap fundamental (misalnya; tingkat umur, tingkat pendirian, lama tinggal) 4. Pola perilaku hukum. Pola perilaku hukum, sangat mempengaruhi derajat kepatuhan hukum. Kesadaran hukum ini sangatlah erat kaitannya dan mempengaruhi bagaimana implementasi asas persamaan kedudukan di dalam hukum tanpa membedakan seseorang dihubungkan dengan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana b. Teori Wibawa Hukum32 Wibawa mengandung makna: “mempengaruhi atau menguasai orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik”. Secara harfiah maka wibawa hukum adalah hukum yang dapat mempengaruhi atau menguasai siapapun juga, sehingga orang bersikap dan berprilaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum. Dengan
32
Ibid, hlm. 49.
59
kalimat negative dapat dikayakan: hukum yang tidak berwibawa atau “menurunnya wibawa hukum, mengakibatkan anggota masyarakat pudar dan sirna kepercayaannya terhadap hukum”. Sehubungan dengan hak itu, maka O. Notohamidjojo mengatakan bahwa wibawa hukum itu melemah, karena: 1. Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari normanorma sosial bukan hukum, sebab melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi. 2. Norma-norma hukum tidak atau belum sesuai dengan normanorma sosial yang bukan hukum, misalnya: karena hukum dibentuk terlalu progresif, sehingga dirasakan sebagai normanorma asing bagi rakyat. Rakyat tidak merasa terikat, maka rakyat tidak menaatinya. 3. Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya. 4. Pejabat-pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara. 5. Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksud-maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah
yang
seharusnya
mendukung
hukum
kewajibannya, malah menghianati hukum yang berlaku.
sebagai
60
c. Teori Efektifitas Hukum.33 Efektifitas mengandung arti ada akibatnya, ada pengaruhnya atau manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna. Efektifitas hukum berarti hukum yang dioprasionalkan itu ada pengaruhnya, ada hasilnya, mujarab bagi masyarakat. dalam kaitan ini maka efektifitas hukum yang menurut Barda Nawawi Arief adalah: “seberapa jauh perangkat hukum yang ada selama ini cukup efektifitas / berpengaruh / berhasil guna / manjur untuk menanggulangi atau memberantas tindak pidana....”. Lawrence M. Friedman menampilkan suatu teori mengenai efektifitas hukum. Syarat efektifitasnya hukum adalah:34. 1. Cara-cara sehingga
introduksi,
yakni:
cara-cara
masyarakat
mengetahui,
memperkenalkannya,
mengerti,
menghormati,
mentaati secara ikhlas. 2. Saksi, yaitu: saksi yang akan melahirkan derajat kepatuhan masyarakat. 3. Pelaksanaannya, yaitu: pelaksanaannya yang akan menimbulkan kepastian hukum, sehingga akhirnya akan tercapai keserasian antara ketertina dengan ketentraman (keadilan). d. Teori Sistem Peradilan Pidana35 Romli Atmasasmita mengemukakan teori sistem peradilan pidana sebagai berikut: 33
Barda Nawawi Arief, Kapita Salekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hlm. 85 34 Otje Salman. Op.cit, hlm. 46. 35 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana (Crime Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisinisme, Bina Cipta 19, hlm. 9,10.
61
“Penegakan hukum yanng baik apabila sistem peradilan pidana bekerja
secara
objek
dan
tidak
bersifat
memihak
serta
memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan criminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum”. Menurut beliau: “Suatu
pendekatan
sistem
adalah
pendekatan
yang
mempergunakan segenap unsur yang terlihat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi) dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam proses penegakan hukum, unsur-unsur tersebut meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan”. Ciri pendekatan “sistem” dalam peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita, sebagai berikut: 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan). 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana. 3. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
62
4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan “the administration of justice”. Melihat apa yang dikemukakan tersebut di atas, maka bilamana anggota militer melakukan tindak pidana, melakukan perbuatan melawan hukum sipelakunya harus diajukan kepersidangan pengadilan militer, untuk dimintakan pertanggungjawaba hukumnya. Namun mengingat hukum pidana militer baik dalam arti material maupun dalam arti formil, termasuk hukum pidana khusus, dan mempunyai asas-asas yang berbeda dengan asas-asas dalam hukum pidana umum, maka tidak selalu dan mesti suatu perkara pidana yang dilakukan anggota militer diajukan dan dilimpahkan ke pengadilan militer untuk dilakukan penuntutan oleh Oditur Militer. Adanya asas unity of command, komandan yang bertanggungjawab command responsiolity, dan untuk kepentingan militer, maka yang menentukan dilakukannya penuntutan perkara pidana atau tidak dilakukannya penentutan perkara pidana berada pada PEPERA. kehidupan militer berbeda dengan kehidupan masyarakat sipil. PEPERA dapat mengambil sikap-sikap, sebagaimana tersebut dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer, yakni: a. Surat keputusan penyerahan perkara. Ini berarti perkara pidana tersebut dilakukan pencatutanya oleh Oditur Militer dengan melimpahkan berkas perkaranya berserta dengan surat dakwaan.
63
b. Surat keputusan penyelesaian menurut hukum disiplin militer, yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). Pasal 3 menyebutkan:36 Hukuman-hukuman disiplin militer untuk perwira adalah: ke-1
teguran.
ke-2
penahanan ringan maksimum 14 hari.
ke -3
penahanan sedang maksimum 14 hari.
Pasal 4 menyebutkan: 1. Hukuman-hukuman disiplin militer untuk bintara adalah A. Hukuman Pokok ke-1 teguran. ke-2 penahanan ringan maksimum 14 hari. ke-3 penahanan sedang maksimum 14 hari. ke-4 penahanan berat maksimum 14 hari. ke-5 penurunan pangkat. B. Hukuman Tambahan ke-1
pengurangan gaji.
ke-2
untuk bintara yang berpangkat di bawah sersan, pengurangan makan.
36
Buchari Said H. Sekilas Pandang Tentang Hukum Pidana Militer, FH. Unpas 2008, hlm 56,57,58.
64
2. Hukuman pokok tersebut nomor ke-3, demikian juga hukuman tambahan tersebut nomor ke-1, tidak boleh dijatuhkan kepada bintara yang berpangkat pembantu letnan. 3. Penahanan berarti tidak boleh dijatuhkan kepada kepada orang yang belum dewasa, yang belum mencapai umur delapan belas tahun. c. Surat keputusan penutupan perkara demi kepentingan hukum. Artinya demi kepentingan militer, demi kepentingan umum.
65
BAB V PENUTUP
Bab
terakhir ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban
terhadap indentifikasi masalah dan diakhiri dengan saran. Adapun kesimpulan dan saran tersebut sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Tindak setiap tindakan pidana yang dilakukan oleh anggota militer dilakukan pelimpahan perkara pidanannya oleh Oditur Militer ke Pengadilan Militer hal mana sesuai dengan asas-asas khusus dalam hukum acara peradilan militer (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997), yakni: asas unity of command, command responsibility dan untuk kepentingan militer, kepentingan umum. 2. Sikap-sikap yang dapat dilakukan oleh perwira penyerah perkara (PEPERA) terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana walaupun bukti-bukti sudah cukup adalah mengeluarkan: a. Surat keputusan penyerahan perkara. b. Surat keputusan tentang penyelesaian menurut hukum disiplin militer. 3. penutupan perkara demi kepentingan hukum. B. Saran 1. Agar jangan terjadinya diskriminasi dalam hal terjadinya tindak pidana dilingkungan anggota militer, harus adanya barometer yang jelas mengenai penerapan asas-asas tersebut.
66
2. Andaikan bukti-bukti menurut telah cukup dan lengkap, pelimpahan suatu perkara pidana diajukan ke pengadilan militer, demi terjaganya supermasi hukum terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana (militer).
67
DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. Mulya Sumaperwata. Hukum Acara Peradilan Militer. Pasundan Law Faculty. Alumnus PRESS Bandung. 2007. Anthon F. Susanto, Membangun Sistem Peradilan, Legalitas Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1 Bandung, 2002. Barda Nawawi Arief, Kapita Salekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung 2003. Buchari. Said. H. Sekilas Pandangan Tentang Hukum Pidana Militer. FH. Unpas. Bandung 2010. -----------------. Hukum Acara Pidana. FH. Unpas. Bandung. 2010. -----------------. Hukum Acara Pidana Militer. FH. Unpas. Bandung. 2010. D. Schaffmeister dkk. Hukum Pidana. Penerbit Liberty. Yogyakarta 1995. E. Utrecht. Hukum Pidana I. Penerbit Universitas 1960. Moch. Faisal Salam. Hukum Pidana Militer di Indonesia. CV. Manda Maju. Bandung 2006. -------------------------. Hukum Acara Peradilan Militer Di Indonesia. Mandar Maju Bandung 1996. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Penerbit Bineka Cipta 2000 Muladi dan Barda Nawawi. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana. Penerbit Alumni, Bandung, 1984. P. A. F. Lamintang Dan C. Djisman Somasir. Hukum Pidana Indonesia. Penerbit Sinar Baru. Bandung 1984.
68
R. Otje Salman. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni Bandung, 1989. -------------------. Sosiologi Suatu Pengantar. Armico Bandung 1992. Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana (Crime Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisinisme. Bina Cipta 19. Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimeter. Ghalia Indonesia. Jakarta 1990. R. Tresna. Asas-asas Hukum Pidana. PT. Tiara Bandung, 1959. Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press Jakarta 2001. -----------------------. Penegak Hukum. BPHN Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1983. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung 1986.
B. Sumber Lain Amandemen UUD 1945 Perubahan ke I sampai ke IV, Dalam satu naskah, Media Pressindo Yogyakarta, 2004. Memahami undang-undang menumbuhkan kesadaran UUD 1945 Visi Media 2007. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta 1994.