BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Zakat merupakan salah satu kewajiban pokok yang harus ditunaikan setiap orang Islam, disamping kewajiban pokok lainnya, seperti shalat dan puasa. Zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam Hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap ma`lum min addien bi adl-dlaurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang1. Satu hal yang membedakan zakat dengan amalan lainnya adalah bahwa kewajiban zakat selain memiliki dimensi ibadah, yaitu untuk mensucikan jiwa dan harta, juga memiliki dimensi sosial, yaitu untuk pemerataan kesejahteraan. Berdasarkan hal tersebut, zakat tidak hanya berdimensi hablum minallah, tetapi juga hablum minannas.
Seorang muslim yang
mengeluarkan zakat, maka disamping akan mensucikan jiwa dan harta bagi orang yang menunaikannya, juga akan menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat karena dengan pembayaran zakat, harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga akan mengalir kepada orang-orang tidak berpunya. “Through Zakah, every individual in the society is assured of minimum means of livelihood, which provides social security system in an Islamic society”2. Potensi zakat di Indonesia cukup besar. Menurut Eri Sudewo, dari penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta orang, 80 % nya adalah muslim, sehingga jumlah penduduk muslim di Indonesia kurang lebih 180 juta jiwa. Jika diasumsikan separuh muslim miskin, berarti ada 90 juta yang kaya. Dari hal tersebut, BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) mencatat potensi zakat di Indonesia mencapai 13 triliun per tahun, sedangkan PIRAC memperkirakan potensi zakat di Indonesia Rp 16 triliun per tahun, sedangkan UIN Syarif Hidayatullah mensurvei zakat bisa terhimpun Rp 19 triliun per tahun3. Potensi zakat masyarakat muslim Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori. 1
Ali Yafie, 1994, Menggagas Fikih Sosial, Mizan, Bandung, hlm. 24
2
Ahmad Bello Dogarawa, “Poverty Alleviaton through Zakah and Waqf Institutions: A Case for the Muslim Ummah in Ghana”, www.ssrn.com diakses tanggal 24 Januari 2012
3
Erie Sudewo, 2008, Politik ZISWAF, UI Press, Jakarta, hlm. 107, 155
Pertama, potensi terendah. Kelompok ini berzakat Rp 50 ribu/bulan. Jika muzakki cuma 10 %, maka akan terhimpun zakat sebesar Rp 90 miliar/bulan atau hampir Rp 1,1 triliun/tahun. Jika ada 18 juta muslim yang menunaikan zakatnya, akan terhimpun Rp 900 miliar/bulan atau setara dengan Rp 10,8 triliun. Kedua, potensi progresif. Kelompok ini menunaikan zakat senilai Rp 100 ribu/bulan. Dengan 10 % dari total 18 juta KK, terhimpun zakat Rp 180 miliar/bulan atau 2,16 triliun/tahun. Dengan 18 juta muzakki akan terkumpul Rp 1,8 triliun/bulan atau 21,6 triliun/tahun. Ketiga, potensi Ideal, yaitu jika masing-masing orang dari kelompok ini mengeluarkan zakat Rp 150 ribu/bulan. Himpunan terkecil yang 10 % zakatnya di kisaran Rp 270 miliar/bulan. Jika 18 juta mau bayar zakat semua, diperoleh angka Rp 32,4 triliun per tahun4.
Besarnya potensi zakat yang dapat digali untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mendorong Pemerintah melakukan berbagai upaya guna mengoptimalkan pengumpulan maupun pendayagunaannya.
Upaya-upaya yang dilakukan tersebut
merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam pengelolaan zakat, karena pada dasarnya pemerintah mempunyai kewenangan yang demikian. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103, yang artinya “Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. Kata “pungutlah” dalam ayat tersebut adalah kata perintah sehingga dapat dipahami bahwa zakat adalah kewajiban yang mengikat yang dalam pelaksanaannya dapat digunakan upaya paksa oleh institusi yang berwenang. Monzer Kahf menyatakan “The role of the government in regards to the collection and distribution of zakah is essential. The Qur’anic verse 9: 103 is addressed to the Prophet,pbuh, as a head of the state, it ordained him “take sadaqah out of their property”. The verse 9: 60 that sets the categories of the recipients of zakah distribution, mentions the workers on its collection and disbursement is one of the categories of recipients. This clearly indicates that zakah is not to be handled by the payers individually but by a government agency which hires its own employees5.
4 5
Ibid. Monzer.Kahf.com. diakses tanggal 24 Januari 2012
Pernyataan Monzer Kahf di atas menegaskan betapa pentingnya peran pemerintah dalam pengelolaan zakat. Pembayaran dan pen-tasarufan zakat bukanlah dilaksanakan oleh pembayar zakat secara pribadi, melainkan menjadi kewenangan pemerintah. Pelaksanaan zakat ini harus diawasi oleh penguasa, dilakukan oleh petugas yang rapi dan teratur, dipungut dari orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima (mustahiq)6. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat At-Taubah (9): 103 dan Surat At-Taubah (9): 60. Pentingnya peran pemerintah dalam urusan zakat juga dinyatakan dalam hadits sahih Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa Nabi SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bersabda, yang artinya “Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah SWT telah mewajibkan dari sebagian harta-harta mereka untuk disedekahkan (dizakatkan), diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila mereka mentaatimu dalam hal ini, maka peliharalah akan kedermawanan harta mereka, dan takutlah akan doa orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan Allah SWT”. Hadits di atas menunjukkan bahwa urusan zakat itu diambil oleh petugas untuk dibagikan, tidak dikerjakan sendiri oleh orang yang mengeluarkan zakat7. Syekh Islam Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits tersebut bisa dijadikan dasar bahwa penguasa adalah pihak yang memiliki tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik ia sendiri secara langsung ataupun melalui wakilnya. Oleh karena itu barangsiapa di antara mereka menolak mengeluarkan zakat, hendaknya zakat diambil dari orang tersebut dengan cara paksa8. A.M. Saefuddin dalam Studi Nilai-Nilai Ekonomi Islam sebagaimana dikutip M. Fuad Nasar menyatakan bahwa pelaksanaan zakat dan pelarangan riba memerlukan aspek
6
Yusuf Qardhawi, 2011, Fiqhuz-Zakat (Hukum Zakat), terj. Salman Harun, Didin Hafidhuddin, dan Hasanuddin, Pustaka Litera AntarNusa, Bogor, hlm. 733 7 Ibid., hlm. 735 8 Ibid.
legal dari negara. Peran pemerintah diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-nilai sistem ekonomi Islam (dimana termasuk zakat salah satunya) dalam aspek legal, perencanaan maupun pengawasannya9. Hal senada disampaikan Ali Yafie yang menyatakan bahwa walaupun prinsip-prinsip zakat termaktub di dalam Al-Qur’an, tapi implementasinya di suatu negara perlu diatur dalam undang-undang sehingga pelaksanaan zakat bisa lebih transparan dan profesional. Zakat adalah sebuah kewajiban yang pasti (qathâ’i) yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada kaum muslimin, namun dalam pelaksanaannnya zakat bukanlah kewajiban individu yang bergantung semata kepada hati nurani masing-masing. Zakat adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan di bawah pengawasan pemerintah10 .
Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan zakat
sesungguhnya bergantung pada dua faktor. Pertama, faktor ekstern, yaitu pengawasan pemerintah (dan juga masyarakat Islam). Kedua, faktor intern, yaitu dorongan hati nurani setiap muslim yang bersumber dari keimanan mereka terhadap Islam11 . Pengelolaan zakat oleh negara melalui lembaga pengelola zakat yang diberi otoritas untuk urusan tersebut, akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain : Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat; Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki; Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat; Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami12.
Zakat yang diserahkan langsung dari muzakki kepada
mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan 9
M. Fuad Nasar, Melihat Regulasi Dari Semua Sisi, www.baznas.com, diakses tanggal 23 Desember 2011 10 Yusuf Qardhawi, 1995, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Musykilah al-Faqr wa Kayfa ˜Alajaha al-Islam), Terjemahan Syafril Halim, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 113 11 Ibid., hlm. 114 12 Yusuf Qardhawi,op.cit., hlm. 742-743, Didin Hafidhuddin, 2004, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 126
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan13. Campur tangan pemerintah dalam pengelolaan zakat salah satunya dilakukan melalui legislasi zakat, yaitu menjadikan hukum zakat sebagai hukum negara, dalam arti bahwa hukum zakat diangkat dan dikuatkan menjadi hukum negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Legislasi zakat dimaksud adalah dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagaimana telah diganti dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam perundang-undangan tersebut sebagian besar mengatur mengenai pengelolaan zakat, mulai dari pengumpulan, sampai pada pendistribusian dan pendayagunaannya. Adanya perundang-undangan zakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat dari pada keadaan sebelumnya, sehingga tujuan dari pengelolaan zakat sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut yaitua. meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dan pengelolaan zakat, dan b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan,14 dapat tercapai.
Hal ini
dikarenakan regulasi pengelolaan zakat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesatuan sistem (unified system) dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan
dan
pertanggung-jawaban
atas
pengumpulan,
pendistribusian
dan
pendayagunaan zakat. Keberadaan hukum positif dan sistem perundang-undangan yang mengatur tata kelola zakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, memiliki dasar pijakan yang kokoh, baik secara ideologis, konstitusional, filosofis, yuridis, maupun sosio politik. AdanyaUndang-undang Pengelolaan Zakat memberikan 13 14
Didin Hafidhuddin, op.cit., hlm. 126 Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
suatu bukti bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler, walaupun juga bukan negara agama. Undang-undang Pengelolaan Zakat bukan untuk kepentingan organisasi pengelola zakat saja, tetapi untuk semua warga negara Indonesia yang beragama Islam, baik selaku pembayar zakat (muzakki) maupun penerima zakat (mustahik)15. Diberlakukannya perundang-undangan tentang pengelolaan zakat menjadikan persoalan zakat yang semula merupakan ketentuan syariat Islam yang berlaku secara normatif, artinya berlakunya atau dijalankannya tergantung pada kesadaran atau kuat lemahnya iman seorang muslim, pada akhirnya berlaku secara formal yuridis. Ketentuan zakat yang semula bersifat normatif pada saat sekarang telah menjadi hukum positif. Dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan agar pengelolaan zakat di Indonesia lebih optimal dari pada keadaan sebelumnya.
Peraturan hukum dalam
konteks ini digunakan sebagai sarana untuk mendorong atau merubah perilaku masyarakat ke arah yang dikehendaki (social engineering)16, yang dalam hal ini salah satunya adalah mendorong perilaku anggota masyarakat untuk membayar zakat sesuai yang digariskan undang-undang.
Persoalannya di sini adalah apakah aturan hukum
tersebut menimbulkan akibat/efek sebagaimana yang dikehendaki oleh aturan hukum tersebut atau justru yang ditimbulkan adalah efek yang berbeda atau justru tidak menimbulkan efek sama sekali ? Ada beberapa faktor dalam persoalan ini yang ikut mempengaruhinya, baik faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum itu sendiri maupun faktor-faktor di luar sistem hukum. Fakta yang ada menunjukkan bahwa pengeluaran zakat per kapita dari umat Islam di Indonesia pada tahun 2003 masih relatif rendah jika dibandingkan dengan hal serupa di negara tetangga. Data menunjukkan bahwa dari jumlah umat Islam di Indonesia yang 15 16
M.Fuad Nasar, op.cit., hlm.1. Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, hlm. 107, Soerjono Soekanto, 1986, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 47
diperkirakan sebanyak 191 juta jiwa saat itu, baru terkumpul zakat sebesar Rp 230 miliar atau sekitar 3,3 persen dari kaum muslimin yang telah wajib zakat di Indonesia17. Hal ini berarti rata-rata pengeluaran zakat per kapita adalah Rp 1.136 per tahun. Jumlah ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pengumpulan zakat di Singapura dan Malaysia. Singapura, dengan jumlah muslim 15 % (450.000 jiwa), perolehan zakatnya Rp 71,5 miliar atau rata-rata pengeluaran zakat per kapita Rp 159.000 per tahun. Malaysia (Negara Bagian Kuala Lumpur), dengan jumlah muslim 50 % (650.000 jiwa), perolehan zakat Rp 105,6 miliar atau rata-rata pengeluaran zakat per kapita Rp 162.000 per tahun. Pengumpulan zakat pada beberapa tahun berikutnya juga tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hasil riset Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bersama dengan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB Tahun 2011 tentang “Optimalisasi Potensi Zakat Nasional” menunjukkan bahwa potensi zakat secara nasional per tahun dapat mencapai angka 217 triliun rupiah atau setara dengan 3,40 persen dari total PDB (Produk Domestik Bruto) Nasional18, namun dalam realisasinya, dana zakat yang terkumpul secara nasional dapat dikatakan masih sangat kecil dari besarnya potensi yang ada, terhitung pada tahun 2010 dana zakat yang terkumpul melalui BAZNAS hanya mencapai besaran 1,5 triliun rupiah. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2013 sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Prof.Dr. Didin Hafidhuddin, MSc. Menurut beliau, potensi zakat secara nasional sebesar
17 18
Harian Republika, 2 Juni 2003 Hasil riset BAZNAS dan FEM IPB tentang “Optimalisasi Potensi Zakat Nasional” ini disampaikan dalam International Zakat Conference “Sustainable Zakat Development in The Poverty Alleviation and Improvement of Welfare of the Ummah” di Bogor, 19-21 Juli 2011. BAZNAS dan FEM IPB mengklasifikasikan potensi zakat nasional dalam tiga kelompok besar sumber pemasukan zakat dengan perincian sebagai berikut: (1) zakat rumah tangga (82,7 triliun rupiah); (2) zakat industri swasta (114,89 triliun rupiah) dan BUMN (2,4 triliun rupiah), termasuk di dalamnya adalah zakat hasil industri dan perdagangan di luar zakat karyawan dan direksi; dan (3) zakat tabungan (17 triliun rupiah), termasuk di dalamnya investasi berbentuk deposito, maupun emas dan perak. Lihat lebih lengkap dalam http://www.baznas.or.id
Rp 213 triliun setiap tahunnya, namun sekarang baru terealisasi sekitar Rp 2,3 triliun atau 0,8 %. Potensi zakat di DIY sendiri dalam satu tahun sekitar Rp 5 miliar, namun menurut Kakanwil Kemenag DIY, Drs. H. Maskul Haji, MpdI, saat ini baru terealisasi sekitar Rp 400 juta.19 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan Zakat Dalam Pengelolaan dan Pembayaran Zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Prinsip-prinsip apakah yang ada dalam peraturan zakat di Indonesia ? 2. Bagaimanakah kepatuhan terhadap peraturan zakat dalam pengelolaan dan pembayaran zakatdi Daerah Istimewa Yogyakarta ? 3. Upaya apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan zakat tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis prinsip-prinsip yang ada dalam peraturan zakat di Indonesia. 2. Untuk menganalisis kepatuhan terhadap peraturan zakat dalam pengelolaan dan pembayaran zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
19
Harian Kedaulatan Rakyat, 4 April 2013, hlm. 5
3. Untuk merumuskan upaya yang perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan zakat.
D. Keaslian Penelitian Penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan browsing di internet menemukan beberapa tulisan yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis akan memaparkan beberapa hasil penelitian sebelumnya dan perbedaannya dengan penelitian yang penulis lakukan, sebagai berikut: Penelitian Terdahulu
20
No.
Judul Penelitian
1.
Kajian Terhadap Pelaksanaan Zakat Profesi Pada Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta20
Substansi Penelitian
Penelitian Sekarang
Ada dua rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu a. Bagaimana pelaksanaan zakat profesi di Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? b. Bagaimana penentuan kadar, nisab, dan haul zakat profesi di Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya diperoleh kesimpulan, Pertama, Pelaksanaan zakat profesi yang telah dilakukan di Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dengan cara pemotongan gaji yang dilakukan oleh bendahara pada instansiinstansi yang ada dalam
Penelitian sebelumnya berfokus pada satu jenis zakat tertentu, yaitu zakat profesi dan implementasi zakat tersebut di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan penelitian penulis walaupun juga mengambil lokasi di Yogyakarta namun cakupannya lebih luas karena tidak membatasi pada jenis zakat tertentu. Di samping itu, substansi penelitian penulis juga berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penulis lebih memfokuskan pada efektivitas legislasi zakat.
Nurul Qomariyah, 2010, “Kajian Terhadap Pelaksanaan Zakat Profesi Pada Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
tingkat I Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara langsung pada setiap bulannya, tetapi dalam kenyataannya pelaksanaan zakat profesi itu sendiri belum berjalan dengan baik, dikarenakan kurangnya sosialisasi. Kedua, penetapan kadar zakat profesi di Badan Amil Zakat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 2,5 % diqiyaskan pada zakat emas atau uang. Sedangkan nisab dan haul diqiyaskan pada zakat pertanian, nisabnya sebesar 653 kg, karena di qiyaskan pada zakat pertanian maka tidak mengenal adanya haul. 2.
21
Potensi Zakat Sebagai Pilar Perekonomian Umat Pasca Berlakunya UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Studi Pengelolaan Zakat di Kabupaten Kendal)21
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana penggalian potensi zakat oleh badan/lembaga pengelola zakat di Kabupaten Kendal, b. Faktor-faktor apa saja yang menunjang maupun menghambat, dan bagaimana potensi zakat sebagai pilar perekonomian umat di Kabupaten Kendal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Penggalian potensi zakat di Kabupaten Kendal dilakukan antara lain dengan penciptaan konsep dan penerapan strategi pengelolaan zakat progresif, yaitu suatu konsep dan strategi pengelolaan zakat yang lebih menekankan pada peningkaatan jumlah muzakki sekaligus jumlah
Substansi penelitian tersebut menyangkut mekanisme penggalian potensi zakat di suatu wilayah tertentu, yaitu Kabupaten Kendal, serta faktor pendorong maupun faktor penghambat upaya penggalian tersebut. Adapun penelitian penulis menyangkut efektifitas legislasi zakat dalam pengelolaan zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ja’far Baehaqi, 2005, “Potensi Zakat Sebagai Pilar Perekonomian Umat Pasca Berlakunyaa UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Studi Pengelolaan Zakat di Kabupaten Kendal)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang
dana yang terkumpul daripada mengedepankan pemenuhan keabsahan secara yuridis normatif; b. Beberapa faktor yang menunjang penggalian zakat di Kabupaten adalah pengelola zakat, penguasa, dan wajib zakat. Adapun faktor yang menghambat meliputi pengelola, penguasa, wajib zakat, tokoh masyarakat/kyai, dan kelembagaan serta operasional organisasi pengelola zakat. 3.
22
Kontekstualisasi Total Quality Management Dalam Lembaga Pengelola Zakat Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)22
Ada tiga pokok masalah yang diteliti dalam disertasi ini, yaitu: a. Bagaimana implementasi TQM (Total Quality Management) pada lembaga pengelola zakat ? b. Apakah persamaan dan perbedaan TQM Lembaga Pengelola Zakat dengan TQM pada lembaga profit ? c. Bagaimana kinerja Lembaga Pengelola Zakat dalam Permberdayaan Ekonomi Masyarakat ? Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa a. Lembaga pengelola zakat telah menerapkan manajemen mutu (TQM) dalam operasionalnya sebagai upaya memberdayakan ekonomi masyarakat, b. Perbedaan TQM Lembaga Pengelola Zakat dengan TQM pada lembaga profit adalah bahwa TQM lembaga pengelola zakat tidak berorientasi pada peningkatan daya saing semata melainkan
Penelitian tersebut lebih menekankan tentang pengelolaan zakat dikaji dari ilmu manajemen, yaitu aspek manajemen mutu (ISO), sedangkan penelitian penulis lebih menekankan pada kajian yuridis mengenai efektifitas legislasi zakat dalam pembayaran maupun pengelolaan zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
N. Oneng Nurul Bariyah, 2010, “Kontekstualisasi Total Quality Management Dalam Lembaga Pengelola Zakat Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)”,Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
memberikan manfaat terbaik bagi kemaslahatan ummat di atas kepentingan lembaga, sedangkan TQM pada lembaga profit lebih ditujukan untuk memberikan kepuasan konsumen yang berimplikasi pada perfomance perusahaan semata; c.Lembaga pengelola zakat telah melakukan program pemberdayaan ekonomi mayarakat melalui berbagai program yang dijalankan. 4.
23
Zakat Profesi dan Implementasinya Bagi Pegawai Negeri Sipil di Tulungagung Jawa Timur23
Ada dua masalah pokok yang dikaji dalam disertasi ini, yaitu: a. bagaimana implementasi zakat profesi Pegawai Negeri Sipil di Tulungagung ? b. Apakah implementasi zakat profesi pegawai negeri sipil tersebut ditentukan oleh paham tentang kewajiban zakat, Surat Keputusan Bupati dan interpretasi para ulama tentang zakat profesi ? Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa: a. Paham tentang kewajiban zakat profesi di kalangan pegawai negeri sipil tampak beragam. Mereka menerima zakat profesi karena memahami dengan sikap yang positif dan optimis, sedangkan bagi pegawai yang menolak terhadap zakat profesi mereka memahami dengan pengertian yang negatif, pesimis dan terbatas pada pemahaman zakat yang bersifat ritual mahdah; b. Pegawai negeri sipil
Penelitian tersebut menitikberatkan pada implementasi zakat profesi dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi tersebut di Kabupaten Tulung Agung. Walaupun penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya tersebut sama-sama menggunakan pendekatan sosiologi hukum, namun penelitian penulis lebih luas cakupannya, baik dari aspek jenis zakat maupun aspek pengelolaan zakat. Di samping itu, antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya berada pada lokasi yang berbeda.
Muhammad Hadi, 2009, “Zakat Profesi dan Implementasinya Bagi Pegawai Negeri Sipil di Tulungagung Jawa Timur”, Disertasi, Program Pascasarjana, IAIN Sunan Ampel, Surabaya
melakukan pembayaran zakat–infak di UPZ dan BAZ pada hakekatnya bertumpu pada paham kewajiban zakat, SK Bupati dan interpretasi ulama dalam bingkai hukum positif. 5.
24
Zakat Sebagai Hukum Diyani dan Qada’i Dalam Negara Indonesia24
Dalam disertasi ini dikaji beberapa permasalahan, yaitu: a. Apakah yang dimaksud dengan hukum diyani dan hukum qada’i, b. Argumen-argumen apa saja yang dapat menjelaskan zakat sebagai hukum diyani dan qada’i, c. Apakah undangundang nomor 38 Tahun 1999 telah menunjukkan zakat sebagai hukum diyani dan qada’i, jika belum mengapa terjadi demikian, d. Bagaimana format zakat sebagai hukum diyani dan qada’i di Indonesia, e. Apakah menjalankan zakat secara diyani dan qada’i dalam negara Indonesia mempunyai dasar pijakan yuridis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: a. Yang dimaksud hukum diyani dan qada’i adalah hukum yang dilaksanakan tidak saja dengan berdasarkan pada keputusan seorang individu selaku muslim yang taat kepada Tuhan, tetapi hukum yang dilaksanakan berdasarkan atas suatu keputusan hukum yang tetap, pasti, dan mengikat kepada semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan hukum tersebut, serta dilaksanakan
Penelitian tersebut merupakan penelitian dengan pendekatan normatif untuk membuktikan dengan argumentasi yang kuat bahwa zakat merupakan hukum diyani sekaligus qada’i sehingga membutuhkan peran negara untuk mengimplementasikannya. Disamping itu penelitian tersebut juga berisi kritik atas Undang-undang nomor 38 tahun 1999 karena belum mencerminkkan zakat sebagai hukum diyani dan qada’i dengan alasan kewenangan negara terhadap urusan zakat masih sangat terbatas dan belum adanya jaminan hak-hak fakir miskin atas harta zakat. Adapun penelitian penulis berbeda dengan penelitian tersebut karena penulis menggunakan pendekatan sosiologis untuk menguji efektifitas undang-undang pengelolaan zakat dalam pelaksanaannya di masyarakat. Disamping itu, penelitian sebelumnya masih mengkaji Undangundang nomor 38 tahun 1999, sedangkan
A.A. Miftah, 2005, “Zakat Sebagai Hukum Diyani dan Qada’i Dalam Negara Indonesia”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
6.
25
Zakat dalam Perekonomian Modern25
oleh suatu badan yang mempunyai otoritas hukum yang kuat; b. Zakat merupakan hukum Islam yang bersifat diyani dan qada’i berdasarkan beberapa alasan, yaitu pengertian zakat, dasar hukum diwajibkannya zakat, unsurunsur zakat, pelaksanaan zakat pada zaman Islam klasik; persamaan dan perbedaan zakat dan pajak, dan kedudukan harta zakat bagi muzakki dan mustahiq; c. UU no. 38 tahun 1999 belum sepenuhnya mencerminkan zakat sebagai hukum diyani dan qada’i; d. Bentuk zakat sebagai hukum diyani dan qada’i dalam konteks saat ini adalah bahwa zakat dijadikan sumber pendapatan bagi daerah; e. Terdapat beberapa argumen untuk menjadikan zakat hukum diyani dan qada’i dalam konteks negara Indonesia saat ini yaitu argumen historis, argumen filosofis, argumen kedekatan zakat dengan hutang piutang, argumen sosiologis, argumen yuridis, dan argumen pelaksanaan hukum.
penelitian penulis sudah menggunakan ketentuan undang-undang pengelolaan zakat yang baru, yaitu Undangundang nomor 23 tahun 2011.
Buku ini diangkat dari disertasi penulisnya yang meneliti dan mengkaji sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa di dalam menentukan sumber atau obyek zakat atau harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Al-Qur’an dan hadits mempergunakan dua
Fokus penelitian tersebut adalah mengkaji tentang sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern berdasarkan dalildalil Al-Qur’an, al-hadits maupun ijtihad penulisnya. Dengan argumentasi yang logis, penulisnya berkesimpulan bahwa dalam perekonomian modern
Didin Hafidhuddin, 2004, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press, Jakarta
7.
26
Filantropi Islam dan Kebijakan Negara Pasca Orde Baru: Studi tentang Undangundang Zakat dan Undang-undang Wakaf26
metode pendekatan, yaitu pendekatan tafsil (terurai) dan pendekatan ijmal (global). Dengan pendekatan tafsil, Al-Qur’an dan hadits nabi menjelaskan secara rinci beberapa jenis harta yang wajib dizakati, yaitu pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan, hasil tambang, dan barang temuan. Adapun dengan pendekatan ijmal (global) tercermin dengan cara menyebutkan “harta” dan “hasil usaha” seperti tergambar dalam QS at-Taubah: 103 dan QS alBaqarah: 267, sehingga dengan menggunakan qiyas, masalihul-mursalah dan prinsip-prinsip umum ajaran Islam, dimungkinkan memasukkan semua harta yang di zaman Nabi SAW belum ada contohnya, tetapi dianggap “harta yang bernilai” dalam perkembangan ekonomi modern, menjadi harta wajib zakat.
saat ini banyak jenis harta yang bisa dikenakan zakat, seperti madu, surat berharga, dan sebagainya. Adapun penelitian penulis lebih menekankan aspek implementasi undangundang pengelolaan zakat yang salah satunya menyangkut sumbersumber zakat dalam konteks ekonomi modern tersebut di masyarakat.
Dalam penelitian ini, dikaji dua pokok permasalahan, yaitu: a. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan wakaf ?, b. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam ? Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa a. Dengan
Dalam penelitian tersebut, penulisnya memfokuskan pada aspek politik hukum yang dilakukan negara pasca Orde Baru terkait lembaga filantropi Islam (zakat dan wakaf) dan dampak yang timbul atas keterlibatan negara terhadap perkembangan filantropi Islam di Indonesia, khususnya menyangkut aspek kuantitatifnya. Adapun penelitian penulis lebih
Widyawati, 2011, “Filantropi Islam dan Kebijakan Negara Pasca Orde Baru: Studi tentang Undangundang Zakat dan Undang-undang Wakaf”, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
diakomodasinya dua bentuk filantropi Islam, yakni zakat dan wakaf, ke dalam undangundang, hubungan Islam dan negara pasca-Orde Baru tampak bersifat saling terkait secara substansial, meskipun keduanya merupakan entitas yang berbeda. Keterlibatan ini telah memposisikan negara sebagai legislator, supervisor, sekaligus sebagai fasilitator dalam persoalan zakat dan wakaf; b. Disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang tentang Wakaf memiliki implikasi positif bagi perkembangan pengelolaan kedua pranata ini di Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya lembaga filantropi Islam.
memfokuskan pada aspek efektifitas legislasi zakat dalam pembayaran dan pengelolaan zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan lingkupnya terbatas pada bidang zakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, pokok permasalahan yang diteliti dalam disertasi ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian yang penulis lakukan
menitikberatkan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam peraturan zakat di Indonesia, kepatuhan terhadap peraturan zakat dalam pembayaran dan pengelolaan zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan zakat pada masa yang akan datang. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan penulis adalah asli.
E. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah referensi di bidang hukum zakat sehingga diharapkan dapat berperan dalam mengembangkan ilmu hukum secara umum. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah strategis guna meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan zakat sehingga tujuan pengelolaan zakat sebagaimana termaktub dalam peraturan tersebut dapat terwujud.
F. Cara Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian mengenai Kepatuhan Terhadap Peraturan Zakat dalam Pengelolaan dan Pembayaran Zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan kombinasi antara penelitian hukum normatif dan empiris, dalam arti bahwa penelitian ini diawali dengan studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dan kemudian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer.
2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari para responden maupun para nara sumber dalam penelitian lapangan. b. Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, baik yang bersumberkan pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. 3. Cara Pengumpulan data a. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara studi dokumen (dokumentasi) terhadap : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier 1) bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat27, yang terdiri dari : a) Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat b) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat d) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 Tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto e) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, hlm. 14
f) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif 2) bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer28 yang meliputi buku-buku, makalah seminar, jurnal, maupun hasilhasil penelitian yang memiliki relevansi dengan topik penelitian. 3)
bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder29 yang terdiri dari kamus hukum, kamus ArabIndonesia, dan kamus Inggris-Indonesia, serta ensiklopedi hukum Islam.
b. Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan, penulis menetapkan lokasi penelitian, subyek penelitian, dan cara pengumpulan datanya sebagai berikut: 1). Lokasi : Penelitian dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi empat kabupaten (Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulon Progo dan satu kota (Yogyakarta). Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan: pertama, pengelolaan zakat secara terlembaga di DIY sudah berlangsung lama, yaitu sudah ada jauh sebelum adanya Undang-undang Pengelolaan Zakat; kedua, BAZNAS sudah ada di tiap Kabupaten dan banyak LAZ beroperasi di DIY; ketiga, mayoritas penduduk DIY beragama Islam. 2). Subyek penelitian: Subyek penelitian di sini meliputi responden dan nara sumber. Responden dalam penelitian ini terdiri dari: a) Pengurus Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Yogyakarta 28 29
Ibid., hlm. 15 Ibid.
b) Pengurus Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta c) Pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Rumah Zakat Indonesia Cabang Yogyakarta d) Pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) PKPU Cabang Yogyakarta e) Pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Dhuafa Cabang Yogyakarta f) Pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) DPU Daarut Tauhid Cabang Yogyakarta g) Pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Baitul Maal Hidayatullah Cabang Yogyakarta h) Warga masyarakat yang dipilih secara purposive sebanyak 100 (seratus) orang.
Kriteria warga masyarakat yang dipilih menjadi responden
penelitian ini adalah yang pernah membayar zakat, atau dengan kata lain, warga masyarakat yang digali datanya adalah para pembayar zakat (muzakki). Pemilihan responden dilakukan dengan cara, pertama, menetapkan wilayah yang dijadikan sampel penelitian dari masingmasing kabupaten/kota yang ada di DIY. Kedua, menentukan responden sesuai kriteria yang ditetapkan berdasarkan keterangan dari informan penelitian. Adapun yang menjadi narasumber penelitian ini meliputi Pengurus Forum Zakat (FOZ) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pejabat Kantor Kementerian Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkompeten terhadap urusan zakat. 3). Pengumpulan data
Pengumpulan data dari para responden dilakukan dengan kuesioner, sedangkan pengumpulan data dari narasumber dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan mengacu pada Pedoman Wawancara yang telah disusun sebelumnya. 4. Analisis Data Data
yang
diperoleh
dari
penelitian
kepustakaan
diklasifikasikan
dan
disistematisasikan, sedangkan data dari penelitian lapangan dilakukan editing, coding, dan ditabulasikan. Data tersebut selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif. Dalam penelitian ini ada tiga alur kegiatan yang dilakukan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan30. Reduksi data meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan maupun hasil wawancara yang ada. Data yang sudah direduksi sesuai dengan pokok masalah dan dibantu dengan teori-teori selanjutnya direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif ke dalam uraian diskripsi yang utuh dan akhirnya diambil kesimpulan.
30
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman,1992, Qualitative Data Analysis (Analisis Data Kualitatif), terj. Tjetjep Rohendi Rohidi, UI-Press, Jakarta, hlm. 16-19