BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu alternatif dalam berinvestasi yang dapat dipilih pemodal adalah investasi di sektor keuangan. Pasar keuangan didefinisikan sebagai bertemunya pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus dana) dengan pihak yang kekurangan dana (defisit dana) (Hanafi, 2004). Jenis pasar keuangan menurut instrumen yang diperjual-belikan terbagi atas dua yaitu Pasar Modal dan Pasar Uang. Pasar Modal adalah pasar keuangan di mana diperdagangkan instrumen keuangan jangka panjang yang jatuh tempo lebih dari satu tahun, contoh instrumen jangka panjang adalah obligasi, saham preferan dan saham biasa. Pasar Uang adalah pasar keuangan di mana diperdagangkan instrumen keuangan jangka pendek contohnya yaitu Commercial Paper, Sertifikat Bank Indonesia, dll. Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengartikan Pasar Modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek.
Saham adalah efek yang paling umum diperdagangkan di pasar modal. Perusahaan yang menerbitkan saham disebut dengan Perusahaan Publik, dimana tujuannya dalam menerbitkan saham adalah untuk mendapatkan sumber pendanaan. Saham terbagi atas dua jenis yaitu saham preferen dan saham biasa. Saham preferen memiliki hak-hak prioritas yang lebih dari pada saham biasa. Hak tersebut adalah preferen terhadap dividen seperti meneriman dividen terlebih dahulu, hak dividen kumulatif (menerima dividen tahun-tahun sebelumnya yang belum dibayarkan sebelum pemegang saham biasa menerima dividennya) serta hak preferen pada waktu likuidasi, dimana pemegang saham preferen akan memiliki hak terhadap aktiva terlebih dahulu dibanding pemegang saham biasa pada waktu terjadinya likuidasi. Pemegang saham preferen ini tidak memiliki hak veto (hak memiliki suara atas pemilihan pimpinan perusahaan) seperti pemegang saham biasa. Investor yang membeli saham akan mendapatkan hak kepemilikan atas perusahaan. Selain itu, pemegang saham memperoleh pendapatannya dari dividen dan capital gain (selisih antara harga jual dan harga beli). Pendapatan tersebut disebut juga return saham. Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi (Hartono, 2013). Return saham merupakan faktor penting yang menjadi motivasi investor dalam menentukan apakah akan membeli atau mempertahankan saham perusahaan. Cara menghitung return adalah dengan membandingkan selisih harga saham periode berjalan dengan harga periode lalu dijumlah dengan dividen jika ada. Melihat rumus tersebut, return saham sangat dipengaruhi oleh harga saham dimana harga ini selalu berubahberubah tergantung prespektif investor dalam menilai kinerja perusahaan, sehingga
dapat disimpulkan investor harus mampu menilai prospektif kinerja perusahaan agar mampu memaksimalkan return yang akan ia peroleh. Kinerja perusahaan merupakan gambaran atau indikator yang menunjukkan kelayakan sebuah saham dipilih sebagai instrumen investasi. Sebuah saham dikatakan layak jika dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham yang tercermin dari kenaikan harga atau return saham perusahaan tersebut (Napitupulu, 2012). Untuk menilai kinerja perusahaan, investor dapat menggunakan informasi yang disajikan di laporan keuangan. Analisis laporan keuangan dicerminkan dalam rasio-rasio seperti rasio profitabilitas, rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio leverage, ataupun rasio pasar. Informasi untuk mencari tahu nilai rasio tersebut dapat diperoleh dari laporan laba rugi dan neraca. Penilaian kinerja keuangan konvensional yang umum digunakan lebih menekankan pada laba (rugi) perusahaan. Oleh karena itu, penelitian ini memilih rasio profitabilitas yaitu Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), serta Earning Per Share (EPS) untuk diteliti.
Penilaian kinerja keuangan perusahaan yang lebih
menekankan pada laba ini sayangnya memiliki banyak kelemahan. Pengukuran ini mengandung berbagai macam distorsi yang berasal dari metode pencatatan akuntansi sehigga tidak mampu mengukur kinerja perusahaan secara akurat. Menurut Octora et al (2003) distorsi-distorsi tersebut antara lain distorsi akuntansi, distorsi nilai dan distorsi lainnya. Yang dimaksud dengan distorsi akuntansi adalah laporan keuangan sangat ditentukan oleh metode akuntansi yang digunakan sehingga perbedaan dalam metode tersebut akan memberikan hasil yang berbeda. Distorsi nilai berarti laporan keuangan menggunakan data historis, sehingga nilai yang tercermin kurang merefleksikan nilai saat ini. Distorsi lainnya karena perhitungan laba tidak mempertimbangkan adanya
resiko yang tercermin pada biaya modal sehingga sulit mengukur apakah perusahaan menciptakan nilai atau tidak. Menanggapi kelemahan-kelemahan tersebut, muncul berbagai konsep penilaian kinerja baru seperti teknik discounted cash flow (Fisher, 1930; Hirschleifer, 1958), Residual Income (Solomons, 1965), Tobin’s Q (Tobin, 1969), Free Cash Flow (Stern, 1974), dan pendekatan Shareholder Value (SHV) (Rappaport, 1986; Stewart, 1991). Pendekatan Shareholder Value semakin meningkat penggunaannya sejalan dengan diterapkannya Value Based Management yaitu pendekatan manajemen dalam mencapai tujuan untuk memaksimalkan nilai para pemegang saham. Perusahaan dinilai berkinerja baik jika return yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan melebihi cost of capital yang dikeluarkan. Menurut Helfert (2003), beberapa pengukuran kinerja keuangan yang umum digunakan dalam pengukuran kinerja berbasis nilai adalah Economic Value Added (EVA), Market Value Added (MVA), Cash Value Added (CVA), Shareholder Value (SHV), dan Shareholder Value Added (SVA). Pengukuran yang paling terkenal dari konsep ini adalah Economic Value Added (EVA) yang dikembangkan oleh Stern Stewart & Co pada tahun 1993. Stern Stewart & Co mengklaim bahwa pengukuran ini lebih tepat dan akurat dalam mengukur kesejahteraan pemegang saham dibanding pengukuran lainnya. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan sehingga banyak dilakukan studi empiris yang mencoba menganalisis pengaruh yang dimiliki pengukuran berkonsep value-based (terutama EVA) dan konsep konvensional terhadap performa perusahaan, dan mencoba membandingkan kedua konsep ini manakah yang lebih baik dalam menjelaskan nilai perusahaan.
Keraguan akan superioritas yang dimiliki EVA mulai muncul semenjak penelitian yang dilakukan oleh Biddle et al (1997), Chen and Dodd (2001), Hidayat (2006),
Maditinos et al (2009), dan Arabsalehi and Mahmoodi (2012) yang
membuktikan bahwa pengukuran konvensional berbasis laba lebih mampu menjelaskan return saham dibanding EVA. Di lain pihak, hasil penelitian O’Bryne (1999), Fetham et al (2004), dan Parvei and Farhadi (2013) membuktikan superioritas EVA dan pengukuran kinerja berbasis nilai lainnya. Hasil yang beragam ini menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang tidak hanya menjelaskan pengaruh antara pengukuran kinerja keuangan konsep konvensional dan konsep value based terhadap return saham, tetapi juga menilai diantara kedua konsep ini mana yang lebih memiliki kemampuan menjelaskan return saham. Dengan menggunakan variabel independen Earning Per Share, Return on Assets, Return on Equity yang mencerminkan pengukuran konsep konvensional dan Economic Value Added dan Shareholder Value Added yang mencerminkan pengukuran konsep value-based serta return saham sebagai variabel dependen, penelitian ini diberi judul “Analisis Perbandingan Penilaian Kinerja Keuangan Konsep Konvensional dan Konsep Value-based terhadap Return Saham (Studi Empiris Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014)”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah penilaian kinerja keuangan dengan konsep
value-based (EVA,SVA) lebih unggul dibanding penilaian kinerja keuangan dengan konsep konvensional (EPS, ROA, ROE) dalam menjelaskan return saham. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai keunggulan penilaian kinerja keuangan dengan konsep value-based (EVA dan SVA) dalam menjelaskan return saham dibandingkan dengan penilaian kinerja keuangan dengan konsep konvensional (EPS, ROA, ROE) dengan menggunakan pendekatan Relative Information Content dan Incremental Information Content. 1. Pendekatan Relative Information Content bertujuan untuk menentukan penilaian kinerja keuangan manakah yang memiliki explanatory power paling tinggi dalam menjelaskan return saham. 2. Pendekatan Incremental Information Content bertujuan untuk menguji apakah penilaian kinerja keuangan konsep value-based (EVA,SVA) memberikan tambahan kandungan informasi melebihi yang disajikan penilaian kinerja keuangan konsep konvensional (EPS,ROA,ROE) dalam menjelaskan return saham. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang perbandingan penilaian kinerja konsep value-based dan konsep konvensional terhadap return saham ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut: a. Investor
Penelitian ini diharapkan dapat membantu investor dalam memilih pengukuran kinerja terbaik apakah konsep value-based atau konsep konvensional
untuk
menilai
performa
perusahaan,
yang
dapat
membantunya dalam memprediksi return saham yang akan diperoleh jika membeli saham perusahaan tersebut. b. Perusahaan Bagi manajemen perusahaan, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi untuk mempertimbangkan nilai apa saja yang harus ditingkatkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, memaksimalkan kemakmuran pemegang saham dan menarik investor. c. Akademisi Bagi akademisi, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang seberapa besar asosiasi pengukur kinerja keuangan baik dengan konsep value-based atau konsep konvensional terhadap return saham. Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan jika ada kekurangan sehingga penelitian ini dapat disempurnakan. 1.5 Batasan Penelitian Untuk membatasi masalah dalam penelitian ini agar terfokus, maka ruang lingkup penelitian ini hanya pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010-2014. Pemilihan perusahaan manufaktur karena industri ini memiliki skala yang lebih besar dibanding industri lainnya serta memiliki
proses produksi yang riil sehingga nilai yang diciptakan lebih terlihat. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan emiten dan data terkait harga saham di Bursa Efek Indonesia. 1.6 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisikan studi literatur untuk membahas landasan teori mengenai teori-teori dan konsep-konsep umum yang digunakan dalam penelitian serta menguraikan penelitian terdahulu
BAB III : METODE PENELITIAN. Bab ini berisi kerangka pemikiran, pengembangan hipotesis, model penelitian beserta operasionalisasi variabel, serta metode pemilihan sampel dan pengolahan data atas sumber data yang ada
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN. Bab ini berisi hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan, terdiri dari deskriptif statistik, pembahasan, dan interpretasi hasil penelitian yang akan memberikan jawaban atas permasalahan dari penelitian ini, apakah sesuai dengan hipotesis awal atau tidak.
BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan penyajian secara singkat apa yang telah
diperoleh dari pembahasan. Saran sebagai masukan pada penelitian mendatang.