BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sabtu malam. Ketika bunyi diesel telah meraung bersahutan menyalakan lampu-lampu di tiap rumah, saya dijemput Taher di rumah Kadus Ensunak, diajak berburu. Tempatnya di hutan dekat Sokek, dan kami berangkat dengan motor, menempuh perjalanan sebelas kilometer. Dua hari tak ada hujan, sehingga tanah padat mampu membuat roda menggelinding dengan baik di sepanjang jalan yang kanan-kirinya melewati kebun sawit dan hutan bawas itu. Kami sempat mampir ke Longsat untuk mengambil lantak1, lalu melanjutkan perjalanan, dan sesampainya di Sokek, kami sudah ditunggu oleh Pah, Socek, Jaton, serta Dodi2. Mereka mengikutsertakan dua anjing, katanya, anjing-anjing itu cerdik dan piawai dalam gelap, ‗spesialis‘ untuk berburu malam hari. Kami berangkat ke hutan setelah sebatang rokok habis sembari berbincang. Jalan kaki dua kilometer di barat Sokek, lalu belok kiri. Melangkahi jalan setapak seiring rentetan pohon yang semakin rimbun di tengah rimba. Lamalama jalan setapak pun hilang. Di kanan kiri teraba ranting-ranting juga batang pohon yang basah. Dengan hati-hati saya mengambil pijakan, karena beberapa jalan berlumpur, ada juga kubangan. Kadang kami harus melompat, merunduk dan berpijak pada akar-akar besar demi mengikuti denai anjing yang sepertinya telah mengerti ke mana harus melangkah. Gelap, dan langit kurang tampak lantaran tertutup rindang pepohonan, cahaya terang hanya dari lampu senter kami. 1
. Senjata api laras panjang, biasanya rakitan dan pelurunya dari gotri yang lontarkan oleh ledakan keppotai (semacam bubuk mesiu) 2 Semua nama-nama di dalam tesis ini sudah disamarkan.
2
Di dalam hutan itu, suara binatang malam bersahutan, ada yang terdengar samar namun ada juga yang tiba-tiba keras seperti berada dekat di sebelah telinga. Serbuan nyamuk tak ada ampun meski saya telah memakai pakaian rangkap. Kami bungkam, hanya sekali Pah bicara ketika saya sibuk menepuk serangan nyamuk, ―merokok bah, nyamuk takut sama asap‖, katanya tanpa menengok. Tiba-tiba anjing menggonggong, dia berlari. Pah mengejar anjing-anjing itu dengan sigap sembari berteriak-teriak pada kami yang tersisa untuk membagi arah, ―Ambek sana, sana!‖ Taher dan Jatun berlari ke kanan, lenyap. Socek mengepung dari kiri bersama Dodi sesuai instruksi Pah. Cepat luar biasa, saya melihat mereka meloncat seperti kelinci, bergelantungan serupa kera, kemudian menghilang ditelan gelap. ―Kijang! kijang!,” suara mereka terdengar samar, bersahutan seiringan dengan dua letusan lantak dari arah yang berbeda. Semakin kecil suara mereka, semakin sadar bahwa saya telah sendiri dalam hitungan detik. Ketakutan menyergap, saya kehilangan mereka di tengah hutan belantara. ―Puuu, puuu, puuuu!”, teriak saya menirukan orang dusun ketika memberi tanda bahwa ada orang lain di dalam hutan. Saya lupa arah dan tidak tahu jalan pulang. Terpaku, karena setiap langkah rawan jebakan, jika tidak berhati-hati bisa tertelan rawa gambut, digigit ular, atau lainnya. Satu keppotai dalam lantak tak cukup mengusir rasa khawatir waktu itu. Sampai kiranya belasan menit kemudian Pah menemukan saya, dan kami pulang setelah semua berkumpul kembali. Perburuan malam itu berakhir tanpa hasil. Namun tetap saja saya takjub melihat mereka tadi, berlari dan bergelantungan sembari memegang lantak. Mereka itu manusia yang telah terlatih untuk hidup dengan kondisi material, lingkungan dan alamnya.
3
Beberapa hari setelah perburuan malam itu saya pulang ke Yogyakarta selama sepuluh hari. Ketika kembali ke dusun Ensunak lewat Kecamatan Toba, saya terperangah melihat di kanan-kiri jalan saat menuju Sokek. Hutan tempat saya berburu itu sudah musnah sepertiganya. Pohon-pohon terlanjur tumbang dan menjadi arang, sisanya hanya hamparan padang sampai ujung usaha saya memandang. Hutan yang masih tersisa, tinggal menunggu waktu untuk binasa. Konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit terus terjadi di Kalimantan Barat ini. Di kecamatan Meliau saja, perkebunan kelapa sawit sudah berdiri sejak tahun 1983 dengan nama PTP VII, dan kini menjadi PTPN XIII (PT. Perkebunan Nusantara XIII). Perkebunan Swasta bernama BHD (Bintang Harapan Desa) masuk lima tahun setelahnya, meski baru mendapatkan izin tanam pada tahun 1991. Sementara PTPN XIII masuk pada masa tanam kedua, perusahaan swasta itu kini sudah mempunyai empat ‗anak perusahaan‘ (atau aliansi) yang semuanya juga bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit: PT. SISA (Sepanjang Inti Surya Abadi), PT. SISA 2, PT. DSP (Duta Surya Pratama), dan PT. AAC (Agro Abadi Cemerlang). Dua yang terakhir berekspansi ke dusun (Ensunak) tempat penelitian saya ini. DSP datang pertama. Lebih dari dua windu DSP bertanam sawit di Ensunak, menjalankan model "PIR-BUN-TRANS‖—yang akrab disebut ―sistem Inti-Plasma‖ oleh masyarakat. Inti perusahaan, plasma milik petani. Ironisnya, saya melihat kebun inti kelapa sawit (DSP) yang setiap pohonnya ‗rapi‘ berbaris dengan jarak 3 meter, tidak ada tumbuhan lain ‗dibiarkan hidup‘ di sekitarnya. Sedangkan, kebun plasma yang ada di Ensunak malah seperti bawas.
4
Di kebun plasma yang jaraknya hanya satu kilometer dari dusun saja, pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan saya juga melihat ada pohon lain yang tingginya lebih dari empat meter di antara pokok sawit. Kompetisi hara tentu saja menyebabkan kelapa sawit kurang subur, belum lagi jika jarang dipupuk. Simpang siur berita berkata, ―Mereka (pemilik kebun) itu malas. Kalau kebunnya dirawat, dipupuk pasti udah kaya‖, namun ada juga yang berkilah, ―percuma (dirawat), perusahaan suka ngakal‖. Perusahaan kedua adalah AAC. Dialah yang membabat hutan tempat saya berburu, kemudian membakarnya. Perusahaan itu datang di Ensunak tahun 2007 lalu. Pada tahun yang sama masyarakat mulai ―menyerahkan‖ tanahnya, tetapi baru tahun 2010 mulai dikerjakan. Pola yang ditawarkan adalah Kemitraan: masyarakat menyerahkan tanahnya pada perusahaan, kemudian perusahaan yang akan menanam dan merawat panennya, ―kami cuma terima bersih‖, mengutip beberapa warga. Seolah-olah pola ini adalah jawaban dari persoalan yang dihadapi sebelumnya, memberi solusi bagi ―pemilik kebun plasma yang malas‖. Namun sama halnya dengan DSP, kini ―kemitraan‖ AAC juga dianggap sebagai akalakalan saja oleh sebagian besar warga Ensunak. Rasa tidak percaya pada perusahaan beredar dari mulut ke telinga, dari dusun ke dusun, menyebar dan membuat antipati pada perusahaan kelapa sawit. Kini beberapa dari mereka ada yang tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidup dengan cara lama; sebagai peladang dan penyadap getah karet. Ada juga yang lantas membuka usaha dagang sembari tetap mengurus kebun plasma yang distopia itu. Ada juga yang pindah, cari kerja di kota.
5
Mayoritas penduduk Ensunak tamatan SMP, dan sampai kini belum ada yang bekerja dengan ―jabatan strategis‖, misalnya sebagai asisten kebun, paling banter satu-dua orang jadi mandor di perusahaan. Banyak yang kecewa pada perusahaan kelapa sawit, namun banyak juga yang menyikapi dengan cara lain, alih-alih mempertahankan tanah yang masih tersisa, mereka malah menjual tanahnya pada ‗orang kaya dari luar‘ yang tidak mereka kenal sebelumnya. ―Di dusun ini memang sedang marak jual-beli tanah‖, kalimat itu saya dengar ketika pertama kali sampai di Ensunak. Hari- hari berikutnya di rumah kepala dusun saya selalu menemukan surat-surat perjanjian jual-beli tanah, juga obrolanobrolan tentang tanah dijual, dan dibeli untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Proposal berubah. Niat awal melakukan penelitian tentang penyerobotan tanah dan resistensi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit batal. Kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan dan dibaca dari buku-buku. Banyak orang sengaja ‗menyerahkan‘ serta menjual tanahnya untuk menjadi kebun kelapa sawit, dan banyak juga yang berkata bahwa, ―Kami maju karena sawit‖. Kiranya hal-hal itulah membuat saya tertarik untuk melakukan penelitian ini.
B. Studi Pustaka Studi tentang perubahan agraria telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi maupun ilmuwan sosial lainnya. Namun yang kaitannya dengan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, juga aksi dan reaksi masyarakat dalam menghadapi perubahan itu bisa dibilang masih minim. Kendati minim, beberapa studi mempunyai kemiripan dengan penelitian saya, seperti studi
6
Zamawi Ibrahim (1998), James C. Scott (1985), Eckstein (1989) dan Bambang Suta Purwana (2003) Di dalam studi Zamawi Ibrahim (1998) yang berlokasi di Perkebunan Kelapa, di Terengganu, Malaysia itu, terdapat dua bentuk resistensi Sawit, yaitu, personal resistance dan mediated resistance. Personal Resistance bisa dilakukan secara pasif, agresif, spontan, delayed (memperlambat/menunda perkerjaan), verbal (lisan) ataupun fisik. Memang cara-cara ini dianggap tidak efektif, namun sering kali masih dilakukan ketika pegawai ataupun mandor melakukan tindakan kasar atau tidak berkenan di hati mereka. Umumnya cara yang mereka lalukan hanya mengubah raut muka yang memperlihatkan ketidaksukaan, namun kadangkala dapat juga berubah menjadi kemarahan hingga pertengkaran. Keinginan mereka adalah ―semua sama-sama mencari makan di sini dan haruslah ada timbang rasa‖. Sedangkan mediated resistance biasanya terbentuk melalui serikat buruh, karena akan ada pemimpin organisasi yang mengatur serta menjaga hubungan antara pekerja dengan pegawai kebun, pun jika terjadi masalah dengan pekerja maka serikat buruh akan menjadi tempat pengaduan. Tampaknya studi Zamawi Ibrahim diilhami oleh studi yang dilakukan James C. Scott (1985). Dalam studinya Scott menguraikan dengan baik tentang perjuangan sehari-hari kaum tani miskin terhadap golongan kaya di desanya sendiri, maupun terhadap ―kekuatan-kekuatan‖ dari luar desanya yang mewujud dalam pemerintah, pemodal, hingga aparat yang dianggap menjadi sumber ketidak-adilan. Lebih jauh, Scott menunjukkan bahwa program Revolusi Hijau telah merubah tatanan sosial ekonomi di pedesaan Sedaka, Malaysia.
7
Negara memiliki peranan yang luas dalam proses transformasi pedesaan. Melalui program modernisasi sistem pertanian padi, negara telah menggeser hubungan antara petani kaya dan petani miskin. Revolusi Hijau telah memperkuat daya akumulasi surplus ekonomi bagi petani, yang kaya menjadi tambah kaya, dan sebaliknya justru mengurangi kemampuan petani miskin untuk memanfaatkan insentif material yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Tak pelak, para petani miskin itu menunjukkan eksistensinya melalui everyday form of resistance dalam bentuk perlawanan terselubung yang muncul sebagai reaksi terhadap everyday form of repression yang dilakukan tuan tanah, petani kaya yang menjadi musuh bersama mereka, kaum petani miskin. Senada dengan Scott, Eckstein (1989) juga menyatakan bahwa secara umum petani memang pasif dan diam. Akan tetapi para petani itu sangat mungkin dengan gampang menolak kondisi yang tidak mereka sukai melalui cara mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari pemilik modal. Karena itu, sebagaimana dikatakan Scott, bentuk perlawanan secara terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara terangterangan. Tetapi para petani akan siap mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila ketidakadilan sudah dirasa keterlaluan. Biasanya hal itu terjadi bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, atau bila institusi lokal, nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk menggunakan jubah kolektif.
8
Terakhir adalah studi yang dilakukan Bambang Suta Purwana (2003). Laporan penelitian yang tidak diterbitkan ini paling berdekatan dengan lokasi studi yang saya lakukan. Temuan dari penelitian yang dilakukan di seluruh Kabupaten Sanggau bicara tentang klaim negara terhadap tanah dan sumber daya alam dengan tidak memperhatikan kepemilikan adat. Hal ini menyebabkan hakhak masyarakat adat berangur-angsur hilang, dan berganti oleh ‗hak semu‘ yang mengatas-namakan kepentingan investasi skala besar berupa pemberlakuan HPH (Hak Penguasaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri) sampai PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Kerusakan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup penduduk terjadi karena dieksploitasi secara berlebihan. Suta juga mengatakan bahwa, perlawanan petani-peladang sudah dimulai sejak terjadinya ‗perampasan tanah adat‘ oleh perusahaan kelapa sawit milik negara. Meski banyak alinea yang diulang dalam laporan ini, namun pada bab akhir Bambang Suta berhasil memberi deskripsi dari pertanyaannya, bahwa resistensi penduduk lokal atau masyarakat petani ladang terhadap keberadaan PTPN XIII itu diwujudkan dalam gerakan reklaiming tanah, perusakan tanaman, pencurian buah kelapa sawit yang hampir terjadi di seluruh afdeling di Meliau, penerapan sanksi hukum adat kepada staf PTPN XIII, perusakan fasilitas pegawai areal perkebunan dan tuntutan warga masyarakat lokal untuk mendapat jabatan atau posisi strategis dalam perkebunan (Suta, 2003: 112-119). Minimnya narasi saat menjelaskan bentuk-bentuk perlawanan serta, tidak adanya contoh kasus yang cukup representatif membuat perlawanan seolah-olah dilakukan secara komunal dan terjadi di seluruh wilayah PTPN XIII.
9
Berbagai studi yang dilakukan para ahli diatas menunjukan hal menarik mengenai respons petani terhadap perubahan agraria yang terjadi di Asia Tenggara. Kesemuanya menunjukan bahwa respons dari perubahan yang terjadi adalah resistensi. Termasuk studi Suta (2003) dan Zamawi (1998) yang lebih spesifik membahas tentang bentuk-bentuk resistensi petani terhadap perkebunan kelapa sawit. Namun ada yang janggal dari semua studi yang dilakukan oleh para ahli di atas. Seolah-olah mereka menunjukan bahwa perubahan terjadi secara tibatiba, serupa dongeng yang bercerita, ―ada orang-orang dengan kekuasaan (power) besar dari luar (wilayah petani) datang, melakukan perubahan besar dan mengorbankan petani‖. Perubahan agraria ditempatkan seperti sebuah tragedi. Petani-peladang hanya bisa menerima dengan pasrah dan menjadi korban dengan ―datangnya revolusi hijau sampai perampasan tanah adat‖. Setelah terjadi perubahan, baru ada perlawanan. Bentuk perlawanannya pun ―terselubung‖. Oleh karena itu, terdapat celah yang masih perlu dikaji lebih dalam yakni, menyoal peran petani-peladang dalam proses perubahan itu.
C. Permasalahan Berbagai kajian di atas masih saja menempatkan petani sebagai aktor pasif, korban dan tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi perubahan agraria. Seolah terlupakan bahwa petani juga manusia, semua manusia selalu punya pilihan, keinginan dan harapan —namun juga tindakan demi― kehidupan yang lebih baik. Perusahaan sawit datang ke dusun Ensunak dengan menawarkan ‗sistem‘ inti-plasma. Sampai suatu kali masyarakat menilai bahwa ―perusahaan suka ngakal‖, mereka merasa ditipu dan kehilangan tanahnya.
10
Namun seperti yang telah saya paparkan pada latar belakang di atas, terjadi paradoks yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Pertama, semenjak AAC datang, harapan apa yang ditawarkan “pola kemitraan” sehingga mampu membuat masyarakat (yang telah kecewa pada perusahaan kelapa sawit itu) masih mau menyerahkan tanahnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit?. Pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa mereka yang kehilangan tanahnya karena merasa ditipu oleh perusahaan justru menjual tanah-tanah yang tersisa? Lantas apa konsekuensinya? D. Kerangka Pemikiran Seperti membangun rumah. Fondasi dibuat dengan berpedoman pada asumsi dasar yang berkata bahwa, ―hanya ada satu hal yang kekal dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan‖. Sedangkan rusuk, tiang, dan kuda-kudanya terbentuk serupa kerangka pemikiran yang membahas perihal konsep, teori, serta gambaran umum untuk menjelaskan bentuk perubahan itu. 1. Dayak Dalam Perubahan Agraria Masyarakat Dayak adalah konsep yang mengacu pada suatu realita jamak; konsep yang biasa dipakai untuk menyebut ―penduduk asli‖ Pulau Kalimantan, dan secara etnik mereka itu masih membedakan diri lagi dalam berbagai kelompok dan sub-kelompok (Coomans, 1987; King, 1978; Lebar, 1972 via Pujo Semedi, 1996:197). Namun setelah sampai di Kalimantan Barat, beberapa orang Melayu mengaku bahwa nenek moyang mereka adalah orang Dayak. Uniknya mereka ―menjadi‖ orang Melayu setelah masuk Islam, dan jika beragama Kristen Protestan ataupun Katholik mereka masih orang Dayak. Pun pernah pada
11
Desember 2009 lalu, saat saya berkunjung ke Rumah Bentang di Pontianak. Salah satu anggota Dewan Adat Dayak berkata, ―Kalau sudah tidak lagi makan dalam satu priuk berarti bukan orang Dayak‖, kata ‗satu priuk‘ bisa diartikan sebagai makan bersama sampai memakan babi yang seringkali digunakan dalam ritual adat. Sedangkan Islam mengatur makanan dengan ―halal-haramnya‖, sehingga jika ada orang Dayak yang pindah ke agama Islam, maka secara ‗otomatis‘ ia menjadi orang Melayu. Malah, ketika ada orang Dayak yang menikah dengan orang Jawa (Islam) misalnya, anak mereka akan dianggap sebagai orang Melayu. Hal ini serupa dengan apa yang ditulis oleh Weintré (2004:22-23), dewasa ini istilah Melayu tidak lagi digunakan sebagai referensi etnis, tetapi sebagai referensi Islam untuk mengkontraskan dengan yang non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang Dayak yang memeluk Islam, bukan karena orang Melayu yang merantau ke Kalimantan dalam jumlah besar. Konon dahulu orang Dayak hidup sebagai peladang yang secara periodik membuka ladang baru di kawasan hutan sekunder (bawas) dan hutan primer (rimba). Kawasan hutan primer dan sekunder yang disebut tanah adat itu ‗dikelola‘ oleh binua. Binua adalah kesatuan sosial masyarakat Dayak terbesar gabungan dari beberapa kampung yang didasarkan pada kepercayaan satu garis nenek moyang dan ―bahasa ibu‖ yang sama. Organisasi sosial masyarakat Dayak pada masa lalu dapat dipahami dari pola tempat tinggal mereka. Rumah panjang terdiri dari puluhan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga batih. Kerangka sosial seperti ini memainkan peranan penting sebagai tali pengikat kekeluargaan, sehingga satu sama lain di dalam desa merasa dirinya satu
12
kekerabat, pun itu karena kesatuan sosialnya terbentuk oleh faktor genealogis. Di setiap wilayah, Pimpinan Binua mempunyai sebutan yang berbeda, seperti: Toa So, Toa Langko, Tamatoa, Toa-toa, Adat, ataupun Tumenggung. Mereka dipilih berdasarkan kriteria seperti penguasaan mereka terhadap (aturan) adat istiadat, kemampuan berbicara dan keberaniannya. Biasanya status ekonomi ketua kampung tadi relatif sama dengan warga kampung yang lain, dan wewenangnya terbatas pada suatu kelompok setempat dari beberapa betang yang terletak pada satu aliran batang sungai atau anak sungai (Semedi, 1996; Mudiyono, 1994). Masyarakat Dayak ketika masih tinggal bersama dalam satu rumah panjang umumnya belum mengenal kepemilikan pribadi atas faktor produksi. Lahan perladangan dinyatakan sebagai tanah ulayat dengan hak pemakaian ekslusif pada rumah tangga. Sekali satu hutan dibuka menjadi ladang, maka hak pakai atas lahan tersebut ada pada rumah tangga yang pertama kali membukanya (op. cit, 1996: 201). Perladangan berpindah (shifting cultivation) menjadi dasar terbentuknya wilayah teritorial yang diakui adat. Oleh itu wilayah genealogis dan teritorial merupakan kesatuan sosial politik yang membentuk kesatuan integratif. Dahulu Masyarakat Dayak menganggap tanah bukan saja sekedar bernilai ekonomis namun juga mempunyai hubungan magis dengan kehidupan dan menyangkut harga diri mereka. Dalam segi teritorial komunitas, masyarakat adat adalah penguasa dan pemilik tanah di wilayah desa yang diakui dan dihormati bersama. Orang dari kelompok lain harus menghormati keberadaan itu secara utuh, dengan demikian tiap-tiap komunitas Dayak saling bertetangga dengan pemerintahannya sendiri-sendiri (Mudiyono, 1994:211-214).
13
Sistem kepemilikan dan budaya perladangan yang sarat dengan kearifan lokal pada masyarakat dayak itu telah teruji berabad-abad lamanya. Namun kini, budaya bertani telah diganti dengan teknis bisnis bertani (agro-bisnis), yang bersifat instan dan hanya berdasar pada janji limpahan pasar. Hilangnya budaya bertani para petani berarti juga hilangnya nilai-nilai dan ilmu bertani sarat kearifan lokal serta ramah lingkungan (Wahono, 2008:7-9). Di Ensunak mayoritas penduduknya adalah (sub-etnik) Dayak Desa. Rumah panjang, mandau, sumpit, Tumenggung, dan segala bentuk ritual adat khas Dayak masih dilakoni kendati mereka mengaku sebagai keturunan Jawa. Uniknya, pasca konflik yang terjadi di seantrero Sanggau pada tahun 1997 lalu menyebabkan mereka mengidentifikasi ―komunitasnya‖ sebagai ―Orang Desa‖ saja, kata ―Dayak‖ dihilangkan karena dinilai ―kasar‖ dan mereka enggan terlibat. Sehingga konsep etnik dayak tidak lagi tepat jika dipakai untuk melihat masyarakat Ensunak sekarang, apalagi, di dalam komunitas itu sudah banyak transmigran yang sudah diakui sebagai penduduk setempat dan hidup dengan mencurahkan tenaga kerjanya pada sumberdaya alam yang ada. Karet mengenalkan mereka pada pemenuhan kebutuhan pasar, sementara ladang untuk kebutuhan subsisten, namun kini, perladangan semakin ditinggalkan. Sehingga sistem kepemilikan yang sebelumnya sama dengan pemaparan di atas juga telah berubah. Pembukaan perkebunan kelapa sawit besar-besaran –demi minyak masak sampai bahan bakar (biodisel),– telah ―menggantikan‖ tatanan lama dan membentuk kesepakatan baru. Tentu saja dengan persoalan dan konsekuensi yang baru pula.
14
2. Ekonomi Moral, Rasional dan Akal-akalan Petani subsisten menganggap perubahan yang terjadi sebagai akibat intensifikasi dan komersialisasi hasil-hasil agraria sangat membahayakan kelangsungan hidup, adat istiadat dan hak-hak tradisional yang mereka miliki. Oleh karena itu, para petani mengambil sikap defensif terhadap perubahan yang terjadi. Namun para petani subsisten ini bisa sangat rentan, jika gagal dalam satu musim panen saja bisa jadi harus menjual harta benda bahkan tanahnya untuk sekedar bertahan hidup. Kondisi seperti ini melahirkan moralitas yang disebut mendahulukan selamat (Scott, 1976). Prinsip mendahulukan keselamatan itu menjadi sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani menolak perubahan dan siap melakukan perlawanan jika terpaksa. Tujuan perlawanannya bukan untuk menggulingkan dan mengubah sebuah sistem dominasi, melainkan lebih pada upaya bertahan untuk tetap hidup dalam sistem itu (Basrowo, 2003:7). Dengan kata lain, pendekatan moral ekonomi mengganggap ‗perlawanan petani‘ adalah suatu tindakan defensif untuk tetap subsisten terhadap kapitalisme. Perspektif moral ekonomi itu ditentang oleh Popkin (1979) yang mengatakan, resistensi petani merupakan pilihan rasional terhadap berbagai alternatif yang tersedia. Logika Popkin menyatakan bahwa perilaku manusia selalu dilandasi motif mencari keuntungan atau kemanfaatan yang sebesarbesarnya, sehingga setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih ‗perilaku‘ yang paling efisien guna mencapai keuntungan yang maksimal bagi dirinya. Relasi sosial dalam perspektif Popkin merupakan perjuangan kepentingan atas ekonominya sendiri, dan bukan dilandasi oleh pertimbangan moral kolektif.
15
Setiap petani dalam komunitas petani pada dasarnya termotivasi menuntut keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi sekecil mungkin. Bagi Popkin, semua bentuk perlawanan petani itu bukan untuk menentang Revolusi Hijau atau perubahan yang ada, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan elite desa dan petani kaya yang mengorganisir namun justru merugikan. Perlawanan ada karena sebagian besar individu merasa dirugikan, bukan sebagai reaksi defensif untuk mempertahankan institusi tradisional seperti yang dikatakan Scott. Hendaknya Popkin menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan petani adalah gerakan anti feodal, bukan gerakan restorasi untuk mengembalikan tradisi lama, tetapi untuk membangun tradisi baru. Dalam pada itu, Popkin hendak berkata bahwa petani merupakan individu-individu yang bebas mengembangkan kreativitasnya secara rasional dan mengharapkan kesejahteraan dengan memaksimalkan keuntungan3. Itulah yang tampak dalam logika tindakan kolektif, dimana mereka memberi kontribusi dengan mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan kualitas organisasi sebelumnya. Kesadaran ideologis saja tidak cukup untuk menggerakkan petani miskin untuk berdemonstrasi, lebihlebih menjadi seorang pejuang bersenjata. Bagi petani subsisten, keuntungan material itu lebih menarik daripada gairah ideologis yang tampaknya lebih bisa diterima oleh golongan petani dari kelas menengah yang stabil dan berlebih (Mashud, 2003:128)4.
3
. Bentuk lain yang sesungguhnya meminimalkan resiko dan kerugian dari para petani sebenarnya dianggap suatu yang rasional, mereka rasional dengan keadaan dan situasi kondisi mereka saat itu. Perlu diingat suatu rumah tangga petani tidak hanya sebagai suatu unit produksi tapi juga merupakan suatu unit konsumsi. (Lihat Schultz, T.W, 1964 via Martinussen, 1999: 135-136).. 4 . Lebih jauh lihat juga Eric Wolf (1969) di mana petani kelas menengah menjadi massa utama pendukung gerakan revolusioner. Karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak
16
Scott (1985) merespon dengan baik kritikan Popkin, studinya di Sedaka, Malaysia mampu memberi gambaran menarik tentang kaum tani yang melakukan perlawanan terhadap dampak Revolusi Hijau –yang mengancam keamanan subsistensi mereka. Petani miskin secara perorangan melakukan tindakantindakan perlawanan terhadap hegemoni negara lewat penetrasi pada proses transformasi hubungan-hubungan produksi yang terwujud dalam mekanisasi pertanian dan modernisasi pertanian. Bentuk perlawanan sehari-hari dilakukan secara terselubung, mereka tidak memiliki wadah atau organisasi politik formal seperti kelas menengah dan kaum cendekiawan. Kaum tani ini melakukan bentuk perlawanan sehari-hari secara jangka panjang terhadap pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Senjata yang dipergunakan oleh kaum lemah ini antara lain seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, dan sabotase. Mereka hampir tidak memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri dan secara khas menghindari konfrontasi simbolis dengan kekuasaan, dalam jangka panjang cara ini justru terbukti paling efektif. Sesekali dalam bukunya Scott mempertanyakan, apakah perbuatan seperti mencuri hingga membunuh hewan ternak dapat dianggap sebagai resistensi meskipun tidak dilakukan secara kolektif dan terbuka untuk menantang struktur
perubahan pasar dan kebijakan agraria maka mereka lebih mudah menerima ideologi revolusioner yang menjanjikan perbaikan tata politik dan stabilitas ekonomi. Hal tersebut karena mereka memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis, yang tidak dimiliki oleh petani ‗gurem‘ ataupun buruh perkebunan
17
dasar hak milik dan dominasi. Terdapat dua ―penelusuran‖ penting dalam hal ini. Pertama, memahami makna dibalik tindakannya, hingga dalam temuan Scott, mencuri itu dikatakan sebagai bentuk pemberian zakat oleh orang kaya yang harus diambil sendiri oleh si petani miskin. Para petani menganggap bahwa mencuri adalah tindakan sah untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi hak mereka, meski sebenarnya mereka enggan melakukannya (Scott, 1985:289-291). Kedua berkaitan dengan definisi dan analisisnya, kecenderungan pemikiran yang sudahsudah selalu mengatakan bahwa mencuri adalah sebagai aksi pengorbanan jangka pendek seseorang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan jangka panjang yang lebih menguntungkan. Namun Scott punya pendapat lain, sebagaimana ia memberi contoh kasus seperti yang terjadi pada sebagian besar petani di Asia Tenggara. Para petani menyembunyikan padi dan harta miliknya dari incaran mata pemungut pajak. Hal ini selain merupakan bentuk protes terhadap pengenaan pajak yang tinggi, tetapi juga merupakan upaya untuk memastikan keluarganya memiliki persediaan padi yang cukup sampai musim panen berikutnya. Jika memakai konsep Scott tentang resistensi dan perlawanan sehari-hari itu, di Ensunak bentuknya mengambil rupa yang lain. Terminologi yang sering dipakai adalah ―ngakal‖, atau ―akal-akalan‖. ―Perusahaan suka ngakal‖, bukan berarti masyarakat tidak. Akal disebut sebagai daya pikir (untuk memahami sesuatu), perihal pikiran sampai ingatan termasuk didalamnya. Semua manusia punya akal, oleh karena itu ―orang gila‖ seringkali dianggap sedang ―kehilangan akal‖. Akal terwujud dari cara manusia melakukan sesuatu, daya upaya, atau kemampuan melihat dan memahami lingkungannya. Sedangkan ―akal-akalan‖
18
atau ―ngakal‖ seringkali berkonotasi dengan pura-pura dan bohong-bohongan. Konsep ―ngakal‖ erat kaitanya dengan ‗siasat‘, namun ―ngakal‖ atau ―akalakalan‖ itu lebih ‗bersifat negatif‘ karena merujuk pada daya-upaya untuk melakukan sesuatu (demi memenuhi suatu tujuan yang menguntungkan diri sendiri) dengan cara menipu, licik, mencurangi, membodohi, ataupun berpurapura bodoh5. Pertarungan dan perlawanan bukan hanya terjadi antara level bawah (masyarakat) melawan penguasa (yang dalam hal ini perusahaan, tokai, ataupun elit desa) saja, namun juga antarsesama masyarakatnya. ―Di mana ada penindasan di situ ada perlawanan‖, ternyata tidak sepenuhnya tepat. Ada kemungkinan lain yang berbentuk serupa rantai makanan: yang kuat memakan yang lemah, sedangkan yang lemah memakan yang lebih lemah lagi, dan seterusnya. Ada pula yang ―kacau-balau‖(chaos), saling menyerang, memanfaatkan demi keuntungan diri sendiri. Segala kompleksitas itu terwujud dalam fenomena (baca: kenyataan yang sering terulang) akal-akalan di Ensunak. 3. Ekslusi dan Resiprositas Negatif Sejak berakhirnya Perang Dingin hingga Krisis Ekonomi tahun 2007 lalu. Banyak ahli telah berbicara tentang tentang globalisasi dan proses eksklusi, tetapi yang perlu dilihat di kedua konteks di atas adalah, powers yang bekerja di ruang geografis-sejarah masyarakat di Asia tenggara selalu berubah dari waktu ke waktu, demikian juga prosesnya, aktor-aktor yang terlibat, dampak bagi mereka (baik yang kalah maupun menang), hingga bentuk-bentuk ―perlawanan” atas 5
. Lihat Tesaurus Bahasa Indonesia (2008: 10) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi offline yang mengacu pada data KBBI Darling (Edisi III ), diunduh gratis dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. Kata pencarian ―akal‖.
19
eksklusi yang terjadi. Pada ranah inilah Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (2003) mencoba mengeksplorasi, bagaimana dan mengapa berbagai kenyataan di atas bisa muncul, kekuasaan (power) seperti apa yang bekerja dalam transformasi itu, siapa aktor yang mendorong atau melawan perubahan yang terjadi, pada relasi pertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditimbulkan dari perubahan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan waktu dikupas. Tania Li dan kawan-kawan (op. cit) itu melihat ―eksklusi‖ yang terbagi dalam dua pengertian, yang pertama sebagai ―kondisi‖, di mana seseorang berada dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi ketika tanah dikuasai dalam bentuk kepemilikan pribadi (private property). Sedangkan kedua adalah ―eksklusi‖ yang bermakna ―proses‖, di mana aksi-aksi kekerasan intens dan berskala luas mampu mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya dikarenakan ―orang yang berkuasa‖. Eksklusi bukanlah proses acak, ia dibentuk oleh pelbagai relasi kekuasaan. Seperti yang terjadi pada sebagian besar kawasan pedesaan di Asia Tenggara, temuan mereka mengatakan bahwa, kondisi dan proses eksklusi tercipta dari interaksi empat unsur, yakni: kebijakan (regulation), kekuatan (force), pasar (market) dan pengesahan (legitimation). Kendati tidak eksklusif, namun ‗kebijakan‘ seringkali diasosiasikan dengan ‗instrumen‘ legal-negara yang menetapkan aturan (terhadap) akses atas tanah dan kondisi penggunaannya. ‗Kekuatan‘ adalah kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang dilakukan negara atau asing. ‗Pasar‘ juga sebagai wujud dari kekuatan eksklusi yang bekerja untuk membatasi akses melalui bentuk ―harga dan
20
kreasi
insentif‖
dengan
semakin
ter-privatisasi-nya
tanah.
Sedangkan
‗pengesahan‘ yang menentukan dasar moral atas klaim, sehingga dapat berperan dalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan untuk menjadi basis eksklusi yang secara politik dan sosial dapat diterima. Sedangkan “powers of exclusion” untuk menandai transformasi agraria di Asia Tenggara berhasil mereka temukan dalam 6 bentuk, yang pertama adalah; ‗keberlangsungan‘ akses atas tanah melalui program pemerintah, sertifikasi tanah, formalisasi dan (proses) pemukiman6. Kedua, ―ekspansi spasial‖ dan intensifnya upaya untuk melakukan konservasi hutan dalam bentuk pelarangan pertanian. Ketiga, hadirnya ―boom crops‖ yang sekonyong-konyong terlihat masif, cepat, dan keras, hingga mampu membuat tanah-tanah berganti menjadi lahan untuk produksi monocrops. Keempat adalah terjadinya “konversi‖ lahan pertanian untuk tujuan-tujuan ―pasca-agraria‖. Kelima adalah terbentuknya formasi kelas agraris yang ―intim‖ dalam skala desa. Sedangkan yang keenam ialah mobilisasi massa untuk mempertahankan atau menuntut akses atas tanah mereka, namun dengan mengorbankan para pengguna lain. Dalam bukunya Stone Age Economics, Marshal Sahlins (1974) pada intinya mengungkapkan bahwa masyarakat berburu dan meramu yang selama ini dianggap sebagai masyarakat yang tidak efektif dalam memenuhi kebutuhannya, justru sejatinya adalah masyarakat yang paling mudah untuk dipenuhi kebutuhannya. Ini adalah tangkisan dari temuan para peneliti sebelumnya 6
. Settlement di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ‗penyelesaian‘ dan dalam konteks wilayah diartikan ‗perkampungan‘ atau ‗permukiman‘. Bedakan antara ―permukiman‖ yang bermakna daerah tempat tinggal (kampung, dusun, desa, hingga negara), sedangkan ―pemukiman‖ berarti proses, tindakan, atau cara memukimkan. Oleh itu, settlement process dapat diartikan sebagai pemukiman.
21
menganggap bahwa masyarakat berburu dan meramu yang tradisional itu masih belum memiliki kemampuan teknis yang baik, sehingga ia bekerja terus menerus dan belum memiliki waktu luang. Padahal masyarakat ini berbeda dengan masyarakat konsumtif yang kebutuhannya banyak, tapi kerjanya sedikit. Kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan membeli dari masyarakat lain, ini berarti ada industri di sana. Masyarakat berburu-meramu memiliki kebutuhannya sedikit tapi kerjanya banyak, dan yang demikian, adalah masyarakat makmur sejati. Sahlins menyebutkan tiga bentuk resiprositas dalam masyarakat berburu dan meramu. Pertama adalah resiprosiatas umum (generaled reciprocity). Pada resiprositas ini transaksi yang terjadi punya kecenderungan yang sifatnya altruistik. Misalnya, jika A memberikan ‗sesiatu‘ kepada B, jika mungkin dan diharapkan, B pada gilirannya memberikan ‗sesuatu pada A. Dalam tipe ideal Malinowski contohnya adalah pemberian murni (yang digambarkan dengan model: AB). Hubungan timbal balik ini tidak ada aturan yang mewajibkan satu pihak untuk memberi kembali (atau mengembalikan) pada pihak yang telah memberi sesuatu padanya. Ketika pemberian tidak dibalas maka tidak masalah, hal itu tidak menyebabkan pemberian berikutnya berhenti. Resiprositas umum ini juga mirip dengan terminologi Islam yang biasa disebut ikhlas. Biasanya, resiprositas jenis ini terjadi dalam hubungan yang lebih personal. Seperti orang tua kepada anak, atau pada sesama keluarga batih (rumah tangga). Kedua adalah resiprositas berimbang (balance reciprocity). Sahlins menggambarkan dengan model AB yang maksudnya adalah pertukaran langsung. Suatu barang yang diberikan masing-masing pihak equivalen atau
22
setara. Ditukar tanpa ada penundaan waktu dan memiliki nilai yang sama. Contohnya seperti ‗perdagangan‘ atau transaksi jual beli yang dilakukan secara langsung. Tidak ada penundaan waktu: saya bayar, kamu kasih barang atau jasa. Bentuk ini sifatnya lebih ekonomis dan karakternya kurang ‗personal‘ dibanding resiprositas umum. Tidak ada hubungan akrab yang intens dalam pertukaran itu. Dilihat dari sudut pandang kita yang lebih ekonomis‘ (modern) kedua belah pihak berhadapan ini berhadapan secara langsung dengan segala perbedaaan ekonomi dan sosial yang berlainan. Jika pada resiprosiatas umum arus barang (material) dipertahankan keberlangsungannya melalui relasi sosial, dalam pertukaran model ini, relasi sosial justru bergantung pada arus barang. Resiprositas ketiga adalah resiprositas negatif. Inilah bentuk pertukaran yang paling impersonal. Resiprositas ini merupakan usaha untuk mendapatkan sesuatu tidak untuk apapun dengan terbebas dari hukuman. Menjadi impersonal (atau kurang personal) tadi karena yang diutamakan adalah manfaat dan kepentingannya. Terminologi yang dipakai ditunjukkan dalam istilah ‗tawarmenawar‘, barter, berjudi, penipuan, pencurian dan variasi lain-lain yang serupa. Tiap partisipan berhadapan satu sama lain sebagai representasi dari ketertarikan yang saling berlawanan, masing-masing memaksimalkan kegunaan yang ada dan bisa didapatkan dari pihak lain. Arus barang mungkin berjalan satu arah, proses timbal-balik bergantung pada pengumpulan tekanan atau akal-akalan dari kekuatan yang bisa menyeimbangkan pihak lain dengan efek berlawanan yang dimilikinya. Modelnya digambarkan dengan (Efek A) A---> <--B (Efek B). Ciri resiprositas ini ditunjukkan Sahlins dengan adanya kepentingan yang berbeda dari
23
tindakan, berjalan searah, atau hanya menguntungkan salah satu pihak. Contohnya begini, perusahaan ingin dapat tanah untuk membuat kebun sawit dan masyarakat pun ingin punya kebun kelapa sawit. Masyarakat menyerahkan 7 ha tanah pada perusahaan, untuk mendapatkan 2 ha kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat tetap saja membayar kredit atas 2 ha kebun itu, sementara ia telah ―menyerahkan‖ 5 hektar tanah pada perusahaan. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja perusahaan. Dalam pada itu, Sahlins menggambarkan model untuk menganalisis resiprositas, yang mana terdapat 4 sektor di dalamnya. Semakin luas sektor tempat tinggal-kekerabatan (kinship-residential sectors) maka sifatnya pun semakin inklusif. Ada berbagai macam karakter resiprositas seturut kedudukan sektornya. Kerabat dekat yang berperan dalam pertukaran adalah kerabat yang dekat secara ‗ruang‘, spasial/ tempat tinggal: seperti rumah tangga, kerabat, permukman, sektor suku atau bisa juga desa.
Resiprositas umum dominan di ranah paling sempit (rumah tangga). Resiprositas berimbang ada pada sektor tengah-tengah, dan resiprositas negatif berada pada ranah pinggiran (intertribal sector). Pada setiap sektor selalu ada aktor yang punya relasi ekonomi. Pada sektor suku (intertribal sektor) misalnya, relasi ekonomi yang terjadi antar suku, atau suku dengan komunitas lain dari luar.
24
Karakter resiprositas, semakin keluar atau semakin besar maka semakin impersonal. Jika dilihat dari konsep ini, maka resiprositas negatif dengan pihak perusahaan, aktornya adalah ―orang yang mempunyai posisi dalam lingkup tribal atau suatu komunitas. Kepala adat yang punya posisi struktural, dia yang punya akses untuk berhubungan dengan orang diluar komunitasnya. Namun dalam bukunya, Sahlins juga melihat bahwa evolusi kebudayaan yang terjadi pada masyarakat tribal sebagai produk sekunder dari ekspansi negara. Sama saja dengan di Ensunak, pejabat negara masuk mengubah struktur sosial masyarakat, menjadi jembatan antara orang luar dengan masyarakat dan ternyata resiprositas negatif terjadi. Pada kasus Ensunak resiprositas negatif, uang menjadi instrumen paling penting dalam kehidupan, bahkan merebak hingga sektor rumah tangga, dan terwujud dengan ngakal demi dapat uang. E. Metode Penelitian Meliau, di warung kopi seberang makam Pangsuma saya bertemu dengan seorang pemilik biro perjalanan yang pernah menjadi guru di ‗pedalaman‘ Meliau. Keluh kesah menjadi guru disampaikan, cerita-cerita tentang masyarakat ―di pedalaman‖ pun dibagikan. Konon, di sana masih banyak hutan, masih ada orang berladang, dan segala hal yang sifatnya ‗tradisional‘ masih bisa ditemui, meskipun kini ada juga perkebunan kelapa sawit. Namanya dusun Ensunak, Desa Enggadai, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak itulah, dusun Ensunak ‗dipilih‘ sebagai lokasi penelitian saya. Besar harapan bahwa di dusun itu sedang terjadi proses perubahan agraria –atau konversi hutan, ladang, bawas (hutan bekas ladang), kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit.
25
Alasan lain dipilihnya dusun Ensunak lokasi dalam penelitian ini adalah karena cakupan wilayah dusun ini sangat luas. Kendati tidak diketahui berapa luas pasti Ensunak, namun dua pemukiman yang letaknya lebih dari 11 km di sebelah barat (pusat) dusun saja masih menjadi bagian administratifnya, Longsat dan Sokek. Saat saya melakukan penelitian di dusun ini, jumlah kepala keluarga 134, sedangkan total penduduknya 413 jika termasuk balita dan anak-anak. Pun dalam satu dusun ini saja, sudah ada perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta, kebun pribadi skala besar (lebih dari seratus HA), kebun plasma, kebun karet, hutan dan ladang juga masih bisa ditemui. Belum lagi masih ada yang sedang melakukan transaksi jual-beli tanah dalam sekala besar juga, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sedang mulai tanam. Demikian saya putuskan untuk fokus penelitian hanya di dusun Ensunak saja, kendati saya tetap berkunjung ke dusun dan desa lain. Berbekal ‗metode penelitian‘ yang saya pelajari saat kuliah dan berpedoman pada buku Participant Observation karya Danny L. Jorgensen (1989). Rencananya, saya hendak menggunakan metode ‗participant observation diam-diam‘ dalam penelitian ini. Seperti: saya hendak berkerja di perkebunan kelapa sawit, ―menyamar‖ sebagai buruh dan tinggal di camp selama sebulan, lantas beberapa bulan sisanya, saya akan tinggal di rumah guru yang ada di perkampungan penduduk. Kala itu di benak saya, guru adalah karena sosok yang (biasanya dianggap) netral dan dihormati. Namun rencana itu gagal sejak hari pertama sampai di Ensunak. Selain karena izin dari Kabupaten-Kecamatan belum saya dapatkan kendati sudah diurus beberapa bulan sebelumnya, niat untuk
26
tinggal di rumah (dinas) guru SD justru membuat saya dicurigai. Di rumah dinas itu tidak ada listrik dan hanya sebulan sekali sang guru datang, dan disana pernah ada guru (bantu) yang tertangkap tangan melakukan pencurian –lalu dihukum adat. Alhasil Pak Kadus meremomendasikan untuk tinggal di rumahnya, ―agar mudah diawasi‖, katanya di kemudian hari. Tinggallah saya di sana, berbagi kamar dengan tenaga kerja pembibitan dan agen pembeli tanah. Di luar rumah penampilan dan tampang saya selalu menjadi ‗perhatian‘ banyak orang, namun bukan dalam ‗arti yang positif‘. Karena mata mereka melihat saya dengan kecurigaan sempurna. Beberapa orang berpaling saat diajak bicara, ada juga yang (hanya) mengangguk namun tetap melotot saat diajak berkenalan. Sampai hari ketiga, rasa bosan dan terasing membuat saya memberanikan diri untuk mendekati bapak-bapak yang berkumpul di depan warung. Berlagak heroik, saya membeli arak segelas, barulah ada yang mengajak bicara dan bertanya-tanya. Hari-hari berikutnya, kalimat yang sekiranya berkata, ―Saya kira kamu orang jahat. Gondrong, punya bulu dagu pula‖, sering sekali saya dengar7. Pun semenjak itulah ‗saya selalu terbuka‘ dan mengaku pada semua orang (yang bertanya) bahwa saya tinggal di Ensunak untuk melakukan penelitian sosial. Hanya saja topiknya selalu berubah-ubah, kadang mengaku tentang perubahan agraria, kadang hal lain. Misalnya ketika sedang berhadapan dengan kepala Adat, maka saya mengatakan jika penelitian saya tentang sejarah-budaya. Namun ketika di perkebunan dan sedang membahas tentangnya, maka saya bilang bahwa saya sedang penelitian tentang kelapa sawit. 7
. Mayoritas penduduk Ensunak (terdata) beragama Katolik. Sedangkan pada tahun 2010 televisi sering memberitakan tentang kekerasan yang dilakukan salah satu Ormas Islam (baca FPI) yang notabene memiliki jenggot.
27
Mengenai aturan dan strategi agar bisa diterima di masyarakat itu, Jorgensen (1989: 37) berpendapat bahwa, seringkali yang mempengaruhi ―terbukanya‖ suatu masyarakat itu adalah karena politik (kekuasaan orang tertentu dalam masyarakat tersebut). Jadi penerimaan dapat diperoleh secara terangterangan, dengan meminta ijin kepada pihak petinggi masyarakat; juga secara diam-diam, yang kurang disukai beberapa ahli karena menurut mereka bersifat tidak etis dan tidak jujur pada masyarakat yang diteliti. Namun jika ‗terangterangan‘ hanya dengan ―petinggi masyarakat‖ saja, saya kira tetap tidak etis. Karena saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: bagaimana jika informan marah ketika tahu bahwa mereka sedang menjadi subyek penelitian saya, dan apa manfaatnya bagi mereka jika hidupnya sama saja? Oleh karena itu, seringkali saya pun meminta izin secara lisan jika kelak, ceritanya, obrolan, dan semua pengalaman saya selama di Ensunak ataupun di seluruh Kalimantan Barat akan menjadi sebuah tulisan. Dalam pada itu, tinggal di rumah kepala dusun justru sangat menguntungkan penelitian ini. Segala urusan administrasi sampai siapapun ‗orang dari luar dusun Ensunak‘ yang datang –wajib untuk mendapat ijin dari Kepala Dusun, ia adalah perantara ‗orang luar‘ dengan ‗orang Ensunak‘. Kepala Dusun biasa menjadi ‗jembatan‘ antara perusahaan dan masyarakat, ia bahkan selaku akses untuk urusan jual-beli tanah. Mengenai ―politik kekuasaan‖ yang menempatkan orang lain menjadi kawan atau lawan, itu bukan soal penting lagi bagi saya. Karena pada bulan pertama ketika melakukan penelitian ini, saya hanya ‗mencukupkan diri‘ dengan melihat, dalam arti mengamati atau observasi.
28
Dengan metode itu saja sudah cukup banyak hal baru yang tertangkap oleh mata saya. Cukup dengan ‗melihat‘, saya mengetahui rumah-rumah siapa saja yang dialiri listrik, mengetahui tingkat konsumsi dari sampah yang ada di depan rumahnya, juga mengamati kebiasaan orang, dan telatahnya. Pertanyaanpertanyaan yang saya lontarkan hanya untuk mengakrabkan, bukan untuk wawancara, dan saya malah lebih sering ditanya daripada bertanya. Bulan-bulan berikutnya, banyaknya informasi yang saya dapatkan justru berasal dari mengobrol di halaman rumah, di warung arak, ataupun di kebun sawit sembari menemani berkerja. Saya datang untuk penelitian, tetapi saya juga datang untuk menjadi teman bagi narasumber. Menjadi orang yang bisa dipercaya atau ‗teman‘ itu membuat saya mendapatkan banyak data. Keluhan, siasat, prinsip, intrik, ide, strategi, akal-akalan, impian hingga apa saja yang pernah dilakukan adalah data yang penting saya dapatkan dari ngobrol. Saya tidak membuat pertanyaan dengan terstruktur, semua obrolan ‗mengalir‘ sampai pada satu bulan terakhir ‗di lapangan‘, kemudian fokus pada soal jual-beli tanah. Dalam mengumpulkan data, saya jarang membawa buku catatan ke manamana, apalagi menulis ketika orang bicara, itu membuat orang yang sedang bicara tidak merasa nyaman. Mencuri waktu untuk menulis juga susah, karena setiap orang akan melihat dan mencoba membaca. Pernah suatu kali saya menulis setelah mengobrol, karena melihat orang mencatat mereka bertanya dan curiga tentang apa yang saya tulis. Hal itu membuat narasumber enggan berbagi cerita lagi pada saja. Jadi, saat mendapat data, yang bisa saya lakukan hanya menulis poin-poin penting dalam ‗program Notes‘ yang ada ponsel saya. Berpura-pura
29
sedang menulis SMS (pesan teks). Kendati tidak ada sinyal, saya punya alasan sedang menulis kegiatan hari ini, untuk diberi tahukan pada keluarga, sehingga, kelak ditempat sinyal hanya mengirim SMS saja. Selain itu saya mensiasati dengan membawa kamera, memfoto situasi atau orang-orang guna mengingat urutan kejadian yang sudah saya lewati dalam sehari. Setelah pulang dari observasi ataupun mengobrol itu, poin-poin yang ada dalam notes ponsel itu saya deskripsikan, dijabarkan dan dicatat dalam komputer jinjing, pada malam hari selagi listrik yang dialirkan oleh mesin diesel milik Pak Kadus menyala 3 sampai 5 jam setiap harinya. Metode wawancara tidak banyak digunakan dalam penelitian ini. Karena selain membosankan, saya juga merasa bahwa metode itu membuat ‗komunikasi berjalan searah‘ dan tidak berimbang: saya bertanya lantas narasumber menjawab. Cukup beruntung jika ada mau menjawab, apalagi sampai mendapat jawaban yang jujur. Karena demi mendapatkan data yang valid (atau jujur itu) diperlukan probing (bertanya kembali pada informan yang sama ataupun informan lain). Menurut pengalaman, biasanya narasumber hanya menceritakan ―hal-hal baik saja‖ atau menempatkan diri pada posisi yang dirugikan. Namun wawancara itu tetap saya pakai untuk mencari data sejarah –lisan, meskipun pada praktiknya, hal itu seperti memaksa orang untuk mengingat tentang apa yang sudah ingin dilupakan. Adapun metode wawancara ternyata juga saya gunakan ketika saya sudah tidak lagi di Ensunak, ‗kemajuan teknologi‘ (dalam hal ini seluler atau ponsel itu) membatu saya dalam melengkapi kekurangan data di lapangan.
30
Agar data penelitian ini dapat menghasilkan tulisan yang ‗berisi dan tetap renyah dibaca‘, maka saya tetap mengikuti anjuran Geertz (1973:10), thick description yang rasanya masih diperlukan untuk memahami konteks atau situasi. Dalam pada itu, selain sumber data dari lapangan sebagai data primer, tidak menutup kemungkinan penggumpulan data juga diambil dari koran, artikelartikel, buku, ataupun majalah yang berkaitan dan relevan sebagai data sekunder. Pun itu juga berguna sebagai data pendukung, pembanding, sekaligus literatur. Setelah semua data terkumpul, maka peneliti akan mencoba menafsirkan serta menggambarkan berbagai pemikiran, perasaan, penglihatan dan tindakan yang dilakukan oleh tineliti berdasarkan nilai kepercayaan, norma yang dianut oleh tineliti (Geertz, 1973: 10 via Budiawan, 2008: 24). Harapannya adalah, penelitian ini mampu menjadi (atau dianggap) sebagai etnografi yang efektif, menarik untuk dibaca, dan mampu menggugurkan bentuk-bentuk gagasan yang sifatnya generatif.