BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang Demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecuali. (Undang-Undang Dasar 1945) Untuk mewujudkan / merealisasikan keinginan tersebut, dalam Repelita nasional III dan dalam keterangan pemerintah tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1981 dicantumkan usaha mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum yaitu dengan melakukan penertiban pada alat-alat penegak hukum dan keadilan. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju tidak hanya orang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi juga perbuatan hukum yang akan terjadi serta kepada alat perlengkapan negara diharapkan bertindak menurut hukum. Sistem kerja yang demikian adalah salah satu bentuk penegak hukum. Proses pembangunan
dapat
menimbulkan
kemajuan
dalam kehidupan
masyarakat, selain itu juga menimbulkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif termasuk peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah mengenai masalah
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Di berbagai dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibanding dengan tindak pidana lainnya karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan dampak negatif bagi negara. Dampak perbuatan korupsi juga menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil makmur untuk tercapainya tahap lepas landas (take off) ekonomi menurut Rostow diperlukan pertumbuhan ekonomi (pertambahan GNP) lebih cepat dari pertambahan penduduk. Untuk itu diperlukan melakukan pengumpulan modal yaitu dengan melakukan sistem pajak progresif, yang artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana korupsi ini dapat
membahayakan
stabilitas
dan
keamanan
masyarakat,
membahayakan
pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan merusak moralitas. Korupsi juga merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat, sama dengan jenis kejahatan lain, seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia ada diatas muka bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi meningkat seiring dengan kemajuan, kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan mendorong orang untuk melakukan berbagai kejahatan, termasuk korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan yakni di bidang eksekutif, di bidang legislatif dan bidang yudikatif. Daniel Kaufman dalam laporan mengenai bureaucratic and jidicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang. Dikatakan bahwa tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari ini, menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih. Di era reformasi selama lima tahun terakhir ini, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal yang sangat ironis, karena mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan KKN. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Kegagalan elit politik Indonesia melakukan upaya serius dalam memberantas korupsi jelas akan membahayakan demokrasi. Rakyat akan menyalahgunakan demokrasi atas kesulitan yang sedang dihadapi yang disebabkan korupsi. Defenisi korupsi salah satunya tercantum dalam pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Perilaku koruptif sesuai dengan defenisi diatas dalam birokrasi pemerintahan Indonesia semakin merajalela. Bangsa Indonesia jelas akan memasuki gerbang masa kritis bahkan dapat menuju kepada gejala kelabilan dalam segala aspek kehidupan termasuk perekonomian sebagai aspek yang terpenting, apabila pemberantasan korupsi di Indonesia tidak segera dilaksanakan dengan efektif. Sudah banyak ancaman pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku korupsi, contohnya pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, INPRES No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan korupsi dan Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, 2003). Namun, ternyata regulasi-regulasi tersebut tidak memberikan dampak. Sebagai bukti, menurut laporan The Political & Economic Risk Consultancy (2006), birokrasi negeri kita menduduki peringkat pertama sebagai birokrasi terkorup di Asia 1. Selain pembenahan dari segi perundangan-udangan (substansi hukum), maka pembenahan guna mengatasi tindak pidana korupsi juga dilakukan pada struktur hukumnya. Struktur hukum yang dimaksud berkaitan dengan sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari “Criminal Justice System” sebagai suatu sistem yang mencakup perangkat atau komponen dalam upaya penegakan hukum yang tercermin dalam hukum acara pidana Indonesia yang berpatokan kepada KUHAP atau UU Nomor 1
Dewi Lestari Djalal, Korupsi Ancam Daya Saing Global Indonesia, KOMPAS, Rabu,25 Juli 2007
Universitas Sumatera Utara
8 Tahun 1981, yang dalam hal ini dibutuhkan peran dan kerjasama dari aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi2,salah satunya adalah Kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang menjalankan tugas dan wakil pemerintahan dalam menegakkan hukum negara yang bersifat publik. Praktek korupsi yang cenderung meningkat merupakan pekerjaan serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 jo. UU No 5 Tahun 1991 jo. UU No. 16 Tahun 2004 merumuskan tugas kejaksaan di bidang yustisial, yaitu melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi : penyidikan, penyidikan lanjutan dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidikan lainnya. Hadirnya undang-undang ini telah memperkokoh landasan hukum bagi lembaga kejaksaan untuk terus menyidik tindak pidana korupsi. Bahkan, Kewenangan penuntutan dan penyidikan tersebut telah berada di tangan satu lembaga. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi kejaksaan,sehingga hampir semua kasus korupsi yang disidangkan oleh Pengadilan adalah merupakan hasil dari penyidikan dan penuntutan lembaga Kejaksaan. Kejaksaan dalam bidang penyidikan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi. Khusus berkaitan dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi, selain menjalankan tugas diatas Kejaksaan selalu berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
2
O.C.Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusu dalam Pemberantasan Korupsi.Bandung :P.T. Alumni, 2006, halaman 6-7.
Universitas Sumatera Utara
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara Pidana dan Yurisprudensi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Kenyataan masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi skeptis dengan kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai dugaan korupsi. Hal ini disebabkan karena banyak kasus korupsi yang diajukan ke Kejaksaan belum/tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, bahkan justru dibebaskan. Anggapan merosotnya kinerja Kejaksaan ini sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan sistem politik yang berlaku. Dengan gambaran berbagai hal mengenai korupsi, selanjutnya akan dicoba memberikan penjelasan mengenai Tindak Pidana Korupsi serta Kewenangan dan Peranan Jaksa dalam melakukan Penyelesaian Penyidikan kasus Korupsi. Terakhir sebagai lampiran, yaitu beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. B.Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Kewenangan Kejaksaan dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimana Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi?
Universitas Sumatera Utara
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.Tujuan Penulisan Berdasarkan ruang lingkup permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan yang dilakukan adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Jaksa dalam Penyelesaian tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Medan. 2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur dan praktik Pelaksaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi. 2.Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a) Secara Teoritis 1. Penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan. 2. Menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana, serta menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi b) Secara praktis 1. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan untuk membantu penegak hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kedudukan dan peranan Kejaksaan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana korupsi. D.Keaslian penulisan Penulisan skripsi yang berjudul (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak terjadi kasus korupsi dan bagaimana peranan dan kedudukan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum, belum ada yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas,karena sudut pembahasan masing-masing tulisan pasti berbeda,dengan demikian penulis skripsi ini adalah asli. E.Tinjauan Pustaka 1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian Peranan adalah aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Sedangkan, Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, dan menyelesaikan berbagai-bagai arti seperti pemecahan. 2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara Pidana Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
Universitas Sumatera Utara
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya 3. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara umum terdapat dua pejabat penyidik yang berhak melakukan penyidikan. Pejabat penyidik terdiri dari: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undangundang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik, menyelidik; mengamat-amati4. Penuntutan tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan 5. Putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). 3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan II, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989, halaman 837. 5 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) 4
Universitas Sumatera Utara
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 4.Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Tindak Pidana korupsi dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tentang ruang lingkup tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seda ngkan ruang lingkup tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Ruang lingkup tindak pidana korupsi terdiri dari : 1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa : “ 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara; 2. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang Pada dasarnya, kata setiap orang menujukkan kepada siapa orangnya yang harus bertanggungjawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang harus dijadikan terdakwa. Tegasnya, kata setiap orang
Universitas Sumatera Utara
identik dengan terminologi kata barang siapa menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi Tahun 2005, Halaman 209 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 Januari 1995 kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa atau orang sebagai subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam segala tindakannya sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subyek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggungjawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya, kemampuan bertanggungjawab tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subyek hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggungjawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie Van Toelichting (MvT). b. Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Sebenarnya, terminologi “memperkaya” dalam konteks tindak pidana korupsi ini telah dikenal melalui ketentuan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo. Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958, Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960, Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada dasarnya, maksud dari memperkaya diri sendiri disini dapat ditafsirkan suatu perbuatan bahwa si pelaku bertambah kekayaannya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya diri dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah
Universitas Sumatera Utara
keyaannya. 6 Sedangkan pengertian memperkaya orang lain menurut Darwan Prints maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. 7 c. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara melawan hukum sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana. Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal dan perbuatan melawan hukum materil telah lama dianut dalam praktik peradilan Indonesia. Kemudian, dalam praktik peradilan terhadap tindak pidana korupsi khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan nuansa baru dan melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana, tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil ke arah positif melalui kriteria limitatif dan kausistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik telah dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata
6
Lilik mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif Teoritis Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, hlm.81 (selanjutnya disebut Buku I) 7 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.8 2. Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas apabila ditarik unsur-unsurnya maka terdapat beberapa unsur-unsur yang sama dengan Pasal 3 yaitu : a. Setiap orang; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain; Menurut Andi Hamzah, pengertian menguntungkan diri sendiri suatu unsur yang biasa dalam hukum pidana, seperti tercantum juga dalam Pasal 378 dan Pasal 423 KUHP. 9 Sedangkan menurut Sudarto, perkataan menguntungkan suatu badan (korporasi) disitu tidak hanya badan swasta, misalnya PT, yayasan dan sebagainya, tetapi juga badan pemerintahan, misalnya kantor, jawatan/dinas, dan sebagainya. 10 c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 3. Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : 1. Setiap orang yang : a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 8
Lilik Mulyadi (Buku I), Op.cit. Hlm. 83 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.106 10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm.141 9
Universitas Sumatera Utara
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Jadi berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diketahui bahwa baik orang yang memberi janji pegawai negeri atau penyelenggara negara maupun pegawai negeri atau penyelenggara negara, dihukum dengan hukuman yang sama dan merupakan tindak pidana korupsi. 4. Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 : Setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Dalam ayat (2) dinyatakan : “Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).” Sama halnya dengan Pasal 5, baik orang yang memberikan janji maupun hakim yang menerima pemberian, dihukum dengan hukuman yang sama. 5. Pasal 7 menyatakan : 1. Dihukum dengan tindak pidana korupsi : a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
Universitas Sumatera Utara
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. 2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 6. Pasal 8, lingkup tindak pidana korupsi meliputi : “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut”. 7. Dalam Pasal 9 dinyatakan : “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.” 8. Pasal 10 menyatakan : “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
Universitas Sumatera Utara
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.” 9. Dalam Pasal 11 dinyatakan : “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”. 10. Dalam Pasal 12 ruang lingkup tindak pidana korupsi meliputi : a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
Universitas Sumatera Utara
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 11. Pasal 13 merumuskan tindak pidana korupsi dengan : “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.” Selain tindak pidana korupsi, ruang lingkup tindak pidana korupsi juga melingkupi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21-24 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari: 1. Dalam Pasal 21 dinyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.” 2. Pasal 22 menyatakan; “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.” Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 28 yaitu : Tersangka yang untuk kepentingan penyidikan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
Universitas Sumatera Utara
orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 29 yaitu: Gubernur Bank Indonesia apabila tidak memenuhi permintaan Penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tentang keterangan keuangan tersangka atau terdakwa. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 35 yaitu: Saksi atau ahli yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 yaitu: Mereka yang dengan sengaja tidak memberikan atau keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia, mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia. 3. Pasal 23 menyatakan: “Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana” Yang dimaksud dalam Pasal ini adalah: Jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP adalah pelaku tindak pidana dalam perkara yang bukan perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana adalah pidana yang dicantumkan dalam masing-masing ketentuan tersebut dalam KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Namun jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan KUHP tersebut adalah pelaku tindak pidana dalam perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana yang dicantumkan dalam Pasal 23. 4. Pasal 24 menyatakan: “Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31” Yang dimaksud dalam Pasal 31 yaitu: saksi dalam tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor; 2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor; 2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. 5.Ruang Lingkup penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, pada Pasal 17 disebutkan : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal284 ayat 1 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Dengan berlakunya KUHAP dimana ditetapkan bahwa tugas tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pajabat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHAP, maka Kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan tertentu
Universitas Sumatera Utara
perkara-perkara tindak pidana umum. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu ( Tindak Pidana Khusus). F.Metode penelitian Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh sesuatu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan 11. Soerjono Soekanto berpendapat menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; 2. Suatu teknik yang uum bagi ilmu pengetahuan; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur12. 1.Jenis penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara yuridis normatif dan studi lapangan. Secara yuridis normatif yakni dengan melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yaitu dengan meneliti data sekunder yang mencakup bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan sebagai literature dan referensi dalam penyusunan materi yang antara lain berupa sejumlah buku, himpunan peraturan
11 12
Departemen Pendidikan Nasional Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,UII Press,Jakarta, 1986, halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan yang berkaitan dengan objek pembahasan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga memanfaatkan artikel, koran dan majalah serta media elektronik untuk mendukung keakuratan tulisan yang disampaikan. Studi lapangan yakni dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dari informan yang secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara secara langsung ataupun Jaksa-Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan yang menjadi lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini. 2.Sumber dan Pengumpulan Data a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan keputusan jaksa agung republik Indonesia; c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. Data primer yang digunakan dalam penulisan ini yaitu hasil wawancara penulis di Kejaksaan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
3.Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Library research (penelitian kepustakaan) Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, bukubuku, berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyitaan barang bukti oleh jaksa terhadap kekayaan tersangka dalam tindak pidana korupsi. b. Field research (penelitian lapangan) Yaitu
dengan
meneliti
langsung
ke
lapangan
mengenai
pelaksanaan
penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dengan melakukan wawancara. 4.Analisis Data Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber-sumber, bahan-bahan hukum primer dan sekunder untuk kemudian akan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta dianalisis, serta data yang diperoleh dari penelitian lapangan akan diedit sesuai dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin dijawab. G.Sistematika Penulisan Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini.Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat ) bab, yaitu : BAB I. Pendahuluan ; Dalam bab ini akan diuraikan tentang latarbelakang pemikiran penulis sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat
Universitas Sumatera Utara
yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan ini. BAB II. Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini diuraikan tentang pelaksanaan hukum dan kedudukan jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi serta kewenangan dan peranan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi. BAB III. Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini membahas tentang Prosedur dan praktik melakukan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi oleh pihak kejaksaan, Pemberkasan Berita acara dan penyerahan hasil penyidikan oleh jaksa serta berakhirnya penyidikan oleh jaksa dalam tindak pidana korupsi secara umum di Indonesia dan secara khusus di Medan, sehubungan dengan dilakukannya penelitian di Kejaksaan Negeri Medan. BAB IV. Kesimpulan dan Saran ; Dalam Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.
Universitas Sumatera Utara