BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelainan genetik dengan pola pewarisan autosomal resesif yang disebabkan karena adanya mutasi pada gen penyandi rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang menyandi β-globin (Galanello, 2012), sehingga thalassemia dapat digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan letak mutasinya, yaitu α-thalassemia dan βthalassemia. α-thalassemia disebabkan adanya mutasi pada gen HBA yang berada pada kromosom nomor 16, sedangkan β-thalassemia disebabkan adanya mutasi pada gen HBB yang berada pada kromosom nomor 11 (Galanello & Origa, 2010). Mutasi yang terjadi pada gen HBA dan HBB tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan atau bahkan tidak adanya produksi rantai globin sama sekali (Hoffbrand et al., 2006). Mutasi yang terjadi pada HBA dan HBB penyandi rantai globin ini akan mengakibatkan timbulnya kelainan atau kegagalan fungsi hemoglobin dalam mengikat oksigen, juga berdampak pada struktur dan umur eritrosit (Rogers, 2011). Ketidakseimbangan jumlah hemoglobin pada penyandang thalassemia dapat menyebabkan terjadinya hemolisis (pecahnya eritrosit) dan gangguan pada proses eritropoesis (sintesis eritrosit) (Galanello & Origa, 2010). Dampak lebih lanjut yang dirasakan oleh penyandang thalassemia adalah terjadinya anemia, pembengkakan limpa karena proses destruksi eritrosit dan terjadinya abnormalitas
1
2
pada beberapa jenis tulang yang dipacu untuk terus memproduksi eritrosit (Hoffbrand et al., 2006). Thalassemia sering ditemukan di daerah Mediterania, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara (Hoffbrand et al., 2006). Selain tersebar di berbagai wilayah negara, thalassemia juga mempunyai pola mutasi yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Cao & Galanello, 2010). Mutasi ini dapat berupa substitusi, insersi atau delesi (Sofro et al., 1996). Pada wilayah-wilayah yang mempunyai angka prevalensi tinggi terhadap thalassemia, umumnya juga terdapat kelainan hemoglobin genetis lain yaitu hemoglobinopati kualitatif, misalnya hemoglobin E (HbE), hemoglobin S (HbS) dan jenis Hb varian lainnya (Wintrobe, 2009). Arus globalisasi menyebabkan perubahan pola migrasi penduduk dunia. Hal ini mengakibatkan pola penyebaran thalassemia di dunia turut berubah. Weatherall & Clegg (2001) menungkapkan bahwa menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 1994, jumlah pembawa sifat thalassemia di dunia mencapai 25 × 107. Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang sering ditemukan, disebutkan dalam Konvensi Health Technology Assesment Indonesia pada 16 Juni 2010 bahwa angka pembawa sifat thalassemia di Indonesia mencapai 3% -5% dari total penduduk Indonesia, bahkan pada beberapa daerah tertentu di Indonesia angka pembawa sifat thalassemia mencapai 10% (Anonymous, 2010). Tingginya angka pembawa sifat thalassemia disebabkan karena pembawa sifat thalassemia bersifat asymptomatic dan tidak menunjukkan adanya gejala klinis secara fenotip bagi seorang pembawa sifat (Wintrobe, 2009).
3
Lani (2002) mengemukakan bahwa di Indonesia β-thalassemia dan HbE merupakan kelainan hemoglobin dengan prevalensi tertinggi. Tingginya angka pembawa sifat thalassemia menuntut adanya strategi untuk menekan jumlah penyandang dalam populasi. Mulai tahun 1994, WHO mencanangkan strategi global dalam mengurangi jumlah populasi penyandang thalassemia dan kelainan genetik lain melalui skrining massal, skrining individu yang mempunyai riwayat thalassemia di dalam keluarganya, skrining premarital, diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan (Ansari & Shamsi, 2010). Skrining terhadap pembawa sifat thalassemia dan kelainan genetik lain ini sangat efektif, sebagaimana yang diterapkan di Israel yang mampu menekan prevalensi lahirnya bayi thalassemia dari 13 bayi per 10.000 kelahiran per tahun menjadi 5 bayi per 10.000 kelahiran per tahun dengan metode skrining prenatal dan terminasi kehamilan jika diketahui janin tidak mempunyai gen normal (Zlotogora et al., 2008). Salah satu cara untuk mengetahui pembawa sifat β-thalassemia adalah dengan analisis hematologi. Seorang pembawa sifat β-thalassemia dapat dilihat dengan gejala mikrositik dan penurunan jumlah Hb pada eritrosit (Cao & Galanello, 2010). Parameter hematologis tersebut juga dapat digunakan untuk melihat adanya gejala klinis kelainan/penyakit lain, misalnya berbagai jenis anemia karena berbagai macam penyakit, sehingga perlu dilakukan diagnosis molekular untuk menyempurnakan deteksi pembawa sifat thalassemia (Calzolari et al., 1999).
4
Yayasan
Thalassemia
Indonesia/Persatuan
Orangtua
Penyandang
Thalassemia Indonesia (YTI/POPTI) cabang Yogyakarta bekerja sama dengan laboratorium Prodia dan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mulai tahun 2012 mengadakan agenda skrining bagi masyarakat yang mempunyai riwayat keluarga thalassemia. Pada skrining tahun 2012, terdapat 47 individu yang melakukan skrining, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 49 individu peserta skrining. Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologis terdapat 18 individu yang terduga pembawa sifat α-thalassemia, 23
individu terduga pembawa sifat β-
thalassemia dan 29 individu terduga pembawa sifat HbE. Dalam hasil uji hematologis disebutkan rekomendasi untuk dilakukannya diagnosis molekular bagi individu yang terduga pembawa sifat. Perkembangan ilmu pengetahuan diiringi dengan perkembangan metode penelitian. Metode Polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP) dipilih sebagai metode untuk deteksi mutasi pada pembawa sifat β-thalassemia karena metode ini telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya mutasi pada kanker lambung manusia (Guo, 2008) dan digunakan untuk melihat polimorfisme pada nukleotida tunggal pada gen DGAT1 pada kerbau (Raut, 2012). PCR-SSP dapat melihat perubahan satu sekuens basa nukleotida melalui interpretasi perbedaan migrasi pita DNA pada elektroforesis dengan gel polyacrilamide (Gruszczynska et al., 2005). Konstantinos et al. (2007) menyebutkan bahwa PCR-SSCP selain dapat mendeteksi adanya mutasi pada DNA, juga tidak menggunakan unsur radioaktif dan mudah untuk diaplikasikan.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan permasalahan: 1. Bagaimana profil elektroforegram individu terduga pembawa sifat βthalassemia? 2. Bagaimana perbandingan antara hasil uji hematologis dengan hasil PCRSSCP pada individu terduga pembawa sifat β-thalassemia? 3. Apakah hasil deteksi mutasi dengan PCR-SSCP dapat dikonfirmasi dengan sekuensing DNA?
C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan profil elektroforegram individu terduga pembawa sifat β-thalassemia. 2. Membandingkan hasil uji hematologis dengan hasil PCR-SSCP pada individu terduga pembawa sifat β-thalassemia. 3. Melakukan konfirmasi hasil PCR-SSCP dengan sekuensing DNA.
6
D. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk: 1. Memberikan dukungan terhadap data uji hematologis terkait penentuan status pembawa sifat β-thalassemia. 2. Memberikan informasi letak mutasi gen HBB pada pembawa sifat βthalassemia. 3. Memberikan rekomendasi untuk dilakukannya identifikasi jenis mutasi berdasarkan letak mutasi yang telah diketahui dengan metode PCRSSCP.