BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Mbah Maridjan yang bernama asli Mas Panewu Surakso Hargo dengan nama gelar Raden Ngabehi Surakso Hargo(lahir di Dukuh Kinahrejo, 5 Februari 1927)1 merupakanfigur pemimpin lereng Gunung Merapi yang telah banyak memberi contoh praktek kepemimpinan yang baikdan layak untuk dijadikan sebagai best practice. Semasa hidupnya beliau adalah pemimpin informal bisa lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan pemimpin formal. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai fenomena kepercayaan masyarakat terhadap Mbah Maridjan selaku pemimpin informal publik, agar bisa dijadikan referensi bagi para pemimpin publik, dan agar di masa depan bisa menggerakkan masyarakatnya sehingga proses kebijakan publik bisa berjalan dengan lebih baik lagi. Sosok mbah Maridjan dikenal sebagai seorang yang karismatik, berintegritas, dan setia. Maka dari itu, masyarakat yang tinggal disekitar lereng Gunung Merapi menganggap beliau sebagai pemimpin informal di daerah tersebut. Mbah Maridjan juga merupakan cerminan seorang pemimpin amanah yang sudah ditugaskan untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak tahun 19822 hingga akhir hayatnya. Atas kesetiaan dan dedikasinya yang tinggi terhadap sultan, Mbah Maridjan mulai menjadi icon dan semakin dikenal oleh masyarakat bahkan pengikutnya pun juga semakin bertambah.Masyarakat yang tinggal di Lereng Gunung Merapi pun hidup dengan mitologi dan percayabahwa gunung mempunyai penunggu. Sebetulnya itu merupakan mitos yang dikembangkan oleh penguasa Jawa pada masaKerajaan Mataram. Agar mitos tersebut tetap
1
http://www.thejakartapost.com/news/2001/02/02/039mbah039-maridjan-keeps-faith-mt-merapi.html. (diunduh 2/3/2015). 2 http://sosok.kompasiana.com/2012/10/31/mbah-maridjan-menjaga-merapi-hingga-sujud-terakhir-499675.html. (diunduh 8/3/2015).
1
hidup, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengangkat Mbah Maridjan untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi.3 Menurut pandangan masyarakat Lereng Merapi, bahkan masyarakat luas, nama Mbah Maridjan boleh jadi telah melegenda bersama Gunung Merapi. Kedua nama tersebut tidak dapat dipisahkan. Ketika ada orang yang menyebut Merapi, pasti akan menyebut nama Mbah Maridjan. Sebetulnya, sebelum diangkat menjadi seorang juru kunci, Mbah Maridjan sudah dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, sederhana, dan tidak pernah memburu popularitas maupun materi. Setelah diangkat menjadi abdi dalem beliau menerima upah sebesar Rp. 5.600/bulan yang sering menjadi guyonan dengan disebut sebesar, “lima juta enam ratus.”4 Di masa sekarang ini gaji Mbah Maridjanmemang sangat tidak masuk akal dan tidak cukup untuk membeli satu kilo beras. Meskipun demikian, Mbah Maridjan sudah merasa cukup dengan hidup bersahaja. Beliau pun sering menasihati orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya untuk tidak hidup secara berlebihan dan harus sering melihat ke bawah. Dari sana,sangat terlihat sifat kepemimpinan Mbah Maridjan memiliki jiwa yang tulus, berprinsip, dan patut dijadikan contoh bagi masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, penampilan Mbah Maridjan memang jauh dari kesan dukun, peramal, orang yang memiliki kemampuan supranatural, atauyang berbau klenik. Masyarakat memandang dirinya sebagai orang yang religius dan selalu mengedepankan rasionalitas. Meskipun Mbah Maridjan mengaku tidak memiliki kekuatan supranatural, namun banyak orang yang tidak mempedulikan perkataan beliau. Bagi masyarakat setempat, Mbah Maridjan benar-benar sakti yang dianggap mampu membaca kemauan dan perilaku Gunung Merapi sehingga ketika Mbah Maridjan tidak mengikuti instruksi pemerintah untuk turun dari
3
http://www.thejakartapost.com/news/2001/02/02/039mbah039-maridjan-keeps-faith-mt-merapi.html. (diunduh 2/3/2015). 4 Gunawan, Rudi. 2006. Mbah Maridjan, Sang Presiden Gunung Merapi. Yogyakarta: Gagas Media. hlm, 73.
2
Gunung Merapi karena aktivitas vulkanik yang membahayakan, banyak penduduk lereng Merapi yang mengikuti jejaknya. Gunung Merapi sendiri merupakan salah satu gunung berapi paling bahaya di Indonesia. Terlebih lagi, sebuah asosiasi internasional vulkanologi dan kimia interior bumi yang dikenal dengan nama Decade Volcanoes telah memasukkan gunung merapi kedalam 16 besar gunung paling berbahaya di dunia. Di Indonesia, menurut data vulkanologi, sejak tahun 1548 Gunung Merapi telah meletus sebanyak 68 kali dan hingga saat ini aktifitas gunung tersebut masih terbilang sangat tinggi. Peringkat kedua dipegang oleh Gunung Kelut yang telah meletus kurang lebih 30 kali dan bahkan angka tersebut belum separuh dari jumlah letusan Gunung Merapi yang menempati peringkat pertama. Gunung Merapi ini menjadi sangat berbahaya karena mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Di Lereng Merapi, bahkan masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1.700m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Pada saat terjadi erupsi gunung merapi pada tahun 2006 yang lalu, Mbah Maridjan menolak untuk dievakuasi oleh pemerintah daerah. Hal ini tentunya menarik para pengikutnya untuk mengikuti beliau dan beruntung masyarakat bisa selamat dari bencana alam tersebut5. Setelah kejadian itu, nama Mbah Maridjan makin dikenal sebagai juru kunci Gunung Merapi sehingga pengikutnya semakin banyak bertambah dan sejak saat itu pula, setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu instruksi dari Mbah Maridjan untuk mengungsi.Tidak hanya masyarakat yang berasal dari Sleman, bahkan banyak juga yang berasal dari kabupaten lainnya. Setiap kali Gunung Merapi akan menunjukkan tanda-tanda akan meletus, Mbah Maridjan menjadi orang yang paling kerepotan. Siang dan malam rumah juru kunci merapi Gunung Merapi itu akan didatangi oleh ratusan tamu sehingga beliau tidak memiliki cukup
5
http://korananakindonesia.com/2010/10/27/mbah-marijan-vs-teknologi-vulkanologi/
3
waktu untuk istirahat seperti orang-orang lain seusianya. Hal ini tentunya menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Mbah Maridjan sangatlah tinggi. Dalam kasus tersebut terlihatlah tingkat kepercayaan masyarakat Kabupaten Sleman terhadap pemimpin informalnya lebih tinggi daripada tingkat kepercayaan terhadap pemimpin formalnya yaitu Bupati Sleman. Dalam proses penanggulangan bencana, hal ini tentunya menjadi contoh
bahwa pemimpin formal tidak bisa melakukan tindakan persuasif agar
masyarakat setempat bisa mengikuti instruksi yang diberikan oleh pemerintah. Apabila hal tersebut terjadi maka proses penanggulangan bencana pun akan sulit dilakukan karena dalam proses tersebut masyarakat juga harus berperan aktif dalam pelaksanaannya. Bupati Sleman selaku pemimpin formal jelas memiliki tanggung jawab yang lebih konkrit daripada para pemimpin informal lainnya. Maka dari itu, sudah seharusnya Bupati Sleman bisa memegang kendali penuh dan menjadi pusat komando. Empat tahun kemudian, pada bulan Oktober 2010, erupsi Merapi terjadi lagi. Tidak lama setelah bencana tersebut terjadi, pemerintah daerah langsung memberikan instruksi kepada warga setempat untuk mengungsi ke posko pengungsian yang telah disediakan pemerintah, akan tetapi instruksi tersebut tidak langsung dilaksanakan oleh warga. Beberapa warga tetap bertahan di kediamannya karena belum menerima komando dari Mbah Maridjan yang juga menolak untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman. SayangnyaMbah Maridjan dan beberapa warga setempat yang menolak untuk dievakuasi malah menjadi korban. Gunung Merapi yang terletak di Empat kabupaten yaitu Sleman, Klaten, Magelang, dan Boyolali menunjukkan adanya sebuah fenomena menarik yang terjadi pasca bencana erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 tersebut.Menurut data korban meninggal dunia akibat erupsi merapi yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Sleman menyebutkan mayoritas
4
korban meninggal berasal dari kabupaten Sleman6. Sedangkan Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten dimana pemimpin daerahnya bisa mengikuti anjuran BPPTK dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi (PVMBG) serta membimbing masyarakatnya untuk berpindah ke tempat yang lebih aman, hanya sedikit korban yang meninggal. Heru Nugroho, seorang Dosen Sosiologi UGM menjadikan data tersebut sebagai bukti bahwa dalam kasus Merapi terdapat seseorang pemimpin dengan pengaruh yang kuat terhadap warga setempat untuk tetap tinggal dikediaman mereka meskipun kondisinya sangat berbahaya7. Dari tahun ke tahun sejarah mencatat korban yang jatuh akibat aktivitas merapi terus meningkat, namun hal ini tidak menurunkan minat masyarakat untuk terus kembali ke tempat tinggalnya di Lereng Merapi. Seorang relawan Merapi, Y. Nugroho Tri Sumartono mengemukakan salah satu alasan masyarakat untuk tetap bertahan di Lereng Merapi adalah Gunung Merapi memberikan air yang melimpah, memiliki tanah yang subur karena empat hingga lima tahun sekali kesuburan tanah selalu diperbaharui dengan aktivitas Gunung Merapi dan hujan abu vulkanik yang baik untuk tanah sehingga mayoritas masyarakat mengandalkan sektor pertanian8. Meskipun tingkat ancaman Merapi termasuk tinggi, warga lereng merapi tidak pernah takut. Sedahsyat apapun dampak letusan Merapi, masyarakat tetap akan kembali menghuni lerengnya. Ada kaitan sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat.PM Laksono, seorang Antropolog Universitas Gadjah Mada mengatakan masyarakat Merapi menyikapi alam dan mencoba memahami gejalanya. Dalam kondisi seperti
6
http://slemankab.go.id/1633/jumlah-korban-meninggal-bencana-erupsi-merapi-per-tanggal-25-september-2010mencapai-270-orang.slm 7 http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/layar/2010/11/07/696 8 Lelono, Joko. 2011. Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu. Yogyakarta: Seminari Tinggi ST. Paulus
5
ini, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan dalam upaya menjelaskan berbagai gejala alam karena masyarakat akan menggunakan perspektifnya sendiri dengan paradigma kebiasaan9. Banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk terus meningkatkan penanggulangan bencana di Gunung Merapi. Dinas-dinas terkait pun terus meningkatkan penggunaan teknologi guna memonitor aktivitas Gunung Merapi. Sebagai contoh yaitu pemasangan alat pengontrol jarak jauh perkembangan kubah lava untuk menurunkan aktivitas Merapi yang pertama di dunia. Tidak hanya itu, dinas terkait juga memasang mikrofon infrasonik untuk mempertajam pemantauan agar grafik aktivitas Merapi dapat diketahui lebih cepat dan baik. Menurut Masato Iguchi, alat tersebut dapat merekam perubahan di puncak Merapi dari suara yang dikeluarkan sehingga sangat membantu ketika puncak Merapi tertutup kabut dan mengurangi pengawasan secara visual. Pemerintah melalui Dinas Vulkanologi, Satlak PB, maupun lembaga lainnya sering melakukan penyuluhan guna meningkatkan kesiapan masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi bencana Merapi yang bisa terjadi kapan saja, akan tetapi, sering kali usaha penyuluhan tersebut tidak didengarkan oleh masyarakat. Masyarakat Kabupaten Sleman mungkin menerima informasi yang diberikan oleh pemerintah namun tidak mudah percaya atas informasi tersebut. Masyarakat lebih percaya kepada tokoh-tokoh informal seperti Mbah Maridjan dibanding sumber resmi seperti Dinas Vulkanologi atau Satlak PB10. Perlu proses panjang untuk mempertemukan pemikiran matematis vulkanologi dengan pemikiran masyarakat umum yang lebih percaya kepada Mbah Maridjan ketimbang matematis teknologi vulkanologi. Keruwetan lain bagi Dinas Vulkanologi adalah ketidakpahaman instansi lain yang juga terlibat dalam penanggulangan bencana. Dinas Vulkanologi dan instansi lainnya pernah mencoba masuk melalui tokoh-tokoh masyarakat seperti Mbah Maridjan, yakni
Muhammad, Ardisson. 2010. Merapi : Cerita – Kehidupan - Sejarah Geologis - Mitos & Mistis. Surabaya: Portico Publishing,hal. 84. 10 Misarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana,hal. 94. 9
6
dengan mensosialisasikan prosedur penanganan bencana namun usaha tersebut terbukti tidak berhasil. Bagi berbagai instansi tersebut, kegagalan itu dapat dilihat antara lain lantarankuatnya kepercayaan masyarakat pada pertanda gaib sebelum terjadi bencana. Kepercayaan tersebut tidak hanya di kalangan masyarakat, namun juga tokoh-tokoh masyarakat setempat. Berdasarkan deskripsi di atas, tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin informal seperti Mbah Maridjan daripada teknologi yang digunakan oleh dinas vulkanologi tentunya sangat menarik untuk dipahami lebih dalam dari kacamata manajemen dan kebijakan publik karena dalam bidang ini aspek kepemimpinan sangatlah krusial. Fenomena kepercayaan masyarakat terhadap Mbah Maridjan ini dapat digunakan sebagai best practice dalam hal kepemimpinan publik. Fenomena tersebut dapat dijadikan contoh bagi setiap pemimpin publik yang lain sehingga dimasa depan, kebijakan yang dibuat dapat dijalankan dengan lebih efektif dan efisien.
1.2.Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah figur Mbah Maridjan sebagai pemimpin informal dan tokoh pemimpin publik dalam kehidupan masyarakat di Lereng Gunung Merapi? 2. Bagaimanakahpraktik kepemimpinanMbah Maridjan sebagai pemimpin informal dan tokoh pemimpin publik dalam kehidupan masyarakat di Lereng Gunung Merapi? 3. Bagaimanakah
bentuk-bentuk
kepercayaan
masyarakat
Lereng
Gunung
Merapiterhadap kepemimpinan Mbah Maridjan?
1.3.Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan figur Mbah Maridjan dalam kehidupan masyarakat lereng Gunung Merapi.
7
2. Mendeskripsikan praktik kepemimpinanMbah Maridjan sebagai pemimpin informal dan tokoh pemimpin publik dalam kehidupan masyarakat di Lereng Gunung Merapi. 3. Mendeskripsikan bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat di Lereng Gunung Merapi terhadap kepemimpinan Mbah Maridjan.
1.4.Landasan Teori A. Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership) Menurut Bryman11, kepemimpinan transformasional adalah bagian dari paradigma kepemimpinan baru yang lebih memberi perhatian pada elemen kepemimpinan yang karismatik dan peka. Hal itu peduli dengan emosi, nilai, etika, standar, dan tujuan jangka panjang. Dalam konsep ini, pemimpin harus bisa menilai motif, memuaskan kebutuhan, dan memperlakukan pengikut seperti manusia yang utuh. Kepemimpinan transformasional mencakup bentuk pengaruh luar biasa, yang menggerakkan pengikut untuk mencapai lebih dari yang biasanya diharapkan. Ini adalah proses yang sering kali menyertai kepemimpinan karismatik dan visioner. Teori ini dianggap relevan untuk mengkaji lebih jauh kepemimpinan Mbah Maridjan karena Mbah Maridjan merupakan sosok yang memiliki pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat lereng gunung merapi. Mbah Maridjan juga memiliki kharisma dan kepekaan yang seperti sudah dijelaskan diatas bahwa keduanya merupakan senjata utama bagi seorang pemimpin transformasional untuk menggerakkan pengikutnya. Menurut Peter G. Northouse12 perilaku seorang pemimpin transformasional adalah menjadi teladan yang kuat, menunjukkan kecakapan, mengutarakan tujuan, mengkomunikasikan harapan, mengekspresikan keyakinan 11
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan praktki Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Hal 175 Ibid Hal 178
12
8
diri, dan mampu meningkatkan motivasi. Dengan perilaku tersebut maka dampaknya kepada pengikut adalah munculnya kepercayaan, kesamaan keyakinan antara pemimpin dan pengikut, penerimaan yang tidak diragukan lagi, menyukai pemimpin, kepatuhan, simpati kepada pemimpin, keterlibatan emosional, tujuan dan kepercayaan diri yang meningkat. Perilaku pemimpin transformasional dan dampak kepada pengikut tersebut kurang lebih memiliki kesamaan dengan perilaku kepemimpinan Mbah Maridjan dan dampaknya kepada masyarakat lereng gunung merapi.Maka dari itu, teori ini digunakan untuk mengkaji lebih dalam mengenai kepemimpinan dari Mbah Maridjan. Dalam praktiknya, kepemiminan transformasional itu merupakan proses ketika seseorang terlibat dengan orang lain, dan menciptakan hubungan yang meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin transformasional akan berusaha untuk ikut serta dalam membantu pengikut untuk mencapai potensi terbaik pengikut. Orang yang menampilkan kepemimpinan transformasional sering kali memiliki kumpulan nilai serta prinsip internal yang kuat. Selain itu, mereka juga efektif dalam memberikan motivasi kepada pengikutnya untuk bertindak dalam cara yang mendukung kepentingan yang lebih besar, daripada kepentingan mereka sendiri13. Menurut Peter G. Northouse, setidaknya terdapat empat faktor yang terdapat didalam kepemimpinan transformasional yaitu pengaruh ideal karisma, motivasi yang menginspirasi, rangsangan intelektual, dan pertimbangan yang diadaptasi. Untuk lebih jelas mengenai keempat faktor dalam kepemimpinan transformasional, dibawah ini akan menjelaskan masingmasing faktor tersebut. a)
Pengaruh Ideal adalah komponen emosional dari kepemimpinan. Hal ini
mendeskripsikan pemimpin yang bertindak sebagai teladan yang kuat bagi pengikutnya. Selain itu, pengikutnya juga menghubungkan diri dengan pemimpin dan
13
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan praktki Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks.hlm, 181.
9
sangat ingin menirukan pemimpinnya. Pemimpin ini biasanya memiliki standar yang sangat tinggi akan moral dan perilaku yang etis, serta bisa diandalkan untuk melakukan hal yang benar. Pemimpin sangat dihargai oleh para pengikut yang sangat percaya kepada pemimpin karena bisa memberikan visi serta pemahaman terhadap misi kepada pengikutnya. Pada intinya, faktor karisma mendeskirpsikan orang yang khusus dan yang ingin membuat orang lain mengikuti visi yang mereka utarakan. b)
Motivasi yang menginspirasiadalah faktor yang menggambarkan pemimpin
yang mengkomunikasikan harapan tinggi kepada pengikut, menginspirasi pengikut lewat motivasi untuk menjadi setia pada pemimpin, serta menjadi bagian dalam visi bersama dalam organisasi. Pada praktiknya, pemimpin menggunakan simbol dan daya tarik emosional untuk memfokuskan upaya anggota kelompok guna mencapai lebih daripada yang akan dilakukan untuk kepentingan pribadi, maka dari itu, semangat tim ditingkatkan oleh jenis kepemimpinan ini. c)
Rangsangan Intelektualadalah faktor yang mencakup kepemimpinan yang
merangsang pengikut untuk bersikap kreatif dan inovatif serta merangsang keyakinan dan nilai pengikut sendiri, seperti juga nilai dan keyakinan pemimpin dan organisasi. Jenis kepemimpinan ini mendukung pengikut ketika mencoba pendekatan baru dan mengembangkan cara inovatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh organisasi. Hal itu mendorong pengikut untuk memikirkan hal-hal secara mandiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang hati-hati. d)
Pertimbangan yang diadaptasiadalah faktor yang mewakili pemimpin ketika
memberikan iklim yang mendukung dan pemimpin tersebut mendengarkan dengan seksama kebutuhan dari masing-masing pengikutnya. Pemimpin bertindak sebagai pelatih dan penasihat, sambil mencoba untuk membantu pengikut dalam usahanya
10
mewujudkan apa yang ingin dicapai oleh mereka. Pemimpin ini mungkin menggunakan delegasi untuk membantu pengikut tumbuh lewat tantangan pribadi.
Bennis dan Nanus14 dalam penelitiannya menjelaskan setidaknya ada empat strategi utama yang digunakan pemimpin transformasional dalam mengubah organisasi , yaitu: a)
Pemimpin transformasional harus memiliki visi yang jelas akan kondisi masa
depan organisasi. Visi itu adalah citra dari masa depan yang menarik, realistis, dan dapat
dipercaya.
Visi
yang
dibuat
biasanya
sederhana,
dapat
dipahami,
menguntungkan, dan menciptakan energi. Karakter visi yang menarik menyentuh pengalaman pengikut dan menarik mereka agar mendukung
organisasi. Ketika
organisasi memiliki visi yang jelas, maka akan lebih mudah bagi pengikut untuk mempelajari cara menyesuaikan diri dengan seluruh arah organisasi dan bahkan masyarakat secara umum. Hal ini memberdayakan pengikut karena pengikut merasa menjadi aktor penting dalam organisasi. Agar strategi tersebut bisa berjalan dengan baik, maka visi yang dibuat harus berasal dari kebutuhan seluruh organisasi dan dapat diklaim oleh setiap individu yang ada didalamnya. Walaupun pemimpin memegang peran besar dalam mengutarakan visinya, kemunculan visi ini berasal dari pemimpin dan pengikut. b)
Pemimpin transformasional adalah arsitek sosial untuk organisasi. Hal tersebut
disebabkan karena pemimpin menciptakan bentuk untuk tujuan bersama yang dipertahankan orang di dalam organisasi. Pemimpin ini mengkomunikasikan arah yang mengubah nilai dan norma. Dalam banyak kasus, pemimpin ini mampu menggerakkan orang untuk menerima identitas kelompok baru atau filosofi baru bagi organisasi mereka.
14
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan praktki Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Hal 186
11
c)
Pemimpin transformasional harus menciptakan trust kepada seluruh
anggotanya dengan cara membuat posisi pengikut diketahui dengan jelas dan kemudian membela posisi itu. Kepercayaan ada hubungannya dengan sesuatu yang dapat diduga atau dapat diandalkan, bahkan dalam situasi yang tidak pasti. Pemimpin membangun kepercayaan dengan mengutarakan arah dan kemudian secara konsisten menerapkan arah, walaupun visi melibatkan ketidakpastian yang tinggi. d)
Pemimpin transformasional menggunakan pengorganisasian diri yang kreatif
lewat egoisme yang positif. Pemimpin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta menekankan kekuatannya, bukan berkutat pada kelemahan mereka. Pemimpin yang positif mampu menenggelamkan diri dalam tugas dan tujuan besar organisai serta mampu mengombinasikan pemahaman diri dengan pekerjannya.
B. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership) Pada Tahun 1970, Greenleaf, sebagai salah satu pelopor revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan mengenalkan sebuah konsep yang bernama servant leadership. Konsep kepemimpinan ini merupakan model teori dari ilmu manajemen dan bisnis namun juga dapat diterapkan di ranah publik guna menjadikan pemimpin publik menjadi lebih efektif dan efisien. Servant leadership menghendaki pemimpin yang dapat mengayomi bawahannya, sehingga terbentuk kerja sama yang baik antara pemimpin dan bawahannya. Begitu pula dengan Mbah Maridjan yang selalu berusaha untuk menjadi pemimpin yang mampu mengayomi para pengikutnya yaitu masyarakat lereng merapi. Mbah Maridjan tidak pernah berusaha untuk mendominasi, mengatur, atau memerintah pengikutnya. Dengan menjadi pemimpin yang melayani, Mbah Maridjan telah mendapatkan rasa hormat dan simpati dari masyarakat setempat sehingga masyarakat dengan sukarela mengikuti nasihat dan anjuran yang
12
diberikan oleh Mbah Maridjan. Berdasarkan hal tersebut, maka teori ini digunakan untuk menkaji lebih dalam sejauh mana Mbah Maridjan menjalankan kepemimpinan yang melayani. Dalam buku berjudul Servant Leadership yang ditulis oleh
Lantu, Jim Laub
berperndapat bahwa karakteristik utama dari servant leadershipadalah kepemimpinan yang mengutamakan perkembangan pengikutnya15. Sedangkan Menurut Spears, terdapat 10 karakteristik dari servant leader, yaitu listening, emphaty, healing, awareness, persuasion, concep-tualization, foresight, stewardship, commitment to the growth of peope, dan community building16. Di bawah ini merupakan penjelasan dari karakteristik servant leaderdan keterkaitannya dengan proses kepemimpinan Mbah Maridjan: a)
Mendengarkan (listening).Komunikasi antara pemimpin dan pengikut adalah
proses interaktif yang mencakup pengiriman dan penerimaan pesan. Servant leader berkomunikasi dengan mendengarkan terlebih dahulu. Mereka beranggapan bahwa mendengarkan adalah hal yang dapat dipelajari, termasuk terbuka dengan apa yang orang lain katakan. Lewat mendengarkan, Servant leader mengakui sudut pandang pengikut dan membenarkan perspektif ini. Dalam prosesnya, Mbah Maridjan dapat mendengarkan (merespon) problematika masyarakat Lereng Merapi melalui keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakat yang sering diadakan. Kegiatan kemasyarakatan yang dimaksud seperti: rapat warga, perkumpulan komunitas pertanian warga, acara-acara adat, dan lain sebagainya. b)
Empati (emphaty)adalah sebuah sikap yang berupaya untuk melihat sesuatu dari
sudut pandang orang lain. Servant leader menunjukkan bahwa mereka benar-benar memahami apa yang dirasakan oleh pengikut. Ketika Servant leader menunjukkan empati, hal itu potensial dapat menenangkan dan meyakinkan pengikutnya. Mbah
15 16
Lantu, D, Erich, P, Augusman. R. 2007. Servant Leadership. Bandung: Gradien Books www.nwlink.com/~donclark/leader/servant_leadership.html
13
Maridjan dikatakan memiliki empati dapat dilihat dari caranya dalam menjelaskan kondisi Merapi pada saat-saat genting, yakni selalu mendahulukan keselamatan warga. Pada saat tersebut, Mbah Maridjan memahami ketakutan warga dan tugasnya adalah memberi penjelasan yang menentramkan. Dengan demikian jelaslah bahwa Mbah Maridjan berupaya untuk menilai keadaan dari sudut pandang masyarakat. c)
Perhatian (awareness).Bagi Greenleaf, perhatian adalah kualitas dalam diri
servant leader yang membuat mereka cepat beradaptasi dan peka terhadap lingkungan fisik, sosial, dan politis. Hal itu mencakup pemahaman akan diri sendiri dan dampak yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Dengan perhatian, servant leader mampu melangkah ke samping dan melihat diri mereka sendiri serta sudut pandang mereka dalam konteks situasi yang lebih besar. Dalam proses kepemimpinannya, Mbah Maridjan jelas memiliki perhatian kepada warga Lereng Merapi. Hal ini terlihat dari sikapnya yang selalu berusaha menjadi penengah antara warga Lereng Merapi, Pemerintah, dan Keraton (dalam konteks kebudayaan). d)
Menyembuhkan (healing).Servant leader peduli dengan kesehatan pribadi
pengikutnya. Pemimpin mendukung pengikutnya dengan membantu pengikut mengatasi permasalahan pribadi. Greenleaf berpendapat bahwa proses penyembuhan adalah jalan dua arah dengan membantu pengikut menjadi sehat, servant leader juga menyembuhkan dirinya sendiri. Berdasarkan kenyataan lapangan, Mbah Maridjan juga memiliki kepedulian terhadap warga Lereng Merapi dalam hal kesehatan, baik fisik maupun kejiwaan. Dalam hal pemerolehan akses kesehatan, Mbah Maridjan memang memiliki kepedulian terhadap warga. Di samping itu, cara Mbah Maridjan bertutur-kata kepada publik, baik secara langsung maupun di media, selalu menimbulkan kesan mengobati atau menentramkan masyarakat.
14
e)
Persuasif (persuation).Persuasi adalah komunikasi yang jelas dan ulet yang
meyakinkan orang lain untuk berubah. Sebagai lawan dari pemaksaan yang memanfaatkan otoritas posisi untuk memaksakan kepatuhan. Dalam hal ini persuasi menciptakan perubahan dengan cara menggunakan serangkaian argumen nonpenilaian dengan bahasayang lembut. Menurut Spears (2002), penekanan Greenleaf pada persuasi atas paksaan mungkin terkait dengan hubungan yang bernilai dengan religious society offriends. Pada praktiknya Mbah Maridjan adalah seorang yang ahli meyakinkan publik dengan pernyataan-pernyataan yang persuasif. Mbah Maridjan tidak pernah bertindak arogan, fanatis, dan sangat menyadari perbedaan pendapat dari berbagai pihak sehingga selalu memposisikan diri sebagai penengah. f)
Konseptualisasi (conceptualization).Konseptualisasi merujuk pada kemampuan
individu untuk menjadi orang yang berpandangan jauh ke depan bagi suatu organisasi, dan memberi pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah. Karakteristik ini melebihi pemikiran operasional sehari-hari untuk berfokus pada “gambaran besar”. Konseptualisasi juga melengkapi servant leader guna merespon masalah organisasi yang kompleks dalam cara yang kreatif, sehingga memungkinkan mereka untuk menghadapi kompleksitas organisasi dalam hubungannya dengan tujuan jangka panjang. Implikasi pemahaman konseptualisasi pada praktik kepemimpinan Mbah Maridjan agaknya terlalu kabur. Meskipun demikian dapat dijelaskan bahwa berdasarkan konteks lapangan Mbah Maridjan tidak memiliki tujuan jangka panjang yang terstruktur karena sifat kepemimpinannya yang informal. Hanya saja, pengabdiannya sebagai juru kunci Merapi dapat ditarik sebagai tujuan jangka panjang. Dalam konteks ini, Mbah Maridjan menerapkan aspek ‘pengabdian’ sebagai konsep kepemimpinan jangka panjangnya.
15
g)
Meramalkan (foresight).Peramalan meliputi kemampuan servant leader untuk
mengetahui masa depan. Ini adalah kemampuan untuk menduga hal yang akan terjadi di masa depan berdasarkan hal yang terjadi di masa sekarang dan dimasa lampau. Greenleaf berpendapat bahwa peramalan memiliki dimensi etis karena percaya pemimpin seharusnya bertanggungjawab atas segala kegagalan, guna mengantisipasi hal yang secara masuk akal dapat diramalkan dan bertindak atas pemahaman tersebut. Adapun esensi dari pemahaman ini pada praktiknya telah dijalankan oleh Mbah Maridjan terkait tugasnya sebagai juru kunci Merapi, yakni meramalkan kondisi Merapi. Hanya saja indikator yang digunakan terlalu mendasar, yakni mengacu pada pengalaman, karakteristik lingkungan, siklus dan aktivitas Merapi. Oleh karena tidak didukung teknologi maka prediksi tersebut terbukti tidak selalu akurat. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa prediksi yang dilakukan Mbah Maridjan selalu mentah dan tidak beralasan, karena sepanjang masa pengabdiannya menjadi juru kunci Merapi, terbukti prediksinya hanya melenceng sekali. h)
Melayani (stewardship).Tugas untuk mengurus adalah tentang memiliki
tanggung jawab untuk peran yang telah dipercayakan kepada servant leader.Servant leader menerima tanggung jawab untuk mengelola dengan hati-hati orang dan organisasi yang mereka pimpin. Selain itu, mereka memercayai organisasi untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar. Terkait bagaimana proses Mbah Maridjan melayani, tentu tidak perlu dimentahkan lagi karena esensi dari pokok-pokok tugas ‘abdi dalem’ keraton adalah ‘pengabdian,’ yang maknanya pun merujuk pada dua arah: melayani pemimpin (dalam konteks berbakti kepada negara), dan melayani masyarakat. Demikianlah Mbah Maridjan berada pada persimpangan dua aspek pelayanan tersebut dan telah mengaplikasikan seluruh kehidupannya untuk berbakti.
16
i)
Memiliki komitmen pada pertumbuhan manusia (commitment to the growth of
people).Konsep Greenleaf mengenai servant leader menempatkan suatu nilai ekstra pada memperlakukan setiap pengikut sebagai individu yang unik dengan nilai intrinsik yang lebih, dan kontribusi mereka terhadap organisasi.
Servant leader memiliki
komitmen untuk membantu setiap orang didalam organisasi agar bisa tumbuh, baik secara pribadi maupun profesional. Komitmen bisa memiliki banyak bentuk, termasuk menyediakan peluang bagi pengikut untuk mengembangkan karir maupun keterampilan baru, menghilangkan kepentingan pribadi dalam ide mereka serta melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Dari pemahaman tersebut tentu diperlukan penyelarasan konteks terkait proses kepemimpinan Mbah Maridjan. Adapun komitmen yang telah dibuktikan oleh Mbah Maridjan terhadap pengikutnya adalah membebaskan banyak pihak dalam merumuskan keputusan. Mbah Maridjan memberikan ruang kepada publik terhadap perspektif lain. Namun, sebagai juru kunci Merapi tentu Mbah Maridjan memiliki cara tersendiri dalam membaca gejolak vulkanik. Terkait problematika tersebut, pada prosesnya Mbah Maridjan jelas berkomitmen terhadap tugasnya sebagai juru kunci dan melayani masyarakat. j)
Membangun komunitas (community building).Servant leader memperkuat
perkembangan komunitas. Suatu komunitas adalah kumpulan individu yang memiliki kepentingan serta upaya bersama dan merasakan kesatuan serta keterkaitan.Komunitas memungkin-kan pengikut untuk memihak sesuatu yang lebih besar dari diri mereka yang mereka hargai. Pemahaman pada poin ini apabila diselaraskan dengan proses kepemimpinan Mbah Maridjan, dapat dijelaskan bahwa komunitas yang terbentuk dari kepemimpinan Mbah Maridjan terjadi sebagai imbas dari unggulnya karakter Mbah Maridjan. Artinya masyarakat telah melalui proses panjang dalam menilai kepemimpinan Mbah Maridjan, bahkan pergeseran budaya dari tradisional menuju
17
modern pun justru memperluas cakupan komunitas tersebut. Pada titik ini media terbukti efektif dalam memperkenalkan sosok Mbah Maridjan kepada publik sehingga komunitas yang terbentuk semakin kuat dan cakupannya luas. Setelah menguraikan poin-poin di atas, pada dasarnya model kepemimpinan yang melayani mengandung tiga komponen utama, yakni: kondisi yang ada, perilaku pemimpin yang melayani, dan hasil. Fokus utama dari model ini adalah tujuh perilaku utama pemimpin yang memperkuat kepemimpinan yang melayani itu sendiri: membentuk konsep, memulihkan emosi, mengutamakan pengikut, membantu pengikut tumbuh dan sukses, berperilaku secara etis, memberdayakan, serta menciptakan nilai untuk masyarakat. Perilaku ini dipengaruhi konteks dan budaya, sifat pemimpin, dan daya penerimaan pengikut terhadap jenis kepemimpinan ini.
C. Kepemimpinan Autentik (Authentic Leadership) Kepemimpinan autentik ini agak sedikit berbeda dengan pendekatan kepemimpinan yang sebelumnya telah dijelaskan. Di kalangan pakar kepemimpinan, kepemimpinan autentik masih belum menemukan definisi yang di rasakan paling tepat bagi semua orang. Pemahaman mengenai kepemimpinan autentik tersebut dapat dijelaskan melalui contoh kasus berikut ini. Dewasa ini, banyak orang yang merasa khawatir dan tidak aman dengan lingkungannya, maka dari itu pemgikut membutuhkan seorang pemimpin autentik yang dapat dipercaya, jujur, dan memiliki sifat kepemimpinan yang baik. Tuntutan orang-orang tersebut lah yang menjadikan segala hal mengenai kepemimpinan autentik harus terus dikaji lebih jauh. Selanjutnya, para ahli berpendapat bahwa kepemimpinan autentik ini dapat dijelaskan melalui dua cara yaitu pendekatan praktis dan teoritis.
18
Pendekatan praktis untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai kepemimpinan autentik dikemukakan oleh Robert Terry17. Hal ini memanfaatkan rumusan atau panduan untuk “bagaimana melakukan” kepemimimpinan. Jadi
pada intinya, pendekatan praktis Terry
berfokus pada bagaimana seorang pemimimpin menjalankan kepemimpinannya kepada para pengikutnya dalam situasi tertentu. Prinsip moral yang ditekankan pada pendekatan ini adalah, seorang pemimpin seharusnya berusaha untuk melakukan apa yang benar dan perlu dilakukan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Kerangka kerja dari pendekatan ini berfungsi sebagai panduan untuk tindakan ini. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Maridjan. Beliau selalu berusaha untuk melakukan apa yang benar dan harus dilakukan ketika dirinya dan pengikut menghadapi sebuah permasalahan. Hal ini yang menjadikan masyarakat lereng merapi kepada Mbah Maridjan yang selalu mampu diandalkan ketika terjadi masalah. Sehingga teori ini digunakan untuk melihat bagaimana kepemimpinan Mbah Maridjan menggunakan kacamata kepemimpinan autentik. Dalam situasi apapun kepemimpinan diperlukan, dalam diri seorang pemimpin autentik akan muncul dua pertanyaan utama yang harus terjawab. Pertama, apa yang benar-benar terjadi pada masalah tersebut? Kedua, apa langkah yang perlu dilakukan untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut? Kepemimpinan autentik berupaya untuk menjawab dengan benar kedua pertanyaan ini. Tantangan bagi seorang pemimpin adalah membedakan tindakan yang autentik dan tidak autentik, kemudian melakukan tindakan yang autentik, maka dari itu, seorang pemimpin harus memahami betul mengenai apa yang benar-benar terjadi sehingga nantinya jalan yang diambil bukan jalan yang salah dan malah berakibat fatal. Melalui pendekatan teoritis, kepemimpinan autentik dapat dijelaskan melalui komponen dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan autentik itu sendiri. Dalam upaya untuk memperdalam pemahaman mengenai kepemimpinan autentik, Walumbwa dan
17
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan praktki Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Hal. 241
19
rekannya melakukan analisis terhadap literatur dan wawancara kepada pakar-pakar dalam bidang tersebut untuk mengetahui komponen apa saja yang membentuk seorang pemimpin autentik18. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan setidaknya terdapat 4 komponen yang membentuk dasar dari kepemimpinan autentik, yaitu: a)
Pemahaman diri yang merujuk pada pemikiran pribadi mengenai seorang
pemimpin. Ini merupakan sebuah proses seorang pemimpin akan memahami kekuatan dan kelemahan yang ada dalam diri serta dampak yang pemimpin miliki terhadap orang lain. Pemahaman diri tersebut mencakup refleksi pada nilai inti, identitas, moral, motivasi, dan tujuan. Ketika pemimpin memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, maka nantinya pemimpin akan memiliki dasar yang kuat dalam keputusan dan tindakannya.
Selain itu, banyak orang berpendapat bahwa pemimpin dengan
pemahaman diri akan terlihat lebih autentik. b)
Perspektif moral yang digunakan merujuk pada proses pengaturan diri ketika
individu menggunakan standar dan nilai moral internal pemimpin untuk memandu perilakunya, bukan membiarkan untuk dikonrol oleh tekanan dari pihak luar. Ini merupakan proses pengaturan diri karena orang memiliki kendali untuk menentukan kapan pemimpin membiarkan orang lain mempengaruhinya. Orang lain akan melihat pemimpin dengan perspektif moral yang digunakan sebagai autentik karena tindakan pemimpin tersebut konsisten dengan keyakinan dan moral yang pemimpin utarakan. c)
Pengolahan yang seimbangjuga merupakan perilaku yang mengatur diri sendiri.
Hal ini merujuk pada kemampuan individu untuk menganalisis informasi secara objektif dan mempelajari penndapat orang lain sebelum membuat keputusan. Hal ini dilakukan untuk menghidari diskriminasi tentang masalah tertentu dan tetap tidak bias. Pengolahan yang seimbang dilihat sebagai orang yang autentik karena pemimpin
18
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan praktki Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Hal 248
20
terbuka dengan perspektif diri sendiri tetapi juga objektif dalam mempertimbangkan pendapat orang lain. d)
Transparansi hubunganmerujuk pada sikap terbuka dan jujur dalam
menampilkan diri sendiri kepada orang lain. Ini adalah pengaturan diri karena individu bisa mengedalikan transparansi mereka dengan orang lain. Transparansi hubungan terjadi ketika individu berbagi perasaan inti, motivasi, dan kecenderungan mereka dengan orang lain dalam cara yang tepat. Hal itu mencakup peristiwa di saat individu menunjukkan aspek positif dan negatif dirinya kepada orang lain. Intinya, transparansi hubungan adalah tentang berkomunikasi secara terbuka dan apa adanya dalam hubungan dengan orang lain. Selanjutnya juga terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepemimpinan autentik yaitu keyakinan, harapan, optimisme, keuletan, interpretasi moral, dan peristiwa penting dalam hidup. Keyakinan merujuk pada nilai diri pemimpin bahwa ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya. Harapan adalah kondisi motivasional yang positif dengan didasarkan pada ketekunan dan keyakinan di dalam tujuan mereka. Optimisme merujuk pada proses kognitif untuk melihat sesuatu dari sudut positif dan memiliki harapan yang dikejar. Keuletan adalah kapasitas untuk pulih dari dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tidak menyenangkan. Interpretasi moral adalah faktor lain yang bisa mempengaruhi kepemimpinan autentik. hal ini merupakan kapasitas untuk membuat keputusan yang etis tentang masalah benar atau salah. Tingkat interpretasi moral yang lebih tinggi membuat seorang pemimpin autentik bisa membuat keputusan yang melebihi perbedaan individual dan menyatukan individu menuju tujuan bersama. Hal ini memungkinkan pemimpin untuk tidak egois dan membuat penilaian yang melayani kepentingan yang lebih besar dari kelompok,
21
organisasi, atau komunitas. Selain itu, interpretasi moral juga memungkinan pemimpin autentik menjadin lebih adil dan mengambil keputusan yang benar untuk komunitas. Faktor terakhir yang terkait dengan kepemimpinan autentik adalah peristiwa yang penting dalam hidup. Peristiwa penting adalah kejadian yang membentuk seseorang. Peristiwa hidup bertindak sebagai katalisator perubahan. Para ahli menyatakan kepemimpinan autentik sangat mengandalkan pada pemikiran orang-orang yang dikaitkan dengan pengalaman hidup. Ketika pemimpin menyampaikan cerita tentang kehidupan, pemimpin akan lebih memahami dirinya sendiri dan juga peran pengikut.
D. Pemimpin Informal Pemimpin informal adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan resmi sebagai pemimpin; namun karena memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.19Oleh karena itu, pemimpin informal menduduki posisi sebagai pemipin dalam suatu kelompok sosial/masyarakat diperoleh bukan melalui suatu pengangkatan yang resmi.Pemimpin informal menjadi pemimpin karena masyarakat yang menginginkannya. Meskipun demikian, seorang pemimpin formal dapat pula menjadi pemimpin informal dalam suatu masyarakat. Namun biasanya pemimpin tersebut apabila habis masa jabatannya sebagai pemimpin formal, akan tetap dianggap sebagai pemimpin bagi masyarakatnya.20 Hal tersebut disebabkan oleh kualitas-kualitas unggul yang dimiliki oleh seseorang baik dalam hal kekayaan, pengetahuan, pengalaman maupun kekuatan yang dimiliki. Adapun pemimpin informal dalam suatu masyarakat antara lain seperti: tokoh masyarakat, tokoh
19
Kartini, Kartono.2003. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm, 9. Budiman, Arief. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Jakarta: Pustaka Alfabet. Hlm, 27. 20
22
wanita, tokoh pemuda, tokoh ulama, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas dapatlah dilihat beberapa kelebihan pemimpin informal21 sebagai berikut: a) Memiliki kemampuan untuk memikat hati bawahan. b) Dapat menempatkan dirinya tepat di antara anak buah dengan hubungan interpersonal yang serasi. c) Menguasai organisasi dan tujuannya dengan baik. d) Memiliki teknik-teknik kepemimpinan yang efektif. e) Memiliki kelebihan daya fisik, psikis, dan mental. f) Memiliki kepribadian yang mendukung seperti integritas, kecerdasan dan kemampuan. E. Dinamika antara Pemimpin Formal dan Pemimpin Informal Seseorang dapat dikatakan berhasil sebagai pemimpin apabila memiliki kualifikasi yang dibutuhkan seperti: kepastian, kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara, kemampuan menilai, prestasi, ilmu pengetahuan dalam bidang tertentu, tanggung jawab, berani, tekun, percaya diri, agresif, dan lain sebagainya. Di samping itu, syarat mutlak yang harus dimiliki yaitu: kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Seorang pemimpin pun harus mampu menggunakan pendekatan kepemimpinan yang tepat dalam mengambil kebijakan dalam kepemimpinannya (Saliman, 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pemimpin baik formal maupun informal memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban yang harus dijalankan agar mendapatkan hasil yang optimal dengan metode kepemimpinannya.Pemimpin formal menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku karena berurusan dengan birokrasi pemerintahan. Sedangkan pemimpin informal menjalankan tugasnya sesuai dengan budaya masyarakatnya, atau adat-istiadat setempat (local culture) dan menjaganya agar tetap lestari.
21
Soekarso, dkk. 2015. Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan Praktis. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media (Edisi Pertama). Hlm, 46.
23
Dalam konteks penelitian ini pemimpin formal, misalnya kepala Desa Umbulharjo jelas memiliki wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan desa, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kepala desa menjalankan tugasnya sesuai dengan mekanisme koordinasi dengan pemerintah distrik dan kabupaten.22 Tugasnya adalah mengelola administrasi dan mengurus masalah-masalah di kalangan masyarakat terkait berbagai kebijakan administratif, birokrasi, dan harus tanggap dengan berbagai keadaan yang mengancam warganya seperti bencana alam. Di bawah kepala desa, ada pula kepala pedukuhan , ‘pak dukuh’ yang merupakan pemimpin formal di kawasan administratif pedukuhan atau dusun, sebagai salah satu ‘perabot desa.’23 Tugas kepala dukuh Kinahrejo kurang lebih sama dengan kepala desa, hanya saja cakupan wilayahnya lebih sempit, yakni menyelenggarakan pemerintahan pedukuhan dalam rangka membantu kepala desa, mengelola administrasi pedukuhan, dan berbagai masalah yang ada di masyarakat pedukuhan. Berdasarkan deskripsi di atas, pemimpin formal dan pemimpin informal memiliki kedudukan dan fungsi yang setara dalam suatu masyarakat sehingga harus berjalan selaras. Hanya saja, sebagian besar pemimpin formal di masyarakat pedesaan, dalam beberapa hal, kurang dipercaya daripada pemimpin informal. Salah satu penyebabnya pemimpin informal mendapat wewenang sebagai pemimpin karena diangkat oleh masyarakat dengan keunggulankeunggulan yang sesuai dengan konteks sosiocultural-nya yang tradisional dengan masa jabatan yang tidak ditentukan, sedangkan pemimpin formal bisa dikatakan hanya sebagai perpanjangan birokrasi dari pusat ke daerah dalam hal administratif selama masa jabatannya.24
22
Supriyadi, Deddy. 2004. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 26. 23 ----------. 1977. Adat-Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 225. 24 Kartono, Kartini. 2013. Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah Pemimpin Abnormal Itu?. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 8-9.
24
F. Pemimpin sebagai Figur Publik Tidak semua pemimpin dapat dikatakan sebagai figur publik (public figure) atau pembentuk opini publik, karena hanya pemimpin yang dikenal dan dihargai oleh masyarakat luas (public) saja yang dapat masuk kategori ini. Pemimpin yang dikatakan sebagai publik figur tentunya yang memiliki pengaruh besar, sering diulas di media, baik cetak maupun elektronik. Ulasan media cakupannya sangat luas sampai pada seluk-beluk figur yang bersangkutan. Oleh karena itu, kekuatan media tetap menguasai publik, karena media dapat menunjukkan adanya kesadaran publik untuk membuat suatu pembaharuan, perbaikan, dan perubahan.25 Sebagai figur publik, pemimpin akan mudah terekspos media, dan hal ini juga berkaitan peran media masa dalam pemberitaan, baik melalui wawancara, menyampaikan pendapat, mendengarkan, serta meliput kehidupan para tokoh dengan menampilkan mereka dalam profil di media cetak maupun elektronik.26 Oleh sebab itu, seorang pemimpin yang menjadi publik figur hampir tidak memiliki sisi personal, atau kehidupan pribadi, karena media selalu memburu hal-hal yang melekat padanya. Di sisi lain para pemimpin dapat berbicara untuk mempengaruhi persepsi pengikutnya tentang suatu masalah, makna dari suatu kejadian, keyakinan tentang penyebab dan konsekuensinya, dan visi akan masa depan.27 Terkait dengan Mbah Maridjan Sebagai figur publik, maka dapatlah dijelaskan bahwa melejitnya nama Mbah Maridjan tentu disebabkan pula oleh Gunung Merapi. Karena nama Mbah Maridjan mulai menjadi figur publik saat Gunung Merapi menjadi sorotan media, yakni paling tidak pada tahun 2006 dan 2010. Hal ini terbukti, pada saat Merapi sedang berstatus awas, sejumlah nama persona dan media yang cukup dikenal akan mengirim perwakilan wartawan ke rumah Mbah Maridjan, meskipun memasuki kawasan tertutup yang dijaga ketat oleh polisi dan militer.28 Hal tersebut jelas mengidentifikasikan bahwa Mbah Maridjan
25
Assumpta, Maria. 2002. Dasar-Dasar Public Relations: Teori dan Praktik. Jakarta: Grasindo. Hlm, 77. Suwaidan, Thariq. 2005. Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Jakarta: Gema Insani. Hlm, 240. 27 Robbins, Stephen. 2008.Perilaku Organisasi. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hlm 81. 28 Gunawan, Rudi. 2006. Mbah Maridjan: Sang Presiden Gunung Merapi. Jakarta: Gagas Media. hlm, 79. 26
25
merupakan salah seorang figur yang cukup berkompeten dan potensial untuk dimintai keterangan terkait aktivitas Merapi. Demikianlah, beberapa teori sebagaimana telah dijelaskan di atasakan digunakan untuk menjelaskan dinamika kepemimpinan Mbah Maridjan. Sebagaimana terkait rumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan figur Mbah Maridjan, kepemimpinan Mbah Maridjan, serta bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat di Lereng Gunung Merapiterhadap kepemimpinan Mbah Maridjan.
26
1.5.Kerangka Penelitian
Mbah Maridjan
Figur Mbah Maridjan (Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi/Abdi Dalem, tokoh masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat)
Praktik KepemimpinanMbah Maridjan (Kepemimpinan melalui Kemampuan dan Pengalaman)
Kepercayaan Masyarakat terhadap Kepemimpinan Mbah Maridjan (bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat terkait fenomena kepemimpinan Mbah Maridjan)
1.6.METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Paradigma yang berlaku dalam penelitian ini tentunya adalah konstruktivisme, post-positivisme, dan teori kritis.29Itu artinya hal yangdikupas secara kritisberdasarkan temuan-temuan baru di lapangan, dan karena penelitian ini bersifat tematik, maka tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan hasil penelitian. Objek yang diteliti bersifat khusus atau spesifik, dan hasil penelitian pun berdasarkan pada fenomena kepemimpinan Mbah Maridjan di Lereng Merapi.
29
Gunawan Imam, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.
27
B. Pendekatan Penelitian Pemilihan fenomenologi sebagai pendekatan dalam penelitian ini disebabkan karena kepemimpinan informal Mbah Maridjan di dalam kehidupan masyarakat lereng merapi yang lebih kuat daripada pemimpin formalnya seperti yang jelas terjadi ketika peristiwa erupsi gunung merapi pada tahun 2006 dan 2010 merupakan sebuah fenomena sosial yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Fenomena tersebut dibahas berdasarkan pengalaman dari masyarakat setempat selaku narasumber dalam penelitian ini sehingga didapatkan makna yang terdapat fenomena tersebut. Kemunculan fenomena Mbah Maridjan sebagai pemimpin publik informal belum pernah dibahas dalam penelitian sebelumnya sehingga menarik untuk memahami pengaruh Mbah Mardijan sebagai pemimpin informal dalam kehidupan masyarakat di lereng Gunung Merapi.
C. Tempat Penelitan Penelitian ini membahas mengenai figur kepemimpinan Mbah Maridjan yang merupakan pemimpin informal di Lereng Gunung Merapi yakni di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan tempat tinggal dari almarhum Mbah Maridjan dan sekarang masih ditinggali oleh keluarga dan pengikutpengikutnya. Pada kejadian erupsi merapi tahun 2010 lalu, banyak korban yang berasal dari lokasi tersebut. Hal ini membuktikan tingginya tingkat kepercayaan dan loyalitas masyarakat Desa Umbulharjo terhadap Mbah Maridjan sehingga menjadikan lokasi tersebut representatif untuk menjawab rumusan masalah yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini.
28
D. Subjek dan Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah figur kepemimpinan Mbah Maridjan serta fenomena tingginya kepercayaan masyarakat kepada Mbah Maridjan. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah beberapa responden dari lokasi penelitian yang memiliki kompetensi dalam memberikan informasi terkait kepemimpinan Mbah Maridjan. Selanjutnya, agar bisa lebih memahami lebih lanjut perihal tersebut, maka yang menjadi subjek penelitan adalah Mbah Maridjan sebagai pemimpin informal, pemimpin formal di lokasi tersebut, serta masyarakat yang tinggal di Lereng Gunung Merapi.
E. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif yang berasal dari sumber primer maupun sekunder. 1. Sumber Primer Sumber primer yang dimaksud tersebut didapatkan dari catatan hasil wawancara yang diperoleh melalui kegiatan wawancara bersama narasumber yang dianggap representatif terhadap topik yang dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, data primer yang diperoleh juga berasal dari hasil pengamatan (observasi) di lapangan sehingga terkumpul data yang dianggap relevan dalam bentuk catatan tentang situasi dan kejadian di tempat penelitian.
2. Sumber Sekunder Di dalam penelitian ini, data sekunder didapatkan dari artikel-artikel internet dan juga beberapa buku yang terkait dengan kepemimpinan Mbah Maridjan ataupun kehidupan masyarakat lereng Gunung Merapi. Kemudian data sekunder tersebut diolah dan diperiksa kebenarannya terlebih dahulu dalam kegiatan wawancara dengan para narasumber yang dipilih sebelum digunakan dan dituliskan dalam penelitian ini.
29
F. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik-teknik pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, yakni:wawancara dan dokumentasi. Pada proses pengumpulan data dalam kegiatan penelitian ini juga dibutuhkan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu sehingga proses penelitian bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. 1.
Untuk memperkuat data, dilakukan pula wawancara terhadap narasumber yang
dianggap relevan dengan penelitian ini agar bisa lebih memahami asumsi dari masyarakat mengenai fenomena kepemimpinan informal Mbah Maridjan. Dalam pelaksanaan penelitian ini, para informan melakukan interpretasi terhadap fenomena kepemimpinan Mbah Maridjan. Lalu terhadap data tersebut, dilakukan interpretasi sehingga mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian. Kemudian teknik dokumentasi juga digunakan untuk memperoleh data tambahan dari berbagai sumber sehingga bisa lebih
kredibel dalam menjelaskan pokok
masalah.Wawancara Dalam penelitian ini wawancara dilakukan untuk mendapatkan pandangan yang jelas mengenai interpretasi masyarakat setempat mengenai figur dan kepemimpinan Mbah Maridjan sehingga dapat dianalisis dan didapatkan kesimpulan terkait dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Adapun bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini bersifat semiterstruktur. Metode ini dipilih agar bisa mengkaji topik yang dibahas secara lebih mendalam dari tiap narasumber. Wawancara tersebut dilakukan dengan pembuatan pedoman wawancara yang berisi beberapa pertanyaan kepada narasumber. Selanjutnya ketika pelaksanaan, diajukan pertanyaan-pertanyaan tambahan guna mendapatkan lebih banyak data yang terkait dengan topic yang dibahas dalam penelitian ini.
30
Narasumber yang dipilih dalam wawancara dianggap memiliki hubungan yang kuat dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pribadi dan kepemimpinan Mbah Maridjan di dalam kehidupan masyarakat Lereng Gunung Merapi. Demikianlah, dalam pelaksanaannya, dipilih 7 orang narasumber utama, yaitu: Bapak Ramijo selaku Kepala Dukuh Kinahrejo, Bapak Asih selaku anak dari Mbah Maridjan dan Ketua RT 1, Bapak Margo Utomo selaku Ketua RT 2, Bapak Purwanto selaku Ketua RT 3, Bapak Badiman selaku Ketua RT 4, Bapak Wignyo selaku Ketua RW, dan Sholeh selaku ketua pemuda setempat. Selanjutnya didapatkan data dari beberapa narasumber lain yang merupakan masyarakat setempat dan memiliki hubungan dekat dengan Almarhum Mbah Maridjan. Alasan pemilihan ketujuh narasumber utama di atas dikarenakan mereka termasuk pemimpin informal dalam masyarakat setempat dan sering berhadapan langsung dengan Mbah Maridjan ketika diadakannya perkumpulan warga seperti untuk musyawarah dusun, dan khususnya ketika terjadi erupsi Gunung Merapi pada tahun 2006 dan 2010 lalu. Berdasarkan alasan tersebut, maka para narasumber tentu memiliki pengetahuan yang cukup terkait kepribadian Mbah Maridjan sebagai pemimpin informal di kalangan Masyarakat Kinahrejo. Dengan kata lain, para narasumber dapat menilai menimbang dan menakar berbagai keunggulan dari pribadi Mbah Maridjan, sesuai dengan kenyataan di lapangan. Begitu pula hal-hal yang terkait dengan bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat kepada Mbah Maridjan a)
Dokumentasi
Teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan secara maksimal dalam rangka mendapatkan data yang lebih kredibel, atau yang sudah diuji banyak pihak berkompeten. Data yang digali dalam penelitian ini adalah banyak hal terkait referensi dan ulasan tentang Mbah Maridjan yang telah didokumentasikan dalam berita media sejak erupsi Merapi tahun 2006 sampai dengan 2010.
31
G.
Teknik Analisis dan Pengolahan Data
Analisis data bertujuan untuk mengorganisasikan data.Dalam penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a)
Menganalisis hasil wawancara yang didapatkan dari beberapa narasumber
untuk memahami interpretasi narasumber mengenai topik yang dibahas dalam penelitian ini. Untuk menganalisis hasil wawancara, dibuat transkrip wawancara untuk mempermudah proses analisis dan pemetaan masalah. b)
Menganalisis data sekunder yang didapatkan melalui metode dokumentasi yang
didapatkan dari buku, internet, dan literatur lainnya yang memiliki keterkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini. Untuk mengolah data, penelitian ini menggunakan teknik Miles dan Hubermanyang menjelaskanbahwa dalam mengolah data kualitatif dilakukan beberapa tahapan yaitu, reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan30. Penjelasan mengenai ketiga tahapan tersebut selanjutnya akan dibahas di bawah ini: a)
Reduksi
Pada tahap ini dipilih mana data yang relevan dan mana yang tidak relevan dengan topik pembahasan. Data relevan yang dimaksud disini adalah data yang membahas mengenai figur kepemimpinan Mbah Maridjan dan kepercayaan masyarakat kepada beliau. Data hasil wawancara yang diperoleh kemudian disalin dalam transkrip wawancara. Kemudian dari banyaknya data tersebut, dipilih data mana saja yang sesuai dengan topik yang dibahas dan mampu menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Hal ini perlu dilakukan karena data hasil wawancara banyak yang meluas dan keluar dari konteks permasalahan seputar kepemimpinan Mbah Maridjan.Dengan demikian, setelah direduksi, data hasil wawancara
30
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitiatif: Dilengkapi Contoh Propoosal dan Laporan Penelitian. Bandung: Alfabeta
32
akan mengerucut, semakin sedikit, dan semakin mengarah ke inti permasalahan sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kepemimpinan Mbah Maridjan. b)
Penyajian Data
Penyajian data merupakan tahapan kedua setelah data direduksi. Pada penelitian ini data disajikan berbentuk uraian penjelasan yang bersifat deskriptif maupun dengan tabel. Penggunaan tabel ini digunakan untuk memudahkan pembaca untuk membandingkan teori dan realita yang didapatkan dilapangan. Dalam penyajian data, juga dianalisis berbagai data tersebut berdasarkan relevansi antara kepemimpinan Mbah dengan teori yang diterapkan dalam penelitian ini. Selain itu, dalam penulisan narasi, digunakan gaya bahasa yang ringan dan alur cerita yang mudah mengerti sehingga dapat lebih menarik dan lebih mudah dipahami. c)
Analisis dan Kesimpulan
Setelah data terkait kepemimpinan Mbah Maridjan disajikan dalam bentuk uraian dan diberikan analisis, relevansinya dengan teori yang diterapkan, serta permasalahan yang menjadi objek penelitian telah dipahami, maka selanjutnya diberikan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Berikut ini skema pengolahan data yang diterapkan dalam penelitian ini:
Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data
H.
Teknik Pengabsahan Data
Penarikan Kesimpulan
Dalam penelitian ini, untuk menguji keabsahan data digunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan data lainnya diluar data yang telah
33
dimiliki untuk keperluan pengecekan atau bisa dijadikan pembanding terhadap data yang telah dimiliki tersebut. Dalam pelaksanaan teknik triangulasi, sebelumnya perlu dikumpulkan data terkait dengan penelitian dari beberapa sumber data yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah dikumpulkan, data yang didapatkan dari tiap narasumber harus melalui tahap verifikasi yang dilakukan oleh narasumber lain. Kemudian data skunder yang didapatkan dari beberapa literatur terkait topik pembahasan dalam penelitian ini juga akan ditanyakan kebenarannya kepada para narasumber utama. Setelah terdapat kecocokan data dari setiap narasumber, maka data tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini karena telah dianggap valid.
34