BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses perubahan sosial yang tengah berlangsung di Indonesia menandai pula perkembangan kota-kota dengan kompleksitas fungsinya yang tidak lagi hanya mempunyai fungsi administratif dan komersial, melainkan tumbuh sebagai simpul interaksi sosial yang mempengaruhi sistem nilai dan norma serta perilaku warga masyarakat. 2 Kehidupan di kota modern sangat jauh dari kata ramah, ini terlihat dari tingginya tingkat kesibukan masyarakatnya, tingginya angka depresi, banyaknya anak-anak yang kurang perhatian orang tua, begitu beragamnya kegiatan yang dilakukan, sampai dengan ramainya kegiatan di jam-jam malam, ini terlihat dari banyaknya tempat hiburan malam yang buka dan berkembang. The National Youth Anti-Drug (USA, 1998) memaparkan hasil penelitian mereka yang menyatakan bahwa anak-anak pemakai narkoba bukan hanya dipaksa oleh teman atau bandar/penjual untuk menggunakan narkoba, namun alasan lainnya adalah untuk mencoba keluar dari kebosanan/kejenuhan, untuk merasa enak, melupakan masalah dan santai, untuk bersenang-senang, memuaskan rasa ingin tahu, mengurangi rasa sakit hati/kecewa, mencoba tantangan, untuk merasa dewasa, menunjukkan kemandirian, merasa menjadi anggota kelompok tertentu, supaya
2
Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpangan, Jakarta : Yayasan LBH Jakarta,1988, hal.64.
Universitas Sumatera Utara
terlihat keren, adalah alasan yang mereka pakai untuk mengkonsumsi narkotika. 3 Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba. 4 Keberadaan obat bius dan zat-zat narkotika di Indonesia sendiri sudah mulai dikenal sebelum Tahun 1927, ini terlihat dari adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No.278 jo No.536, yaitu peraturan tentang obat bius dan candu. 5 Awal Tahun 1970-an penyalahgunaan narkotika semakin tak terkendali sehingga pada tanggal 8 September 1971, Presiden mengeluarkan Instruksi No.6 Tahun 1971 yang intinya adalah memberantas kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika, penyeludupan, uang palsu subversif, dan pengawasan orang asing. 6 Khusus penyalahgunaan narkotika diangggap cukup mendesak sehingga mendorong lahirnya Undang-Undang No.9 Tahun 1976, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tidak lagi mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya terorganisir, maka 3
http://www.parenting.co.id/article/usia.sekolah/alasan.menjajal.narkoba/001/004/113 Alasan Menjajal Narkoba, diakses tanggal 17 oktober 2013. 4 http://galihpakuan.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=39 Penyebaran Narkoba di Kalangan Anak-anak dan Remaja, diakses tanggal 17 oktober 2013. 5 Moh.Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky , Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hal.10. 6 Ibid., hal.1.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang No.22 Tahun 1997 direvisi kembali dengan disahkannya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang narkotika pada tanggal 14 desember 2009. 7 Sekarang istilah ini sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Berbagai berita, himbauan, peringatan mengenai narkoba sudah sering diselenggarakan. Namun, kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba saat ini semakin marak terjadi di Indonesia. Bahkan Indonesia saat ini sudah menjadi wilayah tujuan pemasaran utama. 8 Karena perkembangan peredaran narkotika yang begitu cepat maka banyak kasus-kasus kejahatan narkotika yang muncul di masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa kalangan remaja. 9 Prevalensi penyalahgunaan narkoba dalam penelitian BNN 10 dan Puslitkes UI serta berbagai universitas negeri terkemuka, pada Tahun 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia.Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk. 11
7
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang: UMM Press, 2009, hal.9. 8http://danangkyend.blogspot.com/2013/01/jakarta-kota-pengkonsumsi-narkoba.html diakses tanggal 11 september 2013. 9 Kusno Adi, Op.cit., hal.10. 10 BNN merupakan Badan Narkotika Nasional merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, dibentuk berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 64 Undang-undang Narkotika 11 http://nasional.kompas.com/read/2012/10/31/14280327/Pengguna.Narkoba.5.8.Juta.Tahu n.2012, Nina Susilo, Pengguna Narkoba 5,8 Juta Tahun 2012. diakses tanggal 17 oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
Tindak kejahatan narkotika saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyisembunyi, tetapi sudah kerap kali dilakukan secara terang-terangan dilakukan oleh pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang haram tersebut. Banyaknya fakta yang disajikan para penyaji berita, baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik, mengemukakan ternyata barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama dikalangan remaja yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun bangsa dimasa mendatang. 12 Di Tahun 2013, tercatat sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba. 13 Pelajar menempati posisi kedua setelah pemakai yang didominasi oleh kaum pekerja sebesar 70 persen. Namun beberapa alasan yang mengejutkan mengatakan ke-70 persen pecandu yang berasal dari kalangan pekerja itu, disamping karena tekanan pekerjaan dan gaya hidup adalah karena mereka memang sudah terbiasa mengkonsumsinya sejak dibangku sekolah. Delapan persen lainnya adalah perempuan atau lelaki yang dilacurkan, dan aparat negara. 14 Kota-kota besar kerap kali menjadi sasaran empuk bagi para pengedar narkotika misalnya saja Kota Jakarta dan Kota Palembang yang kini menjadi kota yang paling konsumtif untuk barang haram ini. Medan, Bandung dan Bali juga 12
Kusno Adi, Op.cit., hal.1. http://nasional.sindonews.com/read/2013/08/21/15/773842/22-persen-pengguna-narkobaadalah-pelajar , Nina Susilo, 22 persen pengguna narkoba adalah pelajar, diakses pada tanggal 11 september 2013. 14 http://hai-online.com/Hai2013/Skulizm/SkulizmNews/Pelajar-di-Urutan-KeduaPengguna-Narkoba diakses tanggal 11 oktober 2013. Pelajar di Urutan Kedua Pengguna Narkoba!.Sumber :Kompas 13
Universitas Sumatera Utara
berhasil menduduki peringkat 5 besar peredaran narkotika terbanyak di Indonesia. Keadaan kota besar ini mempengaruhi kota lainya yang lebih kecil bahkan jauh dari pada modernitas, Padangsidempuan misalnya terhitung sejak Januari hingga Juni 2013, Polres Padangsidimpuan sudah menangani 32 kasus narkoba, terdiri dari 20 kasus ganja dan 12 kasus sabu-sabu. Dari jumlah itu, 51 tersangka yang masuk kategori pengguna, pengedar, perantara (kurir), bahkan Bandar, ditangkap. 15 Di Makassar misalnya, seorang anak yang baru berusia 16 Tahun telah menjadi pengedar bersama 3 rekannya yang lain, dan telah mengedarkan shabushabu sampai dengan 10 kali. 16 Di kota lainnya Yogyakarta, polisi terpaksa mengamankan 3 (tiga) orang anak (berusia 17 Tahun) yang kedapatan mengkonsumsi narkotika yang tertangkap bersama orang dewasa. 17 Data di Direktorat Polda Jatim menyebutkan sedikitnya 39 orang anak terlibat kasus narkotika baik sebagai pemakai ataupun pengedar, 18 angka ini juga tidak kalah mengejutkan dengan angka di Jakarta Selatan, data selama tahun 2013 untuk anak yang terlibat dalam kasus narkotika, naik dari tahun sebelumnya dari 80% menjadi 82%. 19 Ini membuktikan bahwa keberadaan barang haram ini memang tidak memilih yang akan menjadi tuan dan tempatnya sehingga diperlukan suatu 15
http://www.metrosiantar.com/2013/semester-i-tahun-2013-51-tersangka-narkobaditangkap/diakses tanggal 11 oktober 2013. 16 http://www.fajar.co.id/metromakassar/2961946_5662.html, diakses tanggal 4 februari 2014. 17 http://m.republika.co.id/berita /nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/09/19/mtdshi-duhtiga-anak-diamankan-karena-konsumsi-narkoba, diakses tanggal 4 februari 2014. 18 http://surabaya.tribunnews.com/2013/07/26/dalam-dua-bulan-39-anak-di-jatim-terlibatnarkoba, diakses tanggal 4 februari 2014. 19 http://m.inilah.com/read/detail/2060300/pemakai -narkoba-di-jakarta-selatan-kalangananak, diakses tanggal 4 februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
penanganan dan upaya yang cepat dan tepat untuk menanggulangi ancaman bahaya narkoba ini sebelum semakin parah. Penyalahgunaan narkotika merupakan jenis kejahatan yang mempunyai (potensi) dampak sosial yang sangat luas dan kompleks, lebih-lebih ketika yang melakukan adalah anak-anak. Dampak sosial penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak-anak itu bukan hanya disebabkan oleh karena akibat yang ditimbulkan akan melahirkan penderitaan dan kehancuran baik fisik maupun mental yang teramat panjang, tetapi juga oleh karena kompleksitas di dalam penanggulangannya terutama ketika pilihan jatuh pada penggunaan hukum pidana sebagai sarananya. 20 Sesuai dengan kharakteristik yang ada pada anak-anak, mereka memerlukan perhatian secara khusus, mengingat anak memiliki kharakteristik di mana kondisi fisik dan mental yang belum matang. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak hakikatnya merupakan pilihan yang bersifat dilematis. Di satu sisi, kemampuan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak sangat terbatas. Indikasi terhadap hal ini antara lain terlihat semakin meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, sementara di sisi lain ada kecenderungan selalu digunakannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan narkotika yang dilakukan oleh anak padahal
realitas
menunjukan,
bahwa
peradilan
pidana
sebagai
sarana
penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak seringkali
20
Kusno Adi, Op.cit., hal.17.
Universitas Sumatera Utara
menampilkan dirinya hanya sebagai “mesin” hukum yang hanya menghasilkan “keadilan prosedural”(procedural justice). 21 Diperlukan suatu langkah yang bijaksana dalam menangani permasalahan penyalahgunaan narkotika ini, khususnya anak sebagai terpidana, mengingat sangat rentannya usia anak dan masih dalam usia imitasi. Beberapa ahli mengemukakan, peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Sementara itu, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya. 22 Dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap pelaku atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana. 23 Di sisi lainnya anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika tentunya tidak lahir dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses pertimbangan dari
21
Ibid. hal.55-56. http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html diakses tanggal 17 oktober 2013. 23 Marlina, Hukum Penitensier.Bandung : Refika Aditama, 2011, hal.73. 22
Universitas Sumatera Utara
organisasi-organisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkoba, dimana kejahatan tersebut memang menjanjikan keuntungan yang cukup menggiurkan. 24 Hal-hal di ataslah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini dan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kebijkan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak Di bawah Umur dan Penerapan Narkotika(Analisis
Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Putusan
No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP;
Tentang Putusan
No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No. 229/Pid.B/2012/PN.Jpr)
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dijelaskan bahwa penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini menjadi masalah yang sangat serius mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Maka penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan hukum yang lainnya memegang peranan penting dalam upaya mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikalangan anak di bawah umur. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu : 1.
Bagaimana Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak Di bawah Umur Dari Perspektif Undang-
24
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Press, 2009, hal.67.
Universitas Sumatera Utara
Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2.
Bagaimana Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Terhadap Anak Pelaku
Penyalahgunaan
No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP,
Narkotika Putusan
Dalam
Putusan
No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp.
dan Putusan No. 229/Pid.B/2012/PN.Jpr? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan : 1.
Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikalangan anak di bawah umur dari perspektif Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UndangUndang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2.
Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1.
Secara teoritis : Dapat menambah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengaturan tindak pidana dipenyalahgunaan narkotika dari perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
2.
Secara praktis :
Universitas Sumatera Utara
Dapat mengetahui bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam penegakan hukum dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang. D. Tinjauan Kepustakaan 1. Batas Usia Anak Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak itu. 25 Sebelum menjelaskan lebih dalam apa itu batas anak, beberapa definisi anak di bawah ini dapat memberikan batasan pemikiran tentang konsep anak itu sendiri, di antaranya ada : a)
Nicholas Mcbala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain. 26
25
Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo, 2000, hal.24. 26 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung : Refika Aditama , 2009, hal.36.
Universitas Sumatera Utara
b)
Poerwadarminta, memberikan pengertian anak sebagai manusia yang masih kecil. 27
c)
Made Sadhi Astuti menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pengertian anak adalah mereka yang masih muda usia dan sedang menentukan identitas, sehingga berakibat muda kena pengaruh lingkungan sekitar. 28
d)
Ter Haar menyatakan, bahwa menurut hukum adat, masyarakat hukum kecil itu, yaitu saat orang yang menjadi dewasa ialah saat (laki-laki dan perempuan) sebagai seorang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah tangga lain sebagai laki-laki bini muda yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri. 29
Beberapa Undang-undang dan peraturan kini, banyak memberikan batasan umur yang mana yang dikatakan sebagai anak. Namun semua bentuk peraturan yang ada di Indonesia kini, diadaptasi dari hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia dari dahulu. Karena itu terhadap orang-orang Indonesia berlaku hukum adat, yang akhirnya membuat Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad No. 54 tentang batas usia anak, Isi daripada staatblad, 1931-54, adalah : 30
27
W.J.S Purwadadarinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Batavia : Balai Pustaka, 1976,
hal.735. 28
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, Malang :Universitas Negeri Malang, 2003, hal.6. 29 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam…Op.cit, hal.6. 30 Soedjono Dirjosisworo, Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1983, hal .230.
Universitas Sumatera Utara
a)
Mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin;
b)
Mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian bercerai-berai dan tidak kawin lagi di bawah umur;
c)
Yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak.
Seiring perkembangan zaman, Indonesia kini sudah memiliki berbagai undang-undang yang mencantumkan batas usia anak. Untuk dapat disebut sebagai anak maka orang itu harus berada pada batas usia bawah atau minimum nol (0) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas atau maksimum 18 tahun sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian hukum nasional. Beberapa peraturan perundang-undangan memberikan batas usia anak sebagai berikut : 31 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin. 2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, batas usia anak adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki dan belum kawin. 3. Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the rights (konvensi tentang hak-hak anak, batas usia anak adalah di bawah18 tahun. 5. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin. 6. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin. 7. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, batas usia anak adalah di bawah/ belum berusia 18 tahun termasuk mereka yang masih dalam kandungan seorang ibu. 8. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, batas usia anak adalah belum berumur 18 tahun dan belum kawin. 31
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju, 2009, hal.3-4.
Universitas Sumatera Utara
9. Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, batas usia anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 32 Pengertian batas usia anak pada hakikatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu. Maksudnya pengelompokan batas usia maksimum anak (batas usia atas) sangat tergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. 33 2.
Pengertian Tindak Pidana Para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menggunakan
perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan perkataan strafbaar feit tersebut. 34 Pompe menyatakan, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya kepentingan umum. 35 Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan 32
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 butir
ke-3 33
Maulana Hassan Wadong, Op.cit., hal.26. PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1997, hal.181. 35 Ibid.,hal.182. 34
Universitas Sumatera Utara
sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 36 Alasan dari Simons, apa sebabnya strafbaar feit itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena : a. Untuk adanya suatu strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan c. Setiap
strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 37 Ia tidak menyetujui apabila kata straf diterjemahkan menjadi “hukuman” dan kata wordt gestraf diartikan “dihukum”. Selanjutnya ia mengalternatifkan terjemahan lain, yaitu “pidana” untuk kata straf 36 37
Ibid.,hal 185 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002,
hal.71.
Universitas Sumatera Utara
dan “diancam dengan pidana” untuk kata wordt gestraf. Pertimbangannya adalah apabila kata straf diartikan ”hukuman”, maka kata strafrecht harus mengandung arti “hukuman-hukuman”. 38 Kata straf dalam penggunaanya akan sangat tergantung dengan situasi dalam kerangka apa istilah tersebut dipergunakan, karena istilah ini tidak memiliki arti yang pasti. Berikut beberapa penjelasan tentang arti “pidana dan “hukum pidana”, berikut ini beberapa kutipan definisi para ahli : 39 1. Mr. W. P. J. Pompe memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan umum menegnai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya. 2. Moelyatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk, menentukan perbuatan mana yang dilarang, kapan dan bagaimana pengenaan pidana dilaksanakan. 3. Sudarto mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 4. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.
38 39
Waludi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003, hal.1. Ibid.,hal.3.
Universitas Sumatera Utara
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-usur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. 40 Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 41 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
40 41
PAF.Lamintang, Op.cit.,hal.193. Ibid.,hal.194.
Universitas Sumatera Utara
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri’ keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP 3. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 42 1. Subjek 2. Kesalahan 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan) 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya). C.S.T Kansil menyatakan,Tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur yakni: 43 1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging); 2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke omschrijving); 3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; 4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; 5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. 42
Ibid.,hal.211. C.S.T.Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,Jakarta :PN Balai Pustaka, 1983, hal.276. 43
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia dari sisi tata bahasa berasal dari bahasa Inggris Narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata Narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Secara umum Narkotika diartikan suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan pusat syaraf. 44 Undang-undang No. 35 Tahun 2009, di Pasal 1-nya menyebutkan narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini. Tindak pidana narkotika adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya sendiri, seperti: pembunuhan, pencurian, penjambretan, pemerkosaan, penipuan, pelanggaran rambu lalu lintas, pelecehan terhadap keamanan dan lain-lain. 45 Narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, dan sisi
44 45
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam..Op.cit. hal.12. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Oleh karena itu, dilakukan pengaturan narkotika dalam bentuk undangundang narkotika secara tegas menyebutkan tujuannya, dan dituangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Narkotika, sebagai berikut. Pengaturan narkotika bertujuan untuk : a. Menjamin
ketersediaan
narkotika
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. Memahami pengertian penyalahgunaan yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian penyalahgunaan narkotika, yaitu penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah pola penggunaan narkotika yang patologi 46 sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atau teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar pula , dapat pula 46
Pathology/ patologi adalah keadaan sakit karena terganggunya jaringan fungsi tubuh, pengetahuan tentang perubahan-perubahan fisik dan fungsional pada tubuh akibat penyakit. Med. Ahmad Ramali dan K. St. Pamoentak, Kamus Kedokteran, Jakarta : Djambatan, 1996, hal.255.
Universitas Sumatera Utara
membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli narkotika. Widjono, dkk., mendefinisikan penyalahgunaan narkotika sebagai pemakaian obat secara terus-menerus, atau sesekali tetapi berlebihan, dan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek kedokteran. 47 Sementara itu Gordon membedakan pengertian pengguna, penyalahguna, dan
pecandu
narkoba.
Menurutnya,
pengguna
adalah
seseorang
yang
menggunakan narkoba hanya sekedar untuk, bersenang-senang, rileks atau relaksasi, dan hidup mereka tidak berputar disekitar narkoba. Pengguna jenis ini disebut juga sebagai pengguna sosial rekreasional. Penyalahguna, adalah seorang yang mempunyai masalah yang secara langsung berhubungan dengan narkoba. Masalah tersebut bisa muncul dalam ranah fisik, mental, emosional maupun spritual. Penyalahguna selalu menolak untuk berhenti sama sekali dan selamanya. Sedangkan pecandu adalah seorang yang sudah mengalami hasrat/ obsesi secara mental dan emosional serta fisik. Bagi pecandu, tidak ada hal yang lebih penting selain memperoleh narkoba, sehingga jika tidak mendapatkannya, ia akan mengalami gejala-gejala putus obat dan kesakitan. 48 Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan 47
Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Yogyakarta :Gajah Mada University Press, 2008, hal.13. 48 Ibid., hal.13.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana narkotika dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009. Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut: 49 a. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin b. Berlingkup internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh, tapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri c. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap akan sulit mengetahui pengedarnya, demikian pula sebaliknya d. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporannya sangat minim.
Jadi pengertian penyalahgunaan Narkotika yang dimaksudkan di dalam skripsi ini adalah seperti yang tercantum di dalam Undang-undang Narkotika Pasal 1 butir 15, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum, dan kemudian dipersempit lagi kedalam penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum yang digunakan untuk konsumsi terhadap diri sendiri, dan penyalahgunaan narkotika seperti yang diatur di dalam Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy, namun Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Criminal Policy”, menyatakan istilah kebijakan kriminal seolah mencari suatu kebijakan untuk 49
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal.480.
Universitas Sumatera Utara
membuat kejahatan (kriminal). Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan diluar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. 50 a. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris policy atau bahasa Belanda politiek. Istilah ini di dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata politik, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada 50
Mahmud Mulyadi,Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal.51.
Universitas Sumatera Utara
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada penggadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 51 Bertolak dari pengertian demikian Soedarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan
bahwa
melaksanakan
politik
hukum
pidana
berarti
usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 52 Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Muladi mengungkapkan bahwa, aspek ini berorientasi pada kenyataan kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahaptahap konkretasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana terdiri dari : 53 a.
b.
c.
Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut kebijakan eksekutif atau administratif.
Berdasarkan pengertian tentang politik hukum, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan
51
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta : Kencana, 2008, hal.19. 52 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hal.1. 53 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : PT Alumni, 2008, hal.391.
Universitas Sumatera Utara
kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. 54 A.Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan: 55 a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminl. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan pula bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 56 b. Kebijakan Non Penal (non penal policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh krena itu, sasaran utamanya 54
Mahmud Mulyadi,Op.cit.,hal.66. Ibid. 56 Barda Nawawi Arief, Op.cit.,hal 24. 55
Universitas Sumatera Utara
adalah menangani faktor-faktor kondusif peyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 57 Kondisi sosial yang yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang telah dikemukakan adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itu, pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. 58 Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan
tanpa
menggunakan
sarana
pemidanaan
(prevention
without
punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum aministrasi (administration and civil law). 59 Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan kepada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/ penangkalan/
57
Mahmud Mulyadi,Op.cit.,hal 55. Ibid, hal. 57. 59 Ibid, hal. 58. 58
Universitas Sumatera Utara
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 60 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan dan menumbuhsuburkan kejahatan.
E.
Metode Penelitian
1.
Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif. Dalam hal penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. 2.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, data sekunder
diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
60
Barda Nawawi Arief,Op.cit.,hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Padangsidimpuan dan Pengadilan Negeri Jayapura (Putusan No No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP, Putusan
No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp.
dan
Putusan
No.
299/Pid.B/2012/PN.Jpr), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3.
Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teoriteori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 4.
Analisis data Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan
metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis
Universitas Sumatera Utara
kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
F. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “ Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak Di bawah Umur dan Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah. G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian , keaslian Penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab kedua akan dibahas mengenai perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dari perspektif undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan No.11
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, kaitan kejahatan anak dengan kebijakan penanggulangan kejahatan serta kebijakan penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan anak di bawah umur dari perspektif UU No.35 Tahun 2009 dan UU No.11 Tahun 2012. Pada bab ketiga akan dibahas mengenai penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum sebagai bentuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.Psp,
Putusan
beserta analisis kasus Putusan
No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp.
dan
Putusan No.229/PidB/2012/PN.Jpr. Bab keempat ini berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara