BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Puisi menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terdapat dua macam
arti, yaitu ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima atau pengulangan bunyi yang berselang, baik dalam larik sajak maupun akhir sajak yang berdekatan (KBBI, 2013:
1174), irama atau alunan yang terjadi karena perulangan dan
pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendah nada dalam puisi (KBBI, 2013: 547), matra atau bagan yang dipakai dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah, panjang, atau tekanan setiap suku kata (KBBI, 2013: 889), serta penyusunan larik dan bait, dan perubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Dalam kesusasteraan Jawa Modern, puisi Jawa modern disebut dengan geguritan (Darnawi, 1983: 7). Geguritan berasal dari kata gurit, yang dalam kamus Baoesastra Djawa berarti toelisan tatahan, kidoeng dan tembang. Oleh karena itu, geguritan berarti tembang (oeran-oeran) moeng awoedjoet poerwakanthi ‘tembang yang bentuk suara tembang atau aksaranya sama’ (Poerwadarminta, 1939: 157). Puisi Jawa atau geguritan sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti, sebab segala unsur seni kesastraan banyak yang mengental pada puisi dalam wujud yang berubah-ubah
1
2
(Pradopo, 2005: 3). Dengan demikian, geguritan dimaksudkan pula sebagai puisi yang telah melepaskan diri dari ikatan makna kosong formal cetakan, dan juga makna kosong musikal (Wiryaatmaja, 1987: 24). Geguritan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk apresiasi atau luapan emosi seseorang yang disampaikan melalui tulisan, dengan beberapa metafora yang menjadikan tulisan itu memiliki nilai estetika atau keindahan tersendiri bagi pembacanya. Seorang penyair pasti memiliki suatu perasaan atau pengalaman serta emosi yang kemudian ia sampaikan melalui tulisan. Baik ketika ia sedang merasa rindu seseorang, merasa sedih, atau perasaan kagum ketika melihat sesuatu,
dan
lain
sebagainya.
Kekaguman
penyair
tersebut
kemudian
diekspresikan ke dalam tulisan. Puisi Jawa baru dalam perkembangannya mengalami sedikit kemunduran, sebab semakin banyak pengaruh kebudayaan dari luar daerah maupun kebudayaan asing yang lebih menarik dan lebih mudah untuk dipahami, sehingga menyebabkan masyarakat lebih menyukai puisi baru dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing, seiring dengan tergesernya bahasa daerah terutama dalam penyairan suatu karya sastra. Selain itu di era ini banyak anak muda dan anakanak yang tidak dapat mengerti makna yang terdapat pada sebuah geguritan karena makna tersebut lebih banyak yang tersirat daripada yang tersurat, serta makna sebuah geguritan juga terdapat dalam berbagai macam bentuk. Proses pemahaman puisi dengan analisis semiotika merupakan salah satu usaha untuk dapat menangkap tanda, kode, dan unsur yang terdapat dalam karya sastra berupa geguritan sehingga dengan mudah penyair maupun pembaca dapat
3
memahami makna geguritan tersebut. Dalam mengungkapkan makna di dalam geguritan, penelitian ini mengacu pada teori semiotika Michael Riffaterre mengingat objek yang dikaji berupa puisi Jawa (geguritan). Analisis semiotika tersebut meliputi analisis ketidaklangsungan makna, pembacaan heuristik dan hermeneutik, pencarian matriks, model, varian, serta hipogram pada geguritan karya Akhmad Nugroho. Dari analisis semiotik tersebut akan mengungkap tema dan isi dari tiap-tiap geguritan. Dan dari kedua hal tersebut dapat menghasilkan uraian perjalanan hidup seorang penyair.
1.2
Rumusan Masalah Permasalahan muncul akibat adanya masalah, sementara masalah muncul
akibat peneliti menemukan suatu gejala literer (Sangidu, 2004:103). Dari latar belakang tersebut, peneliti menemukan beberapa masalah dalam kesusastraan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimanakah bentuk dan struktur geguritan karya Akhmad Nugroho? b) Seperti apakah isi geguritan karya Akhmad Nugroho sehingga menggambarkan perjalanan hidupnya?
1.3
Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian dan analisis tentunya seorang peneliti memiliki
tujuan tertentu yang ingin dicapai agar menyelesaikan permasalahan dan
4
mendapatkan suatu hasil yang maksimal. Tujuan dari penelitian dan analisis yang dilakukan ini diantaranya adalah: a) Peneliti dan pembaca dapat mengetahui bentuk dan struktur geguritan karya Akhmad Nugroho. b) Peneliti dapat mengungkap tema dan isi geguritan karya Akhmad Nugroho sehingga peneliti dan pembaca dapat mengetahui gambaran perjalanan hidup penyair. Selain itu diharapkan pula agar penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar dalam penelitian-penelitian selanjutnya untuk memperdalam penelitian mengenai geguritan.
1.4
Manfaat Penelitian Sebuah usaha yang dilakukan seseorang pasti akan bermanfaat, baik untuk
dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu dari penelitian ini peneliti berharap dengan adanya analisis ini bisa bermanfaat baik untuk peneliti sendiri maupun orang lain. Manfaat yang diharapkan antara lain: a) Peneliti maupun pembaca dapat mengetahui hasil dan bagaimana cara meneliti makna yang terkandung di dalam geguritan melalui analisis semiotik dengan teori Michael Riffaterre sehingga dapat mengungkap bentuk atau struktur geguritan karya Akhmad Nugroho. b) Peneliti maupun pembaca dapat mengetahui perjalanan hidup Akhmad Nugroho melalui karya-karyanya yang berupa geguritan.
1.5
Tinjauan Pustaka
5
Penelitian tentang analisis semiotika dengan teori Michael Riffaterre dengan objek kajian kumpulan puisi Jawa baru atau dalam hal ini adalah geguritan karya Akhmad Nugroho sejauh yang diketahui oleh peneliti belum pernah ditemukan sama sekali, baik dalam bentuk skripsi, tesis, atau artikel dan sebagainya. Peneliti hanya menemukan buku antologi puisi yang didalamnya terdapat karya beliau, yaitu dengan judul Sesotya Prabangkara Ing Langit Ngayogya: Antologi Geguritan 33 Penggurit Ngayogya yang disusun oleh Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasyim pada tahun 2014, Gurit Pangabekti yang diterbitkan oleh KMSD (Keluarga Mahasiswa Sastra Daerah), Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1998, dan Lintang-Lintang Abyor: Sekuntum Puisi Jawa Mutakhir yang disunting oleh Drs. Soesatyo Darnawi pada tahun 1983. Sedangkan penelitian dengan menggunakan teori yang sama telah peneliti temukan di dalam skripsi S1 milik Heta Panca Laksimi Sani dari Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM pada tahun 2013 mengambil objek kajian Kumpulan Puisi Surat Untuk Ibu karya Ratih Sanggarwati. Skripsi lain yang menggunakan teori yang sama ditemui pula pada skripsi mahasiswa S1 dari Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM yaitu Durrotul Yatiimah pada tahun 2010 yang berjudul Unsur Religiusitas Dalam Kumpulan Sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Penelitian dengan objek yang sama peneliti temukan pada skripsi mahasiswa jurusan Sastra Nusantara yaitu tahun 2012 yang berjudul Gaya Bahasa
6
Dalam Antologi Geguritan Kidung Awang-Uwung yang ditulis oleh Irmina Raninditya Noorsiwi. Dari tinjauan pustaka tersebut dapat diketahui bahwa belum ada yang membahas tentang analisis semiotik dengan teori Michael Riffaterre pada geguritan karya Akhmad Nugroho. Oleh karena itu penyair mencoba memunculkan hal baru dalam objek penelitian, yaitu dengan mencoba menganalisis geguritan karya Akhmad Nugroho dengan analisis semiotik berdasarkan teori dari Michael Riffaterre.
1.6
Landasan Teori Semiotika adalah ilmu tanda yang berasal dari kata Yunani ‘semion’ yang
berarti tanda. Sistem semiotik yang berupa tanda tersebut salah satunya berupa bahasa, sebab bahasa
merupakan sistem ketandaan yang mempunyai arti
(Pradopo, 2005: 121). Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Sebuah kata dapat memiliki makna ganda, bahkan kata yang tidak memiliki makna pun bisa diberi makna oleh seorang pengarang puisi (Waluyo, 1987: 103). Michael Riffaterre adalah salah satu ahli semiotik yang menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik dan diterapkan pada puisi. Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, menjelaskan bahwa dalam memaknai sebuah puisi, pembaca lah yang berkompeten dalam memberikan arti pemulaan yang akan menentukan makna sebuah puisi berdasarkan pengalaman dan kemampuan pemahamannya sebagai pembaca puisi. Maksudnya, dalam memberikan makna terhadap sebuah puisi, pembaca
7
lebih berwenang dan lebih berkuasa daripada pengarang (Teew, 1991: 65). Pembaca bebas menginterpretasikan dan memberi makna pada puisi berdasarkan pemahaman dan konteksnya, bahkan dalam hal ini memungkinkan terjadinya penyimpangan dari makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh pengarang, akan tetapi seorang pengarang dapat membantu pembaca untuk memahami karyanya, yaitu dengan memberikan kode-kode bahasa (Waluyo, 1987: 105). Puisi merupakan bentuk dan gambaran dari satuan-satuan informasi
yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Oleh karena itu, agar sebuah puisi mempunyai makna, pembaca tidak hanya memperhatikan artinya saja, melainkan harus memperhatikan pula aspek-aspek dan unsur-unsur yang menjadikan puisi itu menjadi lebih bermakna. Untuk menganalisis sebuah geguritan dengan teori semiotik dari Michael Riffaterre, terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1)ketidaklangsungan makna, (2)pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)pencarian matriks, model, dan varian, serta (4)pencarian hipogram. Puisi dapat menyatakan pengertian atau hal-hal secara tidak langsung atau memiliki arti yang lain (Pradopo, 2005: 212). Ketidaklangsungan tersebut terjadi karena tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti baru (creating of meaning). Penggantian arti terjadi ketika tanda (sign) berubah dari satu makna ke makna yang lain, atau ketika satu kata berdiri untuk kata yang lain, seperti yang terjadi pada metafora dan metonimi yang berarti bahasa kiasan (Pradopo, 2005: 282). Penyimpangan
8
arti terjadi karena adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978 :2). Penciptaan arti baru terjadi ketika ruang tekstual berfungsi sebagai suatu prinsip pengorganisasian untuk membuat lambang-lambang (sign) dari item-item linguistik yang mungkin tidak mengandung arti dalam cara lain (Pradopo, 2005: 220). Pembacaan heuristik adalah pencarian makna berdasarkan pada makna leksikal yang dapat memperjelas arti kebahasaannya, namun makna yang terungkap belum sepenuhnya. Dalam pembacaan ini suatu karya sastra dibaca secara linier, yaitu sesuai dengan struktur bahasanya sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Untuk memperjelas pembacaannya dapat ditambah dengan kata sambung yang diberi tanda kurung dan kata-kata tersebut dikembalikan ke dalam tatanan morfologisnya (Pradopo, 2005: 269). Sedangkan pembacaan hermeneutik adalah pencarian makna melalui penafsiran secara logis pada sebuah karya sastra. Pembacaan heuristik harus diulang dengan pembacaan hermeneutik dan diberi penafsiran sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua (Pradopo, 2005: 270). Pencarian makna melalui pencarian matriks maksudnya adalah pencarian titik pusat makna pada puisi yang tidak tertulis secara langsung. Dalam pencarian matriks dapat dilakukan dengan pencarian kata kunci yang menjadi kunci penafsiran (Pradopo, 2005: 299). Sedangkan model adalah bentuk dari matrik tersebut, dan variannya dapat berupa kalimat-kalimat yang bersifat puisitis yang berkembang dari model. Matriks, model, dan teks merupakan varian yang sama
9
(Riffaterre, 1978: 19). Dari matriks, model, dan varian tersebut maka akan membentuk tema. Pencarian hipogram adalah pencarian latar belakang penciptaan teks yang diperbandingkan dengan teks yang lain, sehingga dapat ditemukan teks yang menjadi dasar seorang penyair menuliskan sebuah karya sastra berupa geguritan (Riffaterre, 1978: 23). Tujuan dari pencarian hipogram adalah untuk menemukan pemaknaan secara utuh. Ada dua macam hipogram, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah hipogram yang tampak dan tidak tampak, yang terkandung dalam bahasa yang digunakan pada karya sastra, dan dapat berbentuk deskripsi, makna konotasi, dan lainnya. Sedangkan hipogram aktual adalah hipogram yang berupa teks-teks yang telah dihadirkan sebelumnya (Riffaterre, 1978: 26).
1.7
Metode Penelitian Penggunaan metode dalam suatu penelitian merupakan salah satu unsur
terpenting yang dapat menunjang suksesnya penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penafsiran makna dan metode pustaka, yang kemudian peneliti menganalisisnya dengan analisis semiotik dengan teori Riffatere seperti yang telah dikemukakan dalam bukunya Semiotics Of Poetry. Langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti diantaranya adalah beberapa tahap berikut: a) Data dikumpulkan dari geguritan-geguritan yang dikarang oleh Akhmad Nugroho.
10
b) Data yang sudah ditemukan kemudian ditulis ulang, sehingga geguritan tersebut terpisah dari pengarang yang lain. Setelah itu dilakukan pencarian masalah dengan mencari tahu karakteristik dari masing-masing geguritan tersebut. Selain itu dilakukan pula pengumpulan bahan-bahan yang sekiranya mendukung dalam penelitian. c) Metode yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah analisis data dengan membuat tabel. d) Setelah membuat tabel, dapat dilakukan pencarian makna dengan analisis semiotik berdasarkan teori Riffaterre, yaitu meliputi analisis ketidaklangsungan makna, pembacaan heuristik dan hermeneutik, pencarian matriks, model dan varian, serta pencarian hipogram sehingga dapat mengungkapkan tema dan isi dari geguritan tersebut. e) Tema dan isi yang telah ditemukan dapat disusun dan digunakan untuk mengungkap gambaran perjalanan hidup penyair karya sastra tersebut. f) Analisis yang telah dilakukan akan menghasilkan sebuah interpretasi dan penafsiran dari peneliti yang kemudian dituliskan dalam sebuah skripsi.
1.8
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan dilakukan oleh peneliti terbagi menjadi
beberapa bab, yaitu:
11
Bab I berisi pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II berisi deskripsi geguritan, yang didalamnya memuat biografi atau riwayat Akhmad Nugroho dan karya serta penyebaran geguritan karya Akhmad Nugroho. Bab III berisi analisis semiotik dengan teori Riffaterre. Bab IV berisi penutup yang di dalamnya memuat kesimpulan dan saran.