BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), benteng yang berarti bangunan tempat berlindung atau bertahan dari serangan musuh. Berupa dinding atau tembok untuk menahan serangan, dan sesuatu yang dipakai untuk memperkuat atau mempertahankan kedudukan dan melindungi diri dari serangan musuh dan untuk mengadakan perlawanan kepada musuh yang hendak mendekat. Benteng dalam bahasa Inggris adalah fort, secara umum fort dapat didefinisikan sebagai sebuah bangunan militer atau bangunan yang didirikan untuk tujuan pertahanan. Bangunannya terdiri dari dinding-dinding tinggi atau dibangun dengan tanah yang diperkuat (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2008:19). Abbas dan Ratna Suranti mendefinisikan benteng sebagai konstruksi yang didesain untuk meningkatkan daya tempur pasukan yang berada dalam suatu posisi yang bersama dengan strategi dan taktik meningkatkan daya faktor yang paling mendasar dalam suatu peperangan. (Novida Abbas dan Ratna Suranti, 1997:2). Benteng atau sistem perbentengan sudah dikenal di Nusantara jauh sebelum orang-orang Eropa datang. Pada awalnya benteng hanya berupa tembok, pagar dan parit.
Selanjutnya
unsur-unsur
tersebut
dilengkapi
dengan
menara
yang
perkembangan selanjutnya pada benteng modern, menara-menara tersebut digantikan oleh bastion (Abbas, 1997: 47).
1
2
Benteng-benteng tersebut pastilah mempunyai pintu atau gerbang, sebagai keluar masuknya atau penghubung dunia luar dari kawasan tertutup yang dikelilingi pagar atau dinding. Gerbang berguna untuk mencegah atau mengendalikan arus keluar-masuknya orang, mulai dari yang bersifat sederhana berupa bukaan sederhana pada sebuah pagar, sampai yang penuh dekorasi dan monumental. Istilah lainnya untuk gerbang adalah pintu dan gapura yang besar dan kokoh pada sebuah bangunan dapat menjadi sarana pertahanan, misalnya gerbang pada benteng atau kastil. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), arti pintu adalah bagian yang menutup akses lewat melalui gerbang rumah. Kini banyak gerbang modern dioperasikan secara otomatis sehingga dapat membuka dan menutup secara otomatis. Benteng dan gapura biasanya juga digunakan pada bangunan terluar kerajaankerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Kraton Kasultanan Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan condrosengkolo memet di pintu gerbang Kemagangan dan di pintu Gadung Mlati berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa yang berarti Dwi naga rasa tunggal yang artinya Dwi = 2, naga =8, rasa = 6, tunggal = 1. Jika dibaca dari belakang menjadi 1682. Arsitektur bangunan kraton didesain oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (H. B I). (Purwadi, 2008: 42) Sewaktu masih muda bergelar Pangeran Mangkubumi Sukowati dan mendapat julukan, menurut Dr. F. Pigeaud dan Dr. L. Adam sebagai de bouwmeester van zijn broer Sunan P. B II. Artinya adalah arsitek dari kakanda Sri Sultan Paku Buwono II (PB II). ( KPH. Brongtodiningrat, 1940: 7)
3
Luas kraton Yogyakarta adalah 14.000 m2, yang dikelilingi oleh sebuah tembok yang bernama beteng. Panjangnya 1 km, berbentuk persegi, tinggi 3,5 m, lebar 3 sampai 4 meter di keempat sudutnya terdapat bastion-bastion dengan lubanglubang kecil pada dindingnya untuk mengintai musuh. Beteng ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II melanjutkan apa yang telah dimulai oleh Hamengku Buwono I dengan Tamansarinya. Beteng dipergunakan untuk menghadapi berbagai kemungkinan serangan yang mengancam keamanan dan ketertiban Kraton Kesultanan Yogyakarta. Keterangan tentang beteng Kraton Kesultanan Yogyakarta juga diperkuat berita asing yang ditulis oleh Mayor William Thorn (1815) seorang serdadu kerajaan Inggris yang pada tanggal 17 Juni 1812 ikut ekspedisi militer ke Yogyakarta. Kraton atau tempat kediaman Sultan Mataram, dan seluruh penghuni istana sekitar tiga mil kelilingnya, dipagari parit berair yang lebar yang disebut jagang pada tiap gerbangnya dilengkapi jembatan tarik, dimana di sana juga ada beteng tinggi yang tebal dan kokoh berikut menara-menara penjagaan, dan dipersenjatai sebanyak hampir seratus meriam. Di dalam kraton, terdapat banyak sekali taman dan kebun, yang terlindungi tembok-tembok tinggi, yang semuanya sangat kokoh dan sulit ditembus. Akses masuk utama alun-alun di bagian depan sudah diletakkan dua baris meriam menghadap arah pintu masuk, yang di kanan kirinya diperkuat dengan pos persenjataan yang baru didirikan. Sebanyak tujuh belas ribu pasukan menjaga markas tersebut, sementara orang-orang bersenjata sebanyak lebih dari seratus ribu menjaga bagian luar kampung-kampung sejauh bermil-mil disekelilingnya, dan yang juga
4
menjaga tembok dan memenuhi sepanjang sisi jalan-jalan yang mengarah ke benteng kraton. (William Thorn, 1815: 167). Beteng dikelilingi oleh parit lebar dan dalam yang disebut jagang. Di antara beteng-beteng terdapat lima plengkung atau pintu gerbang guna menghubungkan komplek kraton dengan dunia luar dan sebagai akses untuk para penghuni kampungkampung di luar beteng baluwarti kraton. Para penghuni adalah para prajurit angkatan perang dan para perwira Kraton Kesultanan Yogyakarta. Akses keluar dan masuk Kraton disebut gerbang atau plengkung. Diserap dari kata mlengkung (melengkung) dan memang bentuknya separuh bulat melengkung. Plengkung di Kraton Kasultanan Yogyakarta terdapat lima buah tetapi hanya tinggal dua buah yang masih utuh. Kemungkinan perubahan dari plengkung menjadi gapura bentar disebabkan oleh kebutuhan akses jalan raya yang lebih lebar di bagian plengkung. Keberadaan plengkung atau gerbang tersebut ada lima buah yang terbagi di lima tempat. Dengan penempatan dua plengkung menghadap ke utara, satu plengkung menghadap barat, satu plengkung menghadap timur dan satu plengkung menghadap selatan. Kelima plengkung tersebut dilengkapi dengan ruji-ruji besi sebagai daun pintunya. Melengkapi fungsi pertahanan tiap plengkung dijaga bergantian siang dan malam dengan tertib oleh prajurit Kraton Kesultanan Yogyakarta. (Purwadi, 2008: 48) Muka tiap-tiap plengkung ada jembatan yang menghubungkan daerah-daerah Kraton dengan daerah luar. Jika ada bahaya, maka jembatan-jembatan itu dapat ditarik keatas, menutup jalan masuk ke dalam daerah beteng. Sementara itu pintu-
5
pintu plengkung ditutup rapat. Plengkung-plengkung itu ditutup pada pukul 20.00 dibuka kembali pada pukul 05.00 dengan tanda bunyi genderang dan trompet dari prajurit-prajurit di Kemagangan. Adapun pantun Mijil ini menggambarkan keadaan benteng-benteng Kraton pada masa kejayaannya: Ing Mataram betengira inggil Ngubengi kedaton Plengkung lima mung papat mengane Jagang jero toyaniro wening Tur pinacak suji Gayam turut lurung Arti : Mataram mempunyai beteng tinggi. Mengelilingi keraton. Mempunyai lima buah plengkung. Hanya empat plengkung yang terbuka. Air di parit dalam dan jernih mengelilingi beteng dan diberi pagar yang rapi. Sepanjang jalan ditanami pohon gayam. ( K. P. H. Brongtodiningrat, 1940: 10) Kelima plengkung atau gerbang tersebut :
Gambar 1. Plengkung Jagasura/plengkung Gerjen Dokumentasi penulis
6
Plengkung Jagasura atau plengkung Gerjen karena berada di Gerjen atau dekat dengan kampung Kauman dan salah satu diantara dua plengkung yang menghadap ke utara sebelah timur. Kata Jagasura berasal dari dua kata yakni jaga yang berarti menjaga dan Sura yang berarti berani sehingga dapat diartikan gerbang komplek kraton yang melambangkan rasa keberanian. Plengkung Jagasura ini pada saat penyerbuan ekspedisi militer Kerajaan Inggris pada yang diceritakan Mayor William Thorn menjadi target awal yang dipimpin Letnan Kolonel Watson untuk serangan pengalih perhatian pasukan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Target sebenarnya adalah plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan yang berlokasi di baratnya dengan meledakkan gudang mesiu yang terletak di sudut benteng timur laut.
Gambar 2. Plengkung Tarunasura/plengkung Wijilan Dokumentasi penulis
Plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan yang terletak di Timur Laut Alun-Alun utara, dinamakan demikian karena terletak di daerah Wijilan dan salah
7
satu diantara dua plengkung yang menghadap ke utara sebelah barat. Kondisi plengkung ini masih utuh dan terawat dengan baik. Plengkung Tarunasura pada saat penyerbuan ekspedisi militer Kerajaan Inggris pada yang diceritakan Mayor William Thorn (1815) menjadi akses masuk bagi barisan pasukan Letnan Kolonel McLeod. Setelah sudut menara beteng timur laut yang terdapat gudang mesiu terletak di sebelah timur plengkung Tarunasura diledakkan oleh barisan pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Watson bersama sebagian dari resimen ke empat belas, sebagian dari pasukan Light Infantry Bengali, bersama pasukan granat pimpinan Letnan Kolonel McLeod, dari resimen ke lima puluh sembilan, pasukan sayap, dan pasukan riffle dari resimen ke tujuh puluh delapan. Hal tersebut yang membuat kerusakan cukup parah di sudut beteng bagian timur laut dan hingga sekarang hanya tersisa tiga bastion yaitu sudut beteng tenggara masyarakat Yogyakarta menyebut Pojok Beteng Wetan. Sudut beteng barat daya yang disebut Pojok Beteng Kulon. Sudut beteng barat laut yang disebut Pojok Beteng Lor. Diceritakan pula bagaimana pasukan Kerajaan Inggris diawali oleh Pasukan Sepoys di barisan terdepan memiliki cara khusus untuk menembus beteng pertahanan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Cara khusus tersebut diawali dengan melewati atau menyeberangi parit pertahanan, cepat-cepat melintasi bibir parit, kemudian seorang prajurit memposisikan diri di bawah celah-celah beteng untuk dinaiki oleh prajurit lain di bagian bahu dan segera memanjat masuk dan menghunus bayonet. Kemudian para prajurit tersebut menguasai area gerbang atau plengkung untuk kemudian
8
menurunkan jembatan tarik sebagai jalan masuk bagi barisan pasukan lainnya. (Mayor William Thorn, 1815: 173-179)
Gambar 3. Plengkung Jagabaya/plengkung Tamansari Dokumentasi penulis
Plengkung Jagabaya atau plengkung Taman Sari terletak di sebelah barat, maka plengkung ini juga dinamakan demikian karena berada di daerah Tamansari, kondisi saat ini juga sudah tidak berupa plengkung hanya berupa gapura bentar.
Gambar 4. Plengkung Madyasura/plengkung Gondomanan Dokumentasi penulis
Plengkung Madyasura atau plengkung Gondomanan terletak di sebelah timur tepatnya berada di Mantrigawen sebelah selatan Purawisata ke arah barat. Plengkung ini pada tanggal 23 Juni 1812 ditutup sehingga plengkung tersebut dikenal juga plengkung Buntet atau plengkung Tambakbaya atau plengkung Gondomanan.
9
Namun pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII plengkung Tambakbaya atau plengkung Gondomanan dibongkar dan dijadikan gerbang bentar. Pada saat penyerbuan ekspedisi militer Kerajaan Inggris pada 17-20 Juni 1812 yang diceritakan Mayor William Thorn, plengkung Madyasura menjadi seolah-olah tertutup karena banyaknya jumlah prajurit Kraton Kesultanan Yogyakarta yang mati tergeletak dan ditumpuk di gerbangnya.
Gambar 5. Plengkung Nirbaya/plengkung Gading Dokumentasi penulis
Plengkung Nirboyo atau plengkung Gading terletak di sebelah selatan. Bentuk bangunan masih seperti aslinya yakni berupa plengkung. Plengkung ini merupakan satu-satunya pintu keluar raja yang mangkat atau wafat untuk dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri, sehingga selama Sultan masih hidup tidak diperkenankan melewati plengkung Nirbaya atau plengkung Gading ini. Saat penyerbuan barisan pasukan Kerajaan Inggris pada 1812 plengkung Nirbaya menjadi fokus serangan yang dipimpin Letnan Kolonel Dewar bersama sebagian pasukan Light Infantry Bengali, serta pasukan batalion sukarela ketiga dan dibantu oleh Korps Pangeran Prangwedana. Pertempuran di bagian plengkung
10
Gading tergolong besar yang berhasil dikuasai barisan gabungan pasukan Kerajaan Inggris, tetapi tidak terlalu berdampak buruk pada fisik plengkung. Dari kelima gerbang atau plengkung yang mengelilingi beteng Kraton yang menjadi fokus pembahasan adalah gerbang atau plengkung Nirbaya. Plengkung Nirbaya atau plengkung Gading ini menggambarkan batas periode seorang anak yang menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pubertas. Diibaratkan sebagai pohon asem yang mempunyai karakter nengasemkaken artinya suka menghias diri (nata sinom). Sinom berarti daun asem yang masih muda dan berwarna hijau muda, sangat menarik dan ornamennya diibaratkan sebagai rambut halus di dahi pemuda. Beberapa perumpamaan itu mengartikan bila terus dijaga akan menambah keindahan atau keelokan dari area plengkung Gading. ( K. P. H. Brongtodiningrat, 1940: 13) Plengkung Gading yang pada tahun 2015 berusia 259 tahun tetap keutuhannya dan masih asli bentuk dan rupanya, dapat digolongkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB) apabila berkaca pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 pedoman penetapan BCB. BCB adalah benda buatan manusia yang bergerak atau tidak bergerak berupa kesatuan atau kelompok atau bagianbagian dan sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. BCB dapat berupa bangunan, salah satunya adalah benteng dan plengkung Nirbaya atau plengkung Gading Kraton Kesultanan Yogyakarta. Pemerintah menetapkan landasan hukum untuk pemeliharaan BCB. Seperti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang
11
membahas pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Hal tersebut melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memelihara BCB sesuai kaidah pelestarian dan klasifikasi bangunan yang dilindungi dan dilestarikan dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjelaskan bahwa bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang telah ditetapkan menjadi BCB akan dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pemanfaatan untuk menjaga kelestarian benda atau bangunan cagar budaya juga mengalami revitalisasi. Dalam pengertian umum revitalisasi dapat diartikan proses, cara, atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali. Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup akan tetapi mengalami kemunduran dan degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Dampak Pemanfaatan dan Revitalisasi Area Plengkung Gading Bagi Masyarakat. Plengkung Gading merupakan bagian beteng pertahanan milik Kraton Kasultanan Yogyakarta yang terletak di sisi sebelah selatan. Plengkung Gading digunakan juga sebagai pintu
12
keluar raja yang sudah meninggal untuk dimakamkan di Makam Raja-Raja di Imogiri. Sekarang menjadi salah satu ikon pariwisata yang banyak diminati, terutama dikalangan pemuda. Sebagai contoh Festival Kebudayaan Yogyakarta yang mengambil latar bangunan plengkung Gading.
1.2.Rumusan Masalah Keberadaan BCB yang harus dilestarikan dan dimanfaatkan, peneliti menemukan permasalahan yang terjadi di lingkungan benteng Kraton Kasultanan Yogyakarta, tepatnya di sisi benteng sebelah selatan yaitu plengkung Gading. Rumusan permasalahan plengkung Gading diantaranya adalah: 1. Bagaimana pemanfaatan dan revitalisasi bangunan cagar budaya plengkung Gading dan sekitarnya? 2. Apa dampak dari pemanfaatan dan revitalisasi bagi masyarakat sekitar plengkung Gading?
1.3.Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pemanfaatan dan revitalisasi bangunan cagar budaya plengkung Gading dan sekitarnya. 2. Mengetahui dampak dari pemanfataan dan revitalisasi bagi masyarakat sekitar plengkung Gading
13
1.4.Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang ada penelitian tentang benteng sudah pernah ada yang membahas yaitu Azwar Sutihat (2008) dalam skripsi “Aspek-Aspek Pemilihan Lokasi Benteng Lodewijk di Selat Madura dan Keterkaitannya dengan Strategi Pertahanan H. W Daendels” menyebutkan tentang aspek pemilihan lokasi di benteng Lodewijk dengan keterkaitannya dengan strategi pertahanan dari Daendels. Pembahasan mengenai benteng juga pernah dibahas oleh Nurachma Iriyanto (2010) dalam tesis “ Benteng-Benteng Kolonial Eropa di Pulau Ternate” membahas tentang peninggalan-peninggalan bangsa Eropa yang pernah singgah di Ternate dan membangun benteng pertahanan untuk pelayaran dan perdagangan di Maluku Utara. Sejarah penyerangan oleh Kerajaan Inggris terhadap Kraton Kesultanan Yogyakarta oleh Mayor William Thorn (1815).
Memberikan gambaran kondisi
benteng pertahanan Kraton Kesultanan Yogyakarta saat penyerangan pasukan gabungan Kerajaan Inggris sejak tanggal 17 hingga 20 Juni 1812. Gambaran yang termasuk dalam catatan “Penaklukan Pulau Jawa” tersebut, sangat membantu penulis dalam menjelaskan sejarah tinggalan benteng pertahanan yang menjadi satu kesatuan dengan plengkung Gading. Untuk penelitian “Dampak Pemanfaatan dan Revitalisasi Area Plengkung Gading Bagi Masyarakat” belum ada yang membahas. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas dan meneliti hal tersebut.
14
1.5.Ruang Lingkup Penelitian BCB berupa plengkung Gading dimana zaman dahulu digunakan sebagai pintu keluar masuk raja Kraton Kasultanan Yogyakarta yang sudah wafat dan akan dimakamkan di Imogiri. Secara fisik BCB yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang mempunyai daya tarik sendiri. Mengingat bangunan cagar budaya yang ada di Nusantara banyak yang mengalami perubahan bahkan hilang. Oleh karena itu pemanfaatan BCB plengkung Gading harus mengalami pemanfaatan dan revitalisasi sehingga bisa memunculkan dampak positif yang dirasakan warga sekitar berupa dampak bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang dilestarikan melalui proses penetapan. Sekarang ini kawasan sekitar plengkung Gading dijadikan sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya masyarakat. Dari sinilah masyakarakat sekitar dapat memanfaatkan plengkung Gading sehingga dapat meningkatkan perekonomian. Ruang lingkup penelitian ini berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 tentang pelestarian Cagar Budaya adalah zona inti dari plengkung Gading. Zona inti yang dimaksud adalah Zona Inti (Protection Zone) adalah kawasan atau area yang dibutuhkan untuk pelindungan langsung bagi suatu Cagar Budaya untuk menjamin kelestarian cagar budaya. Berikut gambar dari zona inti plengkung Gading dilihat dari arah utara :
15
Gambar 6. Zona inti plengkung Nirbaya/plengkung Gading Sumber www.panoramio.com
Zona Inti dari gambar 6 adalah obyek penelitian ini. Penulis berusaha untuk meneliti, menelusuri dan mempelajari apa saja pemanfaatan dan revitalisasi yang memberikan dampak kepada masyarakat dengan tetap mempertimbangkan unsur pelestarian dan perawatan dari plengkung Gading.
Gambar 7. Kiri denah Kraton Kesultanan Yogyakarta buatan Belanda dan kanan posisi plengkung Gading pada denah tersebut Sumber www.kitlv.nl Penulis membatasi ruang lingkup penelitian hanya di area plengkung Gading karena pemanfaatan dan revitalisasinya cukup untuk penyusunan skripsi penelitian ini.
16
1.6.Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif, sedangkan
penelitian
ini
bersifat
deskriptif.
Deskriptif
digunakan
untuk
menggungkapkan nilai penting yang meliputi variabel pemanfaatan cagar budaya bangunan untuk sektor pariwisata. Sukmadinata (2006) menyatakan bahwa metode penelitian deskriptif adalah sebuah metode yang berusaha mendeskripsikan, menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi atau tentang kecenderungan yang sedang berlangsung. Adapun tahap-tahap yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, studi pustaka. Dan wawancara. Pengertian observasi disini berarti pengamatan data arkeologi secara langsung di lapangan untuk kemudian dilakukan pencatatan dari hasil observasi. Observasi lapangan biasanya merupakan kegiatan mengidentifikasi dan pencatatan data yang ada secara lengkap (Tanudirdjo, 1968:31). Setelah pengumpulan data di lapangan selesai, tahap pencarian data dilanjutkan melalui studi pustaka digunakan untuk melihat data-data yang berasal dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Studi pustaka bersumber dari buku, arsip, artikel atau laporan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dengan kondisi perubahan plengkung Gading dari masa ke masa. Wawancara
17
dilakukan dengan metode wawancara terbuka yaitu dengan memberikan pertanyaan yang memungkinkan untuk mendapatkan jawaban dari informan secara luas. Wawancara dilakukan kepada pihak yang mengetahui berbagai hal mengenai perubahan kondisi plengkung Gading. (2) Deskripsi data Tahap deskripsi data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan gambaran data yang memuat informasi. Informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan data. Selain deskripsi melalui tulisan, data diperoleh, diinformasikan dengan gambar atau foto untuk bisa menjelaskan mengenai objek penelitian. (3) Analisis data Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif yang mencoba menjabarkan dan menjelaskan tentang persoalan atau permasalahan yang menjadi sasaran penelitian berdasarkan data yang tidak dapat diukur dengan angka-angka (Tanudirdjo, 1988: 33). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan meliputi pemanfaatan dan revitalisasi. (4) Kesimpulan Dari hasil analisis data, maka didapatkan suatu kesimpulan yang diharapkan bisa menjelaskan tentang dampak pemanfaatan dan revitalisasi plengkung Gading bagi masyarakat.
BAB II PEMANFAATAN DAN REVITALISASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA PLENGKUNG GADING
2.1.Upaya Perlindungan Plengkung Nirbaya/Plengkung Gading Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia yang bergerak atau tidak bergerak berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagian dan sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu benda cagar budaya diartikan juga sebagai benda yang dianggap memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan yang perlu mendapat perlindungan dari pemerintah. Upaya pemerintah dapat meliputi proses atau kegiatan pelestarian dengan cara melakukan pendaftaran, pemeliharaan, pengawetan, pemugaran, ekskavasi, pengamanan dan penyelamatan serta perizinan pengelolaannya. Benda cagar budaya dan situs menurut Meike Imbar (1997: 18) berarti pula membicarakan peninggalan sejarah. Keberadaan cagar budaya ini menurut sifatnya dapat dibagi dalam dua golongan yaitu benda-benda bergerak; dan benda-benda tak bergerak. Termasuk dalam golongan ini adalah benda-benda yang dengan mudah dapat dipindah-pindahkan tempatnya, sedangkan benda-benda tidak bergerak pada umumnya merupakan bangunan yang tidak mudah dipindah-pindahkan dan mempunyai satu kesatuan dengan situsnya.
18
19
Menurut kriteria dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang benda cagar budaya dijelaskan: 1. bahwa budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 2. bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya; 3. bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya; 4. bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat; Dalam UU No. 11 tahun 2010 pasal 1 dijelaskan bahwa jenis cagar budaya dapat dibedakan dalam : (1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
20
keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. (2) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. (3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. (4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. (5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. (6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan /atau memperlihatkan ciri tata ruang khas. Cagar budaya sebagai salah satu bagian dari sejarah perjuangan bangsa dapat difungsikan sebagai bahan kajian nilai sejarah suatu bangsa, khususnya Indonesia. Keberadaan cagar budaya ini merupakan warisan sejarah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar. I Gede Widja (1989: 60) menjelaskan bahwa benda cagar
21
budaya yang tersedia dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran dan alat bantu untuk mendukung usaha-usaha pelaksanaan strategi serta metode mengajar. Oleh karena itu benda cagar budaya memiliki manfaat untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Menurut Uka Tjandrasasmita (1985: 101) fungsi dari cagar budaya adalah sebagai bukti-bukti sejarah dan budaya yang dapat menjadi alat atau media yang mencerminkan cipta, rasa dan karya leluhur bangsa, yang unsurunsur kepribadiannya dapat dijadikan suri tauladan bangsa, kini dan mendatang dalam rangka membina dan mengembangkan kebudayaan nasionalnya berlandaskan Pancasila; (1) alat atau media yang memberikan inspirasi, aspirasi dan akselerasi dalam pembangunan bangsa baik material maupun spiritual, sehingga tercapai keharmonisan diantara keduanya; (2) obyek ilmu pengetahuan di bidang sejarah dan kepurbakalaan pada khususnya dan ilmu pengetahuan lain pada umumnya; (3) alat pendidikan visual kesejarahan dan kepurbakalaan serta kebudayaan bagi peserta didik untuk memahami budaya bangsa sepanjang masa; (4) alat atau media untuk memupuk saling pengertian di kalangan masyarakat dan bangsa serta umat manusia melalui nilai-nilai sosial budaya yang terkandung dalam peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya dari masa lampau;
22
(5) sebagai media untuk memupuk kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional; dan (6) sebagai obyek wisata yang mungkin dapat menambah pendapatan masyarakat daerah sekitarnya. Fungsi lain dari keberadaan cagar budaya adalah: (1) sebagai pola dan nara sumber insipirasi pengembangan teknologi dan sains pada bidang teknologi pemukiman, arsitektur dan teknologi; (2) sebagai obyek studi tentang berbagai aspek kehidupan masa lampau yang dapat menumbuhkan dan memperkuat kesadaran jati diri; dan (3) sebagai obyek wisata budaya yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk, daerah dan nasional sekaligus memperluas lapangan kerja, memelihara kualitas lingkungan hidup, menumbuhkan saling pengertian antar bangsa, mendorong pembangunan sektor-sektor lain. (Neneng Dewi Setyowati 2004: 15) Pengertian dan fungsi dari keberadaan cagar budaya secara umum tersebut, maka mendorong cagar budaya itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar untuk lebih memahami nilai historis dari suatu cagar budaya. Kesadaran sejarah ini mendorong kesadaran untuk menghimpun jejak-jejak sejarah dari benda cagar budaya tersebut menjadi dianggap memiliki nilai penting. Optimalisasi cagar budaya sebagai sumber belajar dapat dilakukan secara berlanjut sehingga dapat menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pelestarian agar budaya sebagai salah satu bagian dari pemahaman terhadap sejarah perjuangan bangsa. Benteng merupakan salah satu bentuk dari bangunan cagar budaya, karena sebagai salah satu fasilitas pertahanan yang digunakan dalam rangka berlindung atau
23
mempertahankan diri dari serangan musuh, juga difungsikan lebih beragam dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat pendukungnya sebagai penjagaan. Pada benteng sisi selatan kraton ini mempunyai sebuah pintu yang berbentuk melengkung, disebut plengkung Gading atau plengkung Nirbaya. Plengkung Gading merupakan salah satu akses penghubung dari dalam kawasan kraton dengan lingkungan luar kraton. Bangunan plengkung Gading dikelilingi oleh parit yang mengitari seluruh kawasan kraton. Parit ini berguna untuk mencegah musuh masuk kedalam kraton dengan cara memanjat benteng pertahanan. Dalam hal ini benteng kraton sebelah selatan tepatnya berada di plengkung Gading termasuk dalam benda atau bangunan cagar budaya. Karena benteng kraton sisi selatan ini merupakan tonggak perlindungan kraton dari serangan musuh yang menghalau masuk ke dalam kraton. Plengkung Gading adalah pintu benteng yang sisi selatan yang masih terjaga keasliannya sejak dibangunnya benteng. Oleh karena itu plengkung Gading wajib untuk dijaga kelestariannya dan wajib untuk dimanfaatkan sebagai fungsi yang ada. Dalam Babad Mangkubumi pada awal 1785 petunjuk pertama dari arah sikap politik Putra Mahkota (Hamengku Buwana II anak dari Hamengku Buwana I) muncul ke permukaan. Sikap politik tersebut terkait dengan hubungan antara kesultanan dengan pihak kolonial Belanda. Sikap politik yang diwujudkan dengan pembangunan
benteng pertahanan di sekeliling keraton dan diperkuat dengan
24
meriam-meriam yang diperoleh dari pihak Belanda yang bertepatan dengan kepulangan pasukan keraton dari Batavia pada tahun 1784. Pembangunan tersebut dicetuskan oleh Putra Mahkota saat pertemuan dengan ayahanda Hamengku Buwana I atau Mangkubumi. Pertemuan untuk membahas proyek pembangunan menambah komplek Taman Sari oleh Hamengku Buwana I ditolak oleh Putra Mahkota. Putra Mahkota memberikan masukan lebih baik untuk membangun benteng berdasarkan pengalaman dari keraton saat masih berada di Kotagedhe dahulu. Masukan juga didukung oleh kakak dari Putra mahkota yaitu Pangeran Arya Ngabei dan Pangeran Danureja. Dalam Babad Mangkubumi juga dijelaskan Hamengku Buwana I setuju dengan rencana pembangunan benteng disertai dengan penyerahan kekuasaan atas kerajaan kepada putra mahkota. Sebelum berdiri Kasultanan Yogyakarta, pada masa itu yang ada hanya kraton Kasunanan Surakarta yang pindah dari Kraton Mataram Kartasura. Ketika istananya masih berada di Kartasura, terjadi peristiwa pemberontakan orang-orang Tionghoa atau dikenal dengan Geger Pacinan pada tahun 1740-1743. Pakubuwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini dan hanya dengan bantuan Belanda peristiwa itu dapat dipadamkan. Karena istananya Kartasura mengalami kerusakan yang parah sekali, sehingga ibukota dipindahkan ke desa Solo, kemudian dikenal dengan sebutan Surakarta. Pada masa pemerintahan Sultan Pakubuwana II di Kraton Surakarta tahun 1744, masih terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mertopuro melawan Kraton Surakarta. Namun oleh Pangeran Mangkubumi (adik Pakubuwono II) Tumenggung Mertopuro dapat ditaklukan.
25
Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (penasehat kepercayaannya) dengan pihak Belanda yang diawali oleh Mr. Hoogerdoft yang tidak lain adalah utusan Belanda yang meminta Pakubuwono II untuk menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan atas jasa Belanda ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang Tionghoa di Kartasura. Pangeran Mangkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meski tidak tahu bahwa kedudukan Pakubuwono II sangat sulit. Berawal dari masalah itu, Pangeran Mangkubumi kemudian memohon izin dan doa restu kepada Pakubuwono II untuk menentang dan mengangkat senjata melawan Kompeni belanda VOC. Setelah mendapat restu pada tanggal 21 April 1747, pangeran Mangkubumi meninggalkan Kraton Surakarta menuju ke dalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanan itu, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang sudah lebih dahulu menentang Pakubuwono II dan VOC. Sebelum Pakubuwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah Jawa sudah diserahkan kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Karena itu yang menobatkan atau mengangkat raja-raja di tanah Jawa keturunan Pakubuwono II adalah VOC. Setelah Pakubuwono II wafat, Belanda mengangkat Raden Mas Suryadi (Putra mahkota sebagai Sultan Pakubuwono III). Ia praktis jadi boneka, karena menurut kontrak politik, raja tersebut hanya berkedudukan sebagai peminjam tanah VOC.
26
Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Belanda semakin menghebat. Dalam setiap pertempuran pasukan Belanda selalu terdesak oleh serangan Pangeran Mangkubumi. bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di sungai Bogowonto, semua pasukan belanda termasuk komandannya mati terbunuh. Akhirnya Belanda meminta kepada Mangkubumi untuk berunding. Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak yaitu Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III dan VOC. Perjanjian itu diadakan di Desa Giyanti, Salatiga. Pada tanggal 13 Februari 1755 maka perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan perjanjian Giyanti. Akibatnya perjanjian tersebut kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya dengan daerah barunya itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan Mataram Yogyakarta di desa Beringin pada tahun 1756. Dan beliau bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Gelar lengkapnya adalah “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidan Panotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneng kaping I Ing Ngayogyakarta Hadiningrat”. Tanggal 17 Juni 1812 dimana Letnan Gubernur beserta Komandan Angkatan Bersenjata tiba di Yogyakarta. Mereka langsung menyiapkan operasi militer dan mengirim pasukan berkuda untuk mencegat hubungan dengan pasukan belakang kraton dengan membakar dan menghancurkan jembatan-jembatan dan memporakporandakan kawasan sekitar. Mendengar kabar tersebut Kolonel Gillespie dikawal lima puluh tentara dari pasukan Dragoons untuk menyisir dan berkeliling beberapa
27
kali dan bertemu dengan pasukan berkuda milik Sultan namun tidak mengambil tindakan penyerangan. Komandan Angkatan Bersenjata menyembunyikan rencananya yaitu untuk membubarkan gerombolan pasukan musuh lewat peperangan. Melalui bantuan Crawford untuk membujuk dengan cara damai kepada kraton. Namun segala tawaran bahkan ancaman diacuhkan oleh kraton sehingga terjadilah peperangan. Aksi serang tersebut menyebabkan pasukan Dragoon maju menghunus pedang kearah musuh dan menyebabkan korban satu orang terbunuh dan satu orang terluka. Kraton atau tempat kediaman Sultan Mataram dan seluruh penghuni istana dikelilingi dan dipagari parit yang berisi air yang lebar dan dilengkapi dengan jembatan tarik, dimana benteng berdiri tinggi, kokoh dan tebal serta adanya menara-menara yang dijaga penjaga yang disenjatai hampir seratus meriam. Di dalam kraton terdapat banyak sekali taman dan kebun yang terlindungi oleh tembok-temok tinggi, kokoh dan sulit untuk ditembus. Akses pintu utama alun-alun bagian depan sudah diletakkan dua baris meriam menghadap pintu masuk yang kanan-kirinya diperkuat dengan pos persenjataan. Sebanyak tujuh belas pasukan berdiri untuk menjaga pos tersebut. Sementara orang-orang bersenjata sebanyak ratusan orang menjaga bagian luar kampung-kampung dan menjaga tembok sepanjang sisi jalanjalan yang mengarah kearah kraton. Tanggal 19 Juni 1812 malam Kolonel Gillespie memerintahkan seluruh pasukan baik pasukan berkuda maupun infantri masuk ke dalam
28
benteng sambil menciptakan efek untuk melenakan pihak kraton yang pada saat itu penjagaannya sudah mulai longgar. Hal tersebut dilakukan guna memberi kesan bayangan mereka terhadap kemungkinan akan adanya serangan besar yang tengah dipersiapkan untuk menggempur kraton itu tidak benar. Barisan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Watson bersama sebagian dari resimen ke empat belas, sebagian dari pasukan Light Infantry Bengali bersama pasukan barisan granat pimpinan Letkol Kolonel Mc Leod dari resimen ke lima puluh sembilan, pasukan sayap dan pasukan riffle dari resimen ke tujuh puluh delapan menyusun peperangan utama. Barisan pasukan segera bergerak memutari menara benteng sisi timur laut tepatnya di sekitaran plengkung Wijilan atau plengkung Tarunasura. Ketika tanda peringatan ditembakkan dari gardu jaga benteng timur laut terjadilah peperangan. Melalui benteng pertahanan pasukan kraton menembaki musuh melalui celah-celah kecil yang ada pada bastion beteng. Letnan Kolonel Watson menyerbu puncak benteng, pasukan Sepoys menyeberang parit pertahan milik kraton dan disudut benteng yang pertama kali diserang oleh musuh. Namun pasukan Letnan Kolonel Mc Leod berhasil menyeberangi parit jembatan tarik pertahan kraton dengan cara memanjat menaiki pundak para tentara sepasukan. Kraton membalas serangan yang dilancarkan musuh melalui tembakan meriam sepanjang jalan barat daya menara benteng. Sehingga mampu membuka barisan pasukan Letnan Kolonel Dewar. Dan menyebabkan Tumenggung Senopati Diningrat menjadi korban. Dimana Tumenggung Senopati Diningrat adalah salah satu dari penasehat penting Sultan dan penghasut utama
29
dalam setiap pertentangan dengan perintah berbahasa Inggris. Sehingga menyebabkan pasukan kraton bercerai berai dan musuh dapat merampas senjata-senjata yang dimiliki kraton. Selama berlangsungnya peperangan, Kolonel Gillespie telah mengatur pasukan kavaleri dan Horse Artillery dalam regunya masing-masing untuk saling mendukung satu sama lainnya dan untuk menyisir jalan-jalan yang mengitari kraton, kemudian memutus akses pelarian para buronan dari benteng dari segala arah. Hal demikian dilakukan guna mencegah upaya pelarian diri Sultan ataupun para pengikutnya. Dan akhirnya Sultan yang lama diasingkan ke pulau Prince of Wales atau disebut dengan Pulau Pinang, sedangkan anaknya pangeran Putra Mahkota dinaikkan tahtanya sehingga menyandang nama dan gelar Hamengkubuwono III. Raja Solo yang juga sama-sama terintimidasi dan sekaligus kagum menyaksikan keberanian yang ditunjukkan oleh Kraton Yogyakarta langsung mengabulkan
persyaratan
yang
ditawarkan
kepadanya
mewakili
pemerintahan. Tindakannya diikuti oleh patih-patih lokal sehingga terciptalah supremasi Inggris atas seluruh pulau Jawa yang ditegakkan atas dasar yang kuat dan diikuti kejayaan yang tak tertandingi dalam catatan sejarah wilayah sejauh ini. (Mayor William Thorn, 1815: 173-175) Terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah di benteng-benteng kraton termasuk dalam benda atau bangunan cagar budaya yang hanya bisa diketahui dan direkonstruksi ketika wujud bentengnya masih dapat kita lihat. Sehingga plengkung Gading wajib untuk dilestarikan keberadaannya.
30
2.2.Pemanfaatan Plengkung Nirbaya/Plengkung Gading Bangunan bersejarah berupa plengkung Gading mempunyai beberapa fungsi dan manfaat dari bangunan bersejarah tersebut, diantaranya : 2.2.1. Objek Pariwisata Pariwisata mempunyai peran yang cukup strategis dalam pembangunan perekonomian terutama dalam meningkatkan penerimaan devisa, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan masyarakat, memberikan peluang
dan kesempatan bekerja
hingga akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari situ terlihat bahwa sektor pariwisata mampu untuk mendongkrak laju perkembangan ekonomi suatu daerah melalui usaha-usaha yang termasuk dalam industri pariwisata.
Dampak
ekonomi bagi destinasi wisata bisa berupa pendapatan berupa pajak, sumber mata pencaharian, penyerapan tenaga kerja, multiplier-effect, pemanfaatan fasilitas pariwisata, bersama dengan masyarakat lokal dan sebagainya, pariwisata merupakan suatu sistem seperti jaring laba-laba yang saling terkait antara satu bidang dengan bidang yang lainnya, tetapi dapat dilihat bahwa kunci penggeraknya adalah wisatawan yang datang ke suatu daerah tersebut. Peran wisatawan sangatlah penting bagi penggerak bidang yang lain seperti ekonomi suatu daerah.
2.2.2. Objek Penelitian dari Berbagai Disiplin Ilmu Bangunan-bangunan yang tersebar di beberapa lingkungan/ pelosok kota adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan objek penelitian bagi perkembangan dari berbagai disiplin ilmu, baik itu untuk ilmu sejarah, bagaimana
31
dan sejak kapan arsitektur itu berkembang di daerah ini, atau dengan bangunan itu dapat berbicara tentang lingkup sejarah pada masa itu hingga sekarang. Karena bangunan merupakan tinggalan yang sangat berharga sebagai peninggalan sejarah yang telah ada. Dalam hasil laporan ekskavasi benteng kraton dan plengkung Gading yang dilakukan pada tanggal 9 sampai 28 Februari 1988 yang disusun oleh tim Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada mengemukakan bahwa telah ditemukan data-data baru untuk memberikan dimensi baru tentang rekonstruksi benteng kraton. Dari data tersebut telah dietahui bahwa benteng kraton telah mengalami beberapa kali perubahan dan perluasan-perluasan yang dapat terlihat pada bangunan bastion dan plengkung gading itu sendiri. Hasil ekskavasi tersebut ditemukan beberapa temuan yaitu berupa struktur, artefak, ipsefak dan feature. Bahwa bastion lama susunan bata berspesi berbentuk lengkung (melingkar) dan lantai berplester. Bastion lama memiliki bentuk lebih sempit dan lebih rendah dibanding bastion baru yang ada sekarang. Bastion dilengkapi dengan relung tempat berlindung dan berjaga di sudutnya dan lubang-lubang pengintai. Lubang pengintai ini berbentuk persegi dengan dasar dibuat miring (bagian luar tidak sama dengan bagian dalam). Lubang bastion lama dengan bastion yang baru berbeda dasar lubang pengintai pada bastion baru melandai ke dalam. Sedangkan lubang bastion lama melandai ke luar.
32
Lubang
pengintai
melandai
ke
luar
memungkinkan
orang
untuk
menggunakan jenis senjata yang dapat diangkat tangan dan dapat diarahkan ke bawah. Sebaliknya dasar lubang pengintai melandai ke dalam memungkinkan berhubungan dengan telah digunakannya jenis senjata baru (meriam). Dengan maksud agar penggunaan jenis senjata ini lebih aman jika dibandingkan dengan dasar yang melandai ke luar yang jelas dengan semakin ditinggalkannya tembok benteng dan bastion sudah barang tentu berhubungan dengan sistem perkembangan teknologi persenjataan. Dengan demikian dapatlah diperkirakan bahwa perluasan dan peninggian bastion berhubungan dengan adanya tuntutan yang semakin berkembang di dalam sistem pertahanan.
Susunan fondasi bata berspesi yang berbentuk melingkar (melengkung). Struktur ini tidak diberi plester, dalam posisi di dalam tanah. Antara struktur satu dengan lain saling berkaitan. Lengkung-lengkung fondasi mengarah ke sudut bastion atau ke dinding bastion. Fondasi ini berada di dalam tanah artinya terpendam tanah. Di atas permukaan berbentuk melingkar tersebut juga hanya ditutup dengan tanah. Dari struktur diatas adanya hubungan dengan dinding bastion dan lubang pengintai daripada dengan struktur fondasi. Itulah sebabnya mengapa lantai berplester tersebut ditemukan menyatu dengan dinding bastion dan lubang pengintai. Susunan fondasi bata berspesi yang berbentuk melingkar (melengkung) dilihat dari arah lengkung (cekungan) dan konstruksinya yang saling berkaitan maka dapat diduga bahwa struktur ini berfungsi sebagai penahan atau penyangga tanah.
33
Dengan struktur tersebut, tanah urug yang dipergunakan untuk meninggikan halaman dalam bastion tidak mudah terkena erosi atau mengalami longsor. Struktur semacam ini memang diperlukan mengingat bahwa tanah urug pada bastion tersebut cukup tinggi, hampir sama dengan tinggi tembok bastion. Adanya lubang berbentuk segitiga pada struktur dimaksudkan untuk lubang peresapan air pada waktu hujan. Temuan lantai berplester nampaknya secara fungsional berhubungan dengan lubang pengintai karena disekitar lubang pengintai sering digunakan untuk kegiatan penjagaan, maka daerah tersebut perlu diperkeras dan agak ditinggikan dari permukaan tanah sekitarnya. Pengerasan pada lantai tersebut selain untuk memberikan rasa nyaman kepada petugas jaga, juga untuk keperluan menempatkan senjata. Dari penggalian penyelamatan di atas juga ditemukan temuan non artefak yaitu berupa keramik lokal dan keramik asing. Keramik ini termasuk ke dalam porselin, fragmen marmer, manik-manik dan tutup dengan motif tulisan remove before firing. Ditemukan juga ipsefak berupa tulang-tulang binatang dan arang. Jenis temuan artefak dan ipsefak tersebut ditemukan dilapisan tanah biasa dan sebagian ditemukan feature. Bentuk-bentuk feature ditemukan menunjukkan bekas tempat pembuangan sampah. Perubahan fungsi mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi yang berlaku. Pada masa pebuatan benteng lama mungkin jenis senjata yang digunakan pada masa penggunaan benteng baru.
34
Gambar 8. Plengkung Gading pada malam hari pada tahun 2014 Dokumentasi penulis
Gambar 9. Plengkung Gading pada tahun 1988 Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Gerbang
Plengkung Gading pernah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut antara lain berupa penambahan panjang lorong plengkung, penambahan tembok sekat sayap plengkung dan peninggian tembok.
35
Data-data hasil ekskavasi pada tahun 1988 menunjukkan bahwa lorong plengkung yang asli mempunyai ukuran yang lebih pendek daripada lorong plengkung sekarang. Data ini terlihat pada kubah atap lorong plengkung yang menunjukkan bahwa atap plengkung bagian utara merupakan tambahan baru. Bagian atap yang baru mempunyai denah berbentuk persegi, sedangkan bagian lama mempunyai bentuk lengkung kubah. Pada batas antara kedua atap baru dan atap lama terdapat bekas dasar relung, seperti yang terdapat pada bagian tympanum sebelah selatan. Dengan data ini dapat diperkirakan bahwa plengkung gading yang asli dulunya mempunyai dua tympanum lengkap dengan relung di tengahnya, baik di bagian luar atau selatan maupun dibagian dalam atau utara. Tembok tympanum tersebut kemudian dibongkar karena alasan perluasan atap plengkung. Penambahan atap plengkung ini diperkirakan juga berhubungan dengan pengembangan fungsi, dimana diperlukan ruang atas plengkung yang lebih luas untuk kepentingan pertahanan atau untuk memperlancar lalu lintas orang berkendara. Kawasan benteng sisi selatan kraton tepatnya di plengkung Nirbaya atau plengkung Gading dapat digunakan sebagai objek penelitian. Hal ini dikarenakan
bangunan
bekas
benteng
ini
sekarang
beralih
fungsi
pemanfaatannya menjadi pemukiman bagi para penduduk, baik di sisi utara benteng atau sisi selatan pertahanan yang digunakan untuk menghalau musuh, sehingga musuh tidak dapat memasuki area kraton.
36
Parit atau saluran air berdasarkan terbentuknya dibedakan menjadi dua yaitu saluran air ilmiah dan saluran air buatan. Saluran air ilmiah terbentuk melalui proses alamiah yang berlangsung lama. Saluran air terbentuk akibat gerusan air sesuai dengan kontur tanah. Saluran air alamiah ini terbentuk pada kondisi tanah yang cukup kemiringannya, sehingga air mengalir dengan sendirinya menuju permukaan tanah yang lebih rendah sampai ke sungai, danau, atau lautan. Saluran air buatan adalah suatu sistem yang dibuat dengan maksud tertentu dan merupakan hasil rekayasa berdasarkan perhitungan dan perencanaan. Tujuan dari saluran air buatan ini antara lain dalam upaya penempurnaan atau melengkapi sistem drainase alam yang ada, pembuangan limbah dan penyaluran air irigasi untuk keperluan pertanian. Saluran air buatan dapat berbentuk saluran air yang hanya merupakan alur galian tanah tanpa perkuatan dinding atau dasar saluran atau saluran air yang dinding atau dasar salurannya diperkuat atau diperkeras (Djoko Marihandono,2010: 3)
2.2.3. Sumber Devisa yang Dapat Menambah Pendapatan Daerah Banyaknya tinggalan bangunan bersejarah di daerah tertentu, dapat menjadikan sebagai objek wisata yang menarik para wisatawan yang pada akhirnya dapat menambah devisa, guna meningkatkan daya tarik para wisatawan, penataan dan pemeliharaan kembali bangunan-bangunan bersejarah perlu dilestarikan dan dikembangkan, dengan adanya sedikit catatan mengenai sejarah bangunan tersebut hal ini akan menarik perhatian orang.
2.2.4. Pengayoman Budaya Daerah Setempat
37
Bangunan-bangunan kuno yang ada berarsitektur indah dapat dijadikan aset bagi daerahnya dan menjadikan ciri mandiri dari kota, sehingga sebuah kota yang penuh dengan bangunan kuno yang terpelihara dengan baik adalah cermin budaya masyarakatnya yang sekaligus pula menjadi ciri kebanggaan daerah setempat, karena bangunan bersejarah adalah sumber sejarah yang dapat dan mampu berbicara apa adanya sesuai dengan perjalanan waktu. Bangunan bersejarah dapat dimiliki oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan. Pemanfaatan bangunan bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Hal tersebut dalam artian tetap melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan memelihara benda cagar budaya tersebut kaidah pelestarian dan klasifikasi bangunan yang dilindungi dan dilestarikan serta sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini menjelaskan bahwa bangunan gedung dan/atau lingkungannya
yang
telah
ditetapkan
menjadi
cagar
budaya
akan
dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dari fungsi pemanfaatan di atas dapat diaplikasi pada bangunan atau benda cagar budaya yaitu pada sebuah benteng. Benteng dalam bahasa Inggris adalah fort, secara umum fort dapat didefinisikan sebagai sebuah bangunan militer atau bangunan yang didirikan untuk tujuan pertahanan.
38
Pada umumnya terdiri dari dinding-dinding tinggi atau dibangun dengan tanah yang diperkuat Benteng atau sistem perbentengan sudah dikenal sejak lama oleh manusia, jauh sebelum orang-orang Eropa datang ke Nusantara. Pada awalnya, benteng tidak memiliki bentuk sebagai suatu bangunan pertahanan sebagaimana yang dikenal saat ini, namun hanya berupa tembok, pagar dan parit. Selanjutnya unsur-unsur tersebut dilengkapi dengan menara yang perkembangan selanjutnya pada benteng modern, menara-menara tersebut digantikan oleh bastion. (Abbas, 1957:47) Benteng-benteng tersebut pastilah mempunyai sebuah pintu atau gerbang, sebagai keluar masuknya atau penghubung dunia luar. Pintu benteng atau sering disebut dengan gerbang. Gerbang adalah tempat keluar atau masuk ke dalam suatu kawasan tertutup yang dikelilingi pagar atau dinding. Gerbang berguna untuk mencegah atau mengendalikan arus keluar-masuknya orang. Gerbang dapat bersifat sederhana hanya berupa bukaan sederhana pada sebuah pagar, maupun dekoratif dan bahkan monumental. Istilah lainnya untuk gerbang adalah pintu dan gapura. Benteng dan gapura biasanya banyak digunakan pada bangunan kerajaan-kerajaan. Salah satunya adalah kerajaan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Pemanfaatannya meliputi aspek pariwisata yaitu berupa kunjungan dari warga guna melihat keadaan yang terjadi di daerah benteng sisi selatan yaitu plengkung Gading. aspek pengayoman budaya daerah setempat dengan cara pemanfaatan publik yaitu oleh warga digunakan sebagai jalur transportasi yang menghubungkan jalan di dalam lingkungan benteng kraton yaitu area alun-alun
39
selatan dan perkampungan sekitar dengan area luar benteng kraton dengan jalan yang cukup lebar. Aspek sumber devisa yang dapat menambah Pendapatan Asli Daerah melalui perekonomian dengan warga dapat menggunakan bagian luar bangunan sepanjang benteng baik sisi selatan maupun mengitari kraton dengan berdirinya banyak pertokoan. Sehingga sirkulasi perekonomian dapat berjalan dengan lancar. Pemanfaatan secara objek penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang dimaksud adalah plengkung Gading yang memiliki nilai historis sehingga dapat dijadikan sebagai obyek penelitian, seperti halnya peneliti dapat menggunakan objek plengkung Gading untuk penelitian yang berdasarkan pada ilmu arkeologi. Dilihat dari pemanfaatan bangunan cagar budaya plengkung Gading yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang.
2.3.Revitalisasi Plengkung Nirbaya/Plengkung Gading Dalam kehidupan berbangsa, sebuah masyarakat yang beradab tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai budaya dan sejarah masa lampaunya. Karena tanpa melibatkan dua hal tersebut, suatu Negara akan kehilangan identitas dan jati diri sebagai bangsa. Bila bangsa kehilangan identitas dan itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pada gilirannya bangsa itu akan hilang, bahkan musnah. Bangsa ini memiliki tradisi dengan warisan budaya yang sangat mengakar di tengah masyarakat. Namun, peranan kraton sebagai pusat
40
inspirasi sumber budaya dan alat perekat bangsa nyaris telah terlupakan. Bentuk pelestarian budaya tersebut diartikan sebagai usaha menjadikan kraton sebagai pusat perkembangan budaya. Dengan demikian, kraton diharapkan bisa menjadi simbol budaya bagi masyarakat setempat. Kraton sekarang bukanlah institusi politik dan sosial. Melainkan, simbol budaya dan pengemban misi kebudayaan. Kraton sebagai simbol budaya berarti menghadirkan fungsi kekratonan untuk mengemban tugas kebudayaan, yaitu merawat tradisi dan melestarikan adat kebudayaan setempat. Institusi kraton harus menjadikan perekat tradisi dan menjaga warisan budaya harus tetap lestari. Oleh karena itu, kerajaan atau kasultanan sebagai “pemangku adat” bisa berperan sebagai berikut: “pengayom masyarakat yang menghormati tata cara adat”. Kraton diharapkan mengayomi masarakat sebagai lapisan dan golongan yang majemuk melalui pendekatan kebudayaan . Budaya dan tata cara adat kraton menjadi model untuk pengembangan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat lokal setempat. Sementara itu, model budaya kraton tetap memberi ruang kreatifitas bagi berkembangnya aneka kebudayaan lain, sehingga akan berkembang pluralisme budaya yang konstruktif. Dengan demikian, kraton bisa mengayomi tata cara budaya dan adat istiadat mereka. Tidak hanya mengayomi tata cara budaya dan adat istiadat saja, namun melainkan juga harus mengayomi bangunan-bangunan peninggalan kraton hingga sekarang. Bangun-bangunan inilah yang akhirnya menjadi bangunan cagar budaya. Bangunan cagar budaya kasultanan kraton hingga sekarang masih terawat dengan baik, bahkan ada beberapa bangunan cagar budaya yang masih tetap keasliannya.
41
Untuk menjaga keasliannya diperlukan beberapa tahap revitalisasi. Sedangkan revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital hidup akan tetapi mengalami kemunduran dan degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik kota (termasuk juga ruang ruang publik), namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Adapun teori mengenai revitalisasi yaitu Teori Kevin Lynch - Image of The City, dan Sustainable Urban Neighborhood.
42
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal - hal sebagai berikut. 2.3.1. Intervensi fisik Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, system tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang. Setelah benteng kraton tidak memiliki peranannya lagi, benteng-benteng ini hanyalah berupa reruntuhan sebagai saksi bisu atas peperangan pada masa lalu. Paritparit yang semula ada guna mengelilingi area kraton yang berfungsi sebagai penghalau musuh supaya tidak bisa memasuki area kraton kini sudah tidak ada lagi. Parit sedalam dua meter dan memiliki lebar lima meter karena akibat reruntuhan bangunan benteng itu sendiri. Akhirnya parit yang mengelilingi benteng terkubur. Pintu-pintu masuk benteng masih tersisa, dan hanya tersisa dua dari kelima yang masih terjaga keasliannya, yaitu plengkung Wijilan dan plengkung Gading atau plengkung Nirbaya. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tanah bekas benteng ini mendapatkan ijin untuk dibangun sebuah tempat tinggal yang
43
dikhususkan untuk para abdi dalem kraton. Tanah Kasultanan ini sering disebut juga dengan Sultan Ground. Tanah kraton terhampar luas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Diperkirakan 60% dari 100% tanah yang ada di DIY adalah tanah milik kraton. Tanah kraton inipun pemanfaatannya bermacammacam. Salah satunya adalah sebagai tempat tinggal. Masyarakat bisa menggunakan tanah kraton sebagai tempat tinggal dengan status tanah magersari. Magersari pada awalnya adalah tanah yang ditujukan khusus untuk para abdi dalem kraton, sebagai tanda jasa atas pengabdiannya terhadap kraton. Namun pada perkembangannya masyarakat bisa memanfaatkan tanah dengan atas hak pinjam pakai tanah magersari.
2.3.2. Rehabilitasi ekonomi Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota. Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru). Seiring berkembangnya waktu kawasan plengkung Gading yang semula tanah kraton yang disebut dengan tanah magersari yang awalnya sebagai tanah pinjaman untuk para abdidalem kraton sebagai tempat tinggal
44
kini tanah-tanah tersebut sudah berubah menjadi pertokoan. Tanah magersari sepanjang benteng sisi selatan ini dibagian dalam benteng masih berupa tanah magersari berupa hak pinjam pakai berguna sebagai tempat tinggal. Namun tanah magersari yang berada disisi selatan benteng plengkung gading ini sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pertokoan. Sehingga disanalah berjalan aktifitas perekonomian dengan pesat. Tanah-tanah tersebut juga mengalami proses yang sama yaitu hak pinjam pakai, namun yang membedakan adalah adanya perijinan guna membuka usaha. Jalur bawah plengkung Gading yang dulu semula ada pintu tarik sekarang pintu tarik tersebut tidaklah ada dan hanya tersisa pengait pintunya saja. Hal ini dijadikan sebagai jalur transportasi yang padat oleh masyarakat.
2.3.3. Revitalisasi sosial/institusional Revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik. Revitalisasi sosial di situs plengkung Nirbaya atau sering dikenal dengan plengkung Gading ini dimanfaatkan sebagai tempat bertemunya beberapa komunitas yang ada di Yogyakarta. Kawasan benteng plengkung Gading kearah timur yang
45
masih terjaga keasliannya sering digunakan oleh para pemuda untuk berkumpul atau sebagai pelepas lelah setelah pulang dari bekerja. Selain itu bentuk revitalisasi sosial adalah dengan cara membersihkan area plengkung Gading setiap harinya yang dilakukan oleh Instansi Kepurbakalaan. Sehingga terbebas dari aksi vandalisme atau aksi corat-coret yang sering dilakukan oleh beberapa masyarakat yang ingin keberadaannya diakui. Hal ini sudah diatur oleh pemerintah untuk mendukung proses pemanfaatan dan proses revitalisasi di semua bangunan atau benda cagar budaya dengan adanya Undang-Undang. Di bawah ini merupakan bentuk peraturan dari pemerintah guna mengatur tentang cagar budaya: Pada Pasal 104 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). “ Pada Pasal 105 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
46
Pada Pasal 106 ayat (1) Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota, memindahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB III DAMPAK PEMANFAATAN DAN REVITALISASI BAGI MASYARAKAT
Dari pembahasan sebelumnya dijelaskan tentang pemanfaatan dan revitalisasi bangunan cagar budaya berupa bangunan plengkung Gading benteng Kraton sisi selatan. Bahwasannya pemanfaatan memiliki beberapa fungsi. Fungsi dan manfaat dari bangunan bersejarah tersebut, diantaranya adalah aspek pariwisata, objek penelitian dari berbagai disiplin ilmu, sumber devisa yang dapat menambah pendapatan daerah, dan pengayoman budaya daerah setempat . Peneliti menemukan keempat aspek dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan dan revitalisasi daerah sekitar plengkung Gading diatas. Dari data yang diperoleh dari wawancara warga sekitar plengkung Gading. Menurut Bapak Tanto berumur 39 tahun yang kesehariannya bekerja sebagai juru parkir
di awasan area banguan cagar budaya tepatnya di
plengkung Gading. Berawal tahun 2009 bangunan cagar budaya plengkung Gading ramai dikunjungi oleh para wisatawan dari luar daerah Yogyakarta. Dulu sebelum tahun 2009 daerah plengkung Gading tidak ada orang yang mau menaikinya dikarenakan tempatnya yang sangat kumuh. Banyak tuna wisma yang tinggal atau tidur di dalam bastion-bastion yang ada diatas plengkung. Bahkan area cagar budaya ini sering dimanfaatkan oleh orang yang tak bertanggungjawab untuk melalukan hal yang tidak sewajarnya, yang dimaksud adalah berbuat mesum. Karena tempat yang gelap dan jarang
47
48
diakses oleh publik sehingga sering disalahgunakan. Selain itu juga sering sebagai tempat berkumpulnya para pemabuk untuk berpesta minuman keras di atas, hal ini dilakukan karena kurangnya pemerhati wilayah bangunan cagar budaya ini. Bahkan ketika sebelum tahun 2009 ada kasus kriminalitas yaitu pencurian sepeda bermotor yang diparkir liar dikawasan plengkung Gading. Setelah tahun 2009 diadakannya area parkir di bawah kawasan plengkung Gading guna menekan angka kriminalitas yang ada di sekitar area tersebut. Alhasil sampai sekarang belum ada lagi kasus kehilangan kendaraan bermotor bagi para pengunjung plengkung Gading. Area ini juga dijadikan sebagai ajang berkumpulnya para komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta seperti komunitas onthel yang melestarikan sepeda kuno, komunitas burung hantu bagi para penggemar burung hantu yang sering memamerkan peliharaannya untuk ditonton masyarakat, sebagai ajang panggung Festival Kebudayaan Yogyakarta atau sering dikenal dengan FKY juga memanfaatkan latar panggung plengkung Gading. Sehingga banyak masyarakat yang menonton dan meramaikan pesta peringatan hari jadi Kota Yogyakarta tersebut. Selain itu juga sebagai tempat pengambilan adegan pengambilan gambar film. Baik pengambilan gambar artis dalam negeri maupun arti luar negeri. Area plengkung Gading yang tidak pernah tutup inilah ada beberapa pendatang yang menggunakan sebagai perayaan hari ulang tahun untuk temannya. Dari sinilah banyak dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. selain pengalihan fungsi pemanfaatan bangunan cagar budaya Bapak Tanto juga merasakan dampak dari perekonomiannya, yaitu dengan adanya tarif parkir yang ditentukan satu sepeda motor Rp 2.000,00 maka setiap harinya Bapak Tanto beserta teman-temannya
49
mampu membawa sedikitnya Rp 40.000,- per orang. Untuk juru parkir sendiri Bapak Tanto dibantu oleh 6 (enam) orang temannya. Diakui ramai pengunjung jika waktu liburan atau akhir pekan. Jika sepi masing-masing bisa membawa uang kurang lebih sebesar Rp 20.000,00 per malam. Untuk waktu parkir dimulai dari pukul 18.00 hingga larut malam. Selain untuk menjaga keamanan para pengunjung Bapak Tanto beserta teman-temannya juga melakukan penyisiran wilayah, sehingga kasus mesum di tempat peninggalan atau bangunan cagar budaya tidak terjadi lagi. Namun ada yang disayangkan dari pelestarian bangunan cagar budaya plengkung gading ini adalah kurangnya penerangan. Sehingga yang ditakutkan adalah dari sisi plengkung gading kearah timur tidak adanya penerangan, maka para pengunjung yang tidak bertanggungjawab melakukan yang hal tidak sewajarnya. Dikarena penyisiran yang dilakukan Bapak Tanto beserta teman-temannya belum mampu sampai ke benteng yang paling timur. Diharapkan
jika
penerangannya
cukup
pengunjung
yang
tidak
bertanggungjawab akan sungkan jika melakukan hal yang tidak sewajarnya. Menurut Bapak Yanto yang bekerja sehari-hari adalah sebagai tukang becak yang sering mangkal di area gading juga mengungkapkan bahwasannya dulu daerah ini sering terjadi kriminalitas seperti banyak orang yang minum-minuman keras sehingga mabuk menjatuhi minumannya kearah becak yang dikendarai oleh bapak Yanto. Hal ini terjadi jika larut malam tiba, adalah aksi vandalisme atau corat-coret tembok bangunan cagar budaya. Dulu banyak sekali hal tersebut terjadi namun sekarang jauh berkurang.
50
Dari beberapa hasil wawancara dengan warga sekitar plengkung Gading dan dari beberapa studi pustaka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan. Baik kesimpulan positif dan kesimpulan negatif, diantaranya adalah seperti dibawah ini: Dampak Positif: 1. Wilayah Kraton sekarang ini tidak eksklusif dan tidak terkesan tertutup dengan masyarakat, karena telah menjadi tempat wisata. Dimana Kraton yang dulunya hanya merupakan sebuah kerajaan bersifat tempat tinggal dan bukan merupakan tempat umum kini menjadi tempat tujuan pariwisata yang mempunyai ciri khas tersendiri. Bahkan banyak wisatawan dari domestik maupun mancanegara yang tertarik mengunjungi kawasan kraton. Hal ini terlihat pada antusiasme para pengunjung daerah plengkung Gading. 2. Masyarakat semakin cinta terhadap peninggalan budaya. Dengan mengunjungi Yogyakarta, maka kita akan lebih mengenal dan mengetahui berbagai peninggalan-peninggalan bersejarah yang patut kita lestarikan. Bangunan cagar budaya ini salah satunya adalah benteng kraton sisi selatan yang masih asli. Serta pintu masuk kraton yang sering disebut juga dengan plengkung. Plengkung peninggalan budaya kraton yang masih tetap terjaga keasliannya adalah plengkung Wijilan dan plengkung Gading. Dimana plengkung Gading ini banyak diminati pengunjung untuk tempat nongkrong atau hanya sekedar untuk mengambil gambar. Bahwasannya bangunan plengkung gading ini sendiri mempunyai ciri khas bangunan peninggalan kebudayaan benteng kraton. 3. Menghidupkan sendi-sendi ekonomi di masyarakat sekitar. Dengan adanya wisata di kawasan plengkung gading, banyak masyarakat yang mencari nafkah di
51
sekitar kawasan benteng kraton. Misalnya saja banyak tukang becak yang sering mangkal dikawasan plengkung, pedagang makanan, percetakan, pedagang majalah atau koran, tukang parkir, bengkel, dan sebagainya. 4. Menambah devisa negara dan pendapatan asli daerah. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya pengunjung yang berminat untuk mengunjungi bangunan cagar budaya berupa plengkung Gading dapat menambahkan pendapatan daerah itu sendiri. Hal ini terlihat dengan adanya perhatian pemerintah daerah dikawasan ini. Sebagai contoh pengadaan lampu.
Plengkung Gading setiap malam dapat berubah warna sesuai dengan sorotan lampu yang ditembakkan. Biaya pengadaan lampu untuk kedua plengkung itu sampai ratusan juta. “Lampu itu sudah dipasang sejak awal Desember nilainya sekitar Rp340 juta,” kata Kepala Seksi Penerangan Jalan Dinas Kimpraswil Sukadarmanto kepada Harian Jogja, Selasa (1/1/2013). Lampu itu menerangi baik sisi utara atau selatan plengkung. Di Plengkung Gading pada sisi selatan, terdapat dua lampu di sebelah barat dan timur. Sedangkan pada sisi sebaliknya, lampu juga terletak di sebalah barat dan timur. Hanya jumlahnya lebih banyak. Tiap sisi setidaknya terdapat tiga lampu. Penerangan juga ditambah di tangga naik ke atas plengkung. Beberapa saat yang lalu, diakuinya ada lampu yang tidak menyala. Namun itu bukan karena rusak, melainkan hanya setting timer. Itu sudah disetel ulang oleh pihak Philips. Jadi lampu yang digunakan untuk penerangan di plengkung Gading tidak rusak. Lampu itu dapat tahan 10 tahun, kecuali ada yang merusaknya.
52
Dampak Negatif: 1. Muncul banyaknya pengemis dan pemulung yang ada di sekitar kawasan plengkung Gading. Hal ini dapat dilihat di sekitar kawasan jalan sebelah utara plengkung Gading yang banyak dipadati pengemis dan pemulung mangkal di trotoar. Setiap malam para pengemis dan pemulung terkadang masih terlihat tidur di atas plengkung Gading. 2. Ketika pengendalian dan pengawasan kurang, maka lingkungan menjadi semrawut, kotor, karena pengelolaan daerah wisata kurang baik. Bisa dilihat dari aksi vandalisme yang sering terjadi ditembok plengkung Gading sampai di pojok benteng sebelah tenggara. Selain itu akses lalu lintas ketika jam-jam yang padat berkendaraan diantara waktu orang-orang berangkat bekerja dan berangkat sekolah kawasan plengkung Gading dengan akses jalan yang dapat dikatakan sempit menjadi macet. Karena banyak motor dan mobil yang melintasi plengkung Gading ini. Diharapkan bagi polisi lalu lintas untuk selalu berjaga diwaktu-waktu sibuk. Sehingga dengan harapan akses lalu lintas dikawasan sekitar plengkung Gading tidak ada kemacetan lagi.
Dampak revitalisasi di situs plengkung Gading yang dirasakan oleh masyarakat umum adalah seperti Festival Kesenian Yogyakarta yang setiap tahunnya selalu diselenggarakan guna memperingati hari jadi kota Yogyakarta. FKY berada di tempat-tempat cagar budaya Yogyakarta, salah satunya bertempat di plengkung Gading. Plengkung Gading yang selalu ramai dilewati oleh para pengendaraan baik sepeda, sepeda motor, atau kendaraan roda empat ini menjadi tempat strategi sebagai
53
ajang mempromosikan situs bersejarah di kota Yogyakarta. FKY di plengkung Gading biasanya terdapat panggung pertunjukkan kesenian rakyat seperti wayang, tari-tarian tradisional, karya seni, dan masih banyak lainnya. Selain menjadi tempat untuk pertunukan FKY plengkung Gading juga sering dijadikan ajang unjuk kebolehan dari berbagai komunitas-komunitas. Diharapkan dengan berkumpul di plengkung Gading komunitas-komunitas tersebut bisa lebih eksis di masyarakat, hingga tertarik dan bersedia bergabung menjadi anggota komunitas tersebut. Komunitas-komunitas tersebut seperti komunitas pencinta burung hantu, pencinta anjing ras tertentu, onthel (sepeda jaman dulu), skateboard, dan masih banyak lainnya. Tidak hanya untuk berkumpulnya komunitas-komunitas, plengkung Gading sering dijadikan tempat untuk berolahraga baik di waktu pagi maupun sore hari. Seperti untuk pelatihan fisik pemain voli, basket, pelari yang memanfaatkan tangga naik ke atas plengkung Gading. Plengkung Gading juga sering dijadikan sebagai latar untuk penggambilan gambar yang akan ditanyangkan di stasiun televisi baik swasta maupun milik Negara. Salah satunya adalah acara yang diakan oleh stasiun televisi TVRI yaitu Posdaya. Posdaya merupakan forum silahturahmi, advokasi, komunikasi, informasi, edukasi dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara terpadu. Dalam hal-hal tertentu bisa juga menjadi wadah pelayanan keluarga terpadu, yaitu pelayanan pengembangan keluarga secara berkelanjutan, dalam berbagai bidang utamanya agama, pendidikan, kesehatan, wirausaha, dan lingkungan hidup.
54
BAB IV KESIMPULAN
Bangunan atau peninggalan yang mempunyai nilai sejarah atau disebut dengan cagar budaya harus tetap dijaga. Salah satunya dengan cara revitalisasi atau pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya tersebut. Revitalisasi
adalah
kegiatan
pengembangan
yang
ditujukan
untuk
menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitalisasi
fisik
merupakan
strategi
jangka
pendek
yang
dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek social budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Bangunan benteng sisi selatan kraton plengkung Nirbaya atau plengkung
Gading
sudah
mengalami
pemanfaatan
dan
revitalisasi.
Diantaranya dahulu bangunan ini digunakan untuk menghalangi musuh yang akan masuk ke dalam kraton dapat dikatakan bahwa berguna untuk melindungi kraton dari musuh. Seiring berjalannya waktu pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1974 daerah benteng sisi selatan dari
55
56
plengkung Nirbaya atau plengkung Gading kearah barat mengalami kerusakan berat. Sehingga oleh HB IX tanah bekas benteng dijadikan tanah magersari atau tanah yang diperuntukan untuk para abdidalem kraton sebagai tempat tinggal. Tanah magersari ini bersifat hanya hak pinjam pakai saja dengan bukti tertulis berupa surat kekancingan bukan sertifikat tanah. Jikalau Sri Sultan menghendaki tanah tersebut maka si penerima hak pinjam tanah harus segera menyerahkan tanah tersebut kepada kraton kembali. Sehingga tanah bekas benteng berubah fungsi dan manfaatnya. Jalur akses keluar masuk yang dulunya berpa pintu gerbang menjadi sebuah jalan atau jalur transportasi langsung tanpa pintu dari arah panggung Krapyak sisi selatan dan menuju ke arah Alun-Alun Selatan dari sisi utara plengkung Gading. Diatas plengkung Gading sebelum tahun 2009 banyak terjadi kriminalitas. Seperti banyak orang yang minum-minuman keras yang menyebabkan hilangnya kesadaran atau mabuk sehingga menimbulkan keresahan bagi warga sekitar. Banyaknya
tuna
wisma
yang
tidur
dibekas
bastion-bastion
yang
menyebabkan area plengkung Gading kumuh dan berbau tidak sedap. Munculnya tindakan asusila sepasang individu melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Kasus kehilangan sepeda motor yang terparkir liar dibawah plengkung Gading. Larut malam banyaknya pemuda-pemuda melakukan aksi vandalisme atau aksi corat-coret tembok bangunan cagar budaya plengkung Gading yang sehingga menyebabkan kotor area ini. Hal tersebut mulai berangsur-angsur reda sejak tahun 2009 sejak adanya juru parkir yang berjaga disana. Pengunjung yang akan berkumpul dengan rekanrekannya diatas plengkung Gading tidak takut adanya aksi pencurian sepeda motor
57
karena sudah aman. Aksi minum-minuman keras mulai berangsur berkurang dan tindakan asusila pun mulai berangsur berkurang. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya pengunjung yang ingin menikmati malam hari di atas plengkung Gading, sehingga pengunjung satu dengan pengunjung lainnya timbul perasaan segan dan menekan angka kriminalitas. Serta menurunnya aksi vandalisme yang sering dilakukan beberapa kelompok orang, karena dari pihak kepurbakalaan setiap harinya menyisir dan melestarikan bangunan cagar budaya ini. Festival Kebudayaan Yogyakarta yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini menambah semarak plengkung Gading. FKY yang mengambil latar panggung plengkung menampilkan beberapa kesenian asli Yogyakarta yang dipertontonkan secara gratis kepada masyarakat sehingga menambah positif pemanfaatan dan revitalisasi terhadap plengkung Gading. Dengan adanya hal diatas tak heran jika plengkung Gading juga sering dijadikan latar tempat penggambilan gambar oleh beberapa orang ternama baik dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga hal tersebut lebih memberikan dampak positif bagi warga sekitar.
58
Daftar Narasumber Nama : Tanto Umur : 39 Tahun Profesi : Juru Parkir di Plengkung Gading
Nama : Yanto Umur : 60 Tahun Profesi : Tukang Becak (Mangkal di Area Plengkung Gading)