BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Seiring perkembangan jaman, sektor publik mendapat tekanan yang
semakin besar untuk memperbaiki kinerjanya. Organisasi sektor publik menghadapi masalah yang sangat kompleks menyangkut bidang sosial, ekonomi, dan politik sehingga muncul tuntutan untuk mengembangkan berbagai pendekatan yang paling efektif dan efisien untuk memperbaiki organisasi secara terus menerus. Hal ini mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi sektor publik yang berbasis kinerja (Mahsun, 2012). Perubahan menuju era manajemen berbasis kinerja pada awalnya merupakan bagian dari gerakan welfare reform di negara-negara Eropa pada tahun 1980-an. Gerakan welfare reform menghendaki organisasi sektor publik agar memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Selain itu, muncul pula tuntutan agar organisasi sektor publik membuat sistem akuntabilitas berbasis kinerja (result-based accountability system) sebagai sarana untuk memberikan informasi kinerja kepada masyarakat (Mahmudi, 2010). Reformasi sektor publik yang dilakukan negara-negara maju berfokus pada kinerja unit pelayanan publik pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya. Sebelumnya, fokus manajemen kinerja sektor publik adalah pada pengendalian input, pemenuhan standar, dan kepatuhan anggaran. Namun setelah
1
munculnya reformasi, penekanan kinerja bergeser pada pengukuran outcome, hasil, manfaat dan dampak terhadap masyarakat. Di Indonesia, pemerintah juga telah meluncurkan program reformasi birokrasi yang dilaksanakan di seluruh kementrian. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 - 2025. Terkait hal ini, Kementrian Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 tentang Rencana Strategis Kementrian Keuangan Tahun 2010 – 2014. Didalam rencana strategis tersebut, reformasi birokrasi yang dilaksanakan Kementerian Keuangan diarahkan untuk mencapai beberapa sasaran, yakni meningkatkan good governance, meningkatkan kinerja aparat, dan meningkatkan pelayanan kepada publik. Dalam
sasaran
peningkatan
kinerja
aparat,
reformasi
birokrasi
Kementerian Keuangan menuntut tercapainya produktivitas kerja optimal yang diperoleh dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif, dan efisien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi (Kementrian Keuangan, 2010). Terkait sasaran peningkatan pelayanan publik, diharapkan adanya kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati dan rasa tanggung jawab. Untuk mengukur kinerja organisasi sektor publik, salah satu konsep manajemen kontemporer yang mulai banyak diaplikasikan adalah teknik Balanced
2
Scorecard (BSC). Pada awalnya, balanced scorecard dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1996) sebagai alat pengukuran kinerja yang digunakan untuk perusahaan-perusahaan bisnis komersial. Balanced scorecard dinilai cocok untuk organisasi sektor publik karena tidak hanya menekankan pada aspek kuantitatiffinansial, tetapi juga aspek kualitatif dan nonfinansial. Hal tersebut sejalan dengan sektor publik yang menempatkan laba bukan sebagai ukuran kinerja utama, namun pelayanan yang cenderung bersifat kualitatif dan nonkeuangan. Organisasi sektor publik juga dapat mengadopsi konsep Balanced Scorecard dengan beberapa modifikasi. Kementrian Keuangan sebagai salah satu lembaga negara telah menerapkan konsep BSC sebagai manajemen stratejik organisasi sejak tahun 2007. Tujuan utama penerapan BSC adalah untuk meningkatkan kinerja Kementrian Keuangan melalui perubahan budaya kerja dari level pimpinan hingga ke level pelaksana (Andi et al., 2009). Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Bekasi (selanjutnya disebut KPPBC Bekasi) sebagai organisasi yang bernaung dibawah Kementrian Keuangan, juga telah menerapkan konsep BSC dalam pengelolaan kinerjanya. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
454/KMK.01/2011
tentang
Pengelolaan
Kinerja
di
Lingkungan
Kementerian Keuangan. Pada setiap awal tahun, kepala KPPBC Bekasi menetapkan kontrak kinerja yang berisi Indikator Kinerja Utama (IKU), realisasi tahun sebelumnya dan target IKU organisasi yang akan dicapai pada akhir tahun. Salah satu target IKU KPPBC
3
Bekasi terkait pelayanan publik adalah realisasi janji pelayanan pemberian rekomendasi perijinan dan realisasi janji pelayanan impor ke kawasan berikat. Kawasan Berikat (KB) adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor. Sedangkan Tempat Penimbunan Berikat (TPB) adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk (definisi menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat). Menurut Kaplan dan Norton (2008) dalam bukunya The Execution Premium: Linking Strategy to Operations for Competitive, sebuah organisasi yang telah menerapkan strategi visioner seperti BSC harus memiliki link antara strategi tersebut dengan pelaksanaannya di level operasional. Strategi visioner yang tidak memiliki link dengan keunggulan operasional (operational excellence) dan pengelolaan proses, tidak akan dapat diimplementasikan. Sebaliknya, keunggulan operasional dapat mengurangi biaya, memperbaiki kualitas, dan mengurangi proses serta lead time, tetapi tanpa arahan dan visi strategik, organisasi tidak akan menikmati sukses yang berkelanjutan. Berbagai metode perbaikan proses bisnis dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi organisasi publik kedalam level operasional, antara lain: Total Quality Management, Six Sigma, Business Process Reengineering, Lean Thinking, Kaizen, dan lain-lain (Radnor, 2006).
4
Beberapa organisasi publik di berbagai negara di dunia telah menerapkan lean untuk memperbaiki proses bisnisnya, baik di sektor kesehatan (Rosmulder, 2011; Papadopoulos, 2011; Dahlgaard dan Brehmer, 2007; ), finansial (Radnor, 2010), human resource office (Barraza dan Pujol, 2009), local government (Barraza, Smith, dan Park, 2009), municipal (Esberg, 2009; Arlbjorn dan Haas, 2011), universitas (Comm dan Mathaisel, 2005), bahkan di sektor militer (Deitner, 2004; Clark dan Kaehler, 2006; Soto et al., 2012). Beberapa lean tools dan teknik yang diterapkan di sektor publik adalah Value Stream Mapping, 5S, Batch Reduction, Standardization, Visual Control, dan lain-lain (EPA, 2011). Value Stream Mapping (VSM) adalah salah satu metode lean yang digunakan untuk memetakan aliran barang dan aliran informasi dalam satu rangkaian pemetaan seluruh kegiatan yang menghasilkan produk atau jasa. Pemetaan VSM bertujuan untuk memudahkan identifikasi pemborosan (waste) yang terjadi sepanjang aliran pemetaan tersebut (Rother dan Shook, 2009). Selanjutnya, pemborosan yang telah teridentifikasi menjadi obyek perbaikan secara terus menerus. Radnor (2006) dalam laporannya berjudul Evaluation of the Lean Approach to Business Management and Its Use in the Public Sector, mengungkapkan bahwa pendekatan lean terhadap beberapa organsisasi publik di Skotlandia menghasilkan beberapa perbaikan, baik yang bersifat tangible (hasil yang dapat diukur) maupun intangible (hasil kualitatif).
5
KPPBC Bekasi sebagai sebuah organisasi publik di Indonesia, baru dalam tahap menerapkan balanced scorecard di level stratejik untuk pengukuran kinerja, tetapi belum menerapkan metode perbaikan proses bisnis tertentu di level operasionalnya. Melihat keberhasilan penerapan lean di beberapa organisasi sektor publik di berbagai negara, maka KPPBC Bekasi juga memiliki potensi yang sama dalam menerapkan lean. Salah satunya adalah penerapan lean untuk memperbaiki proses bisnis pelayanan perijinan, yang merupakan bentuk pelayanan publik yang menjadi taget IKU dalam Balanced Scorecard. Untuk itu, dalam penelitian ini dibahas mengenai implementasi lean, khususnya metode VSM untuk memperbaiki kinerja pelayanan perijinan di KPPBC Bekasi. Dalam melaksanakan penelitian, dibutuhkan adanya metode penelitian yang memenuhi beberapa kriteria dibawah ini: 1. Memfasilitasi dua aspek sekaligus yaitu aspek penelitian (research) secara ilmiah, dan aspek tindakan (action) kongkrit untuk memperbaiki kualitas pelayanan perijinan, yang dilakukan secara bersama-sama dengan pihak yang merasakan adanya permasalahan tersebut. 2. Metode penelitian yang digunakan harus dapat berperan dalam menyelesaikan masalah (problem solving), dalam hal ini menyelesaikan problem riil berupa permasalahan kualitas pelayanan perijinan melalui serangkaian kegiatan yang berulang. 3. Mengingat adanya kendala di pihak KPPBC Bekasi karena SDM yang dimiliki belum ada yang memiliki pengalaman menerapkan metode perbaikan bisnis modern seperti TQM, Lean, Six Sigma, dan lain-lain,
6
maka metode penelitian yang dipilih harus mengakomodasi aspek kolaborasi dan partisipasi dengan pihak eksternal. Dari ketiga kriteria diatas, metode penelitian yang paling mendekati untuk digunakan adalah metode Penelitian Tindakan ( Action Research / AR ). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan metode penelitian Action Research dalam usaha memperbaiki kualitas pelayanan perijinan di KPPBC Bekasi. Disamping itu, dalam penelitian kali ini juga digunakan metode lainnya yaitu Focus Group Discussion (FGD) dan Semi-structured Interview. Implementasi lean di sektor publik di KPPBC Bekasi dengan menggunakan pendekatan AR menarik dan perlu diteliti karena sampai saat ini masih sedikit publikasi ilmiah mengenai penerapan lean di sektor publik di Indonesia. Mengingat penerapan lean biasanya adalah di sektor manufaktur, maka proses adopsi lean ke sektor publik yang merupakan sektor non-manufaktur juga merupakan suatu hal yang menarik dan penuh tantangan.
1.2
RUMUSAN MASALAH Mulai tanggal 1 Januari 2012, pemerintah menetapkan aturan baru berupa
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 143/PMK.04/2011 dan nomor 147/ PMK.04/2011 tentang Gudang Berikat (GB) dan Kawasan Berikat (KB). Dalam aturan tersebut, pemerintah menangguhkan bea masuk, pembebasan cukai dan pajak dalam rangka impor (PDRI) untuk barang impor orientasi ekspor ke kawasan berikat. Hal ini didorong adanya keinginan untuk mengembalikan fasilitas penangguhan bea masuk untuk kawasan berikat sesuai relnya yakni untuk
7
mendorong kegiatan ekspor, dengan membatasi bahwa hanya 25% barang ekspor yang tidak terserap di pasar luar negeri bisa masuk ke dalam negeri. Pembatasan penjualan barang ekspor ke dalam negeri ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerugian penerimaan negara. Seiring dengan berjalannya waktu, Menteri Keuangan pada tanggal 16 Maret 2012 menetapkan PMK nomor 44/PMK.04/2012 tentang Perubahan Kedua atas PMK nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat, sebagaimana telah diubah dengan PMK nomor 255/PMK.04/2011. Kebijakan yang berlaku sejak tanggal 16 Maret 2012 tersebut ditetapkan dalam rangka melakukan penyempurnakan PMK sebelumnya untuk mengantisipasi dampak perkembangan ekonomi global, serta untuk memberikan masa transisi yang memadai bagi pengusaha kawasan berikat. Dalam PMK tersebut terdapat beberapa perubahan ketentuan, misalnya mengenai pekerjaan subkontrak dari KB lain dan/atau dari perusahaan industri di TLDDP (Tempat Lain Dalam Daerah Pabean). Dalam hal ini, pemberian/ penerimaan pekerjaan subkontrak tersebut harus dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KB tersebut, guna peningkatan pengawasan dan pengamanan hak-hak keuangan negara. Dampak dari perubahan ketentuan ini antara lain adanya peningkatan jumlah permohonan perijinan yang diajukan kepada KPPBC Bekasi secara signifikan. Berdasarkan data dari website KPPBC Bekasi ( http://bcbekasi.beacukai. go.id ), dari bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2012, jumlah dokumen yang diterima oleh KPPBC Bekasi meningkat signifikan menjadi sejumlah 8.205
8
dokumen. Lebih dari setengah jumlah dokumen tersebut adalah permohonan perijinan subkontrak. Dengan banyaknya dokumen perijinan yang harus ditangani, mengakibatkan waktu penyelesaian proses perijinan bertambah lama. Hal ini menjadi keluhan pengusaha karena lamanya proses perijinan dapat berdampak pada perlambatan proses produksi, pemenuhan order ekspor maupun non ekspor kepada pelanggan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Memperbaiki proses bisnis dan kualitas pelayanan perijinan di KPPBC Bekasi menggunakan Value Stream Mapping sebagai sebuah metode Lean 2) Memberikan rekomendasi untuk perbaikan selanjutnya yang sesuai dengan konsep Lean Permasalahan mengenai perbaikan pelayanan perijinan merupakan hal yang aktual dihadapi dan memerlukan upaya perbaikan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Keberhasilan memperbaiki proses bisnis perijinan di KPPBC Bekasi dengan pendekatan lean dan metode value stream mapping dapat menjadi contoh yang memperkaya wawasan manajerial pengelolaan organisasi sektor publik lainnya di Indonesia. Dari segi akademik, keberhasilan penerapan lean untuk perbaikan proses bisnis perijinan di sektor publik dapat memberi kontribusi ilmiah, khususnya sebagai bukti ilmiah bahwa lean juga dapat diterapkan di sektor non-manufaktur.
9
1.3
PERTANYAAN PENELITIAN Di negara-negara maju, telah banyak ditemukan contoh keberhasilan
penerapan konsep lean di sektor publik. Di Indonesia, penelitian mengenai penerapan lean di sektor publik (Lean Government) masih sangat sedikit dan belum ditemukan contoh penerapannya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Apakah Value Stream Mapping sebagai salah satu metode Lean dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja pelayanan perijinan di KPPBC Bekasi? 2. Rekomendasi apa yang dapat diberikan kepada KPPBC Bekasi untuk perbaikan proses bisnis selanjutnya yang sesuai dengan konsep Lean?
1.4
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian dalam thesis ini adalah: 1) Memperbaiki proses bisnis dan kualitas pelayanan perijinan di KPPBC Bekasi menggunakan value stream mapping sebagai sebuah metode lean. Perbaikan kualitas pelayanan yang dimaksud adalah perbaikan dalam hal waktu penyelesaian yang lebih pendek (perbaikan lead time penyelesaian perijinan). Adapun Perijinan yang menjadi obyek penelitian adalah: a. Perijinan sub kontrak ke TLDDP b. Perijinan impor barang modal c. Perijinan re-ekspor
10
2) Mengingat penelitian ini menggunakan metode action reseach yang dilakukan secara berkesinambungan, maka tujuan penelitian berikutnya adalah memberikan rekomendasi untuk tahapan perbaikan selanjutnya yang sesuai dengan konsep lean kepada pihak KPPBC Bekasi.
1.5
MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian bagi KPPBC Bekasi: 1) Dapat memahami konsep lean thinking dan lean government 2) Dapat memahami dan menerapkan metode value stream mapping untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan dengan menghilangkan pemborosan (waste) sepanjang proses birokrasi dalam rangka perbaikan pelayanan publik, khususnya dalam hal pengurusan perijinan
Manfaat bagi akademisi: 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai filosofi, relevansi dan penggunaan serta penerapan konsep lean khususnya dalam hal perbaikan pelayanan publik 2) Memberikan gambaran mengenai derajat perbaikan produktivitas dan kualitas yang dapat dicapai dengan menerapkan konsep lean dan metode value stream mapping di sektor publik 3) Mengingat masih sedikitnya referensi mengenai penerapan konsep lean di sektor non-manufaktur, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
11
bagi akademisi yang tertarik dalam penerapan konsep lean thinking dan lean government untuk perbaikan kinerja sektor non-manufaktur, khususnya sektor publik di Indonesia.
1.6
BATASAN PENELITIAN Penelitian ini dibatasi pada perbaikan proses perijinan di KPPBC Bekasi,
khususnya hanya pada tiga jenis pelayanan perijinan yaitu: 1. Perijinan Sub kontrak ke TLDDP 2. Perijinan Impor barang modal 3. Perijinan re-ekspor Selain itu, penelitian ini juga membatasi penggunaan lean tools dan teknik terutama hanya pada penggunaan value stream mapping, dan sedikit pembahasan mengenai batch reduction dan layout design.
1.7
SISTIMATIKA PENULISAN Penelitian ini disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami dengan lebih
mudah. Sistimatika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan: berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori: berisi tinjauan pustaka dan
landasan teori. Bab III Metode Penelitian: menguraikan desain penelitian dan obyek penelitian. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan: menguraikan
12
mengenai proses – proses yang dilakukan selama penelitian, hasil penelitian dan pembahasannya. Bab V Simpulan, Keterbatasan dan Rekomendasi: berisi simpulan yang merupakan penyajian singkat dari keseluruhan hasil penelitian yang diperoleh dalam pembahasan, keterbatasan, saran-saran, dan rekomendasi yang diberikan kepada peneliti selanjutnya.
13