BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Proses acara pidana di Indonesia baik prosedur dan tata caranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). “Hukum Acara Pidana yang berlaku pada saat ini adalah yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1981”.1 Setalah KUHAP tersebut diundangkan, “...maka telah melahirkan suatu lembaga baru „praperadilan‟ yang belum pernah diatur sebelumnya di dalam hukum acara (IR atau HIR)”.2 Beberapa hal baru yang tercantum dalam KUHAP tersebut antara lain: - Hak-hak tersangka dan terdakwa (Pasal 50 s/d 68 KUHAP) - Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69 s/d 74 KUHAP) - Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi (Pasal 98 s/d 101 KUHAP) - Pengawasan Pelaksaan Putusan Hakim (Pasal 277 s/d 283 KUHAP) - Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni pra peradilan (Pasal 77 s/d 83 KUHAP).3 Praperadilan sendiri dibentuk sebagai sarana kontrol bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan apa yang ditugaskan oleh undang-undang agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan adanya lembaga praperadilan ini, aparat 1
C. Djisman Samosir, 2013, Segenggam tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, h. 1. 2
Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, h. 185. 3
Loebby Loqman, 1987, Pra-peradilan di Indonesia, Galia Indonesia, Jakarta, h.7.
1
2
penegak hukum dalam melakukan upaya paksa terhadap seorang tersangka tetap bertindak berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Praperadilan dalam hal ini merupakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pengadilan negeri seperti yang terdapat dalam Pasal 77 KUHAP, yang menyatakan bahwa: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Namun dalam penerapannya masih terdapat permasalahan yang menjadi pro-kontra, terutama mengenai penetapan tersangka yang dijadikan sebagai objek praperadilan, hal tersebut tentu merupakan perluasan objek praperadilan karena pembatalan penetapan tersangka bukan merupakan objek praperadilan seperti yang diatur pada Pasal 77 KUHAP diatas. Disini penulis mengambil contoh putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan perkara praperadilan tentang penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan.4 Hal tersebut berpotensi membuka pintu upaya hukum yang luas bagi para tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai penetapan tersangka terhadapnya. Putusan Hakim tunggal Sarpin Rizaldi dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nila-nilai hukum dan rasa 4
Fabian Januarius Kuwado, “Hakim Anggap Permohonan Budi Gunawan Termasuk Obyek Praperadilan”, Kompas News, 16 Februari 2015.
3
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa hakim mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Tindakan hakim tunggal Sarpin Rizaldi juga dapat diperkuat oleh bunyi Pasal 10 ayat (1) undang-undang yang sama, yang menentukan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) tersebut diatas mengandung arti bahwa “...hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara da selanjutnya menjatuhkan putusan, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas.”5 Disisi lain, pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka tersebut bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam praperadilan. “Hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP”.6 Namun faktanya dalam kasus 5
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 6. 6 Dela Asfarina C., 2015, “Analisis Putusan Praperadilan Kasus Budi Gunawan oleh Hakim Sarpin Rizaldi”, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang, h.3.
4
tersebut permohonan perkara praperadilan tentang penetapan status tersangka Komjen Budi Gunawan tetap diperiksa dipersidangan dan dikabulkan oleh Hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Dikabulkannya permohonan pembatalan penetapan status tersangka tersebut kemudian menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Terutama mengenai pemikiran hakim yang “...menyatakan bahwa lembaga praperadilan berwenang untuk memeriksa keabsahan penetapan status tersangka kepada seseorang yang sedang disidik dalam perkara pidana. Sementara, KUHAP secara tegas, jelas, dan limitatif menentukan apa saja yang menjadi kewenangan praperadilan”.7 Tindakan Hakim Sarpin Rizaldi dalam melakukan penemuan hukum berdampak luas bagi kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. Karena sebenarnya “hakim tidak boleh membuat rumusan baru atau menambah rumusan yang ada yang akan mengakibatkan kewenangan praperadilan menjadi lebih luas daripada apa yang diatur dalam UU. Kalau hakim membuat rumusan baru tentang kewenangan, itu artinya hakim telah melampaui kewenangannya sendiri dalam penemuan hukum”.8 Dihubungkan dengan pendapat H.L.A Hart mengenai konsep hukum, yaitu bahwa hukum merupakan suatu sistem dan sistem hukum dibagi menjadi primary rules dan secondary rules. Primary rules ini menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Ini akan ditemukan dalam seluruh 7
Elwi Danil et. al., 2015, “Hasil Eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN/Jkt.Sel”, Hasil Eksaminasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, h.1. 8
Ibid, h.8.
5
bentuk hukum (forms of law). Sedangkan secondary rules menekankan aturan tentang aturan (rules about rules) yang menjelaskan kapan aturan itu dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rule of change), dan bagaimana serta oleh siapa dapat dikuatkan atau ditegakkan (rules of adjudication). Jika ditelaah lebih jauh, rule of adjudication bersifat lebih efissien, rules of recognition bersifat reduksionis, dan rule of change bersifat kaku.9 Rule of change dikatakan bersifat kaku karena dibatasi mengenai bagaimana dan siapa yang dapat mengubah suatu aturan hukum, menurut Hakim Konstitusi Aswanto “...tidak dimasukkannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak dimasukannya ketentuan tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a bertentangan dengan Konstitusi”.10 Hal ini memperkuat pandangan Hart mengenai ke kakuan rule of change. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya hakim telah melampaui kewenangannya sendiri dalam penemuan hukum dengan menafsirkan rule of change yang bersifat kaku. Kembali pada kewenangan praperadilan, di dalam legislasi di Indonesia tidak
ada pengaturan yang mengatur bahwa pembatalan penetapan status
tersangka adalah bagian dari kewenangan praperadilan, ketentuan tersebut juga tidak tercantum dalam Pasal 77 KUHAP. Maka sebenarnya ketentuan tersebut merupakan norma kosong (leemen van normen). Untuk mengatasi kekosongan
9
H.LA. Hart, 1961, Konsep Hukum, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, h.124-
142. 10
Raden Achmad Zulfikar Fauzi, 2015, “Hakim Sarpin dan Perluasan Objek Praperadilan”, LKHS Universitas Jendral Soedirman, URL: http://lkhs.blogspot.co.id/2015/06/hakim-sarpin-danperluasan-objek.html, diakses tanggal 18 Januari 2015.
6
norma tesebut kedepannya perlu diberlakukan konsep KUHAP yang akan datang, yang mengatur lebih luas mengenai kewenangan hakim komisaris (di dalam KUHAP disebut praperadilan). Mengingat masih terdapat permasalahan pasca dikeluarkannya putusan praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang menerima permohonan Komjen Budi Gunawan untuk membatalkan status tersangka yang ditetapkan oleh KPK terhadapnya, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat skripsi dengan judul, “Analisis Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tentang Pembatalan Status Tersangka”.
1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara praperadilan
Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
yang
pokok
permohonannya tentang pencabutan status tersangka? 2. Bagaimana pembaharuan yang dapat dilakukan kedepannya untuk mengatasi dampak dari perluasan objek praperadilan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Untuk mecegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka perlu diberikan penegasan dan batasan-batasan mengenai
7
ruang lingkup masalah akan diurai nanti. Permasalahan yang dikaji diberikan batasan yang bermaksud menghindari kekaburan dalam mendeskripsikannya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pencarian, penyusunan data dan akan dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk penulisan ilmiah. Ruang lingkup yang akan dibahas adalah penemuan hukum oleh hakim dalam putusan praperadilan tentang pembatalan status tersangka, dengan melakukan analisis terhadap Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel serta bagaimana dampak terhadap praperadilan kedepannya dalam penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh penegak hukum.
1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, penulis menemukan adanya penelitian sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan. Indikator pembeda penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan dengan penelitian penulis disajikan dengan tabel dibawah ini: Tabel 1 : Daftar Penelitian Sejenis
No 1.
Judul Skripsi Sah Penetapan
Penulis
Tidaknya RANDA Status MORGAN
Rumusan Masalah 1. Bagaimana Mekanisme Penetapan
Status
Tersangka oleh Komisi TARIGAN,
Tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Fakultas Hukum
Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang Diajukan Universitas
(KPK)?
Sebagai
Alasan Sumtera Utara, 2. Bagaimana
sah-
8
Praperadilan Dari
Ditinjau Tahun 2015.
Hukum
tidaknya
penetapan
Acara
status tersangka oleh
Indonesia
Komisi Pemberantasan
Terhadap
Korupsi (KPK) yang
Putusan Nomor: 04/Pid.
diajukan sebagai alasan
Prap /2015/ PN.Jkt.Sel
Praperadilan
Pidana
di
(Studi
dari
ditinjau
Hukum
Acara
Pidana di Indonesia?
2.
Tinjauan
terhadap DWI
Praperadilan Upaya Hak dan Tersangka
DEDY 1.
sebagai SISWANTO
Perlindungan AJI,
Fakultas
praperadilan
memberi
kedudukan
dalam Universitas
dalam
Katolik Soegijapranata
eksistensi
perlindungan hak dan
Kedudukan Hukum
Penegakan Hukum
Bagaimana
tersangka penegakan
hukum? 2.
Hambatan
Semarang,
yang
Tahun 2008.
bagaimana
apa
timbul
saja dan
penyelesaiannya?
Berdasarkan tabel diatas, belum terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
9
atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis menyusun skripsi berjudul “Analisis Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tentang Pembatalan Status Tersangka”.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan suatu hasil. Demikian pula halnya dengan setiap penulisan karya ilmiah haruslah menunjukan suatu tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. a. Tujuan umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana penemuan hukum oleh hakim dalam putusan praperadilan tentang pembatalan penetapan tersangka. b. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara praperadilan
Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
yang
pokok
permohonannya tentang pencabutan status tersangka. 2. Untuk mengetahui dampak dari perluasan objek praperadilan dan bagaimana pembaharuan yang dapat dilakukan kedepannya untuk mengatasi dampak tersebut.
10
1.6 Manfaat Penulisan Dalam penelitian ini adapun yang menjadi manfaatnya adalah manfaat secara Teoritis dan Praktis, yaitu sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk menegakkan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan penemuan hukum dan lembaga praperadilan. b. Manfaat Praktis 1. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2. Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang penemuan hukum oleh hakim dalam putusan praperadilan tentang pembatalan status tersangka. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah, untuk memperbaharui Peraturan Perundang-undangan yang lebih tegas lagi demi suatu kepastian hukum dalam masyarakat.
1.7 Landasan Teoritis Sejarah kehadiran lembaga Praperadilan sejatinya muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurut Oemar Seno Adji, konsep ini dihadirkan sebagai mekanisme testing atas sah tidaknya suatu tindakan penangkapan dan penahanan, karena
11
tindakan tersebut merupakan „indruising‟ terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang, sehingga membutuhkan pengujian dari pengadilan.11 Namun pada akhirnya konsep habeas corpus diadopsi dalam KUHAP Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum Praperadilan, yang memiliki kewenangan tidak seluas dan seketat konsep aslinya. Dilihat dari aspek istilah, “Praperadilan” baik antara maksud dan artinya secara harfiah, sangat berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, yang berarti ”Praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (sebelum memeriksa pokok dakwaan Penuntut Umum). Arti Praperadilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus: 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan; 3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan. Landasan teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersumber pada teori-teori sebagai berikut: a. Teori Tujuan Negara Teori tujuan negara adalah mengenai kemana organisasi negara
11
Oemar Seno Adji, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, h.66-67.
12
akan diarahkan oleh penguasa suatu negara tersebut berdasarkan tujuan negara itu sendiri karena tidak ada negara yang tidak memiliki tujuan. M Hutauruk dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan negara ialah negara itu sendiri, negara memelihara dan menyempurnakan diri sendiri. Maka dari itu, kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi warga negara sesuai dengan undang-undang.12 Beberapa ahli berpendapat mengenai teori tujuan negara ini, diantaranya Augustinius sebagai penganut teori teokratis yang menyatakan bahwa “...tujuan negara adalah dihubungkan dengan cita-cita manusia hidup di alam kekal yaitu sesuai dengan yang diinginkan Tuhan”.13 Selanjutnya Shang Yang sebagai penganut teori negara kekuasaan “...menghubungkan tujuan negara dengan mencari kekuasaan semata, sehingga negara itu identik dengan penguasa”.14 Teori tujuan negara yang paling tepat diterapkan untuk menjadi landasan teori dalam hal ini adalah Teori Negara Hukum. Dipilihnya teori ini adalah karena Indonesia telah menyatakan diri sebagai Negara Hukum. Selain itu, “...dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh Negara. Sebaliknya, rakyat berkewajiban pula mematuhi seluruh peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dari negara itu. Penganjur ajaran ini antara lain H. Krabbe dan Immanuel Kant”.15
12
M Hutauruk, 1983, Asas-Asas Ilmu Negara, Erlangga, Jakarta, h.55.
13
Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.50.
14
Ibid.
15
PNH Simanjuntak, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Grasindo, Jakarta, h.4.
13
b. Teori Penemuan Hukum Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lain yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret, artinya penemuan hukum merupakan proses konkretisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).16 Achmad Ali dalam bukunya mengatakan bahwa ada dua teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi dan metode kontruksi.17 Dapat dijelaskan mengenai metode interpretasi hukum atau yang disebut dengan penafsiran hukum, yaitu sebagai berikut: Interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan undangundang yang secara langsung dapat ditetapkan pada kasus konkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Interpretasi terhadap teks peraturan perundang-undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut.18 Metode kontruksi hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:
16
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.4. 17
Achmad Ali, 1993, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, h.167. 18
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta, h.52. 19
Ibid.
14
Kontruksi hukum terjadi, apabila tidak diketemukan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan undang-undang inilah, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengambangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.19
1.8 Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis.20 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan
yang
timbul
di
dalam
gejala
yang
bersangkutan.21 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut:
20
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo, Jakarta, h.44.
21
Ibid, h.38.
22
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14.
15
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah penelitian dari sudut pandang normatif dengan melihat aspek hukum sebagai bangunan sistem norma. Soerjono Soekanto menyatakan, penelitian hukum normatif mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi, vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.22 B. Jenis Pendekatan Penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Pendekatan Kasus (The Cases Approach) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) Pendekatan Sejarah (Historical Approach) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)23
Dalam karya tulis ini, pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (The Statue Approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Kemudian juga menggunakan Pendekatan Kasus (Case Approach) yaitu dengan memperhatikan fakta-fakta dan alasan-alasan hukum apa saja yang dugunakan oleh Hakim sampai dijatuhkan suatu putusan olehnya. Yang terakhir adalah pendeketan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conceptual Approach) yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
23
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. XIX.
16
di dalam ilmu hukum sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Hal tersebut merupakan sandaran untuk membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. C. Sumber Bahan Hukum Penulisan karya tulis ini menggunakan penelitian normatif, sehingga bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer, yaitu suatu sumber hukum yang bersifat autoratif yang artinya mempunya otoritas.24 Bahan hukum primer dalam karya tulis ini terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam: -
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
-
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
-
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
-
Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. Disamping bahan hukum tersebut, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga dapat dijadikan sebagai bahan hukum sekunder
24
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.96.
17
sebagai pelengkap dari bahan hukum primer yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang berupa sumber non-hukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia. D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam karya tulis ini adalah teknik studi dokumen, mengutip secara langsung dari literatur-literatur dan perundang-undangan atau konvensi-konvensi internasional disertai dengan merumuskan intisari dari bahan-bahan pustaka terkait. E. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.25 Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian di analisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.26 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjunya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan argumentasi untuk memberikan
25
Mukti Fajar et al., 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183. 26
Ronny Hanitjo, 1991, Metode Penelitian Hukum Cet. II, Ghalia Indo, Jakarta, h.93.
18
penilaian mengenai benar atau salah maupun apa yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.