BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki tantangan dalam mempertahankan derajat kesehatan, oleh karena disertai pula dengan peningkatan jumlah penyakit-penyakit yang sering diderita oleh kaum lansia. Salah satu penyakit yang berkaitan dengan bertambahnya usia pada laki-laki adalah pembesaran prostate (benign prostatic hyperplasia/BPH). BPH adalah suatu kondisi yang ditandai oleh adanya pembesaran dari kelenjar prostate. BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan yang normal. Sekitar sepertiga dari pria berusia diatas 50 tahun menderita gejala BPH (Dinata, 2010). Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun (Purnomo, 2007). Office of Health Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031. Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun mencapai angka sekitar 43% (Suryawisesa, et. al, 1998). Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa Lower Urineary Tract 1
2
Symptoms (LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah
dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi dan tahap selanjutnya terjadi retensi urinee (Purnomo, 2007). Pemilihan pembedahan TURP (Transurhetral resection of the prostat) atau Transvesical Prostatectomi (TVP) merupakan prosedur yang paling banyak dipakai (± 95 % dari keseluruhan operasi prostat), prostatektomi terbuka baik dengan pendekatan retropubik maupun prostatektomi transvesika dilakukan apabila ukuran prostat cukup besar atau lebih dari 100 gram (Kirby, 1995). Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika. TVP merupakan enukleasi adenoma prostat hiperplasi melalui insisi ekstraperitoneal dan dinding buli bagian anterior bawah (Oesterling, 1998).
Hasil penelitian Lopo (2002)
menyimpulkan bahwa rata-rata penurunan nilai IPSS pasca operasi TVP lebih besar daripada TURP tetapi tidak bermakna. Hellen Diller (2009) menjelaskan bahwa 70 %- 80 %, permasalahan yang timbul pada pasien pasca operasi radical prostatectomy adalah terjadinya incontinensia urine. Jansen (2008) dalam jurnalnya American Urology Association, menjelaskan lebih dari 70 % permasalahan adalah terjadinya incontinensia urine pasca operasi radical prostatectomy. Hal ini terjadi
3
dikarenakan adanya kelemahan destrusor kandung kemih yang diakibatkan adanya perlukaan pasca operasi pasca operasi radical prostatectomy. Pemasangan kateter yang lama menyebabkan penurunan sensitivitas dan kemampuan sfingter uretra untuk mengontrol proses berkemih. Untuk memulihkan kondisi tersebut perlu dilakukan latihan menahan proses berkemih pada saat kateter masih terpasang.
Salah satu upaya untuk
mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik maka dilakukan bladder training. Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan
pola
normal
perkemihan
dengan
menghambat
atau
menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Bladder training efektif untuk mengatasi inkotinensia (Glen, 2003). Olsfaruger (1999) mengatakan bahwa anestesi spinal lebih signifikan menyebabkan retensi urine dibandingkan dengan anestesi umum. 44 % dari pasien pasca pembedahan dengan anestesi spinal memiliki volume kandung kemih lebih 500 ml (retensi urine) dan 54% tidak memiliki gejala distensi kandung kemih
(Lamonerie,
2004).
Hasil
penelitian
Maya
(2008)
menyimpulkan bahwa waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu pasca partum spontan yang mendapat intervensi bladder training sitz bath lebih cepat yaitu terjadi pada waktu 149,68 + 30,32 menit pasca partum dibandingkan
dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu pasca
partum spontan tanpa bladder training sitz bath yaitu pada waktu 255,23 + 71,65 menit pasca partum spontan (p = 0,005 <0,05). Hasil penelitian Warner
4
(2009) mengatakan bahwa retensi urine umum terjadi setelah anestesi dan pembedahan, dengan laporan kejadiannya antara 50% -70%. Kegel Exercise diartikan sebagai penguatan otot Pubococsigeus secara sadar
dengan
melakukan
gerakan
kontraksi
berulang-ulang
untuk
menurunkan incointinence (Memorial Hospital, 2009). Kegel exercise merupakan suatu upaya untuk mencegah suatu timbulnya inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang sebagai menjadi
suatu motor yang bekerja dengan jalan mengubah energy kimia tenaga
mekanik
berupa
kontraksi
dan
pergerakan
untuk
menggerakkan serat otot yang terletak pada interaksi aktin dan myosin. Proses interaksi tersebut diaktifkan oeh ion kalsium dan adenotrifosfat (ATP),yang kemudian dipecah menjadi
adenodifosfat (ADP) untuk
memberikan energy bagi kontraksi otot detrusor (Asikin N, 1984). Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada syaraf otot polos untuk memproduksi asetilkolin dimana asetilkolin akan meningkatkan permeabilitas membrane otot sehingga mengakibatkan kontraksi otot. Energi yang lebih banyak diperoleh dari proses metabolisme dalam mitokondria untuk menghasilkan ATP yang digunakan otot polos pada kandung kemih sebagai energi untuk kontraksi dan akhirnya dapat meningkatkan tonus otot polos kandung kemih (Guyton, 1995). Ramusen (2012)
menyebutkan bahwa kelemahan otot destrusor
kandung kemih akibat adanya perlukaan pasca operasi radical prostectomy.
5
Pelvic Muscle Excercises yang dilakukan selama 2- 3 minggu efektif untuk menguatkan otot dasar penggul. Penelitian Porru, et.al. (2001), di Italy menjelaskan dampak latihan dini Kegel’s exercise setelah pasien menjalani operasi TURP menunjukkan hasil perbaikan kemampuan berkemih. Kemampuan ini ditandai dengan penurunan keluhan dribbling setelah berkemih dan penurunan episode inkontinen urin pasca TURP. Tibek et.al. (2007), mengevaluasi efek pengaruh latihan otot dasar pelvic sebelum pasien menjalani TURP. Pre operative latihan otot dasar pelvic menunjukkan peningkatan yang signifikant terhadap daya tahan otot dasar pelvic pasca TURP, meskipun secara klinik keterkaitan peningkatan status urodinamik pasca TURP tidak ada perbedaan. Pasien yang menjalani
tindakan operasi
akan terpasang Dower
Cateter selama kurang lebih 2 minggu. Pelepasan Dower Cateter dilakukan setelah perlukaan di kandung kemih sembuh, dan mencegah resiko terjadinya perlengketan luka yang dapat menimbulkan terjadinya penutupan uretrhra yang berakibat terjadinya retensi urine pasca operasi (Bruner & sudath, 2002). Akibat pemasangan Dower Cateter yang lama, selain terjadinya ISK, dapat berakibat terjadinya inkontinesia urine. Menurut Morved (2013) tindakan Bladder training dan latihan Muscle Pelvic Exercise efektif dilakukan pencegahan inkotinesia pada wanita hamil dan habis melahirkan. Pasien yang telah menjalani operasi TVP di RS PKU Muhammadiyah Gombong wajib melakukan kontrol minimal 1 kali untuk melakukan pelepasan DC. Tindakan operasi, memungkinkan sekali munculnya masalah
6
kesehatan diantaranya perubahan pola eliminasi BAK. Peran perawat dalam hal ini, membantu klien dalam memenuhi kebutuhan pre dan pasca operasi. Setiap pasien yang telah menjalani operasi TVP dilakukan bladder training. Standar operasional prosedur bladder training belum ada, sehingga setiap pasien mendapatkan bladder training yang berbeda-beda tergantung dari perawat
yang
menangani.
Bladder
training
sangat
penting
untuk
meningkatkan fungsi eliminasi berkemih pasien, jika pasien pulang dari rumah sakit tanpa mendapatkan pelatihan bladder training yang benar maka pasien akan kebingungan ketika melakukan eliminasi berkemih. Pasien biasanya menggunakan three way catheter (kateter tiga cabang), sehingga pada waktu memberikan pengarahan pada pasien, perawat perlu melibatkan keluarga. Berdasarkan hal tersebut mendorong peneliti untuk meneliti efektivitas bladder training, muscle pelvic execise dan kombinasi ke 2 nya dalam memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy.
B. Rumusan Masalah Bladder training merupakan prosedur untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. Setiap pasien prostat yang dilakukan tindakan Trans Vesica Prostatectomy
di RS Gombong wajib diberikan
bladder training. Bladder training yang dilakukan pada pasien prostat yang dilakukan tindakan Trans Vesica Prostatectomy di RS PKU Muhammadiyah Gombong belum menggunakan SPO yang baku.
7
Berdasarkan
uraian
pada
latar
belakang
dapat
dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah bladder training efektif memperbaiki
fungsi eliminasi berkemih pada pasien Benigna Prostate
Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy, 2) Apakah muscle pelvic exercise efektif memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy, 3) Apakah kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise lebih efektif memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui efektivitas bladder training dan muscle pelvic exercise dalam memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui fungsi eliminasi berkemih yang diterapi dengan bladder training pada pasien pasca Benigna Prostate \ b. Untuk mengetahui fungsi eliminasi berkemih yang diterapi dengan muscle pelvic exercise pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy
8
c. Untuk mengetahui fungsi eliminasi berkemih yang diterapi dengan kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise pada pasien pasca Benigna Prostate Hyperlasy operasi Trans Vesica Prostatectomy. d. Untuk mengetahui perbedaan fungsi eliminasi berkemih antara yang diterapi dengan bladder training, muscle pelvic exercise serta kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise pada pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Fakultas Hasil penelitian dapat dijadikan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan topik yang berkaitan dengan pelaksanaan bladder training untuk mengembalikan fungsi eliminasi berkemih pasien Benigna Prostate Hyperlasy pasca operasi. 2. Bagi Instansi Dapat dijadikan bahan masukan bagi Rumah Sakit dalam pembinaan dan pengembangan tenaga keperawatan dalam melakukan bladder training pada pasien pasca Benigna Prostate Hyperlasy operasi Trans Vesica Prostatectomy
untuk
meningkatkan
kemampuan
fungsi
eliminasi
berkemih. 3. Bagi Penulis Untuk menerapkan pengetahuan teori ke dalam praktek dan pengalaman dalam melakukan penelitian di bidang keperawatan.
9
E. Penelitian Terkait Penelitian yang relevan dengan penelitian ini sebagai berikut: 1. Maya. (2008). Efektivitas Bladder training Sitz Bath Terhadap Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan Pada Ibu Pasca Partum Spontan Di RSUP. H. Adam Malik – RSUD. Dr. Pirngadi medan dan RS. Jejaring”. Rancangan penelitian quasi eksperimental. Populasi penelitian adalah seluruh ibu pasca partum spontan yang dirawat di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP.H. Adam Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan RSU. Sundari. Sampel penelitian sebanyak 22 orang pada kelompok intervensi dan 22 orang pada kelompok tanpa intervensi, diambil dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu pasca partum spontan yang mendapat intervensi bladder training sitz bath lebih cepat yaitu terjadi pada waktu 149,68 + 30,32 menit pasca partum dibandingkan dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu pasca partum spontan tanpa bladder training sitz bath yaitu pada waktu 255,23 + 71,65 menit pasca partum spontan (p = 0,005 <0,05). Volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada ibu pasca partum spontan yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath lebih banyak (227,95 + 28,97 ml) dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa intervensi (219,32 + 90,70 ml) (p = 0,001 <0,05). Terdapat perbedaan bermakna pada volume urin pada waktu pengamatan <120 menit antara kedua kelompok (p=0,035 <0,005).
10
Persamaan dengan penelitian ini yaitu meneliti pengaruh bladder training terhadap fungsi eliminasi berkemih. Adapun perbedaannya adalah pasien yang diteliti dan intervensi yang tidak hanya menggunakan bladder training. Pasien yang diteliti dalam penelitian ini adalah pasien pasca operasi Trans Vesica Prostatectomy. Adapun intervensinya meliputi bladder training, muscle pelvic exercise serta kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise. 2. Lopo (2002) berjudul “Perbandingan Penurunan Nilai International Prostate Symptom Scores (IPSS) Pasca Transvesical Prostatectomi (TVP) Dan Transurfthral Resection Of The Prostate (TURP) Pada Penderita Prostat Heperplasia”. Penelitian dilakukan secara prospektif dengan kohort. Penderita prostat hiperplasia dengan nilai IPSS sedang atau berat yang dilakukan operasi TVP atau TURR. Data nilai IPSS diambil dengan cara pengisian kuesioner. Perbandingan rata-rata penurunan nilai IPSS pasca TVP dan pasca TURP dihitung dengan menggunakan uji-t. Kesimpulan penelitian yaitu rata-rata penurunan nilai IPSS pasca operasi TVP lebih besar daripada TURP tetapi tidak bermakna. Rata-rata peningkatan QOL pasca TVP sama dengan pasca TURP. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada sasaran penelitian adalah pasien BPH yang menjalani operasi Transvesical Prostatectomi. Adapun perbedaannya adalah pada jenis penelitian yaitu penelitian kuasi eksperimen dengan intervensinya meliputi bladder training, muscle pelvic
11
exercise serta kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise. Selain itu, variabel yang diteliti adalah fungsi eliminasi berkemih. 3. Kartika dan Wahyu (2011) berjudul ”Studi Deskriptif Volume Urine 24 Jam Pada Ibu Hamil”. Jenis penelitian kuantitatif menggunakan metode pendekatan deskriptif. Pengumpulan data dengan lembar observasi. Jumlah responden 51 orang dengan teknik accidental sampling. Hasil dari penelitian menunjukkan responden yang memiliki volume urine > 1600 ml pada trimester 1 yaitu 4 orang (7,8%), trimester 2 ada 18 orang (35,3%), trimester 3 ada 12 orang (23,5%) dan responden yang memiliki volume urine > 1500 ml pada trimester 1 yaitu 4 orang (7,8%), trimester 2 sebanyak 8 orang (15,7%), trimester 3 sebanyak 3 orang (5,9%). Responden yang memiliki volume urine kisaran 1500 – 1600 ml pada trimester 1 sebanyak 1 orang (2,0%) dan trimester 2 sebanyak 1 orang (2,0%). Terdapat 36 responden mengalami peningkatan volume urine dari batas normal volume urine orang dewasa sekitar 1500-1600 ml. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada meneliti fungsi eliminasi berkemih. Adapun perbedaannya adalah pada sasaran penelitian yaitu pasien BPH dan jenis penelitian yaitu penelitian kuasi eksperimen dengan intervensinya meliputi bladder training, muscle pelvic exercise serta kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise. 4. Penelitian Zetri (2011) berjudul ”Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan Kandung Kemih Pasca Pembedahan Dengan Anestesi Spinal Di Irna B (Bedah Umum)
RSUP Dr M Djamil Padang
Tahun 2011”.
12
Penelitian bersifat pre-eksperimental dengan menggunakan “static group comparison” dengan jumlah responden sebanyak 20 orang, diambil secara quota sampling yaitu 10 orang kelompok eksperimen dan 10 orang kelompok kontrol. Kesimpulan penelitian ada pengaruh mobilisasi dini terhadap pemulihan kandung kemih pasca pembedahan dengan anestesi spinal (p value= 0,005). Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah samasama meneliti fungsi eleminiasi berkemih. Adapun perbedaannya adalah pada sasaran penelitian yaitu pasien BPH dan jenis penelitian yaitu penelitian kuasi eksperimen dengan intervensinya meliputi bladder training, muscle pelvic exercise serta kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise. .