BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1.1.1. Sang Pemburu Program acara Sang Pemburu ditayangkan di Lativi setiap hari Rabu, hari Jumat dan setiap hari Minggu, masing-masing pada pukul 21.00 WIB. Dalam acara tersebut ditampilkan beberapa orang Kiai yang berjuang untuk melakukan perburuan atau penangkapan mahluk gaib yang mengganggu kehidupan manusia. Pada awalnya mereka mencari rumah-rumah ataupun bangunan yang disinyalir ditempati oleh mahluk gaib pengganggu. Setelah itu mereka akan melakukan ritual penangkapan dengan menggunakan doa-doa tradisi Islam.
Para Kiai
tersebut akan menyisir ruangan-ruangan yang telah dideteksi sebagai ruangan yang angker.
Selanjutnya mereka akan
mengejar dan bertarung melawan
mahluk-mahluk gaib tersebut. Proses itu memakan waktu yang lama bisa hingga satu hari. Mahluk gaib yang ditangkap dimasukkan ke dalam kendi.1 Kemudian lobang Kendi tersebut disumbat dan diberi mantra-mantra agar mahluk gaib yang dimasukkan ke dalamnya tidak dapat keluar. Selanjutnya seorang Kiai akan meminta seorang penonton yang hadir untuk dijadikan medium. Seorang medium akan menjadi jasad sementara bagi mahluk gaib agar dapat berkomunikasi dengan manusia secara normal.
Jadi setelah
seorang medium itu kerasukan maka para Kiai akan memulai percakapan dengan 1
Kendi adalah tempat air yang terbuat dari tanah liat. Biasanya dipakai orang Jawa untuk menyimpan air minum.
mahluk gaib tersebut. Pada intinya mereka meminta mahluk tersebut untuk tidak mengganggu manusia lagi.
Setelah melakukan pembersihan rumah dari
kekuasaan mahluk gaib maka para Kiai membuat semacam pagar gaib agar mahluk-mahluk tersebut tidak dapat kembali lagi ke tempat itu. Selama proses perburuan seringkali terjadi beberapa orang yang tengah menonton mengalami kerasukan dengan berbagai manifestasi. Ada yang mengamuk, menjerit-jerit, menerobos pintu kaca, menyerang para Santri, meraung-raung seperti binatang dan lain sebagainya.2 Selanjutnya para Kiai akan berjuang untuk melepaskan orang itu dari mahluk gaib yang merasukinya. Kadangkala mahluk itu juga menyerang para Kiai sehingga mereka harus bekerja sama untuk saling melepaskan diri.
Selama proses perburuan seorang Kiai
dengan mata tertutup melukis sosok mahluk gaib yang sedang diburu. Hasil lukisan wujud maluk gaib itu selanjutnya dikonfirmasikan kebenarannya kepada mahluk gaibnya sendiri yang tinggal dalam tubuh medium atau juga kepada orang yang melihat penampakannya. Seringkali lukisan tersebut dibenarkan sebagai wujud dari mahluk gaib yang menunggu tempat tersebut. Acara ini kemudian ditutup dengan doa bersama dalam tradisi agama Islam. Kemudian seorang kiai akan memberikan kotbah singkat kepada para pemirsa berkaitan dengan perburuan mahluk gaib.
2
Lihat Sang pemburu di Lativi pada hari Rabu, tanggal 3 Mei 2006, pada pukul 21.30-22.30 ; lihat juga penayangannya pada hari Rabu, 14 Juni 2006 pukul 21.00 WIB.
2
1.1.2. Wacana Teologis Berkaitan Dengan Mahluk Gaib Pada bagian ini hendak diuraikan sikap teologi dari beberapa tradisi keagamaan berkaitan dengan fenomena mahluk gaib. Sikap-sikap tersebut selanjutnya diperbandingkan dan didialogkan satu dengan yang lainnya. Melalui usaha ini maka akan dapat diungkap permasalahan teologis berkaitan dengan fenomena tersebut.
1.1.2.1. Sikap Teologi Islam Setelah acara Sang Pemburu berakhir Seorang ustad mengatakan bahwa manusia yang akal, hati, dan akhlaknya lemah akan mudah dirasuki oleh mahluk gaib.3 Oleh karena itu manusia harus memperkuat hati, dan pikirannya dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Umat beriman harus menjalankan serta menjaga aqidah (pengertian tentang ajaran), ibadah, istiqomah (melakukan ibadah secara konsisten/rutin), dan aqlaknya (pemikiran).4
Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang kerasukan mahluk gaib adalah seseorang yang lemah imannya.5
Namun kenyataannya mahluk gaib dapat dengan sengaja
dimasukkan ke dalam raga setiap orang baik orang itu beriman atau tidak beriman.
Hal tersebut dapat disaksikan melalui proses mediumisasi yang
dilakukan dalam acara Sang Pemburu. Dalam proses tersebut presenter membuka
3
Lihat Sang pemburu di Lativi pada hari Rabu, tanggal 3 Mei 2006, pada pukul 21.30-22.30. lihat Sang Pemburu di Lativi pada hari Rabu, 14 Juni 2006 pukul 21.00 WIB. 5 Senada juga dengan pendapat Al Hafizh Ibnu Hajar bahwa kerasukan bisa terjadi karena gangguan Jin. Biasanya terjadi kepada orang-orang yang jiwanya kotor. Dikutip dalam Wahid Abdus Salam Bali, Kerasukan Jin Dan Cara pengobatannya Secara Islami, (Jakarta; Robbani Press, 1995) hal.81 4
3
peluang bagi setiap orang yang hadir untuk dengan sukarela bersedia menjadi seorang medium. Diantara tradisi Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan orang yang kerasukan. Misalkan saja kerasukan yang terjadi pada tarian Jathilan dalam tradisi masyarakat Jawa.
Pihak Santri yang tidak mempermasalahkan
kerasukan dalam tradisi tersebut menyatakan bahwa ketika memainkan tarian Jathilan sang Penari merasakan seperti dalam mimpi sedang menaiki kuda. Sensasi tersebut dirasakan seperti sebuah kenyataan. Selajutnya Ia merasa senang dan dapat melepaskan semua emosi, serta merasa seperti melayang bersama dengan ritme musik.6 Sebaliknya pihak Santri menolak kerasukan dalam tarian Jathilan karena anggapan bahwa kerasukan tersebut berarti membiarkan manusia dibawah pengendalian Setan.7 Islam memandang Mahluk gaib maupun manusia sengaja diciptakan Allah untuk beribadah kepadaNya.8 Dalam arti ini mahluk gaib tidak selalu dianggap sebagai musuh manusia namun sebagai sesama ciptaan Allah. Clifford Geertz mencatat bahwa terdapat kepercayaan berkaitan dengan mahluk gaib golongan Santri yang melewatkan waktunya dengan bersembahyang dan memikirkan caracara untuk mempersulit orang yang tidak beriman.9 Mahluk gaib (Jin Santri) seperti itu dapat dinilai sebagai mahluk yang mengabdi kepada Allah dan mempunyai kehendak baik untuk membawa manusia hidup taat dan setia kepada
6
Walter L. Williams, Mozaik Kehidupan Orang Jawa, Wanita Dan pria Dalam Masyarakat Indonesia Modern.(Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995)hal.140 7 Ibid. 8 Lihat Sang Pemburu di Lativi pada hari jumat, 16 Juni 2006 pukul 21.00 WIB. 9 C. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981) hal. 36
4
kehendakNya.10 Sebaliknya bagi mahluk gaib yang jahat --mahluk gaib yang senang mengganggu manusia-- harus diusir atau diperangi. Dalam Islam manusia dapat mengusir mahluk gaib dengan kekuatan Allah karena dihadapan Allah manusia dipandang sebagai mahluk yang paling mulia.11 Namun untuk dapat mengusir mahluk gaib seseorang harus terlebih dahulu memperkuat imannya kepada Allah.
1.1.2.2. Sikap Teologi Gereja Katolik Pada abad pertengahan di Inggris telah tersebar luas kepercayaan bahwa orang mati kadang-kadang datang untuk menghantui orang yang hidup. Atau sebaliknya berkembang cerita-cerita mengenai orang-orang hidup yang mampu mendatangi hantu-hantu.12 Selanjutnya terdapat juga cerita-cerita tentang hantu yang keluar dari Api Penyucian kemudian mengunjungi Imam untuk pengampunan karena selama hidup mereka pernah mencuri peralatan gereja sehingga ia mengalami dirinya terkutuk.
Dengan pengampunan tersebut ia
berharap dapat terhindar dari penderitaan dalam dunia setelah kematian.13 Menanggapi fenomena cerita semacam itu maka gereja Katolik mengadakan praktek
ritual
pengusiran
hantu
dirumah-rumah.14
Selanjutnya
mereka
merasionalisasikan kepercayaan tersebut dengan mengajarkan bahwa hantu akan
10
Lihat Asy-Syaikh Badruddin Bin Abdullah Asy-Syibli, Keajaiban Jin Menurut Al-Quran Dan Al-Hadits, (Semarang: CV Toha Putra, 1985)hal.54 dikatakan bahwa syetan yang membuntuti Rasul masuk Islam dan mendorongnya berbuat baik. 11 lihat Sang Pemburu di Lativi pada hari Rabu, 14 Juni 2006 pukul 21.00 WIB. 12 Thomas Keith, Religion And The Decline of magic (New York: Charles Scribher’s Sons, 1971) hal.587 13 Ibid.hal.596-597 14 Ibid.hal.590
5
terus menderita siksaan dalam Api Penyucian hingga dimurnikan dosanya.15 Lalu berkembanglah cerita-cerita tentang tentang-tempat Penyucian yang digambarkan seperti padang gurun yang luas dimana orang-orang yang berbuat kasih kepada orang miskin selama hidupnya akan diberi kemudahan dalam melewati gurun tersebut. Sebaliknya orang yang tidak berbuat kasih akan disiksa ketika melewati gurun Penyucian yang sangat luas itu.16 Tradisi Katolik berpendapat bahwa jiwa orang mati yang jelas dikutuk atau diberkati tidak akan kembali lagi ke dunia namun orang yang dibuang ke dalam tempat Penyucian dapat dikirim lagi kedunia untuk tujuan tertentu.17 Keith tidak memberikan penjelasan yang pasti tentang kriteria orang-orang yang harus masuk ke dalam tempat Penyucian karena --seperti yang telah dipaparkan-- orang baik akan dipermudah dan orang jahat akan disiksa terlebih dahulu. Secara implisit pernyataan Keith itu dapat disimpulkan bahwa jiwa orang akan langsung ke neraka kalau dosanya terlalu besar sebaliknya akan langsung ke sorga apabila selama hidupnya ia bertingkah laku sangat baik. Dengan demikian orang-orang tersebut tidak akan melalui tempat Penyucian. Jadi tempat Penyucian hanya disediakan bagi orang-orang yang mempunyai taraf kejahatan atau kebaikan sedang-sedang saja. Menurut Keith pengajaran gereja Katolik tentang tempat Penyucian mempunyai peran dalam mendorong seseorang untuk berlaku kasih.18 Namun efektifitas peran tersebut mendasarkan diri kepada perasaan takut seseorang agar melakukan hal yang baik semasa masih hidup didunia.
15
Ibid. hal.587 Ibid.hal.600 17 Ibid.hal.589 18 Ibid. 16
6
Gereja Katolik pada abad pertengahan juga memberikan pengajaran bahwa Allah akan membiarkan jiwa tetap hidup dalam api Penyucian jika tidak banyak orang yang berdoa untuk mereka. Dengan demikian masih ada kesempatan bagi orang-orang yang hidup untuk menyelamatkan saudara-saudaranya yang telah mati agar tidak melewati tempat Penyucian atau sekurang-kurangnya tidak terlalu lama berjalan dalam tempat Penyucian yang membuat orang menderita yaitu dengan cara berdoa senantiasa bagi keselamatan mereka. Gereja Katolik pada saat ini telah mempunyai sikap yang tegas berkaitan dengan mahluk gaib. Hal tersebut dinyatakan dalam dokumen katekismus gereja yang menolak segala keterkaitan umat beriman
dengan mahluk gaib dalam
berbagai bentuknya. Yaitu seperti misalnya melarang umat berhubungan dengan peramalan, meminta bantuan Iblis atau Setan, pemanggilan Arwah, proses mediumisasi, dan proses pemanfaatan praktek magis atau sihir. Segala hal tersebut dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan kultus yang seharusnya diberikan kepada Allah dan dianggap sebagai penyembahan berhala.19 Go Piet menyatakan meski telah mempunyai aturan yang resmi namun Ia merasa gereja Katolik masih terkesan kurang tegas (dibanding Protestan). Ia mensinyalir kemungkinan tersebut terjadi karena penghargaan terhadap religiositas rakyat yang dangkal berhimpitan dengan ketakhayulan, semangat misioner dan kesediaan dalam proses misi dengan segala bentuknya seperti
19
Dokumen katekismus gereja Katolik nomor 2116, 2117,2138 dikutip dari artikel Piet Go, “Sorotan Moral teologis Dan Pastoral Atas Praktek-Praktek ‘Luar biasa’, dalam buku Dwijo Atoko & Donatus Sermada(ed.), Alam Gaib Budaya Dan Iman, (Malang: STFT Widya Sasana 2002) hal.184-185
7
adaptasi, akomodasi, indigenisasi, inkulturasi, atau kontekstualisasi.20 Selain itu memang diakui sikap dari para Imam sendiri berbeda-beda berkaitan dengan fenomena gaib. Sebagai contoh Romo Kuntara yang membuka praktek dalam melayani upacara-upacara adat Jawa dan juga penyembuhan-penyembuhan yang terkadang terkait dengan Roh orang mati.21 Sedangkan berkaitan dengan pengusiran Setan Pranyana berpendapat bahwa praktek pengusiran Setan yang dilakukan oleh dukun berbahaya karena korban tetap akan dikuasai oleh Setan. Prayana menganggap bahwa dalam pelepasan tersebut yang terjadi adalah Roh yang tidak begitu kuat akan dikuasai oleh Roh yang kuat.22 Lebih lanjut Ia juga berpendapat bahwa orang dikuasai Setan oleh karena ia membuka diri kepada Dosa.23 Dengan demikian agar seseorang hidup tidak dikuasai Setan maka Ia harus membiarkan hidupnya untuk dikuasai oleh Allah.24
1.1.2.3. Sikap Teologi Gereja Protestan Pada jaman Reformasi para Reformator menolak kepercayaan terhadap tempat Penyucian. Mereka menegaskan bahwa semua orang di proses dalam surga atau neraka setelah kematiannya. kedunianya.
Mereka tidak dapat kembali lagi
Sebenarnya pendapat ini tidak hendak mengingkari kemunculan
20
Ibid.hal.185 Ibid. hal.35-36 Misalnya ada seorang umat bertanya mengapa anaknya tidak bisa berjalan padahal sudah lewat waktunya. Kemudian Romo Kuntara menganjurkannya untuk membawa anak tersebut ke makam kakeknya, karena sang Kakek hendak melihat cucu. Setelah melakukan nasehat tersebut seminggu kemudian anak tersebut bisa berjalan. 22 Stefanus Pranyana, Setan Menurut Orang Katolik, Perspektif PB. (Yogyakarta: Kanisius, 2005)hal.190 23 Ibid.hal.194 24 Ibid.hal.192 21
8
hantu namun lebih untuk menyatakan bahwa hantu bukan berasal dari jiwa orang mati.25
Tradisi Protestan mengatakan bahwa hantu merupakan Setan yang
merubah bentuk dalam wujud manusia.26 Oleh karena itu maka gereja Protestan menolak praktek doa dan juga ibadah bagi orang mati.27 Mereka percaya bahwa sesudah mati orang tidak bisa merubah nasibnya meskipun banyak orang mendoakannnya. Gereja Protestan memandang Setan sebagai musuh utama yang harus diperangi karena Setan selalu berusaha memberontak melawan Allah.
Setan
dipahami sebagai sumber dari segala kejahatan.28 Oleh karena itu orang percaya harus senantiasa waspada terhadap serangan Setan. Namun disisi lain gereja meyakini bahwa orang percaya yang telah menjadi milik Kristus tidak bisa menjadi milik Setan.
Oleh karena itu orang percaya tidak bisa mengalami
kerasukan Setan. Bahkan orang percaya dimampukan untuk mengusir Setan.29 Gereja Protestan memandang pengusiran Setan diantara bangsa-bangsa adalah tipu muslihat Setan untuk menaklukkan orang-orang dibawah kuasanya. Jadi dalam pengusiran itu Setan yang lebih kuat mengusir Setan yang lebih lemah. Kemungkinan Setan yang telah diusir akan kembali dan merongrong orang itu dengan lebih ganas lagi.30
25
Thomas Keith, Religion And …Ibid.hal.588 Ibid.hal.590 27 Ibid.hal.602 28 Iblis Sudah Keok, Spiritisme, pemujaan Kepada Roh, Okultisme, Kekuatan Gaib, Kerasukan Setan, Realitas masa Kini. (Ditulis dalam kerjasama dengan Badan Pengurus Misi Luar Negeri Reformed Presbyterian Church, Irlandia)hal.22 29 Ibid.hal.32-33 30 Ibid. hal.98 26
9
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah salah satu contoh gereja Protestan beraliran calvinis yang sangat menentang upacara pemanggilan Arwah orang mati. Bagi mereka orang yang bergabung dengan gereja harus melepaskan diri dari perlindungan dan pimpinan Roh-Roh yang lain.
Mereka juga
berkeyakinan bahwa orang-orang yang melakukan pemanggilan Arwah tidak akan mendapat tempat di dalam surga ketika mati.31
1.1.2.4. Sikap Teologi Golongan Karismatik Kristen Karismatik yang dimaksud yaitu kekristenan yang menekankan pengajaran tentang karunia-karunia mukjijat yang berasal dari Roh Allah.32 Kristen Karismatik melihat mahluk gaib sebagai Setan yang pada permulaannya adalah malaikat yang jatuh ke dalam dosa.33 Oleh karena itu setiap mahluk gaib di luar kategori malaikat dan Allah dianggap sebagai musuh orang Kristen. Ia harus dijauhi dan diusir keberadaannya. Dalam hal ini orang Kristen diharapkan untuk senantiasa waspada terhadap serangan Iblis karena mereka meyakini bahwa orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya kepada Yesus sebagai Tuhan akan menjadi target utama dari serangan Iblis.34 Bentuk-bentuk serangan Iblis tidak selalu berupa kerasukan Setan namun dapat juga berupa kebobrokan moral dan
31 Mary Margaret Steedly, Hanging Without a Rope, Narrative Experience In Colonial And Postcolonial Karolan. (New Jersey: Princeton University Press, 1993)hal.228 32 Bandingkan dengan penjelasan Andar Ismail tentang kata karismatik yang berasal dari kata karis berarti Anugerah atau hadiah. Andar menjelaskan bahwa secara khusus Allah telah menganugerahi RohNya yang membuat kita percaya. Dalam hal ini Roh Tuhan bekerja dengan berbagai cara, sebab itu Tuhan memberi berbagai karismata (bentuk jamak dari karis) kepada manusia. Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000)hal.6 33 Daud Tony, Dunia Roh, Penyingkapan Misteri Sihir Alam Gaib dan Dunia Orang Mati. (Bethlehem Publisher, 2002) hal.47 34 Timotius Arifin, Perang Roh, Cara Mengalahkan Iblis.(Betlehem Publisher, 2002)hal.3-4
10
seks bebas.35 Bahkan boneka anak-anak juga harus diwaspadai karena dipercaya sebagai miniatur dari Iblis. Melalui boneka tersebut Roh Jahat akan memasuki jiwa anak-anak.36 Peristiwa kerasukan mahluk gaib akan mengidentifikasikan bahwa orang yang sedang kerasukan adalah orang yang tidak beriman atau orang yang lemah imannya. Orang tersebut diyakini masih menjalankan kehidupan yang penuh dengan dosa.37 Sedangkan orang Kristen yang kuat imannya yaitu orang Kristen yang sungguh-sungguh hidup dalam pertobatan akan kebal terhadap segala bentuk santet (tenung). Ia juga tidak dapat dirasuki Iblis atau Setan karena Roh Kudus senantiasa melindunginya.38 Bahkan setiap orang Kristen yang hidupnya dalam pertobatan dipercaya mendapat kuasa untuk mengusir Setan.39 Kristen Karismatik juga menolak segala bentuk pemanggilan Arwah ataupun Roh-Roh mahluk gaib entah secara langsung maupun melalui media manusia (mediumisasi). Bagi mereka perbuatan semacam itu berarti membuka diri kepada Setan dan dianggap sebagai dosa yang fatal.40
1.1.3. Wacana Antropologi Dalam buku Mary Margaret Steedly yang berjudul Hanging Without a Rope digambarkan kepercayaan masyarakat Karo bahwa orang mati dan orang hidup
35
Ibid.hal.46 Ibid.hal.54 37 Daud Tony, Dunia Roh, Penyingkapan Misteri Sihir… Ibid.hal.62 38 Ibid.hal.63 dan hal.65 39 Daud Tony, Dunia Roh Jahat, Pelayanan Pelepasan Dari Kutuk Dan Roh Jahat. (Betlehem Publisher, 2002)hal.19. Keyakinan ini didasarkan pada kitab Markus 16:15-20, yaitu menyatakan bahwa orang-orang yang percaya akan diberi tanda untuk dapat mengusir Setan dalam nama Yesus. 40 Daud Tony, Dunia Roh, Penyingkapan Misteri Sihir… Ibid.hal.62 36
11
masih dapat saling berhubungan. Orang yang telah mati biasanya melindungi orang yang hidup. Namun hubungan mereka tidaklah berlebihan karena masih ada jarak yang jelas antara orang yang hidup dan orang yang mati. Oleh karena itu perlu menyelenggarakan upacara pemakaman bagi orang mati untuk memisahkan hubungan antara orang yang hidup dan yang mati.41 Jika upacara tidak diadakan maka hubungan antara orang yang hidup dan yang mati akan menjadi kacau. Dan hal tersebut akan berbahaya bagi orang yang hidup. Dalam buku tersebut juga dikisahkan seorang perempuan Karo beragama Kristen berusaha untuk mengadakan upacara pemanggilan Roh melalui medium. Memang awalnya gereja (GBKP) sangat menentang usahanya namun akhirnya mengijinkannya juga setelah perempuan tersebut berjanji untuk melakukannya sebagai yang terakhir kali.
Perempuan tersebut hendak mengetahui keadaan
suaminya yang hilang. Diduga suaminya telah dibunuh karena diketahui telah menjadi
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam upacara itu Roh
suaminya datang melalui seorang medium dan menceritakan kematiannya. Setelah itu ia memberikan banyak nasehat agar anak-anaknya dan juga keluarganya yang lain memperhatikan dan menjalin hubungan yang baik dengan istrinya.42 Gerrit Singgih mencoba menyimpulkan dan menanggapi tulisan Steedly dalam
perspektif feminis.
Ia berpendapat bahwa peristiwa kerasukan dapat
berfungsi untuk menyuarakan suara orang-orang yang tertindas di tengah situasi
41 42
Mary M. Steedly, Hanging Without a Rope,..hal 228 Ibid.hal.235
12
kekuasaan yang sangat represif.43 Misalnya menyuarakan suara perempuan di tengah budaya patriakhi yang dominan, khususnya dalam masyarakat Karo dimana perempuan boleh berbicara justru sebagai medium. Selain itu juga untuk menyuarakan ketertindasan orang-orang yang dibunuh pada jaman Orde Baru. Namun di pihak lain peristiwa kerasukan dapat juga dipakai oleh pihak penguasa untuk menyalahkan pihak lainnya sekaligus mendukung kepentingannya sendiri.44
1.1.4. Lalu Apa Masalahnya ? Secara umum baik tradisi Islam, Kristen, dan Katolik mempunyai pendapat yang sama berkaitan dengan orang yang kerasukan Setan. Tradisi-tradisi tersebut menganggap kerasukan Setan disebabkan oleh karena iman seseorang dalam keadaan lemah. Oleh karena itu agar seseorang tidak dapat dirasuki oleh Setan maka ia harus mempertebal imannya. Artinya dalam hal ini kerasukan Setan dipandang sebagai sesuatu yang negatif karena kekuatan luar itu dianggap jahat dan harus diusir.45 Selain itu baik ajaran Islam secara umum maupun ajaran resmi gereja Katolik, gereja Protestan, serta gereja Karismatik menolak segala praktekpraktek ritual yang berkaitan dengan mahluk gaib.
Mereka menolak proses
mediumisasi dan menolak pengusiran Setan yang dilakukan oleh pihak lain di luar tradisinya sendiri. Padahal di sisi lain, menurut Gerrit Singgih, kerasukan Setan
43
Seperti juga yang dikatakan Steedly, Mary Margaret Steedly, Hanging Without a Rope, …hal.132-133 lihat juga tinjauan buku Hanging Without a Rope, Narrative Experience In Colonial And Postcolonial Karoland… oleh Gerrit Singgih hal.8 44 Lihat Tinjauan buku Hanging Without a Rope,…Oleh Gerrit Singgih. Hal.8 45 Secara khusus pendapat ini diyakini oleh pihak gereja, seperti yang telah diuraikan oleh Hans Holzer, Ghosts Hauntings And Possessions, Kumpulan Kisah Terbaik Tentang Peristiwa Penampakan Dan Kerasukan.(Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 1990) hal.199
13
pada peristiwa mediumisasi dalam tradisi masyarakat Karo dapat dilihat sebagai sebuah pembebasan di tengah-tengah situasi yang represif. Jika meminjam paradigma Niebuhr maka pandangan teologi gereja yang semacam itu dapat digolongkan ke dalam pendekatan Kristus Yang Melawan Budaya. Dengan pendekatan ini orang Kristen hanya dapat setia terhadap otoritas Kristus saja dan harus menolak kesetiaan terhadap budaya.46 Hal itu dikarenakan pandangan, seperti yang diyakini Tertulianus, bahwa budaya telah berdosa.47 Menurut Niebuhr pandangan semacam ini akan mengakibatkan terbentuknya kekristenan ekslusif yang mengaburkan hubungan antara Yesus Kristus dengan alam sekaligus dengan pencipta alam. Akibat selanjutnya yaitu hubungan dengan Kristus yang historis juga akan menjadi terabaikan.48 Namun praktek-praktek yang dilakukan oleh Romo Kuntara, seorang romo Katolik, dapat dikategorikan dalam pendekatan Kristus Mengatasi Budaya. Dalam kategori ini kehendak atau hukum Allah diyakini terkandung dalam struktur ciptaan.49 Dengan demikian dunia dan kebudayaan tidak sama sekali jahat dan tidak bertentangan dengan Kristus.50 Orang Kristen dapat menemukan kehendak Allah dalam budaya.
Hubungan antara kekristenan dan budaya
semacam ini mempunyai dampak positif yaitu orang Kristen dapat membangun kerjasama dengan orang non Kristen bagi pembangunan dunia. Namun demikian orang Kristen harus tetap menjaga perbedaan hidup di antara hubungannya 46
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture. (New York: Harper Torchbooks, 1956) hal.45 Ibid.hal.52 48 Ibid.hal.81 49 Ibid.hal.145 50 Lihat juga uraian tentang teori Niehbuhr oleh Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Dasar Theologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)hal.191 47
14
dengan orang non Kristen.51 Jadi kepercayaan populer terhadap mahluk gaib dapat dipandang secara positif yaitu mengandung nilai-nilai kehendak Allah. Dengan demikian kepercayaan semacam itu tidak serta merta ditolak karena memiliki nilai positif di dalamnya.
Niebuhr melihat permasalahan dalam
pendekatan ini. Menurutnya pendekatan Kristus Mengatasi Budaya tidak dapat mengatasi unsur jahat atau dosa yang hadir dalam semua karya manusia.52 Dengan kata lain Niebuhr memandang pendekatan ini kurang kritis dalam melihat dosa yang terdapat dalam setiap budaya. Niebuhr memaparkan sebuah pendekatan yang lain, sebuah pendekatan terhadap budaya yang seringkali dipandang sebagai pendekatan teologi yang paling tepat, yaitu Kristus Mentransformasi Budaya. Pendekatan ini berusaha untuk menghindari kekristenan yang ekslusif dan terisolasi dari budaya dan justru hendak memakai budaya untuk mengabdi kepada Allah.53 Menurut pendekatan ini dosa diyakini telah berakar dalam jiwa manusia sehingga membuat manusia memakai budaya untuk memuliakan dirinya sendiri. Oleh karena itu budaya harus diletakkan di bawah kedaulatan Allah dan juga digunakan untuk melayani Allah yang tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri.54 Saya melihat pendekatan ini masih menempatkan otoritas kekristenan melebihi budaya yang telah berkembang di masyarakat.
Jadi budaya dinilai berdasarkan perspektif kekristenan yang
dianggap lebih superior. Dengan pendekatan ini teologi tidak akan mendapat
51
H. Richard Niebuhr, Christ And Culture….hal.143-144 Ibid.hal.148 53 Ibid.hal.190 54 Ibid.hal.191 52
15
sumbangan yang bermanfaat dari tradisi nilai yang terkandung dari dalam budaya itu sendiri. Dengan demikian muncul masalah teologis berkaitan dengan kepercayaan populer terhadap mahluk gaib dalam televisi di Indonesia. Masalahnya timbul berkaitan dengan pendekatan teologi Kristen terhadap kepercayaan tersebut. Menurut penulis perlu membangun sebuah teologi Kristen dalam konteks Indonesia yang mampu memberikan pemahaman yang bermanfaat bagi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan populer ini. Dengan kerelaan untuk terbuka dalam menggali nilai-nilai positif yang terkandung di dalam kepercayaan tersebut sekaligus juga dengan menyadari potensi-potensi negatif yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, nampaknya Schreiter melangkah lebih maju dalam usahanya membangun sebuah teologi yang mempertimbangkan aspek budaya yang berkembang dalam masyarakat.55 Teologi itu disebut sebagai teologi lokal atau teologi kontekstual.
Sasaran yang hendak dicapai oleh teologi
semacam ini yaitu memperoleh pemahaman yang baik atas pergumulan tentang jati diri dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.56 Dengan demikian diharapkan teologi dapat menolong masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial tanpa harus tercabut dari akar budayanya. Oleh karena itu antara budaya dan tradisi Kristen harus dilihat sejajar dengn pertimbangan bahwa Kristus dapat dijumpai dalam setiap budaya. Maka tugas teologi tidak lagi membawa pesan Kristus ke dalam budaya namun lebih kepada usaha untuk menemukan Kristus 55 56
Robert J. Schreiter, C.P P.S. Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta:BPK,1996).hal.24 Ibid.hal.39
16
yang telah aktif dalam budaya.57
Pendekatan ini mengandung nilai-nilai
mendengarkan, mengembangkan deskripsi tebal,58 menemukan keseimbangan antara penghargaan budaya dan kebutuhan akan perubahan dalam budaya. Sikap ini berarti bahwa suatu komunitas lokal harus mendengarkan budayanya agar dapat melengkapi pengalamannya di masa lampau bersama Kristus. Ia harus mampu mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus di tengah-tengahnya. Cara-cara untuk memahami tanda-tanda Kristus yaitu melalui tradisi hikmat dalam Alkitab. Melihat Kristus sebagai hikmat Allah adalah cara baru untuk membaca kehadiran Ilahi dalam suatu budaya yang melaksanakan kegiatan penyelamatan.59 Pendekatan teologi lokal atau kontekstual ini serupa dengan pendekatan tipologi Niebuhr Kristus Mengatasi Budaya. Namun menurut penulis tipologi Kristus Mengatasi Budaya masih menyiratkan kesan superioritas kekristenan atas budaya. Istilah Mengatasi Budaya itu sendiri menyiratkan secara jelas kesan tersebut.
Akan tetapi pendekatan teologi lokal juga mempunyai
kelemahan yaitu tidak menghiraukan faktor konflik yang terdapat dalam lingkungannya karena pencarian jati diri.
Selain itu pendekatan ini akan
meromantisir budaya setempat sehingga orang menjadi tidak kritis terhadap dosa dalam budaya itu sendiri. Oleh sebab itu Schreiter mengusulkan suatu dialektika yang fungsional antara tradisi Injil dan budaya setempat yang dilakukan secara
57
Ibid.hal.49 Mengembangkan deskripsi tebal berarti menghargai, menggali, dan mengembangkan nilai-nilai partikularitas dalam budaya. 59 Ibid. 58
17
terus menerus sehingga dengan demikian akan dapat mengatasi kelemahankelemahan ini.60 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teologi mahluk gaib yang berkembang saat ini cenderung ekslusif dan tidak memberikan penghargaan terhadap budaya lokal. Teologi juga bersifat arogan karena memandang diri sendiri sebagai yang paling benar. Kecenderungan posisi teologi semacam ini dapat mempertajam potensi konflik dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan yang beraneka ragam. Berkaitan dengan peristiwa kerasukan maka teologi mahluk gaib sekarang ini lebih bersifat konfrontatif. Teologi selalu melihat peristiwa kerasukan dan pengusiran Setan sebagai medan peperangan antara Roh Tuhan dengan Roh Setan. Roh yang merasuki seseorang selalu dianggap jahat dan harus diusir. 61 Sikap teologi semacam itu akan mengakibatkan tindakan pengusiran Roh tidak memperhatikan kondisi dan keberadaan korban seutuhnya.
Dalam hal ini
penderitaan korban sebagai akibat dari peperangan dua pihak yang terjadi di dalam dirinya tidak dihiraukan.62 Jikalau tubuh korban sudah tidak bisa bertahan lagi dalam proses pengusiran itu kemudian meninggal maka mereka akan menganggap bahwa Roh korban dianggap sudah terbebas dan mencapai nirwana. Dalam kasus tersebut para pengusir tidak akan merasa cemas lagi terhadap pengaruh jahat dan mereka merasa telah mengalahkan Roh Jahat tersebut. Jadi
60
Ibid.hal.26 Bandingkan dengan ungkapan Pdt. Andreas Wa’u, S.Th. yang memahami proses pengusiran sebagai pertentangan tanpa kompromi antara kuasa Roh Kudus yang bersifat panas dengan kuasa Roh Jahat dalam tubuh orang yang kerasukan. “Pelayanan Pelepasan Roh Jahat Di Kalbar”, Majalah Rohani Populer, Bahana, No.9/TH.XIV/VOL. 155 – Maret 2004 hal. 40 62 Hans Holzer, Ghosts, Hauntings And Possessions…hal.200 61
18
dalam proses ini justru yang dipentingkan adalah kemenangan para pengusir Roh atas Setan. Namun jikalau korban tetap hidup dan Roh itu tetap melekat di dalamnya maka bentuk tindakan ekstrim yang dilakukan adalah: Pertama, membunuh korban beserta Roh yang menguasainya. Kedua, mengawasi atau mengkarantina korban untuk selamanya agar tidak menyakiti orang lain.63 Di pihak lain terdapat posisi teologi yang terlalu romantis terhadap budaya lokal sehingga tidak mampu melihat secara kritis dosa yang terdapat dalam budaya tersebut. Sikap ini justru menganggap semua unsur yang ada dalam budaya lokal selalu bersifat baik maka perlu untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Akibatnya adalah teologi menerima begitu saja unsur budaya lokal tanpa melihat pengaruh-pengaruh negatif yang dihasilkannya. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu pendekatan teologi mahluk gaib yang bersifat lebih terbuka terhadap kebenaran dan kekayaan dari tradisi teologi yang lain. Namun teologi ini juga harus tetap kritis baik terhadap tradisi yang lain maupun tradisi sendiri. Untuk memenuhi tujuan tersebut maka suatu dialog yang bersifat setara di antara pihak-pihak yang berbeda perlu dikembangkan. Dialog tersebut merupakan upaya untuk memperoleh gambaran yang baik berkaitan dengan realitas kepercayaan terhadap mahluk gaib yang terdapat dalam situasi masyarakat yang plural. Dialog yang setara dalam arti setiap orang melandasi percakapan dengan sikap penghormatan terhadap tradisi yang lain.
Dialog
mengandung pengakuan bahwa tradisi yang lain juga mempunyai kebenaran, bahkan tradisi lain dapat juga dapat memperkaya dan bermakna bagi tradisi
63
Ibid. Perilaku ekstrim seperti ini banyak terjadi dalam tradisi gereja abad pertengahan.
19
sendiri.64 Dalam posisi ini tradisi teologi sendiri tetap dijadikan sebagai titik pijak untuk menilai tradisi yang lain. Jadi hubungan dengan tradisi yang lain selain bersifat saling memperkaya juga bersifat saling mengkritisi. Berkaitan dengan peristiwa kerasukan dan pengusiran Setan maka perlu dikembangkan teologi yang menghargai keterlibatan korban di dalamnya. Korban tidak semata-mata dilihat sebagai obyek pengusiran Setan namun juga harus dilihat sebagai subyek yang berkehendak dan dapat terlibat aktif dalam proses tersebut. Dengan demikian kesakitan dan penderitaan manusiawi dari korban diperhatikan dan ditangani. Selanjutnya perlu juga dikembangkan teologi yang terbuka dalam memandang berbagai kemungkinan tentang keberadaan Roh yang mengakibatkan kerasukan.
Jadi klaim-klaim teologi yang selalu menganggap
bahwa Roh yang merasuk seseorang selalu dianggap sebagai Setan yang bersifat jahat dan harus diusir perlu dipertimbangkan lagi.
Sebuah contoh kasus
mediumisasi di tanah Karo seperti yang diuraikan oleh Steedly memperlihatkan bahwa Roh yang memasuki medium tidaklah jahat.
Roh tersebut justru
memberikan nasehat yang baik agar saudara-saudaranya dapat hidup rukun dengan istri yang ditinggalkannya.65
Dengan demikian pendekatan teologi
terhadap mahluk gaib yang sifatnya adalah konfrontatif tidak dapat dibenarkan dan harus dikritisi lagi.
64
Lihat William C. Placher, Unapologetic Theology, A Christian Voice In A Pluralistic Conversation, (Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1989)hal.66 65 Hal yang sama terjadi dalam proses mediumisasi dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan Arwah Elvis Presley. Roh Elvis menyatakan bahwa ia mencintai puterinya dan mengkawatirkan keadaannya. Elvis juga menyatakan bahwa ia tidak menyukai maraknya buku-buku yang menulis tentang biografinya. karena menurutnya itu tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi dapat dikatakan bahwa Roh yang merasuk seseorang tidak selalu jahat, mereka hanya ingin berkomunikasi menyampaikan sesuatu Lihat Hans Holzer, Ghosts, Hauntings And Possessions…hal.88,92
20
1.2. Perumusan Masalah Tesis ini hendak mengkaji asumsi teologis tentang kerasukan dan pengusiran mahluk gaib seperti yang telah ditayangkan oleh Lativi dalam acara Sang Pemburu. Selanjutnya asumsi teologis tersebut akan dinilai berdasarkan teologi kontekstual dengan mempertimbangkan narasi Alkitab, pendekatan interdisipliner, tradisi teologi Islam, Katolik, Protestan, dan Karismatik tentang kerasukan dan pengusiran Setan yang telah berkembang saat ini. Kemudian berkaitan dengan kajian tersebut maka pertanyaan mendasar untuk dipergumulkan lebih lanjut yaitu dapatkah setiap Roh atau mahluk gaib yang merasuki seseorang diidentikkan dengan Setan ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu : 1. Mengkaji secara teologis kepercayaan terhadap mahluk gaib seperti yang diekspresikan oleh media televisi khususnya dalam program Sang Pemburu di Lativi. 2. Membangun pemikiran teologi Kristen yang tepat dalam konteks masyarakat Indonesia berkaitan dengan kepercayaan terhadap mahluk gaib dalam televisi.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertitik-tolak dari program Sang Pemburu yang ditampilkan
secara rutin oleh stasiun televisi Lativi. Melalui program tersebut maka penulis
21
akan merumuskan kerangka berpikir teologi terhadap realitas sosial yang terkandung di dalamnya dengan fenomena mahluk gaib. Selain itu penulis juga akan mengkaji berbagai pendekatan teologi Kristen ataupun Katolik yang berbicara mengenai mahluk gaib.
Kemudian pendekatan-pendekatan tersebut
akan saling didialogkan satu dengan yang lainnya. Dari proses dialog tersebut, maka diharapkan penulis dapat merumuskan sikap yang tepat bagi tradisi teologi Kristen dalam menghadapi fenomena kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap mahluk gaib secara khusus seperti yang ditayangkan oleh stasiun televisi Lativi.
1.5. Metode Penelitian Dengan demikian penelitian ini akan membutuhkan sumber-sumber data sebagai berikut: yang pertama yaitu data-data berkaitan dengan penayangan program televisi Sang Pemburu di Lativi. Dengan bertitik tolak dari data tersebut diharapkan penulis dapat mengkaji teologi berdasarkan fenomena pengusiran mahluk gaib seperti yang telah ditayangkan oleh televisi tersebut. Kedua, penulis perlu mencari dan memahami melalui kepustakaan mengenai ajaran teologi Islam, Kristen, dan Katolik berkaitan dengan eksistensi mahluk gaib. Ketiga, Penulis akan melihat fenomena maluk gaib ini dari perspektif ilmu-ilmu sosial. Setelah itu berbagai perspektif tersebut akan didialogkan satu dengan yang lainnya.
Dengan cara itu diharapkan dapat memperoleh pemahaman teologi
Kristen yang tepat dalam kontek Indonesia berkaitan dengan kepercayaan terhadap mahluk gaib seperti yang telah ditayangkan di televisi, khususnya Lativi.
22
1.6. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah
1.1.1. Sang Pemburu 1.1.2. Wacana Teologis Berkaitan Dengan Mahluk Gaib 1.1.2.1.
Sikap Teologi Islam
1.1.2.2.
Sikap Teologi Gereja Katolik
1.1.2.3.
Sikap Teologi Gereja Protestan
1.1.2.4.
Sikap Teologi Golongan Karismatik
1.1.3. Wacana Antropologi 1.1.4. Lalu Apa Masalahnya ? 1.2.
Perumusan Masalah
1.3.
Tujuan Penelitian
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian
1.5.
Metode Penelitian
1.6.
Sitematika Penulisan
BAB
II
EKSISTENSI
DAN
PERILAKU
MAHLUK
GAIB
DALAM
KEANEKARAGAMAN PERSPEKTIF TEOLOGI 2.1.
Jin; Mahluk Gaib Dalam Perspektif Teologi Islam
2.1.1. Kerasukan Jin Dan Pengusirannya 2.2.
Lucifer; Mahluk Gaib Dalam Perspektif Kristen
2.2.1. Kerasukan Setan Dan Pengusirannya
23
2.3.
Dunia Arwah (Roh Orang Mati)
2.4. Kesimpulan
BAB III SETAN DALAM PERSPEKTIF ALKITAB 3.1.
Setan Dalam Perjanjian Lama
3.2.
Masyarakat Perjanjian Lama Dan Dunia Arwah
3.3. 3.4.
Setan Dalam Kitab-Kitab Inter-Testamental Setan dalam Perspektif Kitab-Kitab Perjanjian Baru
3.4.1. Setan Dalam Injil-Injil Sinoptik 3.4.2. Setan Dalam Injil Yohanes 3.4.3. Setan Dalam Surat Korintus 3.4.4. Setan Dalam Surat Efesus 3.4.5. Setan Dalam Surat 1 Petrus 3.4.6. Setan Dalam Kitab Wahyu 3.4.7. Kesimpulan
BAB IV
ANALISIS ILMU-ILMU SOSIAL DAN BUDAYA BERKAITAN
DENGAN FENOMENA MAHLUK GAIB 4.1.
Pendekatan Psikologi
4.2.
Pendekatan Sosiologi
4.3.
Pendekatan Antropologi
4.4.
Pendekatan Parapsikologi
4.5.
Pendekatan Teori Budaya Populer
24
4.6.
Kesimpulan
BAB V KESIMPULAN 5.1.
Setan Sebagai Mahluk Supranatural
5.2.
Dunia Arwah
5.3.
Setan Dan Masyarakat
5.4.
Mediumisasi Sebagai Sebua Seni Pertunjukan
5.5.
Kesimpulan
25